Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

(1)

PENGARUH SUHU ADSORPSI TERHADAP MUTU MINYAK GORENG BEKAS OLEH ARANG AKTIF TEMPURUNG KEMIRI

(Aleurites Moluccana) YANG DIAKTIVASI DENGAN H2SO4 10%

SKRIPSI

NENI SUPRIANI 090802014

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PENGARUH SUHU ADSORPSI TERHADAP MUTU MINYAK GORENG BEKAS OLEH ARANG AKTIF TEMPURUNG KEMIRI

(Aleurites Moluccana) YANG DIAKTIVASI DENGAN H2SO4 10%

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana Sains

NENI SUPRIANI 090802014

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif

Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang

Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

Kategori : Skripsi

Nama : Neni Supriani

Nomor Induk Mahasiswa : 090802014

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia

Departemen : Kimia S

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

disetujui di

Medan, Mei 2014 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II, Pembimbing I,

Dr. Darwin Yunus Nst, MS Dr.Yugia Muis, MSi

NIP.195508101981031006 NIP.195310271980032003

Diketahui/Disetujui oleh:

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst, MS NIP.1954083019850320


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH SUHU ADSORPSI TERHADAP MUTU MINYAK GORENG BEKAS OLEH ARANG AKTIF TEMPURUNG KEMIRI

(Aleurites Moluccana) YANG DIAKTIVASI DENGAN H2SO4 10%

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2014

Neni Supriani 090802014


(5)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini sebaik mungkin. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

Kedua orang tua, untuk Ayahanda Supriadi dan Ibunda Neliana yang

telah mendoakan, memberikan perhatian dan menjadi Inspirasi disetiap langkah hidup penulis. Kepada adik-adik tersayang Putra, Putri, Indra, Nurul, dan Aldi serta Uwak, Ika, Tek Afni, Tia, Rauf dan Mirza yang telah memberikan keceriaan, doa, dan dukungan kepada penulis.

Ibu Dr. Yugia Muis, MSi selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Darwin Yunus Nst, MS selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi. Ibu DR. Rumondang Bulan Nst, MS dan Bapak Albert Pasaribu, M. Sc selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia yang telah mensyahkan skripsi ini. Seluruh staf Dosen dan Pegawai Departemen Kimia yang telah membimbing serta memberikan disiplin ilmu kepada penulis. Staf Kimia Fisika dan Kimia Polimer serta teman-teman Asisten Supran, Aidil, Desi, Mira, Iis, Diana, Gita, Leni, Choliq, Habiby, Uci, Suci, dan Uli. Kepada Mardariana dan Asmi serta teman-teman stambuk 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berbagi suka, dan duka selama perkuliahan dan penelitian. Kepada sahabat-sahabat tersayang Rina, Kiki, Latifa, Lia, Pina, Iar, Ani dan Mimi yang memberi motivasi dan semangat untuk penulis.

.

Hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis berharap Allah SWT memberikan berkah-Nya berlipat ganda kepada kita semua, Amin ya Rabbalalamin.


(6)

PENGARUH SUHU ADSORPSI TERHADAP MUTU MINYAK GORENG BEKAS OLEH ARANG AKTIF TEMPURUNG KEMIRI

(Aleurites Moluccana) YANG DIAKTIVASI DENGAN H2SO4 10%

ABSTRAK

Adsorpsi minyak jelantah terhadap arang aktif tempurung kemiri telah dilakukan.

Tempurung kemiri hasil dehidrasi di karbonisasi pada suhu 750oC selama 90

menit, kemudian diayak dengan ayakan 100 mesh. Arang yang lolos saringan

diaktivasi dengan H2SO4 10%. Karakterisasi arang aktif meliputi rendemen

didapat sebesar 32,845%, kadar air 6,88%, kadar abu 0,49%. Morfologi

permukaan arang aktif diuji dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan

ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA) didapat sebesar

104,43677 �m. Parameter pengujian mutu minyak goreng bekas berdasarkan

kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas dan indeks bias. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu adsorpsi maka mutu minyak goreng bekas semakin baik.


(7)

THE EFFECT OF ADSORPTION TEMPERATURE ON QUALITY OF COOKING OIL BY ACTIVE CARBON CANDLENUT SHELL

(Aleurites Moluccana) ACTIVATED WITH H2SO4 10%

ABSTRACT

Adsorption of used cooking oil to the candlenut shell activated carbon has been done. Candlenut shell results in dehydration with carbonization at 750oC for 90 minutes, and then the sieved with 100 mesh sieve. Then carbon filter that passes 100 mesh carbon active with H2SO4 10%. Characterization of activated carbon

include the yield obtained 32.845 %, water content 6.88%, ash content 0.49 %.

The morphology of the surface of activated carbon was tested by Scanning

Electron Microscopy (SEM), and particle size of the Particle Size Analyzer (PSA)

obtained at 104.43677 µm. Parameters used cooking oil quality testing based on the levels of free fatty acids (FFA), moisture content, density and refractive index. The results showed that the higher the temperature the adsorption of the quality of used cooking oil is better.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan

iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Pembatasan Masalah 4

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Metodologi Penelitian 5

1.7 Lokasi Penelitian 6

Bab 2 Tinjauan Pustaka 7

2.1 Adsorpsi 7

2.1.1 Jenis – jenis Adsorpsi 7

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Adsorpsi 8

2.2 Adsorben 10

2.2.1 Jenis – jenis Adsorben 10

2.2.2 Kriteria Adsorben untuk menjadi Adsorben Komersil 11

2.3 Karbon Aktif 11

2.3.1 Jenis – jenis Karbon Aktif 13

2.3.2 Kegunaan Arang Aktif 13

2.3.3 Proses Pembuatan Arang Aktif 14

2.4 Kemiri 17

2.5 Kegunaan Kemiri 17

2.6 Karakterisasi Arang Tempurung Kemiri 19

2.6.1 Rendemen Arang aktif (%) 19

2.6.2 Kadar Air (%) 20

2.6.3 Kadar Abu (%) 20

2.6.4 Scanning electron Microscopy (SEM) 20

2.6.5 Particle Size Analyzer (PSA) 21

2.7 Minyak 23

2.8 Komposisi Minyak Goreng Curah dan Minyak Goreng


(9)

Bab 3 Metode Penelitian 29

3.1 Alat 29

3.2 Bahan 30

3.3 Prosedur Penelitian 30

3.3.1 Pembuatan Reagen 30

3.3.1.1 Pembuatan H2SO4 30

3.3.1.2 Pembuatan KOH 0,1 N 30

3.3.1.3 Pembuatan Indikator Phenolptalein (PP) dalam 30 etanol 95%

3.3.1.4 Pembuatan etanol 95% Netral 31

3.3.2 Penyiapan Sampel 31

3.3.3 Proses Karbonisasi Tempurung Kemiri 31

3.3.4 Proses Aktivasi Arang Tempurung Kemiri 31

3.4 Karakterisasi Arang Tempurung Kemiri 31

3.4.1 Penentuan Rendemen 31

3.4.2 Penentuan Kadar Air 32

3.4.3 Penentuan Kadar Abu 32

3.4.4 Analisa Morfologi Permukaan Arang Aktif dengan

Scanning Electron Microscopy (SEM) 32

3.4.5 Particle Size Analyzer (PSA) 33

3.4.6 Penentuan Asam lemak bebas 33

3.5 Karakterisasi Minyak setelah di adsorpsi 33

3.5.1 Penentuan Asam Lemak bebas (ALB) 33

3.5.2 Penentuan kadar air 34

3.5.3 Penentuan densitas 34

3.5.4 Penentuan Indeks bias 34

3.6 Bagan Penelitian 35

3.6.1 Bagan Penyiapan Tempurung Kemiri 35

3.6.2 Bagan Proses Karbonisasi Tempurung Kemiri 35

3.6.3 Bagan Proses Aktivasi dan Karakterisasi Arang

Tempurung Kemiri 36

3.6.4 Bagan Pengolahan Adsorpsi Minyak Jelantah 37

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 38

4.1 Hasil dan Pembahasan 38

4.1.1 Preparasi Tempurung Kemiri menjadi arang aktif 38

4.1.2 Rendemen Arang tempurung kemiri 38

4.1.3 Kadar Air (%) 39

4.1.4 Kadar Abu(%) 39

4.1.5 Analisa Morfologi Permukaan Arang Aktif dengan

Scanning Electron Microscopy ( SEM ) 40

4.1.6 Particle Size Analyzer ( PSA ) 41

4.1.7 Karakterisasi Penentuan Mutu Minyak Goreng Bekas 42

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran 50

5.1 Kesimpulan 50

5.2 Saran 50


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Standar Kualitas Arang Aktif menurut (Standar Nasional Indonesia)

SNI tahun 1995 12

2.2 Komponen Kimia Tempurung Kemiri 18

2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng 23

2.4 Asam Lemak berdasarkan kejenuhannya 27

3.1 Alat-alat Penelitian 29

3.2 Bahan-bahan Penelitian 30

4.1 Hasil Analisa Kadar Air (%) 39

4.2 Hasil Analisa Kadar Abu (%) 39

4.3 Mutu minyak goreng bekas sebelum adsorpsi 42

4.4 Mutu minyak goreng bekas setelah diadsorpsi dengan adsorben arang


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Contoh Adsorben Komersil 11

2.2 Tempurung Kemiri 18

2.3 Reaksi Hidrolisa pada minyak goreng 25

2.4 Proses oksidasi minyak goreng 26

4.1 Hasil Preparasi Tempurung Kemiri Menjadi Arang Aktif 38

4.2 Morfologi Permukaan Arang Hasil Karbonisasi Dengan Perbesaran

10.000x 40

4.3 Morfologi Permukaan Arang Aktif Dengan Perbesaran 10.000x 41

4.4 Kurva Hubungan Antara Variasi Suhu Adsorpsi Terhadap Kadar Asam

Lemak Bebas Yang Teradsorpsi Pada Minyak goreng bekas 44

4.5 Kurva Hubungan Antara Variasi Suhu Adsorpsi Terhadap Kadar Air

Yang Teradsorpsi Pada Minyak goreng bekas 46

4.6 Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap densitas

yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas 47

4.7 Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap indeks bias


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Proses Pembuatan Arang Aktif 56

2 Proses Adsorpsi Minyak 57

3 Perhitungan karakterisasi arang aktif 58

4 Data dan perhitungan uji kualitas minyak goreng bekas 59


(13)

PENGARUH SUHU ADSORPSI TERHADAP MUTU MINYAK GORENG BEKAS OLEH ARANG AKTIF TEMPURUNG KEMIRI

(Aleurites Moluccana) YANG DIAKTIVASI DENGAN H2SO4 10%

ABSTRAK

Adsorpsi minyak jelantah terhadap arang aktif tempurung kemiri telah dilakukan.

