Penanganan fillet ikan gurami (osphronemus gouramy lacepede) dalam kemasan modifikasi atmosfer:

PENANGANAN FILLET
IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede)
DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis PENANGANAN FILLET IKAN
GURAMI (Osphronemus
gouramy Lacepede) DALAM KEMASAN
MODIFIKASI ATMOSFIR adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana-pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Slamet Suharto
NRP P 24500003

RINGKASAN

SLAMET SUHARTO. Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemous
gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir. Dibimbing oleh I
WAYAN BUDIASTRA, dan JOKO SANTOSO.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan akan kebutuhan jenis bahan makanan
yang segar, praktis dan sehat sebagai akibat perubahan perilaku masyarakat
yang semakin komplek dan sibuk. Ikan merupakan bahan pangan bernilai gizi
tinggi namun mudah mengalami kemunduran mutu (high perisable food) jika
tidak ditangani secara tepat. Fillet merupakan bentuk preparasi bahan
makanan yang cukup praktis (minimaly process) dan segar.
Penggunaan modifikasi atmosfer telah diketahui dapat meningkatkan umur
simpan bahan makanan seperti daging, sayur dan ikan. Komposisi gas dalam

kemasan bervariasi untuk masing-masing jenis makanan tersebut, termasuk
jenis ikan. Untuk mengetahui penanganan dan penggunaan komposisi
(konsentrasi) CO2 yang tepat maka perlu dilakukan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen
yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan
mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan
umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
informasi teknik penanganan fillet ikan gurami.
Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan bahan pencuci fillet
dan komposisi gas dalam kemasan.
Dalam penelitian ini digunakan fillet dari ikan gurami ukuran + 1000g yang
diperoleh Kolam Babakan Sawah Baru Bogor. Fillet dibuat sesuai prosedur
SNI 01-4103.2-1992 yang meliputi proses pelumpuhan, pembuangan darah,
penampungan sementara, pemotongan/ penyayatan, pembuangan kulit dan
duri, dan perapihan. Sebelum dilakukan pemfilletan ikan di berok/puasakan
selama tiga hari untuk mengurangi bau lumpur.
Penelitian tahap pertama untuk menentukan bahan pencuci fillet yang
menghasilkan kualitas fillet paling baik. Digunakan lima jenis bahan pencuci
yaitu (1) air bersih, (2) air garam, (3) air jeruk nipis, (4) air jeruk nipis yang
ditambah garam dan (5) larutan klorin 10 ppm. Pengamatan dilakukan

terhadap parameter kesegaran ikan meliputi TPC, TVB, pH pada hari ke-0, 4,
8 dan 12 selama penyimpanan pada suhu 10oC. Penentuan bahan pencuci
didasarkan pada pengaruh signifikan terhadap nilai parameter kesegaran.
Percobaan mengunakan Rancangan Acak Lengkap dalam tiap pengamatan.

Bahan yang digunakan berupa air bersih dengan kualitas air minum (SNI 014103.2-1992), larutan garam 50g garam/ 1 l air bersih, larutan air jeruk nipis
(60 ml air jeruk/ 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g), larutan garam
yang ditambah air jeruk nipis, dan larutan klorin 10 ppm.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya pengaruh bahan pencuci fillet
terhadap nilai TPC, TVB dan umur simpan fillet. Bahan pencuci yang
memberikan efek paling paling baik adalah air jeruk yang ditambah garam
dan larutan klorin. Kedua larutan pencuci tersebut dapat mengurangi jumlah
total bakteri paling banyak (TPC paling kecil) pada fillet saat pencucian
sehingga mempengaruhi pertumbuhan bakteri selama penyimpanan.
Sampai hari ke-8 nilai log TPC fillet yang dicuci larutan klorin dan air
garam-jeruk sebesar 5.84 dan 5,06 menunjukkan bahwa fillet masih segar
(batas maksimum 7,6 menurut Ditjen POM) pada hari ke 12 semua fillet telah
melewati batas maksimum.
Penelitian tahap kedua bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi CO2 dalam
modifikasi atmosfir pengemasan (MAP) terhadap kualitas dan umur simpan

fillet ikan gurami yang telah mengalami perlakuan pencucian pada tahap
pertama. Ada delapan perlakuan dari kombinasi dua jenis pencucian (larutan
garam-jeruk/AGJ dan klorin/K)) dan empat konsentrasi CO2, yaitu (1) AGJCO2 0%, (2) AGJ-CO2 30%; (3) AGJ- CO2 45% (4) AGJ-CO2 60%; (5) KCO2 0%; (6) K- CO2 30%; (7) K- CO2 45% dan (8) K- CO2 60%. Pengamatan
dilakukan terhadap nilai TPC, TVB, pH, dan organoleptik fillet pada hari ke
0, ke-8, ke-14, ke-18, ke-21 dan ke-24 penyimpanan dalam suhu 5oC yang
dikemas dengan plastik polyetilen. Analisi statistik terhadap hasil pengamatan
dengan one-way Anova dalam RAL pada tiap-tiap pengamatan. Penentuan
umur simpan didasarkan pada persamaan regresi nilai organoleptik fillet.
Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 berpengaruh
terhadap nilai TPC, TVB dan organoleptik fillet dalam kemasan plastik
polyetilen yang disimpan pada suhu 5oC selama 24 hari. Pertumbuhan bakteri
dapat dihambat dengan penambahan konsentrasi CO2 dalam kemasan yang
ditunjukkan oleh nilai TPC dan TVB yang lebih rendah
dan nilai
organoleptik lebih tinggi.
Nilai log TPC pada awal penyimpanan 3,8 dan meningkat selama
penyimpanan pada semua perlakuan, dan tidak menunjukkan perbedaan
hingga ke-14 kecuali perlakuan tanpa CO2 denagn nilai TPC lebih tinggi.
Pada hari ke-18 terjadi perbedaan yang signifikan dimana konsentrasi CO2
45% dan 60% pada kedua pencucian menununjukkan nilai TPC yang lebih

rendah. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh konsentrasi CO2 dalam
kemasan. Kombinasi jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai TPC.
Nilai TVB meningkat sejalan dengan nilai TPC dan lamanya peyimpanan
fillet. Pada hari ke-0 TVB fillet 18,5 dan meningkat 35 s.d 56 mg/100g fillet
bervariasi menurut konsentrasi CO2.
Peningkatan konsentrasi CO2

