Transesterlflkasl Minyak Goreng Bekas untuk Produksi Metll Ester
TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG
BEKAS UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
Oleh :
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
99235 1 IPN
PROGRAM STUD1 ILMU PANGAN
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
TRANSESTERIFICATION OF USED FRYING OIL
FOR PRODUCING METHYL ESTER
Under Supervision of Tien R. Muchtadi, Sugiyono and Jenny Elisabeth
ABSTRACT
The increasingly public awareness about food safety on used frying oil and the
increasingly serious environmental destruction have made biodiesel from used frying oil to
become an alternative fuel for replacing diesel fuel position in most conventional diesel
engines. Transesterification of used frying oil with methanol, in the presence of 1% sodium
hydroxide catalyst (base on weight of oil) was applied in this work.
Conditions producing the highest concentrations of methyl ester were molar ratio
1:7 (used frying oillmethanol), reaction time 10 minutes, temperature 60%. In order to have
a good result of transesterification reaction, the used frying oil should have i; 4% free fatty
acid and I 7% water content. Total polar content (I29,7%) and peroxide value (I32.59
meqlkg) didn't affect transesterification reaction. Most of the biodiesel characteristics (such
as density, viscosity, cloud point, flash point, cetane index, Conradson carbon residue, water
& sediment, ash content, and free fatty acid and fatty acid composition) that achieved were
in accordance with those obtained for biodiesel standard (ASTM PS 121).
,
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS
UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
Adalah benar merupakan hasil karya Saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2002
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
Nrp : 9923511PN
TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS
UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi llmu Pangan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
: TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS UNTUK PRODUKSI
Judul
METlL ESTER
Nama
: Mery Tambaria Damanik Ambarita
NRP
: 99235
Program Studi
: llmu Pangan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Tien R. Muchtadi, MS.
Ketua Komisi
~ rlr..
Anggota
~e\;;yEi:;beth,
MS.
Mengetahui :
2. Ketua Program Studi llmu Pangan
ur Program Pasca Sarjana
PI.
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS.
Tanggal lulus 5 Juni 2002
- .
e
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, 10 Desember 1975 dari pasangan
R. 0.Damanik dan T. Sihombing (+), sebagai putri ketiga dari enam bersaudara.
Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas dari SMAN I
Pematangsiantar pada tahun 1994 dan pada tahun yang sama diterima di Jurusan
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan, lnstitut Pertanian
Bogor. Pada bulan Pebruari 1999, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat
sarjana (SI).
Penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi llmu Pangan, Program
Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor dengan program khusus Rekayasa Proses Pangan.
Penulis melaksanakan penelitian di Pusat Penelitian Kelapa Sawit - Meuan pada bulan
Juli 2001 hingga April 2002.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat yang telah diberikan-Nya, sehingga tesis yang berjudul
'Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas Untuk Produksi Metil Ester" ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing,
yaitu Ibu Prof. Dr. Tien R. Muchtadi, MS. selaku Ketua Komisi dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono,
M. App. Sc serta lbu Dr. Ir. Jenny Elisabeth, MS. sebagai Anggota Komisi atas perhatian,
pengarahan dan bimbingannya yang tak putus-putusnya kepada penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini.
Penulis bersyukur atas keluarga (Bapak, k' Itien, K' Ika, Oehoem, Omi, Yaya) yang
selalu memberikan perhatian, cinta kasih, nasihat, sukacita dan segala sesuatu yang telah
diperoleh. Juga kepada Kel. Uda A. Damanik, Kel. Dr. Eko W. S. SpB yang selalu
memperhatikan penulis.
Juga kepada Yayasan Rudang yang membantu dan
mengarahkan penulis untuk melanjutkan kuliah di PPS-IPB (Bapak Prof. Dr. Bintan
Saragih, Bapak Dja Sarlim Sinaga dan Bapak Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc).
Terima kasih juga kepada seluruh staf Peneliti dan karyawan di Pusat Penelitian
Kelapa Sawit - Medan (lembaga yang mendanai penelitian), terutama buat Kak Ida, Pak
Warnoto, Pak Mariadi, K' Mega, Mba Ijah, Pak Warso, Pak Abas, Novrida & Yanti.
Terutama buat persahabatan yang menarik dengan teman-teman lainnya (Marini &
Keluarga, K' Duma, Eben, Anton, Ivan dkk.).
Penulis sangat berbahagia memiliki teman-teman terbaik yang ada di
Programstudi llmu Pangan, buat segala kebersamaan, baik suka maupun duka, yang
walaupun sibuk tetap memberikan perhatian yang terbaik buat penulis. Khusus buat Yani,
Nenoi, Ria, Rita, Icha, K' Lince, Pak Mur, Mba Dian, Mba Rahma dan juga Mas Ade.
Terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis berharap tesis ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada
siapa saja yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2002
Penulis
DAFTAR IS1
DAFTAR IS1 ............................................................................................................. xi
xii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
i
I. PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang....................................................................................
3
B. Tujuan Dan Manfaat Penelitian............................................................
.....................................................................................................
..............................................................................................
...............................................................................................
.
......................................................................................
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Minyak Selama Proses Penggorengan ............................
B. Metil Ester .............................................................................................
C. Minyak Diesel..............
.................................................................
D. Biodiesel ..............................................................................................
.
.
.
.
Ill METODOLOGI .........................................................................................
A.
B.
C.
D.
E.
Bahan Dan Alat ................................................................................
Waktu Dan Tempat .........................................................................
Metode Penelitian ............................................................................
Proses Transesterifikasi .......................
.
.
................................
Rancangan Percobaan ..........................
.
..........................................
.
IV HASlL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
A . Karakteristik Minyak Goreng Bekas dari Beberapa Sumber ..................
B. Faktor Eksternal ......................
.
.
..........................................
B.1. Pengaruh rasio molar dan waktu reaksi pada proses
.
....
transesterifikasi minyak goreng bekas ..........................
8.2. Pengaruh suhu dan waktu reaksi pada proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ..............................................................
C. Faktor Internal .........................................................................
C.1. Pengaruh total senyawa polar terhadap proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ........................... .......................
C.2. Pengaruh kandungan senyawa peroksida terhadap proses
transesterifikasi minyak goreng bekas ....................................
C.3. Pengaruh kandungan asam lemak bebas terhadap proses
transesterifikasi minyak goreng bekas ...................................
C.4. Pengaruh kandungan air terhadap proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ......................................................
E. Karakteristik Metil Ester Untuk Biodiesel.......................................
.
.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
5.1 Kesimpulan ............................................................................
.................................................
5.2 Saran ....................
......
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman
Syarat mutu minyak goreng ....................................................................
Karakteristik minyak diesel
.....................................................................
4
19
.........
23
Sifat-sifat bahan bakar dari minyak nabati...................
.
.........................
25
Sifat biodiesel sawit dan standar biodiesel yang diperlukan (B 100)
Komposisi asam lemak (%blb) dari minyak goreng bekas yang diperoleh
dari beberapa sumber .................................................................... 36
Karakteristik mutu biodiesel ..........................................................
54
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
Halaman
2.
Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol (May &
Cheah, 2001) ........................ .
.
.......................................................
Diagram hasil pengolahan minyak beserta turunannya (Miyawaki, 1998).....
3.
Proses produksi metil ester (modifikasi Karosmanoglu, eta/., 1999)............. 30
4.
6.
31
Bilangan peroksida dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari
beberapa sumber ............................................................................
32
Kadar asam lemak bebas (ALB) dari minyak goreng bekas yang diperoleh
dari beberapa sumber ......................................................................
Kadar air dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari beberapa sumber.. 33
7.
Viskositas dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari beberapa sumber.
8.
35
Kandungan senyawa polar dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari
....................................................
beberapa sumber ....................
.
9.
Pengaruh rasio molar.substrat(metanol dan minyak goreng bekas, mlm)
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu reaksi
600C, laju pengadukan 300 rpm) ....................
.
.
............................ 37
5.
14
16
34
10. Pengaruh waktu reaksi pada proses transesterifikasi minyak goreng bekas
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu
reaksi 600C, laju pengadukan 300 rpm) ............................................. 38
11. Pengaruh interaksi antara rasio molar substrat dengan waktu reaksi
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu
reaksi 600C, laju pengadukan 300 rpm) .............................................. 39
12. Pengaruh rasio molar substrat terhadap kandungan asam lemak bebas
(ALB) pada produk transesterifikasi (suhu reaksi 600C, laju pengadukan
300 rpm, 120 menit) ....................
.
.............................................. 40
13. Pengaruh suhu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio substrat
minyak goreng bekas: metanol reaksi =7:1, laju pengadukan 300 rpm). ...... 4 1
14. Pengaruh waktu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap persentase
metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio molar substrat minyak
goreng bekas: metanol reaksi = 73, laju pengadukan 300 rpm)................ 42
15. Pengaruh suhu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap kandungan
ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:l;laju pengadukan 300 rpm; waktu
reaksi 120 menit) .................................
......
.............................. 43
Hubungan antara kandungan senyawa polar pada minyak goreng bekas
terhadap persentase ester dari metil ester minyak goreng bekas (rasio
molar substrat : 7:1; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40
menit) ..........................................................................................
Hubungan antara total senyawa polar (TSP) pada minyak goreng bekas
terhadap kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:1; suhu
700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) .......................
Hubungan antara kandungan senyawa peroksida pada minyak goreng
bekas terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi
(rasio molar substrat= 7:l; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu
reaksi 40 menit) .............................................................................
Hubungan antara kandungan senyawa peroksida pada minyak goreng
bekas terhadap kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:1;
suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) .................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio substrat= 7:1;
suhu 70%; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat = 7:1; suhu 700C; laju
pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) ......................................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
rendemen metil ester yang dihasilkan (rasio molar substrat = 7:1; suhu
700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) ........................
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio molar substrat
7:l; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..........
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap
kandungan ALB pada produk transesterifikasi (rasio molar substrat 7:1;
suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..................
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap rendemen
metil ester produk transesterifikasi (rasio molar substrat = 7:1; suhu 70%;
laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit).................... .... ......
Minyak goreng bekas (kiri) dan metil ester (kanan yang dibandingkan
dengan minyak solar Pertamina (tengah); Sumber minyak goreng bekas :
K : kantin; W : penjual pisang goreng; S3 : restoran cepat saji untuk
menggoreng kentang; S4 : restoran cepat saji untuk menggoreng ayam.....
DAFTAR LA'MPIRAN
.
No
Halaman
1.
Pengujian Sifat Fisiko Kimia Minyak dan Metil Ester
2.
Pengujian Sifat Biodiesel (ASTM)
3.
ANOVA
4.
Hasil Uji Lanjut dengan Uji Duncan
....................
......
......................
....
.........................
..................................................................................................
............................................................
65
68
70
73
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan bahan pangan yang digunakan sehari-hari oleh
masyarakat untuk memasak makanan. Makanan yang digoreng lebih digemari karena
mempunyai penampakan, rasa, flavor, dan tekstur yang lebih menarik daripada makanan
yang diolah dengan cara lain.
Biasanya minyak goreng tidak habis dalam sekali
pemakaian, terutama untuk penggorengan dengan cara deep frying (bahan pangan yang
digoreng terendam seluruhnya di dalam minyak). Selama ini, minyak goreng tersebut,
atau yang disebut juga dengan minyak jelantah tidak langsung dibuang, tetapi masih
digunakan kembali berulang-ulang. Hal ini dilakukan baik oleh industri makanan, jasa
boga, restoran ataupun ibu-ibu rumah tangga.
Selama penggorengan, minyak dipanaskan pada suhu tinggi dan dipengaruhi oleh
udara. Reaksi kompleks yang tidak diinginkan yang mengarah kepada kerusakan minyak
akan terjadi, seperti oksidasi, polimerisasi termal, hidrolisis, dan degradasi pigmen. Selain
itu warna minyak menjadi gelap dan timbul aroma tengik, bersamaan dengan
meningkatnya kandungan asam lemak bebas dan menurunnya kandungan asam lemak
tidak jenuh.
Minyak goreng bekas yang digunakan berulang kali dapat mengandung senyawa
peroksida, hidroperoksida, polimer, hidrokarbon, keton, epoksida, senyawa siklik, dan
senyawa-senyawa lain yang bersifat karsinogenik. Jumlah senyawa-senyawa ini semakin
meningkat dengan meningkatnya jumlah penggunaan berulang. Senyawa-senyawa
tersebut dapat mengganggu kesehatan tubuh seperti timbulnya penyakit kanker,
pengendapan lemak dalam pembuluh darah, menurunnya daya cerna lemak, iritasi saluran
pencernaan, pernbengkakan organ tubuh, depresi perturnbuhan, dan rnenyebabkan
kernatian pada hewan percobaan yang diberi pakan yang rnengandung rninyak yang telah
rusak (Ketaren, 1986).
