Kajian Kualitas Belanja Daerah Dinamika Dan Pengukurannya Dalam Pembangunan Wilayah Di Indonesia

i

KAJIAN KUALITAS BELANJA DAERAH: DINAMIKA DAN
PENGUKURANNYA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
DI INDONESIA

DEDY HERIWIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertas berjudul Kajian Kualitas
Belanja Daerah: Dinamika dan Pengukurannya dalam Pembangunan Wilayah di

Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Dedy Heriwibowo
NIM H162110

iv

v

RINGKASAN

DEDY HERIWIBOWO. Kajian Kualitas Belanja Daerah: Dinamika dan
Pengukurannya dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia. Dibimbing oleh
BAMBANG JUANDA, SETIA HADI dan SAPTO SUPONO

Implementasi kebijakan desentralisasi telah mempengaruhi secara nyata
hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Struktur anggaran daerah, baik dari
sisi pendapatan maupun belanja terus menunjukan peningkatan. Data realisasi
APBD (kabupaten, kota dan provinsi) kurun waktu 2009-2013, memperlihatkan
terjadinya kecenderungan peningkatan rata-rata pendapatan daerah 16% per tahun,
sedangkan belanja daerah meningkat sekitar 14% per tahun. Defisit anggaran
daerah menunjukkan kecenderungan menurun, namun idle money terus meningkat.
Sementara pada sisi anggaran pemerintah pusat, persentase defisit terhadap
pendapatan negara justru mengalami peningkatan sekitar 10% per tahun. Kondisi
ini mengindikasikan perlunya perubahan orientasi desentralisasi fiskal di
Indonesia, dari perhatian terhadap peningkatan kuantitas belanja menjadi lebih
menekankan aspek kualitas belanja daerah. Namun indikator dan metode
pengukuran kualitas belanja daerah yang digunakan pemerintah saat ini belum
memadai menggambarkan kualitas belanja daerah.
Penelitian ini bertujuan: 1) Melakukan evaluasi anggaran belanja daerah,
mengetahui bagaimana daerah melakukan belanja dan mengetahui bagaimana
ketentuan regulasi mempengaruhi perilaku belanja daerah; 2) Menemukan
indikator yang relevan digunakan untuk mengukur kualitas belanja, mengetahui
tingkat reliabilitas dan validitas indikator-indikator kualitas belanja dan
mengetahui hubungan antar konstruk pembentuk kualitas belanja; 3) Menemukan

model formulasi yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas belanja daerah
sehingga dapat digunakan untuk mempelajari pola distribusi kewilayahan (peta)
kualitas belanja daerah; 4) Merumuskan implikasi kebijakan dalam rangka
meningkatkan kualitas belanja daerah.
Pengembangan model pengukuran kualitas belanja dilakukan dengan
melakukan eksplorasi variabel terukur (indikator) dari variabel laten (konstruk)
kualitas belanja yang bersifat tidak teramati (unobservable variable) melalui
model struktural yang komprehensif. Pendekatan model persamaan struktural
(Structural Equation Modeling/SEM) dipilih karena dapat mengkonfirmasi
validitas dan reliabilitas indikator serta analisis statistik terhadap hubungan antar
konstruk yang kompleks secara simultan. Komputasi dilakukan dengan bantuan
perangkat lunak SmartPLS versi 2.0. dengan menggunakan data sekunder yang
berhubungan dengan indikator dan konstruk kualitas belanja 33 pemerintah
provinsi se-Indonesia dalam kurun waktu Tahun 2009-2012.
Hasil evaluasi terhadap struktur pendapatan provinsi, secara umum provinsi
memiliki potensi kemandirian fiskal yang relatif lebih baik. Pada sisi belanja,
alokasi belanja pegawai serta belanja barang dan jasa masih lebih besar
dibandingkan belanja modal. Disamping itu, alokasi belanja modal cenderung
mengalami penurunan. Idle money dalam bentuk SILPA tahun berkenaan terus


vi

meningkat dengan rata-rata 22,95% per tahun. Kondisi ini menunjukkan terjadi
masalah dalam tata kelola belanja daerah.
Pengembangan ukuran kualitas belanja daerah yang dilakukan dalam
penelitian ini, didasarkan atas definisi belanja daerah yang berkualitas adalah
belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang
dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel.
Analisis pendugaan model dilakukan dengan pendekatan Partial Least SquareStructural Equation Model (PLS-SEM), menghasilkan 24 indikator yang
memenuhi persyaratan relevansi teoritis, terukur dan datanya tersedia. Model
kualitas belanja daerah yang dihasilkan menunjukkan bahwa kualitas belanja
daerah dapat dicapai jika prioritas belanja dilakukan secara tepat waktu dan tepat
alokasi. Prioritas belanja juga harus mendapat dukungan para pemangku
kepentingan di daerah, sehingga perencanaan dan penganggaran harus dilakukan
secara akuntabel. Jika kondisi tersebut terpenuhi, maka belanja daerah akan dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah. Artinya belanja daerah harus
efektif digunakan untuk mencapai target pembangunan daerah baik dari sisi
output, outcomes dan impact.
Analisis PLS-SEM menghasilkan dua model terbaik pengukuran kualitas
belanja daerah, yang mewakili dua klaster provinsi di Indonesia. Klaster-1 terdiri

dari 13 provinsi yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia,
didominasi status kualitas belanja sedang, adapun 20 provinsi di Klaster-2
didominasi status kualitas belanja tinggi. Perubahan kualitas belanja di Klaster-1
lebih persisten, sedangkan perubahan kualitas belanja di Klaster-2 lebih
bervariasi. Perbandingan indikator kualitas belanja antara Klaster-1 dengan
Klaster-2: konsistensi prioritas belanja lebih rendah, namun alokasi anggaran
sedikit lebih baik; Lebih sering terlambat menetapkan Perda APBD, terlambat
melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan, namun relatif tepat waktu
dalam hal penyampaian laporan keuangan pemerintah daerah kepada BPK; Media
informasi penganggaran relatif lebih rendah, demikian pula dengan eprocurement; Ketersediaan standard operation procedure (SOP) sama-sama
rendah, namun opini BPK relatif sama baik; Sebagian besar indikator efektivitas
belanja menunjukkan kondisi lebih rendah, kecuali indikator kinerja pendidikan
relatif sama baik.
Kata Kunci: kualitas belanja daerah, penganggaran, perencanaan, PLS-SEM

vii

SUMMARY
DEDY HERIWIBOWO. Assessment of Local Spending Quality: Dynamics and
Measurements in Regional Development in Indonesia. Supervised by

