Tipologi dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga di Perdesaan dan Perkotaan

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN SIKAP PETANI DI
DESA CIHIDEUNG ILIR KABUPATEN BOGOR

HILDA NURUL HIDAYATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konversi Lahan
Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Hilda Nurul Hidayati
NIM I34090008

ABSTRAK
HILDA NURUL HIDAYATI. Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di
Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konversi sebagian besar
berlangsung secara cepat dan dikonversi dengan cara alih penguasaan terlebih
dahulu. Lahan yang dikonversi pada umumnya dimanfaatkan untuk perumahan.
Faktor yang menyebabkan konversi lahan dikategorikan menjadi faktor internal
seperti kebutuhan ekonomi yang mendesak dan keinginan untuk merubah nasib,
serta faktor eksternal seperti pertambahan penduduk dan kebijakan pemerintah.
Dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi antara lain berkurangnya
hasil sawah, penurunan pendapatan petani, berkurangnya ketahanan pangan
keluarga, berkurangnya peluang kerja dalam pertanian, sulitnya akses petani
terhadap lahan, dan lain-lain. Sementara itu konversi lahan juga mempunyai
dampak positif, yaitu pembangunan perumahan dapat menunjukkan adanya
perkembangan ekonomi desa. Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

tidak memiliki hubungan dengan karakteristik responden yang meliputi jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan
dalam keluarga, tingkat pendapatan, serta luas dan penguasaan lahan oleh petani.
Kata kunci: pola konversi dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor
penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan, dan sikap petani.

ABSTRACT
HILDA NURUL HIDAYATI. Conversion of Agricultural land and Farmer’s
Attitude at Cihideung Ilir Village Bogor Counties . Under the guidance of RILUS
A. KINSENG.
This study showed that the patterns of conversion is mostly occurs rapidly
and by switching control to others. Converted lands generally used for housing.
Factors affecting land conversion can be categorized into internal factors such as
urgent economic needs and the desire to change the fate, and external factors
such as population growth and government policies. The impact of land
conversion on the socioeconomic conditions consist of reduced rice yield,
decreased farmers’s income, reduced household food security, reduced
employment opportunities in agriculture, farmers’s limited access to agricultural
land, and others. However there are positive impact as well, that is construction
of housing may indicate the development of rural economy. The attitude of

farmers to conversion of agricultural land has no relation to the characteristics of
the respondents including gender, age, educational level, farm employment status,
number of dependents in the family, income level, as well as broad and land
tenure.
Key words: conversion pattern and land use conversion, conversion factors, the
impact of land conversion, and farmer’s attitude.

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN SIKAP PETANI DI
DESA CIHIDEUNG ILIR KABUPATEN BOGOR

HILDA NURUL HIDAYATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi : Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir
Kabupaten Bogor
Nama
: Hilda Nurul Hidayati
NIM
: I34090008

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten
Bogor”. Penulisan skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rilus A Kinseng MA
yang telah membimbing, mengarahkan, serta memberikan saran dalam proses
penyususnan hingga penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak H. Encep selaku informan utama, Bapak Amit selaku
aparat pemerintahan desa yang telah membantu proses penelusuran informasi,
serta seluruh masyarakat Desa Cihideung Ilir yang telah membantu, mendukung,
dan memberikan informasi serta saran selama proses penelitian di lapang. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua (Bapak Iwan Rusdiawan
S.Pd dan Ibu Eneng Rosmiati), adik-adik (Rospita Nur Fazriah dan Khairi
Septiawan), keluarga, dan teman-teman yang senantiasa mendukung dan

memberikan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat
menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2013
Hilda Nurul Hidayati

DAFTAR ISI
ABSTRAK

ii

PRAKATA

vi

DAFTAR ISI

vii


DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

7

Konversi Lahan

7


Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

7

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan

9

Faktor Sosial atau Kependudukan

9

Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pembangunan Ekonomi

10

Kebijaksanaan Pembangunan

11


Dampak Konversi Lahan Pertanian

12

Konversi Lahan dan Ketahanan Pangan

13

Konversi Lahan dan Kesempatan Kerja Petani

14

Penurunan Tingkat Pendapatan Petani

15

Sikap dan Karakteristik Individu

16


Kerangka Pemikiran

17

Hipotesis Penelitian

20

Definisi Konseptual

20

Definisi Operasional

21

PENDEKATAN LAPANGAN

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Teknik Pengumpulan Data

26

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

29

Kondisi Wilayah

29

Struktur Agraria

31

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

33

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI DESA CIHIDEUNG ILIR

35

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

36

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan Pertanian

38

Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani 44
Analisis Nilai Lahan dan Sistem Jual Beli Lahan yang Dikonversi

51

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN

55

Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Sikap Terhadap Konversi
Lahan Pertanian

62

Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Sikap Petani terhadap Konversi Lahan
Pertanian
63
Hubungan Antara Usia dengan Sikap Petani terhadap Konversi Lahan
Pertanian

63

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Sikap Petani terhadap Konversi
Lahan Pertanian
64
Hubungan Antara Status Pekerjaan Bertani dengan Sikap Petani terhadap
Konversi Lahan Pertanian

64

Hubungan Antara Jumlah Tangungan dalam Keluarga dengan Sikap Petani
terhadap Konversi Lahan Pertanian
65
Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sikap Petani terhadap Konversi
Lahan Pertanian
65
Hubungan Antara Luas dan Penguasaan Lahan oleh Petani dengan Sikap Petani
terhadap Konversi Lahan Pertanian
66
SIMPULAN DAN SARAN

67

Simpulan

67

Saran

68

DAFTAR PUSTAKA

69

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

95

DAFTAR TABEL
1 Pola-pola konversi lahan berdasarkan hasil penelitian
2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2012-2013
3 Luas wilayah dan persentasenya menurut penggunaan lahan di Desa
Cihideung Ilir tahun 2009
4 Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin tahun 2009
5 Pola-pola konversi lahan berdasarkan lima kasus konversi lahan
pertanian di Desa Cihideung Ilir
6 Jumlah responden menurut sikap terhadap konversi lahan pertanian di
Desa Cihideung Ilir
7 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan jenis
kelamin
8 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan usia
9 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan tingkat
pendidikan
10 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan status
pekerjaan bertani
11 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan jumlah
tanggungan dalam keluarga
12 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan tingkat
pendapatan
13 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan luas dan
penguasaan lahan oleh petani

