Kajian Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan (Studi Kasus: Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan)

(1)

KAJIAN KONFLIK PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Studi Kasus: Di Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung

Kabupaten Humbang Hasundutan)

HASIL PENELITIAN

Oleh :

Hendra S Panjaitan 081201057/Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Kajian Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan

(Studi Kasus: Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan)

Nama : Hendra S Panjaitan Nim : 081201057

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

(Oding Affandi, S.Hut, MP) (Ir. Herianto, M.Si)

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D) Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan berkat dan rahmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul KAJIAN KONFLIK PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN. Dalam skripsi ini akan di jelaskan isu dan wujud konflik pengelolaan hutan kemenyan antara masyarakat dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL).

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Oding Affandi S.Hut, MP, sebagai ketua pembimbing skripsi dan Bapak Ir. Herianto, M.Si sebagai anggota pembimbing skripsi, yang telah

membimbing saya sepanjang penyusunan draft hasil ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, serta kepada teman-teman di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan sumbangsinya atas penyelesaian penelitian ini.

Penulis juga menyadari masih banyak terdapat kekurangan di dalam draft Penelitian ini. Untuk itu penulis terbuka terhadap berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, April 2013


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 2

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sejarah Hutan Kemenyan... 5

2.2.Kondisi Hutan ... 8

2.3.Konflik ... 9

2.4.Masyarakat Desa Hutan ... 12

2.5.Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya ... 17

2.6.Pengelolaan Konflik ... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.2.Alat dan Objek Penelitian ... 26

3.3.Metode Pengumpulan Data ... 26

3.4.Jenis Data ... 27

3.4.1.Data Pokok ... . 27

3.4.2. Data Penunjang ... . 27

3.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27

3.6.Matriks Metodologi Penelitian ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan... 31

4.1.1.Permasalahan dan Isu-Isu Strategi ... 32

4.1.2.Penyebab dan Bentuk Konflik Masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) ... 33


(5)

4.2.Dampak dan Sosial Ekonomi Masyarakat dengan Terjadinya

Konflik ... . 35

4.3.1.Dampak Fisik ... . 36

4.2.2. Dampak Sosial Ekonmi ... . 36

4.2.3. Dampal Budaya ... . 36

4.3.Konflik Sosial Yang Berkepanjangan ... . 37

4.3.1. Masyarakat dengan PT TPL dan Aparat ... . 37

4.3.2. Wujud Konflik Lahan ... . 39

4.4.Efektivitas Penyelesaian Konflik ... . 41

4.4.1. Resolusi Konflik ... . 41

4.4.2. Pengaturan Sendiri ... . 42

4.4.3. Mediasi ... . 42

4.4.4. Proses ... . 43

4.4.5. Menyelesaikan Konflik dengan Negosiasi ... 43

4.4.6. Arbitrase ... . 44

4.5.Pihak Ynag Terlibat ... . 46

4.6.Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi Masyarakat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) ... . 48

4.6.1. Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat ... 49

4.6.2. Kerjasama Intensif dengan Aparat Penegak Hukum ... . 49

4.6.3. Koordinasi Antar Lembaga ... . 50

V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan ... 52

5.2. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Sebaran Luas Kawasan Hutan Di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 31 2. Karakateristik Masyarakat Desa ...

33

3. Wujud konflik tertutup di Desa Panduman Kecamatan Pollung ... 40 4. Mekanisme Penyelesaian Konflik ... 42


(7)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Lokasi Penelitian ... 29 2. Pohon Kemenyan yang ikut ditebang ... 35 3. Stakeholder yang terlibat ... 36


(8)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dan persekutuan alam

lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No.41 tahun 1999).

Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak, maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang adapun manfaat dan fungsi hutan adalah sebagi berikut:

1. Manfaat Ekonomi yaitu hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi, Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal, menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.

2. Manfaat Klimatologis yaitu Hutan dapat mengatur iklim serta hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan.

PT Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan perusahaan yang mengelola Hutan negara, dalam bentuk Hutan Tanaman Industri, tepatnya di Sosor ladang, Kecamatan Porsea, Provinsi Sumatera Utara. PT Toba Pulp Lestari (TPL) memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 150.000 ha. Kemudian pada

tanggal 1 juni 1992, diperluas menjadi 269.060 ha, dengan SK Menhut (Ir. Hasjrul Harahap), dimana areal konsesi PT Toba Pulp Lestari ini meliputi


(9)

Tapanuli Utara termasuk Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Dairi, Simalungun, dan Tapanuli Tengah.

Kawasan hutan yang luas di daerah Humbang Hasundutan, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalah hidup akibat dari orang-orang yang berkepentingan menyalah gunakan peratuaran yang pada akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumber daya hutan Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standart hidup, turunnya angka kematian dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

1.2.Perumusan Masalah

Dalam rangka pembangunan daerah, baik di era otonomi maupun di daerah sebelumnya yaitu era terpusat (sentralistik), pemerintah Indonesia selalu dihadapkan pada berbagai persoalan-persoalan sosial ekonomi yang dihadapi dan masih berlangsung sampai sekarang ini. Seperti yang terjadi di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Pemerintah daerah menghadapi kendala dan tantangan dalam persengketaan atau konflik lahan antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), adapun yang menjadi inti permasalahan antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yaitu sebagai berikut :


(10)

1. Masyarakat mengklaim tanaman kemenyan yang tumbuh didalam areal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) adalah tanah adat milik masyarakat, dimana tanah adat ini dikeluarkan oleh Peraturan Daerah (PERDA) yang di usahai secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat dari dua Desa ini. 2. Peran stakeholder yaitu Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Humbang

Hasundutan, LSM yaitu Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang memanfaatkan jasa kehutanan memberikan pengaruh dalam keberlangsungan kelestarian hutan kerena tidak jarang juga mengambil keuntungan, baik luasan lahan maupun menjadi mediator dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan yang mengelolah kawasan hutan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui isu, wujud dan penyebab konflik pengelolaan hutan kemenyan di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta.

2. Mengetahui dampak dari konflik pengelolaan hutan kemenyan di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta.

3. Memberikan masukan kepada pihak PT Toba Pulp Lestari dalam menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta.


(11)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini,yaitu:

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

2. Bagi instasi pendidikan, dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik ataupun penelitian serupa lainnya. 3. Bagi individu, penelitian ini dapat menumbuhkan semangat untuk menemukan


(12)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Hutan Kemenyan

Sejarah pohon kemenyan di Negara Indonesia tumbuh dan menghasilkan di Pulau Sumatera khususnya di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Kebun kemenyan (tombak haminjon) sudah diusahai oleh masyarakat sejak tahun 1875 sebagai sumber kehidupan dan penghidupan atau mata pencaharian utama di daerah ini. Dari generasi ke generasi kebun kemenyan ini tetap menjadi sumber pencaharian utama sampai sekarang, selanjutnya generasi yang mengelola dan mengusahai kemenyan ini merupakan generasi keenam. Pohon kemenyan tidak akan pernah dijumpai tertata rapi layaknya perkebunan, dan juga pohon kemenyan tidak dibudidayakan. Kemenyan sebagai komoditi yakni getah yang disadap dari batang pohon tersebut.