berpengaruh pada nilai TVB. Konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua
jenis pencuci menunjukkan nilai TVB yang rendah, berbeda nyata mulai
penyimpanan ke-14 dan sampai hari ke-18 nilai TVB fillet besarnya 30
mgN/100g.
Nilai organoleptik fillet selama penyimpanan menurun dari 9 pada awal
penyimpanan hingga 1 pada hari ke 24. Konsentarsi CO2 45% pada kedua
bahan pencuci menghasilkan nilai organoleptik paling baik dimana sampai
hari ke-14 masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik (nilai 7).
Berdasarkan analisis regresi untuk menentukan umur simpan fillet dengan
batas penolakan nilai 5 diperoleh umur simpan 16 hari pada CO2 45% dan 12
hari filet tanpa CO2.
Dari hasil penelitaian tahap I dan II dapat disimpulkan bahwa penggunaan
bahan pencuci yang baik adalah air jeruk yang ditambah garam. Bahan

pencuci ini dapat meningkatkan umur simpan fillet hingga 8 hari pada suhu
10oC dan 12 hari pada suhu 5oC. Penambahan CO2 45% dapat meningkatkan
hingga 16 hari. Penggunaan air jeruk-garam setara dengan pencuci klorin 10
ppm.

ABSTRACT

SLAMET SUHARTO.
Handling on Gouramy (Osphronemous gouramy
Lacepede) Fillet with Modified Atmosphere Packaging. Supervised by
I WAYAN BUDIASTRA, and JOKO SANTOSO.
The aim of this study is to determine post harvest handling technology of
gouramy fillet (Osphronemous gouramy Lacepede) which packed with atmosphere
modification. This study was carried out in two steps. First step is to determine 5
treatments cleaner materials i.e. hygienic water cleaning, salt water, lime water, lime
water added with salt and 10 ppm chlorine to produce the best quality of fillet. The
result of this first step showed that salt water added with lime and 10 ppm chlorine
was the best cleaner materials based on the value of log TPC ( 3.75). Second step is
to determine the composition and effect of the packing atmosphere modification to
the Gouramy fillet quality and self life with 4 different composition of CO2 (0, 30, 45

and 60%). Concentration 45% of CO2 was the best gas composition of atmosphere
modification to produce fillet. Gouramy fillet that packed with MAP and kept on the
temperature 5 °C is still consumable up to sixteen days.

PENANGANAN FILLET
IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede)
DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis PENANGANAN FILLET IKAN
GURAMI (Osphronemus

gouramy Lacepede) DALAM KEMASAN
MODIFIKASI ATMOSFIR adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana-pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Slamet Suharto
NRP P 24500003

RINGKASAN

SLAMET SUHARTO. Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemous
gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir. Dibimbing oleh I
WAYAN BUDIASTRA, dan JOKO SANTOSO.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan akan kebutuhan jenis bahan makanan
yang segar, praktis dan sehat sebagai akibat perubahan perilaku masyarakat
yang semakin komplek dan sibuk. Ikan merupakan bahan pangan bernilai gizi

tinggi namun mudah mengalami kemunduran mutu (high perisable food) jika
tidak ditangani secara tepat. Fillet merupakan bentuk preparasi bahan
makanan yang cukup praktis (minimaly process) dan segar.
Penggunaan modifikasi atmosfer telah diketahui dapat meningkatkan umur
simpan bahan makanan seperti daging, sayur dan ikan. Komposisi gas dalam
kemasan bervariasi untuk masing-masing jenis makanan tersebut, termasuk
jenis ikan. Untuk mengetahui penanganan dan penggunaan komposisi
(konsentrasi) CO2 yang tepat maka perlu dilakukan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen
yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan
mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan
umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
informasi teknik penanganan fillet ikan gurami.
Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan bahan pencuci fillet
dan komposisi gas dalam kemasan.
Dalam penelitian ini digunakan fillet dari ikan gurami ukuran + 1000g yang
diperoleh Kolam Babakan Sawah Baru Bogor. Fillet dibuat sesuai prosedur
SNI 01-4103.2-1992 yang meliputi proses pelumpuhan, pembuangan darah,
penampungan sementara, pemotongan/ penyayatan, pembuangan kulit dan
duri, dan perapihan. Sebelum dilakukan pemfilletan ikan di berok/puasakan

selama tiga hari untuk mengurangi bau lumpur.
Penelitian tahap pertama untuk menentukan bahan pencuci fillet yang
menghasilkan kualitas fillet paling baik. Digunakan lima jenis bahan pencuci
yaitu (1) air bersih, (2) air garam, (3) air jeruk nipis, (4) air jeruk nipis yang
ditambah garam dan (5) larutan klorin 10 ppm. Pengamatan dilakukan
terhadap parameter kesegaran ikan meliputi TPC, TVB, pH pada hari ke-0, 4,
8 dan 12 selama penyimpanan pada suhu 10oC. Penentuan bahan pencuci
didasarkan pada pengaruh signifikan terhadap nilai parameter kesegaran.
Percobaan mengunakan Rancangan Acak Lengkap dalam tiap pengamatan.

Bahan yang digunakan berupa air bersih dengan kualitas air minum (SNI 014103.2-1992), larutan garam 50g garam/ 1 l air bersih, larutan air jeruk nipis
(60 ml air jeruk/ 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g), larutan garam
yang ditambah air jeruk nipis, dan larutan klorin 10 ppm.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya pengaruh bahan pencuci fillet
terhadap nilai TPC, TVB dan umur simpan fillet. Bahan pencuci yang
memberikan efek paling paling baik adalah air jeruk yang ditambah garam
dan larutan klorin. Kedua larutan pencuci tersebut dapat mengurangi jumlah
total bakteri paling banyak (TPC paling kecil) pada fillet saat pencucian
sehingga mempengaruhi pertumbuhan bakteri selama penyimpanan.
Sampai hari ke-8 nilai log TPC fillet yang dicuci larutan klorin dan air

