Kajian Potensi Ekonomi Mangrove (Studi Kasus Di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai)

(1)

KAJIAN POTENSI EKONOMI MANGROVE

(Studi Kasus di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah

Kabupaten Serdang Bedagai)

SKRIPSI

Oleh:

PATIAR TAMBUNAN 041201032 / MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

ABSTRACT

PATIAR TAMBUNAN. The potential research of mangrove economic (Case study in Kayu Besar Village Bandar Khalifah District Serdang Bedagai Region). Under supervised by AGUS PURWOKO and KANSIH SRI HARTINI.

The objection of this research is to know mangrove potential, used mangrove potential recently and the potential development alternative in Kayu Besar Village Bandar Khalifah District Serdang Bedagai Region.

This research was done by collect primary data such as respondent characteristic, used mangrove potential recently, mangrove forest diversity, inventore of wild animal and non wood forest product. Secondary data as generally data in government instance. Both of data compact with literature explorer to enrich the objection contents.

The result show that used mangrove potential is exploit and not exploit by people. Used mangrove potential recently by people is traditional use. The objection showed that the alternative used magrove development such as building material, medicine, animal food, equipment and energy source.

Keyword: Mangrove, Economic used, Used recently, Used mangrove development


(3)

ABSTRAK

PATIAR TAMBUNAN. Kajian Potensi Mangrove (Studi Kasus di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai). Dibawah bimbingan AGUS PURWOKO dan KANSIH SRI HARTINI.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi mangrove, potensi pemanfaatan mangrove secara aktual dan alternatif pengembangan potensi pemanfaatan mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai.

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti karakteristik responden, bentuk pemanfaatan secara aktual, keanekaragaman jenis hutan mangrove, inventarisasi satwaliar dan hasil hutan non kayu. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, kabupaten. Data tersebut kemudian dipadukan dengan penelusuran literatur untuk memperkaya isi penelitian.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa potensi pemanfaatan mangrove di Desa Kayu Besar ada yang sudah dimanfaatkan dan belum dimanfaatkan. Pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional. Terdapat alternatif pemanfaatan yang bisa dilakukan masyarakat seperti: bahan bangunan, bahan makanan dan minuman, obat-obatan , perkakas/peralatan, pakan ternak dan sumber energi.

Kata kunci : Mangrove, Pemanfaatan ekonomi, Pemanfaatan aktual, Alternatif pemanfaatan mangrove


(4)

RIWAYAT HIDUP

Patiar Tambunan dilahirkan di Balige pada tanggal 5 Mei 1986 dari pasangan Bapak T. Tambunan dan Ibu R. Nainggolan. Penulis merupakan putra keempat dari 4 bersaudara.

Tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri No.173545 Tambunan Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara, lulus pada tahun 2001 dari SLTP Swasta Budhi Dharma Balige, kemudian tahun 2004 lulus dari SMA Swasta Bintang Timur 1 Balige dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) sebagai pengurus dari tahun 2006-2008. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada tahun 2006 di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Pada tahun 2008 melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan Unit I Jawa Tengah.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya Penulis dapat menyelesaikan draft hasil penelitian ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Judul dari penelitian ini adalah Kajian Potensi Ekonomi Mangrove (Studi Kasus di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai). Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan Oktober - Desember 2008.

Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Kansih Sri Hartini S.Hut, MP selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan draft hasil penelitian ini.

Medan, April 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ...1

Tujuan Penelitian ...4

Manfaat Penelitian ...4

TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove ...5

Zonasi Hutan Mangrove...6

Flora Mangrove ...7

Fauna Mangrove ...9

Potensi, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove ...10

Hutan mangrove, penduduk dan Ekonomi ...12

Analisis Vegetasi...13

Pengamatan Satwaliar di berbagai Formasi Hutan ...14

KONDISI UMUM Letak Wilayah ...16

Pemerintahan ...16

Kecamatan Bandar Khalifah ...17

Desa Kayu Besar ...18

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ...20

Bahan dan Alat ...20

Populasi Sampel Penelitian ...21

Pengumpulan Data ...21

Data Primer ...21

Data Sekunder ...27


(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden...30

Analisi Vegetasi Hutan Mangrove...33

Inventarisasi Satwaliar...36

Hasil Hutan non Kayu ...37

Potensi pemanfaatan ekosistem mangrove secara aktual ...38

Alternatif pengembangan Potensi Ekosistem Mangrove...43

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove...54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...62

