Studi morfo-ekotipe dan karakterisasi minyak atsiri, isozim, dan DNA pala banda (Myristica fragrans Houtt) Maluku

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pala Banda (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman asli Indonesia yang
berasal dari kepulauan Maluku (Purseglove et al. 1981) dan termasuk tanaman
penting diantara tanaman rempah-rempah. Tanaman pala menghasilkan dua produk bernilai ekonomi cukup tinggi, yaitu biji pala dan fuli yang menyelimuti biji.
Kedua produk tersebut menghasilkan minyak pala, atsiri, rempah, dan bahan obat.
Selain itu, pala dimanfaatkan sebagai pengawet makanan dan minuman (Ojechi et
al. 1998). Minyak pala mengandung senyawa atsiri yang memiliki khasiat farmakologis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba atau bioinsektisida
(Stecchini et al. 1993). Selain dimanfaatkan untuk minyak atsiri, daging buah pala
juga digunakan dalam industri manisan, sirup, dan selai.
Produksi pala Indonesia tahun 2000 tercatat sekitar 20 ribu ton yang dihasilkan pada areal 60,6 ribu ha (Ditjen Perkebunan 2000). Areal tanaman pala tersebar di 14 provinsi di Indonesia. Negara-negara utama produsen pala adalah Indonesia, Grenada, Sri Lanka, Trinidad, China dan India (GCNA 2001). Ekspor
pala dunia 76% berasal dari Indonesia, 20% dari Grenada, dan selebihnya dibagi
bersama oleh Sri Lanka, Trinidad, dan Tobago (Mark dan Pomeroy 1995). Ada tiga produk pala yang bernilai ekspor: biji pala, fuli (mace), dan minyak atsiri. Indonesia tahun 2000 mengekspor sekitar 8 ton biji pala dan lebih dari 1 ton fuli ke
berbagai negara (Anonim 2001).
Minyak pala terutama dihasilkan melalui distilasi biji pala dan fuli. Distilasi
uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan dua metode
ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap. Metode distilasi
dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala menghasilkan minyak
yang peka cahaya dan suhu, tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda dengan
aroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam alkohol tetapi tidak larut
dalam air.

Minyak pala digolongkan ke dalam tipe East Indian dan West Indian. Kedua tipe tersebut berbeda dalam beberapa karakteristik seperti misalnya aroma dan
mutu. Minyak pala East Indian, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lebih
unggul dibandingkan dengan minyak pala West Indian karena memiliki aroma

yang lebih disukai dan banyak mengandung komponen eter fenil propanoid (Masada 1976) dan terpen (Lewis 1984). Selain itu, minyak pala East Indian dilaporkan kaya senyawa aromatik miristisin (hingga 14%) dibandingkan minyak pala
West Indian yang kandungannya kurang dari 1%.
Pala, fuli, oleoresin, dan minyak atsiri dipakai dalam industri pangan dan
minuman. Pala yang berbentuk bubuk banyak digunakan terutama dalam industri
pengolahan pangan. Di Asia Tenggara, China dan India, pala dalam bentuk utuh
dan bubuk digunakan silih berganti. Pala merupakan bahan bumbu standar pada
banyak makanan di Belanda. Pala dan oleoresin digunakan sebagai rempah dalam
penyiapan daging, sup, saus, makanan yang dipanggang, permen, puding, serta
bumbu daging dan sayur.
Indonesia memiliki sumberdaya genetik pala yang besar dengan pusat asal
tanaman di Kepulauan Maluku. Keragaman tanaman ditemukan di Pulau Banda,
Siau, dan Papua (Hadad dan Hamid 1990). Sebagai pusat asal (center of origin),
Indonesia perlu mengambil peran yang lebih besar dalam pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tanaman pala. Pala sebagai komoditas penting perlu dikelola dan dimanfaatkan secara optimal guna mendukung pembangunan pertanian
di Indonesia.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan pala adalah
identifikasi dan karakterisasi, baik pada tingkat morfologi maupun molekuler. Isozim adalah marka biokimia dan genetik yang berguna serta merupakan penduga

keragaman genetik dalam populasi tanaman. Identifikasi dan karakterisasi pala secara lengkap sangat diperlukan bagi upaya konservasi plasmanutfah, pengembangan varietas, dan perlindungan indikasi geografis pala. Karakterisasi pala pada
tingkat morfologi diperlukan terutama untuk keperluan identifikasi fenotipe dan
perubahannya terkait dengan ekotipe atau perubahan lingkungan. Selain identifikasi morfologi, identifikasi molekuler isozim dan DNA juga penting dilakukan.
Secara bersama-sama identifikasi morfologi dan molekuler sangat membantu dalam pengembangan komoditas pala di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, kegiatan penelitian pala yang dilaksanakan melalui suatu program yang terencana
dengan baik dan didukung oleh berbagai pihak akan mempercepat upaya-upaya
mengatasi persoalan yang dihadapi oleh komoditas tersebut.

2

Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian
Penelitian terdiri atas tiga aspek kajian dan masing-masing kajian berkaitan
satu dengan yang lain. Aspek pertama mencakup kajian morfologi, agronomi, dan
pembuatan deskriptor pala Banda menurut ekotipe di Maluku dan Maluku Utara.
Aspek kedua, kajian fisiko-kimia minyak pala dan komponen atsiri pala Banda.
Aspek ketiga, karakterisasi pala pada level biokimia isozim dan DNA. Ketiga aspek kajian tersebut dirumuskan masing ke dalam tiga subjudul penelitian sebagai
berikut.
1. Kajian Morfologi, Agronomi, dan Pembuatan Deskriptor Pala Banda;
2. Karakterisasi Komponen Atsiri Minyak Pala Banda Maluku; dan
3. Identifikasi Isozim dan DNA.
Dalam pelaksanaan penelitian, kegiatan lapangan, sampling, pengamatan,

dan analisis laboratorium selanjutnya disusun ke dalam satu kerangka penelitian
seperti tampak pada Gambar 1. Penelitian pertama mencakup sampling tanaman
pala Banda di Maluku dan Maluku Utara untuk mengkaji karakteristik aspek ekologi, morfologi tanaman, dan agronomi. Data agroekologi yang diperoleh yang
mencakup iklim, tanah, topografi selanjutnya digunakan untuk penyusunan deskriptor pala yang diperlukan sebagai pedoman deskripsi tanaman.
Sampling tanaman dilakukan untuk mendapatkan bahan pala untuk ekstraksi
minyak dan identifikasi komponen atsiri. Ekstraksi menggunakan metode hidrodistilasi, sedangkan identifikasi dengan teknik GC-MS. Melalui kegiatan karakterisasi minyak pala, sifat fisiko-kimia, dan komponen/komposisi senyawa atsiri,
karakteristik pala Banda dapat teridentifikasi lebih lengkap.
Pada bagian akhir penelitian, identitas molekuler isozim pala Banda divisualisasi menggunakan prosedur gel elektroforesis. Seperti halnya isoszim, DNA pala Banda diamplifikasi PCR menggunakan dua primer dekamer, yaitu OPE-10 dan
OP-11. Fragmen-fragmen DNA hasil amplifikasi kemudian diisolasi dan divisualisasi juga secara gel elektroforesis. Secara keseluruhan, tiga subpenelitian yang
dijelaskan di atas secara utuh membentuk satu kesatuan tema penelitian yang
menjadi kerangka pemikiran dan alur kegiatan penelitian. Secar skema kerangka
penelitian diringkaskan seperti tampak pada Gambar 1.

