Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

METODE SEDERHANA DAN PRAKTIS PENGUJIAN KEBERADAAN
PROTEIN A Staphylococcus aurerds ISOLAT ASAL MANUSIA
DAN SAP1 PERAH SERTA APLIKASINYA
DALAM PEMBUATAN PERANGKAT DIAENOSTIIC

TITIEK DJANNATUN

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ABSTRAK
TITIEK DJANNATUN. Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein
A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya
Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik.
Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH
WIBAWAN, MASDUKI PARTADIREDJA
(Alm), FACI-IRIYAN I-IASMI
PASARIBU, dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Protein A merupakan komponen permukaan sebagian besar bakteri
StaphyZococcus a w e u s (S. aureus), berperan sebagai faktor virulensi pada ii~feksiS.
aureus. Protein A mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan fraksi Fc hampir

semua subklas imunogiobulin G (IgG) berbagai spesies, kecuali IgG3 (manusia); IgGl
(mencit); IgG1,IgGl,, IgGzb (tikus); dan tidak berikatan dengan fraksi Fc Ig ayam.
Karena kemampuannya tersebut, protein A dimanfaatkan dalarn berbagai teknik
imunologi seperti pada uji imunokimia dan teknik diagnostik laboratorium.
Keberadaan protein A pada permukaan sel bakteri S. aureus telah diuji dengan
teknik Serum So# Agar (SSA). Dari 33 isolat asal manusia, 22 isolat menunjukkan
perubahan bentuk koloni difus menjadi kompak dengan penambahan serum kelinci
normal ke dalam media soft agar. Sebagai pembanding juga ditunjukkan pada 5 isolat
dari 7 isolat S. aureus asal sapi. Perubahan koloni tidak dijumpai pada semua isolat
yang ditumbuhkan pada SSA dengan serum normal ayam.
Protein A S. aureus telah dipurifikasi menggunakan teknik afinitas
kromatografi dan dikarakterisasi dengan menggunakan Sodium Dodecyl Sulphatc Gel
Electrophoresis (SDS-PAGE). Hasil purifikasi menunjukkan satu pita protein dengan
berat molekul 42 kDa.
Matriks protein A yang telah diawetkan dengan menggunakan formaldehida
0,5% dalam PBS selarna 3 j a m pada suhu kamar, diikuti dengan pemanasan pada 80°C
selama 1 jam, baik yang diaktivasi dengan antibodi spesifik kelinci terkadap
Strptococcus grup C 5.60 maupun yang tidak diaktivasi masih memiliki aktivitas
protein A setelah disimpan selarna 1 tahun pada suhu 4 O C .
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik SSA dapat dipakai sebagai

metode sederhana dan praktis untuk mendeteksi keberadaan protein A.

ABSTRACT

TlTIEK DJANNATUN.
A Simple and Practice Method for Detection of the
Occurrence of Protein A in Stnphyococczrs azrrez4s Isolated from Human and Dairy
Cattle and Its Application for Diagnostic Kit. Under supervision of I WAYAN
TEGUH WBAWAN, MASDUKI PARTADIREDJA, FACHRIYAN H A S M
PASARIBU, and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Protein A is a cell wall constituent of most StaphyIococcz~saureus (S. aurezrs)
strains, it has been postulated as a virulence factor in S. aureus infection, and it has an
ability to bind to the Fc fraction of all IgG subclasses of various species except human
IgG3, mice IgGl and rat IgGl, IgGz,, IgGzb; but not binds to the Fc fraction of chicken
IgY. Because of this property, protein A is useful in a variety of immunological
techniques as well as applications in immunochemical assay and diagnostics.
The presence of protein A on the cell surface of S. aureus was examined with
Serum Soft Agar (SSA) technique. From 33 human isolates, 22 isolates expressed the
change of colony morphology fi-om diffuse t o compact in the presence of rabbit serum.
Comparable results were also shown in 5 isolates out of 7 isolates derived from

bovine. No colony morphological changes were detected in all isolates in the presence
of chicken serum.
Protein A of S. aurezis was purified using aff~nitychromatography technique
and characterized with Sodium Dodecyl Sulphate Gel Electrophoresis (SDS-PAGE).
The purified protein A consists of one protein band with molecular weight of 42 kDa.
Protein A matrix which previously preserved with 0,5% formaldehyde in PBS
for 3 hours at room temperature, consequently with heat treatment at 80°C for 1 hour
and activated with specific rabbit antibodies against group C Streptococcus 5.60 as
well as without activation remained stable for at least 1 year when stored at 4°C.
Result of this study indicated that SSA technique could be used as a simple and
practice method for detection of protein A.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :
Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylucoccrrs

aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan
Perangkat Diagnostik
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 3 Desember 200 1
Yang memberi pernyataan,

Titiek ~ i a n n 2 u n
SVT 985 142

METODE SEDERHANA DAN PRAKTIS PENGUJIAN KEBERADAAN

nureus ISOLAT ASAL MANUSIA
PROTEIN A Stap/zylococct~s
DAN SAP1 PERAH SERTA APLIKASINYA
DALAM PEMBUATAN PERANGKAT DIAGNOSTIK.

TITIEK DJANNATUN
SVT 985142

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

-tasi

:

Nama
NRP
Program Studi

:
:

:


Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan
Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia
dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan
Perangkat Diagnostik
Titiek Djannatun
985142
Sains Veteriner

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
Ketua

Prof. Drh. Masduki Partadiredia. MSc., PhD. (Alrn.1
Anggota

Anggota


Anggota

2. Ketua Program Studi
Sains Veteriner

Drh. ~ambUangP. Fries
Tanggal Lulus

: 17 Januari 2002

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 8 Mei 1963 dari orangtua H. M.
Thamrin (Alrn.) dan Hj. Muchtadjah (Alm.) sebagai anak keempat dari sembilan
bersaudara.
Pada tahun 1975 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Blok R Pagi 111, Jakarta,
tahun 1979 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri XIII, Jakarta dan pada tahun

1982 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 70, Jakarta.
Pada tahun 1986 meraih gelar Sarjana Kedokteran IIewan pada Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan tahun 1987 mendapatkan gelar profesi
Dokter Hewan dari Fakultas yang sama.
Sejak tahun 1987 sampai sekarang bekerja sebagai staf pengajar tetap pada
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta.
Penulis menikah dengan Dr. Drh. Heru Setijanto, putra dari Drs. H. H. Soedjaja
dan Hj. Budiharti pada tahun 1988 di Jakarta.
Pada tahun 1997, penulis mengikuti pendidikan program magister di Program
Studi Sains Veteriner, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan pada
semester genap tahun akademik 1998/1999 penulis diperkenankan menempuh
pendidikan program doktor melalui jalur alih jenjang.