Saran ...63

DAFTAR PUSTAKA...64


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Pembagian Zonasi Mangove ... 6 2. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak ... 23 3. Bagan Alir Penelitian ... 29


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nilai Tolak Ukur Indeks Keragaman Jenis ... 25

2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur... 30

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 31

4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 32

5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 32

6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 33

7. Inventarisasi Satwaliar Pada Hutan Mangrove ... 36

8. Inventarisasi Hasil Hutan non Kayu ... 37

9. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ... 39


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Pengukuran Vegetasi Mangrove Untuk Tingkat Semai ... 67

2. Data Pengukuran Vegetasi Mangrove Untk Tingkat Pancang... 69

3. Data Pengukutan Vegetasi Mangrove Untuk Tingkat Pohon ... 71

4. Rekapitulasi Data KR, FR dan INP Untuk Tingkat Semai ... 75

5. Data Keragaman Hutan Mangrove Untuk Tingkat Semai ... 76

6. Rekapitulasi Data KR, FR dan INP Untuk Tingkat Pancang ... 77

7. Data Keragaman Hutan Mangrove Untuk Tingkat Pancang... 78

8. Rekapitulasi Data KR, FR, DR dan INP Untuk Tingkat Pohon ... 79

9. Data Keragaman Hutan Mangrove Untuk Tingkat Pohon... 80

10. Kuisioner ... 81

11. Karakteristik dan Pendapatan Responden... 85

12. Pemanfaatan Aktual dan Alternatif Pemanfaatannya ... 87


(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Abdullah, 1984).

Mangrove juga menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, mangrove juga mempuyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan serta berbagai manfaat lain yang dapat diambil. Pentingnya fungsi mangrove bagi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, menyebabkan perlunya dijaga kelangsungan ekosistem ini, dalam artian memulihkan dan melestarikan fungsinya untuk meningkatkan potensi yang dapat diambil dari ekosistem mangrove tersebut.

Kerusakan hutan bakau (Vegetasi Mangrove) di Sumut kini semakin mengkhawatirkan. Jika tidak segera diatasi produksi ikan semakin turun di


(12)

Sumut telah mencapai 62,7 persen (mencapai 52.350 Ha) dari luas 83.550 Ha yang ada di Sumut. Sedangkan sisa hutan bakau yang kondisinya masih baik tinggal 31.200 Ha (37,3 persen) saja.

Jika dilihat 11 kabupaten/kota yang ada hutan bakaunya di Sumut kerusakan paling tinggi berada di wilayah pantai Timur Sumatera Utara yaitu daerah Asahan/Tanjung balai yang mencapai 89,6 persen (12.900 Ha) dari luas yang ada yakni 14.400 Ha sedangkan kondisi yang masih baik tinggal 1.500 Ha. Disusul Belawan (Medan) 71,8 persen (150 Ha) dari luas 250 Ha, Deli Serdang dan Serdang Bedagai 62 persen (12.400 Ha) dari luas 20.000 Ha, dan Langkat 60 persen (25.300) dari luas 35.300 Ha. Namun Labuhan Batu kondisi kerusakan hutan bakaunya tidak separah yang ada di daerah pantai Timur diatas yang hanya mencapai 29,4 persen (500 Ha) saja dari luas yang ada yakni 1.700 Ha.

Sedangkan di wilayah pantai Barat, kondisi kerusakan hutan bakaunya sejauh ini masih sangat kecil atau rata-rata masih baik di bawah 10 persen. Seperti di Tapanuli Tengah hanya 13,9 persen (250 Ha) dari luas 1.800 Ha hutan bakau yang ada, disusul Madina/Tapanuli Tengah sebesar 6,9 persen (200 Ha) dari luas 2.900 Ha, dan Nias/Nias Selatan hanya 9,1 persen (650) dari 7.200 Ha yang ada di seluruh pulau ini. Akibat kerusakan hutan bakau yang begitu tinggi di wilayah Pantai Timur ini dapat menyebabkan beberapa masalah antara lain, membuat hilangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya produktivitas ekosistem sumber daya alam secara biologi, meningkatnya polusi, dan paling dirugikan adalah masyarakat sekitar pinggiran pantai (nelayan) dimana mata pencaharian mereka semakin menurun akibat ikan tangkapan sudah langka (Hasan, 2007).