Tombak haminjon (hutan kemenyan), yakni areal tanah adat yang berisi tanaman kemenyan yang sudah dibudidayakan beserta tanaman lainnya milik masyarakat adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, yang sudah dimiliki dan diusahai sejak masa leluhur atau nenek moyang mereka, diperkirakan sejak 300 tahun yang lalu, sesuai tindakan generasi yang sudah mendiami desa ini.Tombak haminjon ini berada di 3 areal yang mereka beri nama : Tombak Sipiturura, Dolokginjang, Lombang Nabagas. Marga-marga awal yang membuka perkampungan sekaligus yang membuka Tombak Haminjon dan yang tinggal hingga sekarang di 2 desa ini terdiri dari komunitas marga yakni :

1. Turunan dari marga Marbun yakni Lumban Batu yang hingga sekarang sudah 13 generasi; Lumban Gaol (13 generasi);


(13)

2. Boru bius (sebagai marga boru) yakni Nainggolan dan Pandiangan (13 generasi);

3. Turunan Siraja Oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang (masing-masing 13 generasi);

4. Marga yang datang kemudian yakni: Munthe dan Situmorang (3generasi). Berdasarkan data desa, saat ini ada 770 KK (3715 jiwa) warga yang mendiami 2 desa ini, dan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Total luas wilayah adat yang belakangan diketahui menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), 6001,153 ha. Dari pemetaan yang dilakukan, sudah termasuk perkampungan menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Komunitas marga diataslah yang sejak awal membuka perkampungan dan areal Tombak Haminjon ini dan memiliki serta mengusahainya, yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi yang terdahulu hingga sekarang, secara hukum adat ataupun kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus, diakui, dan hidup di komunitas 2 desa ini.

Sebagai komunitas masyarakat adat, batas-batas kepemilikan tanah di antara komunitas 2 desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat. Demikian juga dalam penentuan batas-batas kepemilikan dengan desa/komunitas desa lainya. Ada sejenis rotan yang menjadi tanda batas kepeilikan di antara mereka. Dan hal ini mereka patuhi hingga saat ini.

Di areal tombak haminjon ini dulunya terdapat jalan yang merupakan jalan penghubung antara Desa Pandumaan/Sipituhuta dengan Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan. Tahun 1920-1980-an, masyarakat Desa Simataniari menggunakan jalan ini untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari ke Onan Pollung


(14)

(Pekan). Onan Pollung ini berada di Desa Pollung, namun semenjak tahun 1985-an, warga Simataniari tidak lagi berbelanja ke Onan Pollung karena sudah

ada di Kecamatan Parlilitan.

Masyarakat adat di dua desa ini pada umumnya hidup dan menjadikan Tombak Haminjon sebagai mata pencaharian utama yang mereka sebut martombak, yakni kegiatan atau pekerjaan mengambil kemenyan ke tobak kemenyan. Setiap keluarga (suami dan anak laki-laki dewasa) pada umumnya bekerja sebagai petani kemenyan. Setiap hari senin akan berangkat ke tombak dan tinggal disana untuk manige (mengambil getah kemenyan) dan akan pulang ke desa pada hari kamis, jumat dan atau sabtu. Sehingga suasana desa ini sangat sunyi dengan kehadiran kaum laki-laki pada hari-hari dimana mereka martombak. Demikian kehidupan warga 2 desa ini berlangsung dari generasi ke generasi, tanpa pernah mendapat gangguan dari pihak mana pun. Dari hasil kemenyan ini lah warga dua desa ini dapat menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan memenuhi kebutuhan atau keperluan hidup lainnya.

Sebagai tanaman langka dan termasuk jenis tanaman yang dilindungi (endemic), pohon kemenyan adalah produk unggulan dari Kabupaten Humbang Hasundutan, dan hanya bisa tumbuh di daerah tertentu dengan kondisi tanah tertentu. Demikian hal nya di desa ini, menurut pengalaman warga, dengan beralih ke pekerjaan lain dengan mengembangkan jenis pertanian lain, kondisi tanah kurang mendukung untuk itu. Sehingga hanya dengan martombak lah yang bisa mereka lakukan di desa ini.


(15)

2.2. Kondisi Hutan

Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang ditampilkan sebagai berikut.

Tabel 1. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan

(ha)

Persentase (%)

1 Pakat 17.100,00 17,90

2 Onan Ganjang 3.100,00 3,25

3 Sijamapolang 2.850,00 2,98

4 Lintong Nihuta 7.700,60 8,06

5 Paranginan 2.250,00 2,36

6 Doloksanggul 6.000,04 6,28

7 Pollung 6.062,20 6,35

8 Parlilitan 39.950,00 41,83

9 Tarabintang 8.400,00 8,79

10 Bakti Raja 2.100,00 2,20

Total 95.512,84 100,00

Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009

Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64%, diikuti hutan lindung 33% dan hutan produksi terbatas (HPT) sebanyak 3% dari luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas (pulp).


(16)

2.3. Konflik

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.

Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan

masalah-masalah diskriminasi. Menurut Mitchell, et al. (2000) dan Hendricks (2004) konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat

bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman.

Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik adalah benturan yang


(17)

terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi social budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam. Menurut penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat

pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000). Selain itu, diungkapkan juga

bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik.

Koentjaraningrat dan Ajamiseba (1994) menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu gerakan destruktif. Anau, et al. (2002) menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak


(18)

terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu.

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. (2001), bahwa konflik bisa berwujud meningkat (eskalasi). Konflik eskalasi merupakan konflik yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan senjata tajam.

Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit,


(19)

sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

2.4. Masyarakat Desa Hutan

Hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarat sangat tergantung pada hutan. Bahkan menurut Tokede et al. (2005) hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak-anaknya sebagai pengikat hubungan social antar suku dan antar marga dan suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayai.

Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal dikawasan hutan maupun yang dimanfaatkan hutan dalam mencakup kehidupannya. Redfied (1982) dalam bukunya berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit sekali mendapat pengaruh dari kelas atas.

Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalahan hidup yang pada


(20)

akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya sederhana karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya Fuad dan Maskanah (2000). Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematiaan dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan masyarakat (khususnya di sekitar hutan) alam. Kehidupan masyarakat yang majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu, pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, maupun individu harus tetap waspada terhadap terjadinya yang mungkin terjadi, sehingga diperlukan kesadaran yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, konsesus yang dapat

bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali konflik (Muntakin dan Pasya, 2003).

Fuad dan Maskanah (2000) juga mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan yang sering terlihat (meskipun masih banyak pula yang tak terlihat) ada konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai pihak diluar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Wulan et al. (2004) mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu penambahan hutan,


(21)

pencurian kayu, perusakan lingkungan, tatabatas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarya.

Konflik dapat dilihat dari berbagai presfektif, dalam konteks makro maupun mikro (Hadimulyo dalam Fuad & Maskanah 2000). Perpektif mitologis-historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik scott, (1993) Fuad dan Maskanah (2000) faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional Wulan et al.( 2004).

Di Indonesia, masalah pengusahaan sumber daya alam, termasuk hutan sebagai asset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan telah cukup lama menjadi keprihatinan banyak pihak. Persoalan distribusi penguasaan tanah atau lahan di Indonesia telah menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat, dan mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi yang berbasis pengamatan lahan. Tekanan akan hutan akan semakin meningkat. Ini menyebabkan masyarakat yang miskin dan yang tidak mempunyai lahan mencoba mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.


(22)

Akhir-akhir ini, ditengah kehidupan masyarakat kita tengah terjadi serangkaian konflik, baik yang berasal dari pertentangan politik, ketidak adilan hukum, kesenjangan ekonomi, bentrokan antar suku, kekerasaan militer, dan sebagainya. Salah satu yang paling sering terdengar dalam konflik antara masyarakat dengan pihak lain, adalah konflik pengelolaan Sumber daya Hutan (SDH). Sudah selayaknya kita mencurahkan perhatian kepada masalah ini, mengingat konflik dalam pengelolaan Sumber daya Hutan (SDH) mencakup spectrum yang sangat luas. Jika kita tidak secara dini serta hati-hati mencarikan jalan keluarnya, akibat yang paling ringan yang akan muncul adalah hilangnya potensi hutan kita, yang nilai pentingnya sudah tidak diragukan lagi, dan sebetulnya merupakan warisan bagi generasi yang akan datang.

