The strategy in handling level differences of Entrepreneurship Group (KUBE) development based on KUBE development typology: A case study at RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat

(1)

S

S

TR

T

R

AT

A

TE

EG

GI

I

D

D

AL

A

LA

AM

M

M

ME

EN

N

GA

G

AT

T

AS

A

SI

I

P

PE

ER

RB

B

ED

E

D

AA

A

AN

N

T

T

IN

I

N

GK

G

KA

AT

T

P

PE

ER

RK

KE

E

MB

M

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KE

E

LO

L

OM

M

PO

P

OK

K

U

US

SA

AH

HA

A

B

BE

E

RS

R

SA

AM

MA

A

(

(K

KU

UB

B

E

E

)

)

M

ME

E

NG

N

GA

AC

C

U

U

P

P

AD

A

D

A

A

T

T

IP

I

PO

OL

LO

OG

GI

I

P

P

ER

E

R

KE

K

EM

MB

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KU

UB

BE

E

(STUDI KASUS DI RW 01 KELURAHAN KEBON WARU KECAMATAN

BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT)

Heni Holiah

Komisi Pembimbing :

Dr. Er. I

r. Pudji

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

IN

N

S

S

TI

T

IT

T

UT

U

T

P

P

ER

E

R

T

T

AN

A

N

IA

I

AN

N

B

BO

OG

GO

OR

R

BOGOR


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pengembangan masyarakat dengan judul “Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat”, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2006

HENI HOLIAH NRP A 154050115


(3)

ABSTRAK

HENI HOLIAH, Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, Dibimbing oleh WINATI WIGNA dan NURMALA K. PANDJAITAN.

Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan pada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami kegagalan disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya.

Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat perkembangan pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3, walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Mengacu pada tipologi perkembangan, KUBE HPMBK-1 bertipologi berkembang sedangkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.

Oleh karena itu, perlu disusun strategi dalam mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE agar tingkat perkembangan KUBE relatif sama sehingga keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.

Tingkat perkembangan KUBE yang berbeda menimbulkan permasalahan umum dan khusus yang dihadapi masing- masing KUBE. Permasalahan umum adalah permasalahan yang sama-sama dihadapi ketiga KUBE. Pemasalahan khusus hanya dihadapi oleh KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3. Jadi kedua KUBE tersebut selain menghadapi permasalahan umum juga menghadapi permasalahan khusus. Hal inilah yang menyebabkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 masih tetap berada pada tipologi tumbuh. .

Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (tipologi tumbuh): 1) Pengurus tidak menjalankan tugas sesuai dengan pembagian kerja yang telah ditetapkan, 2) Anggota kurang mematuhi aturan kelompok yang telah disepakati bersama, 3) Kurangnya kerjasama antar anggota dalam mengembangkan KUBE, 4) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha,

5) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 6) Kurangnya jaringan kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.

Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-1 (tipologi berkembang): 1) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 2) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha, 3) Kurangnya jaringan

kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.

Permasalahan pada ketiga KUBE perlu dicarikan solusinya agar dalam tingkat perkembangannya tidak mengalami ketimpangan. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi berupa program yang diarahkan untuk mengatasi ketimpangan tingkat perkembangan KUBE. Program pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh adalah peningkatan motivasi dan pengelolaan KUBE melalui: 1) Reorganisasi pengurus, 2) Peningkatan kesadaran


(4)

kerjasama antar anggota, 4) Peningkatan kemampuan permodalan, 5) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam pengelolaan KUBE, 6) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Program pada KUBE HPMBK-1

bertipologi berkembang adalah peningkatan pengelolaan KUBE melalui: 1) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam

pengelolaan KUBE, 2) Peningkatan kemampuan permodalan, 3) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Untuk mewujudkan program tersebut, maka perlu keterlibatan Departemen Sosial, Dinas Sosial dan Pemerintahan Kota Bandung.


(5)

ABSTRACT

HENI HOLIAH. The strategy in handling level differences of Entrepreneurship Group (KUBE) development based on KUBE development typology: A case study at RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat. Advised by Winati Wigna and Nurmala K. Pandjaitan.

Poverty is a condition of inability to fulfill the basic needs based on values or norms in the community. The empowerment strategy used is one intended to handle poverty using a group approach through KUBE. Yet, there are a lot of KUBEs organized by the government fail to achieve their goals because of the ir unification in the development strategy.

The study results showed that there were level differences of development in KUBE of “Bhakti Kesuma Organized Community Empowerment-1” (KUBE HPMBK-1), KUBE HPMBK-2, and KUBE HPMBK-3, even when those KUBE began to organize they were in the same condition and quality. Referring to the development typology, the typology of KUBE HPMBK-1 was in the developing one, KUBE HPMBK-2 and 3 were in the growing typology. The differences of KUBE typology indicated the lameness in KUBE development level.

Accordingly, the formulation of strategy in handling the level differences of KUBE development is needed based on KUBE development typology so that there would be a unification of KUBE development. The successful of KUBE could be reached not only in organizational but also in economical and social aspects.

The KUBE differences made the emergence of general and special problems experienced by each KUBE. The general problem was experienced by those three KUBE, while special problem was only faced by KUBE HPMBK-2 and 3. This condition made KUBE HPMBK-2 and 3 were still in a growing position.

Problems faced by KUBE HPMBK-2 and 3 (growing typology) were: 1) The agency officers do not work suitable with their job description, 2) The members of KUBE do not obey the rules appropriately, 3) The lack of

co-operation among the members in developing KUBE, 4) The lack of capitalization for business development, 5) The lack of knowledge and skills in organizing KUBE, 6) The lack of networking or partnership with the other parties. Problems faced by KUBE HPMBK-1 (developing typology) are: 1) The lack of knowledge and skills to organize KUBE, 2) The lack of capitalization to develop the business, 3) The lack of networking or partnership with other parties.

The problems that are faced by the three KUBE need to be overcome in order that there will not be the lameness in KUBE. Therefore, KUBE needs a strategy in the form of a program that is intended to handle the lameness of KUBE development level. The programs on KUBE HPMBK-2 and 3 are increasing the motivation and organization of KUBE through:1) Officers re-organization, 2) Increasing the consciousness of members toward the rules agreed by all members, 3) Increasing the cooperation among the members, 4) Increasing the capitalization, 5) Increasing the knowledge and skills of the officers in organizing KUBE, 6) Developing the networking/partnership. The KUBE HPMBK-1 program is increasing the KUBE organization through: 1) Increasing the

knowledge and skills of the officers and members in organizing KUBE, 2) Increasing the capitalization capacity, 3) Developing networking/partnership. It

should be an involvement of Social Department, Social Agency and Bandung government to realize those programs.