garam-jeruk sebesar 5.84 dan 5,06 menunjukkan bahwa fillet masih segar
(batas maksimum 7,6 menurut Ditjen POM) pada hari ke 12 semua fillet telah
melewati batas maksimum.
Penelitian tahap kedua bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi CO2 dalam
modifikasi atmosfir pengemasan (MAP) terhadap kualitas dan umur simpan
fillet ikan gurami yang telah mengalami perlakuan pencucian pada tahap
pertama. Ada delapan perlakuan dari kombinasi dua jenis pencucian (larutan
garam-jeruk/AGJ dan klorin/K)) dan empat konsentrasi CO2, yaitu (1) AGJCO2 0%, (2) AGJ-CO2 30%; (3) AGJ- CO2 45% (4) AGJ-CO2 60%; (5) KCO2 0%; (6) K- CO2 30%; (7) K- CO2 45% dan (8) K- CO2 60%. Pengamatan
dilakukan terhadap nilai TPC, TVB, pH, dan organoleptik fillet pada hari ke
0, ke-8, ke-14, ke-18, ke-21 dan ke-24 penyimpanan dalam suhu 5oC yang
dikemas dengan plastik polyetilen. Analisi statistik terhadap hasil pengamatan
dengan one-way Anova dalam RAL pada tiap-tiap pengamatan. Penentuan
umur simpan didasarkan pada persamaan regresi nilai organoleptik fillet.
Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 berpengaruh
terhadap nilai TPC, TVB dan organoleptik fillet dalam kemasan plastik
polyetilen yang disimpan pada suhu 5oC selama 24 hari. Pertumbuhan bakteri
dapat dihambat dengan penambahan konsentrasi CO2 dalam kemasan yang
ditunjukkan oleh nilai TPC dan TVB yang lebih rendah
dan nilai
organoleptik lebih tinggi.
Nilai log TPC pada awal penyimpanan 3,8 dan meningkat selama
penyimpanan pada semua perlakuan, dan tidak menunjukkan perbedaan
hingga ke-14 kecuali perlakuan tanpa CO2 denagn nilai TPC lebih tinggi.
Pada hari ke-18 terjadi perbedaan yang signifikan dimana konsentrasi CO2
45% dan 60% pada kedua pencucian menununjukkan nilai TPC yang lebih
rendah. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh konsentrasi CO2 dalam
kemasan. Kombinasi jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai TPC.
Nilai TVB meningkat sejalan dengan nilai TPC dan lamanya peyimpanan
fillet. Pada hari ke-0 TVB fillet 18,5 dan meningkat 35 s.d 56 mg/100g fillet
bervariasi menurut konsentrasi CO2.
Peningkatan konsentrasi CO2

berpengaruh pada nilai TVB. Konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua
jenis pencuci menunjukkan nilai TVB yang rendah, berbeda nyata mulai
penyimpanan ke-14 dan sampai hari ke-18 nilai TVB fillet besarnya 30
mgN/100g.
Nilai organoleptik fillet selama penyimpanan menurun dari 9 pada awal
penyimpanan hingga 1 pada hari ke 24. Konsentarsi CO2 45% pada kedua
bahan pencuci menghasilkan nilai organoleptik paling baik dimana sampai
hari ke-14 masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik (nilai 7).
Berdasarkan analisis regresi untuk menentukan umur simpan fillet dengan
batas penolakan nilai 5 diperoleh umur simpan 16 hari pada CO2 45% dan 12
hari filet tanpa CO2.
Dari hasil penelitaian tahap I dan II dapat disimpulkan bahwa penggunaan
bahan pencuci yang baik adalah air jeruk yang ditambah garam. Bahan
pencuci ini dapat meningkatkan umur simpan fillet hingga 8 hari pada suhu
10oC dan 12 hari pada suhu 5oC. Penambahan CO2 45% dapat meningkatkan
hingga 16 hari. Penggunaan air jeruk-garam setara dengan pencuci klorin 10
ppm.

ABSTRACT

SLAMET SUHARTO.
Handling on Gouramy (Osphronemous gouramy
Lacepede) Fillet with Modified Atmosphere Packaging. Supervised by
I WAYAN BUDIASTRA, and JOKO SANTOSO.
The aim of this study is to determine post harvest handling technology of
gouramy fillet (Osphronemous gouramy Lacepede) which packed with atmosphere
modification. This study was carried out in two steps. First step is to determine 5
treatments cleaner materials i.e. hygienic water cleaning, salt water, lime water, lime
water added with salt and 10 ppm chlorine to produce the best quality of fillet. The
result of this first step showed that salt water added with lime and 10 ppm chlorine
was the best cleaner materials based on the value of log TPC ( 3.75). Second step is
to determine the composition and effect of the packing atmosphere modification to
the Gouramy fillet quality and self life with 4 different composition of CO2 (0, 30, 45
and 60%). Concentration 45% of CO2 was the best gas composition of atmosphere
modification to produce fillet. Gouramy fillet that packed with MAP and kept on the
temperature 5 °C is still consumable up to sixteen days.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENANGANAN FILLET
IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede)
DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR

SLAMET SUHARTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Judul Tesis
Nama
NRP
Program Studi

: Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemous Gouramy
Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfer
: Slamet Suharto
: P 24500003
: Teknologi Pascapanen

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr
Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si
Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr
Tanggal Ujian : 7 September 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penanganan Fillet
Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi
Atmosfir.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan
kepada Bapak Dr. Ir. I. Wayan Budiastra, MAgr sebagai ketua komisi pembimbing
sekaligus sebagai

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen dan

Bapak

Dr.Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan

bimbingan, nasehat, arahan dan dorongan mulai dari penulisan

proposal, selama pelaksanaan penelitian berlangsung sampai selesainya penulisan
tesis ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas
Diponegoro, Dekan FPIK UNDIP, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia melalui Dana Pendidikan BPPS sehingga studi berjalan dengan
lancar. Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Laboratorium Teknik
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia TPG FATETA dan
Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
(PSSHB) IPB atas izin lokasi penelitian, serta Pak Wahid, Mbak Ari, Mbak Sri, Pak
Sulyaden, Pak Wawan, Majid, Hanum, Yosi, Pak Fajar atas bantuannya selama
penelitian. Terima kasih kepada orang tua, adik, kakak, istri dan anak tercinta atas
segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2010

Slamet Suharto

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Slamet Suharto dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada
tanggal 8 Juni 1970. Penulis merupakan putera keempat dari delapan bersaudara
pasangan Bapak Khunduri dan ibu Khulsum. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di
SD Negeri I Api-api Pekalongan, lulus tahun 1983. Sekolah Menengah Pertama
diselesaikan pada tahun 1986 di SMP I Wiradesa Pekalongan, Sekolah Menengah
Atas ditempuh di SMA I Pekalongan Jurusan Biologi lulus tahun 1989.
Pada tahun 1990 penulis melanjutkan di Jurusan Perikanan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus Strata 1
tahun 1996. Tahun 1999 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada tahun 2000
penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 di Institut Pertanian Bogor pada Program
Studi Teknologi Pascapanen (TPP). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dana
Pendidikan BPPS. Penulis telah menikah dengan Tri Yusufi Mardiana, MSi dan telah
dikaruniai tiga anak, Hakimah Nur Yusla, Ghatfan Mohammad Atiwiar dan Humam
Ahmad Zhadazein.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………

xi

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...

xii

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………

xiii

PENDAHULUAN……………………………………………………...
Latar Belakang ………………………………………………….