UCAPAN TEFUMA KASIH

Alhzlmdulillah, atas berkat rahrnat dan karunia Allah S.W.T. disertasi ini dapat
tersusun dan tidak terlepas pula dari dukungan berbagai pihak.

Oleh karena itu

sepantasnyalah penulis menyampaikan pcnghargaan dan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS., Prof. Drh. Masduki Partadiredja, MSc.,

PhD. (Alm.), Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Drh. Barnbang Pontjo
Priosoeryanto, MS. PhD., selaku komisi pembimbing yang telah mewarnai dan
mengarahkan pola pikir penulis selama penelitian dan penulisan disertasi ini.
2. Rektor Universitas YARSI, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,

KepaIa d m staf Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI atas
ijin dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana di IPB.

3. Badan Pelaksana Harian Yayasan YARSI yang telah rnen~bantubiaya pendidikan,
penelitian dan penulisan disertasi.
4. Seluruh keluarga besar H.M. Thamrin (Alrn.) dan Drs. H. H. Soedjaja atas doa dan

dukungannya serta yang tersayang dan terhormat Suamiku Dr. Drh. Heru Setijanto
sebagai pendukung, pendorong dan penasehat selama ini.
5 . Direktur Program Pascasarjana IPB beserta seluruh staf dan pegawai serta Ketua

Program Studi Sains Veteriner dan staf atas layanannya selama penulis menempuh
pendidikan.

6. Direksi dan staf PT. Bio Farma (persero) Bandung, terutama Dr. Drh. Kamaluddin

Zarkasie dan Drh. Lia Siti Halimah, MSi. atas kesempatan, fasiIitas dan segala

bantuannya selama penulis menyelesaikan penelitian di Unit Pengujian Mutu
Serum PT. Bio Farma (persero) Bandung.

7. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB beserta sivitas akademika atas pelayanan
dan keramah-tamahannya yang rnemberikan suasana akademis yang kondusif bagi
perjalanan pendidikan, penelitian sampai penulisan disertasi ini.
8 . Mbak Wahyuni, mbak Sri Estuningsih, mbak Eva Harlina, mbak Dini, pak Mahdi
Abrar, I Nyoman Suartha, pak Fadrial Karmil, Hera Maheshwari dan adik-adiic
Suhartila, Rik-Rik, siska, Nunu serta para teknisi di Laboratorium Diagnostik
Bakteriologi, Agus Somantri, Taufik, atas segala bantuan dan dukungannya selama
ini.

Khusus kepada Udin, Denny dan Ratih atas bantuannya dalam persiapan

presentasi penelitian ini.


9. Semua pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Akhirnya disertasi ini kupersembahkan kepada Umi tercinta, Hj. Muchtadjah
Thamrin (Alm.) yang semasa hidupnya tak henti-hentinya memberikan dorongan
semangat d m doa restunya.
Semoga Allah S.W.T. senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia
kepada kita semua. Amin ya Rabbal alamin.

PRAKATA
Protein A merupakan reagen penting dalarn imunologi dan teknik diagnostik
laboratorium.

Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri,

yaitu mampu berikatan kuat pada bagian Fc dari hampir semua subklas imunoglobulin
G (IgG).

Untuk mendeteksi keberadaan protein A selama ini digunakan beberapa
metode yang sangat rumit, memerlukan peralatan dan reagen khusus yang mahal serta
tidak praktis.

Dengan demikian perlu dicari cara alternatif untuk mendeteksi

keberadaan protein A yang sederhana dan praktis serta pengawetan protein A yang
tepat, sehingga dapat disimpan untuk kurun waktu tertentu dan dimanfaatkan pada
waktu diperlukan.
Serangkaian percobaan telah dilakukan d m hasil serta pembahasannya
dipaparkan dalam disertasi ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan diagnostik dalarn uji serologis terhadap berbagai antigen (Ag).
nisadari dengan sepenuh hati, bahwa penyajian disertasi ini masih banyak
kelemahan-kelemahan.

Untuk itu kritik dan saran pembaca senantiasa diharapkan.

Akhirnya dengan segala keterbatasan, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2002

DAFTAR lS1

Halaman

DAFTAR IS1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

xi

...

DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

XIII

DAFTAR GAMBAR

xiv

.....................................................................

Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
..
Hipotesis Penellt~an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
.
...............................
Analisa Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Morfologi dan Identifikasi Stnphykococcus nureus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Faktor Virulensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Protein A Staphylucocc~r.~
nftrrzrs . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
.................
Penggunaan Protein A dalam Diagnostik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Interaksi Shphylococc~rsnzrretrs denyan cairan tubuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Uji keberadaan protein A S. czrlrerrs . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Teknik Sofi Agar dan Ser~rnlSofi Apt. (SA dan SSA) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
BAHAN DAN METODE . . . . .
Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
..
Bahan Penelltlan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Isolat Bakteri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Hewan Percobaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .
Media Brakan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
Bahan Reidentifikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bahan-bahan lain . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.. . . .
.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
..
Alat Penelltlan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Metode Penelitian
..................................................................
A . Reidentifikasi bakteri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
B . Penentuan Kandidat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Salt Aggregation Test ( S A T ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dot Blot . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
C . Purifikasi dan Karakterisasi Protein A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 . Afinitas kromatografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
.
..............
2 . Ekstraksi Protein A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... . .
. . . . . . . . . . .. . .
............

I

2
3
3

4
5
5
8
13
18

21
24
25

3. Presipitasi arnoniurn sulfat ..............................................
4 . Isolasi Protein A dengan matriks nitroselulose aktif ..................
5 . EIektroforesis SDS-PAGE ...............................................
D . Penentuan awal keberadaan Protein A .....................................
1. Pernumian Ig Kelinci .....................................................
Pemumian serum dengan amonium suIfat .........................
Pernumian dengan Ion Exchange Chromatography DEAE
Sephacel .................................
.
.
...........................
Pengujian dengan menggunakan Spektrofotometer ..............
2 . Melihat pertwnbuhan bakteri pada soft agar (SA) ....................
3 . Pertumbuhan bakteri pada serum soft agar (SSA) ....................
4 . Pertumbuhan bakteri pada soft agar yang diberi Ig ..................
E . Screening keberadaan protein A dengan SA dan SSA ...................
F . Metode Pengawetan
1. Pengawetan dengan pemanasan 80°C selama 1 jam ..................
2 . Pengawetan dengan formaldehida 0,5% ...............................
3 . Pengawetan dengan formaldehida 0,5% dan pemanasan 80°C
selarna 1 jam ...............................................................
G. Aplikasi protein A untuk pengembangan kit diagnostik .................
1 . Preparasi Ag vaksin SGC 5.60 ...........................................
2 . Produksi Ab terhadap SGC 5.60 .........................................
3 . Pembuatan ekstrak autoclave antigen ...................................
4 . Pengujian Ab dengan teknik Agar Gel Precipifation Test (AGPT) ..
5 . Metode koaglutinasi .......................................................

HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
Reidentifikasi Bakteri ................................................................
Penentuan Kandidat ..................................................................
Salt Aggregation Test (SAT) ...................................................
Uji Dot Blot .......................................................................
Purifikasi. Karakterisasi dan Penentuan Keberadaan Protein A ................
Pelacakan protein A pada isolat lapang menggunakan teknik SA dan SSA ...
Sensitifitas dan Spesifisitas .........................................................
Metode Pengawetan ..................................................................
Aplikasi protein A untuk pengembangan kit diagnostik ........................
ICESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
Kesimpulan ...........................................................................
Saran ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

....................................................................

DAFTAR TABEL

.......................................

Tabel 1.

Faktor virulensi potensial S. aureus

Tabel 2.

Komposisi asam amino protein A mumi dari strain S. aureus Cowan
1 dan strain metisilin resisten S. aureus .................................

11
14

Kemampuan pengikatan protein A terhadap imunoglobulin dari
beberapa spesies ............................................................ 16
Uji biokimia terhadap isolat Staphylococcus sp. asal manusia dan
sapi ...........................................................................

47

............

48

Uji SAT terhadap isolat S. aureus asal manusia dan sapi

Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.

Uji keberadaan protein A S. aureus asal manusia dan sapi dengan
Dot Blot ....................................................................... 5 1
Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal
manusia dan sapi dengan Dot Blot ........................................ 5 3
Uji keberadaan protein A terhadap isolat kandidat S. aureus asal
manusia dan sapi dengan SA dan SSA ...................................
55
Hasil Pemeriksaan Imunoglobulin G dan Penentuan Kandungan
Protein dengan Menggunakan Spektrofotometer .......................

56

Pertumbuhan bakteri S. aureus protein A positif pada Soft Agar
dengan berbagai konsentrasi imunoglobulin kelinci ...................

56

Uji keberadaan protein AS. aureus isolat asal manusia dan sapi
dengan SA dan SSA .........................................................

58

Perbandingan uji SSA dan Dot Blot terhadap keberadaan protein A
S. aureus asal manusia dan sapi ...........................................

59

Resultan klasifikasi silang 40 isolat S. aureus menurut status
keberadaan protein A dengan uji Dot Blot dan hasil screening
keberadaan protein A menurut uji SSA ..................................

63

...........................

64

Tabel 14.

Hasil pengawetan terhadap matriks protein A

Tabel 15.

Penggunaan kandidat S. aureus sebagai pembeban antibodi untuk
uji koaglutinasi ............................................................... 66

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Garnbar 3.

......................................
Ikatan antara Protein A dan reseptor Fc suatu antibodi ...............

19

Morfologi koloni bakteri S. aureus yang diisolasi dari manusia
pada media agar darah ....................................................

45

Struktur StaphyIococcus antigenik

9

..................................... 4 9

Gambar 4.

Hasil Salt Aggregation Test (SAT)

Garnbar 5.

Metode Dot Blot dapat digunakan untuk diskriminasi bakteri yang
memiliki protein A (A dan B) dan yang tidak melniliki protein A
(C dan D) ................................................................... 5 1
Afirmasi protein A pada bakteri kandidat (Sa53 dan Sa2P1) dari
berbagai jenis preparasi ................................................... 52

Gambar 6.

Uji keberadaan protein A pada isolat Sa53 dan Sa2P1 dari
berbagai preparasi menggunakan SDS-PAGE ........................

54

Garnbar 8.

Uji kemurnian protein Ig kelinci yang telah diisolasi dengan
presipitasi amonium sulfat dan DEAE-SephaceI, menggunakan
scanning spektrofotometer, terlihat dengan pembentukan puncak
b e a k ) fraksi 1 ( A )dan fraksi 2 (B) pada x 280 nm ..................

57

Gambar 9.

Uji Serum Soft Agar

.......................................................

60

Garnbar 10.

Uji koaglutinasi dengan menggunakan matriks protein A Sa53
yang telah diikat dengan serum spesifik terhadap SGC 5.60,
direaksikan dengan antigen SGC 5.60 .................................. 66

Gambar 7.

DAPTAR SINGKATAN

Ab : Antibodi
Ag : Antigen
AGPT : Agar Gelt Precipitation Test
Asn : Arsenin
Asp : Asarn aspartat
BHI : Brain Heart Infusion
BM : Berat MolekuI
BrCN : Bromsian
CFT : Complement Fixation Test
DEAE : Dietilaminoetil
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Fab : Fragment antigen binding
Fc : Fragmen crystallizable
FITC : Fluoresceinisothiocyanate
Fn : Fibronectin
FnBP : Fibronectin bindingprotein
Glu : Glutamat
Gly : Glisin
lg : Imunoglobulin
IL : Interleukin
kDa : kilo Dalton
Lys : Lisin
M : Molar
MRSA : Methicillin resistant Staphylococcus aureus
MSA : Manitol Salt Agar
N : Normal
PBS : Phosphate Bufler Saline
PEG : Polyethylene Glycol
PMN : Polymorphoneclear
PMSF : Fenil metil sulfonil fluorida
Pro : Prolin
SA : Soft Agar
SAT : Salt Agregation Test
SDS-PAGE : Sodium dodesil sulfat poliakrilamida gel elektroforesis
SGB : Streptococcus grup B
SGC : Streptococcus grup C
SSA : Serum Soft Agar
TEMED : Tetra metil etilendiamin
THB : Todd Hewitt Broth
TSS : Toxic Shock Syndrome
TSST-1 : Toxic Shock Syndrome Toxin-l

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Protein A diketahui rnerupakan komponen permukaan

yang umumnya

ditemukan pada Staphylococcus aureus (S. aureus) (Sherris et al., 1984; Kusunoki et
al., 1992). Protein A merupakan polipeptida dengan berat molekul 13-45 kDa (kilo
Dalton), yang terikat secara kovalen pada lapisan dinding sel S. aureus (120rsgren,

1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et al., 1992; Takeuchi rf al., 1995). Menurut
Yoshida et al. (1963) protein A memiliki kandungan nitrogen 16,2 % dan koefisien
sedimentasi 1,6 S.
Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu
mampu berikatan kuat pada bagian Fc Cfragrnent crysfallizahle) dari llampir sernua
subklas imunoglobulin G (IgG) berbagai spesies, kecuali IgG3 (manusia); IgGl
(mencit); IgGI, IgG2,, IgG2b (tikus); dan tidak berikatan pada Fc Ig ayam (IgY) dan
kambing (Boyle e f al., 1985; Harlow dan Lane, 1988). Protein A juga dapat herikatan
dengan bagian Fc IgA dan IgM pada beberapa spesies (Arbuthnott et ul., 1983).
Bagian Fab Wagment antigen binding) pada IgG yang terikat pada protein A
menghadap keluar dan bebas berikatan dengan Ag spesifik (Praseno, 1995; Jawetz et

a[., 1996).
Protein A merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknik diagnostik
laboratorium.

