Keanekaragaman Tegakan dan Potensi Kandungan Karbon di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

(1)

KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Oleh

LAMBAS SUSENO

097030015/BIO

PROGRAM PACASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HASIL PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN TEGAKAN HUTAN DAN POTENSI

KANDUNGAN KARBON DI HUTAN AEK NAULI

KABUPATEN SIMALUNGUN

Oleh

LAMBAS SUSENO

097030015/BIO

PROGRAM PACASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Diajukan sebagi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains dalam Program Studi

Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

LAMBAS SUSENO

097030015/BIO

PROGRAM PACASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

PENGESAHAN

Judul Tesis

: KEANEKARAGAMAN TEGAKAN

HUTAN DAN POTENSI

KANDUNGAN KARBON DI

HUTAN AEK NAULI KABUPATEN

SIMALUNGUN

Nama Mahasiswa

: LAMBAS SUSENO

Nomor Induk Mahaiswa : 097030015

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Dr. Budi Utomo, SP, MP Ketua Anggota

.

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M, Biomed. Dr.Sutarman, M.Sc.


(5)

KEANEKARAGAMAN TEGAKAN HUTAN DAN POTENSI

KANDUNGAN KARBON DI HUTAN AEK NAULI

KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkaan yang tiap satunya telah di jelaskan sumbernya dengan benar.

Medan 4 Agustus 2011

( Lambas Suseno ) NIM. 097030015


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Lambas Suseno

NIM : 097030015

Program Studi : Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis aya yang berjudul :

Keanekaragaman Tegakan dan Potensi Kandungan Karbon di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawan dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 4 Agustus 2011


(7)

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Anggota : 2. Dr. Budi Utomo, SP, MP.

3. Dr. Nursahara Pasaribu, MSc. 4. Dr. Suci Rahayu, MSi.


(8)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Lambas Suseno, S.Pd

Tempat dan Tanggal Lahir : Batunadua, 04 September 1980 Alamat Rumah : Sidomulyo, No:- Kec.Lumut Kab.

Tap.Tengah Telepon/Faks/HP : 081263061826

e-mail

Instansi Tempat Bekerja : SMA N. 1 Sibabangun Kab. Tapanuli Tengah Alamat Kantor : Jln. Sori Muda No.1 Kec.Sibabangun

Telepon/Faks/HP : 0631 372 012

DATA PENDIDIKAN

SD : Pagaran, Sibuluan Tamat : 1992

SMP : SMP Negeri 1 Sibolga Tamat : 1995

SMA : MAN Sibolga Tamat : 1998

Diploma : FMIPA USU Tamat : 2001


(9)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang merupakan tugas akhir dalam menempuh Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini berjudul Keanekaragaman Tegakan dan Potensi Kandungan Karbon di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun. Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Budi Utomo,SP, MP yang telah mengajar dan membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan tesis ini. Dr. Nursahara Pasaribu, MSc dan Dr. Suci Rahayu, MSi selaku dosen penguji yang telah memberi masukan dan saran pada penyempurnaan. Seluruh Dosen dan staff yang terlibat dalam pengajaran di Program Pasca Sarjana Biologi yang telah memberikan ilmu pengetahuannya.

Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, BAPEDASU yang telah memberi beasiswa kepada penulis. Bupati Tapanuli Tengah, Drs. Tuani Lumban Tobing, yang memberikan Rekomendasi Tugas belajar kepada penulis. Kepala SMA Negeri 1 Sibabangun, Mhd. Hasbi Matondang, S.Pd yang telah memberikan Ijin mengikuti perkulihan.

Kedua Orang Tua, yaitu T. Tambunan serta M. Gultom, yang telah banyak berjasa, baik materil dan moril yang telah diberikan selama ini. P. Hutabarat dan N. Siregar, mertua saya, yang telah memberikan restunya kepada penulis untuk menyambung kuliah pada pascasarjana. Kepada Istri tercinta, P. H Hutabarat Am. Keb, yang telah membantu penulis dalam membina sebuah keluarga, dan mendukung penulis untuk berkarya dan berhasil guna, dan untuk anak Nauli Azzahrah Tambunan dan Retno Maritona Tambunan, memberikan inspirasi kepada penulis untuk menjadi yang terbaik di masa yang akan datang.

Adik saya, Sertu M. Sari Tua Tambunan, Zakiah Darajad, dan Muin Isma Tambunan, yang memberikan dorongan selama ini kepada penulis, dalam segala bentuk tindakan. Teman-Teman Sejawat, yang berada dalam satu naungan SMA Negeri 1 Sibabangun bersama penulis, yang ada dalam satu penderitaan dan kesenangan.

Teman satu Program Studi Biologi tahun 2009, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya Adil, Hj Sriay, Tatik, Rahma, Dina, Faiz dan Susi serta


(10)

Agung, yang saling bekersama baik suka dan duka selama dalam penelitian di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Kepada Pimpinan Hutan Aek Nauli yang telah memberikan ijin penelitian di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Aek Nauli Kabupaten Simalungun. Seluruh Pegawai dan Staf yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data dan mengidentifikasi. Kepada Bapak P. Sinaga, yang sudi sebagai penunjuk jalan dan pemberi nasehat selama penelitian di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Siswa-siswi SMA Negeri 1 Sibabangun, baik yang aktif dalam pembelajaran atau Alumni SMA Negeri 1 Sibabangun, yang merupakan pembakar semangat penulis untuk berkarya dan selalu berkarya. Seluruh para orang yang telah banyak membantu penulis, tidak dapat tercantumkan namanya, saya ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga karya ini bermanfaat bagi kehidupan serta perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 4 Agustus 2011 Penulis


(11)

KABUPATEN SIMALUNGUN

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun bulan Januari 2011. Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan. Metode Purposive Sampling. Pengambilan data digunakan metode kombinasi antara metode jalur dan metode Garis Berpetak. Pada lima jalur pengamatan dengan plot-plot 20 m x 20 m, untuk pohon serta 10 m x 10 m untuk pole. Hasil penelitian pada hutan sekunder bawah menemukan 58 jenis tiang yang termasuk dalam 27 famili dengan jumlah individu sebanyak 1493 Individu/Ha. Jenis pohon 32 yang termasuk dalam 16 famili sebanyak 186 Individu/Ha. Hutan sekunder atas menemukan 43 jenis tiang yang termasuk dalam 22 famili dengan jumlah individu sebanyak 435 Individu/Ha. Jenis pohon 24 yang termasuk dalam 14 famili sebanyak 51 Individu/Ha.Hutan primer menemukan 21 jenis tiang yang termasuk dalam 9 famili dengan jumlah individu sebanyak 415 Individu/Ha. Jenis pohon 16 yang termasuk dalam 10 famili sebanyak 91 Individu/Ha. Jumlah cadangan karbon pada hutan sekunder bawah adalah sebesar 181,85 Ton/Ha. Jumlah cadangan karbon pada hutan sekunder atas adalah sebesar 183,65 Ton/Ha Jumlah cadangan karbon pada hutan primer adalah sebesar 217,86 Ton/Ha.

Kata Kunci : vegetasi, hutan sekunder bawah, hutan sekunder atas, hutan primer, cadangan karbon, Aek Nauli.


(12)

THE STAND DIVERSITY OF FOREST AND CARBON CONTENT

POTENCY AT AEK NAULI FOREST

REGENCY OF SIMALUNGUN

ABSTRACT

This research was conducted at the forestry area of Aek Nauli regency of Simalungun on January of 2011. The location of research is chosen by using purposive sampling method. The data was collected by combination of path method and grid line method. In five observation paths with plots in size of 20 m x 20 m for three and 10 m x 10 m for pole. The results of research on lower part secondary forest indicates where 58 threes included into 27 families with 1493 Individual/ha. The type of poles are 32 threes included into 16 families for 186 Individual/ha. The upper part of secondary forest consist of 43 species in 22 families in 435 Individual/Ha. The kinds of pole are 24 threes included into 16 families for 104 Individual/Ha. The primary forest consisted of 21 species in 9 families with the number of individual are 415/Ha. The type of pole are 16 threes include into 10 families for 91 Individual/Ha. The number of carbon reserve in lower part of secondary forest are 181.85 Ton/Ha The number of carbon reserve in upper part of secondary forest are 183.65 Ton/Ha. The number of carbon reserve in primary forest are 217.86 Ton/Ha

Keywords : vegetation, lower part secondary forest, upper part secondary forest, primary forest, carbon reserve,Aek Nauli


(13)

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iii

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Hutan 4

2.2 Ekosistem Hutan Hujan Tropis 5

2.3 Struktur dan Komposisi Hutan 8

2.4 Keanekaragaman Vegetasi 8

2.5 Pohon 10

2.6 Analisis Komunitas Tumbuhan 11

2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi symbol dalam tegakan 12 2.8 Peranan karbon dalam keseimbangan sumber hayati 13