Sudah sangat umum dijumpai bahwa berbagai kejadian konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) melibatkan berbagai pihak yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap hutan. Pada ahirnya konflik itu di ekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan itu sendiri, baik yang berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam, penebangan secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyemprotan lahan hutan maupun bentuk-bentuk lainnya. Penyebab konflik itu sendiri sangat beragam, tidak masalah hilangnya lahan masyarakat akibat penebangan hutan bukan juga acapkali terkait erat dengan permasalahan kebijakan pembangunan dan fenomena kapitalisme global.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak dalam proses implementasinya Wibawa, (1994;40) pertama, kelompok sasaran tidak membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari


(23)

kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang etis. Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran yang tidak menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya. Untuk kasus semacam ini sudah barang tentu pelaksana keputusan atau kebijakan perlu mengubah kondisi kelompok sasaran dengan cara pendidikan dengan gerakan penyadaran pada umumnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui penyuluhan langsung oleh para birokarat lapangan, dapat pula dengan memanfaatkan tokoh masyarakat informal maupun pemimin-pemimpin resmi seperti Bupati, Camat, Kepala Kepolisian. Media yang digunakan cukup beragam mulai dari tatap muka hingga poster dan televisi.

Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan lahan yang pada ahirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariaanya maupun dari luasannya wilayahnya yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat

itu sendiri, adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (Fuad dan Maskanah 2000).

Ketidakseimbangan kepemilikan lahan itu memang menjadi masalah semua Negara. Penguasaan lahan yang tidak seimbang seperti itu menyebabkan adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani kemenyan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan lahan tidak merata


(24)

barangkali hanya berpengaruh terhadap petani kemenyan yang menetap bagaimana dengan mereka yang selama ini tinggal di hutan dan melakukan pertanian dengan tumpang gilir, telah banyak penelitian mengatakan bahwa sejak awal dilakukan inisiatif pengelolaan hutan dengan melibatkan pihak swasta, terjadi penggusuran besar-besaran terhadap hak kepemilikan (tenurial rights) terhadap hutan yang disandang oleh masyarakat lokal.

Konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) ini antara lain diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku pembangunan (pemerintah, pengusaha,dan rakyat) serta keterbatasan sumberdaya karena kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat Sumber daya Alam (SDA). Konflik dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antar berbagai unsur masyarakat, yaitu antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik vertical yaitu konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Dalam hal ini sebagai contoh, yaitu konflik dibidang agraria dan dapat mewakili konflik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia pada umumnya.

2.5. Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik (Mitchell et al. 2000). Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari


(25)

masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung sering memaksa masyarakat untuk berpindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung (Wulan et al. 2004).

Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak

karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia (Fuad dan Maskanah 2000) bahwa:

a. Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik, sebab konflik terdapat di alam dan hadir dikehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk diramalkan kapan datangnya seperti cuaca.

b. Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaian.

c. Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara inheren.

d. Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau keduanya dan mempunyai sifat mengikat.

e. Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada strereoptip, komunikasi yang payah, serat emosi, kurang informasi, dan salah informasi yang menciptakan konflik.


(26)

f. Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reaksi-reaksi pisikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan pisiologi seseorang.budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik.

g. Konflik mengandung makna “kaleindoskop”, konflik laksana drama yang dapat dianalisa dengan memahami siapa, dimana, kapan, dan mengapa. Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai kontruksi dan realita.

h. Konflik memiliki “daur hidup” dan “sifa-sifat bawaan”, konflik dapat bertrasformasi,bertambah cepat, perlahan menghilangkan atau berubah.

i. Konflik mengubah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemikir, seniman, politisi, pisikolog dan ahli filsafat.

Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996), yakni: (1) Dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Orang yang


(27)

menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae, et al., 2000), antara lain:

1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok prokemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter. Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto (1990) menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu.

2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak lawan.


(28)

3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul, misalnya: "Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia".

4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi. 5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri

atau kelompok lain.

6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid.

7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya.

8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa saya adalah musuh orang/kelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul "ya, saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya. Selanjutnya Soekanto (1990) menambahkan akibat-akibat tersebut dengan: 9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan

terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia.


(29)

10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan pihak-pihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi.

2.6.Pengelolaan Konflik

Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: (1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; (2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; (3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak

memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa (Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000).

Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum (Mitchell, et al., 2000).

Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti,


(30)

yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang - perorangan atau kelompok - kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack (1959) dalam Soekanto (1990) dan Ibrahim (2002), adalah

sebagai berikut:

1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).

2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.

3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan


(31)

diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang bertentangan.

4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.

5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. 6. Toleration juga sering dinamakan t o ler a n t -pa r t i c i pat i o n , ini

merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orangperorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur. 8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk akomodasi


(32)

lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.

Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive (proses pengendalian sosial tanpa kekerasan) mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara coercive (proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan), karena biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah. Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu,peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia (Sakai, 2002).


(33)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Panduman dan Desa Sipitu Huta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan. Dengan selang pengumpulan data kurang lebih satu bulan antara bulan Februari sampai Maret 2013.

3.2. Alat dan Objek Penelitian

Penelitian ini memerlukan alat bantu seperti camera digital, kuisoner, dan alat tulis lainnya sedangakan objek penelitian ini yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Sipitu Huta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.3. Metode pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan beberapa teknik berdasarkan jenis data yang dibutuhkan.

a. Teknik observasi, yaitu dengan mengamati secara langsung pihak-pihak yang memungkinkan mengalami konflik lahan di kawasan hutan Kemenyan.

b. Wawancara, yaitu wawancara responden dari pihak pemerintah yaitu Dinas Kehutanan , masyarakat sekitar konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yaitu Desa Panduman dan Desa Sipitu Huta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Wawancara dilakukan secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak kaku, dan informal. Hasil dari wawancara ini akan menjadi data primer. Jumlah


(34)

responden yang diambil sebanyak 20 responden yang merupakan penduduk yang berbatasan dengan konsesi TPL.

3.4. Jenis Data

Adapun jenis data-data yang dikumpulkan terdiri atas data pokok dan data penunjang yaitu:

3.4.1. Data Pokok

Data yang diperoleh berdasarkan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dan perusahaan melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi), wawancara mendalam dan study pustaka dan literatur kemudian dijadikan sebagai data pokok dalam menganalisa data.

3.4.2. Data Penunjang

Data untuk menunjang data pokok sehingga dapat menambah ketajaman serta informasi dalam menganalisis data untuk mengahasilkan tujuan penelitian. Data dapat diperoleh dari data umum dari pihak terkait serta studi literatur dan pustaka.

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Berdasarkan pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), bahwa ananalisis data kualitatif mencakup reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan, ketiga jalur analisis data tersebut menjadi acuan dalam tulisan ini. Penelitian ini sudah berada pada kondisi jenuh, yaitu pada saat peneliti menanyakan kepada informan yang diwawancarai tentang informasi lain yang direkomendasikan, jawabannya tetap berkisar pada responden-responden sebelumnya yang sudah penulis wawancari.


(35)

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan, wawancara mendalam dengan responden serta dengan studi pustaka literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kulitatif tersebut. analisis data kuantitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Analisis data dilakukan melalui analisis stakeholder untuk mendapatkan hasil subtantif.

Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari lapangan dengan meringkas dan menggolongkan. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga didapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif yaitu menyajikan data dengan menggunakan bagan tabel, untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.