Sebagai contoh pada protein A yang berikatan dengan molekul (IgG)

yang diarahkan terhadap antigen (Ag) bakteri tertentu akan mengaglutinasi bakteri
yang mempunyai Ag it11 (koaglutinasi) (Jawetz

el nl.,

1996). Menurut Wibawan dan

Pasaribu (1993), uji koaglutinasi dengan menggunakan protein A merupakan metode
yang sangat mudah untuk dilakukan, cepat (30 detik), hasil yang akurat serta murah.
Banyak kegunaan imunologis protein A, antara lain (1) untuk pemurnian
imunoglobulin berdasarkan teknik afinitas kromatografi dan imunopresipitasi, (2)
sebagai konyugat untuk Western Blotting (berdasarkan daya ikatnya yang luas pada
beberapa molekul imunogIobulin dari berbagai spesies) dan ( 3 ) berperan sebagai
koaglutinator reaksi serologis.
Berdasarkan kemarnpuan protein A mengikat fraksi Fc berbagai IgG mamalia,
untuk mendeteksi keberadaan protein A selama ini digunakan beberapa metode antara
lain : metode double gel irnmunodiffusion, metode imunofluoresensi, metode indirect

hemagglutination.

ELISA

(Enzyme

Linked

Immunosorbent

Assay),

slide

hemagglutination test, microplate hemagglutination test (Cox et al., 1986; Takeuchi et
al., 1988), single radial irnmunodz~fusion,solid-phase radioirnmunoassay (Cheung et
al., 1987).
Metode di atas sangat rumit, memerlukan peralatan dan reagen khusus yang
mahal serta tidak praktis. Metode immunoJluoresensi sangat sensitif sehingga mudah
terjadi reaksi silang dan dapat menimbulkan hasil positif palsu dan negatif palsu.
Rumusan Masalah

Selama ini sumber protein A diperoleh dari S. aureus Cowan I yang telah
mengalami pasase puluhan tahun.

Sementara itu pada isolat lapang S. aureus asal

hewan dan manusia, protein A yang dikandungnya belum banyak diteliti.

Mengingat manfaat imunologis dari protein A dan kemampuannya sebagai
penanda untuk mendeteksi berbagai reaksi imunologis, perlu dilakukan upaya
pengembangan pemanfaatan protein A sebagai bahan untuk tindakan diagnosa
(diagnostic kit). Sampai saat ini penentuan keberadaan protein A pada permukaan S.
aureus dilakukan dengan metode yang rumit seperti tersebut di atas. Untuk itu perlu
pengetahuan

mengenai cara alternatif mendeteksi keberadaan protein

A yang

sederhana dan praktis serta pengawetan protein A yang tepat, sehingga dapat tlisimpan
untuk kurun waktu tertentu dan dimanfaatkan pada waktu diperlukan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mencari cara sederhana dan praktis
pengujian keberadaan protein A pada permukaan S. aureus ; ( 2 ) mengidentifikasi

S.

aureus asal hewan dan rnanusia yang banyak menganduny protein A, dengan
menggunakan ,S. aureus Cowan I sebagai pembanding ; (3) mengetahui metode
pengawetan protein A secara utuh (whole cell) maupun dalam bentuk terikat dengan
imunoglobulin.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan diagnostik
dalam uji serologis terhadap berbagai antigen (Ag).
Hipotesis Penelitian
1 . Penambahan serum atau Ig kelinci menyebabkan terjadinya perubahan bentuk

koloni S. aureus yang memiliki protein A. Sedangkan penambahan serum zyam
tidak menyebabkan perubahan bentuk koloni S. aureus baik yang memiliki protein
A maupun yang tidak memiliki protein A.

4

2. Teknik sederhana Serum Soft Agar (SSA) dapat digunakan untuk mendeteksi
protein A pada permukaan S. aureus.
Analisa Data

Analisa data dilakukan secara kualitatif dan deskriptif.

TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi dan Identifikasi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat dengan diameter 0,5-1.5
p111,

biasanya tersusun dalam rangkaian tidak teratur seperti anggur, tidak bergerak dan

tidak membentuk spora.

Biakan muda bersifat Gram positif kuat, sedangkan pada

biakan yang lebih tua, banyak sel menjadi Gram negatif (Kloos dan Jorgensen, 1985).
Bakteri ini mudah tumbuh pada berbagai perbenihan, baik dalam keadaan
aerobik atau mikroaerofilik.

Tumbuh paling cepat pada temperatur 37OC, tetapi

pembentukan pigmen paling baik pada suhu kanlar (20"-25°C).

Menurut Smith

(1980), S. aureus dapat tumbuh baik pada suhu 25"-35"C, tetapi dapat tumbuh juga
pada suhu dibawah 8°C dan di atas 48°C. Koloni pada perbenihan padat berbentuk
bundar, halus, menonjol dan berkilau dengan pigmen berwarna abu-abu sampai kuning
emas tua.

Pada perbenihan agar darah dihasilkan berbagai tingkat hemolisis (Jawetz

et al., 1996).

StaphyIococcus aureus mempunyai metabolisme aktif, meragikan baxyak
karbohidrat dengan lambat, menghasilkan asam laktat, tetapi tidak menghasilkan gas.
Bakteri

ini

menghasilkan

mengkoagulase

katalase,

yang membedakannya

dari Streptococcus,

plasma (koagulase positif) serta menghasilkan berbagai enzim

ekstraseluler dan toksin. Relatif resisten terhadap pengeringan, panas (tahan terhadap
suhu 50°C selama 30 menit), terhadap NaCl 996, tetapi mudah dihambat oleh zat kimia
tertentu seperti heksaklorofen 3%.

