Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri)

POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI YANG
TERSERTIFIKASI UNTUK PERDAGANGAN KARBON
Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno,
Kabupaten Wonogiri

MUHAMMAD SOFIYUDDIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

RINGKASAN
Muhammad Sofiyuddin (E01400036). Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan
Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa
Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri). Dibimbing oleh Dr. Ir.
Herry Purnomo, MComp dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.
Keadaan hutan indonesia dua puluh tahun terakhir cukup memprihatinkan,
hal ini terlihat dari tingginya laju kerusakan hutan (deforestrasi) indonesia. Akibat
yang ditimbulkan dari kerusakan hutan ini, Indonesia menuai banyak bencana

berupa banjir dan tanah longsor, selain itu isu yang saat ini ramai di
perbincangkan oleh dunia internasional adalah perubahan iklim (Climate Change)
berupa pemanansan global yang disebabkan meningkatnya gas CO2 di atmosfer
bumi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mencegah agar akibat-akibat ini tidak semakin
meluas dan sekaligus menciptakan dampak ekonomi yang merata dalam
pengelolaan hutan di Indonesia. Upaya yang dilakukan menyiratkan bahwa
diperlukan kesadaran akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola
hutan. Hutan rakyat yang diawali oleh gerakan reboisasi lahan atau tanah kosong
dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengatasi deforestrasi dan
alternatif penyimpanan karbon, munculnya perdagangan karbon dunia
menyebabkan hutan rakyat dapat menjadi pilihan dalam penyimpanan karbon
karena hal ini akan memberikan kontribusi bagi para petani hutan rakyat. Hutan
rakyat memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pemenuhan kayu indrustri di
beberapa daerah, oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian tentang cara
pengelolaan, potensi tegakan dan karbon di hutan rakyat untuk mengetahui
seberapa besar kontribusinya terhadap fungsi ekologi dan fungsi ekonomi
masyarakat sekitar hutan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui cara-cara pengelolaan hutan
rakyat, menghitung potensi tegakan dan potensi simpanan karbon hutan rakyat,

mengkaji kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2005 sampai dengan bulan April
2005 di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Bahan-bahan
yang digunakan lahan hutan rakyat jati mahoni yang dimiliki masyarakat di lokasi
penelitian. Alat yang digunakan adalah pita ukur, haga hypsometer, tally sheet,
perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer dan alat tulis, perangkat
lunak (software) berupa program-program komputer untuk mengolah data yaitu
Program Ms. excel. Data tegakan hutan rakyat diperoleh dengan mengukur
tegakan hutan rakyat pada lahan petani responden secara purposive, sedangkan
data tentang keadaan dan cara pengelolaan hutan rakyat diperoleh melalui
wawancara dengan petani responden hutan rakyat. Data lapangan diolah untuk
mendapatkan kerapatan dan volume tegakan perhektar, potensi biomassa dan
karbon tegakan diperoleh dengan menggunakan persamaan allometrik dari
penelitian sebelumnya. Kelayakan proyek pengelolaan hutan rakyat dengan
analisis Net Present Value (NVP) dan analisis Benefit Cost Ratio (BCR). Praktek
pengelolaan hutan rakyat di Selopuro sudah lama dilakukan oleh masyarakat yang
diawali oleh keprihatinan akan kondisi lahan yang kritis, praktek ini dimulai
sekitar akhir 60-an. Praktek pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara sederhana

yang terdiri dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

Kerapatan tegakan pada tegalan untuk jati berkisar antara 41-350 pohon/ha dan
mahoni 41-237 pohon/ha, sedangkan pada pekarangan untuk jati berkisar antara
56-181 pohon/ha dan mahoni 47-374 pohon/ha. Volume tegakan pada tegalan
berkisar antara 6,86-93,65 m3/ha dan pekarangan berkisar antara 2,34 - 81,07.
Pada tegalan dan pekarangan rata-rata diameter, kerapatan pohon per hektar, dan
rata-rata volume meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, pertambahan ini
dikarenakan petani tidak banyak melakukan penebangan, hanya pada waktu
mendesak baru akan menebang pohon pada pohon-pohon berumur 20-25 tahun
saja. Kerapatan dan volume rata-rata mengalami penurunan pada umur
pengelolaan 25 tahun dikarenakan pada umur ini petani melakukan banyak
penebangan pohon baik jati maupun mahoni. Diameter rata-rata terbesar terdapat
pada umur pengelolaan 25 tahun. Potensi karbon untuk tegalan berkisar antara
9,36 – 74,627 tonC/ha, sedangkan untuk pekarangan berkisar antara 2,49 – 29,90
tonC/ha untuk umur pengelolaan 5 sampai dengan 25 tahun. Potensi karbon
tegakan meningkat sejalan dengan pertambahan umur tegakan, selain umur
tegakan peningkatan karbon tegakan juga dipengaruhi oleh kerapatan pohon dan
cara pengelolaan hutan rakyatnya. Pengelolaan hutan rakyat tanpa penjualan
karbon hanya layak secara finansial pada tingkat suku bunga 10%, dan untuk
pengelolaan hutan rakyat dengan penjualan karbon layak secara finansial pada
tingkat suku 10% dengan harga karbon 15-21 USD/tonC. Skema penjualan

karbon lebih menguntungkan pada harga karbon 18 dan 21 USD dengan tingkat
suku bunga kurang dari 10%.