8
26
31
34
38
55
56
57
58
59
60
61
62

DAFTAR GAMBAR
1 Representation of an attitude continuum
2 Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian

17
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta lokasi penelitian
Kerangka sampling
Kasus konversi lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir
Pengolahan data
Dokumentasi Lapangan

73
74
76
88
93

PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan akan dibahas mengenai pemikiran kuat yang
mendasari penelitian ini. Pemikiran tersebut dijelaskan melalui latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang
yang disusun menggambarkan permasalahan umum dalam penelitian disertai
dengan fakta-fakta yang mendukung terhadap persoalan konversi lahan pertanian.
Kemudian permasalahan umum dijabarkan menjadi permasalahan-permasalahan
khusus yang ditulis dalam perumusan masalah. Tujuan penelitian merupakan
jawaban yang diharapkan terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian.
Sementara kegunaan penelitian merupakan manfaat yang diharapkan oleh peneliti
setelah penelitian ini dilakukan.

Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya sumberdaya alam.
Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia sangat potensial untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Lahan merupakan salah satu
sumberdaya yang digunakan untuk menunjang aktivitas manusia terutama untuk
kegiatan ekonomi. Manusia modern 1 menggunakan lahan untuk kegiatan
pembangunan yang dapat menunjang peningkatan perekonomian. Kegiatan
pembangunan yang dilakukan secara terus menerus ternyata berpengaruh terhadap
tingginya permintaan terhadap lahan. Akibatnya, lahan pertanian (sawah) menjadi
salah satu sasaran bagi para pengguna lahan untuk pembangunan. Berdasarkan
data BPS 2002, luas lahan sawah di Indonesia sekitar 7,75 juta ha (tidak termasuk
di Papua dan Maluku), sebagian besar terdapat di Jawa 3,32 juta ha (42,8% dari
luas sawah Indonesia), kemudian Sumatera 2,10 juta ha (27,2 % dari luas sawah
Indonesia), Kalimantan 1,01 juta ha (13,0% dari luas sawah Indonesia), Sulawesi
0,90 juta ha (11,6% dari luas sawah Indonesia), sedangkan Nusa Tenggara dan
Bali hanya 042 juta ha (5,4% dari luas sawah Indonesia).2
Berdasarkan data di atas, potensi pertanian sawah banyak ditemukan di
Pulau Jawa. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk Jawa bermata pencaharian
sebagai petani. Keberadaan lahan sawah memiliki arti yang penting bagi
penduduk Jawa, khususnya penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani.
Sebagaimana Wiradi dan Makali (2009) mengungkapkan bahwa umumnya telah
diketahui, ekonomi pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa, didasarkan atas
usaha pertanian. Selain bagi petani, keberadaan lahan pertanian juga dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun kegiatan
pembangunan justru berpusat di Pulau Jawa yang merupakan wilayah dengan
sumberdaya yang sangat potensial untuk kegiatan pertanian. Kegiatan
pembangunan yang dilakukan tidak terlepas dari faktor lain, seperti pertambahan
penduduk. Pertambahan penduduk merupakan salah satu pemicu terhadap
1

Manusia modern yang dimaksud adalah manusia yang memiliki pandangan untuk meningkatkan
kualitas hidup dengan cara-cara yang modern, dalam hal ini pembangunan.
2
Data ini diperoleh dari artikel (internet) berjudul “Peluang perluasan lahan sawah”, ditulis oleh
Sofyan Ritung, Anny Mulyani, Budi Kartiwa, dan H Suhardjo dalam “Prospek lahan sawah”,
dapat dinduh di balittanah.litbang.deptan.go.id

2
tingginya kebutuhan lahan. Semakin banyak penduduk, semakin gencar kegiatan
ekonomi yang dilakukan. Pertambahan penduduk juga memicu terhadap
kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, yaitu kebutuhan tempat
tinggal. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pertambahan penduduk ternyata
mempengaruhi menyusutnya luas lahan pertanian. Kondisi ini terlihat jelas
khususnya di Pulau Jawa sebagai pusat pembangunan. Pertumbuhan
pembangunan dan ekonomi di Pulau Jawa menyebabkan peningkatan kepadatan
penduduk Jawa. Kepadatan penduduk ini bukan hanya terjadi karena tingginya
angka kelahiran, tetapi juga karena banyak pendatang dari luar Jawa.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sihaloho (2004), bahwa pertumbuhan
penduduk menyebabkan kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat.
Kebutuhan tempat tinggal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya
permintaan terhadap lahan. Salah satu usaha untuk mengatasi kepadatan penduduk,
dilakukan melalui konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman.
Selain untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan yang pesat memiliki andil dalam memicu adanya konversi
lahan. Menurut Ashari 3 , faktor pendorong konversi lahan yang paling utama
khususnya di Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang
lebih murah. Kesempatan membeli lahan ini bermuara pada motif ekonomi yaitu
penggunaan lahan untuk aktivitas non pertanian yang dipandang lebih
menguntungkan.
Pada umumnya, konversi lahan terjadi pada wilayah yang dekat dengan
pusat pertumbuhan Kota. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang
memiliki tingkat pertumbuhan cukup pesat karena jaraknya yang relatif dekat
dengan pusat pertumbuhan Kota Jakarta. Hal ini menyebabkan pembangunan di
wilayah Kabupaten Bogor semakin meningkat. Sejalan dengan itu, pertambahan
penduduk di Kabupaten Bogor semakin meningkat baik penduduk asli maupun
penduduk pendatang. Kondisi ini berdampak pada tingginya kebutuhan lahan
untuk pemanfaatan non pertanian seperti pemukiman, industri, dan fasilitas
penunjang lainnya seperti pembangunan rumah sakit, jalur transportasi, dan pasar.
Aktivitas konversi lahan telah dilakukan di beberapa kecamatan di
Kabupaten Bogor, salah satunya adalah Kecamatan Ciampea. Berdasarkan data
penelitian Pambudi (2008), selama kurun waktu tahun 2000 – 2007 luas lahan
pertanian di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan dari 1.558 ha menjadi
1.286,4 ha. Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan berdampak
negatif khususnya bagi kehidupan sosial ekonomi petani. Dampak yang
ditimbulkan dapat dilihat secara makro maupun mikro. Secara makro, konversi
lahan menyebabkan terganggunya ketahanan pangan dalam suatu wilayah karena
penurunan stok pangan (beras). Sedangkan secara mikro, konversi lahan
berdampak pada terganggunya ketahanan pangan di tingkat keluarga petani,
menurunnya pendapatan keluarga petani dalam usahatani, serta hilangnya
kesempatan petani dalam pertanian.
Penelitian ini menjadi penting karena konversi lahan semakin sulit
dikendalikan. Kondisi ini terlihat jelas di Kecamatan Ciampea yang terus menerus
3