StaphyZococcus aureus termasuk ke dalam famili Micrococcaceae, yang
bersifat non host speczyc dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun
hewan. Dalarn dunia kedokteran, secara klinis S. aureus merupakan salah satu spesies
yang penting dan merupakan patogen utama bagi manusia.
Hampir setiap orang sepanjang hidupnya pernah mengalami beberapa tipe
infeksi

S. aureus yang bervariasi dalam beratnya,

mulai dari keracunan makanan,

infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancarn jiwa.
Menurut Cunningham et a!. (1996) dan Tarkowski dan Wagner (1998), S.

aureus merupakan penyebab infeksi tulang dan persendian yang penting seperti, septic
arthritis dan osteomyelitis yang sulit untuk diobati. Hal ini dikaitkan dengan sejumlah
faktor virulensi, baik komponen ekstraseluler maupun dinding sel bakteri.

WHO (Isbandrio dan Wahyono, 1995) membagi mikroorganisme penyebab
infeksi nosokomial dalarn 3 kelompok dan S. aureus merupakan saIah satu bakteri
dalam kelompok patogen konvensional yang menyebabkan penyakit pada orarlg sehat,
karena tidak adanya kekebalan spesifik terhadap bakteri tersebut.
Sardjito et al. (1982) melaporkan bahwa S. aureus merupakan salah satu
mikroorganisme yang dijumpai pada pemeriksaan bakteriologis dari berbagai ruangan

(20 ruangan di tujuh Rumah Sakit di Jakarta) berikut peralatan dan beberapa
petugasnya,

yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan infeksi pasca bedah

(infeksi nosokomial). Sedangkan Djojosugito (1995) mengisolasi S. aureus dari pasien
bedah orthopedi, yang menunjukkan bahwa bakteri ini merupakan penyebab infeksi
nosokomial. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Pelczar el al. (1993).

Multiresisten Staphylococcus merupakan masalah yang muncul di tahun 1990an. Pada kurun waktu itu insiden infeksi Staphylococcus, begitu pula insiden infeksi
yang disebabkan oleh Staphylococcus yang resisten terhadap antibiotika telah
meningkat. Bakteri ini dapat bersumber dari penderita, personel Rumah Sakit dan
lingkungan sekitarnya (Weinstein, 1995; Karnpf et a L , 1998).
Selanjutnya meni~rut Weinstein (1995) dan Vandenbroucke-GrauIs (1398),
S. aureus yang resisten terhadap metisilin

(MRSAIMethicilZin Resistant S. aureus)

pertama kali muncul di benua Eropa lebih dari 20 tahun yang lalu, tapi setelah itu
dapat diisolasi di seluruh dunia. Sekali MRSA ditemukan di suatu Rumah Sakit,
bakteri ini akan tetap ada selama bertahun-tahun. Sangat sedikit obat antimikroba yang
aktif melawan MRSA. Diantara antibiotika yang lebih baru, telah terjadi peningkatan
resistensi MRSA terhadap kuinolon dan saat ini vankomisin adalah satu-satunya
antibiotika yang aktif membunuh semua strain MRSA.
Strain MRSA banyak menginfeksi pasien dalam terapi immunosuppressed
(pasien transplantasi), pasien luka bakar (trauma) atau penderita imunodefisiensi.
Penyebaran bakteri ini 65% terjadi melalui seragam perawat yang terkontaminasi.
Selain itu bakteri ini mampu hidup pada permukaan gelas, aluminium foil, polyvinyl
chloride, countertops dan stetoskop (Neely dan Maley, 2000).
Keracunan makanan dapat disebabkan oleh enterotoksin 5'. aureus yang
ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8 jam), rasa mual, muntah-muntah dan
diare yang hebat.

Penyembuhannya cepat dan tanpa demam. Sedangkan sindroma

syok toksik (akibat Toxic-shock syndrome toxin-I/TSST-1 enterotoksin) sering terjadi
pada 5 hari permulaan haid wanita muda yang

menggunakan tampon. Hal ini dapat

terjadi pula pada anak-anak atau pria yang mengaIarni infeksi luka oleh bakteri ini
(Cunningham et ab., 1996; Jawetz et al., 1996 ).
Faktor Virulensi

Staphylococcus aurezts mengandung polisakarida dan protein yang bersifat
antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Dinding sel
bakteri terletak di sebelah luar membran sel, membentuk suatu kulit kaku berpori dan
membungkus sel. Dinding ini memberikan perlindungan fisik bagi membran sel yang
lunak dan bagi sitoplasma di dalarn sel, terdiri dari kerangka struktural berikatan
kovalen yang rnengelilingi sel secara sempurna.

Struktur ini tersusun atas rantai

polisakarida panjang, paralel, dan saling berhubungan silang terhadap sesamanya pada
selnng tertcntu, oleh suatu rantai polipeptida pendek.

Rantai polisakarida tersebut

terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamir?dan asam N-asefil muramaf secara bergantiganti.

Pada S. aureus residu asam N-asetil muralnat pada rantai polisakarida yang

berdekatan saling dihubungkan satu-sama lain oleh pentapeptida yang terdiri clari lima
residu glisin.

Keseluruhan struktur bersilang yang mengelilingi sel disebut murein

(dinding) atau suatu peptidoglikan (Lehninger, 1995).
Peptidoglikan, suatu polirner polisakarida yang mengandung subunit-subunit
yang terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel.

Peptidoglikan

dihancurkan oleh asam kuat atau lisozirn. Hal ini penting dalam patogenesis infeksi,
karena zat ini menyebabkan monosit mernbuat interleukin-1 (IL-1) yaitu suatu pirogen
endogen dan antibodi opsonik, zat ini juga dapat menjadi zat kimia penarik
(kemoatraktan) untuk leukosit PMN (polymorphonuclear leucocyfe), mempunyai

aktifitas

mirip

endotoksin,

menghasilkan

fenomena

Schwartzman

lokal,

dan

mengaktifkan komplemen (Cunningham e t al., 1996; Jawetz et al., 1996 ).

TDx:

Sirnpal (beberapa slraln)

,

Anllgen prolein dinding sel (b)
0 pepthdo~14kan
(a)

1

salaput (sell slloplasma

Gambar 1.

Struktur Staphylococcus antigenik. (a) Tempat perlekatan baktcriofaga.
Terdapat antigen spesies (penentu antigen berupa N-asetilglukosamin
yang dikaitkan dengan poliribitol fosfat). (b) Antigen ganda; sebagian
didistribusikan secara luas (Jawetz et al., 1996).

Asam teikoat, merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat, berikatan dengan
peptidoglikan

dan

menjadi

bersifat

antigenik.