(36)

Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan antara masyarakat dengan PT TPL

KONFLIK

TPL

Stakeholder

 Kementerian Kehutanan  Dinas Kehutanan Provinsi  Pemkab Humbang Hasundutan  Dewan Kehutanan Nasional  Lembaga Swadaya Masyarakat  Masyarakat sekitar kawasan  Aparat Keamanan

SOLUSI

Isu Konflik

Wujud

Konflik

Isu Konflik

Penyebab


(37)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan

Konflik terbuka yang terjadi antara komunitas adat Pandumaan dan Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) telah terjadi sejak Juni 2009. Masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta menolak wilayah adatnya digusur untuk kepentingan industri bubur kertas PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena di dalam wilayah adat tersebut terdapat Tombak Haminjon (hutan kemenyan) yang sangat penting bagi masyarakat. Konflik masyarakat dengan perusahaan sampai saat ini masih belum ditemukan penyelesaiannya yang dikarenakan masyarakat merasa hak - hak mereka belum didapatkan seutuhnya. Pada tanggal 25 dan 26 Februari 2013 telah terjadi penangkapan 31 warga masyarakat dari komunitas adat Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

Bagi masyarakat adat Panduman dan Sipituhuta, Hutan kemenyan tidak hanya bernilai ekonomis tetapi juga merupakan harga diri dan titipan leluhur yang menjadi salah satu identitas serta sumber penghidupan masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta. Sejak konflik ini terjadi, banyak penyelesaian yang menjadi kebijakan dari pemerintah, tetapi belum dapat diterima masyarakat karena menurut masyarakat didalam kebijakan itu keadilan masih setimpang, meskipun bentrokan yang telah berulang-ulang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan maupun dengan pihak kepolisian sudah mencapai tahap yang memprihatinkan karena melibatkan kekerasan dan tindakan-tindakan tidak adil terhadap komunitas.


(38)

4.1.1. Permasalahan dan Isu-Isu Strategis

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) sampai saat ini belum mendapat titik temu dalam penyelesaiannya, Pemerintah daerah Humbang Hasundutan menghadapi kendala dan tantangan dalam persengketaan atau konflik lahan antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), adapun yang menjadi inti permasalahannya yaitu sebagai berikut :

1. Masyarakat mengklaim tanaman kemenyan yang tumbuh didalam areal konsesi PT.Toba Pulp Lestari (TPL), adalah tanah adat milik masyarakat yang diusahai secara turun temurun. Areal konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang diberikan berada dalam Kawasan Hutan Hutagalung Register 41 (Sektor Tele). Di dalam areal konsesi tersebut terdapat tanaman kemenyan yang tertata maupun tidak tertata ± 2.475 Ha dan telah diusahai oleh masyarakat Desa Pandumaan, Sipituhuta, Pansurbatu, Simataniari secara turun temurun sampai sekarang sehingga terjadi permasalahan antara masyarakat dengan pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) (Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan, 2009).

2. Peran stakeholder yaitu Pemerintah yaitu Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Humbang Hasundutan, LSM yaitu Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang memanfaatkan jasa kehutanan memberikan pengaruh dalam keberlangsungan kelestarian hutan kerena tidak jarang juga mengambil keuntungan baik luasan lahan maupun menjadi mediator dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan yang mengelolah kawasan hutan.


(39)

3. Areal konsesi PT. Toba Pulp Lestari,Tbk belum ada tata batas secara fisik di lapangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 493/KPTS-II /1992 :

Pemegang Izin IUPHHK diwajibkan untuk penataan batas seluruh areal kerja, namun sampai saat ini pihak perusahaan belum melaksanakannya sehingga masyarakat tidak mengetahui batas areal konsesi dimaksud (Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan).

Gambar 2. Pohon kemenyan yang ikut ditebang

4.1.2. Penyebab dan Bentuk Konflik Masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL)

Masyarakat desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta hidup berdampingan, rukun dan berkecukupan bila dilihat dari segi perekonomiannya, rata-rata mata pencaharian yang paling khas dari dua desa ini adalah getah Kemenyan yang


(40)

setelah ditetapkannya Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari (TPL) berada di lokasi dimana Masyarakat mencari nafkanya yaitu hutan kemenyan. setelah PT Toba Pulp Lestari (TPL) memperoleh izin, sesuai keputusan Menteri Kehutanan No 493/KPTS-II/92 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL), pada poin ke 5 angka 4 berbunyi, PT Inti Indorayon Utama sebelum PT Toba Pulp Lestari (TPL) adalah sebagai pemegang hak pengusahaan hutan tanaman industri, harus melaksanakan penataan batas seluruh areal kerja selambatnya 36 bulan setelah surat keputusan itu dikeluarkan. “Jadi, menyikapi poin ke 5 angka 4 surat keputusan Menhut itu, Bupati Humbahas meminta kepada pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) memenuhinya. Sehingga tidak menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum kepemilikan lahan masyarakat dengan lahan konsesi hutan Toba Pulp Lestari (TPL). Maka sebelum pokok persoalan ini tuntas, Bupati meminta PT Toba Pulp Lestari (TPL) menghentikan seluruh kegiatan sementara di pasar 1 sampai dengan pasar 9 yang menjadi wilayah konflik dengan masyarakat. PT Toba Pulp Lestari (TPL) belum pernah melaporkan tapal batas sesuai dengan izin yang dimiliki kepada Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan (Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan). Hal ini menyebabkan Pemkab Humbahas tidak memiliki kewenangan atas izin yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (RI). masyarakat memberitahukan kepada Pemkab Humbahas, hutan ulayat yang berada di lokasi konflik tersebut seluas 2.100 ha. Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda - beda. Sebagai contoh, perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan


(41)

hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka

4.2. Dampak dan Sosial Ekonomi Masyarakat dengan Terjadinya Konflik

Konflik masyarakat desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) sangat mempengaruhi berbagai dampak negatif bagi masyarakat dua desa ini, sehingga menimbulkan banyak kekurangan dan sangat tampak dari sebelum terjadi konflik, adapun yang menjadi dampak setelah terjadinya konflik adalah sebagai berikut :


(42)

4.2.1. Dampak Fisik

Dampak dari masalah ini, warga 2 desa akan kehilangan areal ladang/ kebun kemenyan tombak haminjon sebagai sumber pencaharian utama warga, masyarakat atau komunitas marga di 2 desa ini juga kehilangan hak atas tanah adat akibat dari konflik ini, warga masyarakat 2 desa ini juga banyak yang ditahan atas tuduhan yang berbeda-beda, ada yang diduga keras melakukan tindak pidana Pembakaran dan Pengrusakan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dimaksut dalam pasal 187 subs 170 lebih subs 406 ayat (1) dari KUHPidana; ada yang dikenakan pasal 362 KUHPidana; dan ada yang dikenakan pasal 160 KUHPidana.

4.2.2. Dampak Sosial Ekonomi

Yang biasanya aktivitas sehari-hari masyarakat di desa ini adalah mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga menjadi terganggu sehingga menyebabkan pengaruh besar terhadap perekonomian masyarakat di desa ini, kebutuhan anak-anak untuk sekolah juga terganggu karena sumber pendapatan hilang, dengan terjadinya konflik didesa ini juga menyebabkan petani kemenyan yang biasa hari -harinya mengurus ladang kemenyan akan kehilangan pekerjaan sehingga meninggkatkan jumlah penganguran dan akan menjadi buruh di atas tanah sendiri.

4.2.3. Dampak Budaya

Warga di dua desa ini akan kehilangan identitas, kebiasaan, kearifan atau pengetahuan lokal, hukum adat yang mengatur pola hubungan kekerabatan di antara komunitas desa ini dengan desa lainnya. Daerah Humbang Hasundutan yang dulunya sangat terkenal dengan penghasil getah kemenyan terbaik di


(43)

Sumatera Utara akan kehilangan produk unggulan yang biasanya digunakan untuk bahan upacara adat dan agama.

4.3. Konflik Sosial Yang Berkepanjangan

Kondisi politik yang bergulir didaerah Humbang Hasundutan yang terjadi selama beberapa dekade juga mempengaruhi kondisi konflik yang terjadi di daerah ini. Puncak dari segala konflik berlangsung pada tahun 2009. Masyarakat di dua Desa ini sebelumnya melakukan aktvitas masyarakat sehari-harinya dengan baik yaitu mengelolah tombak haminjon (kemenyan) akan tetapi setelah PT Toba Pulp Lestari (TPL) menunjuk daerah Kecamatan Pollung menjadi RKT (rencana kerja tahunan) semuanya berubah, dan tepatnya di Desa Pandumaan dan Desa si PituHuta yang paling banyak mengelolah tombak haminjon terganggu akibat aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) di daerah itu, dan bahkan merusak pohon kemenyan masyarakat dua desa ini yang mengakibatkan kemarahan masyarakat sehingga sempat masyarakat menahan pekerja TPL dan menyita alat pekerja untuk beroperasi seperti cainsaw, dengan tindakan amarah masyarakat konflik ini semakin memanas dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) juga tidak tinggal diam sehingga menyebabkan konflik ini tak berujung.