Ashari. [tidak ada tahun]. Fenomena konversi lahan sawah di Pulau Jawa. [Internet]. [diunduh 17
Maret 2012]. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal. 1-2. Dapat diunduh
dari: http://pustaka.litbang.deptan.go.id.

3
melakukan pembangunan khususnya perumahan di kawasan pertanian (lahan
sawah). Kecamatan Ciampea merupakan salah satu wilayah yang memiliki
potensi sebagai wilayah pertanian lahan basah. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, di kecamatan ini telah mengalami perubahan kebutuhan
lahan dari sawah menjadi non sawah. Perubahan inilah yang akan menimbulkan
pertanyaan besar mengenai faktor apa saja yang menyebabkan konversi lahan dan
bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Berkaitan
dengan perubahan kebutuhan lahan dari sawah menjadi non sawah, penting untuk
dilihat lebih jauh mengenai sikap petani terhadap konversi lahan yang dilakukan.
Sikap petani dilihat untuk mengetahui penilaian petani terhadap konversi lahan
pertanian yang terus dilakukan oleh pihak luar. Hal ini didasari oleh dugaan
bahwa pembangunan perumahan merupakan suatu tekanan bagi mereka (petani)
untuk melakukan konversi lahan pertanian secara tidak langsung. Sikap ini
ditunjukkan dengan sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif ditunjukkan oleh
petani apabila mereka setuju terhadap konversi lahan pertanian. Sebaliknya, sikap
negatif ditunjukkan oleh petani apabila mereka tidak setuju terhadap konversi
lahan pertanian. Sikap negatif memiliki pengertian bahwa mereka tidak siap
menerima perubahan dan menginginkan kondisi semula. Artinya, konversi lahan
pertanian untuk pembangunan tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat khususnya bagi petani.

Perumusan Masalah
Lahan memiliki sifat yang tetap secara kuantitas, sementara manusia beserta
semua kebutuhannya bersifat dinamis sepanjang waktu. Artinya jumlah penduduk
selalu berubah setiap waktunya. Perubahan ini cenderung ke arah pertambahan
penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, maka kebutuhan manusia akan
meningkat pula. Kondisi ini dapat dilihat secara nyata di perkotaan yang secara
umum memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Di perkotaan hampir
tidak dapat ditemukan lahan kosong. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai
pembangunan yang dilakukan sebagai aktivitas manusia untuk bertahan hidup.
Artinya manusia memerlukan ruang gerak dengan segala aktivitasnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara materi. Pembangunan yang dilakukan dapat
berupa pembangunan untuk perekonomian maupun pembangunan untuk
kebutuhan tempat tinggal, sehingga konversi lahan merupakan alternatif yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan terebut. Konversi lahan bukan hanya
dilakukan di perkotaan, tetapi juga dilakukan di wilayah pedesaan yang dekat
dengan kota. Hal ini terjadi karena wilayah kota tidak mampu menampung
penduduk yang semakin padat. Salah satu fakta mengenai konversi lahan
pertanian terjadi di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
Konversi lahan memiliki pola yang berbeda baik menurut prosesnya maupun
pelaku konversi. Lahan yang dikonversi juga memiliki perbedaan dalam
pemanfaatannya. Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana pola-pola konversi
lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi di Desa Cihideung Ilir?
Aktivitas konversi lahan memiliki dasar tindakan yang berbeda. Artinya,
setiap pihak yang melakukan konversi lahan memiliki faktor penyebab yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh beragamnya kepentingan manusia terhadap