1

Tujuan dan Manfaat …………………………………………….

4

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Gurami …………………………………………………….

5

Komposisi Ikan …………………………………………………

6

Jeruk Nipis …………………………………..………………….

7

Garam Dapur ……………………………………………………

8

Klorin …………………………………………………………...

8

Kerusakan Daging Ikan …………………………………………

10

Modified Atmosphere Packaging………………………………..

14

Pengaruh CO2 terhadap Pertumbuhan Bakteri ………………...

14

Film Kemasan Plastik …………………………………………..

16

Penentuan Umur Simpan………………………………………..

17

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ……………………………………………...

18

Tahapan Penelitian ……………………………………………..

18

Prosedur Analisis …………………….…………………………

22

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ….……………………

25

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Proksimat Ikan Gurami………………………………..

27

Rendemen Fillet Gurami…………………..……………………

27

Deskriptif Fillet Gurami………………………………………..

27

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TPC………………………

29

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TVB………………… ….

29

Pengaruh Pencucian terhadap Nilai pH…………………………

31

Umur Simpan Fillet pada 10 oC…………………… …………..

31

Pengaruh MAP terhadap Nilai TPC………………………… …

32

Pengaruh MAP terhadap Nilai TVB……………………………

33

Pengaruh MAP terhadap Nilai pH………………………… …..

34

Nilai Organoleptik Fillet Gurami MAP…………………………

34

Perkiraan Umur Simpan ………………………………………

36

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ………………………………………………………..

39

Saran ……………………………………………………………

39

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………

40

DAFTAR GAMBAR
No

Halaman

1

Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004…………..

3

2

Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati…………

12

3

Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami
dalam MAP…………………………………………………….

20

4

Tren penurunan nilai organoleptik fillet gurami MAP selama
penyimpanan 24 hari…………………………………………

35

5

Fillet dicuci klorin, CO2 0%, 18 hari

37

6

Fillet dicuci klorin, CO2 45%, 18 hari

37

7

Fillet dicuci klorin, CO2 30%, 18 hari

37

8

Fillet dicuci klorin, CO2 60%, 18 hari

37

9

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 0%, 18 hari

38

10

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 45%, 18 hari

38

11

Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 30%, 18 hari

38

12

Fillet dicuci air garam jeruk, CO2 60%, 18 hari

38

DAFTAR TABEL
No

Halaman

1

Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy
Lac.) …………………………………………………………..

6

2

Kandungan gizi dalam tiap 100 g buah jeruk nipis dan beberapa
jenis jeruk lain…………………………………………………..

7

3

Komposisi kimia daging ikan gurami…………………………..

27

4

Nilai log jumlah total bakteri per g fillet pada beberapa
perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC
(rerata±sd, kol/g)…………………………………………………

29

5

Nilai TVB fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan
penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata±sd, mg/100 g)……………

30

6

Nilai pH fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan
penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata±sd)……………………….

31

7

Prediksi umur simpan dengan batas TVB maximal 30 mg
N/100g daging ikan ……………………………………………...

32

8

Nilai log jumlah total bakteri fillet gurami dengan perlakuan
kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC
(rerata±sd)………………………………………………………..

32

9

Nilai TVB fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan
modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata±sd)...

33

10

Nilai pH fillet ikan gurami
dengan perlakuan kemasan
modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata±sd)...

34

11

Nilai organoleptik fillet gurami selama penyimpanan 24 hari
dalam kemasan modifikasi atmosfir ………………..…………...

35

12

Perkiraan umur simpan fillet dengan persamaan regresi lama
penyimpanan dan skor organoleptik fillet ………………………

36

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

No
1

Proporsi air perasan jeruk nipis per buah jeruk ……………….

45

2

Perhitungan rendemen fillet gurami ……………………………

46

3

Form penilaian fillet segar ………. …………………………….

47

4

Data TVB, TPC, pH dan kadar air fillet pada percobaan 1 dan
anova masing-masing lama penyimpanan ……………………

50

5

Data nilai log TPC fillet gurami dalam MAP dan uji statistik …

57

6

Nilai TVB fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…………

61

7

Nilai pH fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…………….

65

8

Nilai kadar air fillet gurami dalam MAP dan uji statistik………

69

9

Nilai organoleptik fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…

73

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi karena
kandungan dan kualitas protein, kelengkapan asam-asam amino esensial,
kandungan kolesterol rendah dan rasanya yang enak. Namun ikan merupakan
bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable food)
sehingga memiliki umur simpan yang pendek dan daerah distribusi yang terbatas.
Hasil tangkapan ikan dan invertebrata dunia mencapai 100 juta metrik ton per
tahun, hanya 20% diproses sebagai makanan dan sepertiga yang dikonsumsi,
selebihnya merupakan limbah (Shahidi 1994). Untuk dapat dimanfaatkan dalam
waktu yang

lama perlu dilakukan penanganan dan atau pengolahan seperti

pembekuan,

pengeringan,

dan

pengalengan.

Akhir-akhir

ini

terdapat

kecenderungan adanya peningkatan permintaan akan ikan segar.
Sejalan dengan aktivitas manusia yang semakin meningkat, terdapat
kecenderungan konsumsi makanan yang lebih praktis. Konsumen menghendaki
bahan makanan yang segar, berkualitas, praktis, dan mudah penanganan dalam
memasak (ready to cook) atau dikenal dengan minimaly process.

Prinsip

minimaly proces yang dikerjakan pada tingkat produksi (on farm) selain untuk
memenuhi kebutuhan trend konsumen juga memiliki keuntungan lain diantaranya
mengurangi limbah organik kota dan pemanfaatan limbah oleh petani. Menurut
Silva dan Dean (2001), diversifikasi bentuk sajian yang menarik dan diikuti oleh
upaya pemasaran intensif pada industri telah meningkatkan konsumsi perkapita
terhadap ikan cat fish dari 0.41 pound menjadi 1.07 pound selama 10 tahun
terakhir di USA.
Pada prinsipnya kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan tetapi masih
dapat dipertahankan untuk jangka waktu tertentu.