(6)

S

S

TR

T

R

AT

A

TE

EG

GI

I

D

D

AL

A

LA

AM

M

M

ME

EN

N

GA

G

AT

T

AS

A

SI

I

P

PE

ER

RB

B

ED

E

D

AA

A

AN

N

T

T

IN

I

N

GK

G

KA

AT

T

P

PE

ER

RK

KE

E

MB

M

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KE

E

LO

L

OM

M

PO

P

OK

K

U

US

SA

AH

HA

A

B

BE

E

RS

R

SA

AM

MA

A

(

(K

KU

UB

B

E

E

)

)

M

ME

E

NG

N

GA

AC

C

U

U

P

P

AD

A

D

A

A

T

T

IP

I

PO

OL

LO

OG

GI

I

P

P

ER

E

R

KE

K

EM

MB

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KU

UB

BE

E

(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal,

Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Komisi Pembimbing :

Dr. Er. Ir. Pudji

Heni Holiah

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat

memperoleh Gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat

S

SE

E

KO

K

OL

LA

AH

H

P

PA

AS

SC

C

AS

A

SA

AR

RJ

JA

AN

N

A

A

I

IN

N

S

S

TI

T

IT

T

UT

U

T

P

P

ER

E

R

T

T

AN

A

N

IA

I

AN

N

B

BO

OG

GO

OR

R

2006


(7)

Judul Tugas Akhir : Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi perkembangan KUBE

(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,

Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : HENI HOLIAH Nomor Pokok : A.154050115

Disetujui, Komisi Pembimbing :

Dra. Winati Wigna, MDS Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(9)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat dengan judul Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan karena dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Responden dan informan yang telah memberikan data-data yang diperlukan

dalam kajian.

4. Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial Departemen Sosial RI.

5. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

6. Drs. Nelson Aritonang MSSW, selaku Penguji dari Luar Komisi Pembimbing. 7. Dra. Neni Kusumawardhani, MS selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan

Sosial (STKS) Bandung.

8. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB)

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogo r (IPB) dan STKS Bandung.

10.Orang tuaku dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

11.Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tugas akhir ini.

Semoga kajian ini bermanfaat bagi semua.

Bogor, Nopember 2006 Heni Holiah


(10)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Rumusan Masalah... 5

Tujuan Kajian... 6

Manfaat Kajian... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Kemiskinan... 7

Pemberdayaan Masyarakat... 9

Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat... 13

Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)... 15

Kelompok Usaha Bersama (KUBE)... 17

Kerangka Pemikiran ... 22

METODE KAJIAN ... 24

Tipe dan Aras Kajian... 24

Strategi Kajian... 24

Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kajian... 25

Metode Pengumpulan Data... 26

Analisis Data ... 29

Penyusunan Program... 29

PETA SOSIAL KELURAHAN KEBON WARU ... 30

Gambaran Lokasi ... 30

Masalah Kemiskinan Dalam Komunitas... 31

KERAGAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) HIMPUNAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BHAKTI KESUMA (HPMBK) DI KELURAHAN KEBON WARU ... 43

Deskripsi Program ... 43

KUBE sebagai Aspek Pengembangan Sosial dan Ekonomi... 44

Sejarah Pembentukan KUBE... 47

Keanggotaan dan Jenis Usaha serta Permodalan KUBE ... 49

Sumber Daya Manusia dalam KUBE... 54

Sruktur KUBE... 55


(11)

S

S

TR

T

R

AT

A

TE

EG

GI

I

D

D

AL

A

LA

AM

M

M

ME

EN

N

GA

G

AT

T

AS

A

SI

I

P

PE

ER

RB

B

ED

E

D

AA

A

AN

N

T

T

IN

I

N

GK

G

KA

AT

T

P

PE

ER

RK

KE

E

MB

M

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KE

E

LO

L

OM

M

PO

P

OK

K

U

US

SA

AH

HA

A

B

BE

E

RS

R

SA

AM

MA

A

(

(K

KU

UB

B

E

E

)

)

M

ME

E

NG

N

GA

AC

C

U

U

P

P

AD

A

D

A

A

T

T

IP

I

PO

OL

LO

OG

GI

I

P

P

ER

E

R

KE

K

EM

MB

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KU

UB

BE

E

(STUDI KASUS DI RW 01 KELURAHAN KEBON WARU KECAMATAN

BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT)

Heni Holiah

Komisi Pembimbing :

Dr. Er. I

r. Pudji

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

IN

N

S

S

TI

T

IT

T

UT

U

T

P

P

ER

E

R

T

T

AN

A

N

IA

I

AN

N

B

BO

OG

GO

OR

R

BOGOR


(12)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pengembangan masyarakat dengan judul “Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat”, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2006

HENI HOLIAH NRP A 154050115


(13)

ABSTRAK

HENI HOLIAH, Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, Dibimbing oleh WINATI WIGNA dan NURMALA K. PANDJAITAN.

Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan pada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami kegagalan disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya.

Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat perkembangan pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3, walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Mengacu pada tipologi perkembangan, KUBE HPMBK-1 bertipologi berkembang sedangkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.

Oleh karena itu, perlu disusun strategi dalam mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE agar tingkat perkembangan KUBE relatif sama sehingga keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.

Tingkat perkembangan KUBE yang berbeda menimbulkan permasalahan umum dan khusus yang dihadapi masing- masing KUBE. Permasalahan umum adalah permasalahan yang sama-sama dihadapi ketiga KUBE. Pemasalahan khusus hanya dihadapi oleh KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3. Jadi kedua KUBE tersebut selain menghadapi permasalahan umum juga menghadapi permasalahan khusus. Hal inilah yang menyebabkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 masih tetap berada pada tipologi tumbuh. .

Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (tipologi tumbuh): 1) Pengurus tidak menjalankan tugas sesuai dengan pembagian kerja yang telah ditetapkan, 2) Anggota kurang mematuhi aturan kelompok yang telah disepakati bersama, 3) Kurangnya kerjasama antar anggota dalam mengembangkan KUBE, 4) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha,

5) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 6) Kurangnya jaringan kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.

Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-1 (tipologi berkembang): 1) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 2) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha, 3) Kurangnya jaringan

kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.

Permasalahan pada ketiga KUBE perlu dicarikan solusinya agar dalam tingkat perkembangannya tidak mengalami ketimpangan. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi berupa program yang diarahkan untuk mengatasi ketimpangan tingkat perkembangan KUBE. Program pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh adalah peningkatan motivasi dan pengelolaan KUBE melalui: 1) Reorganisasi pengurus, 2) Peningkatan kesadaran


(14)

kerjasama antar anggota, 4) Peningkatan kemampuan permodalan, 5) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam pengelolaan KUBE, 6) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Program pada KUBE HPMBK-1

bertipologi berkembang adalah peningkatan pengelolaan KUBE melalui: 1) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam

pengelolaan KUBE, 2) Peningkatan kemampuan permodalan, 3) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Untuk mewujudkan program tersebut, maka perlu keterlibatan Departemen Sosial, Dinas Sosial dan Pemerintahan Kota Bandung.


(15)

ABSTRACT

HENI HOLIAH. The strategy in handling level differences of Entrepreneurship Group (KUBE) development based on KUBE development typology: A case study at RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat. Advised by Winati Wigna and Nurmala K. Pandjaitan.

Poverty is a condition of inability to fulfill the basic needs based on values or norms in the community. The empowerment strategy used is one intended to handle poverty using a group approach through KUBE. Yet, there are a lot of KUBEs organized by the government fail to achieve their goals because of the ir unification in the development strategy.

The study results showed that there were level differences of development in KUBE of “Bhakti Kesuma Organized Community Empowerment-1” (KUBE HPMBK-1), KUBE HPMBK-2, and KUBE HPMBK-3, even when those KUBE began to organize they were in the same condition and quality. Referring to the development typology, the typology of KUBE HPMBK-1 was in the developing one, KUBE HPMBK-2 and 3 were in the growing typology. The differences of KUBE typology indicated the lameness in KUBE development level.