3

Populasi
pala Banda

Maluku: Banda,
Ambon, Luhu


Maluku Utara:
Ternate, Tidore,
Bacan

sampling

Pala menurut ekotipe

Identifikasi

Molekuler
Hidrodistilasi

Gel elektroforesis

sampling

Minyak pala
Karakterisasi:

• Kondisi Ekologi
• Morfologi Tanaman
• Aspek Agronomi

Data agroekologi
pala Banda

Deskriptor
pala

PENELITIAN 1

Pala Banda

GC-MS

Isozim: PER,
AAT, EST,
dan ACP


Amplifikasi PCR

DNA: RAPD

Komponen Atsiri
Data biokimia/molekuler
Data fisiko-kimia
PENELITIAN 2

Gambar 1 Kerangka pemikiran dan alur penelitian.

4

PENELITIAN 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih jauh karakteristik dan
potensi pala Banda yang ada di Maluku dan Maluku Utara untuk pengembangan
komoditas lebih lanjut. Selain itu, untuk mengetahui stabilitas karakter pala Banda pada enam ekotipe berbeda.
Penelitian bertujuan untuk: 1) mengkarakterisasi pala Banda dari aspek ekotipe, morfologi tanaman, dan agronomi, 2) membuat deskriptor pala Banda berdasarkan ekotipe tipikal Maluku dan Maluku Utara, 3) mengekstraksi minyak pala

dan mengidentifikasi komponen atsiri penyusunnya, dan 4) mengidentifikasi isozim dan DNA.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah tersedianya data dan informasi ilmiah mengenai pala Banda menurut ekotipe yang terdapat di Maluku dan Maluku Utara. Data dan informasi yang dihasilkan merupakan bahan ilmiah yang
penting bagi upaya pengembangan komoditas pala pada tingkatan yang lebih
tinggi. Selain itu, dengan tersedianya data potensi biofarmaka minyak atsiri pala
maka akan membuka peluang bagi pengembangan pala ke arah agroindustri.

5

PEMBAHASAN UMUM
Studi morfo-ekotipe pala menggambarkan karakteristik ekologi seperti
kondisi tanah, fisiografi lahan, tanah, iklim, dan karakteristik tanaman pala itu
sendiri khususnya morfologi, produksi dan buah.
Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terletak pada lanskap perbukitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng 10 sampai 45% dan dari ketinggian hingga 400 m dpl. Pertanaman pala di Banda, Ambon, dan Luhu terletak
mulai dari kaki gunung yang berjarak beberapa meter di atas permukaan laut (dpl)
hingga sekitar 500 m dpl. Sementara itu, areal pala di Ternate, Tidore, dan Bacan
terletak di lanskap pegunungan yang jaraknya sekitar beberapa kilometer dari tepi
pantai. Sebagian besar wilayah Maluku bertipe iklim IIIC kecuali kepulauan
Banda yang bertipe IIB. Dalam setahun wilayah Maluku menerima rata-rata curah hujan 2.029 hingga 2.951 mm dengan suhu 22,1 sampai 31,0 oC; kelembaban
82,1 sampai 85,5%; dan penyinaran 57 hingga 59%; serta memiliki dua pola hujan: fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave).
Pertanaman pala di Maluku Utara terdapat pada ketinggian dari 20 m hingga

500 m dpl. Intensitas penyinaran matahari yang sedang (50-60%) dan ketersediaan
air hujan yang cukup sepanjang tahun adalah kondisi ekotipe yang sangat baik bagi perkembangan pala Banda. Selain itu, tanah vulkanik subur yang mendominasi
lahan pala di Maluku (Gunung Salahutu, Gunung Binaya, Gunung Api Banda)
dan Maluku Utara (Gunung Gamalama) menjadikan kondisi yang baik bagi produktivitas tanaman. Di luar habitat aslinya, pala Banda juga berkembang pada
daerah-daerah vulkanik. Vernon et al. dalam Purseglove et al. (1981) dalam survei tanah yang dilakukan di Grenada menunjukkan bahwa pulau-pulau tempat pala berkembang tanahnya hampir seluruhnya berkarakteristik vulkanik, tersusun
dari batuan piroklastik dan lava masif. Kondisi ekologi yang demikian membentuk, hingga tingkat tertentu, karakteristik khas pala Banda seperti sifat morfologi
dan agronomi.
Data ekologi, morfologi, dan agronomi penting dalam penyusunan suatu
desktipror pala. Deskriptor merupakan pedoman deskripsi karakteristik tanaman
atau varietas yang berguna untuk identifikasi spesies atau varietas (IPGRI 1980).

Berdasarkan uji Bartlett, karakteristik morfologi pala Banda memperlihatkan stabilitas yang tinggi (90%) di dua ekotipe, Maluku dan Maluku Utara.
Sifat stabilitas karakter menguntungkan tanaman baik dari segi agronomi maupun
ekologi. Secara agronomi, karakteristik morfologi yang stabil dapat digunakan sebagai identitas dalam identifikasi varietas (Guiard 1995). Pemanfaatkan karakter
morfologi sebagai deskriptor tanaman/varietas dapat diterima apabila sifat-sifat
tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil (Cross 1990).
Berdasarkan analisis DNA pala ekotipe Maluku Utara memperlihatkan jarak genetik 0,22 dari pala yang terdapat di luar ekotipe Banda. Tampaknya bahwa
semakin jauh jarak geografis dari Banda, DNA cenderung bervariasi dengan identitas genetik (0,7626 unit) dan jarak genetik (0,2710 unit) yang tidak banyak berubah. Di luar ekotipe aslinya, pala Banda tidak cukup banyak mengalami variasi
dalam level molekuler isozim maupun DNA.
Karakteristik pala Banda penting lainnya adalah produksi buah dan minyak

atsiri. Buah dengan edible portion tinggi seperti yang ditunjukkan oleh pala ekotipe
Bacan (EP = 84.23%) menguntungkan bagi pengembangan industri manisan pala.
Proporsi daging buah yang tinggi pala ekotipe Bacan memiliki nilai ekonomi yang
baik. Produktivitas per tahun pala Banda berkisar 1.700 sampai 2.600 buah/pohon.
Tingkat produksi tersebut setengah dari potensi produksi yang dapat dicapai. Pemupukan tanaman dapat menghasilkan pala 5.000 buah/pohon/tahun. Produksi
tersebut setara dengan 26 kg biji kering. Produktivitas pala Banda juga dapat diperbaiki dengan pengaturan jarak tanam dan pemangkasan pohon pelindung secara teratur. Pohon pelindung bagi pala adalah hal yang pokok dan diperlukan selama siklus pertumbuhan tanaman.
Minyak atsiri adalah komponen produksi penting lainnya dari pala Banda.
Penelitian menunjukkan bahwa biji dan fuli menghasilkan kadar minyak pala
yang berbeda. Fuli, yang merupakan arilus biji, mengandung minyak atsiri lebih
tinggi daripada biji. Kandungan minyak atsiri pala (biji tua) ekotipe Maluku sekitar 8,2 - 8,9% dan Maluku Utara 8,54 - 9,7%. Kadar minyak tersebut lebih tinggi
pada biji yang lebih muda (panen biji umur 3-5 bulan) dan fuli. Pala biji muda
ekotipe Maluku mengandung minyak 11,3-13,1% dan Maluku Utara 11,0-13,3%.
Kandungan minyak dalam fuli lebih tinggi lagi, yaitu 18,7 - 21,0% untuk Maluku,