BAMBANG JUANDA, SETIA HADI and SAPTO SUPONO
Implementation of decentralization policies have affected significantly in
the fiscal relationship between central and local government. In 2009-2016,
transfer fund to the region has increased significantly from Rp308 trillion (33% of
total state expenditures) to Rp782 trillion (37%). Transfer fund has increased local
fiscal capacity, in terms of revenue (increased on average 16% per year), as well
as spending (grew 14% per year). The budget deficit has also decreased. However,
idle money is tend to increase. Meanwhile, on the side of the state budget, the
percentage of the state budget deficit with respect to revenue has increased by
about 10% per year. These conditions indicate the need to change the orientation
of fiscal decentralization, to emphasis more on the aspect of quality of spending.
However, the quality of local spending measurement used by the government has
not yet adequately describe the quality in a comprehensive manner.
This research's purposes consists of : 1) To evaluate the regional budget, to
know the local spending's practices, and to analyze the regulations's effect on the
behavior of local spending; 2) To Find relevant indicators that can be used in
quality spending measurement, to assess the aspects of reliability and validity of
the spending quality indicators, and to analyze the relationship among the
construct variables of spending quality; 3) to formulate model that can be used to
measure the spending quality and to study the spatial pattern; 4) to formulate

policy implications in order to improve the local spending quality.
The development of model to measure of local spending quality was
conducted by exploration of measured variables (indicators) which derived from
the latent variables (constructs) through comprehensive structural model. Partial
Least Square-Structural Equation Model (PLS-SEM) approach was chosen
because it can confirm a validity and a reliability of indicators and analysis on the
complex constructs relationship simultaneously. Computation process was
conducted by the Smart PLS 2.0 version on a secondary data which related to
indicators and spending quality construct of 33 provinces government in
Indonesia during 2009-2012.
The evaluation of the province's revenue structure, generally indicate that
the provincial government has a relatively better potential on fiscal independence.
However, on the expenditure side, the allocation for employees, goods and
services is greater than for capital. In addition, the allocation for capital
expenditures tend to decrease. Idle money in term of the average residual of the
budget increased 22.95% annually. This condition reflected structural problem in
the governance of local spending.
Quality local spending is defined as spending that allocated based on local
development priorities efficiently, effectively, timely, transparent and accountable.
By the definition, the spending quality was formed by five constructs: priorities,

allocations of time, accountabilities, and effectivenesses. The model estimation
analysis resulted 24 indicators that completely fullfill the requirement of
theoretically relevance, measurable, and data availability. The models showed that

viii

the quality of the regional expenditure can be reached if priority spending be
executed in a timely and appropriate allocation manner. The priority spending
should be supported by local stakeholders, so that its planning and budgeting
should be made accountably. If these conditions can be achieved, then the
spending will provide benefit for the people significantly. It means that local
spending effectively used to reach the regional development objectives, in terms
of outputs, outcomes, and impact.
PLS-SEM analysis produced two best models of local spending quality
measurement, which represent two clusters of provinces in Indonesia with
respective data indicators. Cluster-1 consists of 13 provinces which mostly
located in eastern Indonesia, dominated by moderate spending quality status,
while 20 provinces in cluster-2 dominated by high spending quality status.
Changes in quality of spending in Cluster-1 is more persistent, while spending
quality change in Cluster-2 is more varried. Comparison of spending quality

indicators between Cluster-1 with Cluster-2, are as follows: lower in priority
spending consistency, but slightly better in budget allocation; higher frequency in
late local budget regulation seatlement, late in spending governance evaluation,
but relatively timely in financial statements submission to BPK; The availability
of media to widely inform the budgeting process and implementation of eprocurement is lower; And lower condition in the most of the spending
effectiveness indicators.
Keywords: budgeting, planning, PLS-SEM, local spending quality

ix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


x

xi

KAJIAN KUALITAS BELANJA DAERA: DINAMIKA DAN
PENGUKURANNYA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
DI INDONESIA

DEDY HERIWIBOWO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


xii

Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak
2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim

Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak
2. Dr. H. Muhammad Ikhsan

xiii

Judul
Nama
NIM

: Kajian Kualitas Belanja Daerah: Dinamika dan Pengukurannya
dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia
: Dedy Heriwibowo
: H162110021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Ketua
a.n.

Dr Ir Setia Hadi, MS
Anggota

Dr Ir Sapto Supono, MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup :
Jum’at, 10 Juni 2016
Tanggal Lulus:
Tanggal Sidang Promosi :
Selasa, 26 Juli 2016

xiv

xv

PRAKATA
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga disertasi ini dapat terselesaikan tepat waktu. Disertasi ini membahas
tentang pengukuran kualitas belanja daerah, suatu tema penelitian yang masih
jarang diteliti padahal sangat berguna dalam mengevaluasi keberhasilan
pembangunan daerah.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tinggi kepada komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Bambang
Juanda MS (ketua), Dr. Ir. Setia Hadi, MS (anggota), dan Dr. Ir. Sapto Supono,
MSi (anggota) atas perhatian dan dedikasi yang diberikan sejak awal hingga tahap
akhir penyelesaian disertasi ini. Terima kasih dan penghargaan yang tulus juga
saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc, Dr. Ir. Makmun Sarma,
MEc, Prof. Dr. Robert A Simanjuntak, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim selaku
penguji luar komisi pada ujian kualifikasi lisan dan ujian tertutup yang telah
memberikan masukan substansial bagi penyempurnaan kualitas disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor IPB, Dekan
Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta Ketua dan
Sekretaris Program Studi PWD beserta jajarannya yang telah memberikan
atmosfer akademik yang baik selama proses perkuliahan. Semoga perbaikan dan
pembenahan terus dilakukan sesuai moto IPB, “Searching and Serving The Best”.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bupati Sumbawa, Wakil Bupati
Sumbawa, Sekretaris Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD Sumbawa beserta
jajaran ASN Pemerintah Kabupaten Sumbawa yang telah memberikan support
dari awal hingga akhir pelaksanaan tugas belajar di Sekolah Pascasarja IPB.
Demikian pula, ucapan terima kasih kepada Sultan Sumbawa, Yang Mulia Sultan
Muhammad Kaharuddin IV beserta Permaisuri Dewa Marajabini Tentridjadjah
yang menjadi teladan dan panutan kami Tau Samawa, tokoh-tokoh Masyarakat
Sumbawa serta handai taulan yang tergabung dalam Keluarga Kesultanan
Sumbawa.
Kepada Rekan-Rekan mahasiswa PWD khususnya PWD 2011, KawanKawan Palem 6, Sahabat ku Alumni HMI Komisariat Geografi UGM, terima
kasih atas kehangatan persahabatannya. Demikian pula untuk petugas adminsitrasi
di Program Studi PWD dan Pascasarjana atas bantuannya selama ini.
Akhirnya ungkapan terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua
tersayang Bapak Su’adi dan Ibu Hj. Ratna Yusuf, mertua Drs. H. Ahmad
Muhmmad dan Hj. Mas’anah, istri tercinta Yanita Kusuma, A.Md. dan anakanaku yang hebat Bintang Aqra Wibowo dan Gibran Satya Wibowo atas cinta
tulus dan pengorbanannya selama ditinggal sekolah. Begitu juga untuk SaudariSaudara ku tersayang beserta keluarga: Endang Suryaningsih, SPd, Sigit Jualiandi,
SPT, Yeti Herawati AMd, dan Satria Utama.
Ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
penyelesaian disertasi ini. Penulis mempersebahkan karya ilmiah ini kepada
Bangsa dan Negara. Semoga bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Dedy Heriwibowo