Dengan rneningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, rnaka
penggunaan rninyak goreng secara berulang akan berkurang. Hal ini berdarnpak terhadap
rneningkatnya lirnbah rninyak goreng bekas. Konsurnsi rninyak goreng pada beberapa
industri di Indonesia yang rnenggunakan proses deep frying dalarn pengolahan produknya
adalah f 182 ribu ton (BPS, 1999). Menurut Hunter dan Applewhite, (1993) sebanyak
50% dari rninyak goreng yang dibelildigunakan dalarn industri pangan yang rnenggunakan
proses deep frying dibuang. Jika pola yang sarna digunakan juga di Indonesia,
diperkirakan lirnbah rninyak goreng bekas yang ada sebesar 91 ribu ton. Minyak goreng
bekas ini dapat dikurnpulkan dan ditransesterifikasi dengan rnetanol rnenghasilkan rnetil
ester asarn lernak dan gliserol sebagai sisa produk. Metil ester ini dapat dirnanfaatkan
sebagai bahan baku kosrnetik, deterjen, pelurnas, dan juga sebagai bahan bakar alternatif
atau yang lebih dikenal dengan biodiesel (Mittelbach, 1996).
Selarna ini rninyak goreng bekas sering digunakan kernbali untuk pakan hewan
dan kenggunaan lainnya selain pakan inedible (nonfeed), serta bahan bakar (Boyer, 1996).
Penggunaan rninyak nabati sebagai bahan baku biodiesellbiofuel yang bersifat rarnah
lingkungan, terutarna untuk rnengganti peranan petroleum sebagai bahan bakar,
rnengingat kelangsungan surnber daya alarn petrokirnia ini yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable). Negara-negara yang telah rnernproduksi dan rnenggunakan biodiesel
diantaranya negara-negara Eropa, Arnerika Serikat, dan Jepang.
Biodiesel bersih dalarn proses pernbakaran, bebas dari sulfur dan benzen
karsinogenik; dapat didaur ulang dan tidak rnenyebabkan akurnulasi gas rurnah kaca; tidak
toksik (toksisitasnya 10% lebih rendah dari toksisitas garam dapur) dan dapat didegradasi
(waktu degradasi hampir sama dengan gula). Biodiesel juga dapat digunakan langsung
atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples, 1998).
Karena potensi minyak goreng bekas sebagai bahan baku pembuatan metil ester
cukup besar, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana manfaat yang
dapat diambil dari minyak goreng bekas ini. Optimasi proses diharapkan dapat
meningkatkan produksi metil ester sebagai bahan bakar alternatif atau biodiesel dari
minyak goreng bekas. Penggunaan bahan ini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dan
juga dapat mengatasi masalah limbah minyak goreng yang dibuang ke perairan.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimasi beberapa parameter proses
transesterifikasi minyak goreng untuk menghasilkan metil ester. Beberapa faktor internal
dari minyak goreng bekas dilihat pengaruhnya terhadap proses transesterifikasi minyak
goreng bekas. Selanjutnya dilakukan pengujian karakter metil ester dari minyak goreng
bekas yang akan digunakan sebagai biodiesel.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menanggulangi masalah
pembuangan limbah minyak goreng bekas ke perairan oleh beberapa industri makanan
cepat saji, industri rumah tangga, industri jasa boga, dan hotellresolt, serta
memanfaatkannya sebagai bahan baku metil ester untuk biodiesel.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Minyak Selama Proses Penggorengan
Penggunaan minyak goreng sangat luas dan populer di Indonesia, dimana
konsumen lebih menyukai flavor, penampakan, dan tekstur dari makanan yang diolah
dengan proses penggorengan. Lemaklminyak dapat memberikan cita rasa enak pada
bahan.pangan yang digoreng, karena banyak komponen senyawa cita rasa merupakan
turunan dari lemaklminyak. Bahan pangan mengalami beberapa perubahan selama proses
penggorengan, seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, penguapan air, dan perubahan
tekstur oleh karena minyak yang diserap selama penggorengan. Mutu minyak goreng
dipengaruhi oleh absorpsi minyak dan jenis produk sisa atau residu yang diabsorpsi oleh
minyak tersebut (Orthoefer and Cooper, 1996).
Tabel ISyarat mutu minyak goreng
Karakteristik
Nilai
Satuan
Warna
Normal, merah, dan kuning
Bau dan rasa
-
Normal
Titik'leleh
OC
Maksimum 24
I Air
I Asam lemak bebas
Bilangan lod
I
I
% blb
1 0.05 - 0.1
% blb
I Maksimum 0.3
g lod I100 g minyak
Minimum 56
I
I
I
1
Sumber : SNI 01-0018-1998
Selama penggorengan, bahan pangan dalam minyaWlemak panas akan
mengalami setidaknya tiga perubahan drastis yang saling berhubungan. Perubahanperubahan yang terjadi tergantung pada jenis bahan pangan dan minyak yang digunakan,
laju dan karakteristik operasi penggorengan, suhu, frekwensi pemanasan dan
pendinginan, derajat kejenuhan minyak, cahaya, dan penggunaan filter. Ketiga perubahan
tersebut adalah perubahan hidrolitik karena adanya air dalam bahan pangan; perubahan
oksidatif karena oksigen atmosferik yang memasuki minyak dari permukaan wadah; dan
terakhir polimerisasi termal karena suhu tinggi (f1800C) (Orthoefer and Cooper, 1996).
Selama penggorengan, minyak terdegradasi terutama melalui oksidasi termal dan
membentuk senyawa dekomposisi volatil dan non volatil. Senyawa dekomposisi volatil
berperan terhadap flavor dari produk pangan yang digoreng dan pengukuran senyawa
dekomposisi non volatil merupakan metode yang baik untuk mengukur kemunduran mutu
minyak goreng. Parameter yang umum digunakan untuk mengukur kemunduran mutu
minyak tersebut antara lain total senyawa polar, asam lemak bebas, perubahan warna dan
konsentrasi senyawa polimer. Pengukuran seperti konsentrasi total senyawa polar (2527%) atau senyawa polimer (-40 atau c16%), atau uji fisik seperti titik asap (r1700C),
sering digunakan dengan pengukuran sensorik untuk menentukan kapan minyakllemak
dibuang (Melton ef a/., 1994).
Selama hidrolisis, terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan asam lemak
bebas, monogliserida, digliserida. Senyawa-senyawa ini mempunyai polaritas dan berat
molekul yang lebih rendah dari trigliserida Degradasi oksidatif dapat terjadi dalam
trigliserida rantai tidak jenuh, dimana setidaknya satu dari tiga radikal asil akan berubah.
Suhu tinggi berperan besar dalam proses oksidasi serta pembentukan dimer dan polimer
oksidatif dan non-oksidatif. Asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi dan berubah
suhunya daripadajika tereseterifikasi dengan gliserol (Dobarganes & Marquez, 1996).
Perubahan oksidatif pada minyak akan menghasilkan monomer teroksidasi, dimer
dan polimer oksidatif serta non polar, serta senyawa volatil (aldehid, keton, alkohol, asam,
dan sebagainya). Di sisi lain, perubahan termal akan menghasilkan monomer siklik, dimer
dan polimer melalui polimerisasi. Monomer siklik berpotensi membahayakan kesehatan,
diawali dari siklisasi intra-molekuler asam lemak tidak jenuh Cle (Quere & Jean, 1996)
Perubahan-perubahan ini dapat dikenali secara fisiko-kimia dengan :
1. Pembentukan aroma dan rasa pada minyak yang dipanaskan hingga suhu tinggi
ataupun bahan pangan yang digoreng didalamnya.
2. Peningkatan viskositas dan densitas akibat reaksi polimerisasi.
3. Penggelapan yang ditandai dengan adanya senyawa karbonil tidak jenuh atau
senyawa non-polar yang larut dalam minyak.
4. Kecenderungan untuk membentuk buih yang juga berhubungan dengan hasil
polimerisasi dan senyawa ampofilik bahan pangan.
5. Peningkatan spesific extinction pada 232 dan 270 nm dari ikatan rangkap terkonjugasi
dan senyawa karbonil a, P tidak jenuh.
6. Perubahan komposisi asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh.
7. Peningkatan bilangan asam karena reaksi hidrolitik.
8. Penurunan bilangan iodin karena berkurangnya ikatan ganda oleh reaksi polimerisasi,
siklisasi, dan sebagainya.
Lemak dapat memberikan flavor yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan
pada produk pangan.
Senyawa dekomposisi utama dalam minyak jagung yang
mengandung sistein, prolin, dan laktosa adalah 2,4-decadienal yang merupakan produk
dekomposisi linoleat yang terjadi melalui 9-hidroperoksida. Flavor dan bau senyawa ini
disebut sebagai aroma "deep fried'. Senyawa degradatif lainnya yang mempengaruhi
flavor dan bau adalah hexanal, 2-pentilfuran, dan 4,5-epoxy-2 cisltrans decenal (Orthoefer
and Cooper, 1996).
Warna minyak dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam bahan pangan yang
digoreng. Komponen tersebut antara lain karbohidrat dan gula (glukosa dalam madu,
dekstrosa dan sirup jagung), fosfat, senyawa sulfur dan logam-logam yang akan bereaksi
dengan lemak (minyak) atau produk turunannya. Gula tidak larut dalam minyak sehingga
saat terjadi karamelisasi gula yang berikatan dengan air dalam bahan pangan yang
digoreng yang melayang-layang dalam minyak atau membentuk deposit saat minyak
didiamkan (Jacobson, 1991).
Reaksi oksidatif akan membentuk hidroperoksida, asam dienoat terkonjugasi,
epoksida, hidroksida, dan keton. Senyawa-senyawa ini akan berubah menjadi fragmen
kecil dan menghasilkan cross-linking yang mengawali pembentukan trigliserida dimerik
atau polimerik tinggi.
Selain itu oksidasi juga menghasilkan beberapa senyawa
dekomposisi yang volatil dan non volatil seperti oksipolimer dan oksimonomer (Orthoefer &
Cooper, 1996).
Peristiwa oksidasi yang terjadi sebelum minyak menjadi tengik dengan mengikat
oksigen secara lamban dan minyak mengalami perubahan flavor disebut dengan periode
induksi. Kemudian kecepatan mengikat oksigen semakin bertambah dan di dalam minyak
terbentuk peroksida yang dipercepat melalui mekanisme pembentukan radikal bebas
sampai pada jumlah maksimum dan kemudian menurun. Setelah penurunan peroksida,
pengikatan oksigen masih terus berlangsung dan terbentuklah senyawa aldehid, keton,
hidrokarbon, alkohol, dan senyawa lain yang mudah menguap (Belitz & Grosch, 1999).
Kecepatan oksidasi dipengaruhi oleh suhu, kecepatan penggantian minyak,
permukaan yang terkena udara, adanya logam prooksidan seperti besi dan tembaga,
adanya antioksidan, suhu tinggi, adanya silikon anti buih, dan mutu awal minyak goreng
tersebut. Alkana, asam lemak, keton, ester oxopropil, akrolein dan C02 ditemukan setelah
pemanasan triasilgliserol pada suhu 1800C selama 1jam (Orthoefer and Cooper, 1996).
Selain proses oksidasi, polimerisasi juga dapat merusak minyak.
Reaksi
polimerisasi dipercepat dengan suhu tinggi dalam penggorengan dan reaksi yang
melibatkan senyawa radikal dan non radikal. Polimerisasi memecah ikatan-ikatan karbon
asam lemak dengan ketiadaan oksigen yang akan membentuk asam lemak siklik. Asam
dimerik dan trigliserida merupakan hasil ikatan antara asam lemak dengan beberapa
trigliserida atau antara dua molekul trigliserida sendiri. Polimerisasi ini akan menyebabkan
buih dan gumming pada minyak. Senyawa polimer yang terbentuk akan memberikan rasa
pahit yang akan diserap oleh bahan pangan yang digoreng. Senyawa berbobot molekul
tinggi berperanan terhadap perubahan minyak goreng seperti peningkatan viskositas dan
buih, asam lemak bebas, bilangan karbonil, kandungan hidroksil, dan bilangan saponifikasi
(Jacobson, 1991).
Dengan adanya oksigen, senyawa dekomposisi utama adalah hidroperoksida alkil
dan dialkil kombinasi yang selanjutnya mendekomposisi membentuk radikal oksi dan
peroksi. Kombinasi keduanya akan membentuk oksidimer dan polimer yang mengandung
grup hidroperoksida, hidroksida, epoksida, dan karbonil (Perkins dan Erickson, 1996).