(13)

Potensi pemanfaatan ekosistem mangrove sudah lama diusahakan oleh pemerintah daerah dan menjadi pembicaraan hangat. Demikian halnya dengan pemerintah daerah Serdang Bedagai yang terus berupaya mengembangkan potensi mangrove yang terdapat di daerah tersebut, baik itu hutan mangrove, tambak, perkebunan dan pemanfaatan lain sekitar ekosistem tersebut. Dengan luas mangrove yang semakin berkurang maka potensi dari mangrove tersebut harus lebih dikaji dan ditingkatkan lagi dari yang sudah ada sekarang ini. Mangrove yang dahulu dianggap sebagai ekosistem yang dianggap kurang mempunyai potensi pemanfaatan dan nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya yang mampu memberikan penghasilan bagi pemerintah daerah umumnya dan masyarakat sekitar mangrove pada khususnya.

Mengingat banyaknya peluang ekonomi yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove dalam hal ini di daerah Serdang Bedagai, sudah selayaknya dilakukan kajian/identifikasi untuk melihat potensi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk dapat membantu dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar mangrove. Hal inilah yang melatar belakangi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pengembangan potensi ekosistem mangrove. Penelitian ini dilakukan di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai. Lokasi tersebut merupakan daerah mangrove yang dimanfaatkan masyarakat secara ekonomi, sehingga tepat untuk dilakukan penelitian kajian potensi ekonomi ekosistem mangrove. Pengembangan potensi ekonomi yang tepat akan membantu masyarakat sekitar hutan mangrove Serdang Bedagai untuk dapat memanfaatkan mangrove tersebut tanpa harus merusak.


(14)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui potensi yang terdapat pada ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Untuk mengetahui potensi pemanfaatan ekonomi secara aktual pada ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Untuk mengetahui alternatif pengembangan potensi manfaat ekonomi yang bisa dilakukan pada hutan mangrove yang terdapat di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukan bagi pemerintah setempat dan masyarakat yang terdapat di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai agar dapat mengembangkan potensi pemanfaatan ekonomi ekosistem mangrove.

2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan para pembaca tentang pengembangan potensi ekonomi ekosistem mangrove.

3. Sebagai masukan dan dasar pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Hutan mangrove

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam wilayah tropis yang memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove tehadap kehidupan dapat diamati dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan, diatas lahan, maupun ditajuk-tajuk tumbuhan mangrove serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini.

Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).

Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya. Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara


(16)

ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).

Zonasi Hutan Mangrove

Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi mangrove yang bersangkutan (Kusmana dan Onrizal, 2004).

Menurut Hadipurnomo (1995) hutan mangrove yang masih alami pada umumnya membentuk zonasi yaitu mulai dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut:

1. Zonasi Avicennia spp dan Sonneratia spp tumbuh pada garis depan pantai 2. Zonasi Rhizopora spp dijumpai di belakang zona Avicennia spp

3. Zonasi Bruguiera spp dijumpai pada arah lebih ke daratan di belakang zona Rhizopora spp


(17)

Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan perbedaan penggenangan adalah sebagai berikut :

1. Zona Proksimal, yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis R. apiculata, R. mucronata dan S. alba.

2. Zona Midlle, yaitu kawasan (zona) yang terletak diantara laut dan darat. Pada zona ini biasanya akn ditemukan jenis-jenis S. caseolaris, R. alba, B. gymnorrizha, A. marina, A. officinalis dan Ceriops tagal.

3. Zona Distal, yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Heritiera littoralis, Pongamia, Pandanus spp dan Hibiscus tiliaceus

(Arief, 2003).

Flora Mangrove

Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri atas satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus denga tinggi pohon-pohon mencapai 20 m sampai 30 m. Jika tumbuh dipantai berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah dan batang tanaman akan sering kali bengkok (Arief, 2003).

Tumbuhan mangrove mampu beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut. Adaptasi pohon mangrove terhadap kondisi lingkungan ini diwujudkan dalam bentuk perakaran istimewa yang berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) serta penunjang tegaknya pohon.


(18)

Menurut Bengen (2000), vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizoporaceae, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicenia) dan Meliaceae (Xylocarpus).