xvi

xvii

DAFTAR ISI
RINGKASAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Manfaat Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Desentralisasi Pemerintahan (Government Decentralization)
Desentralisasi Tata Kelola (decentralized governance)
Fungsi Ekonomi Pemerintah
Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Teori Ekonomi Perilaku
Teori Alokasi Progresif Walker
Teori Pilihan Rasional
Principal Agent Theory
Teori Kelembagaan Ekonomi (Institutional Economics)
Studi Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

3 METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Variabel Penelitian
Prioritas Belanja Daerah
Alokasi Belanja Daerah
Waktu Belanja Daerah
Transparansi & Akuntabilitas Belanja Daerah
Efektivitas Biaya
Data dan Pengolahan Data
Teknik Analisis

4 EVALUASI ANGGARAN DAERAH
Struktur Anggaran Daerah
Pendapatan Daerah
Belanja Daerah
Surplus, Defisit, Pembiayaan dan SILPA Tahun Berkenaan
Perubahan Struktur Anggaran
Sebaran Data Alokasi Belanja Provinsi

v
xvii
xix
xx
xxi
1
1
5
7
7
8

9
9
11
12
14
17
17
18
19
19
21
33
36

38
38
39
39
40
42
43
45
48
48

51
51
53
55
62
62
63

xviii

Praktek Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Praktek Perencanaan Daerah
Praktek Penganggaran Daerah
Beragamnya Jenis Pelaporan Pemerintah Daerah
Praktek Perencanaan dan Penganggaran Terkait Dimensi Kualitas Belanja
Pengaruh Regulasi Terhadap Kualitas Belanja Daerah

5 EKSPLORASI INDIKATOR KUALITAS BELANJA DAERAH
Identifikasi Indikator Kualitas Belanja Daerah
Seleksi Indikator
Heterogenitas Observasi dan Efek Moderasi
Analisis Klaster Observasi
Efek moderasi
Hubungan Kausal Antar Konstruk Pembentuk Kualitas Belanja

65
65
67
70
71
79

81
81
89
91
93
95
95

6 MODEL PENGUKURAN KUALITAS BELANJA DAERAH

97

Model Pengukuran Kualitas Belanja Daerah
Model Struktural Kualitas Belanja
Indikator Pembeda Klaster Wilayah Kualitas Belanja
Peta Kualitas Belanja Daerah
Analisis Perubahan Kualitas Belanja Berdasarkan Klaster Wilayah
Keunggulan dan Keterbatasan Model

97
97
99
101
107
110

7 IMPLIKASI KEBIJAKAN
Peningkatan Kualitas Struktur Pendapatan Daerah
Peningkatan Kualitas Struktur Belanja Daerah dan Reduksi Idle Money
Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Pendekatan Kewilayahan (Peta Kualitas Belanja) dalam Meningkatkan Kualitas
Belanja Daerah

8 SIMPULAN DAN SARAN

111
111
111
113
114

115

Simpulan
Saran

115
118

9 NOVELTY

119

Kualitas belanja daerah dikaji secara multidimensional dan terukur
Menemukan indikator dan model formulasi pengukuran kualitas belanja
Menemukan hubungan antar konstruk model kualitas belanja
Menghasilkan peta kualitas belanja daerah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

119
119
120
120

122
130
208

xix

DAFTAR TABEL
1. Struktur Realisasi Belanja Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota)

Tahun Anggaran 2009-2013

3

2. Indikator Kinerja Makro Pembangunan Nasional Tahun 2008-

2014
3. Fungsi Pemerintah Berdasarkan Level Pemerintah
4. Ilustrasi Analisis Vertical Fiscal Imbalance (VFI) antara
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

21.
22.
23.
24.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Prinsip-Prinsip Good Governance
Penelitian Sebelumnya Terkait dengan Topik Penelitian
Rancangan Penelitian
Kriteria Evaluasi Model PLS-SEM.
Struktur Anggaran Pemerintah Provinsi Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun Anggaran 2009-2012 (Rp Triliun)
Struktur Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Tahun
Anggaran 2009-2012
Daftar Provinsi dengan PAD Lebih Besar dari Dana
Perimbangan Tahun 2009-2010
Struktur Realisasi Pendapatan Asi Daerah Provinsi Tahun 20092012
(Rp Triliun)
Dana Perimbangan dalam Realisasi APBD Provinsi Tahun 20092012
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah dalam Realisasi APBD
Provinsi
Tahun 2009-2012
Struktur Realisasi Belanja dalam APBD Provinsi Tahun 20092012
Daftar Provinsi dengan Proporsi Alokasi Belanja Pegawai di
Atas Nilai Rata-Rata Nasional Tahun 2009-2012
Daftar Provinsi dengan Proporsi Alokasi Belanja Barang & Jasa
di Atas Nilai Rata-Rata Nasional Tahun 2009-2012
Daftar Provinsi dengan Proporsi Alokasi Belanja Modal di Atas
Nilai Rata-Rata Nasional Tahun 2009-2012
Daftar Provinsi dengan Proporsi Alokasi Belanja Subsidi, Hibah
dan Bansos di Atas Nilai Rata-Rata Nasional Tahun 2009-2012
Daftar Provinsi dengan Rasio SILPA Tahun Berkenaan terhadap
Belanja Daerah di Atas Nilai Rata-Rata Nasional Tahun 20092012
Perubahan Realisasi APBD Provinsi Tahun 2010-2012 (%)
Tahapan dan Masalah dalam Praktek Perencanaan RKPD
Provinsi
Simpul Kritis dan Daftar Masalah yang Sering Muncul dalam
Penganggaran Daerah
Regulasi, Jenis Laporan Pemerintah Daerah dan Tujuan
Penyampaian

5
13
13
21
29
38
50
52
53
54
54
55
55
56
57
58
59
61

62
63
66
68
70

xx

25. Proporsi Pendapat Responden Tentang Regulasi Pengelolaan

26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.