The Potential of Certified Teak And Mahagony Rural Forest Stand
For Carbon Trading:
A Case Study at Desa Selopuro Kabupaten Wonogiri

By:
Muhammad Sofiyuddin, Herry Purnomo, and Teddy Rusolono
INTRODUCTION. The condition of Indonesian forests in the last 20 years has been very concerning, as
deforestation has reached a high level. Deforestation is one of the main causes of numerous cases of flood
and landslide. Other factor, which has become an international issue, is none other than the global warming
caused by the increasing amount of CO2 in the Earth’s atmosphere. Efforts done so far imply that the
society’s involvement to save the forests is very crucial. Community forests initialized by land reforestation is
a possible solution to handle deforestation and an altrernative for carbon saving. The world’s carbon trading
has made the rural forests an option for carbon saving, since they give a lot of contribution to the forest
farmers. Rural forests also give a huge contribution to the availability of industrial wood in several regions.
Therefore, it is necessary to hold a research on how to develop the potential of trees and carbon of the rural
forests. It is very useful to find out how big it contributes to the ecological and economical functions of the
people living around the forests.

METHOD. Research was done from March 2005 – April 2005 at Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno,
Kabupaten Wonogiri. Materials that were used include the teak and mahogany forests belong to the people
living in the research field. Research tools include measuring ribbon, hypsometer haga, tally sheets,
hardware (a set of computer and stationary), and software (Ms. Excel for data processing). The data were
collected by measuring the rural forest stand on the respondents’ fields (the respondents were forests farmer)
purposively. On the other hand, the data on how to work on the rural forests were collected by interviewing
the forest farmers as respondents. Field data were processed to get the trees’ density and volume per hectar.
The potential of biomass and tree carbon is gotten by using the allometric equation from the previous
research. The project viability to develop the rural forests is done by using the Net Present Value (NVP) and
Benefit Cost Ratio (BCR) analysis.
RESULT AND DISCUSSION. The rural forest development was initialized by the concerns about the critical
land condition and the difficulties to get clean water. The rural forest development consists of land
preparation, plantation, maintanance, and harvesting. The teak stand density on tegalan range between 41350 trees/ha and that of mahogany range between 41-237 trees/ha. The teak stand density on pekarangan
range between 56-181 trees/ha and that of mahogany ranges between 47-374 trees/ha. The stand volume
on tegalan range between 6,86-93,65 m3/ha and that of pekarangan range between 2,34 - 81,07. If we
compare the trees density per hectar in every year of development, the density on tegalan is higher than that
of pekarangan, except in the 15th year. It is possibly caused by the choice of farmers to cut down mahogany
trees on tegalan that have completed the cycle. In average, the density and volume start to decrease in the
25th year of development. It happens because farmers perform a lot of teak and mahogany trees cutting. The
carbon potential of tegalan range between 9,36 – 74,627 tonC/ha and that of pekarangan range between

2,49 – 29,90 tonC/ha for 5 up to 25 years of development. The carbon potential of stand increases along with
growth of the stand every year. The increase of stand carbon is also influenced by the trees density and the
ways to develop the rural forests. The NPV and BCR values for rural forests development without carbon
selling on the discount rate less than 12% and the carbon price is US$ 3-8/tonC is more than one, or in
other words, is positive. On the other hand, if the discount rate increases up to 15%, the values are less than
one or negative. The NPV and BCR values for rural forests development with carbon selling are considered
positive only if the discount rate variant is 10% and the carbon price range between US$ 3-8/tonC.
CONCLUSION.The study concludes the following : (1) The forest farmers of Selopuro have done excellent
efforts to mantain and develop the forests, as ecologically proven by the appearance of water springs on
previously dry lands. Moreover, the forests have received the acknowledgement as the first certified forests
in Indonesia. (2) The stand density on tegalan is 41-358 trees/ha, while that of pekarangan is 103-306
trees/ha. The stand volume of every tegalan is 6,86-93,65 m3/ha and of every pekarangan is 2,34-81,07. (3)
The carbon potential of tegalan range between 9,36-74,627 tonC/ha and that of pekarangan range between
2,49-29,90 tonC/ha for 5-25 years development. (4) The rural forest development without carbon selling is
financially viable if the discount rate is less than 12% and the carbon price is US $ 3-8/tonC. On the other
hand, the rural forest development with carbon selling is financially viable only if the discount rate is 10% and
the carbon price is US$ 3-8/tonC.

POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI YANG
TERSERTIFIKASI UNTUK PERDAGANGAN KARBON

Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno,
Kabupaten Wonogiri

MUHAMMAD SOFIYUDDIN

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Skripsi

: Potensi Tegakan Hutan Rakyat
Jati dan Mahoni yang

Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon : Studi Kasus di
Desa
Selopuro,
Kecamatan
Baturetno,
Kabupaten
Wonogiri.