Teknologi pascapanen

memiliki peranan yang sangat penting dalam mempertahankan kesegaran ikan
untuk waktu yang lebih lama, sehingga dapat mencapai distribusi yang lebih luas.
Salah satu teknologi dalam mempertahankan kesegaran ikan adalah Modified
Atmosphere Packaging (MAP).

Teknologi ini pada prinsipnya mengatur

komposisi gas dalam lingkungan kemasan yang dikombinasikan dengan
penyimpanan pada suhu rendah untuk mempertahankan kesegaran ikan dan
memperpanjang umur simpan.

Manfaat lain dari MAP adalah praktis dalam

penanganan (handling), transportasi, menarik konsumen dan memungkinkan
ketersediaan produk secara kontinyu (Pastoriza et al. 1996).
Beberapa peneliti telah melaporkan tentang metode penyimpanan dan
pengemasan dengan sistem atmosfir termodifikasi, diantaranya Brown et al.
(1980), pada ikan rock fish dan salmon menggunakan gas CO2 sebesar 20% dan
40% dibandingkan dengan tanpa gas CO2; Banks et al. (1980), pada fin fish
menggunakan gas CO2 dan tanpa CO2 (vacum); Lannelogue et al. (1982), pada
udang brown shrimp menggunakan campuran gas CO2 dengan O2, CO2 dengan N2
dan CO2 100%; Cann (1988), pada ikan cod menggunakan campuran gas
CO2/N2/O2 dengan perbandingan 40/30/30 persen; dan Silva et al. (1994) pada
fillet ikan cat fish menggunakan campuran gas CO2/N2/O2 dengan perbandingan
90/7,5/2,5 persen.

Hampir semua peneliti di atas menyimpulkan, bahwa

penyimpanan ikan segar dengan metode MAP yang menggunakan gas CO2, dapat
memperpanjang umur simpan sekitar 12-15 hari. Menurut Cann (1988), lamanya
umur simpan ikan segar dengan metode MAP dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu spesies, kualitas awal ikan sebelum disimpan, suhu penyimpanan dan
campuran gas yang digunakan.
Ikan gurami (Osphronemous gouramy Lacepede) merupakan salah satu
jenis ikan yang populer dan banyak digemari bagi masyarakat Indonesia. Ikan ini
sering menjadi menu khusus dalam beberapa restoran dan memiliki harga yang
relatif

mahal.

Produksi nasional dalam beberapa tahun terakhir mengalami

peningkatan, yaitu 8 674 ton pada tahun 1997 menjadi 23 758 ton pada tahun
2004 (Gambar 1 ).

2

25000
22.666

23.758

19.027

20000

15000

14.065

16.438

9.665

10000

9.820
8.674

5000

0

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Gambar 1 Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004 (dalam ton).

Pada umumnya ikan gurami ukuran konsumsi dipasarkan dalam keadaan
masih hidup. Pemasaran ikan hidup membutuhkan penanganan yang kompleks,
mulai dari transportasi, penyajian, perawatan dan pelayanan. Transportasi ikan
hidup selain membutuhkan penanganan khusus, juga biaya yang tinggi
dikarenakan kapasitas yang terbatas. Ikan gurami juga memiliki daya tahan yang
berbeda dengan ikan lele atau ikan mas yang dapat diangkut dengan kepadatan
lebih tinggi. Penyajian ikan gurami hidup membutuhkan wadah khusus seperti
akuarium dan pelayanan penjualan yang berbeda dengan ikan lain.
tersebut

Hal-hal

mengakibatkan biaya pemasaran ikan hidup menjadi tinggi dan

mengakibatkan harga jual ditingkat konsumen relatif mahal.
Peningkatan produksi ikan gurami yang tidak disertai perluasan pasar
mengakibatkan harga berfluktuasi sehingga upaya untuk menambah diversifikasi
produk perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang beragam dan
meningkatkan konsumsi. Perlu diupayakan bentuk sajian ikan gurami segar yang
praktis, mudah dan menarik serta aman diantaranya dengan teknik minimally
process seperti dalam bentuk fillet yang dikemas secara MAP.
Menurut Phillips (1996) teknik MAP yang dikombinasi dengan prosedur
dekontaminasi

seperti penggunaan trisodium fosfat, larutan buffer asam

laktat/sodium laktat atau teknik irradiasi pada daging dan ikan dapat
meningkatkan umur simpan dan secara mikrobiologis aman. Penggunaan bahan
kimia seperti klorin sebagai bahan pencuci untuk mengurangi/menghilangkan

3

kontaminasi sejauh ini masih digunakan sampai batas diperbolehkan. Namun
kebutuhan untuk menyediakan makanan yang sehat dan aman menuntut pencarian
bahan organik sebagai alternatif bahan pencuci fillet. Secara tradisional perasan
air jeruk nipis digunakan sebagai materi penghilang bau amis pada ikan sebelum
dimasak.
Dalam penelitian akan digunakan larutan air jeruk nipis, garam, klorin dan
air bersih sebagai bahan pencuci fillet ikan gurami yang dikemas dengan teknik
MAP.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan
pascapanen yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP
dengan mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan
umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi
teknik penanganan fillet ikan gurami.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Gurami
Sistematika ikan gurami (Osphronemus gouramy Lacepede) menurut
Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Bangsa

: Labirinthici

Subbangsa

: Anabantoidei

Suku

: Anabantidae

Marga

: Osphronemus

Jenis

: Osphronemus gouramy Lacepede

Gurami memiliki bentuk fisik yang khas, badannya pipih, agak panjang
dan lebar. Badan tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Mulutnya kecil,
letaknya miring, tidak tepat di bawah ujung

moncong. Bibir bawah terlihat

menonjok sedikit dibanding bibir atas. Ujung mulut dapat disumbulkan sehingga
nampak monyong. Bentuk kepala gurami akan menjadi tumpul bila sudah besar
dan jantan yang sudah tua terdapat tonjolan seperti cula. Punggungnya tinggi dan
mempunyai sirip perut dengan jari-jari yang sudah berubah menjadi alat peraba.
Badan gurami pada umumnya berwarna biru kehitaman dan bagian perut
berwarna putih. Warna tersebut akan berubah

menjelang dewasa yaitu pada

bagian punggung berwarna kecoklatan dan pada bagian perut berwarna keperakan
atau kekuningan. Ujung sirip punggung dan sirip dubur dapat mencapai pangkal
ekor. Sirip berbentuk busur. (Saanin 1984).
Gurami dapat tumbuh hingga 65 cm dan berat lebih dari 10 kg. Di Jawa
ikan ini dikenal dengan nama gurami, grameh atau brami, sedangkan di Sumatera
dan Kalimantan gurami dikenal dengan nama kalui, sialui, kalua, kalau dan kalwe
(Khaeruman 2003).