Keuangan Daerah yang Tidak Mendukung Belanja Berkualitas
(%)
Indikator Konstruk Prioritas Belanja
Indikator Konstruk Alokasi Belanja
Indikator Konstruk Ketepatan Waktu Belanja
Indikator Konstruk Akuntabilitas Belanja
Indikator Konstruk Efektivitas Belanja
Simbol dan Keterangan Model Kualitas Belanja
Ringkasan Estimasi Parameter Indikator Kualitas Belanja
Analisis Jalur pada Model Struktural
Kecenderungan Pengelompokan Provinsi Berdasarkan Analisis
Klaster
Model Pengukuran Konstruk Kualitas Belanja
Model Struktural Kualitas Belanja
Nilai Modus Indikator Berdasarkan Klaster Wilayah
Rekap Jumlah Observasi Status Kualitas Belanja Berdasarkan
Klaster Wilayah Tahun 2009-2012 (%)
Perubahan Status Kualitas Belanja di Wilayah Klaster-1
Perubahan Status Kualitas Belanja di Wilayah Klaster-2
Analisis Implikasi Kebijakan Peningkatan Kualitas Struktur
Pendapatan Daerah
Kondisi Saat ini dan Implikasi Kebijakan Struktur Belanja
Daerah
Masalah dan Implikasi Kebijakan Pelaksanaan Perencanaan dan
Penganggaran Daerah
Klaster Wilayah, Kondisi Kualitas Belanja dan Upaya
Peningkatannya

80
82
83
84
85
86
88
90
93
94
98
98
101
107
108
109
111
112
113
114

DAFTAR GAMBAR
1. Belanja Negara, Belanja Pemerintah Pusat dan Dana Transfer ke

Daerah Tahun Anggaran 2009-2016

3

2. Persentase Defisit Anggaran dalam APBD (Provinsi, Kabupaten,

3.
4.
5.
6.
7.

8.

Kota) dan Defisit Anggaran dalam APBN Tahun Anggaran
2009-2014
Keterkaitan antar Atribut dan Indikator Belanja Berkualitas
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka Konseptual Model Kualitas Belanja Pemerintah
Daerah
Dana Pemerintah Daerah di Perbankan Tahun 2012 (Rp Triliun)
Boxplot Data Proporsi Belanja Pegawai (A), Belanja Barang dan
Jasa (B), Belanja Modal (C), Belanja Subsidi, Hibab dan Bansos
(D) dan SILPA Tahun Berkenaan (E) Pemerintah Provinsi Tahun
2009-2012
Diagram Alir Pelaksanaan Perencanaan RKPD Provinsi

4
23
35
37
53

64
65

xxi

9. Rincian Tahapan Penganggaran Daerah dan Indikasi Simpul

Kritis (kotak garis putus-putus)
Pengintegrasian Sistem Pelaporan Pemerintah
daerah
Pejabat Kunci dalam Pelaksanaan APBD
Konversi Struktur Anggaran dalam Dokumen APBD (kiri) dan
Dokumen Realisasi APBD (kanan)
Model Kualitas Belanja Daerah
Analisis Klaster Observasi: Metode Average Lingkage 2 klaster
(A) 3 Klaster (B); Metode Complate Lingkage 2 Klaster (C) dan
3 klaster (D).
Diagram Jalur Model Kualitas Belanja Data Observasi Kluster-1
(Nilai Loadings: nilai-nilai pada panah menuju kotak kuning,
Path Coefficient: nilai-nilai pada panah menuju lingkaran biru,
dan Contruct Reliability: nilai-nilai dalam lingkaran biru)
Diagram Jalur Model Kualitas Belanja Data Observasi Kluster-2
(Nilai Loadings: nilai-nilai pada panah menuju kotak kuning,
Path Coefficient: nilai-nilai pada panah menuju lingkaran biru,
dan Contruct Reliability: nilai-nilai dalam lingkaran biru)
Peta Kualitas Belanja Tahun 2009
Peta Kualitas Belanja Tahun 2010
Peta Kualitas Belanja Tahun 2011
Peta Kualitas Belanja Tahun 2012
Model Pengukuran dan Model Struktural Kualitas Belanja
Daerah

67

10. Mekanisme
11.
12.
13.
14.

15.

16.

17.
18.
19.
20.
21.

71
75
78
88

94

96

96
103
104
105
106
120

DAFTAR LAMPIRAN
1. Konstruk dan Indikator Kualitas Belanja Pemerintah Daerah
130
2. Data Realisasi APBD Provinsi Tahun 2009-2012
154
3. Data Rasio PAD terhadap Dana Perimbangan dalam APBD