Nama

: Muhammad Sofiyuddin

NRP

: E01400036

Disetujui

Pembimbing Utama


Pembimbing Kedua

Dr.Ir. Herry Purnomo, MComp
NIP. 131 795 793

Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS
NIP. 131 760 840

Diketahui
Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
NIP. 131 430 799

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 November 1982, merupakan
anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Didin Muhyiddin dan Ibu

Hj. Maraimunah. Penulis menempuh jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak
pada tahun 1986 sampai 1988 di TK Ardialoka. Pada tahun 1988 – 1994
menempuh sekolah dasar di SD Negeri Pengadilan I Bogor. Pada tahun 1994
penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 7 Bogor, dan menyelesaikannya
pada tahun 1997. penulis kemudian melanjutkan lagi ke SMU Negeri 5 Bogor dan
menyelesaikannya pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima
menjadi mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada masa perkuliahan, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Tasikmalaya, Jawa Barat pada bulan Juli
sampai Agustus 2003. Praktek Kerja Lapang dilaksanakan pada tahun 2004 di PT.
Wira Karya Sakti, Kabupaten Musi Banyu Asin, Jambi. Selama masa perkuliahan
penulis aktif di Forest Management Student Club (FMSC) dan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB,
penulis melakukan penelitian dengan judul Potensi Hutan Rakyat Jati dan
Mahoni yang Tersertifikasi Untuk Perdagangan Karbon : Studi Kasus di
Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri dibimbing oleh
Dr. Ir. Herry Purnomo, MComp dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, atas segala limpahan Rakhmat dan Hidayah-Nya yang telah
memberikan kemudahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang
Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro
Kabupaten Wonogiri). Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Apa dan Mama yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil,
dan adikku tercinta Tira Destira yang selalu membawa keceriaan di rumah.
2. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pengetahuan dan
selalu memberi semangat juga kesabarannya selama membimbing penulis.
3. Pihak FKPS Selopuro dan PERSEPSI atas bantuannya dalam pengumpulan
data di lapangan.
4. Ibu dan Bapak Puyono atas bantuan dan tempat menginap selama penelitian di
Selopuro.
5. Bapak dan Ibu KPAP Departemen MNH atas bantuannya dalam proses
administrasi selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
6. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya, dan mengucapkan rasa terima kasih atas seluruh
bantuannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan.
Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
yang membaca.

Bogor, Januari 2007

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
PENDAHULUAN
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .......................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ........................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat .................................................................................................. 3
Pengertian Biomassa....................................................................................... 5
Pendugaan dan Pengukuran Biomassa ........................................................... 6
Perdagangan Karbon....................................................................................... 7
Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis).......................................................... 8
Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia Macrophylla) .................. 10
Analisis Kelayakan Proyek ........................................................................... 10
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 13
Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................ 13
Metode Penelitian
Pengumpulan Data .................................................................................. 13
Pengolahan dan Analisis Data................................................................. 15
Analisis Finansial .................................................................................... 16
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis......................................................................................... 18
Sarana dan Prasarana .................................................................................... 19
Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk .............................................................. 20
Kondisi Hutan Rakyat .................................................................................. 20

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kondisi dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Selopuro
Karakteristik Responden ......................................................................... 22
Riwayat Pengelolaan Hutan Rakyat Sertifikasi Lestari .......................... 23
Kondisi pengelolaan dan Cara Budidaya ................................................ 24
Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat ................................................................. 27
Potensi Karbon Tegakan Hutan Rakyat........................................................ 32
Analisis Finansial
Komponen Biaya..................................................................................... 35
Pendapatan .............................................................................................. 37
Perbandingan NPV dan BCR Pengelolaan Hutan Rakyat Dengan
dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon ................................................. 39
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... ...42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ...43
LAMPIRAN ................................................................................................... ...45

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Potensi tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo tahun 1998 ..................... 9

2.

Tata guna lahan Desa Sumberejo............................................................. 19

3.

Mata pencaharian penduduk Selopuro .................................................... 20

4.

Sejarah perkembangan hutan rakyat di Selopuro ..................................... 24

5.

Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk
tanaman jati .............................................................................................. 28

6.

Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk
tanaman mahoni........................................................................................28

7.

Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan..................................28

8. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan
untuk tanaman jati. ................................................................................. 29
9.

Sebaran potensi tegakaan hutan rakyat pola pekarangan
untuk tanaman mahoni............................................................................. 29

10.

Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan .......................... 30

11.

Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat .............................. .....35

12.

Potensial penebangan pohon selama satu daur.........................................37

13.

Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat..................38

14.

Komponen pendapatan petani hutan rakyat dari penjualan karbon..........39

15.

NPV dan BCR pada berbagai suku bunga untuk pengelolaan
hutan rakyat tanpa skema perdagangan karbon....................................... 40

16.

NPV dan BCR pada berbagai suku bunga dan berbagai harga karbon
untuk pengelolaan hutan rakyat dengan skema
perdagangan karbon .................................................................................40

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 18
2. Sebaran kelas diameter pada berbagai variasi umur tegakan
untuk lahan tegalan ........................................................................... 31
3. Sebaran kelas diameter pada berbagai variasi umur tegakan
untuk lahan pekarangan. .................................................................. 31
4. Perbandingan kerapatan pohon per hektar
tegalan dan pekarangan ..................................................................... 32
5. Potensi rata-rata karbon total pada berbagai variasi umur tegakan
di tegalan. ......................................................................................... 33
6. Potensi rata-rata karbon total pada berbagai variasi umur tegakan
di pekarangan. .................................................................................. 33

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Identitas umum responden ......................................................................... 46
2. Identitas dan riwayat lahan yang dikelola. ................................................ 47
3. Kondisi dan cara budi daya ........................................................................ 48
4. Rekapitulasi data lapangan untuk pekarangan. ......................................... 50
5. Rekapitulasi data lapangan untuk tegalan. ................................................ 51
6. Rekapitulasi biaya pengelolaan hutan rakyat. .......................................... 52
7. Arus kas penerimaan dan biaya sepanjang waktu pengelolaan
tanpa mekanisme penjualan karbon. ......................................................... 53
8. NPV dan BCR pengelolaan hutan rakyat tanpa penjualan karbon . . .........55
9. Contoh arus kas penerimaan dan biaya sepanjang waktu pengelolaan
dengan mekanisme penjualan karbon untuk harga karbon 3 USD ............ 56
10. NPV dan BCR pengelolaan hutan rakyat dengan
mekanisme penjualan karbon untuk harga karbon 3 USD ................ .........58
11. Dokumentasi hasil penelitian lapangan……………………………...........59