4
lahan yang digunakan. Bagi pengembang, lahan adalah investasi untuk melakukan
berbagai pembangunan. Sementara bagi petani, lahan adalah sumber nafkah
keluarga. Namun demikian, faktor penyebab konversi lahan tidak selalu berkaitan
dengan pembangunan dan pertambahan penduduk. Oleh karena itu, perlu
dianalisis lebih lanjut mengenai apa saja faktor yang menyebabkan konversi
lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir?
Pembangunan memang diperlukan, namun perlu pengawasan yang ketat
dalam pelaksanaannya. Konversi lahan perlu dibatasi terutama untuk wilayahwilayah yang memiliki lahan pertanian produktif. Berbagai kepentingan manusia
telah berbenturan antara manusia satu dengan yang lainnya. Artinya, konversi
lahan yang dilakukan di Desa Cihideung Ilir telah mengganggu kepentingan atau
aktivitas masyarakat sekitar yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani. Kepentingan masyarakat khususnya petani terhadap lahan pertanian adalah
sebagai tempat untuk mencari nafkah. Sementara konversi lahan di Desa
Cihideung Ilir yang dilakukan secara besar-besaran hanya menguntungkan pihakpihak luar yang berinvestasi membangun perumahan di atas lahan pertanian.
Kondisi ini menggambarkan bahwa telah terjadi tumpang tindih kepentingan antar
pihak. Pada umumnya, aktivitas konversi lahan pertanian memiliki dampak
negatif terhadap petani dan masyarakat sekitarnya. Secara logika, ketika luasan
sawah mengalami penurunan maka hasil yang diperoleh semakin sedikit,
kesempatan kerja petani dalam pertanian semakin berkurang, hingga akhirnya
pendapatan petani ikut mengalami penurunan. Bahkan dalam jangka panjang akan
berdampak terhadap ketahanan pangan dari skala mikro hingga makro.
Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dianalisis lebih lanjut bagaimana
dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani?
Berbagai dampak yang muncul akibat konversi lahan pertanian dirasakan
langsung oleh petani maupun masyarakat pada umumnya. Namun dampak
tersebut dirasakan secara berbeda oleh masing-masing individu. Bagi individu
yang sangat menggantungkan hidupnya pada pertanian mungkin akan lebih
merasakan dampak negatif dan menilai secara negatif terhadap adanya konversi
lahan pertanian. Sebaliknya, dampak positif mungkin dirasakan oleh individu
yang tidak terlalu bergantung bahkan tidak bergantung sama sekali terhadap lahan
pertanian. Penilaian ini merupakan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing
individu tersebut yang memiliki karakteristik berbeda. Karakteristik tersebut
meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah
tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan, serta luas dan penguasaan lahan
oleh petani. Sikap negatif terhadap konversi lahan pertanian menunjukkan bahwa
sejumlah individu tidak setuju terhadap konversi lahan pertanian, dan sebaliknya.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dianalisis bagaimana hubungan
antara karakteristik individu (petani) dengan sikap petani terhadap konversi
lahan pertanian?

5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini antara
lain:
1. Menganalisis pola-pola konversi lahan dan pemanfaatannya setelah
konversi
2. Menganalisis faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian
3. Menganalisis dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial
ekonomi petani
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan sikap petani
terhadap konversi lahan pertanian

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai
dampak yang terjadi akibat konversi lahan pertanian terhadap berbagai
kondisi sosial ekonomi petani. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui
berbagai faktor penyebab konversi lahan pertanian. Secara umum,
penelitian ini dapat berguna bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di suatu daerah dengan
memperhatikan potensi wilayah.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini berguna bagi masyarakat untuk memberikan gambaran
mengenai konversi lahan pertanian mulai dari faktor penyebab konversi
hingga dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi sosial ekonomi petani.
3. Bagi Pelaku Konversi Lahan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penyadaran bagi para
pelaku konversi lahan bahwa tindakan konversi lahan pertanian akan
menimbulkan berbagai dampak, terutama bagi petani.

6

7

TINJAUAN PUSTAKA
Bagian ini akan menjelaskan mengenai acuan-acuan yang melandasi
pemikiran terhadap permasalahan dalam penelitian. Beberapa acuan diperoleh dari
laporan hasil penelitian, baik cetak maupun elektronik. Acuan tersebut memuat
antara lain pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor
penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi
petani, dan pengertian sikap, serta faktor yang mempengaruhi sikap.

Konversi Lahan
Konversi atau alih fungsi lahan memiliki pengertian perubahan penggunaan
lahan oleh manusia (Utomo 1992). Perubahan ini biasa terjadi pada penggunaan
lahan untuk pertanian menjadi lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan
nonpertanian. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan dapat bersifat permanen
dan bersifat sementara. Konversi lahan bersifat permanen terjadi ketika lahan
sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri. Tetapi
jika perubahan tersebut menjadi perkebunan tebu, maka konversi lahan sawah
bersifat sementara, karena suatu saat dapat digunakan menjadi sawah kembali.
Pengertian lain juga diungkapkan oleh Agus (2004) bahwa konversi lahan
sawah merupakan suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic),
bukan suatu proses yang alami. Artinya, manusia memiliki peranan penting dalam
aktivitas konversi lahan pertanian. Seiring dengan pesatnya pembangunan di
berbagai aspek, kebutuhan manusia terhadap lahan pertanian menjadi berkurang.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan konversi lahan banyak
dilakukan pada lahan sawah beririgasi teknis. Demikian halnya dengan penelitian
Rusastra dan Budhi (1997) yang mengungkapkan bahwa konversi lahan banyak
dilakukan terhadap wilayah pertanian. Lebih jauh, Rusastra dan Budhi (1997)
menjelaskan bahwa konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya rambatan
spasial dari pertumbuhan industri di sekitar wilayah pertanian. Dengan demikian,
luasan lahan pertanian akan semakin menyusut jika terjadi konversi lahan
pertanian secara terus menerus.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian Irawan (2005) menunjukkan
bahwa selama tahun 2000-2002 luas konversi lahan untuk kegiatan pembangunan
nonpertanian sebesar 110,16 ribu hektar per tahun (58,68% dari total luas sawah
yang dikonversi). Menurut Irawan (2005), konversi lahan pada dasarnya terjadi
akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan oleh sektor pertanian dan
sektor nonpertanian. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya persaingan
terebut. Hal ini berkaitan dengan kepentingan dari masing-masing pihak secara
sosial maupun ekonomi.

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi
Merujuk pada Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), pola konversi lahan
dapat ditinjau dari beberapa aspek, dalam hal ini aspek menurut pelaku konversi
dan aspek menurut prosesnya. Berdasarkan pelaku konversi, pola konversi lahan

8
dibedakan menjadi dua. Pertama, konversi lahan secara langsung oleh pemilik
lahan yang bersangkutan. Pola ini didasari oleh motif tindakan untuk pemenuhan
kebutuhan terhadap tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha,
maupun kombinasi dari keduanya. Kedua, konversi lahan yang diawali dengan
alih penguasaan. Pada umumnya, pola konversi ini terjadi ketika pemilik lahan
menjual lahannya kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha
non sawah. Sedangkan jika ditinjau dari aspek menurut prosesnya, pola konversi
lahan dapat dibedakan menjadi lambat dan cepat. Masih merujuk pada
Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), alih fungsi secara lambat pada umumnya
disebabkan oleh fungsi sawah yang tidak optimal. Sementara alih fungsi secara
cepat disebabkan oleh perubahan fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi kawasan
pemukiman dan atau industri. Pola konversi lahan dapat ditemukan dalam
beberapa penelitian yang dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 1 Pola-pola konversi lahan berdasarkan hasil penelitian
Aspek pola konversi lahan
Hasil penelitian