4.3.1. Masyarakat dengan PT TPL dan Aparat

Konflik antara masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang terjadi sejak juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan kebijakan untuk penyelesaian konflik tersebut. Berbagai upaya telah


(44)

dilakukan masyarakat, mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun pusat.

Atas pengaduan masyarakat, Komnas HAM sudah dua kali melakukan pemantauan kelapangan dan menemukan fakta-fakta: bahwa masyarakat menolak aktivitas TPL meskipun menggunakan izin HPH/HTI dari Menteri Kehutanan; bahwa pihak masyarakat menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan; bahwa telah muncul gejolak dan potensi terjadinya konflik horizontal dan vertical terkait masalah ini. Berdasarkan fakta-fakta lapangan ini, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi dan mendesak pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan (Bupati) agar segera menerbitkan keputusan yang menyatakan bahwa penebangan kayu apapun di lokasi tersebut dihentikan sampai ada penyelesaian menyeluruh terhadap persoalan ini.

Demikian halnya dengan Tim dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sudah 2 kali melakukan investigasi ke lapangan. Dari hasil investigasi lapangan, Tim DKN ini juga sudah memberi rekomendasi ke Kementerian Kehutanan agar areal milik dua desa ini dikeluarkan dari konsesi TPL maupun dari kawasan hutan Negara. Namun hingga sekarang belum ada tindak lanjut dari rekomendasi ini.

Yang terakhir, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah melakukan pemetaan untuk menentukan tapal batas. Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012, agar tanah/wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan Negara, sesuai dengan Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK


(45)

44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan. Namun hingga sekarang, belum ada kejelasan dari pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan tentang hal ini.

Sementara itu, di lapangan (di Tombak Haminjon/hutan kemenyan) pihak TPL tetap melakukan aktifitas penebangan, dan mulai melakukan pembukaan jalan di Tombak, agar dapat dengan mudah dilalui alat-alat berat dan mengangkut kayu tebangan dari areal ini. Melihat tindakan pihak TPL tersebut: agar tidak melakukan penebangan dan membuka jalan, karena sampai sekarang belum ada penyelesaian atas kasus ini dan posisinya masih stanvast. Hal ini sesuai dengan surat DPRD (2009) dan kesepakatan ketika Komnas HAM datang ke Desa Pandumaan pada 2010 yang lalu. Namun teguran dan larangan warga ini tidak diindahkan pihak TPL yang selalu dikawal aparat Brimob dengan senjata laras panjang.

4.3.2. Wujud Konflik Lahan

Menurut Wijardjo (1998) dalam Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest).

Tabel 2. Wujud konflik tertutup di Desa Panduman Kecamatan Pollung

Wujud Konflik Frekuensi Persentase (100%)

Tertutup 16 25

Mencuat 21 32

Terbuka 28 43

Jumlah 65 100


(46)

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT TPL mencuat sebesar 32%. Masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan dan Sipituhuta mengetahui konflik yang terjadi hanya 43%, konflik tersebut terbuka dan sampai kearah hukum. Dan konflik ini tertutup sebesar 25%, Jumlah 25% bukanlah persentase yang kecil untuk diabaikan, penyelesaian/kesepakatan adalah jawaban agar tidak terulang hal-hal seperti ini.

Menurut wujudnya konflik yang terjadi di dua Desa ini yaitu Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta tertutup dalam waktu yang cukup lama, hal tersebut terjadi karena komitmen masyarakat terhadap hukum adat yang mereka

akui kuat dari nenek moyangnya. Hal senada dikatakan Fuad dan Maskanah (2000) bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya

tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun.

Situasi konflik dikatakan mencuat jika masing-masing pihak yang berselisih mulai mengetahui adanya perselisihan dan kebanyakan permasalahannya jelas namun proses penyelesaian masalahnya belum ada respon. Konflik masyarakat dengan PT TPL mulai mencuat setelah pendampingan LSM dengan masyarakat dan membantu menyuarakan yang tidak berkenan dihati masyarakat. Kehadiran LSM memberikan wacana baru kepada masyarakat, dari segi wawasan, mereka memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi dalam artian proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya alam.


(47)

Setelah pendampingan LSM konflik ini mengarah ke konflik terbuka sebesar 43% dikarenakan keinginan masyarakat konflik ini harus menjadi rahasia umum, dan besar harapan masyarakat dengan semua pihak mengetahui konflik ini terutama instansi pemerintah Kementerian Kehutanan dapat meberikan solusi dalam pemecahan konflik ini.

4.4.Efektivitas Penyelesaian Konflik

Penyelesaian konflik masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta sudah sangat banyak dilakukan upaya-upaya untuk mendapatkan solusi tetapi sampai saat ini belum juga mendapat titik terang, peran Pemerintah dan stakeholder lainnya dalam upaya penyelesaian konflik ini belum juga menemukan jalan untuk penyelesaian, didalam skripsi ini peneliti menawarkan resolusi konflik untuk konflik yang dihadapi masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

4.4.1. Resolusi Konflik

Resolusi konflik (coflict resolution) adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (self regulation) atau melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Gambar 2 dibawah menunjukkan diagram resolusi konflik. Resolusi konflik melalui pengaturan sendiri terjadi jika para pihak yang terlibat konflik berupaya menyelesaikan sendiri konflik mereka. Intervensi pihak ketiga terdiri atas (1) resolusi melalui


(48)

pengadilan (2) proses administrasi dan (3) resolusi perselisihan alternatif (alternative dspute resolution).

Gambar 3. Resolusi konflik

4.4.2. Pengaturan Sendiri

Dalam metode resolusi konflik pengaturan sendiri, pihak-pihak yang terlibat konflik menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan terlibat konfliknya. pihak-pihak yang terlibat konflik saling melakukan pendekatan dan negosiasi untuk menyelesaikan konflik dan menciptakan keluaran konflik yang mereka harapakan. pola interaksi konflik tergantung pada keluaran konflik yang diharapkan, yang terbaik untuk semua tujuan dan semua situasi konflik.

4.4.3. Mediasi

Penyelesaian konflik melalui mediasi merupakan jenis resolusi konflik alternatif yang telah lama dipakai untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik. Di Indonesia, mediasi digunakan dalam penyelesaian konflik di berbagai masyarakat

Mengatur sendiri Intervensi pihak

ketiga

Pengadilan Proses Administrasi Resolusi perselisihan

Mediasi Arbitrase Resolusi konflik

Onbudsman


(49)

adat, keluarga/perkawinan, konflik interpersonal, penyelesaian konflik manajemen bisnis dan pemerintahan sampai penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta konflik sosial. defenisi resolusi konflik melalui mediasi sebagai proses manajemen konflik di mana pihak-pihak yang terlibat konfllik menyelesaikan konflik mereka melalui negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Demikian halnya dengan konflik yang terjadi di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta sejauh ini memang sudah dijalankan banyak langkah untuk menempuh penyelesaian konflik, namun sampai saat ini belum juga mendapatkan titik terang dalam penyelesaian konflik tersebut hal itu disebabkan karena belum ada kebijakan yang benar-benar pas untuk kedua bela pihak untuk mengakhiri konflik ini.