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keadaan hutan indonesia dua puluh tahun terakhir cukup memprihatinkan,
hal ini terlihat dari tingginya laju kerusakan hutan (deforestrasi) indonesia.
Menurut beberapa laporan baik pemerintah maupun lembaga-lembaga pemerhati
kehutanan (LSM) laju deforestrasi hutan Indonesia meningkat hingga mencapai
rata-rata 2 juta hektar tiap tahunnya (Barus, 1997). Laporan ini juga menyebutkan
bahwa dua faktor utama penyebabkan kerusakan hutan adalah tekanan
pertambahan penduduk dan adanya proyek-proyek pembangunan yang luas yang
mengekploitasi hutan untuk tujuan komersil.
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan ini, Indonesia menuai banyak
bencana berupa banjir dan tanah longsor, selain itu isu yang saat ini ramai
diperbincangkan oleh dunia internasional adalah perubahan iklim (Climate
Change) berupa pemanansan global yang disebabkan meningkatnya gas CO2 di
atmosfer bumi. Peningkatan gas CO2 di atmosfer salah satunya disebabkan oleh
hilangnya biomassa akibat penebangan pohon dari hutan (Murdiarso, 2003).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) untuk mencegah agar akibat-akibat ini tidak semakin meluas
dan sekaligus menciptakan dampak ekonomi yang merata dalam pengelolaan
hutan di Indonesia. Upaya yang dilakukan menyiratkan bahwa diperlukan adanya
kesadaran akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan.
Beberapa kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini
berupa kebijakan hutan rakyat, HPH bina desa, Pembinaan Masyarakat Desa
Hutan (PMDH), maupun melalui Perhutanan Sosial yang dilakukan Lembaga
Swadaya Masyarakat (Barus, 1997).
Ekosistem hutan memainkan peranan yang penting dalam mengurangi
perubahan iklim karena hutan memiliki kemampuan menyerap karbon, salah
satunya CO2 dan kemudian menyimpannya dalam tegakan hutan. Kerusakan
hutan akan menyebabkan pelepasan utama stok karbon dari permukaan bumi.
Laju perusakan hutan yang sangat besar di dunia khususnya hutan alam
menyebabkan perlunya solusi lain untuk menyimpan karbon dalam tegakan hutan.

Hutan rakyat yang diawali oleh gerakan reboisasi lahan atau tanah kosong
dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengatasi deforestrasi dan
alternatif penyimpanan karbon. Selain itu munculnya perdagangan karbon dunia
menyebabkan hutan rakyat dapat menjadi pilihan dalam penyimpanan karbon
karena hal ini akan memberikan kontribusi bagi para petani hutan rakyat. Hutan
rakyat memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pemenuhan kayu indrustri di
beberapa daerah, oleh karenanya perlu diketahui potensi volume dan kerapatan
tiap hektarnya.
Cara pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani lokal juga
memberikan dampak ekologi yang besar dalam mengurangi laju degradasi areal
berhutan karena memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Oleh karena
itu perlu diadakan suatu penelitian tentang cara pengelolaan, potensi tegakan dan
karbon di hutan rakyat untuk mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap
fungsi ekologi dan fungsi ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Mengetahui cara-cara pengelolaan hutan rakyat.
2. Menghitung potensi tegakan dan potensi simpanan karbon hutan rakyat.
3. Mengkaji kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk beberapa pihak,
antara lain :
1. Dari sisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi
tentang sistem pengelolaan, potensi hutan rakyat, dan acuan untuk penelitian
lebih lanjut dilokasi penelitian.
2. Memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dalam pengelolaan dan
pengembangan hutan rakyat di lokasi penelitian.
3. Bagi petani hutan rakyat dalam mengambil keputusan untuk pengembangan
hutan rakyatnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat
Alrasid dalam Barus (1997) menyatakan hutan rakyat pada dasarnya adalah
hutan yang dibangun pada lahan milik, ditanami dengan pohon yang pengelolaan
dan pembinaannya dilakukan oleh pemiliknya atau badan usaha seperti koperasi
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan pemerintah.
Hutan rakyat menunjukkan pada pengelolaannya, yakni rakyat dengan kasus
hutan pada tanah miliknya yang bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya,
dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Istilah untuk
hutan rakyat berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweng, wono,
lembo, simpung, repong, tombak, dan lain-lain. Beberapa faktor telah mendorong
budidaya hutan rakyat di Jawa, faktor ekologis, ekonomi, dan budaya, hutan
rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal–areal lahan kering daerah atas
(Suharjito, 2000).
Suryohadikusumo dalam Suharjito (2000) menyatakan hutan rakyat adalah
hutan tanaman yang tumbuh di atas tanah milik rakyat atau hak-hak lainnya yang
jelas penggarap lahannya (yang menanam, memelihara dan akan memanen
hasilnya), sedangkan menurut Barus (1997) hutan rakyat adalah hutan yang
dikelola oleh satuan masyarakat di bawah bimbingan teknis kehutanan.
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar dan
penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau tanaman tahun
pertama sebanyak 500 batang tanaman (Dirjen RRL, 1997), selanjutnya Tim
Arupa (2001) menyatakan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan
milik rakyat, baik perseorangan maupun bersama-sama atau badan hukum dan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pengelolaan hutan rakyat berorientasi pada kawasan yang sempit dengan
lebih menekankan pada pengelolaan pohon per pohon, sehingga setiap
individu pohon mendapat perhatian yang khusus.
2. Penebangan pohon dilakukan apabila pohon telah mencapai umur tertentu
dan ukuran fisik yang cukup besar, sehingga sudah siap diserap oleh pasar
kayu setempat. Pada hutan rakyat umur tebang kurang diperhatikan,