125

dan 19,5 - 21,98% untuk Maluku Utara. Fuli merupakan arilus yang mempunyai
banyak sel-sel yang berperan meyimpan minyak atsiri dalam konsentrasi tinggi.
Kandungan minyak atsiri pala bergantung pada spesies tanaman, organ yang
diekstrak, umur panen, dan cara ekstraksi. Spesies M. fragrans Houtt hingga saat

ini adalah jenis pala yang memiliki produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi
dari spesies lainnya, misalkan M. argentea Warb dan M. malabarica L. Spesies
M. argentea Warb yang merupakan pala Papua memiliki kandungan minyak atsiri
yang rendah dan beraroma tidak sedap (Purseglove et al. 1981). Demikian juga
halnya dengan M. malabarica L yang bahkan minyak atsiri yang dihasilkan tidak
memiliki aroma (Guenther 1952).
Kadar minyak juga bergantung pada organ tanaman pala. Biji dan fuli adalah dua organ utama penghasil minyak atsiri dalam konsentrasi yang tinggi jika
dibandingkan dengan organ lainnya. Sutedja (1980) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa daun pala yang diekstrak dengan cara distilasi hanya meng-hasilkan
1,7% minyak atsiri. Pada penelitian yang sama, biji dan fuli masing-masing
menghasilkan minyak atsiri 17,1% dan 21,8%. Biji pala muda mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan organ pala lainnya. Biji pala muda pala ekotipe Ternate mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi, yaitu 13,32%.
Kandungan minyak atsiri yang tinggi pada biji pala muda disebabkan oleh konsentrasi minyak yang terakumulasi dan belum mengalami degrarasi untuk penggunaan proses metabolisme dan translokasi.
Minyak atsiri atau minyak pala diperoleh melalui beberapa metode ektraksi
dan distilasi (Daferera et al. 2002; Guo dan Yu 1985). Metode distilasi minyak
pala dilakukan dengan menggunakan air (hydro distillation) atau uap panas (steam
distillation). Minyak pala mudah menguap (sehingga disebut volatile oil), berwarna bening hingga kuning pucat dan memiliki bau dan rasa khas pala. Di udara
terbuka, minyak pala mengalamai oksidasi dan resinifikasi sehingga menghasilkan
minyak yang lebih kental (David et al. 2001).
Sifat minyak pala tampaknya bergantung pada karakteristik lokasi geografi
atau ekologi. Penelitian menunjukkan pala ekotipe Tidore menghasilkan minyak
pala berwarna kuning pucat, sedangkan ekotipe lainnya bening (Gambar 9). Karakteristik minyak pala lainnya adalah sifat fisiko-kimia. Sifat fisiko-kimia mi-


126

nyak pala yang utama adalah bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan kelarutan
dalam alkohol. Sifat-sifat tersebut menentukan mutu minyak pala. Menurut Tjiptadi dan Yasnita (1986) lama waktu distilasi mempengaruhi bobot jenis, indeks
bias, putaran optik, dan sisi penguapan. Sifat fisiko-kimia minyak pala ekotipe
Maluku umumnya stabil daripada Maluku Utara. Bobot jenis pala ekotipe Maluku adalah 0,897 - 0,909 ml/g, sedangkan Maluku Utara 0,884 - 0,910 mm/g. Kisaran bobot jenis yang diperoleh sesuai dengan SNI pala nasional. Bobot jenis
minyak pala yang memenuhi standar menurut SNI adalah 1,488 - 1,495 (kiteria
lengkap terdapat pada Tabel 29). Stabilitas dalam bobot jenis pala Banda penting
karena menentukan kualitas komersialnya. Sifat fisiko-kimia lainnya adalah indeks bias. Penelitian menunjukkan kedua ekotipe memiliki pala dengan indeks bias yang stabil, yaitu 1,489 - 1,491 untuk ekotipe Maluku, dan 1,486 - 1,149 untuk
Maluku Utara. Kriteria indeks bias yang ditetapkan oleh British Standard Institutions for Nutmeg Oil bagi minyak pala East Indian adalah 1,4750 - 1,488, dan bagi West Indian adalah 1,4720 - 1,4760 (Peter 2001).
Penelitian selanjutnya menunjukkan pala Maluku dan Maluku Utara mengandung 28 sampai 31 komponen atsiri. Sebagian besar komponen penyusun
minyak atsiri pala Banda adalah senyawa terpenoid (hidrokarbon monoterpen dan
monoterpen teroksigenasi). Kandungan senyawa terpenoid yang tinggi adalah hal
umum yang dilaporkan oleh beberapa peneliti minyak atsiri (Buckmire 1992).
Penelitian menunjukkan bahwa pinen adalah komponen atsiri yang dominan terdapat dalam minyak atsiri pala Banda. Komponen atsiri utama lainnya adalah senyawa aromatik. Analisis GC-MS mendeteksi adanya empat senyawa aromatik
utama minyak atsiri pala Banda, yaitu miristisin, elemisin, safrol, dan eugenol.
Pala ekotipe Banda mengandung miristisin tertinggi 13,76%; sementara ekotipe
Ternate mengandung safrol cukup tinggi, yaitu 3,37%; dan pala ekotipe Tidore
kaya komponen euogenol (9,82%). Miristisin, elemisin, dan safrol adalah senyawa atsiri yang bersifat halusinogenik dan toksik. Oleh karena itu, pala dengan kadar senyawa aromatik tinggi secara ekonomi menguntungkan untuk dikembangkan terutama untuk industri farmasi. Kandungan dan komposisi komponen atsiri
minyak pala cukup bervariasi antar ekotipe. Kan et al. ( 2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa komposisi kimia minyak atsiri bergantung pada kondisi

127

iklim, musim, faktor geografis dan tanah, waktu panen, dan teknik distilasi yang
digunakan. Minyak atsiri umumnya terdiri atas berbagai campuran se-nyawa kimia yang terbentuk dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur lainnya seperti nitrogen dan belerang (Copalakrishnan 1992).
Secara ekologi karakteristik pala Banda baik dalam aspek morfologi, agronomi, dan DNA memperlihatkan variasi yang kecil. Pada level morfologi, pala
Banda di enam ekotipe menunjukkan variasi sekitar 10%. Pada level DNA, pala
Banda tidak cukup banyak berubah sebagaimana ditunjukkan oleh identitas genetik yang hanya turun hingga sekitar 76,3%. Perubahan tersebut terjadi pada pala
Banda ekotipe Ternate. Homogenitas populasi pala Banda pada agroekosistem di
Maluku dan Maluku Utara sangat mendukung stabilitas karakter genetik. Penyerbukan silang yang merupakan tipe utama perkembangbiakan seksual pala Banda
tidak cukup tekanannya untuk mengubah performa genetik sebab ekotipe tersusun
oleh populasi pala Banda yang sangat homogen. Terhadap karakteristik isozim,
pala Banda memperlihatkan performa yang lebih homogen/stabil.
Terhadap karakteristik agronomi, seperti produksi dan sifat-sifat buah perubahannya cukup beragam. Variasi karakter agronomi yang terjadi antar ekotipe
lebih banyak ditentukan oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan tanaman. Produksi sebagai karakter kuantitatif biasanya sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, penyinaran matahari,
suhu udara dan ketersediaan lengas tanah adalah faktor dominan yang secara langsung berhubungan dengan produktivitas tanaman. Flamini et al. (2002) dalam
penelitiannya pada Rosmarinus officinalis L menyatakan bahwa karakteristik
agronomi dan produksi dicirikan oleh kondisi ekotipe tanaman. Lebih jauh
Copalakrishnan (1992) memperlihatkan bahwa komposisi minyak atsiri pala bervariasi menurut asal geografisnya. Tidak ada penelitian yang mendalam mengenai hubungan variasi produksi minyak atsiri dengan karakteristik ekologis begitu
juga dengan faktor genetik tanaman. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor
lingkungan ekologis bersama-sama dengan faktor genetik tanaman membentuk
fenotipe dengan karakteristik tertentu tanaman.
Dalam sistem budidaya, pengelolaan tanaman pala di Maluku dan Maluku
sepenuhnya tidak memasukkan input teknologi produksi, seperti misalnya pembe-