4.4.4. Proses

Mediasi merupakan suatu proses yang memerlukan upaya dari pihak yang terlibat konflik dan mediator. dari konflik yang berkepanjagan antara masyarakat Desa Pandumaan Dan Desa Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) sangat diperlukan peran untuk membantu mediasi resolusi konflik ini, dikatakan sebagai proses karena mediasi juga memerlukan sumber-sumber berupa keinginan pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik dengan bantuan mediator setelah tidak mampu menyelesaikan senndiri konflik mereka, mediasi juga memerlukan waktu dan pendekatan memberi dan mengambil (give and take). 4.4.5. Menyelesaikan Konflik dengan Negosiasi

Masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta serta PT Toba Pulp Lestari (TPL) adalah pihak yang terlibat konflik sosial, inti dari mediasi adalah pihak-pihak yang terlibat konflik saling melakukan pendekatan untuk melakukan


(50)

negosiasi. Negosiasi adalah hubungan sementara, dimana saling tawar menawar (bargaining) terjadi secara sukarela. Negosiasi dapat dilakukan secara rahasia, hanya diketahui pihak-pihak yang terlibat konflik atau secara terbuka diketahui oleh masyarakat.

4.4.6. Arbitrase

Salah satu resolusi perselisihan alternatif (alternative dispute resoluiton-ADR) yang banyak digunakan dalam menyelesaikan konflik, terutama dalam konflik bisnis, adalah arbitrase. konflik bisnis antar pengusaha nasional serta konflik antara pengusaha nasional dan pengusaha luar negeri menggunakan proses resolusi konflik arbitrase karena dianggap lebih cepat dan biayanya lebih murah jika dibandingkan melalui proses pengadilan. disamping itu, masing-masing pihak yang terlibat konflik dapat mengontrol sendiri resolusi konflik yang dihasilkan melalui proses arbitrase. menurut Christopher A.Moore (2003), arbitrase merupakan istilah umum proses penyelesaian konflik sukarela dimana pihak-pihak yang terlibat konflik meminta bantuan pihak-pihak ketiga yang imparsial (tidak memihak) dan netral untuk memuat keputusan mengenai objek konflik. keluaran dari keputusan arbitrase bisa bersifat nasihat dan tidak mengikat atau bisa juga berupa keputusan yang mengikat pihak-pihak yang terlibat konflik. Arbitrase dilakukan oleh satu orang atau suatu panel (tim) pihak ketiga (third party intervention)-intervener. Arbiter adalah pihak ketiga diluar pihak-pihak yang teribat konflik dan dalam proses arbitrase.

Berikut adalah kontrak arbitrase yang mengandung sejumlah dimensi : 1) Arbiter. Pihak ketiga yang bersifat imparsial dan netral, serta berfungsi


(51)

Arbiter satu orang atau satu panel, bisa orang bebas atau mempunyai posisi arbiter karena diangkat menurut undang-undang, diangkat oleh asosiasi tertentu atau diangkat oleh pihak-pihak yang melakukan ikatan kontrak bisnis. 2) Hubungan arbiter dengan pihak yang telibat konflik. Para pihak yang terlibat

konflik meminta arbiter untuk membantu mereka menyelesaikan konfliknya. permintaan bisa dilakukan sebelum terjadinya konflik, yaitu ketika kontrak bisnis ditandatangani. hal ini bertujuan sebagai persiapan jika kontrak bisnis tersebut menimbulkan konflik di kemudian hari. permintaan proses arbitrase ini dikemukakan oleh kedua bela pihak yang terlibat konflik secara tertulis. 3) Proses arbitrase. Jika terjadi konflik para pihak yang terlibat konflik menemui

arbiter. arbiter akan melakukan dengar pendapat dengan mereka. masing-masing pihak sebaliknya mengemukakan posisinya disertai bukti kesaksian dokumen-dokumen yang mendukung, arbiter secara aktif akan menggali informasi dari mereka, membuat peta tentang sebab konflik (pemetaan konflik), perkembangan konflik dan posisi masing -masing pihak yang terlibat konflik. kemudian, arbiter mengumpulkan sejumlah alternatif kemungkinan resolusi konflik dan membahasnya dengan pihak-pihak yang terlibat konflik. 4) Keputusan. Dari alternatif-alternatif yang ada, arbiter memilih salah satu

alternatif terbaik bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik, keputusan yang dibuat arbiter merupakan keputusan yang mengikat (binding). keputusan arbitrase didaftarkan di pengadilan. jika salah satu pihak tidak mau melaksanakan keputusan, pengadilan akan melakukan eksekusi sesuai dengan keputusan tersebut.


(52)

4.5. Pihak Yang Terlibat

Selain masyarakat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) banyak pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini, berikut ini daftar atau data pihak - pihak yang telibat :

NO Nama Status Tindakan/Eskalasi

Pelaku Korban

1 PT. Toba Pulp

Lestari Tbk

√ • Pemilik ijin konsesi HTI/HPH/RKT

• Menanami areal yang sudah

ditebangi dengan tanaman eucalyptus.

2 Polres Kabupaten

Humbahas

√ Pada 2009:

• Menimbulkan rasa takut terhadap

warga di 2 desa dengan mendatangkan aparat (gabungan polisi dan brimob) dengan jumlah yang berlebihan.

• Melakukan tindakan penggeledahan rumah warga secara paksa tanpa surat perintah dan membongkar kamar dengan paksa.

• Menciduk 2 warga, ketika

melakukan aksi menuntut pihak Polres agar membebaskan 4 warga yang ditahan.

• Menempatkan aparat di tombak

haminjon dan mengintimidasi petani kemenyan.

• Mendatangkan intel ke desa yang menimbulkan ketakutan, rasa tidak nyaman dan terganggu.

Pada 2012

• 22 September 2012, 8 warga

mendapat surat panggilan dari kepolisian resor Humbang Hasundutan dengan dialih untuk menjalani pemeriksaan/untuk dimintai keterangan, paksa bentrok antara warga dengan pihak TPL di lahan, 19 September 2012

3 Polsek Kecamatab

Pollung


(53)

4 Brimob √ • Membantu satuan Polres Humbahas

5 Menteri Kehutanan

(Departemen Kehutanan)

√ • Mengeluarkan SK TPL

6 Kepala Dinas

Kehutanan

Propinsi Sumatera Utara

√ • Surat Dinas Kehutanan Propinsi

Sumatera Utara, Nomer 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT.TPL tahun 2009

7 Kepala Dinas

Kehutanan Kabupatan Humbahas

√ • Surat Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, Nomer

522.21/2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan.

8 CV. KPM √ • Kontraktor TPL yang menyediakan

pekerja dan peralatan untuk

menebang pohon di tombak

haminjon

9 CV. 44 √ Idem

10 CV. SDU √ Idem

11 CV. RMA √ Idem

12 CV. Parulian √ Idem

13 CV. Gorga Duma

Sari

√ Idem

14 CV. Rolan √ Kontraktor TPL yang menyediakan

pekerja dan peralatan untuk melakukan penanaman eucalyptus dan pemupukan (2013)

15 CV. Sumber Jaya √ Kontraktor TPL yang menyediakan

pekerja dan peralatan untuk melakukan penebangan (2013)

16 Warga 2 desa

yakni desa Pandumaan dan Sipitu Huta (sekitar 700 KK)

√ Perampasan hak atas tanah adat dan

pengrusakan/penghilangan sumber mata pencaharian utama warga.

17 James Sinambela, 49 tahun

√ Diciduk aparat dengan paksa dari

ladang miliknya, tanpa surat perintah penangkapan, dan masih berstatus tahanan luar


(54)

tahun tahanan luar 19 Satono

Lumbangaol, 43 tahun

√ Diciduk saat aksi di depan kantor

Polres, dan masih berstatus tahanan luar

20 Madialaham

Lumbangaol, 26 tahun

√ Diciduk saat aksi di depan kantor

Polres, dan masih berstatus tahanan luar

21 Rumah Ama

Junjung Sihite

√ Diobrak-abrik aparat, lumbung padi

dan pintu dibongkar paksa

22 Rumah Op. Rikki

Nainggolan

√ Diobrak-abrik aparat, menggeledah

rumah dan kamar.