5

Komposisi Ikan
Ikan mempunyai komposisi kimia yang bervariasi baik antar spesies, antar
individu dalam satu spesies yang sama dan bahkan antar bagian dalam satu
individu ikan.

Menurut Stansby (1963), variasi tersebut disebabkan karena

pengaruh beberapa faktor antara lain umur, laju metabolisme dan aktivitas
pergerakannya. Disamping faktor-faktor di atas menurut Spinelli dan Dassow
(1982), variasi tersebut juga dipengaruhi oleh musim, lokasi penangkapan dan
tingkat kematangan seksual ikan.
Ikan sebagai sumber protein hewani, mempunyai nilai gizi yang tinggi.
Hal ini disebabkan karena kandungan proteinnya yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya; kandungan kolesterolnya yang rendah; lemak ikan mengandung
asam lemak tak jenuh; minyak ikan merupakan sumber vitamin A dan juga
mengandung vitamin B, C, D, E dan K; ikan mengandung mineral-mineral dengan
kadar yang tinggi; dan daging ikan mempunyai sedikit tenunan pengikat sehingga
mudah dicerna (Winarno 1993).
Menurut Winarno (1993), protein hewani disebut juga sebagai protein
lengkap dan bermutu tinggi, karena mengandung semua asam-asam amino
essensial dalam jumlah cukup dan susunannya mendekati sususnan asam amino
yang terdapat dalam tubuh manusia. Komposisi daging ikan secara umum terdiri
dari air sebesar 60-80%, protein 18-30%, lemak 0.1-2.2%, karbohidrat (glikogen)
0.0-1.0% dan sisanya adalah vitamin dan mineral (Afrianto dan Liviawaty 1989).
Adapun komposisi kimia daging ikan gurami disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.)
Unsur Gizi
Kadar air
Kadar abu
Protein
Lemak

Persentase Basis Basah
76 %
5.28 %
78.04 % bk
7.90 % bk

Sumber : Sarifah (1996)

6

Jeruk Nipis
Jeruk nipis (Citus aurantifolia Swingle) atau sering disebut jeruk mipis
(Sunda), jeruk pecel (Jawa) dan jeruk dhurga (Madura) merupakan jenis jeruk
yang banyak mengandung air, rasanya sangat masam dan aromanya sedap
(Sarwono 2001). Jeruk memiliki kandungan gizi yang baik dan mengandung zat
bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya perdarahan pada pembuluh
nadi, kemunduran mental dan fisik serta mengurangi luka

memar (brueise).

Jeruk nipis sering digunakan sebagai komponen jamu tradisional, pencampur
berbagai bahan masakan dan digunakan untuk menghilangkan bau amis ikan.
Pada Tabel 2. disajikan kandungan gizi beberapa jenis jeruk.
Tabel 2 Kandungan gizi dalam tiap 100 gram buah jeruk nipis dan beberapa jenis
jeruk lain
Kandungan gizi
Kalori (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vit. A (SI)
Vit. B1 (mg)
Vit. C (mg)
Air (g)
Bagian yang dapat
dimakan (%)
Sumber : Sarwono (2001)

Jumlah
Jeruk nipis
37.00
0.80
0.10
12.30
40.00
22.00
0.60
0.04
27.00
86.00
76

Jeruk manis
45.00
0.90
0.20
11.20
33.00
23.00
0.40
190.00
0.08
49.00
87.20
72

Jeruk keprok
44.00
0.80
0.20
10.90
33.00
23.00
0.40
420.00
0.07
31.00
87.30
71

Jeruk besar
48.00
0.60
0.30
12.40
23.00
27.00
0.50
20.00
0.04
43.00
86.30
62

Selain kandungan gizi yang baik jeruk nipis merupakan sumber minyak
atsiri “lemonen” dan asam sitrat. Kandungan asam sitrat pada jeruk nipis
mencapai 6-7% (Sarwono 2001). Asam sitrat merupakan suatu “sekuestran” (zat
pengikat logam) yang paling sering digunakan dalam bahan makanan selain fosfat
dan garam etilen diamine tetra asetat (EDTA) (Winarno 1997). Lebih lanjut
diterangkan bahwa sekuestran adalah bahan penstabil bahan makanan dengan

7

mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga mampu mengalahkan
sifat dan pengaruh jelek logam tersebut terhadap bahan.
Logam

terdapat pada bahan alami

dalam bentuk senyawa komplek

misalnya Mg pada klorofil; Fe pada ferritin, rofin, porfirin serta haemoglobin; Co
pada vitamin B12; Cu, Zn dan Mn dalam berbagai enzim. Ion-ion logam ini dapat
terlepas dari ikatan kompleksnya karena hidrolisis maupun degradasi. Ion logam
bebas mudah bereaksi mengakibatkan perubahan warna, ketengikan, maupun
perubahan rasa.

Sekuestran akan mengikat ion logam sehingga menjaga

kestabilan bahan, dari perubahan warna, rasa dan tekstur.
Garam Dapur
Garam dikenal sebagai bahan pengawet paling tua, terutama dalam
pembuatan ikan asin (Hadiwiyoto 1993). Penggunaan garam disebabkan garam
memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1)

garam dapur dapat menyebabkan

berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan aktivitas air
menjadi rendah, (2) menyebabkan protein daging dan protein mikroba
terdenaturasi, (3) menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan
tekanan osmosis, dan (4) ion klorida yang terdapat dalam garam dapur
mempunyai daya toksisitas yang tinggi pada mikroba dan dapat memblokir sistem
respirasi.
Penggunaan garam dapur dalam penanganan ikan segar telah banyak
digunakan terutama dalam pembuatan es air garam, es air laut maupun air garam
yang didinginkan. Selain karena sifat bakteriostatisnya, garam juga menyebabkan
suhu yang dihasilkan lebih rendah dibanding air murni. Penggunanan air garam
juga lazim digunakan untuk pencucian

udang maupun ikan segar sebelum

dilakukan penanganan yang lain seperti pembekuan (Ilyas 1983).