Accordingly, the formulation of strategy in handling the level differences of KUBE development is needed based on KUBE development typology so that there would be a unification of KUBE development. The successful of KUBE could be reached not only in organizational but also in economical and social aspects.

The KUBE differences made the emergence of general and special problems experienced by each KUBE. The general problem was experienced by those three KUBE, while special problem was only faced by KUBE HPMBK-2 and 3. This condition made KUBE HPMBK-2 and 3 were still in a growing position.

Problems faced by KUBE HPMBK-2 and 3 (growing typology) were: 1) The agency officers do not work suitable with their job description, 2) The members of KUBE do not obey the rules appropriately, 3) The lack of

co-operation among the members in developing KUBE, 4) The lack of capitalization for business development, 5) The lack of knowledge and skills in organizing KUBE, 6) The lack of networking or partnership with the other parties. Problems faced by KUBE HPMBK-1 (developing typology) are: 1) The lack of knowledge and skills to organize KUBE, 2) The lack of capitalization to develop the business, 3) The lack of networking or partnership with other parties.

The problems that are faced by the three KUBE need to be overcome in order that there will not be the lameness in KUBE. Therefore, KUBE needs a strategy in the form of a program that is intended to handle the lameness of KUBE development level. The programs on KUBE HPMBK-2 and 3 are increasing the motivation and organization of KUBE through:1) Officers re-organization, 2) Increasing the consciousness of members toward the rules agreed by all members, 3) Increasing the cooperation among the members, 4) Increasing the capitalization, 5) Increasing the knowledge and skills of the officers in organizing KUBE, 6) Developing the networking/partnership. The KUBE HPMBK-1 program is increasing the KUBE organization through: 1) Increasing the

knowledge and skills of the officers and members in organizing KUBE, 2) Increasing the capitalization capacity, 3) Developing networking/partnership. It

should be an involvement of Social Department, Social Agency and Bandung government to realize those programs.


(16)

S

S

TR

T

R

AT

A

TE

EG

GI

I

D

D

AL

A

LA

AM

M

M

ME

EN

N

GA

G

AT

T

AS

A

SI

I

P

PE

ER

RB

B

ED

E

D

AA

A

AN

N

T

T

IN

I

N

GK

G

KA

AT

T

P

PE

ER

RK

KE

E

MB

M

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KE

E

LO

L

OM

M

PO

P

OK

K

U

US

SA

AH

HA

A

B

BE

E

RS

R

SA

AM

MA

A

(

(K

KU

UB

B

E

E

)

)

M

ME

E

NG

N

GA

AC

C

U

U

P

P

AD

A

D

A

A

T

T

IP

I

PO

OL

LO

OG

GI

I

P

P

ER

E

R

KE

K

EM

MB

B

AN

A

N

GA

G

AN

N

K

KU

UB

BE

E

(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal,

Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Komisi Pembimbing :

Dr. Er. Ir. Pudji

Heni Holiah

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat

memperoleh Gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat

S

SE

E

KO

K

OL

LA

AH

H

P

PA

AS

SC

C

AS

A

SA

AR

RJ

JA

AN

N

A

A

I

IN

N

S

S

TI

T

IT

T

UT

U

T

P

P

ER

E

R

T

T

AN

A

N

IA

I

AN

N

B

BO

OG

GO

OR

R

2006


(17)

Judul Tugas Akhir : Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi perkembangan KUBE

(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,

Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : HENI HOLIAH Nomor Pokok : A.154050115

Disetujui, Komisi Pembimbing :

Dra. Winati Wigna, MDS Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(18)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(19)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat dengan judul Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan karena dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Responden dan informan yang telah memberikan data-data yang diperlukan

dalam kajian.

4. Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial Departemen Sosial RI.

5. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

6. Drs. Nelson Aritonang MSSW, selaku Penguji dari Luar Komisi Pembimbing. 7. Dra. Neni Kusumawardhani, MS selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan

Sosial (STKS) Bandung.

8. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB)

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogo r (IPB) dan STKS Bandung.

10.Orang tuaku dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

11.Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tugas akhir ini.

Semoga kajian ini bermanfaat bagi semua.

Bogor, Nopember 2006 Heni Holiah


(20)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Rumusan Masalah... 5

Tujuan Kajian... 6

Manfaat Kajian... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Kemiskinan... 7

Pemberdayaan Masyarakat... 9

Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat... 13

Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)... 15

Kelompok Usaha Bersama (KUBE)... 17

Kerangka Pemikiran ... 22

METODE KAJIAN ... 24

Tipe dan Aras Kajian... 24

Strategi Kajian... 24

Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kajian... 25

Metode Pengumpulan Data... 26

Analisis Data ... 29

Penyusunan Program... 29

PETA SOSIAL KELURAHAN KEBON WARU ... 30

Gambaran Lokasi ... 30

Masalah Kemiskinan Dalam Komunitas... 31

KERAGAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) HIMPUNAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BHAKTI KESUMA (HPMBK) DI KELURAHAN KEBON WARU ... 43

Deskripsi Program ... 43

KUBE sebagai Aspek Pengembangan Sosial dan Ekonomi... 44

Sejarah Pembentukan KUBE... 47

Keanggotaan dan Jenis Usaha serta Permodalan KUBE ... 49

Sumber Daya Manusia dalam KUBE... 54

Sruktur KUBE... 55


(21)

xii

Manajemen dalam KUBE... 58

Jaringan Kerjasama dengan Pengusaha Lokal dan Kelembagaan Ekonomi ... 60

Tingkat Perkembangan KUBE Mengacu pada Tipologi Perkembangan KUBE... 62

Permasalahan yang menyebabkan Terjadinya Tingkat Perkembangan KUBE yang berbeda... 70

PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE ... 78

Analisis Masalah 78 Permasalahan Umum pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3... 79

Permasalahan Khusus pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3... 80

Proses Penyusunan Program... 81

Potensi Lokal dan Penentuan Masalah... 82

Penentuan Masalah pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh)... 83

Penentuan Masalah pada KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang)... 85

Program Peningkatan Motivasi dan Pengelolaan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh)... 87

Program Peningkatan Pengelolaan KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang)... 90

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 96

Kesimpulan ... 96

Rekomendasi ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(22)

xiii

Halaman 1 Jadwal Pelaksanaan Kajian ... 26 2 Masalah, Topik, Sumber data,

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 28 3 Peruntukan Lahan di Kelurahanan Kebon Waru

Tahun 2005 ... 31 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Kebon Waru

Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 ... 33 5 Komposisi Penduduk Kelurahan Kebon Waru

Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005 ... 35 6 Komposisi Penduduk Kelurahan Kebon Waru

Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2005 ... 37 7 Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE HPMBK

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 50 8 Perkembangan Modal KUBE HPMBK (dalam ribuan)

Di Kelur ahan Kebon Waru tahun 2005/2006 ... 52 9 Komposisi Anggota KUBE HPMBK Berdasarkan Pendidikan

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 54 10 Stuktur Kepengurusan KUBE HPMBK

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 56 11 Tahap Perkembangan KUBE HPMBK

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 63 12 Pencapaian Tingkat Keberhasilan KUBE HPMBK

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 68 13 Masalah Umum dan Khusus pada KUBE HPMBK