23 Biner Lumbangaol,

56 tahun

√ Diciduk polisi ketika membunyikan

lonceng gereja di Gereja HKBP, sebagai tanda agar warga berkumpul karena terjadi penangkapan atas warga, kemudian dilepas.

24 Nusantara Lumban

Batu

√ Diciduk saat aksi di depan kantor

Polres, kemudian dilepas

25 Pada 2012: 8

warga

√ Tidak dapat tinggal di desa dengan

nyaman (bersembunyi) karena adanya keterancaman akan ditangkap paksa.

26 Pada 2013: 25-26

Februari 2013, 31 warga ditangkap paksa dan ditahan di Polres

√ Ditahan di Mapolda Sumatera Utara.

Sejak 11 Maret dalam status tahanan luar (penangguhan penahanan) wajib lapor.

4.6. Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi Masyarakat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL)

Banyak masukan dan rekomendasi dalam penyelesaian konflik baik dari pihak pemerintah maupun kesepakatan stakeholder lainnya, namun banyak juga kendala kedua belah pihak yang bersangutan dengan konflik ini untuk menjalankan rekomendasi tersebut sehingga sampai pada saat ini konflik antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) belum ada titik temu.


(55)

4.6.1. Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat

Meskipun PT Toba Pulp Lestari (TPL) memiliki konsesi dan areal kerja di areal permukiman masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta namun nyatanya dilapangan belum ada tata batas yang jelas antara hutan adat masyarakat dengan areal kerja TPL. Kondisi inilah yang mengakibatkan tetap ditemukan aktivitas pemanfaatan penyelesaian RKT TPL didaerah konflik ini, dan ditambah menggangu hutan adat (Hutan Kemenyan) yang berbatasan dengan areal kerja PT TPL. Dalam rangka mengurangi permasalahan ini maka sebagai perusahaan besar dan memiliki konsesi yang jelas sebaiknya lakukan tata batas ulang yang mmelibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Sebelum melakukan pembatasan ulang harus dipastikan setiap masyarakat dua desa yaitu Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta mengetahui tentang pelaksanaan pembatasan ulang beserta kompensasi dan aturan yang harus disepakati, dan setelah itu agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari sebaiknya membangun patok-patok yang kokoh dengan jarak yang teratur setelah tata batas tersebut.

4.6.2. Kerjasama Intensif dengan Aparat Penegak Hukum

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung bahwa selama ini masyarakat di dua desa lebih menerapkan hukum adat yang berlaku di Desa ini jadi setiap masalah yang terjadi selalu diselesaikan dengan hukum adat, terkait dengan konflik masyarakat dengan PT TPL karena konflik ini tergolong konflik yang sudah terbuka dan semua pihak sudah mengetahui permasalahan ini, hukum adat mungkin kurang efektif untuk penyelesaiannya, jadi perlu kerjasama yang intesif dengan Aparat Penegak Hukum. Adanya penegakan hukum secara nyata,


(56)

akan mendidik masyarakat untuk berindak dalam koridor hukum yang berlaku, sehingga keamanan akan tercipta. Pendidikan hukum bagi masyarakat dan pihak Pengelola PT TPL sangatlah penting agar tidak ada hak-hak masyarakat yang hilang sehingga unsur keadialan tercipta.

4.6.3. Koordinasi Antar Lembaga

Kurangnya kordinasi dan sinergitas program antara pihak kehutanan dengan masyarakat dan aparat penegak hukum juga merupakan sumber masalah. Selain itu kurangnya sinergitas dan integrasi program kegiatan antara LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) dengan pihak pemerintah yang mengakibatkan kesalah pahaman antara instasi ini, sehingga sulit untuk bekerja sama guna untuk mempermudah penyelesaian konflik.

Gambar 5. Stakeholder yang terlibat

PT.TPL

DINAS KEHUTANAN

HUMBANG HASUNDUTAN

PEMKAB HUMBANG HASUNDUTA

MASYARAKAT PANDUMAAN

DAN SIPITUHUTA

LSM (KSPPM)


(57)

Faktor penghambat yang menyebabkan lemahnya koordinasi antara pihak terjadi karena belum ada wadah dan mekanisme koordinasi yang disepakati antara pihak. Masing-masing lembaga masih terpaku pada tugas pokok dan fungsi masing-masing. Akibat dari lemahnya koordinasi para pihak, penyelesaian isu-isu penting yang berkembang dalam kawasan konsesi PT TPL seperti sebagian masyarakat dari Desa Sipituhuta menjual lahannya kepada PT TPL dan isu penebangan pohon kemenyan, itu tidak bisa ditangani dengan baik, padahal isu-isu tersebut bisa diselesaikan dengan kolaborasi para pihak-pihak terkait.

4.6.4. Dirjen Bina Usaha Kehutanan Meninjau Lokasi yang Berkonflik

Untuk menyelesaikan konflik PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dengan warga Desa Pandumaan-Siptihuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) di areal konsesi TPL Sektor Tele, Bupati Humbang Hasundutan Drs Maddin Sihombing, MSi didampingi Uspida Plus Pemkab Humbahas dan warga dua desa tersebut diatas memboyong Dirjen Bina Usaha Kementrian Kehutanan RI, Ir Bambang Hendroyono, MM dan jajarannya ke lahan hutan tanaman industry (HTI) PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang saat ini masih sengketa.

Sekitar 4 jam lebih meninjau lokasi areal PT Toba Pulp Lestari (TPL) di sector tele, Bupati bersama Uspida Plus kembali mengajak rombangan Dirjen Bina Usaha Kementrian RI beramah tamah di Kantor Bupati. Selanjutnya ramah bupati memaparkan bahwa tanaman kemenyaan yang ada di areal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) sudah terusik sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sementara tanaman kemenyaan tersebut sudah lama diusahai warga dari tahun ke tahun. Untuk itu bupati


(58)

meminta, konflik antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat segera terselesaikan tanpa merugikan pihak-pihak tertentu.

Demikian juga, Haposan Sinambela salahsatu tokoh masyarakat Desa Pandumaan-Siptihuta menjelaskan, sebelum TPL masuk ke lokasi sektor tele, warga setempat masih dapat mengumpulkan kemenyaan 500 kg/tahun namun saat ini sudah turun drastis hingga 50 kg/tahun. 13 generasi warga desa Pandumaan-Sipituhuta secara turun temurun sudah mengelola kemenyaan . Hingga sat ini kemenyaan masih penopang hidup kami. Untuk itu, dengan kehadiran bapak Dirjen dan rombongan, kami sangat mengharapkan titik terang dan mengembalikan tanah adat kepada warga.

Disisi lain, Ketua DPRD Humbahas Bangun Silaban menjelaskan, kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) seyogianya untuk mensejahterakan masyarakat khsusnya warga Pandumaan Sipituhuta-Pandumaan. Namun kenyataan jauh dari yang diharapkan. PT Toba Pulp Lestari (TPL) dinilai sudah menyalahgunakan banyak komponen, termasuk kontraktor yang bekerja di bawah PT Toba Pulp Lestari (TPL), kehadiran Dirjen Bina Usaha Kementrian Kehuatan RI diharapkan membawa angin segar. Dan kehadiran DIrjen tersebut menjadi kunci terakhir penyelesaian konflik PT TPL dengan warga Pandumaan-Sipituhuta.

Sementara itu, Dirjen Bina Usaha Kementrian RI Ir Bambang Hendroyono, MM mengatakan, untuk meluruskan konflik yang terjadi, PT TPL diminta dapat memahami garis peraturan pemerintah. Demikian juga perusahaan HTI harus menanami tanaman andalan di areal konsesi karena tanaman andalan seperti kemenyaan adalah bagian dari sumber pendapatan warga. “dari luas


(59)

konsesi, minimal 5 persen tanaman andalan harus ditami pemilik konsesi. Tanaman kemenyaan harus tetap dipertahankan sebagai sumber pendapatan warga Pandumaan-Sipituhuta. TPL tidak bias main-main karena itu sudah bagian dari peraturan pemerintah. Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan warga pandumaan Siptuhuta sudah kategori yang mendesak untuk diselesaikan. Untuk itu, Pemerintah akan membela masyarakat sejauh dalam koridor hukum yang berlaku.