Provinsi Tahun 2009-2012

158

4. Proporsi Realisasi Alokasi Belanja dalam APBD Provinsi Tahun

2009-2012
159
5. Data Indikator Kualitas Belanja
163
6. Analisis Model Kualitas Belanja
179
7. Data Peta Kualitas Belanja Pemerintah Provinsi di Indonesia
Tahun 2009-2012
195

xxii

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kajian mengenai kualitas belanja daerah diawali dari mana belanja daerah
berasal. Menurut Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, belanja daerah didefinisikan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Daerah dimaksud disini adalah daerah otonom yang merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, menurut Litvack dan Seddon
(1999), desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab untuk fungsi
publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah dibawahnya atau organisasi
pemerintah kuasi-independen atau sektor swasta. Melalui kebijakan desentralisasi,
pemerintah pusat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah dalam mengelola
sumber daya yang dimiliki termasuk sumber daya keuangan sesuai kebutuhannya.
Desentralisasi dipilih sebagai cara terbaik dalam mengelola negara yang luas dengan
kompleksitas yang tinggi seperti Indonesia. Indonesia yang terbentang sepanjang
3.977 mil, dengan luas daratan 1.922.570 Km2 dan perairan 3.257.483 Km2, jumlah
penduduk menurut sensus penduduk Tahun 2000 berpopulasi 206 juta jiwa, terletak
di jalur perdagangan dunia dan kini menjadi negara demokratis terbesar keempat
dunia, tidak mungkin dikelola secara terpusat. Menurut Simanjuntak (2001), secara
historis isu-isu yang menjadi tarik-menarik dalam hubungan antara pusat dan daerah
di Indonesia mencakup tiga hal pokok: wewenang dan tugas daerah (expenditure
assignment); wewenang daerah untuk memungut pajak (tax assignment); sistem
transfer antar pemerintahan (intergovernmental fiscal transfer). Kebijakan terhadap
isu-isu tersebut sangat mempengaruhi hubungan keuangan pusat-daerah. Secara
teoritis, desentralisasi berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan publik karena
kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh level pemerintahan yang paling
rendah sehingga, desentralisasi akan mendorong efisiensi dan efektivitas dana
pembangunan (Bird dan Vaillancourt 1998). Berdasarkan uraian tersebut

disimpulkan bahwa kewenangan belanja daerah sebagai implikasi pelaksanaan
kebijakan desentralisasi. Desentralisasi merupakan transfer kewenangan yang
berimplikasi munculnya kewajiban belanja daerah yang harus dipertanggung
jawabkan.
Kebijakan desentralisasi di Indonesia menemukan momentumnya pasca
pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Melalui kedua UU tersebut pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
memperoleh kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lainnya seperti perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,

2

sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Otonomi
daerah seluas-luasnya tersebut menimbulkan banyak ekses negatif sehingga hanya
dalam kurun waktu empat tahun telah dilakukan revisi melalui UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah. Kebijakan desentralisasi terus mengalami perubahan
sesuai dengan dinamika situasi yang berkembang, saat ini UU No. 32 Tahun 2004
telah mengalami perubahan dengan UU No. 23 Tahun 2014, sedangkan revisi UU
No. 33 Tahun 2004 telah masuk dalam program legislasi nasional Tahun 2015-2019.
Betapapun dinamisnya perubahan regulasi desentralisasi di Indonesia namun tetap
memiliki kesamaan tujuan, bahwa desentralisasi ditempuh sebagai upaya
mempercepat peningkatan kesejahteraan, partisipasi masyarakat, perbaikan
pelayanan publik dan meningkatkan daya saing daerah. Tujuan ini menjadi tolok
ukur keberhasilan belanja daerah.
Penerapan kebijakan desentralisasi disertai dengan kebijakan dana transfer
yang memiliki fungsi lebih luas dari sekedar memenuhi kebutuhan fiskal daerah.
Menurut Litvack dan Seddon (1999), dana transfer juga ditujukan untuk mengurangi
kesenjangan fiskal secara vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
(vertical fiscal imbalance), mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah (horizontal
fiscal imbalances), mengatasi masalah spill-over effect dalam pelayanan publik dan
alasan stabilisasi. Kebijakan dana transfer di Indonesia dalam prakteknya diterapkan
berupa dana perimbangan (DP), dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. DP
diterapkan untuk semua daerah provinsi dan kabupaten/kota, dana otonomi khusus
hanya diberikan bagi tiga provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Papua
dan Papua Barat, sedangkan dana penyesuaian merupakan dana transfer bersifat
insidential karena kebijakan yang sangat spesifik dan berlaku untuk beberapa daerah
saja.
Alokasi dana transfer mencapai lebih dari 30% dari belanja negara setiap
tahunnya dan secara nominal dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan
(Gambar 1). Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2009,
total belanja negara sebesar Rp937 Triliun terdiri dari belanja pemerintah pusat
Rp629 Triliun (67%) dan dana transfer ke daerah mencapai Rp308 Triliun (33%).
Belanja negara terus meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia,
sehingga pada Tahun 2016 belanja negara telah mencapai Rp2.121 Triliun, yang
terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.339 Triliun (63%) dan belanja transfer ke
daerah Rp782 Triliun (37%). Berarti dalam kurun waktu 2009-2016, rata-rata
peningkatan dana transfer ke daerah meningkat 14% per tahun (y.o.y), lebih tinggi
dibandingkan peningkatan belanja negara (13% per tahun) dan belanja pemerintah
pusat (12% per tahun). Data ini menunjukkan konsistensi politik anggaran
pemerintah pusat dalam mendorong peningkatan kapasitas fiskal daerah melalui
peningkatan kuantitas dana transfer ke daerah. Peningkatan kapasitas fiskal ini
diharapkan akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai
kebutuhan pembangunan daerah dan meningkatkan pemerataan pelayanan publik di
daerah.

3

Gambar 1 Belanja Negara, Belanja Pemerintah Pusat dan Dana Transfer ke Daerah
Tahun Anggaran 2009-2016
Implementasi otonomi daerah memberikan keleluasaan pemerintah daerah
menggunakan pendapatan daerah termasuk yang berasal dari dana transfer untuk
memenuhi kebutuhan belanjanya. Penggunaan belanja ini merupakan bentuk politik
anggaran pemerintah daerah yang dapat dilihat dari struktur belanja daerah. Tabel 1
memperlihatkan data struktur belanja daerah secara keseluruhan (APBD provinsi,
kabupaten dan kota) Tahun Anggaran 2009-2013, yang menunjukkan alokasi belanja
pegawai menempati alokasi terbesar (42-47%), diikuti oleh belanja modal (22-28%),
belanja barang dan jasa (19-21%) dan belanja lain-lain (10-12%).
Tabel 1

Struktur Realisasi Belanja Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) Tahun
Anggaran 2009-2013

2009
2010
Rp (Triliun) % Rp (Triliun)
Belanja Pegawai
180 43
199
Belanja Barang dan Jasa
80 19
82
Belanja Modal
115 28
96
Belanja Lain-Lain
41 10
50
Jumlah Belanja
416 100
427

No Uraian Belanja
1
2
3
4
5

2011
2012
% Rp (Triliun) % Rp (Triliun)
47
229 46
261
19
104 21
122
22
114 23
137
12
48 10
71
100
495 100
591