Tempurung kemiri hasil dehidrasi di karbonisasi pada suhu 750oC selama 90

menit, kemudian diayak dengan ayakan 100 mesh. Arang yang lolos saringan

diaktivasi dengan H2SO4 10%. Karakterisasi arang aktif meliputi rendemen

didapat sebesar 32,845%, kadar air 6,88%, kadar abu 0,49%. Morfologi

permukaan arang aktif diuji dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan

ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA) didapat sebesar

104,43677 �m. Parameter pengujian mutu minyak goreng bekas berdasarkan

kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas dan indeks bias. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu adsorpsi maka mutu minyak goreng bekas semakin baik.


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, negara yang sangat subur tanahnya. Pohon sawit dan kelapa tumbuh subur di tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar didunia. Minyak hasil kelapa sawit berupa minyak goreng, memiliki manfaat besar terhadap kehidupan (Winarni, 2010). Minyak goreng merupakan kebutuhan masyarakat yang saat ini harganya masih cukup mahal, akibatnya minyak goreng digunakan berkali-kali untuk menggoreng, baik untuk penjual makanan gorengan maupun rumah tangga. Secara ilmiah minyak goreng banyak digunakan berkali-kali terutama dengan pemanasan tinggi, sangat tidak sehat dikarenakan minyak tersebut asam lemaknya lepas dari trigliserida sehingga ikatan rangkapnya akan mudah teroksidasi menjadi Keton dan Aldehid sebagai penyebab bau tengik pada minyak (Ketaren, 1986).

Biasanya penggunaan minyak goreng dengan suhu tinggi akan mengalami kerusakan yaitu makanan menjadi gosong, sehingga rasanya pahit dan minyak berwarna hitam, akibatnya makanan tersebut ditenggorokan terasa gatal. Minyak goreng bekas agar tetap bisa dimanfaatkan, maka perlu dilakukan pengolahan secara sekunder. Salah satu metode pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan proses adsorpsi. Zat warna dalam minyak goreng bekas akan diserap oleh permukaan aktif adsorben. Adsorben yang dapat digunakan adalah karbon aktif.

Tempurung kemiri merupakan limbah yang tidak dipergunakan secara baik serta sifatnya keras seperti kayu sehingga dapat dibuat arang aktif. Masyarakat mengetahui bahwa tempurung kemiri hanya dapat digunakan sebagai


(15)

pengeras jalan dan untuk obat bakar nyamuk. Terdapat perbedaan antara arang dan arang aktif, dimana bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori-porinya lebih terbuka sehingga dapat melakukan penyerapan. Arang aktif dikatakan baik jika memiliki kemampuan adsorpsi dengan luas permukaan besar sehingga mudah untuk mengadsorpsi senyawa volatil (Wibowo, S, 2011).

Tan, I. (2007) meneliti tentang Preparation Of Activated Carbon From

Cocconut husk : Optimization Study on Removal Of 2, 4, 6- trichloro Phenol Using response Surface Methology, aktivasi dilakukan dengan larutan KOH dan gas CO2, dimana karakterisasi dilakukan dengan variasi suhu dan waktu aktivasi.

Hasil menunjukkan bahwa kondisi optimum terjadi pada suhu 750oC, selama 2

jam 29 menit. Suhendra, D. (2010), meneliti tentang Pembuatan Arang Aktif dari Batang Jagung Menggunakan Aktivator Asam Sulfat dan Penggunaannya Pada Penyerapan Ion Tembaga (II) dimana menggunakan aktivator asam sulfat dengan

perbandingan suhu karbonisasi 250-400oC selama 1-4 jam hasil menunjukkan

bahwa kondisi optimum aktivasi yang diperoleh adalah pada rasio aktivator : prekursor yaitu 1 : 25, suhu 300 oC dan waktu 1 jam, kapasitas serapan untuk menyerap ion logam tembaga (II) sebesar 25,1 mg/g. Lempang, M. (2011), meneliti tentang Struktur dan komponen arang serta arang aktif tempurung kemiri

dimana tempurung kemiri dikarbonisasi dengan tungku drum yang dimodifikasi, kemudian diaktivasi dalam retort listrik dengan menggunakan aktivator panas selama 120 menit pada suhu 550oC, 650oC dan 750oC dan aktivator uap air selama

90 dan 120 menit pada suhu 750oC. Hasil menunjukkan bahwa proses aktivasi

menyebabkan terjadinya perubahan pola gugus fungsi, peningkatan kristalinitas, pembukaan pori dan reduksi senyawa kimia. Semakin tinggi suhu aktivasi maka terjadi peningkatan kristalinitas, diameter pori dan reduksi senyawa kimia arang

aktif. Mardina, P. (2012), meneliti tentang Penurunan Angka Asam Pada Minyak

Jelantah dengan variasi adsorben arang aktif 5, 7,5, 10 g dengan variasi waktu 30, 60, 90 menit didapat bahwa, efisiensi adsorpsi kandungan asam lemak bebas meningkat dengan semakin besarnya dosis adsorben yang digunakan. Winarni,


(16)

(2010), juga meneliti tentang Penetralan dan Adsorpsi Minyak Goreng Bekas menjadi Minyak goreng Layak Konsumsi dimana penelitian dilakukan dengan bahan penetral larutan soda kue dan adsorben tanah diatome yang telah dinetralkan dengan asam sulfat 2 M, didapat perbedaan antara minyak goreng baru dengan minyak goreng bekas dimana minyak goreng bekas diatas sedikit dari standar SNI minyak goreng (0,3%), begitu juga dengan angka asamnya (0,3%), angka peroksidanya juga tinggi dari minyak goreng baru serta angka iodnya

rendah. Murdiono, A. (2011), meneliti tentang Penjernihan Minyak Goreng

Bekas dengan Proses Adsorpsi Menggunakan Arang Biji Salak dimana penelitian dilakukan untuk meningkatkan kualitas minyak goreng dengan adsorben biji salak dimana proses adsorpsi dengan variasi suhu 40oC, 50oC, 60oC, dan 70oC dengan variasi berat adsorben 10 g, 20 g, 50 g dan variasi waktu pengadukan yaitu 20, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum adsorpsi tidak dapat ditentukan karena sampai pada suhu yang paling tinggi yaitu 70oC dengan berbagai variasi berat adsorben dan waktu pengadukan tetap terjadi penurunan nilai absorbansi dan nilai penyerapan warnanya semakin meningkat.

Dari uraian diatas peneliti mencoba untuk menjernihkan minyak goreng bekas dengan menggunakan adsorben arang aktif tempurung kemiri yang dikarbonisasi pada suhu 750oC dengan aktivator H2SO4 10% dimana tujuannya

untuk mengetahui mutu minyak goreng bekas dengan parameter uji kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas dan indeks bias dengan variasi suhu adsorpsi serta karakterisasi arang aktif seperti kadar air, kadar abu, ukuran pori

dengan Particle Size Analyzer (PSA), serta morfologi permukaan arang ktif

dengan menggunakan Scaning electron microscopy (SEM).

1.2Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Berapakah rendemen, kadar air, kadar abu , karakterisasi ukuran pori arang aktif dengan Particle Size Analyzer (PSA) serta karakterisasi morfologi


(17)

permukaan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) pada arang aktif tempurung kemiri dengan aktivator H2SO4 10%.

2. Berapakah kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas dan indeks

bias minyak goreng bekas sebelum dan setelah adsorpsi dengan perbandingan variasi suhu adsorpsi.

1.3 Pembatasan Masalah

1. Tempurung kemiri berasal dari tempat penampungan kemiri di daerah

Binjai.

2. Karbonisasi dilakukan pada suhu 750oC selama 90 menit. 3. Aktivator yang digunakan adalah H2SO4 10%.

4. Minyak goreng bekas untuk proses adsorpsi terdiri dari minyak curah dan

minyak kemasan.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hasil dari rendemen, kadar air, kadar abu, karakterisasi

ukuran pori arang aktif dengan Particle Size Analyzer (PSA) dan

morfologi permukaan arang aktif tempurung kemiri dengan Scanning

Electron Microscopy (SEM).

2. Untuk mengetahui hasil kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air,

densitas, indeks bias sebelum dan setelah adsorpsi dengan variasi suhu adsorpsi.

1.5 Manfaat Penelitian

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa limbah tempurung kemiri dapat dibuat arang aktif dan berguna sebagai adsorben minyak goreng bekas agar minyak dapat dimanfaatkan kembali.


(18)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah sebuah eksperimen laboratorium, dimana dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:

1. Pembuatan Arang aktif

Pada tahap ini merupakan proses pembuatan arang aktif tempurung kemiri. Kemudian dikarakterisasi rendemen, kadar air, kadar abu, karakterisasi ukuran

pori arang aktif dengan Particle Size Analyzer (PSA) dan analisa morfologi

permukaan arang aktif tempurung kemiri dengan Scanning Electron Microscopy

(SEM).

2. Adsorpsi minyak goreng bekas dengan arang aktif

Pada tahap ini merupakan proses pemurnian minyak goreng bekas dengan menggunakan adsorben arang aktif tempurung kemiri yang diaktivasi dengan H2SO4 10% dengan variasi suhu adsorpsi 30, 50, 70, 90, 110oC dan dihitung kadar

asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas dan indeks bias.

Variabel- variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

• Tahap I (Pembuatan Arang aktif )

Variabel tetap :

1. Suhu karbonisasi 7500C

2. Waktu karbonisasi 90 menit

3. Ayakan yang digunakan 100 mesh

4. Aktivator yang digunakan H2SO4 10%

5. Suhu pengeringan 110o C

Variabel terikat: rendemen, kadar air , kadar abu, karakterisasi ukuran pori


(19)

permukaan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

Tahap II (Adsorpsi minyak goreng bekas dengan arang aktif )

Variabel tetap:

1. Volume minyak goreng bekas 40 ml

2. Kecepatan pengadukan 800 rpm

3. Waktu pengadukan 45 menit

Variabel terikat: kadar asam lemak bebas ( ALB), kadar air, densitas dan indeks bias

Variabel bebas : suhu adsorpsi 30oC, 50oC, 70oC, 90oC, 110oC.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika, Laboratorium kimia Polimer dan Laboratorium Ilmu dasar (LIDA) Universitas Sumatera Utara, Uji

Morfologi Permukaan Arang Aktif dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam. Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan padatan, baik fasa gas atau fasa larutan kedalam permukaannya. Akibatnya konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas zat terlarut dalam larutan. Pada adsorpsi interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben (Tandy, E .2012).