Reaksi hidrolisis antara air dengan minyak goreng akan meningkatkan kandungan
asam lemak bebas dan sebagian ester gliserol, digliserida, monogliserida. Kecepatan
hidrolisis ini dipengaruhi oleh kelembaban atau jumlah air yang terdapat dalam bahan
pangan yang digoreng, suhu penggorengan di mana semakin tinggi suhu penggorengan
akan menyebabkan asam lemak bebasnya semakin tinggi, kecepatan perubahan lemak,
dan akumulasi bahan pangan yang terbakarlhangus yang akan mempercepat
pembentukan asam lemak bebas (Perkins, 1996).
Lebih lanjut Perkin (1996) menyatakan bahwa asam lemak bebas dalam minyak
goreng akan mengkatalisis hidrolisis trigliserida lebih lanjut. Jumlah asam lemak bebas
yang terbentuk berbanding langsung dengan jumlah uap yang dilepaskan oleh bahan
pangan kedalam minyak. Penggorengan bahan pangan berkadar air tinggi dalam jumlah
besar dapat mernpercepat pembentukan asam lemak bebas. Hidrolisis asam lemak tidak
jenuh seperti asam oleat dan asam linoleat, atau asam lemak rantai pendek berlangsung
lebih banyak, yang mungkin disebabkan oleh kelarutannya dalam air yang lebih besar.
Minyak goreng bekas atau minyak jelantah berbahaya untuk dikonsumsi karena
minyak tersebut telah banyak mengalami kerusakan akibat perubahan dekomposisi dari
komponen yang ada. Marquez dan Dobarganes (1996) menyatakan bahwa sifat-sifat yang
merusak kesehatan yang terdapat pada minyak jelantah adalah kerusakan vitamin,
menghambat aktivitas enzim, berpotensi dalam menyebabkan mutasi atau iritasi
gastrointestinal.
Minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih mudah untuk diabsorpsi
oleh usus dibandingkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh hasil hidrolisis
minyak sebagai akibat dari pemanasan. Minyak nabati yang mengandung asam oleat,
asam linoleat, atau isomer-isomer dari asam tersebut dapat dicerna oleh tubuh dengan
nilai cerna mencapai 94%, sedangkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh yang
terbentuk selama proses pemanasan akan sulit dicerna tubuh atau tidak terserap oleh
tubuh dan dapat mengakibatkan artherosclerosis (Marquez & Dobarganes, 1996).
B. Metil Ester
lnteresterifikasi mengarah pada reaksi antara minyakllemak atau bahan lain yang
tersusun atas ester asam lemak dapat bereaksi dengan asam lemak, alkohol atau ester
lain dengan mengganti grup asam lemak untuk menghasilkan ester baru. Reaksi antara
ester dengan asam disebut asidolisis, reaksi antara ester dengan alkohol disebut
alkoholisis dan reaksi antara satu ester dengan ester lain disebut transesterifikasi.
Produksi metil ester dapat dilakukan melalui transesterifikasi minyak tumbuhan
dengan metanol ataupun esterifikasi langsung asam lemak hasil hidrolisis minyak
tumbuhan dengan metanol. Namun transesterifikasi lebih intensif dikembangkan, karena
proses ini lebih efisien dan ekonomis.
Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar yang merupakan
turunan dari minyak dan lemak selain asam lemak. Metil ester asam lemak juga
merupakan prcsduk antara untuk memproduksi sejumlah oleokimia turunan lemak seperti
alkohol-asam lemak, alkanolamida, a-sulfonat metil ester, isopropil ester, poliester sukrosa
dan lain-lain. Produksi metil ester di dunia pada tahun 1995 sebesar 600.000 ton,
+ 80%
dikonversi menjadi fafty alcohol, dan 70% dari fatty alcohol diproses lebih lanjut menjadi
produk turunannya, khususnya surfaktan (Ahmad, ef al., 2001). Metil ester juga dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan sabun metalik, ditambahkan pada sabun cuci sebagai
agen aktif, bahan pembantu dalam pengolahan karet, produk farmasi, dan alternatif
pengganti atau pencampur bahan bakar motor diesel (Hui, 1996).
Penggunaan metil ester sebagai bahan baku untuk produk oleokimia dasar atau
turunannya memiliki beberapa keuntungan, seperti produk akhir dengan tingkat kemurnian
tinggi, pengatwran kondisi yang lebih mudah selama sintesis dan tidak memerlukan bahanbahan yang terlalu mahal untuk konstruksi, lebih mudah untuk didistilasi fraksinasi, mudah
dalam penanganan dan transportasi, serta mudah didegradasikan (Hui, 1996). Akan tetapi
ada beberapa kerugian dalam penggunaan metil ester ini terutama dari minyak asal
tumbuhan yaitu biaya produksinya yang tinggi, bersaing dengan penggunaannya sebagai
pelumas dan untuk konsumsi manusia sendiri (Miyawaki, 1998). Selain itu penggunaan
metanol yang toksik yang dapat terserap oleh kulit dan menyebabkan kerusakan saraf
dengan penggunaan yang lama. Jika terkena ke mata dapat menyebabkan kebutaan dan
dapat berakibat fatal. Oleh karena itu diperlukan sistem ventilasi udara yang baik dan
sarung tangan untuk mencegah hal-ha1 yang tidak diinginkan. Selain itu penggunaan
katalis yang toksik yang dapat membakar kulit jika tersentuh dan juga berbahaya jika
terhirup. Pemanfaatan minyak goreng bekas sebagai bahan baku dapat dipikirkan untuk
pemanfaatan metil ester sebagai bahan bakar dan oleokimia.
Senyawa-senyawa oleokimia dasar turunan dari lemak dan minyak adalah asam
lemak, alkohol lemak dan metil ester asam lemak, amino lemak dan gliserol. Pertumbuhan
produksi oleokimia dasar ini di Asia selama 25 tahun terakhir meningkat dua kali lipat sejak
tahun 1990, terutama di Malaysia dan Indonesia yang mencapai 40% dari produksi dunia
dan melebihi total produksi Eropa Barat. Volume produksi oleokimia terbesar adalah asam
lemak, kemudian diikuti oleh metil ester asam lemak (Miyawaki, 1998).
Metil ester digunakan sebagai produk industri dikarenakan beberapa faktor
(Miyawaki, 1998, Derksen & Cuperus, 1996 dan Gervasio, 1996), antara lain :
1. Pemakaian energi untuk memproduksi metil ester melalui proses transesterifikasi lebih
rendah dibandingkan untuk memproduksi asam lemak.
2. Transesterifikasi tanpa menggunakan air, maka gliserin yang dihasilkan bebas air,
sedangkan gliserin dari hidrolisis lemak mengandung sejumlah besar air.
3. Jika dibutuhkan destilat fraksional, destilasi menggunakan ester lebih efisien
dibandingkan dengan asam lemak.
4. Metil ester dapat diproses dengan peralatan karbon baja dengan kondisi yang lebih
ringan dibandingkan peralatan stainless steel mahal untuk memproduksi asam lemak.
5. Biaya prodwksi turunan asam lemak lainnya seperti alkohol ester, alkohol asam lemak,
dan ester sukrosa lebih rendah menggunakan metil ester sebagai bahan baku
dibandingkan dengan asam lemak sebagai bahan baku.
6. Metil ester lebih stabil dan tidak menyebabkan korosi, sehingga biaya penanganan
dan perawlatannya tidak bagitu mahal, warna lebih disukai, dapat dimurnikan dan
didestilasi pada suhu rendah.
Dalam bentuk metil ester maka berat molekul, titik beku, titik didih, dan viskositas
minyak akan menjadi lebih rendah. Disamping itu senyawa gliserin yang merupakan
produk samping hasil degradasi minyak tumbuhan dapat dipisahkan pada proses
pembuatan metil ester, sehingga tidak menyebabkan terbentuknya deposit pada mesin
jjika digunakan sebagai bahan baku alternatiflbiodiesel.
Proses transesterifikasi minyak atau lemak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
suhu, lama hidrolisis, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, dan
perbandingan metanol-asam lemak (Hui, 1996). Proses transesterifikasi akan berlangsung
lebih cepat bila suhu dinaikkan mendekati titik didih metanol. Semakin tinggi kecepatan
pengadukan akan meningkatkan pergerakan molekul dan menyebabkan terjadinya
tumbukan. Pada awal terjadinya reaksi, pengadukan akan menyebabkan terjadinya difusi
antara minyak atau lemak sampai terbentuk metil ester (Gambar 1). Dengan semakin
banyak metil ester yang terbentuk menyebabkan pengaruh pengadukan semakin kecil,
hingga terbentuk kesetimbangan.
0
1I
CH - OCR
Katalis
CH-OCR
+
Minyak~Trigliserida
3ROH
Metanol
______,
RCOCH3
Metil ester
+
CH - OH
Gliserol
Keterangan : R = gugus alkil asam lemak
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol
(May and Cheah, 2001)
Pemakaian metanol berlebih akan mendorong reaksi ke arah pembentukan metil
ester dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekul-molekul
metanol dengan minyak yang bereaksi. Proses tumbukan akan efektif apabila molekulmolekul pereaksi memiliki kecocokan satu sama lain. Reaksi akan efektif hanya pada
komponen-komponen trigliserida dan asam lemak bebas (Liu dan Lampert, 1999).
Dalam proses transesteritikasi diperlukan katalis untuk mempercepat laju
pembentukan produk. Biasanya digunakan katalis berupa' asam (HCI, H2S04) atau katalis
basalalkali (NaOCH3, KOH, dan NaOH) (Hui, 1996). Jumlah katalis yang berlebih akan
mendorong pembentukan produk ester (reaksi ke arah kanan) (Morrison dan Bay, 1992).
Proses dengan menggunakan katalis basa seperti sodium hidroksida umumnya
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan katalis asam dikarenakan reaksi
berlangsung searah (Foglia, et a/., 1996). Namun pemakaian katalis basa hanya
berlangsung sempurna bila minyak atau lemak dalam kondisi netral dan tanpa keberadaan
air. Selain itu, dapat terbentuk sabun dimana katalis hilang karena penyabunan dan
terbentuk gel yang dapat menghambat proses pemisahan.
Transesterifikasi minyakllemak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu
atau dua tahap proses, tergantung pada mutu awal minyakllemak. Minyakllemak dengan
kandungan asam lemak bebas lebih dari 5% dapat ditransmetilasi dengan menggunakan
katalis asam untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi esternya. Minyakllemak
netral tersebut kemudian ditransesterifikasi lebih lanjut dengan menggunakan katalis basa
(NaOH).
Jika minyakllemak mempunyai kandungan asam lemak bebas rendah,
transesterifikasi dapat dilakukan dalam satu tahap. Proses transesterifikasi secara normal
dilakukan pada suhu 1000C atau kurang (Gervasio, 1996).
Esterifikasi asam lemak dilakukan dengan menggunakan katalis asam seperti
asam hidroklorik, asam sulfurik, atau asam p-toluene sulfonik. Reaksi merupakan reaksi
setimbang dan metanol berlebih dibutuhkan menuju penyelesaian reaksi. Metil ester kasar
dapat dimurnikan, difraksinasi parsial atau fraksinasi total menjadi metil ester murni
menggunakan proses yang sama dengan produksi asam lemak.
Reaksi transesterifikasi dengan rasio molar metanol-asam lemak 6:1, pada suhu
600C, laju pengadukan 300 rpm selama dua jam dan katalis NaOH 2-4% memberikan
rendemen metil ester 80% (Noureddini & Zhu, 1997). Taufiqurrahman (1998)
menghasilkan rendemen metil ester sampai 95% dengan katalis dan suhu yang sama
selama 12 jam.
Metil ester dapat diproduksi dari transesterifikasi langsung trigliserida dengan
metanol tetapi metil esternya masih mengandung banyak campuran ester yang
berhubungan dengan residu asam lemak dalam trigliserida. Oleh karena itu diperlukan
pemurnian minyak karena adanya asam lemak tidak bebas, fosfolipid, residu protein dan
garam-garam logam (Scheur, et a/., 1995).
Konversi minyak kasar menjadi metil ester dapat dicapai pada skala besar
(sampai 30% asam bebas) dalam skala pilof plant (500kgqam). Reaksi terjadi dalam dua
tahap, yakni esterifikasi asam lemak bebas pada suhu 80 k 5% dengan menggunakan
katalis asam padat seperti resin penukar ion sulfonasi, kemudian diikuti oleh metanolisis
gliserol menggunakan katalis alkali (NaOH) pada suhu 70 k 5OC (Gunstone, ef al, 1995).