Di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 71 14 Masalah, Sebab-sebab Masalah dan Cara Mengatasi Masalah

pada KUBE HPMBK-2 dan HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh) ... 84 15 Masalah, Sebab-sebab Masalah dan Cara Mengatasi Masalah

pada KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang) ... 86 16 Rencana Program Peningkatan Motivasi dan Pengelolaan

KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh) ... 88 17 Rencana Program Penge lolaan KUBE HPMBK-1


(23)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan Kerangka Pemikiran Kajian ... 23 2 Piramida Penduduk Kelurahan Kebon WaruTahun 2005 ... 33 3 Komposisi Keluarga Miskin di Kelurahan

Kebon Waru Berdasarkan Pendidikan Tahun 2005 ... 36 4 Komposisi Keluarga Miskin di Kelurahan Kebon Waru

Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2005 ... 38 5 Pelapisan Sosial di Kelurahan Kebon Waru ... 40 6 Kondisi dan Kualitas KUBE HPMBK

di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 49 7 Perkembangan Modal KUBE HPMBK (dalam Ribuan)


(24)

xv

Halaman 1 Peta Lokasi Kajian ... 101 2 Pedoman Studi Dokumen ... 102 3 Pedoman Pengamatan Berperanserta ... 103 4 Pedoman Wawancara ... 105 5 Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus ... 111


(25)

P

P

EN

E

N

D

D

AH

A

HU

UL

LU

U

AN

A

N

Latar Belakang

Kegagalan program-program pembangunan di masa lampau berimplikasi pada bergesernya paradigma baru yang memandang pentingnya masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Kesadaran tersebut semakin meningkat sejalan bangkitnya era reformasi setelah terjadi perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan sejak tahun 1997. Menurut Adi (2001), pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan menunjukkan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach).

Namun demikian, akibat telah terma rjinalisasi dalam waktu lama, masyarakat mengalami kesulitan untuk mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan sangat diperlukan sebagai strategi dalam pengembangan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai kemampuan yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan (Suharto, 2005).


(26)

Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dalam masyarakat adalah kurangnya akses terhadap sumberdaya yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan dan kurangnya kesediaan pemerintah atau kelompok kuat untuk membagi sumberdaya kepada kelompok lemah (Haeruman dan Eriyatno, 2001)

Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan yang dialami oleh individu maupun kelompok masyarakat yang didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin apabila tingkat pendapatan mereka tidak memungkinkan untuk mentaati tata nilai dan norma masyarakat (Nugroho dan Dahuri , 2004). Lebih lanjut, Supriatna (1997), mengemukakan bahwa umumnya suatu keadaan disebut miskin bila ditandai oleh kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar manusia. Termasuk dalam kebutuhan dasar ini adalah kebutuhan akan sandang, pangan dan tempat tinggal.

Pendekatan kelompok melalui kelompok usaha merupakan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif untuk masyarakat lapisan bawah (Sumodiningrat, 1997). Keberadaan kelompok akan memberikan manfaat lebih besar bagi anggotanya karena dapat dipakai untuk meningkatkan kemampuan berusaha, mengembangkan pengetahuan dan sistem nilai yang mendukung kehidupan usaha, menyuburkan moralitas usaha yang baik, dan meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih luas seperti usaha, kerumahtanggaan, kemasyarakatan dan sebagainya (Supriyanto, 1997).

Salah satu program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan kelompok adalah pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dalam program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga. Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) adalah program penanggulangan kemiskinan dari Departemen Sosial sebagai tahapan lanjut baik melalui bantuan dan jaminan sosial, pelayanan


(27)

3 dan rehabilitasi, serta pemberdayaan dengan melibatkan pendamping sosial pada KUBE agar program dapat dilaksanakan secara optimal. Pendamping sosial dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pengembang masyarakat untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti: merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, memobilisasi sumber daya setempat, memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Pendamping sosial merupakan agen perubahan yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi keluarga miskin yang disebabkan oleh lemahnya kondisi sumberdaya manusia untuk mengakses sumberdaya ekonomi dan sosial (Suharto, 2005).

Bagi keluarga miskin, manfaat KUBE tidak hanya mencakup pengembangan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial. KUBE merupakan media untuk meningkatkan pendapatan, mengembangkan usaha, membangun interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar, menyelesaikan berbagai masalah serta memenuhi kebutuhan (Departemen Sosial, 2005). Namun demikian, banyak KUBE yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah tidak mencapai sasaran bahkan banyak pula yang mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dari program, sedangkan perkembangan KUBE itu tidak sama sehingga permasalahan dan kebutuhannya pun berbeda.

Menurut Departemen Sosial (2005), tahap perkembangan KUBE digolongkan kedalam 3 tipologi, yaitu tumbuh, berkembang, dan maju atau mandiri. KUBE Tumbuh adalah KUBE yang kegiatan kelompok baru berjalan, telah menerima bantuan UEP dan telah memiliki pendamping sosial. KUBE berkembang adalah KUBE yang kegiatannya telah didasarkan pada pembagian kerja sesuai dengan kepengurusannya, keuntungan usaha berkembang dan telah


(28)

terbentuk modal. KUBE Maju atau mandiri adalah KUBE yang telah menjalankan manajemen dengan baik.

Bila mengacu pada tipologi perkembangan KUBE, maka terdapat KUBE dengan tahap perkembangan berbeda walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama, yaitu ada KUBE yang tidak berkembang dalam arti masih tergolong tipologi tumbuh, ada yang tergolong tipologi berkembang bahkan maju atau mandiri. Kondisi ini memunculkan permasalahan sehingga perlu dilakukan tindak lanjut yang efektif untuk mengatasi tahap perkembangan KUBE yang berbeda tersebut.

Di Kelurahan Kebon Waru Kecamatan Batununggal Kota Bandung, program AKSK diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan mengingat di wilayah ini jumlah keluarga miskin merupakan mayoritas dibandingkan dengan jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya, yakni 1.780 KK (38, 12%) dari 4.669 KK (Sumber: Praktek lapangan 1). Program AKSK di wilayah ini dilakukan dalam bentuk penyerahan bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) selama dua periode, yaitu periode pertama pada akhir tahun 2003 dan periode kedua pada akhir tahun 2004 yang dilaksanakan melalui Kelompok Usaha Bersama Himpunan Pemberdayaan Masyarakat Bhakti Kesuma (KUBE HPMBK). Di wilayah ini terdapat tiga KUBE dengan jumlah anggota masing- masing 10 orang yaitu KUBE HPMBK-1, KUBE HPBMK-2, dan KUBE HPMBK-3. Ketiga KUBE tersebut dibentuk dengan kondisi dan kualitas relatif sama, baik dari aspek permodalan, kepemilikan aset maupun kualitas SDM anggota dan pengurus.

Jenis usaha yang dilakukan anggota KUBE bervariasi. Sebagian besar anggotanya bergerak dalam bidang usaha dagang dan sebagian lainnya mempunyai bidang usaha olahan makanan dan konveksi yang dijalankan oleh masing- masing anggota. Walaupun kegiatan usaha dijalan secara individu, hal ini tidak melanggar ketentuan KUBE karena berdasarkan acuan KUBE usaha boleh dijalankan secara individu tetapi tetap berada dalam ikatan kelompok.