2.1.1 Jenis – Jenis Adsorpsi

Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Pada adsorpsi fisika, gaya tarik menarik antara molekul fluida dengan molekul pada permukaan padatan ( Intermolekuler ) lebih kecil dari pada gaya tarik menarik antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben relatif lemah pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian


(21)

permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversibel. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori.

b. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat berupa ikatan Kovalen / Ion. Ikatan yang terbentuk kuat sehingga spesi aslinya tidak dapat ditentukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang terbentuk maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi kimia diawali dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat kepermukaan adsorben melalui gaya Van der Waals / Ikatan Hidrogen kemudian melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasa merupakan ikatan kovalen (Shofa, 2012).

2.1.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi

1. Jenis Adsorbat

a) Ukuran molekul adsorbat

Molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben maka akan lebih cepat teradsorpsi.

b) Kepolaran zat

Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul polar dibandingkan dengan molekul nonpolar pada kondisi diameter yang sama.

2. Suhu

Pada saat molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi sehingga adsorpsi digolongkan bersifat eksoterm. Oleh karena proses adsorpsi adalah proses eksotermis, maka adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi. Jika terdapat reaksi antara kontaminan yang teradsorpsi dan permukaan adsorben antara 2 atau lebih


(22)

kontaminan kimia tersebut, maka laju reaksinya akan meningkat pada temperatur yang lebih tinggi.

3. Kelarutan Adsorbat

Jika sebuah molekul harus dipisahkan dari pelarut dan menjadi terikat pada permukaan karbon. Senyawa yang dapat larut mempunyai ikatan yang kuat terhadap pelarutnya sehingga lebih sulit teradsorpsi dari pada senyawa-senyawa yang tidak dapat larut.

4. Karakteristik Adsorben

Ukuran pori dan luas permukaan adsorben merupakan karakteristik penting adsorben. Ukuran pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaan semakin tinggi, sehingga jumlah molekul yang teradsorpsi akan bertambah. Selain itu kemurnian adsorben juga merupakan karakterisasi penting dimana pada fungsinya adsorben yang lebih murni akan lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi yang lebih baik

(Lestari, F.2009).

5. Pengadukan

Pengadukan mempengaruhi proses adsorpsi. Jika interaksi antara adsorbat dan adsorben meningkat maka adsorpsi yang terjadi semakin cepat.

. 6. pH

pH untuk tempat adsorpsi berlangsung telah dibuktikan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap besar adsorpsi. Adsorpsi dari banyak senyawa-senyawa asam-asam organik didorong oleh pH yang tinggi. pH optimum untuk setiap proses adsorpsi dapat ditentukan (Yuliana, S .2008)


(23)

2.2 Adsorben

Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu didalam partikelnya. Karena pori- porinya biasa kecil maka luas permukaan dalam mencapai beberapa orde besaran lebih besar dari permukaan luar dan bisa sampai

2000 m2/gr. Dalam kebanyakan hal komponen yang diadsorpsi melekat

sedemikian kuat sehingga memungkinkan pemisahan komponen itu secara menyeluruh dari fluida tanpa terlalu banyak adsorpsi terhadap komponen lain sehingga memungkinkan adsorbat yang dihasilkan dalam bentuk terkonsentrasi atau hampir murni (Tandy, E. 2012).

2.2.1 Jenis – Jenis Adsorben

a. Adsorben tidak berpori ( Non- Porous Sorbent )

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit

kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan

spesifiknya kecil tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 s/d 1 m2/g. Adsorben yang tidak berpori seperti filter karet dan karbon hitam bergrafit adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g.

b. Adsorben berpori ( Porous Sorbents )

Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m2/g. Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen. Adsorben ini umumnya berbentuk granular.

Klasifikasi pori menurut International Union Of Pure and Applied Chemistry ( IUPAC) adalah :

a) Pori – pori berdiameter kecil (Mikropores d < 2 nm ) b) Pori – pori berdiameter sedang ( Mikropores 2 < d <50 nm) c) Pori – pori berdiameter besar ( Makropores d > 50 nm )


(24)

2.2.2 Kriteria Adsorben Untuk Menjadi Adsorben Komersil

Kriteria yang harus dipenuhi suatu adsorben untuk menjadi adsorben komersial adalah :

1. Memiliki permukaan dan unit massa yang besar sehingga kapasitas

adsorpsi akan semakin besar pula.

2. Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat pasangan. 3. Ketahanan struktur fisik yang tinggi.

4. Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun. 5. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi.

6. Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi ( Hendra, R. 2008).

Beberapa jenis adsorben berpori telah digunakan secara komersial antara lain silika gel, zeolit, karbon aktif, dan alumina. Seperti pada gambar 2.1 dibawah ini:

silika gel zeolite karbon aktif alumina

Gambar 2.1 Contoh Adsorben Komersial

2.3 Karbon Aktif

Karbon aktif secara komersial diketahui pertama kali karena penggunaannya

sebagai Topeng Uap pada perang dunia I. Penerapan secara komersil arang kayu

digunakan dalam sebuah pabrik gula di Inggris. Karbon aktif merupakan adsorben terbaik dalam sistem adsorpsi. Ini di karenakan arang aktif memiliki luas permukaan besar dan daya adsorpsi tinggi sehingga pemanfaatannya dapat


(25)

dan ini terkait dengan struktur pori pada karbon aktif tersebut. Karbon aktif adalah material berpori dengan kandungan karbon 87% - 97% dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan material lain. Karbon aktif merupakan karbon yang telah diaktivasi sehingga terjadi pengembangan struktur pori yang bergantung pada metode aktivasi yang digunakan. Struktur pori menyebabkan ukuran molekul teradsorpsi terbatas, sedangkan bila ukuran partikel tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan karbon aktif ( Austin, 1996).

Perbedaan antara karbon dan karbon aktif adalah pada bagian permukaannya. Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta porinya terbuka sehingga dapat melakukan penyerapan. Kemampuan adsorpsi arang aktif tidak hanya bergantung pada luas permukaannya saja tetapi juga struktur pori-pori arang aktif (Wibowo, S. 2011). Kualitas arang aktif dapat dilihat dari Standar Nasional Indonesia pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel.2.1 Standar kualitas arang aktif menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1995

No. Uraian Persyaratan Kualitas

Butiran Serbuk

1 Bagian yang hilang pada Maks.15 Maks.25

Pemanasan 950oC (%)

2 Kadar Air (%) Maks.4,5 Maks.15

3 Kadar abu (%) Maks.2,5 Maks.10

4 Bagian tidak mengarang Min.750 Min.750

5 Daya serap terhadap I2, mg/g Min.80 Min.65

6 Karbon aktif murni (%) Min.25 -

7 Daya serap terhadap benzena (%) Min.60 Min120

8 Daya serap terhadap biru metilen, mg/g 0,45-0,55 0,3-0,35

9 Berat Jenis Curah, 9/ml - 90

10 Lolos mesh 325 (%) 90 -

11 Jarak mesh (%) 80 -

12 Kekerasan (%) Sumber : Anonim,1995


(26)

2.3.1 Jenis – Jenis Karbon Aktif

1. Karbon aktif untuk fasa cair

Karbon aktif untuk fasa cair biasanya berbentuk serbuk dan biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu, batu bara, lignit, dan bahan yang mengandung lignin seperti limbah hasil pertanian. Karbon aktif ini banyak digunakan untuk pemurnian larutan dan penghilangan rasa dan bau pada zat cair misalnya untuk penghilangan polutan berbahaya seperti gas amonia dan logam berbahaya pada proses pengolahan air.

2. Karbon aktif untuk fasa uap

Karbon aktif untuk fasa uap biasanya berbentuk butiran / granula. Karbon aktif jenis ini biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih besar seperti tempurung kelapa, batu bara, cangkang kemiri, dan residu minyak bumi. Karbon aktif jenis ini digunakan dalam adsorpsi gas dan uap misalnya adsorpsi emisi gas hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan seperti CO dan NOx (Shofa, 2012).

2.3.2 Kegunaan Arang Aktif

Terdapat beberapa kegunaan arang aktif yaitu : a. Untuk gas

1. Pemurnian gas

Desulfurisasi, menghilangkan gas racun, bau busuk, asap, menyerap racun.

2. Pengolahan LNG

Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah dan reaksi gas. 3. Katalisator

Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan vinil asetat. 4. Lain- lain


(27)

b. Untuk zat cair

1. Industri obat dan makanan

Menyaring dan menghilangkan warna, bau, dan rasa yang tidak enak pada makanan.

2. Minuman ringan dan minuman keras

Menghilangkan warna dan bau pada arak / minuman keras dan minuman ringan.

3. Kimia perminyakan

Penyulingan bahan mentah, zat perantara. 4. Pembersih air

Menyaring dan menghilangkan bau, warna dan zat pencemar dalam air sebagai pelindung atau penukar resin dalam penyulingan air.

5. Pembersih air buangan

Mengatur dan membersihkan air buangan dan pencemaran.

6. Penambakan udang dan benur

Pemurnian, menghilangkan bau dan warna.

7. Pelarut yang digunakan kembali

Penarikan kembali berbagai pelarut sisa metanol, etil asetat, dan lain- lain (Kurniati, E. 2008).

2.3.3 Proses Pembuatan Arang Aktif

a. Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses penghilangan air dalam bahan baku karbon aktif dengan tujuan untuk menyempurnakan proses karbonisasi dan dilakukan dengan cara menjemur bahan baku dibawah sinar matahari / memanaskannya dalam oven.

b. Karbonisasi


(28)

1. Pada suhu 100 – 120oC terjadi penguapan air dan sampai suhu 270oC mulai terjadi peruraian selulosa. Distilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. Asam cuka terbentuk pada suhu 200 – 270 oC.

2. Pada suhu 270 – 310oC reaksi eksotermik berlangsung dimana terjadi

peruraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan sedikit tar. Asam merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol sedang gas kayu terdiri dari CO dan CO2.

3. Pada suhu 310 – 500oC terjadi peruraian lignin, dihasilkan lebih banyak tar

sedangkan larutan pirolignat menurun, gas CO2 menurun sedangkan gas

CO dan CH4 dan H2 meningkat.

4. Pada suhu 500- 1000o C merupakan tahap dari pemurnian arang atau kadar

karbon (Sudrajat,1994).