Keduanya,

asam

teikoat

dm

peptidoglikan, dapat mengaktifkan jalur alternatif komplemen, menyebabkan agregasi
platelet pada

pemunculan protein A, dan menstimulasi pelepasan IL-1 dari sel

monosit manusia. Kesemuanya itu merupakan penyebab signifikan dari pembentukan
septic shock (Cunningham et al., 1996).

Selanjutnya Cunningham et al. (1996) menyatakan, lebih dari 90% S. aureus
mempunyai kapsul polisakarida yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit

PMN, kecuali jika ada antibodi spesifik. Selain itu kebanyakan strain 5. aureus
mempunyai koagulase (Prasad et a / . , 1988 ; Lee, 1996) dan faktor penggumpal
(clumpingfactor) pada permukaan dinding, yang terikat secara nonenzimatik dengan
fibrinogen sehingga bakteri beragregasi (Kloos dan Jorgensen, 1985; Llmmler, 1988).
Koagulase merupakan protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma
yang telah diheri oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalarn
banyak serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk rnenghasilkan esterase
dan menyebabkan aktiitas pembekuan dengan cara yang mirip dengan pengaktifan
protrombin nlenjadi trombin; dapat mengendapkan fibrin pada permukaan bakteri
sehingga bakteri tidak dapat difagositosis dan dapat invasif (Cunningham et a [ . , 1996;
Jawetz et al., 1996 ).

Ada 2 macam koagulase yang dihasilkan S. aureus, yaitu

koagulase yang terikat pada sel atau clumpingfactor dan koagulase ekstraseluler atau
p e e koagulase (Johnson dan Wadstrom, 1993). Hampir semua S. uureus koagulase
positif membentuk clumping factor yang bereaksi secara l a n g s ~ ~ ndengan
g
fibrinogen
tanpa faktor plasma dan berperan dalam penggumpalan plasma (Bisming dan
Amstberg, 1993).
Reaksi penggumpalan fibrinogen-staphylococcus antare lain dapat dilakukan
secara sederhana di atas gelas obyek (uji aglutinasi), uji hemaglutinasi terhadap
e~itrosit domba, uji mikrotiter dan pada SSA (Liimmler, 1988).
Faktor virulensi yang potensial dari S. aureus dapat dilihat pada Tahel I .

Tabel 1. Faktor virulensi potensial S. aureus (Lee, 1996)
Komponen terikat pada sel

Eksoensim

Eksotoksin
EpidemoIitik toksin

Protein A
KapsuI polisakarida
Peptidoglikan
Adhesin : jibronecrin-binding protein A and B,
fibrinogen-bindingprotein and
collagen-binding protein
Koagulase
Lipase
Hyaluronidase
Nuclease
Staphylokinase
Protease
Enterotoksin (A-E)
Leukocidin
Toxic-shocksyndron~etoxin I
a toksin
p toksin
y toksin
6 toksin

Enzim katalase akan rnengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan O2 dan
enzim ini dapat meinbedakan Staphylococcus dari Srreprococcus. 90%)dari S. rrureus
memproduksi a-hemolisin, yaitu eksotoksin yang menyebabkan lisis pada eritrosit
berbagai spesies termasuk kuda dan kelinci, kecuali eritrosit manusia relatif resisten.
Selain itu bersifat hidrofilik dengan berat molekul (BM) 34 kDa, dapat terikat pada
membran sel dari berbagai tipe sel, termasuk eritrosit, platelets, monosit dan sel-sel
endotel (Cunningham et al., 1996). Diduga toksin ini identik dengan faktor letal dan
faktor dermonekrotik eksotoksin (Jawetz et al., 1996), juga disebut pore forming

hemolytic toxins yang menyebabkan kerusakkan membran sel mamalia dan berperan
dalam patogenesis septic arthritis (Nilsson et a[., 1999).

Menurut Nilsson et al. (1999) lima toksin perusak membran yaitu 4 toksin
hemolisin (a-hemolisin, P-hemolisin, gamma dan delta) dan leukosidin berperan pada
osteomyelitis, endokarditis invasif, septic arthritis dan septisemia pada manusia.
Toksin P-hemolisin adalah suatu sphingomielinase (Wibawan, 1993), M ~ ~ + dependent sphyngomyelinase (Nilsson et al., 1999) yang merusak sphingomielin dan
bersifat racun terhadap berbagai jenis sel, termasuk sel darah manusia (Jawetz er al.,
1996) dan sphingomielin pada lapisan luar fosfolipid membran eritrosit (NiIsson et al.,
1999). Degradasi yang terjadi tidak menyebabkan sel lisis tetapi meninggalkan tempat
yang peka terhadap bahan yang bersifat litik (Nilsson et al., 1999).

Selain itu juga dihasilkan toksin gamma dan delta (Lee, 1996). Gamma toksin
dihasilkan oleh 99% strain S. aureus.

Toksin ini mengekspresikan 3 protein dan 2

komponen S (HigA dan HigC) dan 1 komponen F(HigB).

Lokus Hig dapat

mengekspresikan 2 pasangan protein yang fungsional (HigA+HigB dan HigC+HigB)
yang mempuilyai efek proinflammatory bila disuntikkan pada cairan vitreus mata.
Toksin ini berperan dalam patogenesis Toxic Schock Syndrome (TSS) bersama dengan
TSST-I (Nilsson et al., 1999).
Leukosidin merupakan toksin yang dapat mematikan sel darah putih dari
hewan-hewan yang terinfeksi S. aureus. Sedangkan toksin eksfoliatif (epidermolytic
toxins) meliputi sekurang-kurangnya 2 protein yang mengakibatkan deskuamasi
menyeluruh pada sindroma lepuh kulit Staphylococcus (Jawetz et al., 1996; Lee,
1996).

Toxic-shock syndrome toxin-1 (TSST-1) disebut juga superantigen, merupakan
protein dengan BM 22 kDa, merangsang proliferasi sel T secara tidak spesifik melalui
interaksi langsung dengan major histocompatibility complex tipe I1 (Tarkowski dan
Wagner, 1998).
Enterotoksin S. aureus sekurang-kurangnya terdapat 7 protein yang dapat larut
(A, B, C I , C 2 , Cj, D, E) dengan BM antara 26-30 kDa dan dihasilkan oleh hampir 50%

strain S. aureus, tahan terhadap pendidihan selama 30 menit dan tahan terhadap kerja
enzim-enzim usus. Toksin ini merupakan penyebab penting pada keracunan makanan
yang mengandung karbohidrat dan protein (Cunningham et al., 1996; Jawetz et a!.,
1996).
Protein A Staplzylococcus nureus