(14)

BAB III BAHAN DAN METODE 16

3.1 Deskripsi Area Penelitian 16

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 17

3.3 Metode Penelitian 18

3.4 Bahan dan Alat 19

3.5 Pelaksanaan Penelitian 19

3.6 Analisis Data 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23

4.1 Kekayaan Jenis Pohon 23

4.2 Dominansi Jenis Tegakan 25

4.3 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 29

4.4 Faktor Fisik Penelitian 31

4.5 Karbon Tersimpan 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 35

5.1 Kesimpulan 35

5.2 Saran. 36

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

Nomor

Tabel J u d u l Halaman

4.1

4.2

4.3

4.4

4.5

4.6

4.7

Perbandingan tegakan hutan sekunder bawah, sekunder atas dan primer yang ditemukan dikawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Indeks Nilai Penting 10 Tingkat Pohon dan 10 Tingkat Tiang pada Hutan sekunder bawah di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Indeks Nilai Penting 10 Tingkat Pohon dan 10 Tingkat Tiang pada Hutan sekunder atas di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Indeks Nilai Penting 10 Tingkat Pohon dan 10 Tingkat Tiang pada Hutan primer atas di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan tingkat pohon dan tiang berdasarkan tipe hutan di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Data faktor fisik rata-rata pada Hutan Sekunder Bawah, Hutan Sekunder Atas, Hutan Primer Atas setiap Transek Penelitian Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Tingkat pertumbuhan pada tipe hutan di kawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun, Biomassa dan Karbon.

23

25

26

27

30

32


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar J u d u l Halaman

2.1 6.1 6.2

6.3

6.4

6.5

Interaksi pada pertumbuhan pohon Alur Pengamatan di lokasi penelitian

Peta Lokasi Penelitian di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Letak Transek Penelitian di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Photo-photo waktu penelitian di Hutan Aek Nauli kabupaten Simalungun

Cara penentuan dbh pada pohon

13 86

87

88

89 90


(17)

Nomor

Lampiran J u d u l Halaman

A B C D E F G H I J

Data fisik Penelitian pada hutan Sekunder Bawah dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Data fisik Penelitian pada hutan Sekunder Atas dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Data fisik Penelitian pada hutan Primer Atas dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Daftar nama tegakan pada hutan sekunder bawah yang ditemukan dikawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Daftar nama tegakan pada hutan sekunder atas yang ditemukan dikawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Daftar nama tegakan pada hutan primer yang ditemukan dikawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Nama Tegakan Jenis Pohon pada hutan sekunder bawah, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Nama Tegakan Jenis Tiang pada hutan sekunder bawah, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Nama Tegakan Jenis Pohon pada hutan sekunder atas, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Nama Tegakan Jenis Tiang pada hutan sekunder atas, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

41 43 44 45 47 49 50 53 58 60 ix


(18)

K L M N O P Q R S T U

Nama Tegakan Jenis Pohon pada hutan primer, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Nama Tegakan Jenis Tiang pada hutan primer, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan Biomassa dikawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP tingkat pohon pada hutan sekunder bawah

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP pada tingkat tiang pada hutan sekunder bawah

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP tingkat pohon pada hutan sekunder atas

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP pada tingkat tiang pada hutan sekunder atas

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP tingkat pohon pada hutan primer

Jumlah individu, K, KR, F, FR, LBD, D, DR dan INP pada tingkat tiang pada hutan primer

Hasil Identifikasi Jenis Tumbuhan berkayu jenis Pohon dan Tiang pada Hutan Sekunder Bawah KHDTK Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Hasil Identifikasi Jenis Tumbuhan berkayu jenis Pohon dan Tiang pada Hutan Sekunder Atas KHDTK Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Hasil Identifikasi Jenis Tumbuhan berkayu jenis Pohon dan Tiang pada Hutan Primer Atas KHDTK Aek Nauli Kabupaten Simalungun 63 67 71 73 75 76 78 79 81 83 85


(19)

KABUPATEN SIMALUNGUN

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun bulan Januari 2011. Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan. Metode Purposive Sampling. Pengambilan data digunakan metode kombinasi antara metode jalur dan metode Garis Berpetak. Pada lima jalur pengamatan dengan plot-plot 20 m x 20 m, untuk pohon serta 10 m x 10 m untuk pole. Hasil penelitian pada hutan sekunder bawah menemukan 58 jenis tiang yang termasuk dalam 27 famili dengan jumlah individu sebanyak 1493 Individu/Ha. Jenis pohon 32 yang termasuk dalam 16 famili sebanyak 186 Individu/Ha. Hutan sekunder atas menemukan 43 jenis tiang yang termasuk dalam 22 famili dengan jumlah individu sebanyak 435 Individu/Ha. Jenis pohon 24 yang termasuk dalam 14 famili sebanyak 51 Individu/Ha.Hutan primer menemukan 21 jenis tiang yang termasuk dalam 9 famili dengan jumlah individu sebanyak 415 Individu/Ha. Jenis pohon 16 yang termasuk dalam 10 famili sebanyak 91 Individu/Ha. Jumlah cadangan karbon pada hutan sekunder bawah adalah sebesar 181,85 Ton/Ha. Jumlah cadangan karbon pada hutan sekunder atas adalah sebesar 183,65 Ton/Ha Jumlah cadangan karbon pada hutan primer adalah sebesar 217,86 Ton/Ha.

Kata Kunci : vegetasi, hutan sekunder bawah, hutan sekunder atas, hutan primer, cadangan karbon, Aek Nauli.


(20)

THE STAND DIVERSITY OF FOREST AND CARBON CONTENT

POTENCY AT AEK NAULI FOREST

REGENCY OF SIMALUNGUN

ABSTRACT

This research was conducted at the forestry area of Aek Nauli regency of Simalungun on January of 2011. The location of research is chosen by using purposive sampling method. The data was collected by combination of path method and grid line method. In five observation paths with plots in size of 20 m x 20 m for three and 10 m x 10 m for pole. The results of research on lower part secondary forest indicates where 58 threes included into 27 families with 1493 Individual/ha. The type of poles are 32 threes included into 16 families for 186 Individual/ha. The upper part of secondary forest consist of 43 species in 22 families in 435 Individual/Ha. The kinds of pole are 24 threes included into 16 families for 104 Individual/Ha. The primary forest consisted of 21 species in 9 families with the number of individual are 415/Ha. The type of pole are 16 threes include into 10 families for 91 Individual/Ha. The number of carbon reserve in lower part of secondary forest are 181.85 Ton/Ha The number of carbon reserve in upper part of secondary forest are 183.65 Ton/Ha. The number of carbon reserve in primary forest are 217.86 Ton/Ha

Keywords : vegetation, lower part secondary forest, upper part secondary forest, primary forest, carbon reserve,Aek Nauli


(21)

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Selama beberapa dekade yang lalu, bentuk pemanfaatan hutan lebih berorientasi pada ekstraksi kayu, sedangkan manfaat hutan lainnya berupa manfaat sosial dan ekologis belum dilakukan secara optimal. Padahal nilai manfaat jasa lingkungan kadang kala jauh lebih besar dari nilai manfaat kayu tersebut, disamping itu, kinerja pengelolaan hutan belum dilaksanakan secara baik, sehingga eksploitasi hasil hutan kayu dilakukan secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian suberdaya alam. Sebagai akibat dari orientasi yang keliru tersebut, telah menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem hutan pada berbagai fungsi kawasan hutan, mulai dari kawasan hutan produksi, hutan lindung, sampai ke kawasan hutan konservasi.

