14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA
PEMBANGUNAN A.
Pengertian Perjanjian Kerjasama dalam Kitab Undang-Undang Perdata
1. Pengertian Perjanjian Kerjasama
KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH
Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-
undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku. Perjanjian lahir karena adanya kesepakatan, kesamaan kehendak konsensus dari para pihak.
Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak diadakansecara formal saja, melainkan juga secara konsensual.Dalam kehidupan sehari-hari, telah
tercipta suatu anggapan bahwa kontrak merupakan bentuk formal dari suatu perjanjian yang berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu yang
dibuat dalam bentuk tertulis Ketentuan umum dari suratperjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Buku III Bab II, sedangkan mengenai
perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam Buku III Bab XVIII.Pada Buku III Bab II KUH Perdata berjudul “Tentang perikatan yang dilahirkan dari
kontrak atau perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa:“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 satu
14
15 orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 satu orang lainnya atau
lebih.” Namun menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata
mengandung kelemahan karena
7
a. Hanya menyangkut sepihak saja
;
Dapat dilihat dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata mengikatkan sifatnya
hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan kedua pihak saling mengikatkan diri dengan demikian terlihat adanya konsensus antara
pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik. b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas
tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas
Hal ini disebabkan karena mencakupjanji kawin yang diatur dalam hukum keluarga, padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur
dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. d.
Tanpa menyebutkan tujuan Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya
perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.
7
Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hlm 78.
16 Perjanjian memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat
para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahpersetujuan baik lisan maupun
tulisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.
Menurut M. Yahya Harahap, Dari perjanjian tersebut maka timbullah perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi kewajiban itu.
8
8
M.Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, alumni, Bandung, 1986, hlm.6
Selain orang-perorangan manusia secara biologis, para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas PT
merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu pihak atau keduanya dalam perjanjian. Kedua-duanya merupakan subyek hukum,
yaitu pihak yangdapat melakukan perbuatan hukum, pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan
hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah identitas legal legal entity.
Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya, misalnya direktur dalam Perseroan Terbatas namun perbuatan itu tidak mengikat
pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagai Legal entity.
17 Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian pada pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan
itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Perjanjian dianggap sah legal dan mengikat, maka perjanjian tersebut
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian, yaitu : a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh
disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan
dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara
hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
18 c.
Mengenai suatu hal tertentu Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang
telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan
tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
d. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta
perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu
syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut
dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila
syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu
perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Sedangkan dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat sah perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh didalam pengampunan
19 c.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertetu.
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin. Dalam pasal 330 KUHPerdata lebih tepatnya mengatur bagi
golongan Eropa, Timur asing, dan Bumi Putera yang tidak memiliki peraturan dalam hukum adatnya. Dikarenakan masing-masing masyarakat
di Indonesia mempunyai hukum adat masing-masing yang telah menentukan aturan kebelumdewasaan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menimbulkan suasana baru dalam hukum Keluarga Indonesia.
Karena undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang bidang perkawinan saja, tetapi juga bidang lain yang termasuk bidang Hukum
Keluarga, seperti status anak, kedewasaan, serta tanggung jawab orang tua terhadap anak dan anak terhadap anak, dan tentang perwalian anak.
Meskipun pengaturan tentang Hukum Keluarga dalam Undang- undangperkawinan hanya garis besarnya saja dan masih memerlukan
peraturan pelaksana yang akan mengaturnya lebih lanjut, tetapi dapatlah dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mengatur dasar-dasar
20 hukum Hukum Keluarga Nasional terutama berkaitan dengan kedewasaan
secara yuridis sosial dan juga tentunya ranah filosofinya. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini juga mengatur tentang
kedewasaan, yaitu pada Pasal 47 ayat 1 2 dan pasal 50. Sebagaimana juga KUHPerdata mengatur batas usia dewasa dalam Bab tentang Hukum
Keluarga, maka Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, juga telah menentukan batas usia dewasa tersebut.
Pasal 47 ayat 1 menegaskan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Sedangkan pada pasal 47 ayat 2 menegaskan,
“Orang tua mewaili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Pada Pasal 50 ayat 1 menjelaskan, “Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali”. Sedangkan pada Pasal 50 ayat 2 menerangkan,
Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya
Dari penjabaran diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap perbuatan hukum yang dilakukan anak dibawah usia 18 delapan belas tahun tanpa
diwakili orang tua atau walinya dapat dibatalkan. Disini dengan jelas dan tegas peraturan ini mengatur perbuatan hukum seorang anak belum
21 dewasa. Jadi Pasal 47 ayat 1, 2 dan Pasal 50 ayat 1, 2, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang perbuatan hukum seorang anak belum dewasa, karena ia dalam setiap perbuatan hukumnya
tidak dapat melakukannya sendiri melainkan harus selalu diwakili oleh orang tua maupun walinya.
Dari penjelasan singkat tentang makna dewasa secara yuridis di atas, dapat diambil satu garis besar, bahwa sesorang dapat dianggap dewasa
menurut hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila memenuhi kriteia yang ada dan jelas dalam undang-undang tersebut.
Kriteria tersebut ditetapkan agar setiap subyek hukum dapat dipertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukannya.
2. Asas-Asas Perjanjian