Dari penjelasan diatas didapatkan bahwa pada proses karbonisasi berlangsung terdapat gas-gas yang terbakar seperti CO, CH4 dan H2, Formaldehid,

Asam Formiat, dan Asam asetat serta gas-gas yang tidak terbakar seperti CO2,

H2O dan tar cair akan dilepaskan (Borman, G, L. 1998).

c. Aktivasi

Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan dan daya adsorpsi karbon aktif. Pada proses ini terjadi pelepasan hidrokarbon, tar, dan senyawa organik yang melekat pada karbon tersebut. Proses aktivasi terdapat 2 jenis yaitu :

1. Aktivasi Fisika

Pada aktivasi secara fisika, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800 – 1000oC dan dialirkan gas pengoksida seperti uap air, oksigen / CO2. Gas pengoksida akan

bereaksi dengan karbon dan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen untuk gas pengoksida berupa uap air. Senyawa-senyawa produk samping pun akan terlepas pada proses ini sehingga akan memperluas pori dan meningkatkan daya


(29)

adsorpsi. Klasifikasi karbon dengan uap air dan CO2 terjadi melalui reaksi bersifat

endotermis berikut ini :

C + H2O → CO + H2 ( 117 kj/mol)

C + CO2 → 2 CO ( 159 kj / mol )

Sedangkan aktivasi fisika dengan oksigen melalui reaksi bersifat eksotermis berikut ini :

C + O2 → CO2 ( -406 kj / mol )

Pada aktivasi fisika terjadi pengurangan massa karbon dalam jumlah yang besar karena adanya pembentukan struktur karbon. Namun pada aktivasi fisika seringkali terjadi kelebihan oksida eksternal sewaktu gas pengoksida berdifusi pada karbon sehingga terjadi pengurangan ukuran adsorben. Selain itu, reaksi sulit dikontrol (Marsh, 2006).

2.Aktivasi kimia

Menurut Ioannidou, O. dan Zabaniotou, A. (2006), proses aktivasi dilakukan dengan menggunakankan bahan kimia sebagai agen pengaktif. Aktivasi arang

dilakukan dengan merendam arang kedalam larutan kimia seperti NaCl, ZnCl2,

KOH, KCl, H3PO4, dan K2CO3 Sehingga bahan kimia akan meresap dan

membuka permukaan arang yang semula tertutup oleh deposit tar dan volume kontraksi pada proses karbonisasi.

Pada proses aktivasi karbon atau arang dipanaskan dengan suhu tinggi dalam sistem tertutup tanpa udara sambil dialiri gas Inert. Saat ini terjadi proses lanjutan pemecahan atau peruraian sisa deposit tar dan senyawa hidrokarbon sisa karbonisasi keluar dari permukaan karbon sebagai akibat gas suhu tinggi dan adanya aliran gas inert, sehingga akan dihasilkan karbon dengan luas permukaan yang cukup luas atau disebut dengan arang aktif (Murat, B. 2012).


(30)

2.4. Kemiri

Tanaman kemiri (Alleurites Moluccana) termasuk suku Euphorbiacea. Ketinggian tanaman dapat mencapai 40 meter dan diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1,25 meter. Tanaman kemiri ada yang berumah satu dan ada pula yang berumah dua. Disebut berumah satu jika pada satu pohon terdapat bunga jantan yang mengandung benang sari dan terdapat pula bunga betina yang mengandung putik. Disebut berumah dua jika pada satu pohon hanya terdapat bunga-bunga jantan saja, atau hanya terdapat bunga-bunga betina saja.

Buah kemiri termasuk buah batu, berbentuk bulat telur dan ada bagian yang menonjol kesamping. Daging buahnya kaku dan mengandung 1-2 biji yang diselimuti oleh kulit biji yang keras. Kemiri merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan secara luas didunia. Tanaman kemiri banyak dibudidayakan diprovinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan barat, Kalimantan selatan, Kalimantan timur, Bali , Sulawesi Selatan, Maluku, dan NTT (Sunanto, H. 1994).

2.5 Kegunaan Kemiri

Tanaman kemiri merupakan tanaman industri, sebab produk yang dihasilkan dapat dipakai untuk bahan berbagai barang industri. Kayunya yang ringan dapat digunakan untuk bahan pembuat perabot rumah tangga atau bahan industri lain seperti korek api dan kotak korek api. Batang kemiri juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bahan pulp ( bahan pembuatan kertas). Biji kemiri mempunyai tiga bagian, yaitu lapisan tipis pelapis biji, cangkang kemiri, dan biji dalam kemiri. Bagian biji dalam kemiri yang berwarna putih sangat banyak mempunyai manfaat diantaranya adalah sebagai bahan obat-obatan tradisional, sebagai rempah-rempah, dan untuk perawatan rambut khususnya untuk memanjangkan rambut. Didalam biji banyak sekali mengandung kadar minyak, minyak yang diekstrak dari bijinya berguna dalam industri untuk digunakan sebagai bahan campuran cat ( Ketaren, 1986 ).


(31)

Tempurung kemiri biasa dimanfaatkan untuk bahan bakar nyamuk. Berdasarkan penelitian tempurung kemiri dapat dibuat sebagai produk karbon aktif. Tempurung kemiri yang telah lama terpendam di tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk N, P dan K ( Sinaga. J. 2010 ). Gambar dan komponen kimia tempurung kemiri dapat dilihat pada gambar 2.2 dan tabel 2.2 dibawah ini :

Gambar.2.2 Tempurung kemiri

Tabel 2.2 Komponen kimia tempurung kemiri

No Komponen Kadar (%)

1 Holoselulosa 49,22

2 Pentosa 14,22

3 Lignin 54,46

4 Ekstraktif

- Kelarutan dalam air dingin 1.96

- Kelarutan dalam air panas 6,18

- Kelarutan dalam alkohol : Benzen (1 : 2) 2,69

5 Kelarutan dalam NaOH 1% 17,14

6 Abu 8,73


(32)

Lignin merupakan komponen kimia yang terkandung dalam tempurung kemiri dimana, Lignin merupakan komponen kimia yang dalam tumbuhan yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi oleh gugus aromatis berupa fenil propana. Didalam struktur jaringan kayu, lignin terutama terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel primer.

Zat ekstraktif merupakan komponen kimia non struktural didalam sel organ tumbuhan. Jumlah bahan ekstraktif yang terdapat dalam tumbuhan tergantung pada jenis tumbuhan dan letaknya dalam bagian tumbuhan. Komponen utama dari tempurung kemiri larut dalam air dingin yaitu: karbohidrat, protein, dan garam-garam organik. Komponen kimia yang larut dengan air panas yaitu: tanin, getah gula, bahan pewarna dan pati sedangkan komponen kimia yang larut dalam alkohol benzen yaitu: lilin, lemak, resin, minyak, dan tanin serta komponen lain yang tidak larut dalam eter. Abu merupakan komponen penyusun sel tumbuhan yang tidak larut dalam air / pelarut organik. Kandungan abu tempurung kemiri sangat tinggi yaitu 8,73% (Fengel, D, 1995).

2.6 Karakteristik Arang Aktif Tempurung Kemiri 2.6.1 Rendemen Arang aktif (%)

Rendemen merupakan karakteristik dari proses kualitas arang aktif yang dihasilkan. Dimana tujuan dari rendemen ini untuk mengetahui jumlah arang yang dihasilkan pada saat proses adsorpsi karbonisasi dan proses aktivasi.

Penentuan Rendemen (%) dapat dihitung dengan persamaan 2.3 sebagai berikut :

Rendemen arang aktif (%) = �

� × 100% (2.3)

Keterangan :

α = Berat sampel sebelum aktivasi (g)


(33)

2.6.2 Kadar Air ( %)

Salah satu sifat kimia dari arang aktif yang mempengaruhi kualitas arang aktif yaitu kadar air. Pengujian kadar air dilakukan dengan cara memanaskan arang

aktif sebanyak 2 gram pada suhu 110oC selama 3 jam kemudian didinginkan

dalam desikator lalu ditimbang hasilnya. Kadar air dihitung dengan persamaan 2.4 berikut :

Kadar air (%) =

�−�

x 100 % (2.4)

Keterangan : α = berat sampel sebelum pemanasan (g) b = berat sampel sesudah pemanasan (g)

2.6.3 Kadar Abu (%)

Kadar abu dilakukan dengan cara memanaskan arang aktif sebanyak 2 gram

didalam tanur pada suhu 750oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator

selama 1 jam kemudian ditimbang. Kadar abu dapat dilihat pada persamaan 2.5 berikut :

Kadar abu (%) =

x 100%

(2.5) Keterangan :

α = berat sisa sampel (g)

b = berat awal sampel (g) ( Nur, R. 2013)

2.6.4 Scaning Electron Microscope (SEM)

Proses pengamatan mikroskopis menggunakan SEM dilakukan pada permukaan sampel dimana mula – mula sampel dilapisi dengan emas bercampur palladium

dalam suatu ruangan (vacum evaporator) bertekanan 0,2 torr dengan

menggunakan mesin JEOL JSM-6360LA-EXD JED-2200 series. Selanjutnya sampel disinari dengan pancaran elektron bertenaga 20 kV pada ruangan khusus


(34)

sehingga sampel mengeluarkan elektron sekunder dan elektron yang terpental dapat dideteksi oleh detektor scientor yang diperkuat dengan suatu rangkaian

listrik yang menyebabkan timbulnya gambar CRT (Cathode Ray Tube) selama 4

menit. Kemudian coating dengan tebal lapisan 400 amstrong dimasukkan ke dalam spesimen chamber pada mesin SEM (JSM-35C) untuk dilakukan pemotretan. Hasil pemotretan dapat disesuaikan dengan perbesaran yang diinginkan (Harahap, M. 2012).

2.6.5 Particle Size Analyzer (PSA)

Seiring bertambahnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah pada era nanoteknologi. Para peneliti menggunakan Laser Diffraction (LAS), dimana metode ini dinilai lebih akurat untuk dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun metode ayakan terutama sampel dalam orde nanometer/submikron. Salah satu contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size Analyzer (PSA) dimana metode LAS dibagi menjadi 2 yaitu :

• Metode basah, dimana metode ini menggunakan media pendispersi untuk

mendispersikan material uji

• Metode kering, dimana metode ini memanfaatkan udara / aliran udara

untuk melarukan partikel dan membawanya ke senzing zone.

Keunggulan dari Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel antara lain yaitu :

1) Lebih akurat, pengukuran partikel dengan PSA lebih akurat dibandingkan

dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD/SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan kedalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dan single particle.

2) Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi sehingga dapat menggambarkan

keseluruhan kondisi sample.


(35)

Pengukuran partikel dengan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering. Pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersi kedalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian untuk partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel


(36)

2.7 MINYAK

Minyak merupakan trigliserida tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair

pada suhu kamar (25oC) dan lebih banyak mengndung asam lemak tidak jenuh

sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat biasa disebut dengan lemak. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak bunga matahari. Minyak dapat juga bersumber dari hewan, misalnya minyak ikan sarden, minyak ikan paus dan lain-lain (Ketaren,1986).