Pelaku konversi lahan
Langsung oleh
pemilik lahan

Sihaloho (2004)
Yunis (2001)
Hariyanto (2010)
Ilham et al (2005)
Sumaryanto et al
(1995)
Rusastra dan
Budhi (1997)

Proses konversi lahan

Alih
penguasaan

Cepat

Lambat



-











-

-





-

-





-

Pada penelitian Sihaloho (2004), pola konversi lahan dapat diuraikan
menjadi konversi gradual berpola sporadis, konversi sistematik berpola „enclave‟
(secara serentak), konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk,
konversi lahan yang disebabkan oleh masalah sosial, konversi “tanpa beban”,
konversi adaptasi agraris, dan konversi multi bentuk atau tanpa pola. Pola ini
kemudian diklasifikasikan ke dalam pola konversi lahan menurut pelaku dan
menurut proses konversi lahan. Berdasarkan data penelitian Sihaloho (2004)
menunjukkan bahwa pola konversi lahan menurut pelaku dilakukan secara
langsung maupun beralih penguasaan. Secara langsung, dipengaruhi oleh
kebutuhan tempat tinggal penduduk Kelurahan Mulyaharja sehingga
pembangunan permukiman gempar dilakukan oleh penduduk setempat. Seiring
dengan hal tersebut, masuknya pendatang dan para investor turut membantu
penduduk setempat untuk melakukan konversi lahan dengan cara peralihan
penguasaan lahan kepada pendatang maupun para investor tersebut. Perubahan
fungsi lahan seperti ini dikategorikan sebagai pola konversi lahan yang
berlangsung secara cepat. Pola yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian
Hariyanto (2010) yang mengemukakan bahwa pola konversi lahan dikategorikan
berdasarkan pelaku dan proses konversi lahan. Perbedaan kedua penelitian

9
tersebut terletak pada pola spesifik konversi lahan. Hariyanto (2010) menguraikan
pola konversi lahan menjadi sawah-tegalan, sawah-tegalan-permukiman, empangtanah kering, empang/rawa-tanah kering-permukiman/industri, empang-sawah,
tegalan-permukiman, dan perkebunan-tegalan. Sementara penelitian Sumaryanto
et al (1995) menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi secara cepat dan sporadis.
Konversi terencana ke penggunaan nonpertanian umumnya terjadi secara cepat
dan langsung. Sedangkan konversi secara sporadis terjadi akibat makin turunnya
kualitas sawah atapun makin rendahnya opportunity lahan tersebut.
Adapun penelitian Yunis (2001), Ilham et al (2005), dan Rusastra dan Budhi
(1997) yang secara implisit mengemukakan pola konversi lahan terbagi ke dalam
aspek menurut pelaku, yaitu terjadi peralihan penguasaan lahan dan aspek
menurut proses konversi lahan yaitu terjadi secara cepat. Pada umumnya, lahan
pertanian yang berada di suatu wilayah dikuasai oleh para pendatang dan investor
akibat penjualan oleh para pemilik lahan sebelumnya. Secara umum, hal ini terjadi
karena keterdesakan ekonomi para pemilik lahan sebelumnya (petani) yang
mendorong untuk menjual lahan mereka kepada pihak lain. Disisi lain,
masyarakat (petani) ingin melakukan perubahan dari pekerjaan sebagai petani
menjadi pekerja di sektor lain (luar pertanian). Pandangan ini pada umumnya
didasari oleh adanya persepsi petani terhadap pekerjaan di sawah yang kotor dan
tidak bergengsi.

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan
Pembahasan mengenai konversi lahan di suatu wilayah tidak terlepas dari
faktor-faktor yang menyebabkan proses terjadinya konversi lahan, khususnya
lahan pertanian. Dibalik praktik-praktik konversi lahan terdapat berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Merujuk pada Manuwoto (1992), secara umum
pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sosial atau
kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi, dan
kebijakan pembangunan makro.
Adapun Winoto (2005) menyebutkan terdapat lima faktor yang
mempengaruhi konversi lahan, antara lain faktor kependudukan faktor ekonomi,
faktor sosial budaya, perilaku myopic (mencari keuntungan jangka pendek tanpa
memperhatikan kepentingan jangka panjang), serta lemahnya sistem perundangundangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada. Beberapa
faktor inilah yang dapat mempengaruhi penggunaan lahan untuk memenuhi
kebutuhan lain di luar sektor pertanian. Membahas mengenai faktor penyebab
konversi lahan selalu berkaitan dengan manusia sebagai pelaku konversi lahan
serta segala aktivitasnya.

Faktor Sosial atau Kependudukan
Pada beberapa penelitian dijelaskan bahwa faktor sosial atau kependudukan
mempengaruhi terjadinya konversi lahan ketika dihadapkan pada persoalan
pertambahan penduduk yang akan memicu peningkatan kebutuhan terhadap lahan.
Penggunaan lahan tersebut sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi

10
kebutuhan pembangunan tempat tinggal. Persoalan lain adalah aktivitas manusia
yang memerlukan lahan sebagai modal dalam melakukan proses produksi. Jika
dikalkulasikan menurut jumlah penduduk dan aktivitas manusia untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, maka kebutuhan terhadap lahan akan semakin meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar menjelaskan mengenai
pertumbuhan penduduk menjadi faktor penyebab konversi lahan. Hasil penelitian
Sihaloho (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan
kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat karena besaran keluarga di
kelurahan ini meningkat paling tidak satu sampai dua rumah per KK (kepala
keluarga) per satu generasi (misalnya 20 tahun). Sama halnya dengan hasil
penelitian Sihaloho (2004), penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2005), juga
menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mempengaruhi peningkatan laju
konversi lahan karena kebutuhan terhadap pemukiman. Hasil yang berbeda
ditunjukkan dalam penelitian Ruswandi (2005) bahwa semakin padat penduduk
suatu desa, ternyata laju konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian
semakin kecil. Sementara dalam penelitian Ilham et al. (2005), faktor sosial
lainnya disebabkan oleh adanya persepsi bahwa profesi petani adalah pekerjaan
yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi. Selain itu, sistem waris menyebabkan
kepemilikan lahan yang semakin sempit yang menyebabkan petani menjual
lahannya dan mencari pendapatan baru di bidang nonpertanian.

Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pembangunan Ekonomi
Kegiatan ekonomi dan pembangunan sangat diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan finansial masyarakat pada umumnya. Namun dalam pelaksanaannya,
kegiatan ekonomi dan pembangunan seringkali harus mengorbankan aspek lain
terkait dengan penggunaan lahan. Aspek lain yang dimaksud adalah aspek
pertanian. Aktivitas pertanian seringkali dipandang sebelah mata sebagai kegiatan
yang kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan aktivitas ekonomi lain
yang berbasis industri. Hal ini pula yang mendasari pemerintah untuk melakukan
pembangunan di bidang nonpertanian terutama industri. Kecenderungan ini
menyebabkan kurangnya perhatian banyak pihak terhadap keberlanjutan kegiatan
pertanian.
Manuwoto (1992) mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi adalah
berbagai kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat. Diungkapkan pula bahwa proyek-proyek kegiatan
pembangunan sesungguhnya memerlukan lahan sebagai media utama
penunjangnya. Selain kegiatan ekonomi dan pembangunan, faktor kondisi
ekonomi masyarakat khususnya petani juga mempengaruhi terjadinya konversi
lahan. Faktor ini diperkuat oleh hasil penelitian Sihaloho (2004) yang
mengungkapkan bahwa keterdesakan ekonomi yang mendorong perilaku untuk
mencari solusi dalam berbagai aspek untuk meningkatkan kesejahteraan. Mereka
yang ekonominya terdesak menginginkan perubahan memiliki usaha baru di luar
sektor pertanian karena penghasilan dari usaha pertanian tidak mencukupi
kebutuhan keluarga. Keterdesakan ekonomi mendorong masyarakat untuk
menjual
lahannya
kepada
PT-PT
di
kelurahan
Mulyaharja.

11
Penelitian lain juga menjelaskan bahwa alasan petani di Jawa melakukan
konversi lahan adalah karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, harga lahan
yang cukup menarik keinginan petani untuk menjual lahannya, dan kondisi lahan
yang berada dalam kawasan industri. Sangat jelas bahwa kegiatan ekonomi
memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinya konversi lahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al (1995) memperkuat alasan
tersebut, yaitu perubahan struktur perekonomian menyebabkan konversi lahan.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya konversi lahan akibat usaha agribisnis seperti
usaha tambak di kawasan Pantura. Selain itu, faktor harga tanah sawah juga
mempengaruhi konversi lahan yang dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian
Syafa‟at et al (1994) dalam Sumaryanto et al (1995) bahwa harga jual lahan yang
menarik merupakan alasan utama petani melepaskan lahan sawahnya.

Kebijaksanaan Pembangunan
Merujuk pada Manuwoto (1992), kebijaksanaan pembangunan makro
yang diambil oleh suatu pemerintah akan mempengaruhi terhadap pemilihan
investasi yang ditanam dan pada gilirannya keadaan tersebut dapat mempengaruhi
pengalihan fungsi lahan. Inilah dilema dalam pembangunan, di satu sisi
pembangunan sangat diperlukan namun disisi lain pembangunan pada akhirnya
dapat merambat pada lahan pertanian produktif.
Beberapa penelitian telah berhasil menggambarkan bahwa kebijaksanaan
pembangunan dapat mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Pada penelitian
Sihaloho (2004) ditemukan bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan
pemerintah ternyata memiliki andil dalam aktivitas konversi lahan. Berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2005, seluas 269,42 ha lahan
Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman, yang terdiri dari
146,42 ha untuk permukiman penduduk dan 123 ha untuk real estate. Dijelaskan
pula bahwa seiring dengan perubahan Kelurahan Mulyaharja dari Kabupaten
menjadi wilayah Kota maka daerah ini menjadi prioritas pembangunan
permukiman baru di Kota Bogor. Berdasarkan RTRW Kota Bogor Tahun 2009,
alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria adalah 8.942,79 ha
(75,47%) wilayah Kota dialokasikan menjadi daerah permukiman.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yunis (2001) yang memperkuat
kebijaksanaan pembangunan sebagai faktor penyebab konversi lahan adalah
intervensi pemerintah yang merupakan kegiatan pembangunan mempengaruhi
terjadinya konversi lahan. Pemerintah mengundang para investor untuk
menanamkan modal di wilayah pertanian di Aceh sehingga mengganggu aktivitas
pertanian yang pada akhirnya terjadi alih guna lahan pertanian menjadi kawasan
industri. Semakin pesatnya pembangunan di suatu wilayah dapat merambat pada
wilayah di sekitarnya yang masih memiliki potensi pertanian. Sejalan dengan hal
tersebut, hasil penelitian Maftuchah (2005) menunjukkan bahwa pada bagian
selatan dari Kota Surakarta hampir semua lahan pertanian yang ada berubah
fungsi menjadi perumahan. Hal ini dikarenakan di bagian selatan berbatasan
dengan bangunan-bangunan pusat perbelanjaan, industri, dan perumahan. Hasil
yang sama diperoleh dalam penelitian Irawan (2005) yang menunjukkan data luas
lahan yang terkonversi selama tahun 2000-2002 adalah sebesar 110,16 ribu hektar