Protein A

diketahui merupakan komponen permukaan

yang umurnnya

ditemukan pada S. aureus (Sherris et a / . , 1984; Kusunoki et al., 1992). Protein A
merupakan polipeptida dengan BM 13-45 kDA, yang terikat secara kovalen pada
lapisan dinding sel S. aureus (Forsgren, 1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et a [ . ,
1992; Takeuchi er al., 1995).
Menurut Uhlen et al. (1984) komposisi asam amino penyusun protein A mumi
berbeda-beda tergantung dari strain bakteri dan digestasi enzim proteolitik s e l m a
proses isolasi protein tersebut. Komposisi asarn amino Protein A dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini

Tabel 2. Komposisi asam amino protein A murni dari strain S. aureus Cowan 1 dan
strain metisilin resisten S. aureus (diringkas dari UhIen et a/., 1984)
Asam amino
Lysine
Histidine
Arginine
Aspartic acid
Threonine
Serine
Glutamic acid
Proline
Glycine
Alanine
Valine
Methionine
lsoleucina
Leucine
Tyrocine
Phenylalanine
Total
a

b
c

Cowan l a
52
4
5
82
5
17
65
27
30
34
5
2
9
27
5
12

Cowan l b
53
4
4
83
6
16
70
26
30
36
8
3
12
28
4
12

A676'
48
3
4
82
4
16
64
27
22
31
7
3
11
27
4
13

381

395

366

Diisolasi dari S.aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin.
Diisolasi dari S, aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin.
Protein A ekstraseluler yang dihasilkan oleh strain MRSA.

Terminal (ujung) COOH protein A terikat pada dinding sel S. aureus
mengandung asam amino berulang dari ocfapeptide; yaitu asam glutamat (Glu), asarn
aspartat (Asp), glisin (Gly), arsenin (Asn), lisin (Lys), prolin (Pro), glisin (Gly) dan
lisin (Lys). Sedangkan ujung basa (NH2) terikat pada IgG. Pada bagian ini terdapat
4-5 daerah (region E, D, A, B dan C) homolog yang terdiri dari 58 asam amino, dalarn
ha1 ini 11 asam amino yang terletak pada bagian a helical mempunyai kemarnpuan
berikatan dengan fraksi Fc Ig (Uhlen et aZ.,1984).
Pada beberapa strain MRSA (Takeuchi et a/., 1995) dan pada pertumbuhan
eksponensial, protein A dapat berupa sekresi ekstraseluler tanpa melewati batas
dinding sel (Forsgren, 1970; Cox et al., 1986; Boyle dan Reis, 1987; Takeuchi et al.,
1995). Protein A juga dijumpai pada supernatan dari kultur kaldu, walaupun

konsentrasinya bervariasi tergantung pada strain dan teknik deteksi yang digunakan
(Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi et al., 1995; Cunningham el al., 1996).
Protein A populer dihasilkan oleh S. aureus galur Cowan I (Takeuchi et al.,
1995)

dan harnpir 98,9% genus Staphylococcus yang bersifat koagulase positif

menghasilkannya (Forsgren, 1970), antara lain isolat S. aureus asal sapi dan kambing
yang terkena mastitis (Jarp, 1990), isolat S. interrnedius asal anjing dan kucing (Cox
et al., 1986), isolat S. hyicus subsp. hyicus asal babi muda, ayam dan sapi (Takeuchi

er al., 1988; Takeuchi

et

al., 1995).

Prasad et al. (1988) melaporkan adanya korelasi yang sangat kuat antara
produksi protein A dari S. aureus asal manusia dan hewan dengan karakteristik
biokimiawi seperti koagulase, nuklease termostabil, DNase, produksi fosfatase,
aktifitas hemolitik, tellurit dan reduksi nitrat. Forsgren (1970) menambahkan adanya
korelasi protein A dari S. aureus dengan aktifitas deoksiribonuklease dan koagulase.
Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu

marnpu berikatan kuat pada bagian Fc dari harnpir semua subklas imunoglobulin G
(IgG), kecuali

IgG3 (manusia); 1gG1 (mencit); IgG,, IgGz,, IgGzb (tikus); dan tidak

berikatan pada Fc

Ig ayam dan kambing (Boyle et al., 1985; Harlow dan Lane, 1988;

Takeuchi et aL, 1990). Protein A juga dapat berikatan dengan bagian Fc IgA dan IgM
pada beberapa spesies (Arbuthnott et al., 1983). Bagian Fab pada IgG ysng terikat
pada protein A menghadap keluar dan bebas berikatan dengan antigen spesifik
(Praseno, 1995; Jawetz, et al., 1996).
Protein A juga dapat berikatan dengan reseptor Fc pada leukosit PMN sehingga
opsonin tidak dapat melekat dan proses fagositosis

dihambat (Cunningham et a{.,

1996). Dengan terharnbatnya proses fagositosis, memberikan kesempatan pada
mikroba untuk berbiak dan menginvasi inang (Mims, 1982).
Reaksi protein A dengan fraksi Fc dari imunoglobulin dikenal dengan reaksi
pseudoimun, sebab secara imunodifusi, reaksi antara protein A dan rantai H Fc
imunoglobuli~l memperlihatkan endapan (Forsgren dart Sjoquist, 1966; Forsgren dan
Sjbquist, 1967). Hal yang sama juga dijumpai pada antibodi (Ab) yang berasal dari
kelinci dan marmot.

Narnpaknya Fc merupakan bagian yang praktis konstan dari

hewan ke hewan (Forsgren, 1968). Kemampuan pengikatan protein A terhadap Ig dari
beberapa spesies dapat dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Kemampuan pengikatan protein A terhadap imunoglobulin dari beberapa
spesies (disarikan dari Bjorck dan Kronvall, 1984)
Imunoglobulin
Cjenis dan asal spesies)
Manusia
IgG1
IgG2
IgG3
IgG4
Mencit
IgGl
IgG2a
IgGZb
IgG3
Tikus
IgG I
IgG2a
lgG2b
IgGZc
Kelinci
IgG
Sapi
IgG 1
IgG2
Domba
IgGl
IgG2
Kambing
lgGl
IgG2
Kuda
IgG (Fab)
IgG (Fc)
IgG (lisostapin)
Ayam *

Protein A
asal S . aureus

++
++

++
+
++
++
++
+
++
++
++

++
+
++
+
t

Keterangan :
++ mengikat kuat
+ mengikat kurang kuat
- tidak rnengikat
* diambil dari Kronvall et al. (1970)
dan Richman et al. (1 982) dalanz
Harlow dan Lane (1988).