128

rian pupuk kimia dan pengendalian hama/penyakit dengan pestisida. Pengelolaan
tanpa input teknologi pertanian telah lama dipraktekkan oleh petani pala di Maluku dan dilakukan secara turun-ternurun. Oleh karena itu, sistem budidaya pala di
Maluku dan Maluku Utara dapat dikategorikan sebagai sistem pertanian organik
penuh (fully organic farming system). Dari sisi produktivitas, sistem tanpa input
tidak dapat menghasilkan produksi maksimal, tetapi dari sisi ekologis sangat
menguntungkan. Pertanaman pala dengan sistem pertanian organik bebas dari bahan kirnia (pupuk, pestisida atau zat pengatur tumbuh) yang berpotensi mengganggu ekosistem dan lingkungan.
Dalam penelitian diketahui dari informasi petani bahwa pemberian input
teknologi, misalnya pupuk kimia dapat dilakukan, tetapi urnumnya tidak dikehendaki oleh petani. Petani pala, khususnya di Maluku menghendaki tingkat produktivitas seperti saat ini. Menurut pengalaman petani, produktivitas pala yang melebihi tingkat saat ini dapat mempersingkat umur biologis tanaman. Meski belum
ada penelitian yang membuktikan pernyataan petani tersebut, tetapi kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa umumnya pohon-pohon pala dengan pengelolaan
sangat minimal masih memperlihatkan produktivitas yang relatif tinggi dan stabil
bahkan hingga berumur di atas 50 tahun.
Kandungan dan komposisi minyak atsiri pala berhubungan dengan karakteristik ekotipe sebagaimana dilaporkan oleh Kan et al. ( 2006). Perubahan karakteristik ekotipe, seperti perubahan tingkat kesuburan tanah akibat pemupukan kemungkinan berpotensi mengubah karakteristik tanaman, termasuk kadar dan komponen dari minyak atsiri. Untuk pengembangan dan pelestarian plasmanutfah, pala Banda perlu diarahkan pada program yang disebut perlindungan indikasi geografis. Program perlindungan indikasi geografis penting untuk menjaga ciri
khas dan karakteristik Banda. Selain itu, juga diperlukan upaya yang mengarah pada pelepasan pala Banda sebagai varietas.

129

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pala
Pala (Myristica fragrans Houtt) tergolong ke dalam famili Myristicaceae
yang menurut taksonomi tumbuhan terletak antara Annonaceae dan Lauraceae
(Joseph 1980). Famili Myristicaceae memiliki 18 genus dan sekitar 300 spesies.
Myristica adalah genus terbesar dengan 72 spesies yang diketahui banyak tersebar
mulai dari India dan Sri Lanka sampai ke timur mulai dari Malaysia hingga ke
Australia bagian timur laut, Taiwan dan Pasifik termasuk Kepulauan Solomon, Fiji dan Samoa (Purseglove et al. 1981). Sebagian besar spesies genus Myristica,
yaitu sekitar 34 spesies, endemik ditemukan di Papua sehingga oleh beberapa peneliti Papua dipandang sebagai pusat asal dan penyebaran tanaman pala.
Spesies utama pala yang telah dibudidayakan adalah M. fragrans Houtt, M.
succedanea Warb, dan M. argentea Reinw. Dua spesies pertama banyak dijumpai
di Maluku dan Maluku Utara, sedangkan yang terakhir banyak terdapat di Papua.
1. Myristica fragrans Houtt
Tanaman pala Banda sejak tahun 1834 telah menyebar luas ke berbagai
tempat seperti misalnya ke Grenada, Pinang Malaysia, Sri Lanka, dan Kerala India (GCNA 2001). Di Indonesia, jenis tersebut sudah dikembangkan secara komersial di beberapa daerah, seperti di Manado, Aceh, Makassar, Papua, dan Bogor.
Spesies M. fragrans Houtt memiliki 44 kromosom somatik (2n) yang bersifat holokinetik, yaitu mempunyai berkas gelendong yang menyelimuti seluruh
kromosom (Purseglove et al. 1981). Dalam taksonomi, spesies tersebut sinonim
dengan M. officinalis L.f., M. moschata Thumb, dan M. aromatica Lamk (De
Guzman dan Siemonsma 1999). Di Indonesia jenis tersebut lebih dikenal sebagai pala Banda dan diketahui merupakan pala yang bernilai ekonomi paling tinggi.
Pala Banda berbentuk pohon yang tidak meranggas (evergreen) dengan
tinggi 4 hingga 10 m, kadang mencapai 20 m (Gambar 2a). Umumnya tanaman
bersifat diosius (dioecious) atau berumah dua namun kadang ditemukan yang monosius (monoecious) atau berumah satu (Purseglove et al. 1981). Seluruh bagian
tanaman bersifat fragran atau beraroma khas pala. Tanaman memasuki fase gene-

ratif setelah berumur 5 hingga 7 tahun yang ditandai dengan terbentuknya bunga.
Tanaman yang berbunga jantan akan berkembang menjadi pohon jantan yang tidak menghasilkan buah, sementara yang berbunga betina akan menghasilkan tanaman betina yang menghasilkan buah. Hingga kini jenis kelamin pala belum bisa
diketahui sampai bunga terbentuk meskipun telah dilakukan penelitian hingga ke
tingkat molekuler.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Pohon pala M. fragrans Houtt (a), M. argentea Warb (b) dan
M. succedanea Reinw (C). (Inzet: buah).
Buah pala menghasilkan dua produk berbeda yaitu biji pala dan fuli. Biji
pala adalah bagian utama buah yang menghasilkan bahan rempah. Biji mencapai
umur matang setelah enam hingga sembilan bulan. Fuli pala merupakan arilus biji
yang berubah warna menjadi merah darah pada saat biji atau buah berumur tujuh
sampai sembilan bulan.
Beberapa sifat buah M. fragrans Houtt, yaitu untuk setiap 100 g mengandung 10 g air, 7 g protein, 33 g mentega pala, 5 g minyak atsiri, 30 g karbohidrat,
11 g serat, 2 g abu (De Guzman dan Siemonsma 1999). Dalam minyak pala
terdapat senyawa aromatik miristisin yang bersifat halusinogenik dan toksik.
2. Myristica argentea Warb
Spesies tersebut di Indonesia lebih dikenal sebagai pala Papua atau pala
Irian. Jumlah kromosom somatik atau genom diploidnya adalah 44 (De Guzman
dan Siemonsma 1999). Pohonnya lebih besar dari pala Banda dan dapat mencapai