8

Klorin
Klorin sering digunakan sebagai saniter di perusahaan-perusahaan
perikanan (Ilyas 1983). Pemakaian klorin bertujuan untuk mengurangi jumlah
bakteri yang ada pada bahan karena sifat antimikroba dari klor. Suparno (1992)
menyarankan perendaman 100 ppm selama 5-10 menit untuk mengurangi jumlah
bakteri pada udang windu yang akan dibekukan.
Menurut Wijayanti (1999) mekanisme klorin sebagai sanitizer yang
diharapkan dapat membunuh bakteri belum sepenuhnya diketahui. Namun diduga
asam hipoklorit (HOCl) yang merupakan senyawa paling aktif akan menghambat
oksidasi glukosa dalam sel mikroorganisme, dengan cara menghambat enzimenzim yang yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat.
Klorin cair (Cl2) atau natrium hipoklorit (NaOCl) dalam air akan
terhidrolisis membentuk asam hipoklorit (HOCl). Selanjutnya asam hipoklorit
akan terdisosiasi membentuk ion hidrogen (H+) dan ion hipoklrorit (OCl-)
menurut reaksi berikut :
Cl-2 + H2OÆ HOCl + H+ + ClNaOCl + H2O Æ NaOH + HOCl
HOCl Æ H+ + OClAsam hipoklorit akan merusak membran sel kemudian mengoksidasi
kelompok sulfidril dalam protein sehingga menyebabkan inaktivasi enzim. Klorin
juga merusak lapisan pelindung spora bakteri (Garbut 1997).
Menurut Winarno (1994) klorin dalam larutan membentuk senyawa HOCl
(asam hipoklorit) yang berfungsi sebagai senyawa aktif dan bekerja membunuh
dan menghancurkan bakteri. Pembentukan HOCl sangat tergantung pada pH.
Pada pH 4.0-5.0, HOCl terbentuk secara maksimal. Kurang atau lebih dari pH
tersebut, pembentukan HOCl menurun, demikian pula efektivitasnya. Dari segi
lain, pada pH kurang dari 5, larutan klorin bersifat sangat korosif. Agar tidak
korosif tetapi daya bunuhnya masih tetap tinggi, larutan dijaga agar berada pada
pH 6.0-7.5. Natrium dan kalsium hipoklorida akan meningkatkan pH larutan.
Semakin tinggi hipoklorida yang ditambahkan ke dalam larutan semakin tinggi

9

pH larutan tersebut yang mengakibatkan sanitizer semakin tidak efektif, karena
HOCl yang diproduksi semakin sedikit. Bila air yang digunakan bersifat basa,
harus ditambahkan asam agar menjaga agar pH larutan berada pada kisaran 6.57.0 (Winarno 1994).
Air yang digunakan sebagai bahan penolong dalam pengolahan ikan harus
memenuhi persyaratan kualitas air minum. Air yang digunakan dalam pencucian
ikan dapat ditambahkan klorin dengan kadar yang tidak melebihi 10 ppm. Selain
klorin juga dapat dilakukan dengan cara lain yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas air dalam pencucian (Kep. 01/Men/2002). Akan tetapi
penggunaaan klorin secara terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada kulit
(Snyder 2004).
Kerusakan Daging Ikan
Ikan merupakan bahan makanan yang mudah rusak (perishable food), hal
ini disebabkan kandungan glikogen yang rendah (Winarno 1993).

Menurut

Frazier (1967) setelah ikan mati, perubahan mula-mula ialah ikan mengalami
rigor mortis, yaitu proses dimana ikan mengalami kejang, kaku dan mengeras,
selanjutnya terjadi proses autolisis yang menyebabkan sebagian cairan daging
keluar dari sel dan ini merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Menurut Eskin (1990) suatu rangkaian reaksi biokimia dan fisikokimia
terjadi pada saat ikan mati hingga sampai dikonsumsi sebagai edible fish
Periode ini dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Kondisi prerigor, pada saat jaringan masih lembut dan plieble dengan sifat
kimia seperti turunnya ATP dan kreatin fosfat sebagai aktivitas glikolisis.
Glikolisis pascamati menghasilkan perubahan glikogen menjadi asam
laktat, sehingga pH turun. Banyaknya perubahan pH bervariasi dari satu
spesies dengan spesies lain, demikian juga jenis ototnya. Pada hewan
yang well-rested memiliki cadangan glikogen yang besar sehingga
keadaan pascamati menghasilkan nilai pH yang lebih rendah dibanding
daging yang dihasilkan oleh hewan yang exhausted pada saat
penyembelihan.
10

2. Perkembangan selanjutnya ialah kondisi kejang dan kaku pada otot, yang
secara umum dikenal sebagai rigor mortis. Kejadian ini diikuti dengan
turunnya pH dan dikaitkan dengan formasi aktomiosin.

Hilangnya

ekstensibilitas berkaitan dengan formasi aktomiosin menghasilkan slowly
of first dan kemudian extremly rapidly. Secara normal awal dari rigor
mortis terjadi 1-12 jam pascamati dan bisa berakhir antara 15-20 jam pada
mamalia, bergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pada ikan
rigor mortis

terjadi lebih singkat sekitar 1-7 jam pascamati dengan

beberapa faktor yang mempengaruhi durasinya.
3. Postrigor, setelah rigor mortis berakhir, maka terjadi tingkat post rigor
yaitu kembali melunaknya tekstur daging ikan.

Tingkat postrigor

nerupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis,
pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan.

Tingkat postrigor ditandai

dengan adanya amoniak pada proses autolisis. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana,
yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH
jaringan ikan. Keadaan basa, adanya hasil pemecahan protein, lemak dan
karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
selanjutnya

ikan

akan

mengalami

kerusakan

hingga

mengalami

kebusukan. Proses perubahan biokimiawi dari awal hingga busuk
diuraikan secara skematis oleh Eskin (1990) seperti disajikan pada
Gambar 2.
Menurut Hadiwiyoto (1993) kerusakan ikan terjadi secara biokimiawi dan
mikrobiologis. Kerusakan biokimiawi dilakukan oleh enzim-enzim dalam tubuh
ikan yang masih aktif walaupun ikan telah mati namun berubah fungsi menjadi
perusak. Enzim akan menguraikan senyawa makromolekul menjadi senyawasenyawa lebih sederhana sampai akhirnya akan terbentuk senyawa yang mudah
menguap sebagai indikasi ikan telah membusuk.