Selain itu protein A dapat mengaktifkan komplemen serum, menyebabkan
kemotaksis dan

reaksi hipersensitifitas (Gustafo et al., 1968; Dosset et al., 1969;

Sjoquist dan Stalenhein, 1969; Kronvall et al., 1970; Takeuchi et a l . , 1988 dan
Takeuchi et ai.,1995), bersifat aglutinogenik terhadap serum yang berasal dari orang
sehat maupun terinfeksi (Leinhart ei al., 1963 d m KronvalI ei al., 1970). Hal ini
menunjukkan

suatu

peristiwa

telah

terjadi

dengan

komponen

serum

memperhatikan ada atau tidaknya antibodi spesifik terhadap protein ini.

tanpa

Ekspresi

protein A pada S. aureus diatur oleh gen regulator asesoris (agr) (Cunningham et al.,
1996).
Protein A menyebabkan fenomena immediate hypersensitivity bila disuntikkan
pada rnarmut, ini rnembuktikan terjadi pembentukkan kompleks Ag-Ab tanpa
melibatkan bagian Fab Ig, dalarn ha1 ini kompleks imun yang terjadi akibat ikatan
protein A bakteri dengan fraksi Fc Ig. Penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang
memiliki protein A dalam jumlah sedikit sebabkan fenomena anafilaksis, sedangkan
penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang memiliki protein A dalam ju~nlah
banyak menyebabkan hemorrhagic Arthus-like reaction (Gustafo et al., 1968; Dosset
ei al., 1969). Menurut Martin dan White dalam Dosset el al. 1969 protein A dapat
menyebabkan dilepaskannya histamin oleh Ieukosit PMN.
Protein A sebagai antifagosit dengan cara memblokir sisi opsonik didukung
oleh faktor virulensi yang lain seperti leukosidin, hemolisin, koagulase

dm

penisilinase (Dosset et al., 1969). Sedangkan protein A dan clumping factor berperan
pada pelekatan bakteri S. aureus pada sel vero (Teranishi et aL, 1988).

Protein A merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknik diagnostik
laboratorium. Menurut Wibawan dan Pasaribu (1993), uji koaglutinasi dengan
menggunakan protein A merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan,
akurat (hasil menandirlgi imunodifusi), cepat (waktu uji hanya berlangsung 30 detik),
serta murah.
Banyak kegunaan imunologis protein A, antara lain (1) untuk pemurnian
imunoglobulin berdasarkan teknik afinitas kromatografi dan imunopresipitasi, (2)
sebagai konyugat untuk Western Blotting (berdasarkan daya ikatnya yang luas pada
beberapa

molekul imunoglobulin dari berbagai spesies), (3) berperan sebagai

koaglutinator reaksi serologis seperti penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld.
Penggunaan Protein A dalam Diagnostik

Atas dasar aktifitas ikatan yang spesifik, protein A berperan penting dalam
proses serologi, terutama pada identifikasi serologis dari bakteri penyebab penyakit
dan pada diagnosa penyakit infeksi (Lammler, 1988). Wibawan dan Pasaribu (1993)
melaporkan bahwa protein A berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis seperti
penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld. Sebagai contoh pada protein A yang
berikatan dengan molekul IgG yang diarahkan terhadap Ag bakteri tertentu akan
mengaglutinasi bakteri yang mempunyai Ag itu (koaglutinasi) (Jawetz

el

ol., 1996)

Ikatan antara protein A dan reseptor F c suatu Ab dapat dilihat pada Gambar 2
Interaksi protein A dengan Fc Ig tidak mengubah kemampuan Ab untuk
berikatan dengan Ag, selain itu molekul protein A mudah direnaturasi dengan 4 M
urea, 4 M tiosianat, 6 M guanadin-HCI atau pH 2,5 dan walaupun afinitas terhadap A b

tinggi, ikatan Ag-Ab dapat dipatahkan secara efektif pada pH rendah.

Berdasarkan

karakteristik tersebut protein A dapat dimanfaatkan untuk mempelajari Ab dan
interaksi Ag-Ab (Harold dan Lane, 1988).
Protein A dapat digunakan pada berbagai aplikasi uji imunokimia.

Jika

diikatkan dengan radioaktif, enzim, fluoresens dapat menjadi reagen yang baik untuk
melokalisir Ab yang mempunyai afinitas tinggi terhadap protein A. Interaksi protein
A dan Ab sangat spesifik dan tergantung pH, sehingga dapat dibuat kolom protein A
untuk purifikasi Ab.

Bakteri yang mempunyai protein A tinggi pada permukaan

selnya, dapat dimanfaatkan untuk mengoleksi kompleks Ag-Ab (Harold dan Lane,

1988).

Gambar 2. Ikatan antara Protein A dan reseptor Fc suatu antibodi (Wibawan dan
Pasaribu, 1993).

Sementara itu, pemurnian imunoglobulin pada bebek berdasarkan teknik
afinitas kromatografi telah dilaporkan oleh Higgins et al. (1995). DaIam ha1 ini IgY
mengikat protein A secara efisien dan protein G secara lemah, sedangkan IgM
mengikat protein A dan G secara lemah.

Selanjutnya pemurnian imunoglobulin ini

telah dilakukan pula pada hewan-hewan lainnya antara lain pernumian IgGj dan IgGz
dari kambing (Rantarnaki dan Miiller, 1995); pemurnian IgG,, IgGb, IgG, dan IgG

Dokumen yang terkait

Skrining Staphylococcus aureus dengan Resistansi Berperantara MecA dari Sediaan Usap Hidung pada Dokter Muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

5 52 55

Analisa Kandungan Bakteri Staphylococcus aureus Daging Sapi Impor Di Medan Tahun 2006

0 22 69

Pemeriksaan Cemaran Bakteri Escherichia coli Dan Staphylococcus aureus Pada Jamu Gendong Dari Beberapa Penjual Jamu Gendong

4 120 85

Pola Pertumbuhan dan Distribusi Serotipe Streptococcus agalactiae Isolat Asal Sapi Perah Mastitis Subklinis

0 9 62

Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

0 8 100

Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

0 5 82

Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Perangkat Diagnostik

0 3 90

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE PENGUJIAN ANTIBIOTIK ISOLAT STREPTOMYCES DARI RIZOSFER FAMILIA POACEAE TERHADAP Staphylococcus aureus.

0 1 7

Keberadaan Bakteri Coliform dan Staphylococcus aureus Dalam Sosis Sapi Siap Makan "X".

0 0 14

Karakterisasi Staphylococcus aureus Isolat Susu Sapi Perah Berdasar Keberadaan Protein-A pada Media Serum Soft Agar terhadap Aktivitas Fagositosis Secara In Vitro | Lestari | Jurnal Sain Veteriner 17888 41221 1 PB

0 0 7