Paradigma baru dalam pemanfaatan hutan yang berbasis sumberdaya hutan saat ini telah membuka peluang bagi pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang selama ini masih terabaikan. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran nilai jasa lingkungan yang semula merupakan barang tak bernilai (non-markatable goods) bergeser ke barang bernilai (markatable goods). Tetapi perubahan paradigma tersebut harus diikuti oleh upaya perencanaan yang komprehensif, agar pemanfaatan jasa lingkungan tetap berada di dalam koordinator pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Menurut Indriyanto (2006), saat ini terdapat 4 jenis jasa lingkungan hutan yang telah masuk ke dalam organisme pasar tingkat regional, nasional maupun internasional yaitu :


(22)

a. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai pengatur tata air (jasa lingkungan air);

b. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai perlindungan keanekaragaman hayati;

c. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon; d. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyedia keindahan bentang alam

(parawisata alam)

Salah satu alternatif dalam mengendalikan konsentrasi karbon yaitu melalui pengembangan sink program, dimana karbon organik sebagai hasil fotosintesis disimpan dalam biomasa tegakan hutan atau pohon berkayu. Indonesia sangat berpotensi menjadi negara penyerap emisi karbon karena mempunyai hutan tropis yang luas, ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Ada dua alasan penting mengapa hutan perlu dimasukkan ke dalam skema perdangan karbon: a). Peranan hutan alam di dalam penyerapan CO2 dalam pelepasan O2

Hutan Aek Nauli di Kabupaten Simalungun, merupakan bagian dari hutan tropis yang ada di Indonesia yang keberadaannya perlu mendapat perhatian dari semua lapisan masyarakat. Hutan Aek Nauli ini mempunyai dampak ekonomi positif bagi penduduk sekitarnya khususnya dari kegiatan ekowisata. Selain itu penduduk sekitar memanfaatkan berbagai jenis obat tradisional yang diperoleh dari Hutan Aek Nauli. Berdasarkan pengamatan Hutan Aek Nauli merupakan salah satu tipe hutan dataran tinggi yang masih baik dan memiliki keanekaragam jenis pohon yang tinggi. Sejauh ini belum diperoleh data tentang keanekaragaman jenis dan potensi

ke lingkungan melalui proses fotosintesis sudah jelas keberhasilannya, b). Adanya kompensasi pendanaan dari perdagangan karbon akan menjadi alternatif yang menarik untuk merubah basis pengelolaan hutan alam dari kayu ke jasa lingkungan sehingga aktivitas pembalakan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer khususnya karbondioksida dapat dikurangi. Sehubungan hal tersebut maka sudah saatnya penelitian yang terkait dengan pendugaan dan pengukuran potensi serapan karbon di hutan alam harus segera dimulai (Hairiah dan Rahayu, 2007).


(23)

kandungan karbon di daerah tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian analisis vegetasi tegakan hutan dan potensi karbon tersimpan yang terdapat didalamnya.

I.2. Permasalahan

Hutan Aek Nauli memiliki letak yang strategis karena merupakan kawasan perlindungan yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem sekitarnya dan penyumbang efek jasa lingkungan bagi masyarakat. Hingga saat ini belum diperoleh data tentang potensi karbon dan kekayaan vegetasi yang ada di hutan ini. Oleh karena itu permasalahan di sini dapat dirumuskan sebagai berikut: bagaimanakah keanekaragaman vegetasi tegakan hutan dan potensi kandungan karbon tersimpan di Hutan Aek Nauli?

I.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui keanekaragaman tegakan hutan

b. Potensi kandungan karbon tersimpan pada tegakan hutan dan

c. Kemampuan tegakan hutan di Aek Nauli untuk menyerap gas CO2 dari udara.

I.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi peneliti dan instansi terkait dalam rangka pengelolaan dan pengembangan mengenai keadaan dan kelimpahan vegetasi serta potensi karbon tersimpan pada tegakan pohon di hutan Aek Nauli di Kabupaten Simalungun.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hutan

Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat di mana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewusie, 1990).

Hutan memberi pengaruh pada sumber alam yang lain. Pengaruh ini melalui tiga faktor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu: iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilayah, misalnya di wilayah pertanian. Pada saat ini daerah hutan tropik yang tersebar dan masih cukup baik dari Asia Tenggara, terutama di Indonesia dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Soeriaatmadja, 1981).

Hutan merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (Forest Watch Indonesia, 2003).

Menurut Daniel et al., (1992) hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batubara), (3)


(25)

pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat material bangunan, (6) bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengelolahan hutan.

II.2. Ekosistem Hutan Hujan Tropis

Menurut Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU dan 10o LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 250

1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan naungan). Menurut Ewuise (1994), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah.

C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80%. Arief (1994) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C, atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E. (Arief, 1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indrawan, 1982). Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut.

2. Sratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau


(26)

memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon pada stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi.

3. Stratum C, yaitu tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Menurut Vickery (1984), pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epipit, tumbuhan memanjat dan parasit.

4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk ke empat dari atas yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada stratum ini juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar.

5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah atau lapisan ke lima dari atas yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (groun cover) yang tingginya 0-1 m. Keadaan spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya.

Menurut Indriyanto (2008), tidak semua tipe ekosistem hutan memiliki lima stratum tersebut. Oleh karena itu, ada hutan yang memiliki stratum A, B, D, dan E, atau A, C, D, dan E dan lain sebagainya. Santoso (1996) dan Direktorat Jendral Kehutanan (2007), mengemukakan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah 6


(27)

yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.

Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Tajuk pohon hutan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan di bawah naungan (Arief, 1994). Selain ciri umum yang dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi te tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon (Vickery, 1984).

Menurut Van steenis (2006), terdapat 3 sub zona hutan pegunungan yaitu: 1. Sub montana (sub pegunungan atau disebut hutan pegunungan bawah) antara

ketinggian 1000- 1500 mdpl.

2. Montana (hutan pegunungan atas) antara 1500-2400 mdpl. 3. Subalfin lebih dari 2400 mdpl.

Hutan hujan tropis memiliki fungsi yang vital bagi keberlangsungan hidup semua mahluk hidup yang ada di bumi, dalam hal iklim dunia. Hutan hujan tropis sangat membantu dalam hal menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida yang ada diatmosfer, sehingga mengurangi pula dalam hal efek rumah kaca. Hutan hujan tropis juga merupakan rumah atau habitat bagi keberlangsungan hidup bagi mahluk hidup yang tinggal di dalamnya, termasuk flora dan fauna yang terancam punah keberlangsungan hidupnya (Kusmana, 1995).

Selain fungsi-fungsi tersebut ada pula fungsi yang sangat vital yaitu sebagai suatu sistem peredaran hidrologi bagi bumi. Hal ini menggambarkan pergerakan yang


(28)

berkelanjutan dari air di bawah, di permukaan, dan di atas bumi. Jadi tidak heran jika hutan hujan tropis yang masih “perawan” memiliki sungai-sungai yang lebar serta panjang (Soerianegara & Indrawan, 1998).

II.3. Struktur dan Komposisi Hutan

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Selanjutnya (Daniel et al., 1992), menyatakan struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur atau kelas diameter dan kelas tajuk. Sementara itu dinyatakan struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B, dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter (Wirakusuma, 1980).

Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis spesies maupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan biji. Pada daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al., 1992).

II.4. Keanekaragaman Vegetasi

Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada suatu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Vickery (1984), bahwa jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang


(29)

lainnya. Misalnya hutan hujan Amazone mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 2400 spesies. Haeruman (1980), juga mengatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya spesies di dunia. Di antara 40.000 spesies tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Dalam setiap hektar hutan hujan tropis tersebut mengandung 320 pohon yang berukuran garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan.

Hutan hujan bawah pulau Sumatera dan Kalimantan, banyak terdapat spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae terutama angggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops, dan Cotylelobium. Dengan demikian hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat spesies pohon lain dari anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristiceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathi, Koompasia dan Dyera pada ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa tenggara terdapat spesies anggota genus Altingea, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gassampinus, serta spesies – spesies pohon dari famili Leguminosae (Arief, 1994). Selanjutnya Arief (1994), menyatakan bahwa ekosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian merupakan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palagium spp, Pometia pinnata, Intsia spp, Diospyros spp, Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus spp).

Pada ekosistem hutan hujan tengah yang terdapat di sebahagian Indonesia Timur, Aceh dan Sumatera Utara didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Di beberapa daerah,


(30)

tipe ekosistem hutan hujan tengah agak khas, misalnya di Aceh dan Sumatera Utara terdapat spesies pohon Pinus merkusii, dan Jawah Tengah terdapat spesies pohon Albizzia Montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp. Di Sulawesi terdapat kelompok spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di sebagian daerah Indonesia timur terdapat spesies pohon anggota Trema, Vaccinium, dan pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies anggota pohon anggota famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Menurut Sunarto dan Sudarsono (1997), ekosistem hutan hujan atas hanya ada di Irian Jaya dan di sebagian daerah Indonesia Barat. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak mengandung spesies pohon Conifer (Pohon berdaun jarum), genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugnia spp, dan Calophylum, sedangkan di sebahagian daerah Indonesi Barat dijumpai juga kelompok-kelompok tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m dpl.

II.5. Pohon

Pohon merupakan organisme yang kompleks. Dari hasil pembiakan vegetatif atau sel telur yang telah dibuahi yang kemudian tumbuh menjadi embrio yang terselubung dalam suatu biji mungil, pohon tumbuh menjadi suatu oerganisme terbesar yang hidup di alam. Untuk keperluan inventarisasi, pohon dibedakan menjadi stadium seedling, sapling, pole, dan pohon dewasa. Wyatt-Smith (1963), dalam Soerianegara & Indrawan (1998), membedakan sebagai berikut :

1) Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. 2) Sapling (pancang, sapihan) yaitu pemudaan yang tingginya 1,5 dan lebih

sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. 3) Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm.