7

tinggi 15 sampai 20 m dengan daun yang tebal dan lebar (Gambar 2b). Batang
berwarna gelap atau sawo kehitaman.
Bunga jantan berbentuk infloresens yang terdiri atas 3 sampai 5 bunga.
Bunga betina ukurannya lebih kecil bunga jantan dan biasanya tunggal. Spesies
tersebut memiliki ciri khas dari buahnya yang besar dan lonjong. Begitu pula
dengan biji yang dihasilkan yang dapat mencapai ukuran panjang 4 cm. Buah
terbelah saat mencapai umur masak. Buah tanaman tersebut memiliki kandungan
komponen atsiri safrol yang tinggi (De Guzman dan Siemonsma 1999). Daging
buah yang tebal menjadikan pala Papua sesuai untuk industri manisan atau asinan
pala.
3. Myristica succedanea Reinw
Pala M. succedanea Reinw terdapat banyak di Maluku Utara, yaitu di Ternate, Tidore, Bacan, dan Halmahera. Di Maluku Utara spesies tersebut dikenal
sebagai pala Patani. Tinggi pohon mencapai 10 sampai 20 m (Gambar 2c). Kanopi
pohon M. succedanea Reinw berbentuk piramida hingga lonjong dengan percabangan yang agak teratur (Hadad 1992). Bunga jantan dalam beberapa buah atau
infloresensia dan beraroma. Sementara bunga betina lebih pendek dari bunga jantan dan biasanya tunggal.
Buahnya agak lonjong dengan biji yang bulat sampai lonjong. Pala jenis
tersebut meskipun menghasilkan fuli yang tebal, kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan pala Banda. Sebagian besar spesies genus Myristica berbentuk
pohon tropik yang bersifat tak meranggas, tumbuh di daerah hutan hujan tropis di
dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl namun beberapa spesies ditemukan
tumbuh di pegunungan dengan elevasi hingga 700 m dpl (Purseglove et al. 1981).
Dalam penamaan spesies pala seringkali dijumpai beberapa kesamaan nama atau sinonim. Tabel berikut memuat nama-nama spesies utama pala dan sinonimnya. Nama M. fragrans Houtt misalnya, mempunyai empat sinomin, yaitu M.
argentea Warb satu sinonim, dan M. Succedane Reinw tiga sinonim. Kejelasan
nama spesies pala sangat penting untuk menghindari penamaan ganda bagi spesies
yang secara botani adalah sama. Tabel 1 berikut memuat beberapa nama sinomim spesies pala.

8

Tabel 1 Spesies utama genus Myristica dan sinonimnya
Spesies
M. fragrans Houtt

M. argentea Warb
M. succedanea Reinw

M. fatua Houtt

Sinonim
M. officinalis L
M. moschata Thunb
M. aromatica Lamk
M. ambeinensis Gandoger
M. finschii Warb
M. radja Miquel
M. schefferi Warb
M. speciosa Warb
-

Nama umum

Sumber
(1)

Pala Banda
Pala Papua/pala
Makassar
Pala Halmahera

Pala jantan

(2)
(1)
(1)

(1)

Ket.: (1) Purseglove et al., 1981; (2) Groome, 1970.

Selain empat spesies di atas, dikenal pula spesies Myristica ekotipe Malabar
yang disebut Myristica malabarica L, dan Virola surinamensis Rol. (Groome
1970). Spesies V. surinamensis Lamk adalah jenis pala liar yang berkembang di
ekotipe Suriname dan tidak dibudidayakan karena tidak memiliki nilai ekonomi
yang berarti.
Studi genetik pada tanaman pala sangat sedikit dilakukan. Di Indonesia,
hampir tidak ada laporan yang memadai mengenai aspek genetik maupun pemuliaan pala. Studi sitologi yang dilaporkan oleh Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa M. fragrans Houtt memiliki kromosom somatik 2n sebanyak 42, dengan kromoson dasar diduga sebanyak 7 buah. Penelitian lainnya melaporkan
bahwa pala memiliki kromosom 2n = 44 (Peter 2001).
Morfologi Tanaman
Tanaman pala berbentuk pohon berukuran sedang, tajuk umumnya konikal
atau semi piramida, daun agak kaku dan tak-meranggas. Tinggi rata-rata antara 4
sampai 10 m namun kadang mencapai 20 m atau lebih. Tanaman dikembangkan
terutama dari biji. Di Indonesia, hampir seluruh pertanaman berasal dari biji,
tetapi di Grenada sebagian besar perkebunan pala awalnya menggunakan bibit
vegetatif. Pohon pala yang berumur lebih dari 30 tahun dapat mencapai lingkar
batang 150 hingga 180 cm. Pohon pala di perkebunan Plaisance estate, Grenada
ada yang mencapai umur hingga lebih 80 tahun dengan lingkar batang 200 sampai
250 cm (GCNA 2001).

9

Pala umumnya bersifat diosius (bunga jantan dan betina terdapat pada tanaman yang berbeda) tetapi kadang dijumpai monosius yaitu bunga jantan dan betina terletak pada pohon yang sama. Pengamatan di hutan pala Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat tiga tipe tanaman
pala yaitu tanaman jantan, tanaman betina, dan tanaman hermaprodit. Tanaman
jantan didominasi oleh Myristica fatua Houtt, betina oleh M. fragrans Houtt, dan
hermaprodit di antara keduanya. Pada pala tidak dikenal bunga hermaprodit.
Tanaman pala jantan dicirikan oleh habitus yang lebih kecil dari tanaman
betina, memiliki cabang yang lebih tegak, daun lebih kecil dan menghasilkan banyak bunga jantan dalam bentuk rangkaian yang membawa 3 sampai 15 bunga per
rangkaian. Jumlah bunga betina antara 1 sampai 3 per rangkaian. Bunga betina
dan jantan keduanya berbentuk oval berwarna kuning gading dengan ukuran panjang sekitar 4 sampai 8 mm. Dalam perkebunan pala, umumnya rasio pohon jantan terhadap betina dipertahankan 1:10 (Hadad 1990).
Struktur dan sifat tanaman pala yang menyerupai pohon menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman hutan yang berfungsi menghijaukan kawasan lereng
pegunungan yang penting dalam mencegah erosi. Pala memiliki sistem perakaran
yang dangkal namun ekstensif, satu akar tunggang dan beberapa cabang akar sekunder yang menyebar hanya beberapa cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman akar tanaman sekitar 3,5 sampai 5 m. Pala memiliki sistem perakaran yang
dangkal sehingga mudah tumbang oleh terpaan angin kencang. Pada tahun 1955
tercatat 80% populasi tanaman di perkebunan pala di Grenada rusak oleh badai
angin 'Janet' (Muller et al. 1980).
Pembungaan pala terjadi pada waktu yang sama antara pohon monosius dan
diosius. Umumnya bunga muncul pertama kali ketika tanaman mencapai umur 5
sampai 7 tahun. Tanaman pala berbunga lebat dua kali setahun, yaitu April sampai Mei dan November sampai Desember. Di beberapa daerah di Maluku terjadi
sedikit variasi dalam musim berbunga (maju atau mundur) dari dua periode yang
disebut di atas. Bunga pala berkembang menjadi buah dan siap dipanen setelah 7
sampai 9 bulan. Setelah mencapai umur lebih dari 7 bulan, buah terbelah dua dan
melepaskan biji sebagai pertanda kematangan. Masa berbunga dan berbuah tana-