(29)

Masing-5 masing anggota menerima bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) secara bergulir.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah dari ketiga KUBE di Kelurahan Kebon Waru memiliki tingkat perkembangan yang berbeda. Tingkat perkembangan KUBE HPMBK-1 lebih baik daripada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 yang ditunjukkan dari perkembangan permodalan lebih besar, peran pemimpin dan pembagian kerja lebih jelas serta anggota berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok, padahal ketiga KUBE tersebut pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.

Oleh karena itu menarik untuk mengkaji permasalahan yang menyebabkan terjadinya tingkat perkembangan KUBE yang berbeda tersebut, sehingga dapat disusun strategi yang tepat untuk mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE dengan mengacu pada tipologi perkembangan KUBE. Tujuannya agar tingkat perkembangan setiap KUBE relatif sama dan tidak terjadi ketimpangan, sehingga keberhasilan KUBE baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial dapat tercapai.

Rumusan Masalah

Sebagai upaya untuk memecahkan masalah di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana keragaan ketiga KUBE di Kelurahan Kebon Waru?

2. Bagaimana tingkat perkembangan ketiga KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE?

3. Apa saja permasalahan yang menyebabkan terjadinya tingkat perkembangan KUBE yang berbeda pada ketiga KUBE yang pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama?

4. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan agar ketiga KUBE tidak mengalami ketimpangan dalam perkembangannya?


(30)

Tujuan Kajian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, tujuan kajian secara terperinci adalah:

1. Mengetahui keragaan ketiga KUBE di Kelurahan Kebon Waru.

2. Mengetahui tingkat perkembangan ketiga KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang menyebabkan terjadinya tingkat perkembangan KUBE yang berbeda pada ketiga KUBE yang pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. 4. Menyusun strategi agar ketiga KUBE tidak mengalami ketimpangan dalam

perkembangannya.

Manfaat Kajian

Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah:

1. Memberikan masukan tentang model dalam mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE kepada pendamping sosial, pengurus dan anggota KUBE.

2. Memberikan masukan kepada Departemen Sosial selaku penyelenggara program di tingkat pusat dan Dinas Sosial selaku penanggungjawab program di daerah tentang strategi berupa program untuk mengatasi ketimpangan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE agar setiap KUBE mengalami tingkat perkembangan relatif sama, sehingga keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.


(31)

T

T

IN

I

NJ

J

AU

A

UA

AN

N

P

PU

US

ST

T

AK

A

KA

A

Kemiskinan

Kemiskinan lazimmya dilukiskan sebagai kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok. Mereka berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, tempat berteduh dan lain- lain (Salim, 1984). Selanjutnya Baharsjah dalam Jamasy (2004), menyatakan bahwa kemiskinan bukan hanya suatu ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi suatu kehidupan yang layak, tetapi juga berkaitan erat dengan keadaan sistem kelembagaan yang tidak mampu memberikan kesempatan yang adil bagi anggota masyarakat untuk memanfaatkan dan memperoleh manfaat dari sumberdaya yang tersedia. Menurut Rusli (1995), kemiskinan dapat merupakan kemiskinan absolut ataupun kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut dikaitkan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan minimum, kebutuhan pokok ataupun kebutuhan dasar sehingga dapat hidup (survive), sedangkan kemiskinan relatif, ditekankan pada kesenjangan antar golongan, lapisan atau kelompok dalam masyarakat.

Suharto (2005) menyatakan bahwa kemiskinan dapat dikategorikan pada empat kategori, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.

1. Kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

2. Kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp 100.000,- per kapita per bulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp 125.000,- per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp 200.000,- per kapita per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin.


(32)

3. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha.

4. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik strruk tur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau kelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.

Kemiskinan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa ketidakmampuan dari dalam individu atau kelompok masyarakat seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia, sikap dan perilaku miskin, ketidakcakapan bekerja, pasrah terhadap kondisi miskin. Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar yang menyebabkan mereka tidak berdaya untuk memiliki akses dan sumberdaya. Namun demikian, sangat sulit untuk memisahkan faktor penyebab kemiskinan karena penyebab kemiskinan sangat kompleks dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat dapat dikatakan karena disebabkan gabungan berbagai faktor yang saling terkait, yaitu: ekonomi misalnya tidak punya pendapatan tetap, tidak punya modal usaha; politik misalnya tidak pernah aktif dalam urusan pemerintahan, tidak aktif berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya/lingkungannya, diskriminasi dan eksploitasi; dinamika sosial misalnya pasif, kurang pergaulan, tidak mau bergaul, tidak mau bermasyarakat; dan latar belakang sikap atau budaya misalnya pemalas, gengsi, tidak kreatif, tidak mau bekerja keras ( Jamasy, 2004).

Terlepas dari faktor- faktor yang menyebabkan miskin, kemiskinan merupakan kondisi yang menggambarkan ketidakberdayaan. Kemiskinan dalam masyarakat menunjukkan lemahnya kemandiriaan masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan membuat mereka berdaya, baik dalam dimensi sosial, ekonomi maupun politik. Strategi untuk membuat masyarakat berdaya adalah dengan pemberdayaan masyarakat.


(33)

9

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam konteks ini, upaya memberdayakan masyarakat dimulai dengan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 1995). Selanjutnya Hikmat (2004), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people-centred, participatory, empowering, dan sustainable.

Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. (Sumodiningrat, 1997). Pemberdayaan rakyat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Hal tersebut mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah. (Priyono, 1996).

Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam:

1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat,


(34)

melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan.

2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.

3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu- individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Menurut Payne dalam Adi (2001), mengemukakan proses pemberdayaan pada intinya ditujukan untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk menga mbil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain dengan menggunakan daya dari lingkungan.

Modal Sosial

Dalam pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai secara efektif apabila didukung oleh sumberdaya yang memadai (Siswanto, 2005). Sumberdaya dapat berupa human capital, social and institutional assets, natural resources dan man mad assets (Syaukat dan Hendrakusumaatmadja, 2005). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa KUBE sebagai organisasi akan


(35)

11 efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumberdaya. Salah satu sumberdaya tersebut adalah modal sosial.

Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur sosial serta berhubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaring sosial. Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai “informasi, kepercayaan, dan norma- norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial“ (Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekono mi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal- modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (Colletta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo, 2005)

Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih kongkret, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk suatu proses produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut. Pemahaman tentang modal sosial menekankan pada hubungan timbal balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal sosial tidak bersifat netral, ditandai dengan adanya hubungan saling menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas, atau katagori sosial atau manusia pada umumnya.

Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002), adalah sebagai kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan jaringan sosial atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya Hanifan dalam Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan antar individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan warga masyarakat.

Menurut Woolcock yang dikutip Colletta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo (2005), modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu:


(36)

1. Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama.

2. Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama

3. Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.

4. Sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).

Motivasi

Sebagai upaya pemberdayaan keluarga miskin melalui KUBE, permasalahan yang ada dalam KUBE sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang kajian bahwa perkembangan usaha KUBE tidak dapat mencapai tingkat keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun sumberdaya berupa modal sosial, pasar, institusi pemerintah terdapat disekitar Kelurahan Kebon Waru, tetapi mereka tidak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk peningkatan usaha. Hal ini mengindikasikan ada faktor- faktor yang mempengaruhi arah perilaku anggota KUBE sebagai organisasi. Faktor penting yang mempengaruhi perilaku selain pengetahuan dan keterampilan juga motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Siagian (2004), mengemukakan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dala m bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk melakukan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan melaksanakan kewajibanya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal ini motivasi sangat berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya

Motivasi menurut Gray dan Starke sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan (2005), menunjuk pada proses yang menimbulkan antusiasme dan kemantapan untuk melakukan tindakan tertentu. Lebih lanjut Pandjaitan (2005) menyatakan


(37)

13 bahwa orang akan termotivasi untuk menghasilkan aktivitas yang baik jika mereka dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan pribadinya.