Metil ester asam lemak dibuat oleh Tranggono, ef al. (2000) dengan terlebih
dahulu memanaskan 750 g distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) sampai suhu 950C
lalu dimasukkan ke dalam reaktor berupa labu leher tiga (dilengkapi dengan pengaduk,
termometer dan pendingin balik) yang tercelup dalam penangas air. Ke dalam reaktor
dimasukkan campuran 14.255 g asam sulfat pekat dengan 250 ml metanol (berat H2S04 =
1.5% berat total DALMS plus metanol). Reaksi dibiarkan berlangsung selama 60 menit
pada suhu 700C. Ester metil yang terbentuk masih bercampur dengan residu asam.
Dekantasi dilakukan untuk memisahkan bagian bawah yang mengandung asam dan air
dengan bagian atas yang mengandung sisa metanol dan ester metil. Sisa metanol dapat
dihilangkan dengan cara penguapan pada suhu 70%.
Minyakl
lemak
L_I
Carotene
1 Metil ester
!+a
Sulfonasi
Turunan lain
Gambar 2. Diagram hasil minyak beserta turunannya (Miyawaki, 1998)
C. Minyak Diiesel
Bahan bakar fosil mempunyai kandungan sulfur, nitrogen dan metal yang tinggi
yang dapat menyebabkan hujan asam dan efek rumah kaca. Minyak diesel selama ini
diperoleh dari penyulingan minyak bumi (petroleum) atau minyak mentah (crude oil). Sifatsifat minyak diesel yang mempengaruhi penerimaan (ASTM D 975-92a, 1993) adalah:
(1)
Kemudahan menguap (volatilitas) bahan bakar diesel, dimana 90% dari bahan bakar
yang menguap pada suhu penyulingan.
(2)
Sisa karbon (carbon residue), yaitu karbon yang tertinggal setelah penguapan dan
pembakaran minyak (sisa karbon yang diizinkan adalah 0.1%)
(3)
Viskositas fluida yang merupakan tahanan alir atau gesekan dalam aliran fluida
(2.4-6.4 mm21cc pada suhu 37.70C). Viskositas dari bahan bakar diesel seharusnya
tidak terlalu tinggi atau rendah. Jika viskositas tinggi, maka tekanan tinggi secara
berlebihan diperlukan oleh sistem injeksi, jika viskositas terlalu rendah lebih banyak
terjadi perawatan dan reparasi terhadap saluran injeksi.
(4)
Pour point merupakan suhu terendah dimana minyak akan berhenti mengalir atau
membeku. Parameter ini penting dalam pengaruhnya terhadap starting dalam
keadaan dingin dan untuk laju bergeraknya minyak dari tangki ke motor (Berger, et
a/., 1963). Untuk minyak diesel dengan cetane number 45, pour point-nya -1O0C,
sedang cetane number 500C, pour point-nya -1 5% yang merupakan suhu pour point
maksimum.
(5)
Kandungan sulfur. Senyawa-senyawa sulfur dalam bahan bakar dapat
menyebabkan korosi pada bagian-bagian sistem pengeluaran (exhaust).
Kandungan sulfur dalam minyak diesel maksimum diperbolehkan adalah 0.05%.
Sulfur dalam bahan bakar akan menghasilkan gas-gas korosi yang kuat yang akan
mengentralkan bahan bakar (ASTM, 1993).
(6) Kotoran (maksimum 0.01%) yang merupakan sumber kerusakan (aus) pada
mesinlmotor.
(7)
Air dan endapan. Kandungan air dan sedimen yang diijinkan dalam minyak diesel
adalah 0.05%. Adanya air, khususnya air garam, dalam minyak diesel akan
menyebabkan mesin diesel aus yang akhirnya akan menyebabkan korosi.
(8)
Titik nyala (flash point) yaitu suhu paling rendah untuk penyalaan bahan bakar
(minimum 1500F atau 65.5OC) untuk terbakar dirnana uapnya terbakar sesaat pada
waktu kontak dengan nyala (flame) dan mati dengan cepat (seketika).
(9)
Keasaman yang akan merusak permukaan metal (diharapkan tidak mengandung
asam-asam bebas).
(10) Kualitas pembakaran (ignition quality) yang menentukan kemampuan bahan bakar
dalam ha1 pembakaran waktu diinjeksikan ke dalam udara bertekanan dalam silinder
motor diesel, terhadap sfarf motor dalam keadaan dan suhu dingin serta kebisingan
motor, juga waktu penyalaan singkat. Kualitas pembakaran diukur dengan angka
cefane yaitu persentase cefane (C16H34) terhadap volume total campuran antara
cetane dengan alfametil-naptalene (CilHio). Cefane number ditentukan oleh
perbandingan minyak yang diuji dengan bahan bakar standar dalam suatu motor
khusus. Parameter ini berhubungan dengan waktu penundaan pembakaran bahan
bakar dalam ruang pembakaran. Waktu penundaan pembakaran yang lebih singkat
mempunyai cetane number yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya. Cetane number
diharapkan setinggi mungkin untuk minyak diesel, tapi umumnya bervariasi antara
40-50 (Foglia, ef a/., 1996).
Tabel 2. Karakteristik minyak diesel *
Karakteristik
Flashpoint OC, min
Air dan sedimen, % volume, maks recovered
Minimum
Maksimum
% Massa Abu, maksimum
% Massa Sulfur, maksimum
+
Kecepatan korosi strip tembaga maks. 3 jam (50°C)
Cetane number, min.
1 sifatberikut harus ada
1. cetane indeks, minimum
2. aromafisifas, % Volume, maksimum
Cloudpoint, OC, maksimum
Ramsbottom Carbon Residu pada residu distilasi lo%,
% massa, maksimum
Metode uji
ASTM
D 93
D 1796
Grade Sulfur
rendah No. 1-D
38
0.05
-
288 (550)
0.01
0.05
Grade Low
sulfur No. 2-D
52 (125)
0.05
282D
338
0.01
0.05
D 482
D 2622
D 129
D 130
D 613
-
-
NO. 3
40
NO. 3
40
D 976 1D 4737
D 1319F
D 2500
D 524
40
35
I
0.15
40
35
I
0.35
Grade
No. 1-DC
38
0.05
Grade
No. 2-DC
52
0.05
282D
288 (550) 338
0.01
0.01
Grade
NO.4-DC
55
0.50
-
0.01
-
-
-
0.50
NO. 3
40
0.50
NO. 3
40
2.00
40
-
-
-
-
I
0.15
I
0.35
-
....
I
:grade yang mengandung sejumlah 1,4-di alkyl aminoanthraquinone (blue dye), jadi keberadaannya merupakan penampakan yang terlihat
: Saat cloud point PC-12% khususnya, viskositas minimum pada 40% adalah 1.7 mm2ldetik dan minimum 90% suhu recovery tercapai
: batas sulfur lain dapat diaplikasikan dalam area terpilih di Arnerika Serikat dan negara lain (lebih diharapkan metode D 2622)
: Tidak realistik untuk spesifik sifat suhu rendah yang yang akan menjamin keamanan operasi pada seluruh kondisi ambient
* Sumber : ASTM D 975-92a (1993)
D. Biodiesel
Biodiedel secara kimia didefinisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari
minyakllemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau minyak goreng bekas.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari
sulfur dan ben2ten karsinogenik; dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas
rumah kaca; tidak toksik (toksisitasnya 10% lebih rendah dari toksisitas garam dapur);
dapat didegradasi (waktu degradasi hampir sama dengan gula).
Biodiesel dapat
digunakan langsung atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples, 1998).
Salah satu hambatan dalam komersialisasi penggunaan biodiesel adalah biaya
operasi yang tinggi. Hal yang memungkinkan pengembangan biodiesel ini adalah aspek
ramah lingkungannya (Muniyappa, et al., 1996).
Kendala lain dalam penggunaan minyak nabati sebagai biodiesel adalah
viskositasnya yang tinggi yakni 10 kali viskositas minyak diesel. Tingginya viskositas akan
mengakibatkan rendahnya atomisasi bahan bakar, pembakaran dari fuel injector, ring
carbonization, dan akumulasi bahan bakar dalam minyak pelumas. Teknik yang paling
sering digunakan untuk mengatasi tingginya viskositas ini dapat dilakukan dengan
transesterifika$iyang dapat menghasilkan metil ester dengan viskositas yang lebih rendah
(2 kali minyak diesel no. 2) (Foglia, et a/., 1996). Tujuan dari transesterifkasi adalah untuk
memecah dan menghilangkan gliserida; menurunkan boiling, pour dan flash point minyak
serta viskositas minyak. Viskositas dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak
tereaksikan. $elain itu kita dapat memanfaatkan gliserin untuk industri kimia (industri
sabun dan defierjen) (Mittelbach, 1996).
Walaupun viskositas produk ester masih relatif tinggi, tapi bahan bakar biodiesel
masih dapat digunakan dengan baik pada daerah dengan udara yang hangat. Daya aliran
dari biodiesel tergantung pada komposisi asam lemak atau bilangan iodin biodiesel
tersebut (ketitlakjenuhan minyak nabati). Minyak dengan bilangan iodin yang tinggi
menghasilkan ester dengan daya aliran dan pemadatan pada suhu yang lebih rendah.
Contohnya minyak sawit mempunyai bilangan iodin sebesar 52 dan esternya dengan pour
poinf 15OC mwlai memadat pada suhu tersebut Minyak rapeseed dengan bilangan iodin
lebih dari 90 menghasilkan metil ester dengan pour poinf pada suhu 4%. Akan tetapi
tingginya pour poinf pada metil ester dari minyak sawit dapat diturunkan dengan
menambahkan senyawa penurun pour point atau dengan menambahkan dengan pelarut
lain (Schafer, 1995).
Sifat tisika kimia biodiesel mirip dengan bahan bakar diesel. Bahan bakar fosil
mempunyai klandungan sulfur, nitrogen dan metal yang tinggi dan dapat menyebabkan
hujan asam dan efek rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa
benzene sehingga lebih ramah lingkungan dan mudah terurai di alam. Kandungan energi,
viskositas dan perubahan fase relatif sama dengan bahan bakar diesel yang berasal dari
petroleum. Mesin dengan bahan bakar biodiesel menghasilkan partikulat, hidrokarbon dan
karbon monoksida yang lebih rendah daripada bahan bakar diesel biasa. Emisi NOxjuga
lebih tinggi daripada mesin diesel dengan bahan bakar diesel (Tat, ef a/., 2000).
Kandungan panas dari berbagai minyak nabati kira-kira 90% dibandingkan dengan
minyak diesel No. 2 (bahan bakar diesel untuk transportasi yang biasanya digunakan
sebagai referensi untuk bahan bakar diesel dari minyak nabati). Umumnya panas
pembakaran akan meningkat dengan meningkatnya panjang rantai (May& Yoo, 2001).
Daya mesin biodiesel (118.000 BTUs) hampir sama dengan daya mesin minyak diesel
(130.500 BTUs) sehingga engine farque dan horsepower
dengan konsumsi bahan bakar yang sama.
21
diperoleh
Perbedaan utama antara minyak diesel (petroleum) dengan biodiesel adalah
kandungan oksigen pada minyak diesel yang hanya 10-11% dari biodiesel. Oksigen dapat
merubah stoikiometri proses pembakaran sehingga menghasilkan NOx lebih banyak.
Parameter mutu biodiesel dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu parameter untuk
menguji minyak diesel dan yang kedua adalah parameter yang berhubungan dengan
komposisi kimia dan kemurnian metil ester. Parameter seperti densitas, cefane number,
dan kandungan sulfur dipengaruhi oleh minyak nabati yang digunakan dan tidak
dipengaruhi oleh metode produksi ataupun tahap pemurniannya (Mittelbach, 1996).
Cefane number biodiesel dari minyak nabati segar biasanya lebih tinggi dari
minyak diesel yang dapat mempercepat waktu pembakaran setelah minyak diinjeksikan
kedalam silinder (Tat, et a/., 2000). Cefane number dapat diduga dengan perhitungan
cetane index dengan empat variabel persamaan dari densitas dan pengukuran suhu.
Cetane index digunakan karena keterbatasan sampel yang digunakan dan keterbatasan
dalam pengujiah bahan bakar terhadap mesin diesel (ASTM D 4737-96a).
Flash poinf tergantung pada kandungan metanol. Flash poinf biodiesel lebih tinggi
dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi, dan toksisitas rendah, karena biodiesel
tidak mengandung hidrokarb
BEKAS UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
Oleh :
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
99235 1 IPN
PROGRAM STUD1 ILMU PANGAN
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
TRANSESTERIFICATION OF USED FRYING OIL
FOR PRODUCING METHYL ESTER
Under Supervision of Tien R. Muchtadi, Sugiyono and Jenny Elisabeth
ABSTRACT
The increasingly public awareness about food safety on used frying oil and the
increasingly serious environmental destruction have made biodiesel from used frying oil to
become an alternative fuel for replacing diesel fuel position in most conventional diesel
engines. Transesterification of used frying oil with methanol, in the presence of 1% sodium
hydroxide catalyst (base on weight of oil) was applied in this work.