10

man pala akan terus berlangsung silih berganti tanpa ada batas yang jelas antara
musim pertama dan berikutnya.
Penyerbukan bunga pada tanaman pala tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa laporan menyebutkan penyerbukan pala dibantu oleh sejenis ngengat yang disebut 'mibone'. Pengamatan di Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa
ngengat dan semut hitam kemungkinan berperan dalam penyerbukan sebab keduanya seringkali hadir pada waktu tanaman pala dalam fase pembungaan. Semut
sangat tertarik oleh nektar yang dihasilkan bunga jantan maupun betina. Pendapat
serupa juga disampaikan oleh Cruickshank (1973). Flach (1966) berpendapat
bahwa pala tergolong ke dalam tanaman yang menyerbuk silang obligat.
Kondisi Umum Ekotipe Maluku dan Maluku Utara
Maluku Tengah yang mencakup Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau
Seram terletak pada 2,50 - 7,50 Lintang Selatan dan 126,50 - 132,50 Bujur Timur.
Kawasan tersebut dibatasi oleh Laut Seram di Utara, Laut Banda di Selatan, Pulau
Buru di Barat, dan perairan Papua di Timur.
Luas wilayah Maluku Tengah sekitar 257.890 km2 dengan luas daratan
19.594 km2. Luas Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram dan pulaupulau sekitarnya masing-masing 761 km2, 172 km2, dan 18.679 km2. Maluku
tengah juga merupakan daerah bergunung. Gunung Salahutu merupakan gunung
tertinggi (1.038 m dpl) yang terletak di Pulau Ambon, gunung Api di Kepulauan
Banda (667 m dpl), dan gunung Binaya di Pulau Seram (3.027 m dpl).
Iklim Maluku Tengah dipengaruhi oleh iklim laut dan angin munson, dan
oleh karenanya disebut beriklim tropik monsoon (BPS Maluku 2003). Suhu udara
di Pulau Ambon berkisar 23,6 dan 30,1 0C; kelembaban relatif 84%, dan tingkat
penyinaran sekitar 59%. Hujan banyak turun pada bulan Juni sampai Agustus
dengan rata-rata 218 mm/bulan. Di Kepulauan Banda, suhu berkisar 22,6 dan
30,7 0C. Hujan banyak terjadi pada bulan April hingga Mei dengan curah hujan
rata-rata 250 mm/bulan dengan pola yang tidak jelas. Penyinaran matahari sekitar
65,2% dan kelembaban relatif 80,5%. Di Pulau Seram, suhu udara berkisar 22,1
dan 31 0C, tingkat penyinaran matahari 59%, dan kelembahan udara 85,4%.
Seperti di Pulau Ambon, frekuensi hujan tertinggi di Pulau Seram terjadi pada
bulan Juni sampai Agustus dengan rata-rata 185 mm/bulan.

11

Wilayah Maluku memiliki areal sekitar 472.142 ha yang potensial untuk
pengembangan komoditas unggulan tanaman industri seperti cengkeh dan pala.
Untuk komoditas perkebunan seperti kelapa, kakao, dan kopi robusta tersedia
lahan seluas 443.438 ha, dan kopi arabika serta kayu manis dengan luas 29.864
ha. Tanaman perkebunan lainnya yang dapat dikembangkan adalah jambu mete,
sukun, kemiri, kapuk randu, atau kayu-kayuan dengan luas tersedia 120.442 ha.
Tanaman hortikultura buah-buahan tahunan yang diunggulkan adalah manggis,
salak, durian, lengkeng dengan luas tersedia 617.401 ha. Pengembangan lahan
basah atau sawah diarahkan pada areal dengan luas 265.386 ha, sedangkan untuk
lahan kering, komoditas yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan kacang
tanah dengan luas 114.948 ha. Untuk pengembangan perikanan air payau
(tambak) tersedia areal 26.466 ha. Komoditas pala di Maluku Tengah dikembangkan di atas areal lebih dari 5,2 ribu ha. Menurut data tahun 2003, luas areal pala
di Pulau Ambon, Banda, dan Seram Barat masing-masing 449, 18, dan 128 ha
dengan produksi berturut-turut 41, 244 dan 10 ton.
Sementara itu, komoditas unggulan yang direkomendasikan untuk Maluku
Utara adalah cengkeh dan pala dengan luas sekitar 498.125 ha. Maluku Utara
memiliki areal pala sekitar 9.833 ha dengan produksi 5,9 ton. Pada areal yang
sama juga dapat dikembangkan tanaman hortikultura buah seperti manggis, salak,
durian, dan lengkeng (BPS Maluku Utara 2003).
Komoditas tanaman tahunan yang diunggulkan adalah kelapa dan kakao
yang dikembangkan pada daerah-daerah dataran rendah dengan luas tersedia
sekitar 62.285 ha. Untuk pertanian dataran tinggi, pengembangannya diarahkan
pada produksi kopi arabika atau kayu manis dengan luas sekitar 62.285 ha.
Tanaman pangan lahan basah yang dapat dikembangkan di daerah Maluku Utara
adalah padi sawah dengan luas 290.266 ha, dan pada lahan tersebut dapat
diusahakan tanaman palawija dan atau hortikultura sayuran/buah. Untuk tanaman
pangan lahan kering yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan gembili
dengan luas tersedia 140.532 ha. Wilayah Maluku Utara juga direkomendasikan
bagi penanaman tanaman hortikultura buah-buahan unggulan seperti jeruk dan
mangga dengan luas 665.723 ha. Tanaman pangan secara terbatas juga
direkomendasikan. Untuk tanaman pangan lahan basah tersedia lahan seluas

12

290.266 ha. Tanaman pangan lahan kering mencakup lahan untuk pengembangan
tanaman gembili dengan luas 140.532 ha.

Pengembangan untuk perikanan

tambak tersedia areal seluas 26.466 ha. Untuk hutan produksi, lahan tersebut
diarahkan peruntukannya untuk kawasan hutan dengan luas tersedia 1.888.464 ha,
dan untuk kawasan konservasi seluas 805.541 ha.
Minyak Pala dan Komponen Atsiri
Minyak pala terutama dihasilkan melalui proses distilasi biji pala dan fuli.
Distilasi uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan
dua metode ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap.
Metode distilasi dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala
menghasilkan minyak yang tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda, peka
cahaya dan suhu, dan beraroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam
alkohol tetapi tidak larut dalam air.
Dikenal dua tipe minyak pala, East Indian dan West Indian. Minyak pala
East Indian dan West Indian berbeda dalam aroma dan mutu. Minyak pala East
Indian, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lebih unggul daripada minyak
pala West Indian karena memiliki aroma yang lebih disukai dan mengandung
komponen eter fenil propanoid (Masada 1976) dan terpen (Lewis 1984) yang
tinggi. Selain itu, minyak pala East Indian dilaporkan kaya senyawa aromatik miristisin (hingga 14%) jika dibandingkan dengan minyak pala West Indian yang
kandungannya kurang dari 1%.
Tabel 2 Karakteristik minyak pala East dan West Indian menurut British
Standards Institution for nutmeg oil
Karakteristik (pada 20 oC )