(31)

4) Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah.

Menurut Sutarno & Soedarsono (1997), pohon hutan merupakan tumbuhan yang berperawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak dan biasanya beberapa meter dari tanah dan tidak bercabang, mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun seperti kepala. Pohon didominasi hutan tropis, bentuk kehidupan pohon berpengaruh pada fisiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan pohon pohon pada daerah lain mengingat ciri-ciri tertentu seperti percabangan, daun-daunan, buah-buahan dan sistem perakaran (Longman & Jenik 1987).

Berbagai penelitian tentang keanekaragaman pohon telah banyak dilakukan di berbagai hutan diantaranya kawasan hutan tropis yang menunjukkan tingginya keanekaragaman jenis. Di Borneo dengan luas plot 2 ha ditemukan 740 individu pohon dengan jumlah jenis sebanyak 199 jenis. Di Malay Peninsula Bukit Lagong dengan luas 2 ha di temukan 559 individu pohon dengan jumlah jenis sebanyak 215 jenis (Kusmana, 1995). Di Asia Tenggara umumnya ditemukan lebih dari 100 jenis spesies pohon yang berbeda tiap hektarnya, tidak termasuk tingkat seedling (semai) walaupun beberapa dugaan terdahulu menyatakan bahwa kadang-kadang jumlah keseluruhan spesies pohon mungkin hampir 400 spesies per hektar (Longman & Jenik, 1987). Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau, Tegakan hutan adalah keseluruhan pohon yang tumbuh di hutan. Tegakan hutan yang akan diteliti meliputi seluruh pohon dan tiang.

II.6. Analisis Komunitas Tumbuhan

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk


(32)

mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).

Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto (1994), menjelaskan bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu kemunitas, distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh sistem dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.

Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan kualitatif dengan parameter kualitatif dan kuantitatif dengan parameter kuantitatif (Soerianegara & Indrawan, 1998). Namun persolan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana caranya mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan kualitatif apa saja yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristik dan sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Arief, 1994).

II.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tegakan

Kramer dan Koslowski (1960), menyatakan bahwa pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor, yaitu keturunan, lingkungan dan teknik silvikultur. Secara skematis digambarkannya interaksi dari ketiga faktor itu sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 berikut ini.


(33)

Gambar 2.1 Interaksi pada pertumbuhan pohon.

Kramer dan Koslowski (1960), mengelompokkan faktor-faktor lingkungan (luar) ke dalam tanah, iklim, api, pencemaran, dan faktor biotik. Faktor-faktor tanah, iklim, api, pencemaran termasuk faktor abiotik, sedangkan faktor pengatur tumbuh (hormon), keseimbangan air dan genetik dimasukkannya ke dalam faktor dalam dari pohon.

II.8. Peranan karbon dalam keseimbangan sumber hayati

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfil. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kada (GRK). Kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah, misalnya dari erupsi gunung berapi yang melepaskan sekitar 130-200 juta ton CO2 per tahun. Namun kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO2 yang dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat dibandingkan emisi dari gunung berapi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmaofer (Najiati et al., 2005).

Faktor Lingkungan dan Silvikultur Potensi Keturunan

Proses Fisiologi Internal


(34)

Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), konsentrari GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengolahan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, air H didunia.

2O dan gas asam arang CO2, melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan di ubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang di simpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2

Hutan berperan dalam upaya penyerapan CO

di atmosfir yang di serap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007).

2 di mana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2

Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu (2007), menyatakan tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpanan C tertingi.

dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuhan menjadi lebih besar dan tinggi (Adinugroho et al., 2009)


(35)

II.9. Perdagangan Karbon

Dengan adanya perubahan iklim, maka pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, sudah ada komitmen untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah disepakati oleh 150 negara termasuk Indonesia. Kominmen ini pada Konfrensi Negara Pihak (Cnference of Parties) III UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) tahun 1997 yang melahirkan Protokol Kyoto (Sulistyo, 2007)

Menurut Murdiyarso (2003), dalam bukunya yang berjudul CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, penekanan emisi dapat dilakukan di negara lain melalui emision trading (ET), joint implementation (JI), dan Clean Development Mechanisme (CDM). Emision trading (perdagangan emisi) memungkinkan terjadinya transaksi antara pihak yang berhasil menekan emisi karbon dengan pihak lain yang tidak bisa memnuhi kewajiban serupa. Mekanisme ET dan JI berlaku bagi sesama negara industri maju. Jika pihak pertama tak bisa mereduksi emisi karbonnya, ia boleh menjalin kerja sama dengan pihak kedua dalam sebuah proyek industri yang menekan emisi karbon.


(36)

BAB III

BAHAN DAN METODE

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Sejarah berdirinya Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Sialiali dimulai pada tahun 1992 ketika Balai Litbang Kehutanan Pematangsiantar (sekarang BPK Aek Nauli) membangun plot penelitian seluas 100 hektar untuk uji jenis dan asal benih pada program pembangunan HTI di Sialiali. Pada tahun 2004 areal plot penelitian tersebut beserta padang rumput, semak belukar dan kawasan hutan alam yang berada disekitarnya, dilembagakan menjadi KHDTK Sialiali dengan keluarnya Surat Keputusan Menhut No. 77/Menhut-II/2004 Tanggal 10 Maret 2004. Keluarnya SK ini menyatakan bahwa tujuan utama kawasan ini adalah untuk penelitian Silvikultur Hutan Tanaman dengan luas 250 hektar. Total luas wilayah luas Lokasi penelitian adalah 1900 hektar, dimana luas pinus 372,449 hektar, luas hutan sekunder 1365, 271 hektar, dan untuk hutan primer memiliki luas 262,28 hektar.

Letak dan Aksesibilitas.

Areal KHDTK Sialiali terletak pada koordinat terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT, meliputi Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Panribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hataran, dan Girsang Sipangan Bolon).


(37)

Kondisi Biofisik.

Keadaan lahan Sektor Aek Nauli seluruhnya adalah habitat kering dengan ketinggian 1.200-1.700 m dpl. Sektor Aek Nauli beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi Schmidt Fergusson; (1951), dengan curah hujan rata-rata 238 mm bulan tertinggi Oktober dan bulan terendah Agustus. Sungai/anak sungai yang terdapat di areal kerja adalah Bah Parlianan, Bah Mabar, Bah Boluk, Bah Haposuk (BKSDA 1 Sumut, 2003). Pada musim kemarau bertiup angin Fhon yang sangat panas. Jenis tanah didominasi oleh podsolik merah kuning dengan kadar pasir tinggi dan pH tanah masam (4,51-5,71). Ketersediaan air tanah cukup rendah dengan menyerap hanya 20% dari curah hujan.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara pada bulan Januari sampai April tahun 2011. Gambar Peta Lokasi dapat dilihat pada Lampiran W.

III.3. Metode Penelitian

Penentuan areal alokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang dianggap representatif. Pengambilan data pada areal penelitian dilakukan dengan menggunakan kombinasi metode jalur dan metode garis berpetak yang disusun memanjang memotong garis kontur naik dan turun puncak bukit dengan petak berukuran 20 m x 20 m sebanyak 10 buah. Jarak antar transek 1900 meter, di mana jumlah transek sebanyak 6 buah di kali 10 petak sehingga jumlah 60 petak penelitian untuk pohon, dan untuk tiang dengan petak berukuran 10 m x 10 m sebanyak 10 petak dengan jumlah transek 6 buah, sehingga jumlah 60 petak. Gambar Letak Transek Penelitian dapat dilihat pada Lampiran Z.


(38)

III.4. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : tegakan hutan, spesimen daun yang digunakan untuk identifikasi pohon, alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, GPS, thermometer, hygrometer, phinband, Hagameter, pita ukur berukuran 50 meter, parang, gunting tanaman, label gantung, label tempel, alat tulis, spidol, tally sheet (blangko pengamatan).

III.5. Pelaksanaan Penelitian

Pengukuran Faktor Fisik

Pada lokasi pengamatan, dilakukan pengukuran faktor fisik yang meliputi ketinggian dan koordinat dengan menggunakan GPS, suhu udara dengan menggunakan thermometer, kelembapan udara dengan menggunakan hygrometer, Data mengenai curah hujan diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Pengamatan Vegetasi Di lapangan

Penelitian dilakukan dari kaki bukit Hutan Aek Nauli menuju puncak bukit. Lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan memperhatikan faktor topografi dan kemiringan. Pengamatan vegetasi menggunakan kombinasi metode jalur dan metode garis berpetak dengan petak besar berukuran 20 x 20 m naik dan turun bukit memotong garis kontur. Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang dianggap mewakili dari keragaman berbagai faktor lingkungan di sekitar penelitian. Cara meletakkan petak pengamatan adalah cara sistematik (sistematic sampling). Jumlah keseluruhan petak pengamatan adalah 50 petak. Keseluruhan petak pengamatan adalah 2.0 ha untuk pohon dan 0,5 ha untuk tiang. Pada setiap petak dilakukan pengamatan pada seluruh pohon yang berdiameter pohon setinggi dada orang dewasa (dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah) dan setiap batang 18


(39)

yang telah diukur diberi nomor (taging) dan dicatat jenis pohonnya. Gambar alur petak pengamatan dapat dilihat pada lampiran Q.