2013
% Rp (Triliun)
44
297
21
148
23
176
12
87
100
708

%
42
21
25
12
100

Sumber : Dihitung kembali dari DJPK (2013)

Tabel 1 juga memperlihat kecenderungan alokasi belanja daerah dari tahun ke
tahun. Secara nominal, alokasi belanja pegawai secara konsisten terus mengalami
peningkatan dari Rp180 Triliun (2009) menjadi Rp297 Triliun (2013). Adapun
alokasi belanja modal relatif berfluktuasi, awalnya mencapai Rp115 Triliun (2009)
kemudian turun hingga ke level Rp96 Triliun (2010) setelah itu terus meningkat
hingga mencapai Rp176 Triliun (2013). Adapun alokasi belanja barang dan jasa
memperlihatkan kenaikan yang konsisten dari Rp80 Triliun (20109) menjadi Rp148
Triliun (2013). Komposisi realisasi belanja ini mengindikasikan secara nasional,
belanja daerah masih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan belanja pegawai

4

daerah. Belanja modal yang mencerminkan investasi terhadap infrasruktur publik
dan bersifat jangka panjang masih lebih rendah dibandingkan belanja pegawai. Pola
prioritas dan alokasi belanja seperti ini dipandang sebagai belum berkualitasnya
belanja daerah dalam meningkatkan pelayanan publik dan daya saing daerah.
Peningkatan kapasitas fiskal daerah dapat dilihat dari semakin rendahnya
persentase rasio defisit anggaran terhadap total pendapatan daerah (Gambar 2).
Rasio defisit anggaran daerah menurun dari 13% (2009) menjadi 8% (2014).
Sementara pada periode yang sama, rasio defisit anggara pemerintah pusat terus
mengalami peningkatan dari 10% (2009) menjadi 15% (2014).

Gambar 2 Persentase Defisit Anggaran dalam APBD (Provinsi, Kabupaten, Kota)
dan Defisit Anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 2009-2014
Perhitungan vertical fiscal imbalance (VFI) pada Tahun 2008,
juga
menunjukkan terjadinya ketidakseimbangan fiskal secara vertikal (DSF 2010), beban
fiskal pemerintah pusat cenderung mengalami defisit, sebaliknya pemerintah daerah
cenderung mengalami suplus. Kondisi ini mengindikasikan perlunya perubahan
orientasi desentralisasi fiskal di Indonesia, dari penekanan pada aspek kuantitas
belanja daerah, ke arah baru yang menekankan aspek kualitas belanja daerah.
Kondisi fiskal pusat-daerah yang demikian terjadi di dalam situasi tantangan
berat pembangunan nasional seperti ditunjukan indikator pembangunan (Tabel 2).
Pertumbuhan ekonomi yang masih melambat, dari sempat menyentuh level 6,49%
(2011) menjadi 5,06% (2014). Beban penyerapan tenaga kerja juga masih tinggi,
tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 8,39 (2008) yang berhasil diturunkan
menjadi 6,14% (2012), sempat mengalami kenaikan mencapai 6,25% (2013)
sehingga momentum penurunan TPT 5,70% (2014) harus terus ditingkatkan. Laju
penurunan kemiskinan periode 2008-2012 cukup baik, terlihat dari tingkat
kemiskinan dapat ditekan dari 15,42% (2008) menjadi 11,66% (2012). Seiring
dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan angkatan kerja, laju
penurunan kemiskinan juga melambat pada periode setelah 2012. Disamping itu,
masalah kesenjangan pendapatan antar individu juga semakin meningkat, terlihat
dari indeks gini yang terus berada pada level diatas 0,4. Kinerja pembangunan

5

tersebut menjadi tantangan besar pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi
integrasi ekonomi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Keadaan ini memberikan sinyal perlunya reformasi kebijakan desentralisasi fiskal di
Indonesia, dari fokus terhadap peningkatan kuantitas belanja ke arah kebijakan yang
menekankan aspek kualitas belanja.
Tabel 2 Indikator Kinerja Makro Pembangunan Nasional Tahun 2008-2014
No Indikator Pembangunan
1
2
3
4
5

Pertumbuhan ekonomi
Pengangguran terbuka
Tingkat kemiskinan
Indeks Gini
Indeks Pembangunan Manusia
- Metode perhitungan lama
- Metode perhitungan baru

2008
6,01
8,39
15,42
0,35

2009
4,63
7,87
14,15
0,37

71,17

71,76

Tahun
2010
2011
6,22
6,49
7,14
6,56
13,33
12,49
0,38
0,41

2012
6,26
6,14
11,66
0,41

2013
5,73
6,25
11,47
0,41

2014
5,06
5,70
10,96
0,41

72,27
66,53

73,29
67,70

73,81
68,31

68,90

72,77
67,09

Sumber : diolah dari BPS (www. bps.go.id)

Upaya mendorong perbaikan kualitas belanja pemerintah daerah sejalan
dengan tantangan daerah menghadapi MEA dengan memanfaatkan sebaik-baiknya
kewenangan yang dimiliki daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui partisipasi aktif pemangku kepentingan di daerah, karena
pemerintah daerah dianggap lebih tahu permasalahan dan kebijakan yang tepat untuk
daerahnya dibandingkan pemerintah pusat (Juanda 2016a). Masalah rendahnya
kualitas belanja pemerintah daerah saat ini merupakan masalah serius untuk disikapi
karena bersamaan dengan terjadinya penurunan laju pertumbuhan ekonomi,
perlambatan penurunan angka kemiskinan, ketimpangan wilayah dan antar individu
(Juanda 2016b). Wajah pembangunan daerah juga masih didominasi oleh senjangnya
indeks pembangunan manusia, indeks kualitas lingkungan hidup, rendahnya kualitas
pelayanan publik, keterbatasan infrastruktur dan rendahnya daya saing daerah (Hadi
2001; Nugraheni dan Priyarsono 2012; Lisna et al. 2013; Bappenas 2013). Oleh
sebab itu diperlukan reformasi kebijakan desentralisasi fiskal dengan salah satu
fokusnya bagaimana meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah (Juanda
2016c).
Perumusan Masalah
Kebijakan meningkatkan kualitas belanja daerah dihadapkan pada masalah
mendasar apa dan bagaimana mengukur kualitas belanja daerah. Atribut kualitas
belanja daerah telah tercantum dalam regulasi yang menyangkut pengelolaan
keuangan daerah, seperti PP No. 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan
daerah pada Pasal 4(1) menyebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib,
taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat. Atribut kualitas belanja daerah tersebut sejalan dengan amanat
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa

6

pemerintah daerah diwajibkan untuk mengelola dana secara efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel (Pasal 280). Berdasarkan kajian regulasi, tinjauan teoritis
dan wacana publik yang berkembang, Juanda et al. (2014) mendefinisikan belanja
daerah yang berkualitas adalah belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas
pembangunan daerah yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu,
transparan dan akuntabel.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan
pada Tahun 2014, dalam laporan mengenai spending performance pemerintah daerah
mengukur kualitas belanja daerah hanya berdasarkan proporsi alokasi belanja
langsung terhadap belanja tidak langsung dan tingkat penyerapan belanja modal dan
belanja barang dan jasa (DJPK 2014). Terlihat bahwa ukuran kualitas belanja yang
digunakan oleh lembaga pemerintah pusat tersebut tidak cukup mewakili dimensidimensi kualitas belanja. Proporsi alokasi belanja langsung dan tidak langsung masih
terlalu umum untuk dapat menilai ketepatan prioritas dan alokasi belanja. Tingkat
penyerapan belanja modal dan belanja barang dan jasa masih terlalu kasar untuk
dapat mewakili dimensi ketepatan waktu, sedangkan dimensi akuntabilitas dan
efektivitas belanja benar-benar tidak terwakili dalam ukuran yang digunakan.
Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan
Otonomi Daerah Bappenas juga telah melakukan kajian kualitas belanja APBD pada
8 provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia (Bappenas 2011). Fokus kajian
mencakup tiga aspek: proses penganggaran daerah terdiri dari dimensi waktu,
dimensi substansi dan dimesi pelaku; kualitas penganggaran daerah terdiri dari
pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, keadilan dan
responsibilitas; dan determinasi kualitas penganggaran daerah. Namun sayangnya
analisis dilakukan secara kualitatif dan tidak menggunakan model formulasi tertentu
untuk menghitung kualitas belanja daerah sehingga dapat direplikasi untuk skala
yang lebih luas.
Kajian yang dilakukan oleh kedua lembaga pemerintah pusat tersebut
menggambarkan tidak memadainya indikator kualitas belanja dan belum tersedianya
formulasi pengukuran kualitas belanja yang digunakan pemerintah sebagai instrumen
untuk mendukung pengambilan kebijakan. Kondisi ini dapat menyebabkan
kegagalan pemerintah dalam menangkap substansi masalah yang menyebabkan
belanja daerah tidak berkualitas, sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan
kesalahan dalam merumuskan kebijakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas belanja daerah.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka diajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur anggaran daerah, bagaimana daerah melakukan
belanja dan bagaimanakah ketentuan regulasi mempengaruh perilaku belanja
daerah?.
2. Indikator apa yang relevan digunakan untuk mengukur kualitas belanja,
bagaimana mengetahui reliabilitas dan validitas indikator-indikator kualitas
belanja dan bagaimana hubungan antar konstruk pembentuk kualitas belanja
daerah?.

7

3. Bagaimanakah model formulasi yang dapat digunakan untuk mengukur
kualitas belanja daerah dan bagaimakah pola distribusi kewilayahan hasil
pengukuran kualitas belanja daerah?.
4. Apa implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan dalam rangka meningkatkan
kualitas belanja daerah?.
Tujuan Penelitian
Gagasan utama penelitian ini adalah menemukan ukuran kualitas belanja yang
mengintegrasikan indikator dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah
secara komprehensif, kuat (robust) namun tetap sederhana. Ukuran tersebut
bermanfaat sebagai instrumen untuk menyederhanakan sistem evaluasi dalam
manajemen pembangunan daerah. Kualitas belanja dapat menjadi alternatif ukuran,
karena belanja merefleksikan semua aspek dalam sistem perencanaan dan
penganggaran, mulai dari input, proses, output dan feedback. Secara spesifik tujuan
penelitian ini dinyatakan sebagai berikut.
1. Melakukan evaluasi struktur anggaran daerah, mengetahui bagaimana daerah
melakukan belanja dan mengetahui bagaimana ketentuan regulasi
mempengaruhi perilaku belanja daerah.
2. Menemukan indikator yang relevan digunakan untuk mengukur kualitas
belanja, mengetahui tingkat reliabilitas dan validitas indikator-indikator
kualitas belanja dan mengetahui hubungan antar konstruk pembentuk kualitas
belanja daerah.
3. Menemukan model formulasi yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
belanja daerah sehingga dapat digunakan untuk mempelajari pola distribusi
kewilayahan (peta) kualitas belanja daerah.
4. Merumuskan implikasi kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas
belanja daerah. Pengukuran kualitas belanja sebagai bahan masukan dalam
evaluasi kebijakan desentralisasi fiskal, terutama terkait perbaikan tata kelola
perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup unit analisis pemerintah
provinsi se-Indonesia dan data-data yang berhubungan dengan kualitas belanja
dalam kurun waktu Tahun 2009 hingga 2012. Konsep kualitas belanja yang bersifat
multidimensional karena mencakup dimensi input, proses, output dan feedcack
dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Namun dalam kajian terhadap
indikator efektivitas belanja, kajian dibatasi pada sektor strategis yang menggunakan
sebagain besar belanja daerah seperti sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
lingkungan hidup dan perencanaan pembangunan.
Penelitian ini mengasumsikan berbagai indikator kualitas belanja provinsi
benar-benar dipengaruhi oleh belanja pemerintah provinsi. Asumsi ini didasarkan
atas pertimbangan bawah pemerintah provinsi memiliki kewenangan yang delegatif
sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah sehingga dapat ikut