East Indian

West Indian

Warna
:
Bobot jenis (g/ml)
:
Putaran optik
:
Indeks bias
:
Kelarutan dlm etanol 90% :

Tak berwarna-kuning
0,885 - 0,915
8,00 - 25,00
1,4750 - 1,4880
3,0 volume

Tak berwarna-kuning pucat
0,860 - 0,880
25,00 - 450
1,4720 - 1,4760
4,0 volume

Minyak fuli diperoleh melalui distilasi uap arilus kering dan menghasilkan 4
sampai 17% minyak. Minyak fuli berwarna bening, merah cerah, atau merah bata

13

dengan bau dan citarasa khas pala. Selain biji dan fuli, dari daun juga dapat diperoleh minyak namun konsentrasinya lebih rendah (kurang dari 1%). Secara kimia,
minyak pala sama dengan yang dari biji dan fuli, tetapi bau dan citarasanya berbeda. Ekstraksi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa metode. Ekstraksi
minyak atsiri dari bahan fuli lebih baik menggunakan metode karbon dioksida cair
dan pekat karena menghasilkan minyak dengan mutu dan citarasa yang lebih baik
dibandingkan dengan cara distilasi uap (Naik et al. 1988).
Minyak atsiri mengandung beberapa komponen atau senyawa, sebagian besar penting bagi industri. Karena aromanya yang khas, minyak atsiri pala banyak
dimanfaatkan sebagai bahan dalam industri kosmetik. Selain itu, minyak atsiri
juga banyak digunakan dalam industri farmasi.

Sifat-sifat farmakologi pala

ditentukan oleh senyawa yang terdapat di dalam komponen atsiri. Laporan
mengenai komponen atsiri pala pertama kali disampaikan oleh Power dan Salway
(1907, 1908).
H 2C

CH3

H3C

H3C

H3C
CH3

CH3

H3C

H3C

CH3

H 3C

α-pinen

α-felandren

CH 3

Terpinen

Sabinen

CH3

CH3
H3C
CH3

CH3

CH2

H3C
CH3

HO

O
H3C

Kamfor

CH2

Linalol

CH2

Kamfen

Mirsen

Gambar 3 Beberapa komponen atsiri pala Banda.
Sejumlah komponen atsiri yang berhasil diisolasi dari minyak pala dan fuli
tergolong hidrokarbon monoterpen, monoterpen teroksigenasi, dan eter aromatik
(Purseglove et al. 1981). Senyawa utama dari kelompok hidrokarbon monoterpen
adalah pinen dan sabinen, dan dari kelompok eter aromatik adalah miristisin. Eter

14

aromatik, seperti miristisin, safrol, dan elemisin merupakan komponen atsiri yang
menentukan citarasa dan karakteristik farmakologis minyak pala.
Analisis GC memperlihatkan terdapat 33 senyawa atsiri dalam minyak pala
dan 51 dalam minyak fuli. Kedua minyak komposisinya secara kualitatif sama,
perbedaannya hanya pada kuantitas. Minyak pala mengandung sekitar 76,8%
monoterpen; 12,1% monoterpen teroksigenasi; dan 9,8% eter fenil propanoid,
sedangkan minyak fuli mengandung 51,2% monoterpen; 30,3% monoterpen
teroksigenasi; dan 18,8% eter fenil propanoid (Mallavarupu dan Ramesh 1998).
Komposisi minyak atsiri bervariasi menurut lokasi geografis pala (Baldry et al.
1976; Masada 1976; Lawrence 1981; Kumar et al. 1985; Copalakrishnan 1992).
Pala M. fragrans Houtt dari Indonesia dilaporkan mengandung 2% miristisin
dibandingkan dengan 0,13% pada M. argentea Warb. Miristisin tidak ditemukan
dalam M. muelleri L. Kadar safrol, yang diduga bersifat karsinogenik, kadarnya
adalah 0,13; 0,15; dan 0,24% masing-masing dalam M. fragrans Houtt, M.
argentea Warb, dan M. muelleri L. (Archer 1988). Fraksi miristisin bersama
dengan elemisin menentukan sifat halusinogenik pala. Komposisi atsiri dalam
minyak pala berubah pada penyimpanan jangka panjang. Selama penyimpanan
dan transportasi, minyak pala harus terhindar dari cahaya langsung dan disimpan
dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu tidak lebih dari 25 oC. Penyimpanan
yang lama merusak komposisi minyak.
Minyak pala mengandung mentega pala.

Dalam mentega pala terdapat

sekitar 25 sampai 40% minyak lemak. Minyak lemak pala diperoleh dengan
mengepres biji pala atau dengan mengekstrak menggunakan pelarut. Minyak
lemak berbentuk setengah-padat, atau lemak berwarna coklat kemerahan dengan
bau dan citarasa khas pala. Minyak lemak larut sempurna dalam alkohol panas
tetapi larut sebagian dalam alkohol dingin. Minyak lemak juga larut bebas dalam
kloroform atau larutan yang mengandung trimiristin (84%), asam oleat (3,5%),
bahan resin (2,3%), asam linoleat (0,6%), asam format dan serotat dalam volume
rendah. Trimirisitisin adalah trigliserida asam miristat yang berbentuk padat
berwarna abu-abu kekuningan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa mentega
pala terbaik berasal dari pala East Indian.

15

Minyak lemak digunakan dalam

industri parfum dan farmasi. Dalam farmasi, jenis minyak tersebut dimanfaatkan
sebagai bahan obat balsem dan rematik.
Pemanfaatan Pala
Pala dan fuli keduanya dimanfaatkan dalam industri farmasi. Pala dalam
bentuk bubuk jarang digunakan secara tersendiri namun dicampur dengan beberapa bahan obat. Penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi kian meningkat.
Komponen utama pala dan fuli, yaitu miristisin, elemisin dan isoelemisin jika disajikan dalam bentuk aroma akan berkhasiat sebagai penghilang stres. Di Jepang,
banyak perusahaan menggunakan pengharum udara yang beraroma pala untuk
memperbaiki lingkungan udara tempat bekerja.
Pala sebagai obat lebih banyak digunakan di Timur daripada di Barat. Sebagai obat, pala memiliki sifat stimulatif dan karminatif. Biji pala mengandung bahan obat yang bersifat karminatif, deodoran, astringen, narkotik, aprodisiak dan
baik untuk mencegah pilek, dan mual/muntah. Sifat antioksidan pala telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Madsen dan Bertelsen 1995; Lagouri dan Boskou
1995).
Minyak pala berguna dalam pengobatan penyumbatan kandung kemih, halitosis, dispepsia, flatulens, impotensi, insomnia, dan penyakit kulit. Minyak pala
juga secara eksternal berguna sebagai bahan stimulan dan penawar iritasi. Sebagian besar sifat farmakologis pala ditentukan oleh senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri. Minyak atsiri fuli memiliki banyak sifat fisiologis
dan organoleptik yang sama dengan minyak atsiri biji pala. Mentega pala merupakan stimulan eksternal yang bersifat sedang dan dimanfaatkan dalam bentuk lotion, minyak rambut, plaster yang dipakai mengobati rematik, kelumpuhan, dan
nyeri (Mallavarapu dan Ramesh 1998).
Pala dan fuli keduanya mengandung bahan aktif miristisin yang bersifat narkotik. Mentega pala mengandung elemisin dan miristisin yang juga memiliki
pengaruh narkotik dan psikotropik (Masada 1976). Penggunaan mentega pala
yang berlebihan menyebabkan narkosis, delirium, gejala epilepsi dan bahkan
kematian. Selain itu, menimbulkan konstipasi sementara dan kesulitan buang air
kecil serta meningkatkan timbunan lemak pada organ hati. Pala bubuk kadangkadang digunakan sebagai obat halusinogenik, tetapi pengunaan tersebut berba-