Conditions producing the highest concentrations of methyl ester were molar ratio
1:7 (used frying oillmethanol), reaction time 10 minutes, temperature 60%. In order to have
a good result of transesterification reaction, the used frying oil should have i; 4% free fatty
acid and I 7% water content. Total polar content (I29,7%) and peroxide value (I32.59
meqlkg) didn't affect transesterification reaction. Most of the biodiesel characteristics (such
as density, viscosity, cloud point, flash point, cetane index, Conradson carbon residue, water
& sediment, ash content, and free fatty acid and fatty acid composition) that achieved were
in accordance with those obtained for biodiesel standard (ASTM PS 121).
,
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS
UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
Adalah benar merupakan hasil karya Saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2002
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
Nrp : 9923511PN
TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS
UNTUK PRODUKSI METlL ESTER
MERY TAMBARIA DAMANIK AMBARITA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi llmu Pangan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
: TRANSESTERlFlKASl MINYAK GORENG BEKAS UNTUK PRODUKSI
Judul
METlL ESTER
Nama
: Mery Tambaria Damanik Ambarita
NRP
: 99235
Program Studi
: llmu Pangan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Tien R. Muchtadi, MS.
Ketua Komisi
~ rlr..
Anggota
~e\;;yEi:;beth,
MS.
Mengetahui :
2. Ketua Program Studi llmu Pangan
ur Program Pasca Sarjana
PI.
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS.
Tanggal lulus 5 Juni 2002
- .
e
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, 10 Desember 1975 dari pasangan
R. 0.Damanik dan T. Sihombing (+), sebagai putri ketiga dari enam bersaudara.
Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas dari SMAN I
Pematangsiantar pada tahun 1994 dan pada tahun yang sama diterima di Jurusan
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan, lnstitut Pertanian
Bogor. Pada bulan Pebruari 1999, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat
sarjana (SI).
Penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi llmu Pangan, Program
Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor dengan program khusus Rekayasa Proses Pangan.
Penulis melaksanakan penelitian di Pusat Penelitian Kelapa Sawit - Meuan pada bulan
Juli 2001 hingga April 2002.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat yang telah diberikan-Nya, sehingga tesis yang berjudul
'Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas Untuk Produksi Metil Ester" ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing,
yaitu Ibu Prof. Dr. Tien R. Muchtadi, MS. selaku Ketua Komisi dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono,
M. App. Sc serta lbu Dr. Ir. Jenny Elisabeth, MS. sebagai Anggota Komisi atas perhatian,
pengarahan dan bimbingannya yang tak putus-putusnya kepada penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini.
Penulis bersyukur atas keluarga (Bapak, k' Itien, K' Ika, Oehoem, Omi, Yaya) yang
selalu memberikan perhatian, cinta kasih, nasihat, sukacita dan segala sesuatu yang telah
diperoleh. Juga kepada Kel. Uda A. Damanik, Kel. Dr. Eko W. S. SpB yang selalu
memperhatikan penulis.
Juga kepada Yayasan Rudang yang membantu dan
mengarahkan penulis untuk melanjutkan kuliah di PPS-IPB (Bapak Prof. Dr. Bintan
Saragih, Bapak Dja Sarlim Sinaga dan Bapak Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc).
Terima kasih juga kepada seluruh staf Peneliti dan karyawan di Pusat Penelitian
Kelapa Sawit - Medan (lembaga yang mendanai penelitian), terutama buat Kak Ida, Pak
Warnoto, Pak Mariadi, K' Mega, Mba Ijah, Pak Warso, Pak Abas, Novrida & Yanti.
Terutama buat persahabatan yang menarik dengan teman-teman lainnya (Marini &
Keluarga, K' Duma, Eben, Anton, Ivan dkk.).
Penulis sangat berbahagia memiliki teman-teman terbaik yang ada di
Programstudi llmu Pangan, buat segala kebersamaan, baik suka maupun duka, yang
walaupun sibuk tetap memberikan perhatian yang terbaik buat penulis. Khusus buat Yani,
Nenoi, Ria, Rita, Icha, K' Lince, Pak Mur, Mba Dian, Mba Rahma dan juga Mas Ade.
Terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis berharap tesis ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada
siapa saja yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2002
Penulis
DAFTAR IS1
DAFTAR IS1 ............................................................................................................. xi
xii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
i
I. PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang....................................................................................
3
B. Tujuan Dan Manfaat Penelitian............................................................
.....................................................................................................
..............................................................................................
...............................................................................................
.
......................................................................................
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Minyak Selama Proses Penggorengan ............................
B. Metil Ester .............................................................................................
C. Minyak Diesel..............
.................................................................
D. Biodiesel ..............................................................................................
.
.
.
.
Ill METODOLOGI .........................................................................................
A.
B.
C.
D.
E.
Bahan Dan Alat ................................................................................
Waktu Dan Tempat .........................................................................
Metode Penelitian ............................................................................
Proses Transesterifikasi .......................
.
.
................................
Rancangan Percobaan ..........................
.
..........................................
.
IV HASlL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
A . Karakteristik Minyak Goreng Bekas dari Beberapa Sumber ..................
B. Faktor Eksternal ......................
.
.
..........................................
B.1. Pengaruh rasio molar dan waktu reaksi pada proses
.
....
transesterifikasi minyak goreng bekas ..........................
8.2. Pengaruh suhu dan waktu reaksi pada proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ..............................................................
C. Faktor Internal .........................................................................
C.1. Pengaruh total senyawa polar terhadap proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ........................... .......................
C.2. Pengaruh kandungan senyawa peroksida terhadap proses
transesterifikasi minyak goreng bekas ....................................
C.3. Pengaruh kandungan asam lemak bebas terhadap proses
transesterifikasi minyak goreng bekas ...................................
C.4. Pengaruh kandungan air terhadap proses transesterifikasi
minyak goreng bekas ......................................................
E. Karakteristik Metil Ester Untuk Biodiesel.......................................
.
.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
5.1 Kesimpulan ............................................................................
.................................................
5.2 Saran ....................
......
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman
Syarat mutu minyak goreng ....................................................................
Karakteristik minyak diesel
.....................................................................
4
19
.........
23
Sifat-sifat bahan bakar dari minyak nabati...................
.
.........................
25
Sifat biodiesel sawit dan standar biodiesel yang diperlukan (B 100)
Komposisi asam lemak (%blb) dari minyak goreng bekas yang diperoleh
dari beberapa sumber .................................................................... 36
Karakteristik mutu biodiesel ..........................................................
54
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
Halaman
2.
Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol (May &
Cheah, 2001) ........................ .
.
.......................................................
Diagram hasil pengolahan minyak beserta turunannya (Miyawaki, 1998).....
3.
Proses produksi metil ester (modifikasi Karosmanoglu, eta/., 1999)............. 30
4.
6.
31
Bilangan peroksida dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari
beberapa sumber ............................................................................
32
Kadar asam lemak bebas (ALB) dari minyak goreng bekas yang diperoleh
dari beberapa sumber ......................................................................
Kadar air dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari beberapa sumber.. 33
7.
Viskositas dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari beberapa sumber.
8.
35
Kandungan senyawa polar dari minyak goreng bekas yang diperoleh dari
....................................................
beberapa sumber ....................
.
9.
Pengaruh rasio molar.substrat(metanol dan minyak goreng bekas, mlm)
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu reaksi
600C, laju pengadukan 300 rpm) ....................
.
.
............................ 37
5.
14
16
34
10. Pengaruh waktu reaksi pada proses transesterifikasi minyak goreng bekas
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu
reaksi 600C, laju pengadukan 300 rpm) ............................................. 38
11. Pengaruh interaksi antara rasio molar substrat dengan waktu reaksi
terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (suhu
reaksi 600C, laju pengadukan 300 rpm) .............................................. 39
12. Pengaruh rasio molar substrat terhadap kandungan asam lemak bebas
(ALB) pada produk transesterifikasi (suhu reaksi 600C, laju pengadukan
300 rpm, 120 menit) ....................
.
.............................................. 40
13. Pengaruh suhu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio substrat
minyak goreng bekas: metanol reaksi =7:1, laju pengadukan 300 rpm). ...... 4 1
14. Pengaruh waktu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap persentase
metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio molar substrat minyak
goreng bekas: metanol reaksi = 73, laju pengadukan 300 rpm)................ 42
15. Pengaruh suhu reaksi pada proses transesterifikasi terhadap kandungan
ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:l;laju pengadukan 300 rpm; waktu
reaksi 120 menit) .................................
......
.............................. 43
Hubungan antara kandungan senyawa polar pada minyak goreng bekas
terhadap persentase ester dari metil ester minyak goreng bekas (rasio
molar substrat : 7:1; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40
menit) ..........................................................................................
Hubungan antara total senyawa polar (TSP) pada minyak goreng bekas
terhadap kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:1; suhu
700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) .......................
Hubungan antara kandungan senyawa peroksida pada minyak goreng
bekas terhadap persentase metil ester dalam produk transesterifikasi
(rasio molar substrat= 7:l; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu
reaksi 40 menit) .............................................................................
Hubungan antara kandungan senyawa peroksida pada minyak goreng
bekas terhadap kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat= 7:1;
suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) .................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio substrat= 7:1;
suhu 70%; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
kandungan ALB metil ester (rasio molar substrat = 7:1; suhu 700C; laju
pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) ......................................
Hubungan antara kandungan ALB pada minyak goreng bekas terhadap
rendemen metil ester yang dihasilkan (rasio molar substrat = 7:1; suhu
700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit) ........................
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap
persentase metil ester dalam produk transesterifikasi (rasio molar substrat
7:l; suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..........
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap
kandungan ALB pada produk transesterifikasi (rasio molar substrat 7:1;
suhu 700C; laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit)..................
Hubungan antara kadar air pada minyak goreng bekas terhadap rendemen
metil ester produk transesterifikasi (rasio molar substrat = 7:1; suhu 70%;
laju pengadukan 300 rpm; waktu reaksi 40 menit).................... .... ......
Minyak goreng bekas (kiri) dan metil ester (kanan yang dibandingkan
dengan minyak solar Pertamina (tengah); Sumber minyak goreng bekas :
K : kantin; W : penjual pisang goreng; S3 : restoran cepat saji untuk
menggoreng kentang; S4 : restoran cepat saji untuk menggoreng ayam.....
DAFTAR LA'MPIRAN
.
No
Halaman
1.
Pengujian Sifat Fisiko Kimia Minyak dan Metil Ester
2.
Pengujian Sifat Biodiesel (ASTM)
3.
ANOVA
4.
Hasil Uji Lanjut dengan Uji Duncan
....................
......
......................
....
.........................
..................................................................................................
............................................................
65
68
70
73
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan bahan pangan yang digunakan sehari-hari oleh
masyarakat untuk memasak makanan. Makanan yang digoreng lebih digemari karena
mempunyai penampakan, rasa, flavor, dan tekstur yang lebih menarik daripada makanan
yang diolah dengan cara lain.
Biasanya minyak goreng tidak habis dalam sekali
pemakaian, terutama untuk penggorengan dengan cara deep frying (bahan pangan yang
digoreng terendam seluruhnya di dalam minyak). Selama ini, minyak goreng tersebut,
atau yang disebut juga dengan minyak jelantah tidak langsung dibuang, tetapi masih
digunakan kembali berulang-ulang. Hal ini dilakukan baik oleh industri makanan, jasa
boga, restoran ataupun ibu-ibu rumah tangga.
Selama penggorengan, minyak dipanaskan pada suhu tinggi dan dipengaruhi oleh
udara. Reaksi kompleks yang tidak diinginkan yang mengarah kepada kerusakan minyak
akan terjadi, seperti oksidasi, polimerisasi termal, hidrolisis, dan degradasi pigmen. Selain
itu warna minyak menjadi gelap dan timbul aroma tengik, bersamaan dengan
meningkatnya kandungan asam lemak bebas dan menurunnya kandungan asam lemak
tidak jenuh.