Cara melakukan pengukuran adalah, phi-band dililitkan pada pohon dengan posisi pita harus sejajar untuk semua arah, sehingga data yang diperoleh adalah lingkar/lilit batang (keliling batang = 2 ᴫ r). Untuk mengukur dbh, data yang diperoleh adalah diameter pohon.

Masing-masing sampel daun, tangkai bunga dan buah dikoleksi dan diberi label gantung. Pohon dan tiang yang telah diambil spesimen dibawa ke laboratorium, spesimen-spesimen tersebut disortir ulang agar daun, tangkai pohon, atau mungkin bunga dan buah yang baik saja dikoleksi. Kemudian diberi label gantung kembali sesuai dengan lebel awal dan disusun dalam lipatan kertas koran, kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan dilakban yang sebelumnya spesimen tersebut disiram dengan alkohol 70% agar spesimen tidak berjamur. Spesimen tumbuhan yang telah dikoleksi kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan Hagameter.

Untuk pengamatan tiang di sub plot berukuran 10 x 10 m secara selang-seling di dalam plot yang berukuran 20 x 20 m. Luas keseluruhan plot pengamatan untuk tiang adalah 0.6 ha.

Pengamatan Vegetasi Di laboratorium

Setelah pengamatan di lapangan berakhir, spesimen tumbuhan yang telah dikoleksi dibawa ke laboratorium dan dibuka kembali. Kertas korannya diganti dengan kertas koran yang baru. Kemudian disusun kembali untuk dikeringkan dalam oven pengering dengan tempratur ± 60o C selama 48 jam. Spesimen yang telah benar-benar kering dibuat herbarium dan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi, yaitu : Pohon Keras Indonesia, Jilid 1,2,3,4, dan 6. Milik Departemen Kehutanan 1998.


(40)

III.7. Analisis Data

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dari masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis vegetasi pohon, nilai INP terdiri dari KR, FR, dan DR, dianalisis menurut buku acuan Ekologi Hutan (Indriyanto, 2006).

a. Kerapatan (K) =

Kerapatan relatif (KR) = x 100%

b. Frekuensi (F) =

Frekuensi relatif (FR) = x 100 %

c. Dominansi (D) =

Dominansi relatif = x 100%

d. Indeks nilai penting (INP) = KR + FR + DR

e. Indeks Keanekaragaman

Hi= - Σ pi ln pi

Keterangan : ni = Jumlah individu suatu jenis.

N = Jumlah total individu seluruh jenis.

pi = Ratio jumlah species dengan jumlah total individu dari seluruh spesies.

pi = .

Jumlah individu Luas petak contoh

K suatu jenis K total seluruh jenis

Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies Jumlah seluruh petak contoh

F suatu spesies F seluruh spesies

Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh

D suatu spesies D seluruh spesies

ni N


(41)

Menurut Mason (1980), jika nilai Indeks Keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.

f. Indeks Kemerataan

E =

Keterangan: E = Indeks kemerataan. HI

H maks = Indeks keragaman maksimum, sebesar ln S. = Indeks keanekaragaman.

S = Jumlah jenis.

Krebs (1985), menyatakan bahwa Indeks Kemerataan rendah apabila 0 < E < 0,5 dan kemerataan tinggi apabila 0,5 < E < 1.

Karbon Tersimpan

Karbon tersimpan dianalisis berdasarkan persamaan Allometrik Ketterings (Hairiah dan Rahayu, 2007). BK = 0,11 x ρ x D

Keterangan : BK = Berat Kering (kg)

2,62

ρ = Berat jenis kayu ( g cm-3 D = Diameter pohon (cm)

)

Berat jenis kayu (ρ) di peroleh dari Wood Density Databse dan identitas spesies menggunakan Sofware Agroforestree Database Sounth-East Asia Version 2.0.5128 yang dikembangkan oleh World Agroforesty Center (ICRAF)

Total Biomassa = BK1 + BK2 + ...BKn Biomassa per satuan luas =

Karbon tersimpan = Biomassa per satuan luas x 0,46 HI

H maks

Total Biomassa Luas area (m2)


(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Kekayaan Jenis Pohon

Berdasarkan analisis vegetasi hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun, ditemukan tingkat pertumbuhan pohon dan tiang, pada hutan sekunder bawah sebanyak 63 jenis, termasuk dalam 26 famili, sedangkan pada hutan sekunder atas pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang, ditemukan 46 jenis, termasuk dalam 22 famili. Pada hutan primer pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang, ditemukan 28 jenis, termasuk dalam 13 famili. Jumlah jenis dan famili pada hutan Sekunder Bawah, Sekunder Atas dan hutan Primer Atas, pada hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun semakin kecil, hal ini dikarenakan kemampuan tumbuh pada tiap tumbuhan berbeda-beda. Daftar perbandingan jenis tegakan pada hutan sekunder bawah, hutan sekunder atas dan hutan primer di hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Perbandingan tegakan hutan sekunder bawah, sekunder atas dan primer yang ditemukan dikawasan hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

No Tipe Hutan Pohon Tiang Tkt Pertumbuhan

Jumlah Jenis

Jumlah Famili

Jumlah Jenis

Jumlah Famili

Pohon Tiang

1. Hutan Sekunder Bawah 32 16 58 27 186 1493 2. Hutan Sekunder Atas 24 14 43 22 51 435 3. Hutan Primer Atas 16 10 21 9 91 415

Dari Tabel 4.1 diketahui pada hutan sekunder bawah yang dilakukan tercatat 32 jenis tingkat pohon yang termasuk ke dalam 16 famili dan 58 jenis tingkat tiang yang termasuk ke dalam 27 famili. Pada hutan sekunder atas tercatat 24 jenis tingkat


(43)

pohon yang termasuk ke dalam 14 famili dan 43 jenis tingkat tiang yang termasuk kedalam 22 famili. Sementara hutan primer tercatat 16 jenis tingkat pohon yang termasuk kedalam 10 famili dan 21 jenis tingkat tiang yang termasuk kedalam 9 famili. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran B.

Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa pada hutan sekunder bawah jenis dan familinya lebih banyak dibandingkan dengan sekunder atas dan lebih banyak jenis dan familii dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini disebabkan intensitas cahaya yang berbeda, antara hutan sekunder bawah dan hutan sekunder atas serta hutan primer atas. Polunin (1997), menyatakan bahwa data yang sebanding bagi kekayaan spesies di hutan primer maupun sekunder praktis tidak ada, namun tampak bahwa pada umumnya jumlah spesies pohon di hutan sekunder meningkat dengan bertambahnya umur. Lebih lanjut Polunin (1997), Kekayaan spesies yang agak kurang sering dikaitkan dengan kecendrungan spesies tunggal; jumlah spesies-total yang rendah dan dominasi spesies tunggal tampak pada umumnya berkaitan dengan kandisi tanah niroptimum.

Lebih tingginya jumlah jenis pada tingkat tiang dari pada pohon adalah disebabkan laju pertumbuhan pada jenis tiang lebih tinggi dati pada pohon, dan biasanya pada pohon akan terjadi persaingan yang kuat, dan tidak memiliki toleran yang tinggi akan mati. Pada hutan sekunder jenis pohon dan tiang lebih tinggi dari pada hutan sekunder atas dikarenakan kemampuan toleran tumbuhan untuk hidup pada daerah tinggi akan semakin kecil. Pada hutan pegunungan atas sekunder jenis pohon dan tiang juga lebih tinggi dari pada hutan pegunungan atas primer, hal ini di akibatkan Penutupan tajuk yang lebih baik pada hutan primer, sehingga jenis tumbuhan yang tumbuh akan semakin sedikit.

Data dari pihak ke hutanan Aek Nauli, yaitu 86 jenis yang termasuk dalam 42 famili, mencakup untuk semua tingkatan. Lebih rendahnya jenis hasil penelitian untuk seluruh hutan pada hutan Aek Nauli di karenakan penelitian hannya pada tingkat pohon dan tiang, akibat kompetisi sehingga ada spesies yang kalah dan musnah, atau karena lokasi penelitian dekat pemukiman penduduk, maka diambil


(44)

oleh penduduk untuk kayu bakar, sebagai obat, serta penopang tanaman menjalar seperti timun.