seperti pada hutan negara, akan tetapi lebih menekankan pada umur tebang
rata-rata pohon yang akan ditebang.
3. Penebangan pohon di hutan rakyat biasanya dilakukan tanpa pengukuran
diameter dan tinggi pohon serta tidak dilakukan perhitungan volume
pohon atau volume tegakan, yang biasanya dilakukan untuk mengetahui
besarnya produksi kayu yang dihasilkan.
Secara umum hutan rakyat adalah hutan milik dan berada diluar kawasan
hutan negara, dari batasan ini hutan rakyat memilki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar diantara
pedesaan lainnya.
2. Bentuk usaha tidak selalu murni berupa usaha bercocok tanam pohonpohonan, adakalanya terpadu atau dikombinasikan dengan cabang-cabang
usaha tani lainnya (perkebunan, peternakan, pertanian pangan dan lainlain)
Hutan atau tegalan dalam kontek bahasa Jawa biasa disebut alas atau dalam
bahasa Jawa yang halus disebut wono dalam hal ini biasa menunjukkan hutan
rakyat. Rata-rata di hutan rakyat jati pohon jati yang belum besar sudah ditebang
biasanya dengan ukuran diameter 10-20 cm dengan umur sekitar 10 tahun, hal ini
biasanya disebabkan karena kebutuhan yang mendesak dan agak besar
nominalnya seperti membayar sekolah anak. Dibeberapa daerah di Jawa yang
tingkat pendidikannya rendah pohon jati dengan diameter 10-20 cm dijual murah
dengan harga 25 -50 ribu rupiah/batang (Suharjito, 2000).
Awang (2001) menyatakan hutan rakyat di Jawa mulai dikembangkan pada
tahun 1930 oleh pemerintah Kolonial Belanda lalu dilanjutkan oleh pemerintah
Indonesia melalui program karang kitri, pengembangan selanjutnya hutan rakyat
berada dibawah payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun
1960. Tanaman yang biasa ditanam untuk diusahakan adalah jati, sengon, akasia,
dan mahoni. Hutan rakyat mulanya dibangun pada lahan-lahan kritis namun dalam
perkembangannya beralih ke lahan-lahan yang subur, dan telah diperhitungkan
sebagai usaha ekonomi. Masyarakat Jawa mempunyai tradisi budidaya kayu yang
dikenal dengan istilah wono atau lebih dikenal dalam bahasa Indonesia dengan

hutan rakyat pada saat ini. Namum pada kenyataanya di lapangan wono dapat
berujud tegalan, pekarangan, kebonan bahkan sawah.
Harjanto dalam Suharjito (2000) hutan rakyat merupakan hutan yang
dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya
hutan rakyat disebut juga hutan milik. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya
sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal
harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata kepemilikan lahan di
Jawa sangat sempit. Ciri pengusahaan hutan rakyat adalah :
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana
petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.
2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha
dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan
sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10%
pendapatan total.
Prabowo dalam Suharjito (2000) menyatakan, untuk menjaga kelestarian
hutan dan kelestarian hasilnya, petani-petani hanya akan melakukan penebangan
bila sangat memerlukan saja dan hanya menebang jika diameter batang telah
cukup besar, yaitu cukup untuk membuat tiang rumah (diameter sekitar 30 cm).
Pengertian Biomassa
Whitten et al. (1984) mendefinisikan biomassa hutan sebagai jumlah total
berat kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian
tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering
tanur per satuan luas (ton/hektar). Menurut Brown (1997) mendefinisikan
biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup dalam pohon yang dinyatakan
dalam berat kering oven per unit area.
Kusmana et al. (1992) membedakan biomassa ke dalam dua kategori, yaitu
biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di
bawah permukaan tanah (below ground biomass). Biomassa tumbuhan bertambah
karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi

bahan organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang
terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan
masing-masing. Sisa hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi
primer bersih, lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah biomasa dalam hutan adalah
hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui
respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).
Umumnya karbon menyusun 45 - 50 % bahan kering dari tanaman. Sejak
kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap
sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah
karbon yang tersimpan di hutan. Hutan tropika mengandung biomassa dalam
jumlah yang besar, sehingga hutan tropika merupakan cadangan simpanan karbon
yang penting. Selain itu karbon tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai
serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar
lapuk di dalam tanah (Whitemore, 1985).
Pendugaan dan Pengukuran Biomassa
Ada dua pendekatan untuk menduga biomassa suatu pohon, yaitu
pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas
cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan
pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi
biomassa. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan
persamaan berikut : Biomassa diatas tanah = VOB x WD x BEF. Volume of
Biomass (VOB) menyatakan volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha),
Wood Density (WD) adalah kerapatan kayu (ton biomassa kering tanur/m3 volume
biomassa inventarisasi), dan Biomass Expansion Factor (BEF) adalah
perbandingan total biomassa pohon kering tanur di atas tanah dengan biomassa
kering tanur volume hasil inventarisasi hutan. Pendekatan kedua penentuan
biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter
batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa
per rata-rata pohon menurut sebaran diameter dengan menggabungkan sejumlah
pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total seluruh pohon untuk
seluruh kelas diameter. Persamaan ini dikenal dengan persamaan allometrik