Minyak goreng bekas yang digunakan berulang kali dapat mengandung senyawa
peroksida, hidroperoksida, polimer, hidrokarbon, keton, epoksida, senyawa siklik, dan
senyawa-senyawa lain yang bersifat karsinogenik. Jumlah senyawa-senyawa ini semakin
meningkat dengan meningkatnya jumlah penggunaan berulang. Senyawa-senyawa
tersebut dapat mengganggu kesehatan tubuh seperti timbulnya penyakit kanker,
pengendapan lemak dalam pembuluh darah, menurunnya daya cerna lemak, iritasi saluran
pencernaan, pernbengkakan organ tubuh, depresi perturnbuhan, dan rnenyebabkan
kernatian pada hewan percobaan yang diberi pakan yang rnengandung rninyak yang telah
rusak (Ketaren, 1986).
Dengan rneningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, rnaka
penggunaan rninyak goreng secara berulang akan berkurang. Hal ini berdarnpak terhadap
rneningkatnya lirnbah rninyak goreng bekas. Konsurnsi rninyak goreng pada beberapa
industri di Indonesia yang rnenggunakan proses deep frying dalarn pengolahan produknya
adalah f 182 ribu ton (BPS, 1999). Menurut Hunter dan Applewhite, (1993) sebanyak
50% dari rninyak goreng yang dibelildigunakan dalarn industri pangan yang rnenggunakan
proses deep frying dibuang. Jika pola yang sarna digunakan juga di Indonesia,
diperkirakan lirnbah rninyak goreng bekas yang ada sebesar 91 ribu ton. Minyak goreng
bekas ini dapat dikurnpulkan dan ditransesterifikasi dengan rnetanol rnenghasilkan rnetil
ester asarn lernak dan gliserol sebagai sisa produk. Metil ester ini dapat dirnanfaatkan
sebagai bahan baku kosrnetik, deterjen, pelurnas, dan juga sebagai bahan bakar alternatif
atau yang lebih dikenal dengan biodiesel (Mittelbach, 1996).
Selarna ini rninyak goreng bekas sering digunakan kernbali untuk pakan hewan
dan kenggunaan lainnya selain pakan inedible (nonfeed), serta bahan bakar (Boyer, 1996).
Penggunaan rninyak nabati sebagai bahan baku biodiesellbiofuel yang bersifat rarnah
lingkungan, terutarna untuk rnengganti peranan petroleum sebagai bahan bakar,
rnengingat kelangsungan surnber daya alarn petrokirnia ini yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable). Negara-negara yang telah rnernproduksi dan rnenggunakan biodiesel
diantaranya negara-negara Eropa, Arnerika Serikat, dan Jepang.
Biodiesel bersih dalarn proses pernbakaran, bebas dari sulfur dan benzen
karsinogenik; dapat didaur ulang dan tidak rnenyebabkan akurnulasi gas rurnah kaca; tidak
toksik (toksisitasnya 10% lebih rendah dari toksisitas garam dapur) dan dapat didegradasi
(waktu degradasi hampir sama dengan gula). Biodiesel juga dapat digunakan langsung
atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples, 1998).
Karena potensi minyak goreng bekas sebagai bahan baku pembuatan metil ester
cukup besar, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana manfaat yang
dapat diambil dari minyak goreng bekas ini. Optimasi proses diharapkan dapat
meningkatkan produksi metil ester sebagai bahan bakar alternatif atau biodiesel dari
minyak goreng bekas. Penggunaan bahan ini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dan
juga dapat mengatasi masalah limbah minyak goreng yang dibuang ke perairan.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimasi beberapa parameter proses
transesterifikasi minyak goreng untuk menghasilkan metil ester. Beberapa faktor internal
dari minyak goreng bekas dilihat pengaruhnya terhadap proses transesterifikasi minyak
goreng bekas. Selanjutnya dilakukan pengujian karakter metil ester dari minyak goreng
bekas yang akan digunakan sebagai biodiesel.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menanggulangi masalah
pembuangan limbah minyak goreng bekas ke perairan oleh beberapa industri makanan
cepat saji, industri rumah tangga, industri jasa boga, dan hotellresolt, serta
memanfaatkannya sebagai bahan baku metil ester untuk biodiesel.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Minyak Selama Proses Penggorengan
Penggunaan minyak goreng sangat luas dan populer di Indonesia, dimana
konsumen lebih menyukai flavor, penampakan, dan tekstur dari makanan yang diolah
dengan proses penggorengan. Lemaklminyak dapat memberikan cita rasa enak pada
bahan.pangan yang digoreng, karena banyak komponen senyawa cita rasa merupakan
turunan dari lemaklminyak. Bahan pangan mengalami beberapa perubahan selama proses
penggorengan, seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, penguapan air, dan perubahan
tekstur oleh karena minyak yang diserap selama penggorengan. Mutu minyak goreng
dipengaruhi oleh absorpsi minyak dan jenis produk sisa atau residu yang diabsorpsi oleh
minyak tersebut (Orthoefer and Cooper, 1996).
Tabel ISyarat mutu minyak goreng
Karakteristik
Nilai
Satuan
Warna
Normal, merah, dan kuning
Bau dan rasa
-
Normal
Titik'leleh
OC
Maksimum 24
I Air
I Asam lemak bebas
Bilangan lod
I
I
% blb
1 0.05 - 0.1
% blb
I Maksimum 0.3
g lod I100 g minyak
Minimum 56
I
I
I
1
Sumber : SNI 01-0018-1998
Selama penggorengan, bahan pangan dalam minyaWlemak panas akan
mengalami setidaknya tiga perubahan drastis yang saling berhubungan. Perubahanperubahan yang terjadi tergantung pada jenis bahan pangan dan minyak yang digunakan,
laju dan karakteristik operasi penggorengan, suhu, frekwensi pemanasan dan
pendinginan, derajat kejenuhan minyak, cahaya, dan penggunaan filter. Ketiga perubahan
tersebut adalah perubahan hidrolitik karena adanya air dalam bahan pangan; perubahan
oksidatif karena oksigen atmosferik yang memasuki minyak dari permukaan wadah; dan
terakhir polimerisasi termal karena suhu tinggi (f1800C) (Orthoefer and Cooper, 1996).
Selama penggorengan, minyak terdegradasi terutama melalui oksidasi termal dan
membentuk senyawa dekomposisi volatil dan non volatil. Senyawa dekomposisi volatil
berperan terhadap flavor dari produk pangan yang digoreng dan pengukuran senyawa
dekomposisi non volatil merupakan metode yang baik untuk mengukur kemunduran mutu
minyak goreng. Parameter yang umum digunakan untuk mengukur kemunduran mutu
minyak tersebut antara lain total senyawa polar, asam lemak bebas, perubahan warna dan
konsentrasi senyawa polimer. Pengukuran seperti konsentrasi total senyawa polar (2527%) atau senyawa polimer (-40 atau c16%), atau uji fisik seperti titik asap (r1700C),
sering digunakan dengan pengukuran sensorik untuk menentukan kapan minyakllemak
dibuang (Melton ef a/., 1994).
Selama hidrolisis, terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan asam lemak
bebas, monogliserida, digliserida. Senyawa-senyawa ini mempunyai polaritas dan berat
molekul yang lebih rendah dari trigliserida Degradasi oksidatif dapat terjadi dalam
trigliserida rantai tidak jenuh, dimana setidaknya satu dari tiga radikal asil akan berubah.
Suhu tinggi berperan besar dalam proses oksidasi serta pembentukan dimer dan polimer
oksidatif dan non-oksidatif. Asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi dan berubah
suhunya daripadajika tereseterifikasi dengan gliserol (Dobarganes & Marquez, 1996).
Perubahan oksidatif pada minyak akan menghasilkan monomer teroksidasi, dimer
dan polimer oksidatif serta non polar, serta senyawa volatil (aldehid, keton, alkohol, asam,
dan sebagainya). Di sisi lain, perubahan termal akan menghasilkan monomer siklik, dimer
dan polimer melalui polimerisasi. Monomer siklik berpotensi membahayakan kesehatan,
diawali dari siklisasi intra-molekuler asam lemak tidak jenuh Cle (Quere & Jean, 1996)
Perubahan-perubahan ini dapat dikenali secara fisiko-kimia dengan :
1. Pembentukan aroma dan rasa pada minyak yang dipanaskan hingga suhu tinggi
ataupun bahan pangan yang digoreng didalamnya.
2. Peningkatan viskositas dan densitas akibat reaksi polimerisasi.
3. Penggelapan yang ditandai dengan adanya senyawa karbonil tidak jenuh atau
senyawa non-polar yang larut dalam minyak.
4. Kecenderungan untuk membentuk buih yang juga berhubungan dengan hasil
polimerisasi dan senyawa ampofilik bahan pangan.
5. Peningkatan spesific extinction pada 232 dan 270 nm dari ikatan rangkap terkonjugasi
dan senyawa karbonil a, P tidak jenuh.
6. Perubahan komposisi asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh.
7. Peningkatan bilangan asam karena reaksi hidrolitik.
8. Penurunan bilangan iodin karena berkurangnya ikatan ganda oleh reaksi polimerisasi,
siklisasi, dan sebagainya.
Lemak dapat memberikan flavor yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan
pada produk pangan.
Senyawa dekomposisi utama dalam minyak jagung yang
mengandung sistein, prolin, dan laktosa adalah 2,4-decadienal yang merupakan produk
dekomposisi linoleat yang terjadi melalui 9-hidroperoksida. Flavor dan bau senyawa ini
disebut sebagai aroma "deep fried'. Senyawa degradatif lainnya yang mempengaruhi
flavor dan bau adalah hexanal, 2-pentilfuran, dan 4,5-epoxy-2 cisltrans decenal (Orthoefer
and Cooper, 1996).
Warna minyak dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam bahan pangan yang
digoreng. Komponen tersebut antara lain karbohidrat dan gula (glukosa dalam madu,
dekstrosa dan sirup jagung), fosfat, senyawa sulfur dan logam-logam yang akan bereaksi
dengan lemak (minyak) atau produk turunannya. Gula tidak larut dalam minyak sehingga
saat terjadi karamelisasi gula yang berikatan dengan air dalam bahan pangan yang
digoreng yang melayang-layang dalam minyak atau membentuk deposit saat minyak
didiamkan (Jacobson, 1991).
Reaksi oksidatif akan membentuk hidroperoksida, asam dienoat terkonjugasi,
epoksida, hidroksida, dan keton. Senyawa-senyawa ini akan berubah menjadi fragmen
kecil dan menghasilkan cross-linking yang mengawali pembentukan trigliserida dimerik
atau polimerik tinggi.
Selain itu oksidasi juga menghasilkan beberapa senyawa
dekomposisi yang volatil dan non volatil seperti oksipolimer dan oksimonomer (Orthoefer &
Cooper, 1996).
Peristiwa oksidasi yang terjadi sebelum minyak menjadi tengik dengan mengikat
oksigen secara lamban dan minyak mengalami perubahan flavor disebut dengan periode
induksi. Kemudian kecepatan mengikat oksigen semakin bertambah dan di dalam minyak
terbentuk peroksida yang dipercepat melalui mekanisme pembentukan radikal bebas
sampai pada jumlah maksimum dan kemudian menurun. Setelah penurunan peroksida,
pengikatan oksigen masih terus berlangsung dan terbentuklah senyawa aldehid, keton,
hidrokarbon, alkohol, dan senyawa lain yang mudah menguap (Belitz & Grosch, 1999).
Kecepatan oksidasi dipengaruhi oleh suhu, kecepatan penggantian minyak,
permukaan yang terkena udara, adanya logam prooksidan seperti besi dan tembaga,
adanya antioksidan, suhu tinggi, adanya silikon anti buih, dan mutu awal minyak goreng
tersebut. Alkana, asam lemak, keton, ester oxopropil, akrolein dan C02 ditemukan setelah
pemanasan triasilgliserol pada suhu 1800C selama 1jam (Orthoefer and Cooper, 1996).
Selain proses oksidasi, polimerisasi juga dapat merusak minyak.
Reaksi
polimerisasi dipercepat dengan suhu tinggi dalam penggorengan dan reaksi yang
melibatkan senyawa radikal dan non radikal. Polimerisasi memecah ikatan-ikatan karbon
asam lemak dengan ketiadaan oksigen yang akan membentuk asam lemak siklik. Asam
dimerik dan trigliserida merupakan hasil ikatan antara asam lemak dengan beberapa
trigliserida atau antara dua molekul trigliserida sendiri. Polimerisasi ini akan menyebabkan
buih dan gumming pada minyak. Senyawa polimer yang terbentuk akan memberikan rasa
pahit yang akan diserap oleh bahan pangan yang digoreng. Senyawa berbobot molekul
tinggi berperanan terhadap perubahan minyak goreng seperti peningkatan viskositas dan
buih, asam lemak bebas, bilangan karbonil, kandungan hidroksil, dan bilangan saponifikasi
(Jacobson, 1991).