IV.2. Dominansi Jenis Tegakan

Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran dan penguasaan suatu jenis dalam ekosistem. Jenis ekosistem di suatu tempat adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan secara efisien dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya, Smith (1997). Dominansi jenis tegakan diperoleh dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP). Jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki INP tinggi. Menurut Hortshon (1976), dalam Yefri (1987), bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan besarnya diameter batang adalah jenis dan umur pohon. Hasil analisis data didapatkan Indeks Nilai Penting pada hutan sekunder bawah dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Indeks Nilai Penting 10 tingkat Pohon dan 10 tingkat Tiang pada Hutan sekunder bawah di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Tipe Hutan No Nama Latin Family INP

Pohon pada Hutan Sekunder Bawah

1 Eugenia susingariana K.et V Myrtaceae 16,59

2 Schima sp1 Theaceae 14,44

3 Schima sp2 Theaceae 14,22

4 Lithocarpus endeisocarpus (Korth.) Fagaceae 13,32

5 Elaeocepus parvifolius Elaeocarpaceae 13,05

6 Lithocarpus cyclophorus Fagaceae 11,88

7 Radermachera lobbii Mig Bignoniceae 10,82

8 Styrax benzoin Dryand Styracaceae 10,65

9 Castanopsis lucida Fagaceae 9,64

10 Lithocarpus sp Fagaceae 9,05

Tiang pada Hutan Sekunder Bawah

1 Eugenia susingariana K.et V Myrtaceae 29,29

2 Garcinia celebica L Guttiferae 21,89

3 Gordonia excelsa Blume Theaceae 20,36

4 Eugenia attenuata Myrtaceae 19,44

5 Alseodaphne Lauraceae 17,34

6 Engelhardtia spicata K.et V Juglandaceae 14,75

7 Lithocarpus cyclophorus Fagaceae 14,14

8 Baccauera dulcis Merr Euphorbiaceae 12,29

9 Eugeniagrandis Myrtaceae 10,70

10 Styrax sumatrana Styracaceae 7,80


(45)

Pada Tabel 4.2. Indeks Nilai Penting pada hutan sekunder bawah dari tegakan pohon berkisar antara 9,05% - 16,59%, sedang pada tingkat tiang berkisar antara 7,8% - 29,29%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis pohon Eugenia susingariana K.et V dengan nilai 16,59%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Schima sp1 dengan nilai sebesar 14,44%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis tiang Eugenia susingariana K.et V dengan nilai 29,29%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Garcinia celebica L dengan nilai sebesar 21,89%. Indeks Nilai Penting pada hutan sekunder atas dari tegakan pohon dan tiang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3 Indeks Nilai Penting 10 tingkat Pohon dan 10 tingkat Tiang pada Hutan sekunder atas di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Tipe Hutan No Nama Latin Family INP

Pohon pada Hutan Sekunder

Atas

1 Rhodoleria theysmanii Miq Hammamelidaceae 79,55 2 Palaquium clarkeanum Sapotaceae 43,34 3 Persea odoratissima Lauraceae 32,08 4 Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 31,97 5 Ficus grosssularioides Moraceae 24,39 6 Dehaasia pauciflora Lauraceae 22,07 7 Dacrycarpus imbricatus Podocarpaceae 21,24 8 Payena acuminata Sapotaceae 18,39 9 Symplocos fasciculata Zoll Symplocaceae 14,76

10 Leea angulata Vitaceae 10,81

Tiang pada Hutan Sekunder

Atas

1 Rhodoleria theysmanii Miq Hammamelidaceae 77,27 2 Syzygium filiforme Myrtaceae 74,69

3 Alseodaphne Lauraceae 21,86

4 Persea odoratissima Lauraceae 20,25 5 Eugenia attenuata Myrtaceae 20,21 6 Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 14,68 7 Garcinia celebica L Guttiferae 12,96 8 Dehaasia pauciflora Lauraceae 10,09

9 Leea angucata Vitaceae 8,82

10 Symplocos fasciculataZoll Symplocaceae 8,42 Hasil analisis data didapatkan Indeks Nilai Penting pada hutan sekunder atas dari tegakan pohon berkisar antara 10,81% - 79,55%, sedang pada tingkat tiang berkisar


(46)

antara 8,42% - 77,27%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis pohon Rhodoleria theysmanii Miq dengan nilai 79,55%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Palaquium clarkeanum dengan nilai sebesar 43,34%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis tiang Rhodoleria theysmanii Miq dengan nilai 77,27%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Syzygium filiforme dengan nilai sebesar 74,69%.

Perbedaan nilai INP pada hutan sekunder bawah dan hutan sekunder atas ini di akibatkan ukuran diameter batang, banyak jenis yang tumbuh. Pada hutan sekunder bawah banyak jenis akan tetapi diameter kecil, atau diameter besar tetapi jenis yang tumbuh sedikit. Pada hutan sekunder atas diameter batang pada umumnya besar dan serta jenis yang tumbuh banyak. Indeks Nilai Penting pada hutan primer atas dari tegakan pohon dan tiang dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Indeks Nilai Penting 10 tingkat Pohon dan tingkat Tiang pada Hutan Primer Atas di kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

Tipe Hutan No Nama Latin Family INP

Pohon pada Hutan Primer Atas

1 Ficus grosssularioides Moraceae 94,09

2 Persea odoratissima Lauraceae 29,50

3 Palaquium gutta Sapotaceae 23,39

4 Dracontomelon dao Macardiaceae 14,38

5 Phoebe macrophylla Lauraceae 13,25

6 Schima sp 2 Theaceae 12,45

7 Litsea cordata Lauraceae 12,42

8 Syzygium filiforme Myrtaceae 12,29

9 Rhodoleria theysmanii Miq Hammamelidaceae 12,16

10 Alsingie excelsa noronha Hammamelidaceae 11,81

Tiang pada Hutan Primer Atas

1 Persea odoratissima Lauraceae 53,62

2 Ficus grosssularioides Moraceae 40,77

3 Styrax benzoin Dryand Styracaceae 27,20

4 Phoebe macrophylla Lauraceae 23,87

5 Altingia excelsa Noronha Hammamelidaceae 20,52

6 Litsea petiolata Lauraceae 13,89

7 Dehaasia pauciflora Lauraceae 12,74

8 Neoscortechinia kingii Euphorbiaceae 9,73

9 Beilschmiedia roseliana Kosterm Lauraceae 8,96

10 Quercus gemelliflora Fagaceae 8,54

Hasil analisis data didapatkan Indeks Nilai Penting pada hutan primer atas dari tegakan pohon berkisar antara 11,81% - 94,09%, sedang pada tingkat tiang 26


(47)

berkisar antara 8,54% - 53,62%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis pohon Ficus grosssularioides dengan nilai 94,09%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Persea odoratissima dengan nilai sebesar 29,5%. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis tiang Persea odoratissima dengan nilai 53,62%. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua Ficus grosssularioides dengan nilai sebesar 40,77%.

Tingginya Famili dari jenis Moraceae dan Lauraceae. menunjukkan bahwa hutan Kawasan Hutan Aek Nauli merupakan hutan hujan tropis dengan kondisi baik. Menurut Soerianegara (1998), hutan alam Indonesia sebagian besar merupakan hutan hujan tropis basah, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan berada di wilayah khatulistiwa, merupakan negara yang mempunyai keanekaragam tinggi.

Jenis Moraceae sangat luas penyebarannya di hutan tropis Indonesia, terdapat banyak jenis-jenisnya. Jenis ini cukup penting, karena tumbuhan pionir, dan bervariasi kelasnya (Departemen Kehutanan, 1991).

(Departemen Kehutanan, 1991) Jenis Lauraceae, sangat besar di daerah tropis dan sekitarnya, seperti di Australia, penyebarannya di Indonesia mencakup Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT dan NTB, Maluku, serta Irian Jaya.

Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi (Indrianto, 2006). Perbedaan Nilai Indeks nilai Penting pada hutan primer atas dengan hutan sekunder atas diakibatkan diameter batang pada hutan primer besar dan jenisnya banyak, sementara pada hutan sekunder atas ukuran diameternya lebih kecil. Jenis tumbuhan yang ada pada tingkat pohon tidak semuanya ada pada tingkat tiang, ini di akibatkan adaya jenis tumbuhan yang tidak toleran terhadan naungan, adanya jenis tumbuhan yang mati akibat persaingan antar sejenisnya.