12
per tahun (58,58% dari total luas sawah yang dikonversi). Diperoleh juga data
bahwa secara nasional, alokasi terbesar konversi lahan digunakan untuk
pembangunan perumahan sebesar 48,58%. Sementara alokasi untuk pembangunan
jalan dan sarana publik lainnya sebesar 28,29%. Pada penelitiannya, ternyata di
Pulau Jawa konversi lahan untuk pemukiman lebih besar daripada di luar Jawa.
Tetapi konversi lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana lainnya lebih
banyak terjadi di luar Jawa. Sebagian besar, konversi lahan disebabkan oleh
kebutuhan manusia terhadap pembangunan di berbagai sektor. Namun dalam hal
ini, sektor non pertanian menjadi unggulan dalam setiap pembangunan. Seperti
halnya dalam penelitian Sumaryanto et al [tidak ada tahun] yang menunjukkan
lebih dari 50 persen konversi lahan sawah digunakan untuk perumahan, prasarana,
dan kawasan industri. Adapun Keputusan Presiden No.33 Tahun 1990 dalam
Taneko (1992) mengenai penyediaan tanah maupun pemberian lokasi industri.
Pada intinya, Keppres tersebut menetapkan bahwa:
“kawasan indsustri harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan tidak
mengurangi tanah pertanian. permohonan tanah untuk industri yang berupa sawah
irigasi ditolak. Juga permohonan tanah untuk pemukiman akan ditolak jika berada
di tengah sawah beririgasi atau lahan pertanian lain.”
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, ternyata pembangunan
dalam berbagai sektor nonpertanian memiliki andil yang cukup besar terhadap
adanya konversi lahan pertanian. Peran pemerintah dalam kegiatan pembangunan
sangat diperlukan dalam membuat kebijakan pembangunan yang disesuaikan
dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) pada masing-masing wilayah.

Dampak Konversi Lahan Pertanian
Pada umumnya, aktivitas konversi lahan menghasilkan dampak negatif.
Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), dampak negatif konversi lahan
sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan
pertanian menurun dan meningkatnya kemiskinan, pemubaziran investasi, dan
dampak negatif lainnya. Pada pembahasan degradasi daya dukung ketahanan
pangan nasional, dijelaskan bahwa konversi lahan sawah menjadi nonsawah akan
berpengaruh pada menurunnya tingkat produksi pangan. Kondisi ini lebih buruk
ditunjukkan dengan sifat konversi lahan yang permanen, artinya lahan yang dulu
digunakan untuk sawah memerlukan waktu yang cukup lama atau bahkan tidak
dapat digunakan kembali sebagai lahan sawah setelah dikonversi. Hal ini akan
berpengaruh pula pada produktivitas pangan yang semakin menurun karena
hilangnya lahan produktif. Berdasarkan uraian dari Sumaryanto dan Sudaryanto
(2005), mayoritas pelaku usahatani padi adalah masyarakat pedesaan. Oleh karena
itu, lahan pertanian merupakan sumber nafkah bagi para petani. Terkait dengan
aktivitas konversi lahan yang menyebabkan hilangnya lahan produktif, hal ini
akan menyebabkan pula pendapatan para petani yang semakin menurun.
Menurunnya tingkat pendapatan ini akan berpengaruh pula pada semakin
meningkatnya kemiskinan bagi para petani.

13
Sementara Firman (2005) mengungkapkan bahwa dampak konversi lahan
terbagi atas dampak secara langsung dan tidak langsung. Dampak secara langsung
dapat dilihat dari hilangnya lahan pertanian subur (prime agricultural land),
hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lansekap, dan
masalah lingkungan (seperti eksploitasi air tanah dalam yang berlebihan).
Sementara dampak tidak langsung dapat dilihat dari influx penduduk dari wilayah
perkotaan ke wilayah tepi kota.
Adapun penelitian Sihaloho (2004) yang menjelaskan bahwa secara umum
konversi lahan telah menyebabkan perubahan struktur agraria yang
mempengaruhi terjadinya perubahan pada aspek lain. Perubahan tersebut
ditunjukkan dengan adanya kesenjangan dalam masyarakat (aspek sosiologis),
kesejahteraan masyarakat dalam kondisi „sulit‟ (aspek ekonomis), kondisi udara
semakin panas (aspek ekologis), perluasan akumulasi modal oleh para pemodal
(aspek politis), dan sosial budaya. Perubahan struktur agraria yang terjadi dapat
dilihat dari pemilikan tanah yang semakin sempit, hilangnya akses terhadap lahan
bagi petani, berkurangnya peluang berusaha di sektor pertanian (seiring dengan
perubahan petani pemilik menjadi petani penggarap dan petani penggarap menjadi
buruh tani dan buruh tani sebagian tidak dapat bekerja di sektor pertanian). Sedikit
berbeda dengan penelitian lainnya, penelitian Maftuchah (2005) menjelaskan
bahwa dampak konversi lahan di pinggiran Kota Surakarta dapat memicu potensi
konflik yang melibatkan kota lain. Lebih jauh, pada penelitian ini dijelaskan
bahwa pengurangan lahan pertanian secara terus menerus akan memiliki dampak
jangka panjang yaitu hilangnya lahan pertanian akan menyebabkan hilangnya
sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan.

Konversi Lahan dan Ketahanan Pangan
Telah diketahui bersama, bahwa konversi lahan yang terjadi pada umumnya
bersifat permanen. Contoh yang umum ditemukan adalah konversi lahan sawah
menjadi kawasan pemukiman. Lahan yang telah beralih fungsi menjadi
pemukiman, tidak dapat mengembalikan kesuburan lahan seperti ketika lahan
tersebut digunakan untuk sawah. Fenomena ini merupakan permasalahan yang
serius, karena dalam jangka panjang dapat mengganggu ketahanan pangan bagi
wilayah yang mengalami konversi lahan pertanian. Pada jangka panjang, konversi
lahan pertanian yang terus menerus terjadi di berbagai wilayah akan berdampak
pada terancamnya ketahanan pangan dalam skala nasional. Namun konteks
ketahanan pangan dalam rumah tangga dan keluarga menjadi penting untuk
ditelusuri sebelum beranjak pada skala nasional. Kondisi ketahanan pangan dalam
rumah tangga dan keluarga akan mencerminkan kondisi ketahanan pangan secara
nasional. Hasan dalam Sihite (2011) menjelaskan bahwa ketahanan pangan
sampai pada tingkat rumah tangga tercermin oleh ketersediaan pangan yang cukup,
merata pada setiap waktu, terjangkau secara fisik maupun ekonomi, serta
tercapainya konsumsi sesuai dengan persyaratan gizi dalam suatu budaya.
Indikator ketahanan pangan rumah tangga menurut Soetrisno dalam Sihite (2011)
dapat dilihat dari kecukupan konsumsi, serta indikator sosial ekonomi dan
demografi yang dapat diukur melalui pendapatan, pendidikan, struktur keluarga,
harga pangan, pengeluaran pangan, dan sebagainya.