Dengan adanya oksigen, senyawa dekomposisi utama adalah hidroperoksida alkil
dan dialkil kombinasi yang selanjutnya mendekomposisi membentuk radikal oksi dan
peroksi. Kombinasi keduanya akan membentuk oksidimer dan polimer yang mengandung
grup hidroperoksida, hidroksida, epoksida, dan karbonil (Perkins dan Erickson, 1996).
Reaksi hidrolisis antara air dengan minyak goreng akan meningkatkan kandungan
asam lemak bebas dan sebagian ester gliserol, digliserida, monogliserida. Kecepatan
hidrolisis ini dipengaruhi oleh kelembaban atau jumlah air yang terdapat dalam bahan
pangan yang digoreng, suhu penggorengan di mana semakin tinggi suhu penggorengan
akan menyebabkan asam lemak bebasnya semakin tinggi, kecepatan perubahan lemak,
dan akumulasi bahan pangan yang terbakarlhangus yang akan mempercepat
pembentukan asam lemak bebas (Perkins, 1996).
Lebih lanjut Perkin (1996) menyatakan bahwa asam lemak bebas dalam minyak
goreng akan mengkatalisis hidrolisis trigliserida lebih lanjut. Jumlah asam lemak bebas
yang terbentuk berbanding langsung dengan jumlah uap yang dilepaskan oleh bahan
pangan kedalam minyak. Penggorengan bahan pangan berkadar air tinggi dalam jumlah
besar dapat mernpercepat pembentukan asam lemak bebas. Hidrolisis asam lemak tidak
jenuh seperti asam oleat dan asam linoleat, atau asam lemak rantai pendek berlangsung
lebih banyak, yang mungkin disebabkan oleh kelarutannya dalam air yang lebih besar.
Minyak goreng bekas atau minyak jelantah berbahaya untuk dikonsumsi karena
minyak tersebut telah banyak mengalami kerusakan akibat perubahan dekomposisi dari
komponen yang ada. Marquez dan Dobarganes (1996) menyatakan bahwa sifat-sifat yang
merusak kesehatan yang terdapat pada minyak jelantah adalah kerusakan vitamin,
menghambat aktivitas enzim, berpotensi dalam menyebabkan mutasi atau iritasi
gastrointestinal.
Minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih mudah untuk diabsorpsi
oleh usus dibandingkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh hasil hidrolisis
minyak sebagai akibat dari pemanasan. Minyak nabati yang mengandung asam oleat,
asam linoleat, atau isomer-isomer dari asam tersebut dapat dicerna oleh tubuh dengan
nilai cerna mencapai 94%, sedangkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh yang
terbentuk selama proses pemanasan akan sulit dicerna tubuh atau tidak terserap oleh
tubuh dan dapat mengakibatkan artherosclerosis (Marquez & Dobarganes, 1996).
B. Metil Ester
lnteresterifikasi mengarah pada reaksi antara minyakllemak atau bahan lain yang
tersusun atas ester asam lemak dapat bereaksi dengan asam lemak, alkohol atau ester
lain dengan mengganti grup asam lemak untuk menghasilkan ester baru. Reaksi antara
ester dengan asam disebut asidolisis, reaksi antara ester dengan alkohol disebut
alkoholisis dan reaksi antara satu ester dengan ester lain disebut transesterifikasi.
Produksi metil ester dapat dilakukan melalui transesterifikasi minyak tumbuhan
dengan metanol ataupun esterifikasi langsung asam lemak hasil hidrolisis minyak
tumbuhan dengan metanol. Namun transesterifikasi lebih intensif dikembangkan, karena
proses ini lebih efisien dan ekonomis.
Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar yang merupakan
turunan dari minyak dan lemak selain asam lemak. Metil ester asam lemak juga
merupakan prcsduk antara untuk memproduksi sejumlah oleokimia turunan lemak seperti
alkohol-asam lemak, alkanolamida, a-sulfonat metil ester, isopropil ester, poliester sukrosa
dan lain-lain. Produksi metil ester di dunia pada tahun 1995 sebesar 600.000 ton,
+ 80%
dikonversi menjadi fafty alcohol, dan 70% dari fatty alcohol diproses lebih lanjut menjadi
produk turunannya, khususnya surfaktan (Ahmad, ef al., 2001). Metil ester juga dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan sabun metalik, ditambahkan pada sabun cuci sebagai
agen aktif, bahan pembantu dalam pengolahan karet, produk farmasi, dan alternatif
pengganti atau pencampur bahan bakar motor diesel (Hui, 1996).
Penggunaan metil ester sebagai bahan baku untuk produk oleokimia dasar atau
turunannya memiliki beberapa keuntungan, seperti produk akhir dengan tingkat kemurnian
tinggi, pengatwran kondisi yang lebih mudah selama sintesis dan tidak memerlukan bahanbahan yang terlalu mahal untuk konstruksi, lebih mudah untuk didistilasi fraksinasi, mudah
dalam penanganan dan transportasi, serta mudah didegradasikan (Hui, 1996). Akan tetapi
ada beberapa kerugian dalam penggunaan metil ester ini terutama dari minyak asal
tumbuhan yaitu biaya produksinya yang tinggi, bersaing dengan penggunaannya sebagai
pelumas dan untuk konsumsi manusia sendiri (Miyawaki, 1998). Selain itu penggunaan
metanol yang toksik yang dapat terserap oleh kulit dan menyebabkan kerusakan saraf
dengan penggunaan yang lama. Jika terkena ke mata dapat menyebabkan kebutaan dan
dapat berakibat fatal. Oleh karena itu diperlukan sistem ventilasi udara yang baik dan
sarung tangan untuk mencegah hal-ha1 yang tidak diinginkan. Selain itu penggunaan
katalis yang toksik yang dapat membakar kulit jika tersentuh dan juga berbahaya jika
terhirup. Pemanfaatan minyak goreng bekas sebagai bahan baku dapat dipikirkan untuk
pemanfaatan metil ester sebagai bahan bakar dan oleokimia.
Senyawa-senyawa oleokimia dasar turunan dari lemak dan minyak adalah asam
lemak, alkohol lemak dan metil ester asam lemak, amino lemak dan gliserol. Pertumbuhan
produksi oleokimia dasar ini di Asia selama 25 tahun terakhir meningkat dua kali lipat sejak
tahun 1990, terutama di Malaysia dan Indonesia yang mencapai 40% dari produksi dunia
dan melebihi total produksi Eropa Barat. Volume produksi oleokimia terbesar adalah asam
lemak, kemudian diikuti oleh metil ester asam lemak (Miyawaki, 1998).
Metil ester digunakan sebagai produk industri dikarenakan beberapa faktor
(Miyawaki, 1998, Derksen & Cuperus, 1996 dan Gervasio, 1996), antara lain :
1. Pemakaian energi untuk memproduksi metil ester melalui proses transesterifikasi lebih
rendah dibandingkan untuk memproduksi asam lemak.
2. Transesterifikasi tanpa menggunakan air, maka gliserin yang dihasilkan bebas air,
sedangkan gliserin dari hidrolisis lemak mengandung sejumlah besar air.
3. Jika dibutuhkan destilat fraksional, destilasi menggunakan ester lebih efisien
dibandingkan dengan asam lemak.
4. Metil ester dapat diproses dengan peralatan karbon baja dengan kondisi yang lebih
ringan dibandingkan peralatan stainless steel mahal untuk memproduksi asam lemak.
5. Biaya prodwksi turunan asam lemak lainnya seperti alkohol ester, alkohol asam lemak,
dan ester sukrosa lebih rendah menggunakan metil ester sebagai bahan baku
dibandingkan dengan asam lemak sebagai bahan baku.
6. Metil ester lebih stabil dan tidak menyebabkan korosi, sehingga biaya penanganan
dan perawlatannya tidak bagitu mahal, warna lebih disukai, dapat dimurnikan dan
didestilasi pada suhu rendah.
Dalam bentuk metil ester maka berat molekul, titik beku, titik didih, dan viskositas
minyak akan menjadi lebih rendah. Disamping itu senyawa gliserin yang merupakan
produk samping hasil degradasi minyak tumbuhan dapat dipisahkan pada proses
pembuatan metil ester, sehingga tidak menyebabkan terbentuknya deposit pada mesin
jjika digunakan sebagai bahan baku alternatiflbiodiesel.
Proses transesterifikasi minyak atau lemak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
suhu, lama hidrolisis, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, dan
perbandingan metanol-asam lemak (Hui, 1996). Proses transesterifikasi akan berlangsung
lebih cepat bila suhu dinaikkan mendekati titik didih metanol. Semakin tinggi kecepatan
pengadukan akan meningkatkan pergerakan molekul dan menyebabkan terjadinya
tumbukan. Pada awal terjadinya reaksi, pengadukan akan menyebabkan terjadinya difusi
antara minyak atau lemak sampai terbentuk metil ester (Gambar 1). Dengan semakin
banyak metil ester yang terbentuk menyebabkan pengaruh pengadukan semakin kecil,
hingga terbentuk kesetimbangan.
0
1I
CH - OCR
Katalis
CH-OCR
+
Minyak~Trigliserida
3ROH
Metanol
______,
RCOCH3
Metil ester
+
CH - OH
Gliserol
Keterangan : R = gugus alkil asam lemak
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol
(May and Cheah, 2001)
Pemakaian metanol berlebih akan mendorong reaksi ke arah pembentukan metil
ester dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekul-molekul
metanol dengan minyak yang bereaksi. Proses tumbukan akan efektif apabila molekulmolekul pereaksi memiliki kecocokan satu sama lain. Reaksi akan efektif hanya pada
komponen-komponen trigliserida dan asam lemak bebas (Liu dan Lampert, 1999).
Dalam proses transesteritikasi diperlukan katalis untuk mempercepat laju
pembentukan produk. Biasanya digunakan katalis berupa' asam (HCI, H2S04) atau katalis
basalalkali (NaOCH3, KOH, dan NaOH) (Hui, 1996). Jumlah katalis yang berlebih akan
mendorong pembentukan produk ester (reaksi ke arah kanan) (Morrison dan Bay, 1992).
Proses dengan menggunakan katalis basa seperti sodium hidroksida umumnya
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan katalis asam dikarenakan reaksi
berlangsung searah (Foglia, et a/., 1996). Namun pemakaian katalis basa hanya
berlangsung sempurna bila minyak atau lemak dalam kondisi netral dan tanpa keberadaan
air. Selain itu, dapat terbentuk sabun dimana katalis hilang karena penyabunan dan
terbentuk gel yang dapat menghambat proses pemisahan.
Transesterifikasi minyakllemak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu
atau dua tahap proses, tergantung pada mutu awal minyakllemak. Minyakllemak dengan
kandungan asam lemak bebas lebih dari 5% dapat ditransmetilasi dengan menggunakan
katalis asam untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi esternya. Minyakllemak
netral tersebut kemudian ditransesterifikasi lebih lanjut dengan menggunakan katalis basa
(NaOH).
Jika minyakllemak mempunyai kandungan asam lemak bebas rendah,
transesterifikasi dapat dilakukan dalam satu tahap. Proses transesterifikasi secara normal
dilakukan pada suhu 1000C atau kurang (Gervasio, 1996).
Esterifikasi asam lemak dilakukan dengan menggunakan katalis asam seperti
asam hidroklorik, asam sulfurik, atau asam p-toluene sulfonik. Reaksi merupakan reaksi
setimbang dan metanol berlebih dibutuhkan menuju penyelesaian reaksi. Metil ester kasar
dapat dimurnikan, difraksinasi parsial atau fraksinasi total menjadi metil ester murni
menggunakan proses yang sama dengan produksi asam lemak.
Reaksi transesterifikasi dengan rasio molar metanol-asam lemak 6:1, pada suhu
600C, laju pengadukan 300 rpm selama dua jam dan katalis NaOH 2-4% memberikan
rendemen metil ester 80% (Noureddini & Zhu, 1997). Taufiqurrahman (1998)
menghasilkan rendemen metil ester sampai 95% dengan katalis dan suhu yang sama
selama 12 jam.
Metil ester dapat diproduksi dari transesterifikasi langsung trigliserida dengan
metanol tetapi metil esternya masih mengandung banyak campuran ester yang
berhubungan dengan residu asam lemak dalam trigliserida. Oleh karena itu diperlukan
pemurnian minyak karena adanya asam lemak tidak bebas, fosfolipid, residu protein dan
garam-garam logam (Scheur, et a/., 1995).
Konversi minyak kasar menjadi metil ester dapat dicapai pada skala besar
(sampai 30% asam bebas) dalam skala pilof plant (500kgqam). Reaksi terjadi dalam dua
tahap, yakni esterifikasi asam lemak bebas pada suhu 80 k 5% dengan menggunakan
katalis asam padat seperti resin penukar ion sulfonasi, kemudian diikuti oleh metanolisis
gliserol menggunakan katalis alkali (NaOH) pada suhu 70 k 5OC (Gunstone, ef al, 1995).