Syarat mutu minyak goreng dapat dilihat pada tabel 2.4 dibawah ini:

Tabel 2.3 : Syarat Mutu Minyak Goreng

No Kriteria Uji Persyaratan

1 Bau Normal

2 Rasa Normal

3 Warna Muda Jernih

4 Kadar Air Max. 0,3 %

5 Berat Jenis 0,9 gram/L

6 Asam Lemak Bebas Max. 0,3 %

7 Angka Peroksida Max. 2 meg/Kg

8 Angka Iodium 45-46

9 Angka Penyabunan 196-206

10 Titik Asap min 200oC

11 Indeks Bias 1,448-1,450

12 Cemaran Logam

a. Besi Max. 1,5 mg/Kg

b. Timbal Max. 0,1 mg/Kg

c. Tembaga Max. 40 mg/Kg

d. Seng Max. 0,05 mg/Kg

e. Raksa Max. 0,1 mg/Kg

f. Timah Max. 0,1 mg/Kg

g. Arsen Max. 0,1 mg/Kg


(37)

2.8. Komposisi Minyak Goreng Curah dan Minyak Goreng Kemasan

Minyak goreng curah berbeda dengan minyak goreng bermerek seperti Filma, Bimoli, Prima dan sebagainya. Karena minyak goreng bermerek dua kali penyaringan, sedangkan minyak goreng curah proses penyaringan hanya satu kali sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih dibanding minyak goreng curah. Begitu juga kandungan yang terdapat antara minyak curah dan minyak kemasan. Dari segi kandungan, minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding minyak kemasan. Namun tidak ada masalah menggunakan minyak curah, asalkan tidak berlebihan dan tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Minyak curah hanya mengalami penyaringan sampai tahap olein. Dan masih mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu. Oleh karena itu minyak curah biasanya lebih keruh dibandingkan minyak bermerek. Selain itu tingkat sanitasi dan kebersihannya kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek. Tidak ada salahnya menggunakan minyak goreng curah, hanya saja kadar kebersihannya berbeda dengan minyak kemasan dan minyak kemasan kadar lemaknya lebih rendah. Minyak goreng kemasan umumnya melalui proses produksi lebih lama dibanding minyak curah karena mengalami beberapa proses. Proses produksi sedikit banyak mempengaruhi kualitas minyak goreng yang dihasilkan baik secara fisik maupun secara kandungan gizi (Dewi, M. T. I dan Hidayati, N. 2012).

Kerusakan minyak goreng dapat terjadi selama proses penggorengan, hal ini akan mempengaruhi kualitas minyak dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Beberapa penyebab kerusakan pada minyak goreng yaitu:

1. Kerusakan karena hidrolisa dimana awal prosesnya terdapat di pabrik.

Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan berlangsung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu merupakan bahan pembantu dalam proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan.


(38)

Berikut merupakan proses hidrolisis yang terjadi pada minyak goreng yang ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut ini :

O ║

CH2OCR CH2OH

O O O

║ ║ ║

CH2OCR + H2O CH2OCR + RCOH

O O

║ ║

CH2OCR CH2OCR

Trigliserida Air Digliserida Asam Lemak Bebas

CH2OCR CH2OH

CHOH CHOH + Asam lemak bebas

O ║

CH2OCR2 CH2OH

Gambar 2.3. Reaksi hidrolisis pada minyak goreng ( Ketaren, 2008 )

2. Kerusakan karena oksidasi ini dapat terjadi karena otooksidasi radikal

asam lemak tidak jenuh dalam minyak. Otooksidasi ini dimulai dari pembentukan radikal bebas yang disebabkan karena faktor yang mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, dll. Akibat dari kerusakan minyak karena oksidasi dapat timbul bau tengik pada minyak maupun rasa dan aroma. Proses oksidasi minyak goreng ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut ini :


(39)

H H H H H H H H

Energi

R1- C – C = C – C – R2 R1 –C – C = C – C – R2 + H

( Panas + sinar) radikal bebas

H H H

H H H H hidrogen yang

Stabil + O2

R1 - C – C = C – C – R2

H H H H

O-O H

R1- C – C = C – C – R2 + Peroksida aktif H H

H H H H H H H H

R1- C – C = C – C – R2 + R1- C – C = C – C – R2 `

O- OH H

Hidroperoksida radikal bebas

Gambar 2.4. Proses oksidasi minyak goreng ( Winarno. 2002 ).

3. Kerusakan polimerisasi biasanya terbentuk pada saat minyak dipanaskan

dimana dapat membentuk senyawa polimer yang menyerupai gum yang kental dan berbuih di dasar tempat penggorengan. Kerusakan karena hidrolisis terjadi akibat inteaksi antara air dengan lemak yang menyebabkan putusnya beberapa asam lemak dari minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Desminarti, S. 2007).

Asam lemak bebas adalah hasil reaksi antara air dan lemak. Meningkatnya persen dari asam lemak bebas pada waktu penggorengan adalah terutama jumlah

uap dari makanan selama proses penggorengan dan suhu penggorengan. Asam

lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sangat

merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen dan kualitas minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak bebas dalam minyak. Angka asam pada minyak dan lemak menunjukkan kandungan ALB yang mempengaruhi kualitas minyak dan lemak. Keberadaan asam lemak bebas dalam lemak / minyak biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan lemak/ minyak karena proses hidrolisis yang


(40)

terjadi pada proses penggorengan. Pembentukan asam lemak bebas akan mempercepat kerusakan oksidatif lemak/ minyak karena asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi. Angka asam ditentukan dengan reaksi penyabunan yaitu dengan cara mereaksikan lemak / minyak dengan basa KOH / NaOH (Kusnandar, F. 2010). Asam lemak berdasarkan kejenuhannya ditunjukkan pada tabel 2.4 dibawah ini :

Tabel 2.4 Asam lemak berdasarkan kejenuhannya

No. Jenis asam lemak Rumus molekul Sumber (asal)

1 Asam Lemak Jenuh

a. Asam Butirat CH3 (CH2)2COOH Lemak susu sapi

b. Asam Palmitat CH3(CH2)14COOH Lemak hewani dan nabati c. Asam Stearat CH3(CH2)16COOH Lemak hewani

dan nabati

2 Asam lemak tidak Jenuh

a. Asam Palmitoleat CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH Minyak kacang

dan jagung b. Asam oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Lemak hewani

dan nabati c. Asam Linoleat CH3(CH3)4CH=CHCH2CH=CH Minyak biji

(CH2)7COOH kapas

d. Asam Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CH Minyak Perilla

CH2 = CH(CH2)7COOH

Sumber: Ketaren,1986.

Air pada minyak goreng berada dalam bentuk koloid yang distabilkan adanya protein dalam minyak goreng, sehingga untuk meningkatkan kualitas minyak goreng maka keberadaan air harus direduksi seminim mungkin. Pelepasan molekul air pada minyak goreng dapat dilakukan dengan pemanasan akan tetapi perlakuan termal tersebut terhadap minyak goreng dapat menyebabkan


(41)

terputusnya ikatan trigliserida. Adanya air pada minyak goreng dapat menyebabkan terurainya bentuk trigliserida menjadi asam lemak bebas yang dapat bereaksi lebih lanjut menjadi aldehid dan keton yang merupakan salah satu penyebab terjadinya ketengikan pada minyak.

Massa jenis yang terdapat pada minyak goreng merupakan salah satu standar kualitas minyak, dimana massa jenis minyak goreng ini bergantung dari berat molekul penyusunnya dan derajat ketidak jenuhannya. Massa jenis minyak goreng bekas tergantung dari kadar air dan kadar kotoran yang tidak larut selama proses penggorengan dimana dengan menguji massa jenis dari minyak dapat diketahui tingkat kemurnian dan kejernihan dari minyak yang dihasilkan

Indeks bias merupakan suatu derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang cerah. Indeks bias pada minyak dan lemak dipakai untuk pengenalan unsur kimia dan pengujian kemurnian minyak atau lemak. Refraktometer Abbe mempergunakan alat temperatur yang dipertahankan pada suhu 25oC. Untuk pengukuran indeks bias lemak yang bertitik cair tinggi, dilakukan pada temperatur 40oC dan 60oC. Selama pengukuran temperatur harus

dikontrol dan dicatat. Indeks bias ini akan meningkat pada minyak atau lemak

dengan rantai karbon yang panjang dan juga dengan terdapatnya sejumlah ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak juga akan bertambah dengan meningkatnya bobot molekul, selain dengan naiknya ketidakjenuhan dari asam-asam lemak tersebut (Handoko, 2009).


(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat- alat yang digunakan disusun dalam tabel 3.1

Tabel. 3. 1 Alat-alat penelitian

Nama Alat Spesifikasi Merek

Oven 105-110oC -

Tanur 750oC -

Gelas Beaker 250 ml Pyrex

Gelas Ukur 50 ml Pyrex

Erlenmeyer 250 ml Pyrex

Buret 25 ml Pyrex

Labu takar 100 ml Pyrex

Labu takar 250 ml Pyrex

Corong kaca - -

Pipet tetes - -

Spatula - -

Botol Aquadest - -

Kertas Saring - Whatman No.1

Blender -

Stirer fisher scientific - Made in USA

Termometer 100oC Fisher

Statif dan Klemp - -

Neraca analitik (Presisi±0,00001 g) Mettler Toledo

Hot plate 35-110oC -

Cawan porselin -

Desikator -

Ayakan 100 mesh -

Seperangkat alat SEM JSM-35CSumandju

Jepang

Seperangkat alat PSA Horiba


(43)

3.2 Bahan

Bahan-bahan kimia yang digunakan disusun dalam tabel 3.2

Tabel 3.2 Bahan-bahan penelitian

Bahan Spesifikasi Merek

Tempurung kemiri - -

Asam Sulfat 10% p.a Merck

Etanol Netral 95% p.a Merck

Kalium Hidroksida 0.1N p.a Merck

Aquadest - -

Indikator Universal - p.a Merck

Phenolptalein 1% P.a Merck

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan Reagen 3.3.1.1 Pembuatan H2SO4 10%

Sebanyak 25,7 ml H2SO4 97% dimasukkan kedalam labu takar 250 ml kemudian

diencerkan dengan aquades sampai garis batas.

3.3.1.2 Pembuatan KOH 0,1 N

Ditimbang 1,4 g KOH kemudian dilarutkan dengan aquades dalam labu takar 250 ml sampai garis batas

3.3.1.3 Pembuatan Indikator Phenolptalein(PP) 1% dalam etanol 95%

Ditimbang 1 gram serbuk PP kemudian dilarutkan dengan etanol 95% kedalam labu takar 100 ml kemudian diencerkan dengan aquades sampai garis batas.