14
Terancamnya ketahanan pangan nasional dapat terlihat dari terpenuhinya
ketahanan pangan di tingkat keluarga. Efek dari ketahanan pangan yang tidak
tercukupi adalah bahaya kelaparan dan menyebabkan kerugian. Sumaryanto dan
Sudaryanto (2005) menguraikan bahwa kerugian akibat konversi lahan sawah
berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4,5 – 12,5
ton hektar/ tahun, tergantung pada kualitas lahan yang bersangkutan.
Penelitian Irawan (2005) telah berhasil menggambarkan bahwa konversi
lahan akan berdampak pada terganggunya ketahanan pangan nasional. Penelitian
ini menjelaskan bahwa permasalahan substantif ketahanan pangan tidak hanya
mencakup kuantitas ketersediaan pangan, tetapi meliputi ketersediaan pangan
menurut waktu dan akses masyarakat terhadap pangan. Irawan et al (2003) dalam
Irawan (2005) menguraikan konversi lahan sawah sangat berpengaruh pada
kuantitias ketersediaan pangan karena sekitar 90 persen produksi nasional
dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dari lahan kering. Secara singkat,
Maftuchah (2005) juga menjelaskan mengenai hilangnya lahan pertanian akibat
konversi lahan sawah sama dengan hilangnya sumberdaya lahan sebagai penghasil
pangan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Hariyanto (2010) mengungkapkan hal
yang sama bahwa konversi lahan memiliki dampak terhadap pemerintah yaitu
mengganggu program ketahanan pangan nasional. Hasil yang sama dapat
tergambar pada penelitian Ilham et al (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) yang
menjelaskan mengenai dampak negatif konversi lahan sawah terhadap ancaman
ketersediaan pangan nasional karena adanya penurunan produksi padi.

Konversi Lahan dan Kesempatan Kerja Petani
Pada beberapa penelitian, dijelaskan bahwa hilangnya lahan pertanian akan
berdampak pada subyek agraria. Subyek agraria yang dimaksud dalam hal ini
adalah para petani yang semula memiliki lahan pertanian dengan luas yang
berbeda-beda. Dampak yang dirasakan berkaitan dengan sumber nafkah dan
pekerjaan mereka dalam sektor pertanian. Telah diketahui bersama bahwa pada
umumnya, pekerjaan petani berkaitan erat dengan lahan sawah. Tidak banyak
petani yang memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian. Oleh karena
itu, hilangnya lahan pertanian akibat konversi lahan khususnya konversi lahan
yang bersifat permanen akan cenderung menyebabkan hilangnya kesempatan
kerja dalam sektor pertanian. Apalagi jika lahan pertanian telah di konversi
menjadi lahan nonpertanian, para petani tersebut belum tentu mampu untuk
bersaing jika diberi kesempatan untuk bekerja di luar sektor pertanian.
Suatu contoh kasus ditemukan dalam penelitian Sihaloho (2004) bahwa
konversi lahan menyebabkan perubahan struktur agraria di Kelurahan Mulyaharja.
Salah satu perubahan tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya peluang berusaha
di sektor pertanian. Perubahan ini menyebabkan pergeseran pekerjaan petani dari
petani pemilik menjadi petani penggarap, petani penggarap menjadi buruh tani,
dan buruh tani sebagian tidak dapat bekerja di sektor pertanian. Buruh tani inilah
yang terkena dampak paling dirugikan karena hilangnya kesempatan untuk
bekerja di sektor pertanian. Secara implisit, penelitian Yunis (2001) juga
menunjukkan bahwa konversi lahan menyebabkan berkurangnya kesempatan
petani untuk bekerja di sektor pertanian. Kondisi ini ditunjukkan dengan semakin

15
miskin masyarakat Aceh karena lahan garapan (pertanian) telah hilang dan
berubah menjadi kawasan industri. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian
Ruswandi (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) bahwa pemilikan luas lahan
pertanian yang semakin sempit bahkan petani kehilangan lahan berakibat pada
semakin banyak jumlah petani yang melakukan usaha di luar sektor pertanian.
Lebih jauh Rusastra dan Budhi (1997) menjelaskan bahwa konversi lahan terjadi
akibat petani berlahan luas melakukan ekspansi pembelian tanah dan menekan
eksistensi petani gurem sehingga mereka (petani gurem) tidak dapat
berkecimpung di sektor pertanian. Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian
Ruswandi (2005) bahwa berkurangnya lahan sawah irigasi dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesempatan kerja buruh tani. Lebih jauh Irawan (2005)
menjelaskan bahwa penurunan kesempatan kerja akan berdampak pada penurunan
pendapatan petani. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumaryanto et al [tidak
ada tahun] menunjukkan hal yang sama bahwa luasan lahan pertanian yang
semakin berkurang di Jawa berdampak pada hilangnya kesempatan kerja dan
pendapatan petani penggarap dan buruh tani di wilayah Jawa. Pada penelitian ini,
menjelaskan bahwa masyarakat lokal tidak dapat menikmati kesempatan kerja
dari aktivitas ekonomi yang baru karena kalah bersaing dengan masyarakat
pendatang.
Berdasarkan penelitian-penelitiaan yang ditemukan, secara umum petani
sangat dirugikan oleh aktivitas konversi lahan. Hal ini bertentangan dengan pasal
18 UUPA yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undangundang.”
Dari undang-undang tersebut jelas bahwa seharusnya mereka (petani)
mendapatkan ganti rugi yang layak atas hilangnya lahan-lahan pertanian yang
mereka miliki sebelumnya. Namun pada kenyataanny