Menurut Utomo (2006), bahwa ketidak konsistenan jenis dominan pada tingkat pohon dengan tingkat tiang dapat disebabkan beberapa hal, yaitu:


(48)

1. Tidak diketahuinya awal mulai pertumbuhan pohon.

2. Biji pohon hutan secara umum bersifat rekalsitran sehingga saat biji jatuh kelantai hutan, bila tidak berkecambah akan membusuk/mati oleh tingginya kandungan air

3. Kondisi lingkungan yang kompleks, seperti kemiringan tanah yang berbeda dan kandungan batuan yang tinggi menyebabkan biji yang jatuh ditempat yang berbatu tidak akan dapat tumbuh dan karena kemiringan biji dapat terlempar jauh dari pohon induk. Tingginya kandungan serasah dan tumbuhan bawah yang membentuk lapisan tersendiri diatas permukaan tanah sehingga biji yang jatuh tidak menyentuh tanah, namun berada diatas serasah dan atau tajuk tumbuhan bawah sehingga kehilangan viabilitas

4. Beberapa jenis pohon hutan klimaks yang ada sangat jarang berbuah sehingga produksi biji yang dihasilkan untuk membentuk semai lebih terbatas.

5. Beberapa jenis pohon hutan tertentu disukai satwa dan nilai ekonomis sehingga sulit ditemukan dibawah pohon induk.

IV.3. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman

Tingginya tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) di hutan tropis merupakan suatu kekayaan tersendiri yang tak ternilai harganya.Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula kestabilan suatu komunitas (Whitmore, 1990). Untuk mengetahui keanekaragaman dan kemerataan pada lokasi penelitian telah dilakukan analisa data dan dapat dilihat hasilnya sebagai berikut.


(49)

Tabel 4.5 Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan tingkat pohon dan tiang berdasarkan tipe hutan kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun

Tipe Hutan INDEKS POHON TIANG

Hutan Sekunder Bawah

H' 3,14 3,69

E 0,67 0,69

Hutan Sekunder Atas

H' 2,91 3,37

E 0,71 0,70

Hutan Primer Atas

H' 2,55 2,85

E 0,51 0,55

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pada lokasi penelitian didapat indeks keanekaragaman pada hutan sekunder bawah tingkat pohon sebesar 3,14 dan nilai Keanekaragaman tingkat tiang 3,69. Untuk indeks keanekaragaman pada hutan sekunder atas tingkat pohon sebesar 2,91 dan nilai Keanekaragaman tingkat tiang 3,37. Indeks keanekaragaman pada primer tingkat pohon sebesar 2,55 dan nilai keanekaragaman tingkat tiang 2,85. Hal ini menunjukkan jumlah jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang ada termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Mason (1980), jika nilai Indeks Keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.

Indeks keanekaragaman hutan sekunder bawah lebih tinggi dari pada hutan sekunder atas diakibatkan banyaknya jenis individu yang tumbuh pada pada hutan sekunder bawah dan toleran terhadap tinggi permukaan tanah serta intensitas cahaya yang lebih terbuka, bila dibandingkan dengan hutan sekunder atas.

Nilai Indeks kemerataan didapat dengan membandingkan nilai H’ dengan total jumlah jenis atau genus (ln S) yang terdapat pada suatu lokasi. Indeks Kemerataan tingkat pohon pada hutan sekunder bawah sebesar 0,67 untuk tiang 0,69. Untuk indeks Kemerataan tingkat pohon pada hutan sekunder atas sebesar 0,71 serta indeks Kemerataan tingkat pada hutan sekunder atas tiang 0,7. Nilai Indeks kemerataan pada hutan primer tingkat pohon sebesar 0,51 serta tingkat tiang sebesar


(1)

116 P. macrophylla Lauraceae 38 27 0,46 696,92

117 P. macrophylla Lauraceae 54 28 0,46 1749,94

118 P. macrophylla Lauraceae 39 29 0,46 746,00

119 P. macrophylla Lauraceae 52 39 0,46 1585,18

120 P. macrophylla Lauraceae 39 28 0,46 746,00

121 P. macrophylla Lauraceae 57 29 0,46 2016,24

122 Rhodoleria theysmanii Miq Hammamelidaceae 48 28 0,62 1732,35 123 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 41 25 0,62 1146,25 124 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 51 28 0,62 2030,57 125 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 42 25 0,62 1220,95 126 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 43 26 0,62 1298,59 127 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 52 29 0,62 2136,55 128 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 43 26 0,62 1298,59

129 Schima noronhae Theaceae 70 28 0,60 4505,06

130 S. noronhae Theaceae 72 28 0,60 4850,15

131 S. noronhae Theaceae 70 28 0,60 4505,06

132 S. noronhae Theaceae 76 26 0,60 5588,25

133 S. noronhae Theaceae 73 29 0,60 5028,63

134 S. noronhae Theaceae 72 30 0,60 4850,15

135 Schima wallichiii Korth Theaceae 47 28 0,60 1586,50

136 S. wallichiii Korth Theaceae 47 28 0,60 1586,50

137 S. wallichiii Korth Theaceae 47 28 0,60 1586,50

138 S. wallichiii Korth Theaceae 45 29 0,60 1415,67

139 S. wallichiii Korth Theaceae 43 30 0,60 1256,70

140 S. wallichiii Korth Theaceae 48 32 0,60 1676,47

141 Syzygium filiforme Myrtaceae 71 30 0,64 4987,35

142 S. filiforme Myrtaceae 69 28 0,64 4627,62

143 S. filiforme Myrtaceae 69 28 0,64 4627,62

144 S. filiforme Myrtaceae 73 31 0,64 5363,87

145 S. filiforme Myrtaceae 72 29 0,64 5173,49

146 S. filiforme Myrtaceae 73 27 0,64 5363,87

Biomassa Total 314475,8

2 Biomassa kg/8000(luas lahan) 42,45

Biomassa (Ton/ha) 424,54


(2)

LAMPIRAN: N

Daftar nama tegakan jenis Tiang, Diameter, Tinggi, BJ Kayu, dan

Biomassa yang ditemukan pada hutan primer dikawasan hutan

Aek Nauli Kabupaten Simalungun

No Nama Latin Family Diameter

(cm)

T.T (meter)

BJ

(g cm3) Biomassa

1 Alseodaphne Lauraceae 14 24 0,59 65,33

2 Alseodaphne Lauraceae 14 23 0,59 65,33

3 Alseodaphne Lauraceae 14 21 0,59 65,33

4 Alseodaphne Lauraceae 15 23 0,59 78,27

5 Alsingie excelsa Noronha Hamamelidaceae 24 28 0,66 297,71

6 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 32,5 30 0,66 658,82

7 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 21 23 0,66 209,82

8 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 23,5 27 0,66 281,73

9 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 32,5 30 0,66 658,82

10 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 20 22 0,66 184,64

11 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 24 27 0,66 297,71

12 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 29 26 0,66 488,78

13 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 21 22 0,66 209,82

14 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 27 27 0,66 405,33

15 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 33 26 0,66 685,71

16 A. excelsa Noronha Hamamelidaceae 20 22 0,66 184,64

17 Beilschmiedia roseliana Kosterm. Lauraceae 31 32 0,25 222,18

18 B. roseliana Kosterm. Lauraceae 31 32 0,25 222,18

19 B. roseliana Kosterm. Lauraceae 30 35 0,25 203,89

20 B. roseliana Kosterm. Lauraceae 30 32 0,25 203,89

21 B. roseliana Kosterm. Lauraceae 31 35 0,25 222,18

22 Cinnamomum parthenoxylon Meissn Lauraceae 15 23 0,54 71,64

23 C. parthenoxylon Meissn Lauraceae 1 22 0,54 0,06

24 C. parthenoxylon Meissn Lauraceae 16 22 0,54 84,84

25 C. parthenoxylon Meissn Lauraceae 16 22 0,54 84,84

26 Dehaasia pauciflora Lauraceae 28,5 30 0,67 477,71

27 D. pauciflora Lauraceae 22 23 0,67 242,45

28 D. pauciflora Lauraceae 22 22 0,67 242,45

29 D. pauciflora Lauraceae 29 30 0,67 499,98

30 D. pauciflora Lauraceae 29 29 0,67 499,98

31 D. pauciflora Lauraceae 22 23 0,67 242,45

32 D. pauciflora Lauraceae 24 22 0,67 304,52

33 Eugenia grandis Myrtaceae 14 22 0,71 78,62

34 E. grandis Myrtaceae 14 22 0,71 78,62

35 E. grandis Myrtaceae 14 22 0,71 78,62

36 E. grandis Myrtaceae 14 22 0,71 78,62

37 E. grandis Myrtaceae 16 22 0,71 111,54

38 Eugenia susingariana K.et V Myrtaceae 24 21 0,75 340,88

39 E. susingariana K.et V Myrtaceae 13 21 0,75 68,39

40 E. susingariana K.et V Myrtaceae 13 23 0,75 68,39

41 E. susingariana K.et V Myrtaceae 14 21 0,75 83,04

42 Ficus grosssularioides Moraceae 22 26 0,04 13,03


(3)