dengan rumus dasarnya, yaitu Y = a Db, Y adalah biomassa pohon (kg), D adalah
diameter setinggi dada (130 cm), a dan b adalah konstanta (Brown, 1997).
Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas
tanah ke dalam dua golongan besar, yaitu metode destruktif (pemanenan) dan
metode non–destruktif (tidak langsung). Metode pemanenan terdiri dari tiga
metode, yaitu (a) Metode pemanenan individu tanaman yang diterapkan pada
kondisi tingkat kerapatan tumbuhan per pohon cukup rendah dan komunitas
tumbuhan dengan jenis sedikit, (b) Metode pemanenan kuadrat, metode ini
mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan
menimbangnya dan (c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas
bidang rata-rata, metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang mempunyai
ukuran individu seragam. Metode tidak langsung terdiri dari dua metode, yaitu (a)
Metode hubungan allometrik, persamaan allometrik dibuat dengan mencari
korelasi yang baik antara dimensi pohon dan (b) Metode crop meter, pendugaan
biomassa pada metode ini dengan menggunakan peralatan elektroda listrik yang
kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagianbagian tertentu seperti kayu yang sudah diekstraksi. Mengukur biomassa vegetasi
pohon tidaklah mudah khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur
(Murdiarso et al. 1999).
Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti iklim, curah
hujan dan suhu yang akan mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon
(Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut berdampak pada proses pengambilan karbon
oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktifitas dekomposer (Murdiarso et
al. 1999). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan
suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan
tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.
Perdagangan Karbon
Emisi atau buangan tranportasi dan emisi biomassa lainnya merupakan
sumber kerusakan utama terbentuknya efek rumah kaca diatmosfer bumi yang
menyebabkan terjadinya pemanasan bumi. Atas dasar keprihatinan tersebut para

pakar lingkungan dunia mulai menggulirkan penyelamatan lingkungan dunia
melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi di Rio Jenairo, Brasil pada tahun
1992 yang kemudian hasilnya diratifikasi pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang.
Pertemuan ini kemudian menghasilkan Kyoto Protokol yang mengagendakan
penurunan tingkat emisi oleh negara industri (Annex I) sebesar 5% tahun 1990
pada tahun 2008-2012 (Anonim, 2006).
Murdiarso et al. (1999) mengatakan bahwa penanggulangan perubahan
iklim dalam Protokol Kyoto ditanggulangi dengan cara yang lentur dengan
menggunakan mekanisme pasar, yaitu melalui perdagangan karbon. Tujuannya
adalah dapat mencapai penurunan emisi dengan cara yang semurah mungkin.
Perdagangan karbon ini dalam bentuk sertifikat yaitu keterangan yang
menyatakan jumlah emisi para pelaku perdagangan yang akan diverifikasi oleh
suatu badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut.
Reduksi Emisi Bersertifikat (RES) atau Certified Emisión Reduction (CER) inilah
yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional CER dan dinyatakan
dalam ton karbon yang direduksi (Murdiyarso, 2003). Dalam protokol Kyoto
untuk perdagangan dengan negara berkembang ada mekanisme khusus yang
disebut Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan
Bersih (MPB). Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan fasilitas kepada
negara maju agar mencapai komitmen tentang tingkat emisinya dan negara
berkembang mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn.f.)
Jati (Tectona grandis L.f) memiliki persebaran yang cukup luas khususnya
di Benua Asia, tanaman ini adalah jenis endemik jazirah India, Myanmar,
Thailand, Indo-Cina, sebagian Jawa dan beberapa pulau kecil di Indonesia, seperti
Pulau Muna Sulawesi Tenggara. Jati digolongkan sebagi kayu mewah dan kelas
awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan hingga
500 tahun (Khairul, 2002). Jati tumbuh baik pada tanah yang banyak mengandung
Fosfor (P) dan Kalsium (Ca), dengan pH antara 6 – 8. Kondisi lingkungan yang
baik untuk pertumbuhan jati adalah lingkungan dengan musim kering yang
banyak dengan curah hujan antara 1200 – 3000 mm/th, intensitas cahaya tinggi,
dan suhu 22-31oC (Dirjen RRL, 1995).