(44)

3.3.1.4 Pembuatan Etanol 95% Netral

Sebanyak 50 ml alkohol 95% dimasukkan kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 5 tetes indikator PP lalu dititer dengan KOH 0,1 N hingga terbentuk warna bening merah muda yang berbau menyengat.

3.3.2 Penyiapan Sampel

Limbah tempurung kemiri dibersihkan dahulu lalu dijemur di bawah sinar matahari untuk menghilangkan kadar airnya hingga benar-benar kering. setelah kering sampel dipotong kecil-kecil kemudian ditimbang sebanyak 150 g.

3.3.3Proses Karbonisasi Tempurung Kemiri

Diletakkan 150 gram tempurung kemiri kedalam cawan porselin kemudian dipanaskan dalam tanur pada suhu 750o C selama 90 menit. Arang yang dihasilkan kemudian dihaluskan dan diayak dengan ukuran 100 mesh (Bukasa, D. 2012).

3.3.4Proses Aktivasi Arang Tempurung Kemiri

Ditimbang sebanyak 50 gram arang hasil karbonisasi yang telah lolos dengan ayakan 100 mesh kemudian dimasukkan kedalam beaker glass, lalu direndam

dengan 100 ml H2SO4 10% selama 24 jam, kemudian disaring dengan kertas

saring hingga tidak ada tetesan. Kemudian dicuci dengan aquades hingga pH

netral, Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu ±110oC selama 3 jam, kemudian

didinginkan kedalam desikator hingga kering (Suhendra, D. 2010).

3.4 Karakterisasi Arang Tempurung Kemiri 3.4.1 Penentuan Rendemen

Rendemen dilakukan dengan menghitung perbandingan bobot arang hasil aktivasi terhadap bobot arang sebelum aktivasi yang dihitung dengan persamaan 2.3.


(45)

3.4.2 Penentuan Kadar Air

Sebanyak 2 g sampel arang aktif ditempatkan dalam cawan porselin yang telah

diketahui berat keringnya.kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110±2oC

selama 3 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator hingga kering lalu ditimbang massa arang yang diperoleh. Kadar air dihitung dengan persamaan 2.4.

3.4.3 Penentuan Kadar Abu

Sebanyak 2 g sampel arang aktif dimasukkan ke dalam cawan porselin yang

diketahui berat keringnya. Kemudian dipanaskan dalam tanur pada suhu 7500C

selama 6 jam. Didinginkan dalam desikator selama 1 jam kemudian ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan 2.5.

3.4.4 Analisa Morfologi Permukaan Arang Aktif dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

Proses pengamatan mikroskopis menggunakan SEM dilakukan pada permukaan sampel. Mula – mula sampel dilapisi dengan emas bercampur palladium dalam

suatu ruangan (vacum evaporator) bertekanan 0,2 Torr dengan menggunakan

mesin JEOL JSM-6360LA-EXD JED-2200 Series. Selanjutnya sampel disinari dengan pancaran elektron bertenaga 20 kV pada ruangan khusus sehingga sampel mengeluarkan elektron sekunder dan elektron yang terpental dapat dideteksi oleh detektor Scientor yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang

menyebabkan timbulnya gambar CRT (Cathode Ray Tube) selama 4 menit.

Kemudian coating dengan tebal lapisan 400 amstrong dimasukkan ke dalam spesimen chamber pada mesin SEM (JSM-35C) untuk dilakukan pemotretan. Hasil pemotretan dapat disesuaikan dengan perbesaran yang diinginkan.


(46)

3.4.5 Particel Size Analyzer ( PSA)

Pengukuran partikel dengan PSA menggunakan metode basah dengan menggunakan air untuk sampel dalam orde nanometer dan submicron yang memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Partikel didispersi kedalam media ukuran dari single particle dimana diketahui terlebih dahulu nilai Refraktif Indeksnya, hasil pengukuran ditampilkan dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.

3.5. Karakterisasi Minyak Setelah di Adsorpsi

3.5.1 Penentuan Asam Lemak Bebas (ALB)

Dimasukkan 2 g minyak kedalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan 10 ml etanol 95% netral hangat lalu ditambahkan dengan 3 tetes indikator PP 1% dalam etanol 95% lalu dititrasi dengan KOH 0,1 N, kemudian diaduk selama titrasi berlangsung hingga muncul warna merah lembayung, dan dicatat volume KOH 0,1 N yang terpakai (Nur, R. 2013).

% ALB = ���� ������

����� ������ ×1000 ×100 % (3.1)

Keterangan:

% ALB = Kadar asam lemak bebas

V KOH = Volume titran koh yang terpakai N KOH = Normalitas KOH

BM = Berat Molekul Asam Lemak ( Asam lemak Palmitat, 256 g/mol)

Hasil kadar asam lemak bebas minyak jelantah yang dihasilkan dari proses titrasi (minyak setelah adsorpsi) kemudian dihitung kadar asam lemak untuk minyak yang teradsorpsi dengan cara kadar asam lemak minyak mula-mula dikurang kadar asam lemak minyak setelah adsorpsi.


(47)

3.5.2 Penentuan Kadar Air

Mula-mula dipanaskan erlenmeyer dalam oven pada suhu 15oC selama 1 jam,

kemudian didinginkan selama 15-20 menit pada suhu kamar, lalu ditimbang erlenmeyer dan dicatat bobot keringnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 2 gram

pada erlenmeyer, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3

jam lalu didinginkan dan ditimbang erlenmeyer yang berisi sampel sebanyak 3 kali hingga konstan.

% kadar Air = �1−�2

1−��

×

100 % (3.2)

Keterangan : wo = berat erlenmeyer kosong

w1= berat erlenmeyer kosong dan contoh sebelum dikeringkan

w2 = berat erlenmeyer kosong dan contoh setelah dikeringkan

(SNI, 2013)

3.5.3 Penentuan Densitas

Mula-mula piknometer dicuci dan dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 3 kali dan dicatat hasilnya. Lalu dimasukkan akuades kedalam piknometer kemudian ditimbang sebanyak 3 kali, lalu diganti akuades dengan minyak jelantah dan ditimbang sebanyak 3 kali dan dicatat hasilnya.

Densitas = �

� 3.3

Keterangan : m = massa piknometer

v = volume piknometer

3.5.4 Penentuan Indeks bias

Mulanya refraktometer abbe dipreparasi, kemudian diletakkan sampel pada prisma kerja setetes lalu ditutup dengan prisma cahaya lalu diamati melalui teropong dengan memutar cincin kompensasi hingga diperoleh berkas cahaya secara horizontal dan diamati lampu serta dicatat skala yang terbaca. Dilakukan sebanyak 3 kali.


(48)

3.6. Bagan Penelitian

3.8.1 Bagan Penyiapan Tempurung Kemiri

Dibersihkan Dijemur

Ditumbuk kecil-kecil Ditimbang sebanyak 150 g

3.8.2 Bagan Proses Karbonisasi Tempurung Kemiri

Dimasukkan kedalam cawan porselin

Dipanaskan dalam tanur pada suhu 750o C selama 90 menit

Dihaluskan

Diayak dengan ayakan 100 mesh 150 g potongan kecil tempurung kemiri

Arang tempurung kemiri Tempurung kemiri


(49)

3.6.3 Bagan Proses Aktivasi dan Karakterisasi Arang Tempurung Kemiri

Ditimbang sebanyak 50 g Direndam dalam larutan H2SO4

10% sebanyak 100 ml selama 24 jam

Disaring dengan kertas saring hingga tidak ada tetesan

Dicuci dengan aquadest hingga pH netral

Dikeringkan dalam oven pada suhu±110oC Selama 3 jam Didinginkan dalam desikator hingga kering

Arang tempurung

Arang aktif

kadar air (%)

kadar abu (%)

Analisa morfologi permukaan(SEM)

Analisa ukuran Pori (PSA) Rendemen


(50)

3.4.4 Bagan Pengolahan Adsorpsi Minyak Jelantah

Dimasukkan kedalam beaker glass Dipanaskan pada suhu 30oC

Ditambahkan arang aktif sebanyak 0,8 g dari minyak jelantah

Distirer pada suhu 30oC selam 45 menit dengan kecepatan 800 rpm

Disaring dengan kertas saring

40 g minyak jelantah

Dikarakterisasi


(51)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan

4.1.1. Preparasi Tempurung Kemiri Menjadi Arang Aktif

Dari 150 gram tempurung kemiri didapatkan arang sebanyak 50 gram untuk hasil karbonisasi dan hasil akhir sebanyak 49,26 gram setelah diaktivasi dengan H2SO4

10%. Hasil preparasi arang tempurung kemiri hingga menjadi arang aktif dapat dilihat pada gambar 4.1 dibawah ini :

Tempurung kemiri arang hasil karbonisasi arang aktif setelah aktivasi Gambar 4.1. Hasil preparasi tempurung kemiri menjadi arang aktif

Aktivasi dengan H2SO4 10% bertujuan untuk melarutkan tar dan mineral organik

yang dihasilkan dari proses karbonisasi sehingga pori-pori arang aktif akan terbuka dan daya adsorpsi akan semakin meningkat.

4.1.2 Rendemen Arang Tempurung Kemiri

Rendemen yang diperoleh hasil preparasi arang aktif sebesar 32,84 %. Dari hasil dapat dilihat bahwa massa arang aktif yang diperoleh hanya sedikit. Hal ini


(52)

disebabkan karena tingginya suhu karbonisasi dan tinggalnya arang pada proses penyaringan yang mempengaruhi hasil akhir arang aktif.

4.1.3 Kadar Air (%)

Kadar air untuk arang sebelum diaktivasi dan setelah diaktivasi dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1. Hasil analisa kadar air (%)

Jenis Arang Kadar Air(%)

Sebelum aktivasi Setelah Aktivasi

Arang Tempurung Kemiri 8,79 6.88

Dari data, diketahui bahwa terjadinya penurunan kadar air tempurung kemiri untuk sebelum dan setelah aktivasi, menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) kualitas arang aktif baik apabila tidak lebih dari 15% untuk arang aktif serbuk. Hal ini menandakan bahwa arang yang dihasilkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Kadar air adalah faktor yang mempengaruhi proses penyerapan, jika kadar air yang dihasilkan besar maka daya serap arang aktif terhadap cairan semakin kecil.

4.1.4 Kadar Abu (%)

Pada penelitian yang dilakukan kadar abu arang aktif dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini :

Tabel 4.2 Hasil analisa kadar abu (%)

Jenis Arang Kadar Abu(%)

Sebelum aktivasi Sesudah Aktivasi


(53)

Dari data, diketahui bahwa terjadinya penurunan kadar abu untuk arang sebelum dan setelah aktivasi. Hasil sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dengan batasan 10% untuk arang aktif serbuk. Adanya abu berlebih dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori karbon aktif sehingga luas permukaan karbon aktif semakin berkurang.