Sebagaimana dikemukakan Maslow dalam Pandjaitan (2005), Kebutuhan manusia bersifat hierarkis. Hierarki (jenjang) kebutuhan manus ia tersebut adalah: 1. Basic Physiological Needs/kebutuhan dasar fisik seperti makanan dan

minuman atau pangan, sandang dan papan.

2. Safety and security needs, mencakup kebutuhan akan keamanan, kestabilan, ketiadaan penderitaan, ancaman, dan kehidupan yang teratur.

3. Social (affection) needs, mencakup kebutuhan atas kontak personal, afeksi, rasa memiliki, cinta, dan hubungan persahabatan.

4. Esteem needs, mencakup kebutuhan atas kompetisi, kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri, pencapaian prestasi, dan kebutuhan dihargai (dalam bentuk reputasi, status, kekuasaan).

5. Self-actualisation needs, mencakup kebutuhan untuk tumbuh dan mengembangkan diri dalam rangka menunjukkan jatidiri.

Dalam pemuasan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia akan melakukannya secara berjenjang, pertama-tama manusia akan berupaya untuk memuaskan kebutuhan pada jenjang terendah, kemudian beralih pada kebutuhan yang memiliki jenjang lebih tinggi, dan begitu seterusnya sampai pada jenjang kebutuhan yang tertinggi. Menurut Sarwono (2000), mengacu pada Hierarki Kebutuhan Maslow menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan yang berada pada jenjang yang paling rendah/kebutuhan dasar termasuk di dalamnya sandang, pangan, dan papan sifatnya mendesak sehingga pemenuhan kebutuhan tersebut perlu diprioritaskan. Berdasarkan pengertian itu, pemuasan kebutuhan merupakan dorongan yang menimbulkan antusiasme keluarga miskin sebagai anggota KUBE untuk melakukan perubahan tindakan dalam mengembangkan KUBE.

Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat

Kelompok merupakan media pemberdayaan masyarakat yang paling efektif sebagai salah satu upaya membangkitkan inisiatif dan partisipasi masyarakat, karena dalam suatu ikatan kelompok pola tingkah laku individu-individu lebih


(38)

mudah untuk dirubah. Hal ini dipertegas oleh Lewin sebagaimana dikutip oleh Soekanto (2005), yang menyatakan bahwa lebih mudah untuk mengubah pola tingkah laku individu- individu yang terkait dalam suatu kelompok daripada secara individual.

Menurut Vitayala (1986), mengemukakan bahwa pendekatan kelompok mempunyai kelebihan antara lain dapat mempercepat proses adopsi, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selanjutnya Soekanto (2005), menyatakan bahwa dalam kelompok terjadi hubunga n timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong- menolong berdasarkan kesamaan nasib, kepentingan, dan tujuan sehingga hubungan antara anggota bertambah erat.

Mengacu pada konsepsi tersebut, maka di dalam kelompok manusia dapat mengembangkan kemampuannya dan dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Garvin (1986), bahwa beberapa kebutuhan manusia ada yang hanya dapat dipenuhi melalui kelompok dan terdapat kemampuan-kemampuan manusia hanya dapat dikembangkan melalui kelompok. Lebih lanjut Haeruman dan Eriyatno (2001), menyatakan bahwa pendekatan kelompok adalah yang paling tepat dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Dalam kelembagaan yang didasarkan oleh kelompok diharapkan dapat mendorong kemandirian dan berkembang usaha secara berkelanjutan.

Menurut Darmajanti (2004), menjelaskan bahwa kelompok sebagai gambaran kehidupan berorganisasi suatu komunitas, merefleksikan dinamika tindakan kolektif warga dalam mengatasi masalah bersama, termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga (safety net) di komunitas. Dengan demikian maka keluarga miskin sebagai anggota kelompok usaha bersama (KUBE) diharapkan dapat bertindak secara kolektif dalam pengembangan KUBE agar dapat mencapai keberhasilan usaha KUBE.

Untuk bertindak secara kolektif dalam mencapai keberhasilan tujuan kelompok, maka diperlukan kekuatan yang memelihara perasaan kebersamaan dalam kelompok Terjadinya kekuatan yang mempersatukan anggota yang terlibat di dalam kelompok menunjukkan adanya kohesivitas kelompok. Menurut Festinger sebagaimana dikutip oleh Ahmadi (1991), menyatakan bahwa kohesi


(39)

15 kelompok adalah kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Mengikuti konsepsi tersebut maka kohesivitas kelompok penting adanya dalam pengembangan KUBE untuk mencapai tujuan akhir dari KUBE yaitu kesejahteraan anggota KUBE sebagai upaya pengentasan kemiskinan.

Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)

Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui bantuan stimulan modal usaha ekonomi produktif (UEP) bergulir dalam kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) adalah bentuk kegiatan yang dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik untuk membantu kehidupan sosial, ekonomi dan psikologis keluarga agar tetap berkemampuan memelihara fungsi dan peranan sosialnya yang pada hakekatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sasaran AKSK adalah keluarga yang telah mendapat pembinaan melalui program/kegiatan lain di luar AKSK dan lintas program baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota dengan kriteria:

1. Telah menikah sekurang-kurangnya 5 tahun/keluarga dewasa.

2. Mempunyai embrio usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan. 3. Berkategori rentan, dengan indikator sebagai berikut:

a. Keterbatasan kemampuan sosial ekonomi, sehingga berpotensi bermasalah.

b. Berada pada ambang batas marginal pemenuhan kebutuhan fisik minimal (KFM) di daerah yang bersangkutan.

c. Pekerjaan tidak tetap atau punya pekerjaan tetapi tidak memiliki keterampilan khusus.

d. Tidak mampu mengakses sumber-sumber pelayanan kesejahteraan sosial terdekat.

Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) merupakan satu alternatif yang dapat digunakan sebagai tahapan lanjut bagi eks keluarga binaan sosial dari berbagai unit teknis baik melalui bantuan dan jaminan sosial, pelayanan dan


(40)

rehabilitasi maupun pemberdayaan. Agar pelaksanaan program AKSK lebih optimal maka program ini melibatkan pendamping sosial pada KUBE sebagai upaya menggerakkan dan memotivasi keluarga miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Penyelenggara AKSK di tinggkat pusat adalah Departemen Sosial dengan mekanisme pelaksanaan kegiatan sebagai berikut:

1. Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga sebagai pembina dan regulator AKSK serta menyediakan pedoman umum pelaksanaan.

2. Dinas/Instansi Sosial Propinsi melakukan persiapan dalam bentuk orientasi dan observasi serta penyusunan Panduan Teknis AKSK yang dapat diterapkan di lapangan serta melakukan monitoring.

3. Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota melakukan need assesment keluarga dan jenis program yang diperlukan, serta menyiapkan tenaga pendamping sosial dengan mekanisme sebagai berikut :

a. Sosialisasi rekruitmen tenaga pendamping sosial AKSK hingga tingkat kelurahan/desa/komunitas.

b. Pihak kelurahan menghimpun usulan tenaga pendamping sosial yang diusulkan oleh Rukun Warga (RW), kemudian menyampaikan ke seksi kesra di kecamatan.

c. Selanjutnya pihak kecamatan melakukan seleksi terhadap usulan tenaga pendamping sosial yang diajukan oleh tiap- tiap kelurahan.

d. Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota menetapkan tenaga pendamping sosial, dari hasil seleksi yang dilakukan kecamatan dan menyampaikan ke Dinas/Instansi Sosial provinsi.

e. Dinas/Instans i Sosial provinsi menghimpun hasil penetapan tenaga pendamping sosial dari masing- masing kabupaten/kota dan menyampaikan ke Dit. PPK Departemen Sosial.

4. Seksi kesra kantor kecamatan sebagai mediator dan mengkoordinir para pendamping sosial dalam melaksanakan perannya.

5. Kelurahan/desa/komunitas membantu pendamping sosial dalam melaksanakan peran pendamping sosial.


(41)

17

6. Pendamping sosial melakukan peran pendamping sosial, yaitu pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator.

Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan pengorganisasian dari orang-orang yang mempunyai kegiatan usaha tertentu yang dilakukan secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Departemen Sosial (2005), bahwa Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) yang atas bimbingan dan kesadaran bersama, diberi tanggung jawab untuk mengelola bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Maksud pembentukan KUBE ini adalah meningkatkan motivasi, interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakanan potensi dan sumber daya ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak terkait. Keberadaan KUBE bagi warga miskin ditengah-tengah masyarakat diharapkan menjadi sarana untuk menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, wahana untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif, menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan keluarga miskin, menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan keluarga miskin, pengembangan diri, dan sebagai wadah berbagi pengalaman antar anggota. Pada intinya KUBE mempunyai tujuan agar keluarga miskin dapat mencapai tinggkat kesejahteraannya..

Kelompok Usaha Bersama bagi keluarga miskin merupakan himpunan keluarga yang tergolong miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal dalam satuan wilayah tertentu dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan sosial antar anggota, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama.

Jumlah anggota KUBE didasarkan atas kebutuhan nyata di lapangan, bisa menjadi kelompok kecil (antara 3-5 orang) atau kelompok besar (lebih dari 5 orang). Banyak anggota KUBE dalam perkembangannya dapat berjumlah menjadi sangat banyak, namun untuk efektivitas pendekatan kelompok yang dilakukan


(42)

pendamping sosial dirasakan jumlah anggota KUBE tidak terlampau banyak (5-10 orang), sehingga jumlah anggota KUBE yang banyak dapat dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Proses pembentukan KUBE dilakukan berdasarkan: 1) Kedekatan domisili, dengan tujuan untuk memudahkan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan maupun dalam mekanisme pembinaan. 2) Mempunyai tujuan yang sama untuk merubah nasib. 3) Jenis usaha dapat bervariatif atau satu jenis dan dapat dikelola per individu asalkan terikat dalam satu kelompok. 4) Saling mengenal dan saling percaya. 5) Pemberian nama KUBE berdasarkan musyawarah anggota. 6) Terdapat susunan pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota.

Tahap Perkembangan KUBE

Departemen Sosial (2005), menggolongkan KUBE kedalam 3 tipologi berdasarkan tahap perkembangannya, yaitu:

1. Tumbuh

KUBE dikatakan dalam tahap tumbuh memiliki ciri-ciri: a. Sudah memiliki pendamping sosial KUBE.

b. Pernah mengikuti pelatihan.

c. Pengurus dan organisasi telah dibentuk sebanyak 10 orang. d. Telah menerima bantuan UEP.

e. Mempunyai papan nama KUBE. f. Kegiatan kelompok baru berjalan. 2. Berkembang

KUBE dikatakan dalam tahap berkembang memiliki cari-ciri:

a. Kegiatan kelompok telah dijalankan sesuai dengan kepengurusannya. b. Keuntungan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) sudah ada untuk modal,

kesejahteraan anggota dan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS). c. Kepercayaan dan harga diri anggota KUBE dan keluarga meningkat. d. Pergaulan antara anggota KUBE dengan masyarakat semakin meningkat. e. Hasil usaha sudah dapat dirasakan.


(43)

19 3. Maju/Mandiri

KUBE dikatakan dalam tahap maju/mandiri memiliki cari-ciri:

a. Keuntungan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) meningkat dan modal semakin besar.

b. Mampu menyisihkan dana Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS) untuk anggota kelompok, keluarga miskin lainnya dan berpartisipasi dalam pembangunan di lingkungannya.

c. Manajemen Usaha Ekonomi Produktif (UEP) telah dikelola dengan baik. d. Mempunyai hubungan baik dan saling menguntungkan dengan lembaga

ekonomi dan pengusaha.

e. Hubungan sosial dengan masyarakat dan lembaga- lembaga sosial semakin baik dan melembaga.

f. Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) semakin maju dan berkembang.

Tahap-tahap perkemabangan KUBE yang lebih baik perlu dicapai oleh KUBE yang sudah terbentuk. Dari beberapa observasi, ada tindakan khusus/sanksi dari pihak penyelenggara program yang diberlakukan apabila KUBE tidak bisa mengembangkan dirinya/bubar disebabkan anggota tidak bisa mengembalikan pinjaman sehingga mengakibatkan modal dan jumlah anggota tidak bertambah/berkurang bahkan modal habis. Sebagai sanksi, maka kelurahan penerima program tersebut tidak akan menerima program-program bantuan berik utnya dari pihak penyelenggara program. Sanksi yang diterapkan tersebut penting bagi KUBE-KUBE yang pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama tetapi pada proses perkembangannya mengalami tingkat perkembangan yang berbeda agar KUBE-KUBE terpacu untuk lebih maju dan hal ini ada kaitannya dengan tingkat pencapaian keberhasilan KUBE baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.

Indikator Keberhasilan KUBE

Sebagai media pemberdayaan keluarga miskin, KUBE dikatakan berhasil apabila anggota dapat mencapai kesejahteraannya. Adapun untuk keberhasilan KUBE dapat terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

1. Meningkatnya kemampuan memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, papan) serta kesehatan dan pendidikan yang layak.


(44)

2. Meningkatnya dinamika sosial baik dalam KUBE maupun dengan masyarakat sekitarnya.

3. Meningkatnya kemampuan dan keterampilan pemecahan masalah.

4. Berkembangnya kerjasama diantara sesama anggota KUBE dan dengan masyarakat sekitarnya.

5. Mantapnya usaha KUBE.

6. Berkembangnya jenis usaha KUBE.

7. Meningkatnya pendapatan anggota KUBE.

8. Tumbuh kembangnya kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dalam bentuk pengumpulan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS).

Untuk mencapai keberhasilan KUBE perlu didukung oleh peningkatan: kualitas SDM, organisasi, dukungan pemerintah, dan dukungan masyarakat. Menurut Eade sebagaimana dikutip dalam Nasdian dan Utomo (2005), peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui pendidikan, keterampilan, dan pengembangan kerjasama kelompok. Dengan demikian peningkatan kualitas SDM dalam KUBE mencakup kualitas pengurus dan anggota.