Menurut Sumarna (2003) tinggi pohon jati dapat mencapai 30 - 45 m
dengan tinggi batang bebas cabang 15 – 20 m dan diameter 220 cm. Pertumbuhan
jati cukup cepat sampai umur 25 tahun namun setelah itu pertumbuhannya relatif
lambat, pada umur 50 tahun produksinya dapat mencapai 417 m3/ha sedangkan
pada umur 80 produksinya mencapai 539 m3/ha. Menurut Kuncahyo (1984) kurva
pertumbuhan diameter jati dengan menerapkan metode multiphase sampling
memiliki persamaan :
Log Y = 0,61 + 0,60 log X
dimana Y adalah nilai diameter dan X adalah umur pohon, sedangkan menurut
Hermawan (1997) model pertumbuhan peninggi tegakan hutan tanaman jati
memiliki persamaan :
Log Y = 0,814 + 0,388 log X
dimana Y adalah nilai peninggi dan X adalah umur pohon.
Di daerah Kapur Selatan pertimbangan masyarakat menanam jati
dikarenakan tanah yang tandus, berkapur, suhu udara yang panas, dan tanaman
jati ternyata cocok untuk ditanam didaerah dengan kondisi tesebut karena jati
mampu beradaptasi dengan menggugurkan daun pada musim kemarau, selain itu
jati memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan tidak memerlukan perawatan yang
intensif. Masyarakat juga lebih memilih jati dibandingkan mahoni karena
pertumbuhan mahoni lebih lama dan dari segi harga jual kalah jauh dibandingkan
jati dan penyusutan pohon mahoni lebih cepat karena daunnya sering digunakan
untuk makanan ternak (Awang, 2002). Berikut ini potensi tegakan hutan rakyat di
salah satu desa di Kapur Selatan.
Tabel 1 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri tahun 1998.
Kelas
Diameter
(cm)
5-9

Diameter
Rata-rata
(cm)
7,2

Tinggi
Rata-rata
(m)
3

Taksiran Vol
per Batang
(m3)
0,01

Jumlah
Batang/Ha

Vol/Ha
(m3)

1240

15,50

10 – 14

12,6

4

0,05

510

25,80

15 – 19

17,6

5

0,12

150

18,31

>20

22,0

6

0,22

90

20,61

1990

76,35

Total

Sumber. Awang 2001

Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia macrophylla King)
Swietenia macrophylla King yang terkenal dengan nama mahoni daun
besar/lebar termasuk dalam genus Swietenia dan famili Meliceae. Jenis ini
tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat
mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua.
Jenis ini tersebar di seluruh pulau jawa dari Jawa Barat sampai Jawa Timur
(Samingan, 1982).
Mahoni daun besar tumbuh pada zona lembab dan menyebar luas secara
alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian
tengah dan utara Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan
pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia Bagian Selatan dan
Pasifik (Departemen Kehutanan RI, 2001)
Menurut Samingan (1982) mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku
pelapis katagori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan
garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-rata nya 0,61 dan
termasuk dalam katagori kelas awet III dan kelas kuat II – III, dengan kayu teras
berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis mahoni juga
banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai, dan rangka pintu.
Manan (1994) menyatakan bahwa produksi mahoni daun besar pada tanah
yang baik dapat menghasilkan kayu dua kali lebih besar dibandingkan jati yaitu
500 m3/ha, sedangkan pada tanah yang buruk hasilnya lebih buruk dibangdingkan
dengan jati, sedangkan riap tanaman mahoni daun besar diperkirakan 15 – 17
m3/ha/th pada umur tanaman 40 – 50 tahun. Pada daur 50 – 60 tahun dalam sistem
silvikultur tebang habis permudaan buatan (THPB) pertumbuhan riap volume
rata-rata tahunan tegakan mahoni pada tanah subur yaitu 15 – 20 m3/ha dan pada
tanah kurus yaitu 7 – 11 m3/ha, sedangkan kerapatannya mencapai 200 – 400
ph/ha pada umur 35 tahun (Ditjen Kehutanan, 1976).
Analisis Kelayakan Proyek
Menurut Gray et al. (1997) salah satu analisis yang dapat memperkirakan
apakah suatu investasi layak atau tidak adalah analisis finansial. Analisis finansial
dilakukan dengan tujuan untuk melihat suatu hasil kegiatan investasi dari sisi

individu, dalam hal ini perorangan, perseroan, CV, atau kelompok usaha lain yang
berhubungan dengan proyek. Hasil analisisnya disebut private return yang
merupakan hasil untuk modal saham yang ditanam proyek. Analisis finansial
didasarkan pada keadaan sebenarnya dengan menggunakan harga yang ditemukan
di lapangan (real price).
Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan juga
dapat segera melakukan penyesuaian apabila proyek bejalan menyimpang dari
rencana semula. Adapun menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat
kelayakan dari analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan
penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama
umur ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponenkomponennya

ditentukan

dan

diperoleh

nilainya.

Komponen

tersebut

dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penghasilan atau manfaat (benefit) dan
biaya (cost). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit) yang
kemudian dijadikan nilai sekarang (present value) dengan mengalikannya dengan
tingkat suku bunga (discount rate) yang ditetapkan. Tingkat diskonto ini harus
senilai dengan opportunity cost of capital atau biaya marginal kegiatan tersebut
dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha dan biasanya tingkat
diskonto merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal.
Menurut Gittinger (1986) kriteria-kriteria yang digunakan dalam suatu
evaluasi terhadap investasi proyek adalah Net Present Value (NPV) dan Benefit
Cost Ratio (BCR).
Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara
nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih
dimasa yang akan datang. Menurut Sutojo (1991) untuk menghitung nilai
sekarang perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat suku bunga yang relevan,
tingkat bunga tersebut diperoleh dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman
jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau dengan mempergunakan tingkat
bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemilik proyek. Proyek dinyatakan layak
jika NPV lebih besar atau sama dengan nol, yang berarti proyek tersebut minimal
telah mengembalikan sebesar opportunity cost faktor produksi modal.