4.1.5 Analisa Morfologi Permukaan Arang aktif dengan Scanning Electron Microscopy ( SEM)

Analisa morfologi permukaan arang aktif dilakukan untuk melihat pori-pori arang yang dihasilkan dari proses karbonisasi dan aktivasi. Dari foto SEM pada gambar 4.2 untuk arang hasil karbonisasi memperlihatkan bahwa permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon sehingga dapat menutupi pori – pori dan mengakibatkan luas permukaan arang berkurang serta daya adsorpsi menurun. Sedangkan untuk arang aktif yang telah diaktivasi dengan H2SO4 10%, dari foto

SEM pada gambar 4.8 memperlihatkan bahwa bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit hidrokarbon dan permukaannya lebih luas serta pori-porinya terbuka sehingga memiliki daya adsorpsi yang tinggi.

Hasil foto Scanning Electron Microscopy (SEM) dapat dilihat pada

gambar 4.2 dan 4.3 dibawah ini :

Gambar 4.2 Morfologi permukaan arang hasil karbonisasi dengan perbesaran 10000 kali


(54)

Gambar 4.3 Morfologi permukaan arang aktif setelah diaktivasi dengan perbesaran 10000 kali

4.1.6 Particle Size Analyzer (PSA)

Ukuran pori arang aktif dilakukan dengan menggunakan Particle Size Analyzer

(PSA) dengan membandingkan nilai refraktif indeks dari fase pendispersi dan fase terdispersinya. Nilai refraktif indeks untuk arang aktif dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer ABBE. Dari grafik yang dilampirkan menunjukkan distribusi rata-rata partikel sebelum aktivasi sebesar 152,95915 �m dengan nilai transmitansi 82,7% sedangkan setelah aktivasi sebesar 104,43677 �m dengan nilai transmitansi 91,7%. Hasil menunjukkan bahwa arang aktif setelah aktivasi memiliki ukuran pori yang lebih besar dari arang sebelum aktivasi, Hal

ini karena dengan penambahan aktivator H2SO4 10 % dapat membuka permukaan

arang yang semula tertutup oleh deposit hidrokarbon dan volume kontraksi pada proses karbonisasi sehingga memberikan pengaruh yang besar untuk ukuran pori yang dihasilkan.


(55)

4.1.7Karakterisasi Penentuan Mutu Minyak Goreng Bekas

Parameter penentuan mutu minyak goreng yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan oleh penentuan kadar asam lemak bebas (ALB), kadar air, densitas, Indeks bias dan viskositas. Minyak goreng yang digunakan berupa minyak goreng bekas dari minyak curah dan minyak kemasan, kemudian diadsorpsi dengan adsorben arang aktif tempurung kemiri dengan variasi suhu adsorpsi 30, 50, 70, 90, 110oC.

Berikut merupakan hasil analisa penentuan mutu minyak goreng bekas yang dapat dilihat pada tabel 4.3 dan 4.4 brikut ini :

Tabel 4.3 Mutu minyak goreng bekas sebelum adsorpsi

No Jenis minyak ALB Kadar air Densitas Indeks Bias

(%) (%) (g/cm3)

1 Minyak goreng curah 0,554 6,38 0,9910 1,3781 2 Minyak goreng kemasan 0,490 0,81 0,9910 1,3597

Tabel 4.4 Mutu minyak goreng bekas setelah diadsorpsi dengan adsorben arang aktif tempurung kemiri pada variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110oC

a. Minyak goreng curah

No Suhu ALB Kadar air Densitas Indeks Bias (oC) (%) (%) (g/cm3)

1 30 0,469 4,02 0,9902 1,3759

2 50 0,469 3,69 0,9899 1,3595 3 70 0,426 2,92 0,9905 1,3515

4 90 0,405 0,30 0,9906 1,3423 5 110 0,405 0,52 0,9908 1,3360


(56)

b. Minyak goreng kemasan

No Suhu ALB Kadar air Densitas Indeks Bias (%) (%) (g/cm3)

1 30 0,362 0,56 0,9897 1,3518

2 50 0,298 0,45 0,9897 1,3462 3 70 0,277 0,33 0,9901 1,3420

4 90 0,234 0,19 0,9904 1,3375 5 110 0,277 0,21 0,9907 1,3361

Karakterisasi penentuan mutu minyak goreng yang dilakukan pada penelitian ini saling berkaitan satu sama lain, baik dari faktor yang mempengaruhi kerusakan minyak pada saat pengolahan maupun saat proses penggorengan.

1. Penentuan kadar Asam lemak bebas (ALB)

Dari data pada tabel 4.3 dan 4.4 terlihat bahwa kadar ALB minyak goreng bekas berkurang pada sebelum dan setelah adsorpsi. Kadar ALB sebelum adsorpsi yaitu 0,554% untuk minyak goreng curah dan 0,490% untuk minyak goreng kemasan. Kadar ALB setelah diadsorpsi dengan adsorben arang aktif tempurung kemiri pada variasi suhu adsorpsi memiliki kadar ALB yang berkurang dengan bertambahnya suhu adsorpsi. Didapat hasil terbaik ketika dilakukan pada suhu

90oC dimana untuk minyak goreng curah hasil sebesar 0,405 % dan untuk

minyak kemasan hasil sebesar 0,234%, hasil memenuhi SNI 3741:2013 standar

mutu minyak goreng mengenai syarat kandungan asam lemak bebas maksimal 0,3% hanya berlaku untuk minyak goreng kemasan. Tingginya persentase kadar ALB ini diakibatkan karena faktor jenis minyak yang digunakan, adanya pertukaran komponen air pada bahan pangan yang digoreng dengan minyak yang digunakan, waktu penggorengan, dan suhu saat menggoreng, sehingga kadar asam lemak bebas masih tinggi setelah diadsorpsi.


(57)

Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap kadar asam lemak bebas yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas ditunjukkan pada gambar 4.3 berikut ini:

Gambar 4.4. Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap kadar asam lemak bebas yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas

Dari grafik pada gambar 4.4 terlihat bahwa arang aktif mampu untuk mengadsorpsi kadar asam lemak bebas pada minyak jelantah. Untuk minyak curah kadar ALB yang teradsorpsi paling tinggi dilakukan pada suhu 90oC sebesar 0,149% dan kadar ALB yang teradsorpsi paling rendah dilakukan pada suhu 30oC sebesar 0,085%. Sedangkan untuk minyak kemasan kadar ALB yang teradsorpsi

paling tinggi dilakukan pada suhu 90oC sebesar 0,256% dan kadar ALB yang

teradsorpsi paling rendah dilakukan pada suhu 30oC sebesar 0,128 %. Dapat

disimpulkan bahwa arang aktif mampu untuk mengadsorpsi sebesar 15,34% hingga 26,89 % kadar ALB untuk minyak curah dan 26,12% hingga 52,24% kadar ALB untuk minyak kemasan. Pada hasil adsorpsi terlihat bahwa semakin tinggi suhu maka adsorpsi semakin meningkat. Kemampuan adsorpsi ini meningkat karena terjadinya reaksi antara kontaminan yang teradsorpsi dan permukaan adsorben antara 2 kontaminan kimia yang dapat meningkatkan laju reaksi. Laju reaksi akan meningkat pada temperatur yang lebih tinggi .

0.085 0.085 0.128 0.149 0.149 0.128 0.192 0.213 0.256 0.213 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

30 50 70 90 110

K a d a r A LB y a n g t e ra d so rp si ( %)

variasi suhu (oC)

minyak curah minyak kemasan


(58)

2. Penentuan kadar air

Dari data penelitian yang dihasilkan pada tabel 4.3 dan 4.4 didapatkan kadar air pada minyak jelantah semakin menurun dari sebelum dan setelah adsorpsi. Hal ini karena semakin tingginya suhu adsorpsi, sehingga daya serap adsorben arang aktif tempurung kemiri semakin baik. Arang aktif mampu mengadsorpsi kadar air pada

minyak hingga suhu 90oC dimana untuk minyak curah dihasilkan kadar air

sebesar 0,30% dan untuk minyak kemasan 0,19%, hasil telah memenuhi SNI 3741:2013 standar mutu minyak goreng dengan nilai ambang batas maksimal 0,3%. Dari hasil menunjukkan bahwa proses adsorpsi yang berlangsung semakin baik dan semakin banyak pula kadar air yang diserap oleh adsorben.

Pada suhu 110oC nilai kadar air tidak dapat turun lagi hal ini dikarenakan pada suhu yang semakin tinggi mendekati titik didih air yaitu 100o C, tekanan uap murni minyak semakin tinggi, sehingga pori-pori arang aktif tempurung kemiri sulit untuk mengikat air pada minyak dimana hal ini sesuai dengan persamaan hukum Roult yang berbunyi “ Tekanan uap parsial dari tiap-tiap komponen dalam larutan sama dengan tekanan uap komponen tersebut dalam keadaan murni kali fraksi molnya”. Semakin tinggi suhu, maka tekanan uap murninya juga semakin tinggi sehingga tekanan parsialnya juga semakin tinggi.

Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap kadar air yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas ditunjukkan pada gambar 4.4 berikut ini:


(59)

Gambar 4.5. Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap kadar air yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas

Dari kurva pada gambar 4.5 terlihat bahwa arang aktif mampu untuk mengadsorpsi kadar air pada minyak goreng bekas. Untuk minyak curah kadar air yang teradsorpsi paling tinggi dilakukan pada suhu 90oC sebesar 6,08% dan kadar

air yang teradsorpsi paling rendah dilakukan pada suhu 30oC sebesar 2,36%.

Sedangkan untuk minyak kemasan kadar air yang teradsorpsi paling tinggi dilakukan pada suhu 90oC sebesar 0,62% dan kadar air yang teradsorpsi paling

rendah dilakukan pada suhu 30oC sebesar 0,25 %. Dapat disimpulkan bahwa

arang aktif mampu untuk mengadsorpsi sebesar 36,9% hingga 95,29 % kadar air untuk minyak curah dan 30,86% hingga 76,54% kadar air untuk minyak kemasan. Pada hasil adsorpsi terlihat bahwa semakin tinggi suhu maka adsorpsi semakin meningkat. Kadar air yang terbentuk pada minyak ini salah satu parameter untuk meningkatkan kualitas minyak. Kadar air berperan dalam proses oksidasi maupun hidrolisa minyak yang pada akhirnya menyebabkan ketengikan, jadi semakin tinggi kadar air maka minyak semakin berkurang kualitasnya.