16

haya karena jika berlebihan dapat menimbulkan efek narkotik, gejala delirium,
dan kejang-kejang epilepsi yang tampak 1 sampai 6 jam sesudah pema-kaian
(Shulgin 1963).
Minyak pala digunakan dalam kosmetik, yaitu untuk parfum dan pengharum
ruangan karena sifat aromatiknya. Minyak fuli memiliki sifat fisiko-kimia dan
organoleptik yang hampir sama dengan minyak pala. Minyak fuli dalam jumlah
terbatas dimanfaatkan dalam industri parfum dan sabun .
Komponen mirisitisin yang berkhasiat halusinogenik dilaporkan dapat digunakan sebagai bahan insektisida yang efektif (Ejechi et al. 1998). Kamfen yang
terdapat dalam minyak atsiri pala digunakan dalam pembuatan kamfer dan senyawa lainnya yang bersifat antibakteri, anticendawan, dan antiserangga (Huang
et al. 1997). Pinen, komponen atsiri lainnya, digunakan dalam pembuatan kamfer, pelarut, bahan pembantu pembentukan plastik, parfum dan minyak pinus sintetik. Dipentin dimanfaatkan dalam pembuatan resin dan dipakai sebagai bahan
pembasah (wetting agent) dan perata larutan (dispersing agent). Asam miristat digunakan dalam pembuatan sabun, deterjen cair, shampoo, kream cukur, parfum,
plastik; bahan pencampur pada pembuatan karet, dan cat minyak; bahan untuk
pembuatan ester untuk citarasa dan parfum dan sebagai bahan aditif makanan. Sifat larvasida juga dilaporkan dimiliki oleh fuli sebagaimana dilaporkan Nakamura
et al. (1988) dalam penelitiannya dengan larva Toxocara canis L.
Karakteristik Tanaman: Isozim dan DNA
Selain karakter morfologi, isozim dan DNA lebih banyak digunakan sebagai
karakter atau penciri tanaman karena lebih stabil dan terpercaya. Isozim atau
isoenzim merupakan protein enzim yang memiliki beberapa bentuk namun mengkatalisis reaksi yang sama (Adam 1983). Umumnya isozim dikendalikan oleh lokus kodominan yang diwariskan menurut kaidah Mendel dan banyak lokus isozim
diekspresikan pada seluruh tahap atau siklus pertumbuhan (Hamrick 1989).
Karakter DNA lebih unggul bila digunakan sebagai karakter penciri tanaman
sebab memiliki kestabilan yang sangat tinggi dan bahkan variasi lingkungan hampir tidak mengubah karakteristiknya. Sistem RAPD yang menggambarkan polimorfisme DNA merupakan metode identifikasi yang memiliki kelebihan dibandingkan metode morfologi dan isozim. Metode RAPD tidak memerlukan penge-

17

tahuan latar belakang genom organisme yang dipelajari, dapat menggunakan primer universal, analisis mudah dan sederhana, hasil yang cepat dan cukup baik. Selain itu, RAPD tidak memerlukan enzim rekstriksi, menggunakan sampel DNA
relatif sedikit, dan tidak menggunakan pelabelan radio aktif.

18

KAJIAN MORFOLOGI, AGRONOMI, DAN
PEMBUATAN DESKRIPTOR PALA BANDA (Myristica fragrans Houtt)
Abstrak
Pala Banda adalah tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi.
Pala tumbuh dan beradaptasi baik pada agroekologi Maluku. Penelitian bertujuan
mengeksplorasi lebih jauh aspek ekologi, morfologi, dan agronomi pala di Maluku
dan Maluku Utara, dan membuat deskriptor pala menurut ekotipe. Aspek ekologi
yang dipelajari mencakup kondisi iklim, fisik/kimia tanah, dan fisiografi. Untuk studi
morfologi, 21 sifat tanaman pala diamati dan skor/diukur lalu dianalisis dengan
metode analisis klaster multivariat dan uji kesamaan ragam Bartlett-T. Untuk kajian
agronomi digunakan pohon pala produktif berlingkar batang 25-50 cm dan tumbuh di
dua elevasi, 0-50 m di atas permukaan laut (dpl) dan 250-300 m dpl. Pengamatan
mencakup produksi, produktivitas, dan karakteristik proksimat buah. Data agronomi
dianalisis dengan uji-T dan uji Dunnett. Data ekologi, morfologi, dan agronomi
selanjutnya disusun menjadi suatu deskriptor dengan mengacu pada prosedur
Tropical Fruit Descriptors IPGRI. Analisis komponen utama (PCA) dilakukan untuk
variabel agroekologi.
Hasil menunjukkan bahwa agroekologi Maluku dicirikan oleh fisiografi
pegunungan, perbukitan tektonik, vulkanik, dan karst dengan kelerengan 16-40%.
Wilayah Ambon dan Banda sebagian besar tersusun dari tanah yang berbahan induk
vulkanik, sementara Luhu berbahan sedimen. Iklim sebagian besar wilayah Maluku
bertipe IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB. Wilayah Maluku mendapat
curah hujan 2.029-2.951 mm/tahun dengan dua pola, fluaktutif (multiple wave) dan
ganda (double wave), suhu 22,1-31,0 0C, kelembaban 82,1- 85,5%, dan penyinaran
matahari 57-59%. Sementara itu, Maluku Utara dicirikan oleh tanah yang berbahan
induk sedimen dan plutonik dan didominasi oleh fisiografi perbukitan/pegunungan
vulkan, tektonik, dan karst dengan kelerengan 25-45%. Iklim Maluku Utara tergolong
tipe IIIC (Tidore dan Bacan) dan IVB (Ternate) dengan pola hujan fluktuatif dan
ganda. Suhu udara 23,6-30,1 0C, kelembaban 83% dan penyinaran 58%. Di antara 21
karakter morfologi tanaman yang diamati, 17 menunjukkan stabililitas yang tinggi
(90%). Sifat morfologi yang cenderung berubah menurut ekotipe adalah warna buah,
bentuk pangkal buah, panjang tangkai buah, dan indeks ukuran buah (IDbuah).
Analisis klaster menunjukkan pala menurut karakter morfologi mengelompok ke
dalam tiga kelas, 90% menyerupai karakteristik pala Banda. Produksi buah, biji, dan
fuli di dua elevasi tidak menunjukkan perbedaan berarti. Secara umum produksi pala
di ekotipe Banda lebih tinggi dibandingkan produksi ekotipe lainnya. Analisis
proksimat memperlihatkan kadar air daging buah pala ekotipe Banda berbeda secara
nyata dengan ekotipe lainnya. Rata-rata kadar air pala ekotipe Banda 79,5%.
Perbedaan juga tampak dalam kandungan pektin. Protein, lemak, dan proporsi daging
buah (EP) secara statist