Penguatan organisasi sebagaimana dinyatakan oleh Syahyuti (2003), meliputi kepemimpinan, manajemen dan kerjasama. Dukungan dari pemerintah dapat berupa kebijakan dan bantuan baik teknis ma upun manajerial. Sedangkan dukungan dari masyarakat berupa pendamping sosial yang berasal dari masyarakat setempat serta pola kemitraan/kerjasama dengan pengusaha setempat.

Pendampingan sosial pada KUBE

Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendamping sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Menurut Suharto (2005), pendamping sosial dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pengembang masyarakat untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti :

1. Merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi. 2. Memobilisasi sumber daya setempat.


(45)

21 3. Memecahkan masalah sosial.

4. Menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan.

5. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks

pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya Departemen Sosial (2005), mengemukakan pendamping sosial bagi KUBE keluarga miskin adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara pendamping sosial dengan anggota KUBE keluarga miskin dalam rangka memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta meningkatkan akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya. Pendamping sosial secara umum bertujuan untuk memberikan motivasi kepada keluarga miskin untuk mengakses dan memanfaatkan program pemberdayaan bagi keluarga miskin dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi keluarga miskin. Secara khusus pendamping sosial bertujuan: 1) Meningkatkan kemampuan KUBE dalam menemukenali permasalahannya, potensi para anggota dan sumber daya sosial ekonomi yang ada di lingkungannya. 2) Meningkatkan kemampuan KUBE dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pemecahan masalah kesejahteraan sosial. 3) Meningkatnya akses para anggota KUBE terhadap lapangan kerja, pelayanan sosial dasar, dan fasilitas pelayanan publik lainnya. 4) Terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga miskin (sandang, pangan, papan, lapangan kerja, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan

dasar, air bersih dan sanitasi lingkungan, serta kebutuhan dasar lainnya). 5) Meningkatnya kemampuan KUBE dalam mempertanggungjawabkan kegiatan

usaha ekonomi dan usaha kesejahteraan sosial ya ng dilakukan secara bersama-sama.

Adapun prasyarat sebagai pendamping sosial adalah:

1. Tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, dan tokoh pemuda setempat.

2. Memiliki pengalaman dalam melaksanakan pendamping sosial atau kegiatan pengembangan masyarakat (community development).


(46)

3. Memiliki keahlian di bidang pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pelatihan-pelatihan pekerjaan sosial.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi dan menjalin relasi sosial yang harmonis dengan berbagai pihak di lingkungan masyarakat.

5. Bersedia bekerja purna waktu dan hidup bersama dalam lingkungan KUBE yang didampingi.

Kerangka Pemikiran

Ilustrasi kerangka pemikiran dalam kajian ini menggambarkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada masyarakat disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa rendahnya kualitas SDM (pengetahuan, keteranpilan) dan ketidakcakapan bekerja/berusaha (kreatifitas, kurangnya pengaturan keuangan dalam rumah tangga). Faktor eksternal berupa: lingkungan dan kebijakan pemerintah.

Faktor internal dan eksternal tersebut juga berpengaruh terhadap keragaan KUBE dan strategi yang akan dibuat. Keragaan KUBE dilihat dari tingkat perkembangan KUBE maupun permasalahan dalam tingkat perkembangan KUBE. Dari ketiga KUBE baik HPMBK-1, HPMBK-2 dan HPMBK-3 walaupun pada awal pembentukannya mempunyai kondisi dan kualitas relatif sama tetapi dalam perkembangannya memiliki tingkat perkembangan yang berbeda. Hal ini memunculkan permasalahan yang menyeluruh dalam tingkat perkembangan KUBE, sehingga untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan tingkat perkembangan KUBE yang berbeda diperlukan strategi. Dalam hal ini, strategi diwujudkan dalam bentuk program untuk mengatasi ketimpangan tingkat perkembangan KUBE

Tujuan dari strategi yang berupa program tersebut diharapkan dapat mencapai keberhasilan KUBE, baik keberhasilan dalam aspek organisasi, ekonomi dan sosial. Agar mudah memahami kerangka pemikiran di atas dapat dilihat dari Gambar 1.


(1)

II. MENEMUKENALI POTENSI

1. Bagaimana potensi yang dimiliki KUBE?

2. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku pada KUBE? 3. Bagaimana tradisi/nilai masyarakat yang dianut oleh KUBE yang

tercermin pada anggota?

4. Bagaimana potensi pelayanan kelembagaan sosial dan kelembagaan keuangan yang ada di Kelurahan Kebon Waru?

5. Sistem sumber apa yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE?

6. Bagaimana menentukan potensi yang mungkin digunakan dan cara memobilisasi potensi dalam mengatasi masalah pada KUBE?

III.MENEMUKENALI KEBUTUHAN

1. Apa yang dibutuhkan oleh KUBE dalam mengatasi masalah?

2. Kebutuhan apa yang dirasakan paling mendesak oleh KUBE dalam mengatasi masalah?

3. Strategi yang bagaimana yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi KUBE?

IV.MEMECAHKAN MASALAH

1. Bagaimana menentukan langkah- langkah kegiatan yang perlu diambil untuk mengatasi masalah?

2. Bagaimana menentukan potensi dan kebutuhan untuk memecahkan masalah?


(2)

PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS

(FOCUS GROUP DISCUSSION)

TOPIK : PERENCANAAN PARTISIPATIF

PETUNJUK : Untuk melaksanakan diskusi kelompok terarah dengan unsur- unsur:

- Anggota dan pengurus KUBE - Pendamping KUBE

- Ketua RW 01 - Tokoh masyarakat

- Petugas instansi/kelurahan

DISKUSI

Tanggal : ... Waktu : ... Tempat : ...

PETUGAS DISKUSI

Pemimpin Diskusi : ... Pencatat Diskusi : ...

PERENCANAAN PARTISIPATIF PROGRAM PENGEMBANGAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE)

1. Penentuan Topik

Merupakan hasil temuan di lapangan mengenai kondisi faktual tentang pemberdayaan keluarga miskin melalui KUBE dengan permasalahan yang dihadapinya.

2. Penentuan Masalah


(3)

3. Penentuan potensi dan sistem sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan KUBE.

4. Penentuan strategi pemecahan masalah yang diperlukan untuk pengembangan KUBE.

5. Penyusunan program kegiatan yang meliputi: a. Nama program

b. Tujuan program c. Sasaran program d. Pelaksana e. Pendukung

f. Waktu pelaksanaan kegiatan g. Sumber biaya

h. Penggunaan biaya

6. Penyusunan rencana kerja operasional

Bersama-sama merumuskan rencana tindak lanjut untuk melaksanakan kegiatan pengembangan KUBE.

7. Perancangan monitoring dan evaluasi

Merumuskan langkah monitoring dan evaluasi program pengembangan KUBE.


(4)

Lampiran 6 Dokumentasi Kegiatan Kajian

Kantor Kelurahan Kebon Waru

Wawancara dengan Lurah Kebon Waru


(5)

Wawancara dengan Pendamping Sosial, Ketua dan Anggota KUBE

Jenis Usaha Angota KUBE


(6)

Pengkaji Sedang Memfasilitasi Pelaksanaan FGD KUBE HPMBK-1

Kegiatan FGD KUBE HPMBK-2 dan HPMBK-3