Menurut Perkins (1994) NPV diperoleh dengan mendiskonto keuntungan
bersih yang dihasilkan oleh suatu proyek pada akhir masa proyek tersebut,
menjadi nilai pada periode waktu terpilih dan biasanya pada waktu sekarang.
Kelebihan utama dari NPV sebagai salah satu kriteria dalam melaksanakan
analisis dan evaluasi terhadap proyek adalah bahwa kriteria ini mudah digunakan
dan tidak bergantung pada ketentuan-ketentuan yang kompleks, mengenai dari
mana biaya dan keuntungan didapatkan.
Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan angka perbandingan (ratio) jumlah
manfaat (benefit) terhadap jumlah biaya investasi dan operasional. Proyek
dinyatakan layak jika BCR lebih besar dari satu dan tidak layak jika BCR lebih
kecil dari satu, jika BCR sama dengan satu penyerahan keputusan diserahkan pada
pihak manajemen (Perkins, 1994). Menurut Gittinger (1986) keuntungan (benefit)
dalam pengertian umum adalah perbedaan antara nilai output dan nilai input.
Dalam ekonomi mikro perbedaan antara penerimaan penjualan barang dengan
nilai input memasukkan biaya oportunitas modal, sedangkan dalam ekonomi
mikro definisi laba tidak memasukkan bunga dari pinjaman, tetapi memasukkan
penghasilan yang diperoleh pemilik modal.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis
Desa Selopuro termasuk salah satu desa di Kecamatan Batuwarno,
Kabupaten Wonogiri, yang terletak 50 km kearah tenggara dari Kota Wonogiri.
Desa Selopuro dikelilingi oleh 5 desa lainnya sebagai batas wilayah, yaitu:
1. Sebelah Utara

: Desa Sumberejo

2. Sebelah Selatan

: Desa Sendangsari dan Desa Selomerto, Kecamatan
Giriwoyo

3. Sebelah Timur

: Desa Batuwarno

4. Sebelah Barat

: Desa Belikurip

Gambar 1 Peta situasi lokasi penelitian.
Selopuro dalam adminitrasi pemerintahan termasuk desa kelurahan yang
terbagi ke dalam 7 lingkungan yaitu ; Watugeni, Pagersengon, Jarak, Selorejo,
Sudan, Tulakan, dan Sidowayah, terbagi kedalam 5 rukun warga (RW) dan 15
Rukun tetangga (RT).
Berdasarkan data monografi desa tahun 2005, desa ini memiliki luas
707,906 ha yang peruntukkannya masing-masing dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.

Tabel 2 Tata guna lahan Desa Selopuro
No

Penggunaan

Luas (ha)

Persentase(%)

1.

Sawah Tadah Hujan

69,93

9,8

2.

Hutan Negara

240

3,9

3.

Tegal

250,79

35,42

4.

Pekarangan/Bangunan

91,57

12,93

5.

Tambak Kolam

41

5,79

6

Tanah Bengkok

8,48

1,19

7

Lapangan Olahraga

1

0,14

8.

Kuburan

1

0,14

9.

Jalan

3,62

0,51

10.

Lain-lain

0,5

0.07

Jumlah

707,91

100

Sumber : Monografi Desa tahun 2005
Desa Selopuro memiliki ketingggian tempat rata-rata 250 m dan masuk
dalam tipe iklim C menurut katagori Schmidt dan Ferguson (data klimatologi
2005). Topografinya berbukit dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan
gamping sebagai ciri khasnya, sedangkan jenis tanahnya banyak menunjukan jenis
litosol mediteran coklat basa. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan
batuan kapur berlapis-lapis membuat daerah termasuk kawasan batu bertanah
yang tanahnya terlihat sedikit dicelah-celah batu, tanah yang berkapur juga
membuat kawasan ini cukup cocok untuk ditanami oleh jenis pohon jati (Tectona
grandis).
Sarana dan Prasarana
Desa Selopuro bisa dicapai melalui darat dengan angkutan pedesaan (colt)
dan ojek. Sarana perhubungan didesa ini berupa jalan sepanjang 7 km yang sudah
dikeraskan dengan batu dan koral, selain itu juga terdapat 5 jembatan beton dan 33
jembatan bukan beton. Sarana pemukiman di Desa Selopuro terdapat 123
bangunan rumah dari batu permanen, 262 rumah dari papan/kayu, dan 4 buah
rumah dari bambu. Sarana pendidikan berupa sekolah terdiri dari 2 taman kanak-

kanak (Tk) dan 2 sekolah dasar (SD), tempat peribadatan terdiri dari 4 buah
masjid dan 1 musolla, sedangkan sarana kesehatan yaitu 1 puskesmas pembantu.
Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk
Jumlah penduduk Desa Selopuro berdasarkan data tahun 2005 yaitu
sebanyak 404 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 909 (50%) laki-laki dan 909
(50%) perempuan dengan jumlah total penduduknya 1818 jiwa. Sebanyak 1641
memeluk agama islam dan 177 memeluk agama kristen katholik. Sebagian besar
penduduknya berusia antara 25 -55 tahun, yaitu berjumlah 561 jiwa (30,85%)
yang terdiri dari 330 laki-laki dan 231 perempuan, sedangkan jumlah penduduk
yang termasuk dalam angkatan kerja atau berusia 15 tahun keatas dan kurang dari
60 tahun adalah 1435 jiwa (78,9%).
Sebagian besar penduduk Selopuro mata pencaharian utama yaitu sebagai
petani hutan rakyat namun untuk kebutuhan hidup sehari-harinya hampir 50 %
penduduk memiliki mata pencaharian sebagai buruh bangunan, secara
keseluruhan mata pencaharian penduduk Selopuro dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Desa Selopuro
No

Mata

Jumlah (jiw