44 F. grosssularioides Moraceae 23 25 0,04 14,64

45 F. grosssularioides Moraceae 34 19 0,04 40,75

46 F. grosssularioides Moraceae 17 23 0,04 6,63

47 F. grosssularioides Moraceae 11 25 0,04 2,12

48 F. grosssularioides Moraceae 31 28 0,04 31,99

49 F. grosssularioides Moraceae 16 21 0,04 5,66

50 F. grosssularioides Moraceae 16 23 0,04 5,66

51 F. grosssularioides Moraceae 19 26 0,04 8,87

52 F. grosssularioides Moraceae 23 25 0,04 14,64

53 F. grosssularioides Moraceae 24 26 0,04 16,36

54 F. grosssularioides Moraceae 30 29 0,04 29,36

55 F. grosssularioides Moraceae 21 24 0,04 11,53

56 F. grosssularioides Moraceae 32 28 0,04 34,77

57 F. grosssularioides Moraceae 13 24 0,04 3,28

58 F. grosssularioides Moraceae 32 27 0,04 34,77

59 F. grosssularioides Moraceae 17 22 0,04 6,63

60 F. grosssularioides Moraceae 13 22 0,04 3,28

61 F. grosssularioides Moraceae 32 27 0,04 34,77

62 Garcinia celebica L Guttiferae 17 21 0,76 139,95

63 G. celebica L Guttiferae 16 21 0,76 119,40

64 G. celebica L Guttiferae 16 21 0,76 119,40

65 G. celebica L Guttiferae 18 20 0,76 162,56

66 G. celebica L Guttiferae 16 21 0,76 119,40

67 Litsea petiolata Lauraceae 17 20 0,48 88,39

68 L. petiolata Lauraceae 11 21 0,48 28,25

69 L. petiolata Lauraceae 22 24 0,48 173,69

70 L. petiolata Lauraceae 21 25 0,48 153,76

71 L. petiolata Lauraceae 11 22 0,48 28,25

72 L. petiolata Lauraceae 13 16 0,48 43,77

73 L. petiolata Lauraceae 22 26 0,48 173,69

74 L. petiolata Lauraceae 22 25 0,48 173,69

75 L. petiolata Lauraceae 22 24 0,34 123,03

76 L. petiolata Lauraceae 21 23 0,34 108,91

77 L. petiolata Lauraceae 21 24 0,34 108,91

78 L. petiolata Lauraceae 22 24 0,34 123,03

79 Neoscortechinia kingii Euphorbiaceae 25 26 0,53 268,08

80 N. kingii Euphorbiaceae 26 25 0,53 297,10

81 N. kingii Euphorbiaceae 25 25 0,53 268,08

82 N. kingii Euphorbiaceae 27 25 0,53 327,98

83 N. kingii Euphorbiaceae 27 26 0,53 327,98

84 N. kingii Euphorbiaceae 28 25 0,53 360,76

85 Persea odoratissima Lauraceae 27 19 0,46 284,66

86 P. odoratissima Lauraceae 21 27 0,46 147,36

87 P. odoratissima Lauraceae 33,5 30 0,46 500,92

88 P. odoratissima Lauraceae 34 29 0,46 520,75

89 P. odoratissima Lauraceae 15 20 0,46 61,03

90 P. odoratissima Lauraceae 21,5 25 0,46 156,73

91 P. odoratissima Lauraceae 33,5 32 0,46 500,92


(4)

93 P. odoratissima Lauraceae 16 21 0,46 72,27

94 P. odoratissima Lauraceae 15 29 0,46 61,03

95 P. odoratissima Lauraceae 15,5 23 0,46 66,50

96 P. odoratissima Lauraceae 31 31 0,46 408,81

97 P. odoratissima Lauraceae 21,5 25 0,46 156,73

98 P. odoratissima Lauraceae 33,5 30 0,46 500,92

99 P. odoratissima Lauraceae 34 30 0,46 520,75

100 P. odoratissima Lauraceae 16 29 0,46 72,27

101 P. odoratissima Lauraceae 23 25 0,46 187,02

102 P. odoratissima Lauraceae 31 29 0,46 408,81

103 P. odoratissima Lauraceae 33 30 0,46 481,57

104 P. odoratissima Lauraceae 31 30 0,46 408,81

105 P. odoratissima Lauraceae 16 23 0,46 72,27

106 P. odoratissima Lauraceae 32 31 0,46 444,27

107 Phoebe macrophylla Lauraceae 11 21 0,46 27,08

108 P. macrophylla Lauraceae 23 20 0,46 187,02

109 P. macrophylla Lauraceae 21 21 0,46 147,36

110 P. macrophylla Lauraceae 10 19 0,46 21,09

111 P. macrophylla Lauraceae 30 24 0,46 375,15

112 P. macrophylla Lauraceae 31 23,5 0,46 408,81

113 P. macrophylla Lauraceae 12 24 0,46 34,01

114 P. macrophylla Lauraceae 11 22 0,46 27,08

115 P. macrophylla Lauraceae 10 21 0,46 21,09

116 P. macrophylla Lauraceae 11 19 0,46 27,08

117 P. macrophylla Lauraceae 31 23,5 0,46 408,81

118 P. macrophylla Lauraceae 32 25 0,46 444,27

119 P. macrophylla Lauraceae 31 24 0,46 408,81

120 Quercus gemmiflora Fagaceae 26 26 0,60 336,34

121 Q. gemmiflora Fagaceae 26 27 0,60 336,34

122 Q. gemmiflora Fagaceae 27 26 0,60 371,29

123 Q. gemmiflora Fagaceae 28 27 0,60 408,41

124 Q. gemmiflora Fagaceae 27 29 0,60 371,29

125 Q. gemmiflora Fagaceae 14 25 0,76 84,15

126 Q. gemmiflora Fagaceae 24 24 0,76 345,43

127 Q. gemmiflora Fagaceae 26 24 0,76 426,03

128 Q. gemmiflora Fagaceae 25 24 0,76 384,42

129 Q. gemmiflora Fagaceae 14 24 0,76 84,15

130 Q. gemmiflora Fagaceae 13 24 0,76 69,30

131 Rhodoleria theysmanii Miq Hammamelidaceae 26 24 0,62 347,55

132 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 32 24 0,62 598,79

133 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 32 25 0,62 598,79

134 R. theysmanii Miq Hammamelidaceae 31 26 0,62 551,00

135 Schima noronhae Theaceae 28 28 0,60 408,41

136 S. noronhae Theaceae 26 17 0,60 336,34

137 S. noronhae Theaceae 15 29 0,60 79,60

138 S. noronhae Theaceae 28 29 0,60 408,41

139 S. noronhae Theaceae 28 26 0,60 408,41

140 Schima wallichiii Korth Theaceae 21 20 0,62 198,61


(5)

142 S. wallichiii Korth Theaceae 14 18 0,62 68,65

143 S. wallichiii Korth Theaceae 13 21 0,62 56,53

144 S. wallichiii Korth Theaceae 12 21 0,62 45,84

145 Styrax benzoin Dryand Styracaceae 10 22 0,43 19,72

146 S. benzoin Dryand Styracaceae 18 20 0,43 91,98

147 S. benzoin Dryand Styracaceae 13 21 0,43 39,21

148 S. benzoin Dryand Styracaceae 12 20 0,43 31,79

149 S. benzoin Dryand Styracaceae 21 22 0,43 137,74

150 S. benzoin Dryand Styracaceae 12 20 0,43 31,79

151 S. benzoin Dryand Styracaceae 23 23 0,43 174,82

152 S. benzoin Dryand Styracaceae 13 23 0,43 39,21

153 S. benzoin Dryand Styracaceae 22 25 0,43 155,60

154 S. benzoin Dryand Styracaceae 13 25 0,43 39,21

155 S. benzoin Dryand Styracaceae 10 21 0,43 19,72

156 S. benzoin Dryand Styracaceae 12 20 0,43 31,79

157 S. benzoin Dryand Styracaceae 12 20 0,43 31,79

158 S. benzoin Dryand Styracaceae 15 20 0,43 57,05

159 S. benzoin Dryand Styracaceae 14 25 0,43 47,61

160 S. benzoin Dryand Styracaceae 14 26 0,43 47,61

161 S. benzoin Dryand Styracaceae 14 24 0,43 47,61

162 Tristania Myrtaceae 31 31 0,74 658,82

163 Tristania Myrtaceae 23 31 0,74 301,39

164 Tristania Myrtaceae 23 31 0,74 301,39

165 Tristania Myrtaceae 23 31 0,74 301,39

166 Tristania Myrtaceae 23 32 0,74 301,39

Biomassa total 33299,3

Biomassa kg/2000(luas

lahan) 16,649

Biomassa (Ton/ha) 166,49


(6)

LAMPIRAN: O

Gambar 6.1

Alur Plot Pengamatan.

±1600 dpl

±1700 dpl

±1500 dpl

±1400 dpl

±1300 dpl

100m

100m

100m

100m

100m

100m

100m

100m

100m

20m