8

mempengaruhi belanja pemerintah kabupaten/kota dalam mencapai target-target
prioritas pembangunan daerah. Secara faktual pengaruh belanja pemerintah
kabupaten/kota atau pemerintah pusat melalui lembaga-lembaga vertikal di daerah
memiliki target-target kinerja tersendiri dan mempengaruhi pencapaian
pembangunan daerah. Menghilangkan pengaruh belanja pemerintah kabupaten/kota
dan pemerintah pusat di daerah hampir mustahil dilakukan, sehingga pengaruh
tersebut diasumsikan sebagai bagian dari peran pemerintah provinsi sebagai
perpanjangan pemerintah pusat di daerah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai
metode pengkuran kualitas belanja daerah. Penelitian ini diharapkan memberikan
bukti empiris indikator-indikator apa yang menentukan kualitas belanja daerah,
sehingga memberikan pemahaman yang lebih baik bagaimana mekanisme transmisi
fiskal bekerja pada lingkup daerah.
Teori dengan tema ini masih cukup langka dengan pembuktian empiris,
sehingga hasil penelitian ini diharapkan mengurangi kelangkaan tersebut. Bagi
kepentingan praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan kepada pemerintah pusat
dan daerah dalam rangka meningkatkan kualitas belanja agar penggunaan sumber
daya keuangan daerah efektif untuk mencapai tujuan otonomi. Pemerintah pusat
perlu menyempurnakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi
peningkatan kualitas belanja daerah. Kajian ini juga diharapkan bermanfaat bagi
evaluasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang masih bersifat simetris atau
seragam (one fits for all). Pendekatan klaster wilayah berdasarkan karakteristik
kondisi pengelolaan keuangan dipandang lebih tepat dalam merumuskan kebijakan
pemerintah pusat yang sensitif terhadap keragaman pemerintahan daerah di
Indonesia. Adapun bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan dalam penyusunan desain program dan kegiatan penguatan
kelembagaan pemerintah daerah dalam mendorong peningkatan kualitas belanja
pemerintah daerah.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Permasalahan pengukuran dalam ilmu ekonomi bukan perkara sederhana. Ilmu
ekonomi justru mengalami perkembangan yang pesat berkat kemampuannya dalam
menyediakan metode mengatasi masalah-masalah pengukuran dari yang sederhana
hingga rumit, dari yang sebelumnya terkesan subyektif menjadi memiliki dasar
obyektivitas yang kuat. Ilmu ekonomi telah berkembang menjadi The Queen of
Social Science berkat pendekatan-pendekatan kuantitatif yang semakin canggih,
dengan perangkat alat analisis, hukum-hukum sistemik dan metode kuantitatif
tersendiri (Skousen 2001). Kemampuan pengukuran yang semakin baik, mendorong
kemajuan ilmu ekonomi semakin pesat, berkembang menjadi rumpun ilmu tersendiri,
menyamai logika dan presisi matematika serta ilmu-ilmu fisika. Pengembangan
kemampuan pengukuran adalah bagian dari kemajuan peradaban manusia dalam
memahami realitas yang ada dan meminimalkan ketidakpastian (uncertainty) yang
akan dihadapi. Mengembangkan kemampuan pengukuran merupakan inti dari
konsep perencanaan yang ideal dan mendefinisikan sesuatu yang tersembunyi
menjadi terukur adalah tugas perencana (Nugroho dan Wrihatnolo 2011).
Pengukuran kualitas belanja daerah merupakan konsekuensi dari teori ekonomi
yang menyakini pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Berbeda
dengan aliran pemikiran ekonomi tentang supremasi pasar, aliran pemikiran ekonomi
yang sesuai dengan kondisi negara-negara berkembang justru menyarankan perlunya
intervensi pemerintah untuk mengarahkan, mengatur atau memberikan pedoman
dalam rangka menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomi masyarakat (Jhingan 2012).
Berkaitan tujuan penelitian, ulasan teori dimulai dari teori desentralisasi yang
menjadi pangkal kewenangan belanja daerah dilanjutkan dengan teori perencanaan
dan penganggaran pembangunan daerah sebagai landasan memahami bagaimana
mekanisme yang menentukan kualitas belanja daerah. Disamping itu dikemukakan
teori perilaku ekonomi yang menjadi pijakan untuk memahami motif individu dan
kolektif dalam mempengaruhi kualitas belanja.
Desentralisasi Pemerintahan (Government Decentralization)
Pada awalnya pemerintah pusat sebagai pemegang mandat pelayanan publik
dan menjalankan pemerintahan secara tersentralisasi. Seiring dengan keberhasilan
gerakan demokratisasi, pemerintah mulai mengadopsi kebijakan desentralisasi
sebagaimana terjadi pada negara-negara maju melalui gerakan New Public
Management (NPM) (Cheema dan Rondinelli 2008). Desentralisasi adalah transfer
kewenangan dan dan tanggung jawab untuk fungsi publik dari pemerintah pusat
kepada pemerintah dibawahnya atau organisasi pemerintah kuasi-independen atau
sektor swasta (Litvack dan Seddon 1999). Menurut Oates (1999), kewenangan
belanja daerah merupakan implikasi kebijakan desentralisasi. Desentralisasi
memberikan kewenangan bagi daerah dalam mengelola sumber keuangan sesuai
kebutuhannya. Terdapat beberapa jenis desentralisasi yang memiliki karakteristik
dan implikasi yang berbeda-beda, seperti desentralisasi politik, administratif, fiskal,
dan ekonomi. Dalam konteks hubungan pusat daerah, Indonesia menjalankan

10

desentralisasi politik, administrasi dan fiskal (Shah 2007; Jaya 2010). Ketiga bentuk
desentralisasi tersebut diimplementasikan sebagai satu kesatuan dalam desain
kebijakan desentralisasi di Indonesia (Simanjuntak 2001)
Desentralisasi fiskal diimplementasikan untuk membiayai pelaksanaan
desentralisasi politik dan administratif. Desentralisasi politik bertujuan untuk
memberikan kewenangan yang lebih luas bagi warga dan wakil-wakil mereka dalam
pengambilan keputusan publik. Desentralisasi administratif adalah bentuk pengalihan
tanggung jawab (dalam bentuk dekonsentrasi, delegasi atau devolusi) dalam hal
perencanaan, pembiayaan, dan pengelolaan fungsi publik tertentu dari pemerintah
pusat dan lembaga-lembaganya ke unit kerja lapangan atau ke pemerintahan di
bawahnya. Adapun desentralisasi fiskal lebih menekankan pada aspek penyerahan
wewenang dan tanggung jawab fiskal kepada daerah. Desentralisasi ekonomi atau
pasar adalah bentuk yang paling lengkap dari perspektif desentralisasi. Pemerintah
melakukan privatisasi dan deregulasi dengan mengalihkan tanggung jawab fungsi
tertentu kepada sektor swasta atau masyarakat. Melalui kebijakan ini memungkinkan
berbagai fungsi secara eksklusif dilakukan oleh unit bisnis, kelompok masyarakat,
kop