11

Gambar 2 Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati (Eskin 1990).
Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh aktivitas bakteri. Daging ikan
merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri, ia menyediakan sumber
nitrogen, karbon dan nutrien lain yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan
mikroflora. Namun senyawa protein, lipida dan karbohidrat kompleks tidak

12

langsung dapat digunakan oleh bakteri. Proses autolisis daging akan membantu
menyediakan senyawa sederhana yang segera dapat dipakai mikroba. Mikroba
juga memproduksi enzim-enzim pengurai untuk mempercepat mendapatkan
senyawa sederhana. Dengan demikian proses autolisis dan aktivitas mikroflora
bersifat sinergis dalam proses kerusakan daging ikan Hadiwiyoto (1993).
Pada tubuh ikan terdapat berjuta-juta bakteri dan mikroorganisme lain.
Konsentrasi bakteri terutama terdapat pada selaput lendir permukaan tubuh ikan,
insang, dan isi perut atau usus (Burgess et al. 1967; Shewan 1961).
dasarnya daging ikan tidak mengandung bakteri.

Pada

Kepadatan bakteri pada

permukaan tubuh ikan sekitar 102-107 sel/cm2 dan cairan isi perut 103-108 sel/cm3
serta 103- 107 sel/gram jaringan insang. Diantara bakteri-bakteri yang ditemukan
antara lain Pseudomonas, Vibrio, dan Mycobacterium spp, diantaranya bersifat
patogen Hadiwiyoto (1993).
Menurut Graikoski (1973) dari hasil isolasi bakteri pada insang, saluran
pencernaan dan lendir kulit ikan ternyata Pseudomonas sp meliputi 60% dari
jumlah total

mikroba, dan sekitar 20% terdiri dari Corynebacterium sp,

Flavobacterium sp, dan Micrococus sp. Sisanya terdiri dari campuran spesies
Alcaligenes, Proteus, Serratia dan Escherichia. Lebih jauh dijelaskan bahwa
komposisi dan konsentrasi bakteri tergantung dari kebiasaan makan ikan dan jenis
makanan yang dicerna.

Disamping itu dipengaruhi oleh tempat/ lingkungan

dimana ikan tersebut ditangkap.
Frazier (1967) menyatakan bahwa jenis-jenis mikroba yang menyebabkan
pembusukan pada ikan bervariasi menurut suhu penanganan ikan tersebut. Pada
umumnya jenis psikrofilik dari spesies Pseudomonas lebih dominan, diikuti
spesies Achromobacter dan Flavobacterium, sedangkan pada suhu tinggi adalah
genus Micrococcus dan Bacillus.
Modified Atmosphere Packaging
Menurut Garthwaite (1995) pada awal 1930-an ditemukan bahwa 1020% CO2 dalam atmosfir bahan makanan dapat menekan pertumbuhan

13

Pseudomonas spp dan organisme pembusuk lain pada penyimpanan dingin di
bawah 4 oC. Efek fisiologis dari CO2 ini digunakan dalam teknologi ikan untuk
mengontrol pertumbuhan Pseudomonas spp dalam pendinginan ikan dan hasilnya
dapat memperpanjang umur simpan produk ikan dingin.
Pengemasan

ikan

dengan

komposisi

atmosfir

khusus

dapat

memperpanjang umur simpan hingga 30% jika suhu penyimpanan dipertahankan
di bawah 2 oC

Komposisi utama dari atmosfir kemasan adalah CO2, O2 dan N2.

Kemasan dengan merubah komposisi atmosfir ada dua jenis yaitu Controlled
Atmosphere Packaging (CAP) dan Modified Atmosphere Packaging (MAP).
Sistem Modified Atmosfer Packaging dilakukan dengan cara memasukkan ikan
kedalam kantong plastik (kemasan) kemudian dimasuki campuran gas sebelum
di-sealing. Plastik yang digunakan memiliki permiabilitas rendah terhadap gas
yang digunakan (Garthwaite 1995).
Pengaruh CO2 terhadap Pertumbuhan Bakteri
Mekanisme bagaimana CO2 dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri,
belum ada penjelasan secara sempurna.
keseluruhan

Namun pengaruh MAP secara

dapat menekan pertumbuhan bakteri pada lag fase yang akan

meningkatkan umur simpan produk hasil perikanan sekitar 50 –100% (Statham
1984).
Menurut Banks et al. (1980), ada dua teori yang dapat menjelaskan
mengapa CO2 dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Teori pertama
menyatakan bahwa dalam tubuh ikan terjadi reaksi antara CO2 dengan air (H2O)
dari produk. Reaksi ini menghasilkan asam karbonat dan ion hidrogen, menurut
reaksi sebagai berikut :
CO2 + H2O Æ H2CO3 Æ H+ + HCO3
Dengan adanya reaksi tersebut akan menyebabkan pH tubuh ikan rendah.
Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang sensitif
terhadap kaadaan asam, sedangkan mikroorganisme yang toleran terhadap asam
(seperti bakteri asam laktat) pertumbuhannya tetap berlangsung pada pH rendah.

14

Bakteri-bakteri pembusuk umumnya adalah sensitif terhadap keadaan asam (pH
rendah), sehinga perlakuan CO2 akan menghambat pertumbuhannya.
Teori yang kedua, adalah bahwa CO2 mempengaruhi enzim spesifik yang
terdapat pada bakteri, dimana konsentrasi CO2 yang tinggi akan menghambat
aktivitas metabolisme bakteri yang menyebabkan pertumbuhannya menjadi
terganggu. Bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri pembusuk pada ikan
segar (seperti

Pseudomonas spp) lebih sensitif terhadap CO2 dibandingkan

dengan bakteri Gram positif (seperti Lactobacillus sp).
Sistem penyimpanan modifikasi atmosfir dengan CO2 tinggi dapat
merubah distribusi bakteri Gram positif dan Gram negatif.

Flora ikan yang

dikemas dengan tanpa CO2 didominasi oleh bakteri Gram negatif yang bersifat
pembusuk dan sebaliknya ikan yang dikemas dengan CO2 didominasi oleh bakteri
Gram positif.
Menurut Lannelongue et al. (1982) tingkat konsentr