Terkait 5 persen tanaman andalan yang harus ditanami di areal konsesi, direktur PT TPL, Ir Juanda Panjaitan saat dikonfirmasi andalan menyebutkan, bahwa apa yang disarankan pemerintah sudah pernah dilakukan di areal konsesi. Tapi belakangan, ada perbedaan pendapat ditengah masyarakat, dan masing-masing saling tarik menarik. demikian, pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus melakukan pendekatan dan saat ini 5 persen tanaman andalan diareal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) masih terpelihara. Dijelaskannya, pada tahun-tahun sebelumnya, pihaknya sudah menyediakan bibit kemenyan hal tersebut guna memenuhi syarat seperti yang disarankan pemerintah.(AND).


(1)

meminta, konflik antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat segera terselesaikan tanpa merugikan pihak-pihak tertentu.

Demikian juga, Haposan Sinambela salahsatu tokoh masyarakat Desa Pandumaan-Siptihuta menjelaskan, sebelum TPL masuk ke lokasi sektor tele, warga setempat masih dapat mengumpulkan kemenyaan 500 kg/tahun namun saat ini sudah turun drastis hingga 50 kg/tahun. 13 generasi warga desa Pandumaan-Sipituhuta secara turun temurun sudah mengelola kemenyaan . Hingga sat ini kemenyaan masih penopang hidup kami. Untuk itu, dengan kehadiran bapak Dirjen dan rombongan, kami sangat mengharapkan titik terang dan mengembalikan tanah adat kepada warga.

Disisi lain, Ketua DPRD Humbahas Bangun Silaban menjelaskan, kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) seyogianya untuk mensejahterakan masyarakat khsusnya warga Pandumaan Sipituhuta-Pandumaan. Namun kenyataan jauh dari yang diharapkan. PT Toba Pulp Lestari (TPL) dinilai sudah menyalahgunakan banyak komponen, termasuk kontraktor yang bekerja di bawah PT Toba Pulp Lestari (TPL), kehadiran Dirjen Bina Usaha Kementrian Kehuatan RI diharapkan membawa angin segar. Dan kehadiran DIrjen tersebut menjadi kunci terakhir penyelesaian konflik PT TPL dengan warga Pandumaan-Sipituhuta.

Sementara itu, Dirjen Bina Usaha Kementrian RI Ir Bambang Hendroyono, MM mengatakan, untuk meluruskan konflik yang terjadi, PT TPL diminta dapat memahami garis peraturan pemerintah. Demikian juga perusahaan HTI harus menanami tanaman andalan di areal konsesi karena tanaman andalan seperti kemenyaan adalah bagian dari sumber pendapatan warga. “dari luas


(2)

konsesi, minimal 5 persen tanaman andalan harus ditami pemilik konsesi. Tanaman kemenyaan harus tetap dipertahankan sebagai sumber pendapatan warga Pandumaan-Sipituhuta. TPL tidak bias main-main karena itu sudah bagian dari peraturan pemerintah. Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan warga pandumaan Siptuhuta sudah kategori yang mendesak untuk diselesaikan. Untuk itu, Pemerintah akan membela masyarakat sejauh dalam koridor hukum yang berlaku.

Terkait 5 persen tanaman andalan yang harus ditanami di areal konsesi, direktur PT TPL, Ir Juanda Panjaitan saat dikonfirmasi andalan menyebutkan, bahwa apa yang disarankan pemerintah sudah pernah dilakukan di areal konsesi. Tapi belakangan, ada perbedaan pendapat ditengah masyarakat, dan masing-masing saling tarik menarik. demikian, pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus melakukan pendekatan dan saat ini 5 persen tanaman andalan diareal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) masih terpelihara. Dijelaskannya, pada tahun-tahun sebelumnya, pihaknya sudah menyediakan bibit kemenyan hal tersebut guna memenuhi syarat seperti yang disarankan pemerintah.(AND).


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

1. Penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah banyak dilakukan oleh pemerintah berupa penyelesaian konflik dengan negosiasi dan juga dengan Mediasi, tetapi belum menunjukkan hasil yang diharapkan didalam penyelesaian.

2. Dampak sosial, dampak Fisik dan dampak budaya sangat mempengaruhi kondisi dan keberadaan dua desa ini Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta akibat dari konfik tersebut.

3. Kendala penyelesaian permasalahan masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yaitu belum adanya kesamaan persepsi mengenai bentuk penyelesaian yang akan dilaksanakan.

4. Dalam penyelesaian konflik lahan yang terjadi antara Masyarakat degan PT Toba Pulp Lestari, melakukan tatabatas ulang secara mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat dan Stakeholder lainya akan menciptakan kesepakatan. Jika pembatasan ulang sulit dilakukan maka lakukan pembangunan pal batas yang kokoh dan tertata secara teratur agar PT Toba Pulp Lestari dapat mengetahui batas yang jelas sebagai areal konsesi kerja yang jelas. Melibatkan masyarakat dan Stakeholder lainnya dalam penyelesaian, penerapan hukum adat dan penguatan ajaran agama akan membentuk sikap mental yang kuat. Selain hukum agama dan adat, penegakan hukum Negara merupakan hal yang penting diterapkan.


(4)

5.2. Saran

Pelibatan masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta dalam pengelolaan yang berbasi koordinasi pada zona pemanfaatan di areal kosesi PT Toba Pulp Lestari, dan pihak perusahaan kerja sama dengan masyarakat untuk melestarikan tanaman kemenyan yang tumbuh di kosesin kerjanya dan tetap melindungi tanaman endemic tersebut tetap lestari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anau, N. et al. 2002. Negotiating more than Bounddaries: Conflict, Power, and Agreement Building in the Demarcation of Village Bonder in Malinau. Dalam Technical Report Phase I 1997-2000. ITTO Project PD 12/97 Rev. 1. (F) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. CIFOR. Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Data Sebaran Luas Hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan. BPS : Humbang Hasundutan.

BPS Humbang Hasundutan, 2011. Kecamatan Pollung Dalam Angka 2011. Humbang Hasundutan.

Dishut, 2009. Data Luasan Hutan Humbang Hasundutan 2009. Humbang Hasundutan

Fisher, S, D. I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, dan S. Williams. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari, S. N, M. D. Lapilatu, R. Maharani dan D. N. Rini [Penterjemah]. The British Council. Jakarta.

Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin : Bogor.

Hendricks, William. 2004. Bagaimana Mengelola Konflik, Petunjuk Praktis Untuk Manajemen Konflik yang Efektif. Penerjemah Arif Santoso. How to Manage Conflict. Cet. V. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

[KSPPM] Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. 2011.

Koentjaraningrat dan D. Ajamiseba. 1994. Reaksi Penduduk Asli Terhadap Pembangunan dan Perubahan. dalam Irian Jaya Membangun. Djambatan. Jakarta.

Miall H, Woodhouse T, Ramsbottam O. 2002. Resolisi damai konflik kontemporer : menyelesaiakan dan mengubah konflik bersumber politis, social, agama dan Ras. Penerjemah : Tri budhi satrio. PT Raja Grafido persada : Jakarta .

Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada unirversity Press . Yogyakarta.

Redfield R. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Dhakidae, Daniel [terjemahan].-.Cv rajawali.


(6)

Sitorus, MT. Felix, dkk. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. DOKIS. Bogor.

Tokede M.J, William D, Widodo, Gandhi Y, Imburi C, Patresiahadi, Marwa J, Yu Fuai MC. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua. CIFOR : Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Wulan YC, Yamin Y, Purba C Wollenbert F. 2004. Analisa Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003. CIFOR.