0.25 0.36 0.48 0.62 0.6 2.36 2.69 3.46 6.08 5.86 0 1 2 3 4 5 6 7

30 50 70 90 110

k a d a r a iry a n g t e ra d so rp si ( %)

Variasi Suhu (oC)

minyak kemasan minyak curah


(60)

3. Densitas

Dari data pada tabel 4.3 dan 4.4 terlihat bahwa densitas minyak goreng bekas berkurang pada sebelum dan setelah adsorpsi. Kadar ALB sebelum adsorpsi yaitu

0,9910 g/cm3 untuk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan. Densitas

setelah diadsorpsi dengan adsorben arang aktif tempurung kemiri pada variasi suhu adsorpsi memiliki densitas yang berkurang dengan bertambahnya suhu

adsorpsi, tetapi hasil belum memenuhi SNI 3741:2013 standar mutu minyak

goreng mengenai syarat densitas 0,9 g/cm3. Hal ini dikarenakan masih adanya

kadar kotoran yang terdapat pada minyak yang dihasilkan, kadar Air juga mempengaruhi besarnya densitas dari minyak. Tetapi dari data yang dihasilkan dapat dilihat bahwa densitas minyak yang didapat sedikit lebih berkurang dari densitas minyak sebelum adsorpsi, Ini dapat dilihat dari temperatur yang digunakan pada proses adsorpsi, semakin tinggi suhu maka densitas semakin rendah.

Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap densitas yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas ditunjukkan pada gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4.6. Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap densitas yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas

0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001 0.0012 0.0014

30 50 70 90 110

d e n si ta s y a n g t e ra d so rp si ( g /c m 3)

variasi suhu (oC)

minyak curah minyak kemasan


(61)

Dari kurva pada gambar 4.5 terlihat bahwa arang aktif mampu untuk mengadsorpsi densitas pada minyak goreng bekas. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi temperatur adsorpsi maka ikatan antar molekulnya berkurang dan daya serap adsorben semakin baik, sehingga semakin banyak partikel-partikel koloid yang mampu terikat oleh adsorbent arang aktif tempurung kemiri. Semakin banyaknya partikel-partikel koloid yang terserap maka minyak semakin jernih dan menyebabkan berat persatuan volum semakin kecil sehingga densitas semakin kecil juga.

4. Indeks bias

Dari data pada tabel 4.3 dan 4.4 terlihat bahwa Indeks bias pada minyak goreng bekas berkurang pada sebelum dan setelah adsorpsi. Indeks bias minyak sebelum adsorpsi yaitu 1,3781 untuk minyak goreng curah dan 1,3597 untuk minyak goreng kemasan. Indeks bias minyak goreng bekas setelah diadsorpsi dengan adsorben arang aktif tempurung kemiri memiliki Indeks bias yang berkurang dengan bertambahnya suhu adsorpsi. Diketahui bahwa Indeks bias terkecil berada

pada suhu 110oC dengan nilai indeks bias sebesar 1,3360 untuk minyak goreng

curah dan 1,3361 untuk minyak goreng kemasan. Sedangkan indeks bias terbesar

dilakukan pada suhu 30oC dengan nilai 1,3759 untuk minyak curah dan 1,3518

untuk minyak kemasan. Menurut hasil didapatkan indeks bias yang memenuhi

SNI 3741:2013 dengan nilai sebesar 1,448-1,450. Indeks bias yang dihasilkan semakin besar dengan besarnya suhu adsorpsi dikarenakan dengan bertambahnya suhu maka minyak goreng memiliki kerapatan yang telah berkurang akibat adanya proses pemanasan sehingga kecepatan cahaya dalam minyak goreng lebih besar sehingga mengakibatkan indeks bias semakin kecil.

Kurva hubungan antara variasi suhu adsorpsi terhadap Indeks bias yang teradsorpsi pada minyak goreng bekas ditunjukkan pada gambar 4.7 berikut ini:


(1)

Lampiran 4. Data dan perhitungan uji kualitas minyak goreng bekas a. Kadar asam lemak bebas (ALB)

Tabel 4.1 Hasil analisa kadar ALB minyak jelantah sebelum adsorpsi

No Sampel Ulangan Massa V KOH(ml) ALB Rata-Rata Sampel(g) Awal Akhir Total (%)

1 Minyak Curah 1 8,5 9 0,5 0,64 2 2 9,5 9,9 0,4 0,512 0,554

3 10,5 8 0,4 0,512 2 Minyak Kemasan 1 5,5 5,8 0,3 0,384

2 2 6 6,35 0,35 0,448 0,490 3 7,5 8 0,5 0,64

Tabel 4.2 Hasil analisa kadar ALB minyak curah setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu Ulangan Massa V KOH(ml) ALB Rata-Rata (oC) Sampel(g) Awal Akhir Total (%)

1 30 1 8,5 8,9 0,4 0,512 2 2 9,5 9,85 0,35 0,448 0,469

3 10,5 10,85 0,35 0,448 2 50 1 8,5 8,85 0,35 0,448

2 2 9,5 9.85 0,35 0,448 0,469 3 10,5 10,9 0,4 0,512

3 70 1 8,5 8,85 0,35 0,448 2 2 9,5 9,8 0,3 0,384 0,426

3 10,5 10,85 0,35 0,448 4 90 1 8,5 8,9 0,4 0,512

2 2 9,5 9.75 0,25 0,320 0,405 3 10,5 10,8 0,3 0,384

5 110 1 8,5 8,85 0,35 0,448 2 2 9,5 9,8 0,3 0,384 0,405


(2)

Tabel 4.3 Hasil analisa kadar ALB minyak kemasan setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu Ulangan Massa V KOH(ml) ALB Rata-Rata (oC) Sampel(g) Awal Akhir Total (%)

1 30 1 5,5 5,7 0,2 0,256 2 2 6 6,35 0,35 0,448 0,362

3 7,5 7,8 0,3 0,384 2 50 1 5,5 5,85 0,35 0,448

2 2 6 6,2 0,2 0,256 0,298 3 7,5 7,65 0,15 0,192

3 70 1 5,5 5,75 0,25 0,32 2 2 6 6,2 0,2 0,256 0,277

3 7,5 7,7 0,2 0,256 4 90 1 5,5 5,75 0,25 0,32

2 2 6 6,15 0,15 0,192 0,234 3 7,5 7,65 0,13 0,192

5 110 1 5,5 5,8 0,3 0,384 2 2 6 6,15 0,15 0,192 0,277


(3)

b. Kadar Air (%)

Tabel 4.4. Hasil analisa Kadar air (%) minyak jelantah sebelum adsorpsi

No Sampel W0(g) W1(g) W2(g) Kadar air(%)

1 Minyak Curah 30,9407 32,9407 32,8130 6,38 2 Minyak Kemasan 81,6326 83,6326 83,6163 0,81

Tabel 4.5 Hasil analisa Kadar air (%) minyak curah setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) W0(g) W1(g) W2(g) Kadar air (%)

1 30 25,2708 27,2708 27,1904 4,02

2 50 26,6926 28,6926 28,6188 3,69

3 70 28,4412 30,4412 30,3827 2,92

4 90 45,4409 47,4409 47,4348 0,30

5 110 37,4911 39,4911 39,4807 0,52

Tabel 4.6 Hasil Analisa Kadar air (%) minyak kemasan setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) W0(g) W1(g) W2(g) Kadar air (%)

1 30 66,5419 68,5419 68,5307 0,56

2 50 72,2625 74,2625 74,2616 0,45

3 70 73,3237 75,3237 75,3177 0,33

4 90 67,4699 69,4699 69,4661 0,19


(4)

c. Densitas

Tabel 4.7 Hasil penentuan densitas minyak jelantah sebelum adsorpsi

No Sampel Berat Densitas

m1(g) m2 (g) m3(g) mrata-rata ( g / L )

1 Piknometer Kosong 11,1544 11,1544 11,1543 11,1543 - 2 Aquadest 16,5861 16,5859 16,5859 16,5859 1,0863 3 Minyak curah 16,1099 16,1098 16,1096 16,1097 0,9910 4 Minyak kemasan 16,1097 16,1098 16,1098 16,1097 0,9910

Tabel 4.8 Hasil penentuan densitas minyak curah setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) Berat Densitas

m1(g) m2 (g) m3(g) mrata-rata (g /cm3)

1 30 16,1056 16,1055 16,1060 16,1057 0,9902 2 50 16,1042 16,1043 16,1042 16,1042 0,9899 3 70 16,1069 16,1068 16,1069 16,1068 0,9905

4 90 16,1076 16,1075 16,1075 16,1075 0,9906 5 110 16,1086 16,1086 16,1085 16,1085 0,9908

Tabel 4.9 Hasil penentuan densitas minyak kemasan setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) Berat Densitas m1(g) m2 (g) m3(g) mrata-rata (g /cm3)

1 30 16,1029 16,1028 16,1029 16,1028 0,9897 2 50 16,1033 16,1027 16,1027 16,1029 0,9897 3 70 16,1049 16,1049 16,1051 16,1049 0,9901

4 90 16,1069 16,1066 16,1066 16,1067 0,9904 5 110 16,1079 16,1079 16,1079 16,1079 0,9907


(5)

d. Indeks bias

Tabel 4.10 hasil penentuan indeks bias minyak goreng bekas sebelum adsorpsi

No Sampel indeks bias

n1 n2 n3 nrata-rata

1 minyak curah 1,3793 1,3765 1,3785 1,3781 2 minyak kemasan 1,3610 1,367 1,3510 1,3597

Tabel 4.11 Hasil penentuan indeks bias minyak curah setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) indeks bias

n1 n2 n3 nrata-rata

1 30 1,3762 1,3765 1,3752 1,3759 2 50 1,3594 1,3599 1,3592 1,3595 3 70 1,3535 1,3520 1,3492 1,3515

4 90 1,3365 1,3465 1,3440 1,3423 5 110 1,3340 1,3377 1,3365 1,3360

Tabel 4.12 Hasil penentuan indeks bias minyak kemasan setelah adsorpsi dengan variasi suhu 30, 50, 70, 90, 110 oC

No Suhu (oC) indeks bias

n1 n2 n3 nrata-rata

1 30 1,3570 1,3485 1,3500 1,3518 2 50 1,3455 1,3450 1,3481 1,3462 3 70 1,3425 1,3435 1,3400 1,3420

4 90 1,3350 1,3300 1,3475 1,3375 5 110 1,3365 1,3355 1,3365 1,3361


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

1 7 77

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 8 76

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 12

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 2

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 6

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 22

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 4

Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 9

Cover Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 12

Abstract Pengaruh Suhu Adsorpsi Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Oleh Arang Aktif Tempurung Kemiri (Aleurites Moluccana) Yang Diaktivasi Dengan H2SO4 10%

0 0 1