Metil ester asam lemak dibuat oleh Tranggono, ef al. (2000) dengan terlebih
dahulu memanaskan 750 g distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) sampai suhu 950C
lalu dimasukkan ke dalam reaktor berupa labu leher tiga (dilengkapi dengan pengaduk,
termometer dan pendingin balik) yang tercelup dalam penangas air. Ke dalam reaktor
dimasukkan campuran 14.255 g asam sulfat pekat dengan 250 ml metanol (berat H2S04 =
1.5% berat total DALMS plus metanol). Reaksi dibiarkan berlangsung selama 60 menit
pada suhu 700C. Ester metil yang terbentuk masih bercampur dengan residu asam.
Dekantasi dilakukan untuk memisahkan bagian bawah yang mengandung asam dan air
dengan bagian atas yang mengandung sisa metanol dan ester metil. Sisa metanol dapat
dihilangkan dengan cara penguapan pada suhu 70%.
Minyakl
lemak
L_I
Carotene
1 Metil ester
!+a
Sulfonasi
Turunan lain
Gambar 2. Diagram hasil minyak beserta turunannya (Miyawaki, 1998)
C. Minyak Diiesel
Bahan bakar fosil mempunyai kandungan sulfur, nitrogen dan metal yang tinggi
yang dapat menyebabkan hujan asam dan efek rumah kaca. Minyak diesel selama ini
diperoleh dari penyulingan minyak bumi (petroleum) atau minyak mentah (crude oil). Sifatsifat minyak diesel yang mempengaruhi penerimaan (ASTM D 975-92a, 1993) adalah:
(1)
Kemudahan menguap (volatilitas) bahan bakar diesel, dimana 90% dari bahan bakar
yang menguap pada suhu penyulingan.
(2)
Sisa karbon (carbon residue), yaitu karbon yang tertinggal setelah penguapan dan
pembakaran minyak (sisa karbon yang diizinkan adalah 0.1%)
(3)
Viskositas fluida yang merupakan tahanan alir atau gesekan dalam aliran fluida
(2.4-6.4 mm21cc pada suhu 37.70C). Viskositas dari bahan bakar diesel seharusnya
tidak terlalu tinggi atau rendah. Jika viskositas tinggi, maka tekanan tinggi secara
berlebihan diperlukan oleh sistem injeksi, jika viskositas terlalu rendah lebih banyak
terjadi perawatan dan reparasi terhadap saluran injeksi.
(4)
Pour point merupakan suhu terendah dimana minyak akan berhenti mengalir atau
membeku. Parameter ini penting dalam pengaruhnya terhadap starting dalam
keadaan dingin dan untuk laju bergeraknya minyak dari tangki ke motor (Berger, et
a/., 1963). Untuk minyak diesel dengan cetane number 45, pour point-nya -1O0C,
sedang cetane number 500C, pour point-nya -1 5% yang merupakan suhu pour point
maksimum.
(5)
Kandungan sulfur. Senyawa-senyawa sulfur dalam bahan bakar dapat
menyebabkan korosi pada bagian-bagian sistem pengeluaran (exhaust).
Kandungan sulfur dalam minyak diesel maksimum diperbolehkan adalah 0.05%.
Sulfur dalam bahan bakar akan menghasilkan gas-gas korosi yang kuat yang akan
mengentralkan bahan bakar (ASTM, 1993).
(6) Kotoran (maksimum 0.01%) yang merupakan sumber kerusakan (aus) pada
mesinlmotor.
(7)
Air dan endapan. Kandungan air dan sedimen yang diijinkan dalam minyak diesel
adalah 0.05%. Adanya air, khususnya air garam, dalam minyak diesel akan
menyebabkan mesin diesel aus yang akhirnya akan menyebabkan korosi.
(8)
Titik nyala (flash point) yaitu suhu paling rendah untuk penyalaan bahan bakar
(minimum 1500F atau 65.5OC) untuk terbakar dirnana uapnya terbakar sesaat pada
waktu kontak dengan nyala (flame) dan mati dengan cepat (seketika).
(9)
Keasaman yang akan merusak permukaan metal (diharapkan tidak mengandung
asam-asam bebas).
(10) Kualitas pembakaran (ignition quality) yang menentukan kemampuan bahan bakar
dalam ha1 pembakaran waktu diinjeksikan ke dalam udara bertekanan dalam silinder
motor diesel, terhadap sfarf motor dalam keadaan dan suhu dingin serta kebisingan
motor, juga waktu penyalaan singkat. Kualitas pembakaran diukur dengan angka
cefane yaitu persentase cefane (C16H34) terhadap volume total campuran antara
cetane dengan alfametil-naptalene (CilHio). Cefane number ditentukan oleh
perbandingan minyak yang diuji dengan bahan bakar standar dalam suatu motor
khusus. Parameter ini berhubungan dengan waktu penundaan pembakaran bahan
bakar dalam ruang pembakaran. Waktu penundaan pembakaran yang lebih singkat
mempunyai cetane number yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya. Cetane number
diharapkan setinggi mungkin untuk minyak diesel, tapi umumnya bervariasi antara
40-50 (Foglia, ef a/., 1996).
Tabel 2. Karakteristik minyak diesel *
Karakteristik
Flashpoint OC, min
Air dan sedimen, % volume, maks recovered
Minimum
Maksimum
% Massa Abu, maksimum
% Massa Sulfur, maksimum
+
Kecepatan korosi strip tembaga maks. 3 jam (50°C)
Cetane number, min.
1 sifatberikut harus ada
1. cetane indeks, minimum
2. aromafisifas, % Volume, maksimum
Cloudpoint, OC, maksimum
Ramsbottom Carbon Residu pada residu distilasi lo%,
% massa, maksimum
Metode uji
ASTM
D 93
D 1796
Grade Sulfur
rendah No. 1-D
38
0.05
-
288 (550)
0.01
0.05
Grade Low
sulfur No. 2-D
52 (125)
0.05
282D
338
0.01
0.05
D 482
D 2622
D 129
D 130
D 613
-
-
NO. 3
40
NO. 3
40
D 976 1D 4737
D 1319F
D 2500
D 524
40
35
I
0.15
40
35
I
0.35
Grade
No. 1-DC
38
0.05
Grade
No. 2-DC
52
0.05
282D
288 (550) 338
0.01
0.01
Grade
NO.4-DC
55
0.50
-
0.01
-
-
-
0.50
NO. 3
40
0.50
NO. 3
40
2.00
40
-
-
-
-
I
0.15
I
0.35
-
....
I
:grade yang mengandung sejumlah 1,4-di alkyl aminoanthraquinone (blue dye), jadi keberadaannya merupakan penampakan yang terlihat
: Saat cloud point PC-12% khususnya, viskositas minimum pada 40% adalah 1.7 mm2ldetik dan minimum 90% suhu recovery tercapai
: batas sulfur lain dapat diaplikasikan dalam area terpilih di Arnerika Serikat dan negara lain (lebih diharapkan metode D 2622)
: Tidak realistik untuk spesifik sifat suhu rendah yang yang akan menjamin keamanan operasi pada seluruh kondisi ambient
* Sumber : ASTM D 975-92a (1993)
D. Biodiesel
Biodiedel secara kimia didefinisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari
minyakllemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau minyak goreng bekas.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari
sulfur dan ben2ten karsinogenik; dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas
rumah kaca; tidak toksik (toksisitasnya 10% lebih rendah dari toksisitas garam dapur);
dapat didegradasi (waktu degradasi hampir sama dengan gula).
Biodiesel dapat
digunakan langsung atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples, 1998).
Salah satu hambatan dalam komersialisasi penggunaan biodiesel adalah biaya
operasi yang tinggi. Hal yang memungkinkan pengembangan biodiesel ini adalah aspek
ramah lingkungannya (Muniyappa, et al., 1996).
Kendala lain dalam penggunaan minyak nabati sebagai biodiesel adalah
viskositasnya yang tinggi yakni 10 kali viskositas minyak diesel. Tingginya viskositas akan
mengakibatkan rendahnya atomisasi bahan bakar, pembakaran dari fuel injector, ring
carbonization, dan akumulasi bahan bakar dalam minyak pelumas. Teknik yang paling
sering digunakan untuk mengatasi tingginya viskositas ini dapat dilakukan dengan
transesterifika$iyang dapat menghasilkan metil ester dengan viskositas yang lebih rendah
(2 kali minyak diesel no. 2) (Foglia, et a/., 1996). Tujuan dari transesterifkasi adalah untuk
memecah dan menghilangkan gliserida; menurunkan boiling, pour dan flash point minyak
serta viskositas minyak. Viskositas dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak
tereaksikan. $elain itu kita dapat memanfaatkan gliserin untuk industri kimia (industri
sabun dan defierjen) (Mittelbach, 1996).
Walaupun viskositas produk ester masih relatif tinggi, tapi bahan bakar biodiesel
masih dapat digunakan dengan baik pada daerah dengan udara yang hangat. Daya aliran
dari biodiesel tergantung pada komposisi asam lemak atau bilangan iodin biodiesel
tersebut (ketitlakjenuhan minyak nabati). Minyak dengan bilangan iodin yang tinggi
menghasilkan ester dengan daya aliran dan pemadatan pada suhu yang lebih rendah.
Contohnya minyak sawit mempunyai bilangan iodin sebesar 52 dan esternya dengan pour
poinf 15OC mwlai memadat pada suhu tersebut Minyak rapeseed dengan bilangan iodin
lebih dari 90 menghasilkan metil ester dengan pour poinf pada suhu 4%. Akan tetapi
tingginya pour poinf pada metil ester dari minyak sawit dapat diturunkan dengan
menambahkan senyawa penurun pour point atau dengan menambahkan dengan pelarut
lain (Schafer, 1995).
Sifat tisika kimia biodiesel mirip dengan bahan bakar diesel. Bahan bakar fosil
mempunyai klandungan sulfur, nitrogen dan metal yang tinggi dan dapat menyebabkan
hujan asam dan efek rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa
benzene sehingga lebih ramah lingkungan dan mudah terurai di alam. Kandungan energi,
viskositas dan perubahan fase relatif sama dengan bahan bakar diesel yang berasal dari
petroleum. Mesin dengan bahan bakar biodiesel menghasilkan partikulat, hidrokarbon dan
karbon monoksida yang lebih rendah daripada bahan bakar diesel biasa. Emisi NOxjuga
lebih tinggi daripada mesin diesel dengan bahan bakar diesel (Tat, ef a/., 2000).
Kandungan panas dari berbagai minyak nabati kira-kira 90% dibandingkan dengan
minyak diesel No. 2 (bahan bakar diesel untuk transportasi yang biasanya digunakan
sebagai referensi untuk bahan bakar diesel dari minyak nabati). Umumnya panas
pembakaran akan meningkat dengan meningkatnya panjang rantai (May& Yoo, 2001).
Daya mesin biodiesel (118.000 BTUs) hampir sama dengan daya mesin minyak diesel
(130.500 BTUs) sehingga engine farque dan horsepower
dengan konsumsi bahan bakar yang sama.
21
diperoleh
Perbedaan utama antara minyak diesel (petroleum) dengan biodiesel adalah
kandungan oksigen pada minyak diesel yang hanya 10-11% dari biodiesel. Oksigen dapat
merubah stoikiometri proses pembakaran sehingga menghasilkan NOx lebih banyak.
Parameter mutu biodiesel dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu parameter untuk
menguji minyak diesel dan yang kedua adalah parameter yang berhubungan dengan
komposisi kimia dan kemurnian metil ester. Parameter seperti densitas, cefane number,
dan kandungan sulfur dipengaruhi oleh minyak nabati yang digunakan dan tidak
dipengaruhi oleh metode produksi ataupun tahap pemurniannya (Mittelbach, 1996).
Cefane number biodiesel dari minyak nabati segar biasanya lebih tinggi dari
minyak diesel yang dapat mempercepat waktu pembakaran setelah minyak diinjeksikan
kedalam silinder (Tat, et a/., 2000). Cefane number dapat diduga dengan perhitungan
cetane index dengan empat variabel persamaan dari densitas dan pengukuran suhu.
Cetane index digunakan karena keterbatasan sampel yang digunakan dan keterbatasan
dalam pengujiah bahan bakar terhadap mesin diesel (ASTM D 4737-96a).
Flash poinf tergantung pada kandungan metanol. Flash poinf biodiesel lebih tinggi
dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi, dan toksisitas rendah, karena biodiesel
tidak mengandung hidrokarb