Berdasarkan prawakannya, flora mangrove dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: pohon (tree), semak (shrub), liana (vine), paku/palem (fern/palm) dan herba/rumput (herb/grass). Flora mangrove meiliki system perakaran yang khas, sehingga bisa digunakan untuk pengenalan di lapangan. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan mangrove yang khas tersebut adlah sebagai berikut:

a) Akar pasak (Pneumatophore). Akar pasak berupa akar yang muncul dari system akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia.

b) Akar Lutut (Knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke akar pemukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutu seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.

c) Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yag keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizopora spp.


(19)

d) Akar papan (buttres root). Akar papan hampir sama dengan akar tunjang akan tetapi akar ini melebr menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.

e) Akar gantung (aerial root). Akar gantung adalah bagian akar yang tidak bercabang yang muncuk dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizopora, Avicennia dan Acanthus

(Onrizal,2007).

Fauna Mangrove

Secara umum fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove. Kelompok ini melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meski mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.

Organisme yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup pada substrat keras sampai lumpur misalnya perakaran pohon-pohon serta fauna-fauna mangrove. Fauna mangrove hiudup pada substrat dengan cara berendam dalam


(20)

lubang lumpur, berada dipermukaan substrat ataupun menempel pada perakaran pepohonan. Ketika air surut, mereka turun untuk mencari makan. Beberapa fauna yang banyak ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah fauna dari kelas Gastropoda, Crustaceae, Bivalvia, Hirudinea, Polychaeta dan Amphibi. Kehidupan berbagai jenis fauna ini sangat manunjang keberadaan unsur hara. Selain mengonsumsi zat hara yang berupa detritus, diantara berbagai fauna ini ada yang berperan sebagai komposer awal (Arief, 2003).

Potensi, Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove terkenal sangat produktif dan penuh sumberdaya. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya: kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan. Melihat beragamnya pemanfaatan mangrove, maka laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir sering kali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsungmempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.

Secara teoritis menurut Arief (2003), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat. Secara ekologis, ekosistem mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (Spawning grounds) dan daerah pembesaran (Nursery grounds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat


(21)

menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gelombang tsunami, angina topan, perembesan air laut, menahan lumpur, melindungi pantai dari abrasi, pengendali banjir dan gelombang pasang.

Nilai pakai lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove sebagai tempat hidupnya. Daun-daun berjatuhan dan berakumulasi pada sediment mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang mendukung komunitas organisme detrial yang besar jumlahnya. Organisme ini bertindak sebagai pengurai daun-daun dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah spesies, baik yang mempunyai nilai ekonomi maupun yang subsistem, termasuk udang-udang dari famili Penaidae dan famili Sergestidae, kepiting mangrove, Crustaceae lainnya, berbagai spesies ikan, tiram-tiram dan moluska lainnya, reptilian laut, juga mamalia burung-burung (Dahuri, 2003).

Selain fungsi ekologi, ekosistem mangrove memiliki mafaat sosial ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Manfaat sosial ekonomi tersebut antara lain, hutan mangrove sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil hutan ikutannya, tempat rekreasi atau wisata alam dan sebagai objek pendidikan, latihan serta pengembangan ilmu pengetahuan.


(22)

Bagi sebagian masyarakat, ekosistem mangrove merupakan sumber mata pencaharian untuk tujuan bahan baku pembubatan arang dan bahan bakar untuk keperluan rumah tangga. Menurut beberapa ahli selain arang dan kayu bakar selain hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove lainnya dapat berupa:

o Bahan bangunan, balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.

o Makanan; obat-obatan dan minuman.

o Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.

Hutan Mangrove, Penduduk dan Ekonomi

Hutan mangrove yang dahulu dianggap sebagai hutan yang kurang mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang cukup berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang berdiam di sekitarnya. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa akhir-akhir ini terlihat gangguan-gangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota (Darsidi, 1984).

Sudah dapat diraba bahwa mati hidupnya ekosistem hutan mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Dengan masuknya teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga


(23)

kedudukan ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis. Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam mengelola hutan mangrove hendaknya jangan hanya melihat nilai ekonominya saja dengan maksud agar cepat menghasilkan tanpa melihat kerugian dalam jangka panjang, akan tetapi juga harus memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984).

Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat

pemukiman pantai makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995). Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di

suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut (Naamin, 1988).

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam metode dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode garis petak (untuk risalah permudaan).

Dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang analisis vegetasi dikenal dua jenis/tipe pengukuran untuk mendapatkan informasi/data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak (destruktive


(24)

measure) dan pengukuran yang tidak merusak (non destructive measure). Untuk keperluan penelitian agar hasil datanya dapat dianggap sah (valid) secara statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit), apabila bagi seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas. Dengan sampling seorang peneliti dapat memperoleh informasi/data yang diinginkan lebih cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit bila dibandingkan dengan inventarisasi penuh (metode sensus) pada anggota suatu populasi.

Supaya data penelitian yang akan diperoleh bersifat valid, maka sebelum melakukan penelitian dengan metode sampling kita harus menentukan terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan digunakann, jumlah, ukuran dan peletakkan satuan- satuan unit contoh. Pemilih metode samplingyang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya serta tenaga yang tersedia.

Berdasarkan data pengukuran pada unit contoh tersebut dapat diketahui jenis dominan dan kodominan, pola asosiasi, nilai keragaman jenis, dan atribut komunitas tumbuhan lainnya yang berguna bagi pengelolaan hutan (Latifah, 2005).

Pengamatan Satwa Liar di Berbagai Formasi Hutan

Pada dasarnya pengamatan satwaliar diperlukan untuk memperoleh data/informasi tentang populasi dan penyebaran satwaliar. Untuk itu diperlukan teknik dan metode pengamatan satwa liar.


(25)

Inventarisasi dan sensus adalah rangkaian kegiatan pengamatan satwaliar untuk kepentingan pengelolaan. Inventarisasi merupakan pekerjaan pendahuluan sebeum dilaksanakannya sensus, yang dimaksudkan untuk mempermudah/memperlancar jalannya sensus. Kegiatan inventarisasi meliputi pengumpulan data tentang: jenis-jenis satwaliar yang terdapat di wilayah survei, penyebaran satwaliar, dan kondisi habitatnya. Sedangkan sensus adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghitung semua satwaliar yang terdapat di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu (Alikodra, 1990).

Pada kegiatan inventarisasi dan sensus satwaliar, banyak teknik dan metode yang digunakan. Namun untuk tujuan penelitian ini dipergunakan teknik dan metode yang mudah dan cepat sehingga mudah dipahami dan tidak terlalu sulit pelaksanaannya di lapangan. Teknik pelaksanaan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a) Secara Langsung yaitu dengan menggunakan metode Line Transect (garis taransek/jalur) dengan melihat objeknya (satwa) secara langsung.

b) Secara tidak langsung yaitu denga menggunakan metode Tracks Count (jejak) dan Pellet Group Count (feses/ kotoran) yang objeknya (satwa) tidak dilihat langsung, tapi hanya dengan melihat jejak dan kotorannya.


(26)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 20 57” Lintang Utara, 30 16” Lintang Selatan, 980 33” Bujur Timur, 990 27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut (Pemkab Sergei, 2008).

Pemerintahan

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas wilayah 1.900,22 km persegi, terbagi dalam 11 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan, didiami oleh penduduk dari beragam etnik/suku bangsa, agama dan budaya. Dimana suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain. Potensi sumber daya alam di Kabupaten Serdang Bedagai yang paling menonjol diantaranya: sektor pertanian, perkebunan dan perikanan serta sektor pariwisata. Sejak terbentuknya pemerintahan daerah yang baru, Sei Rampah merupakan ibukota Kabupaten sebagai pusat pemerintahan, jaraknya dengan kota-kota kecamatan sangat bervariasi antara 7 Km s/d 51 Km. disamping Kec. Sei Rampah sebagai pusat kota, Kec. Perbaungan juga merupakan kota pusat perdagangan di kab. Serdang Bedagai yang diandalkan dimana kedua kecamatan ini menjadi indikator

keberhasilan pertumbuhan pembangunan yang dilaksanakan (Pemkab Sergei, 2008).


(27)

Kecamatan Bandar Khalifah

Secara geografis kecamatan Bandar Khalifah adalah wilayah pantai dan dataran rendah yang terdiri dari 5 desa yaitu:

• Desa Bandar Tengah • Desa Juhar

• Desa Gelam Sei Serimah

• Desa Pekan Bandar Khalifah

• Desa Kayu Besar

Adapun batas-batas wilayah kecamatan sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Tanjung Beringin dan Selat Malaka

• Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Tebing Syahbandar

• Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Asahan

• Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tanjung Beringin dan kecamatan Tebing Tinggi

Adapun luas kecamatan Bandar Khalifah adalah 11.600 Ha atau 116 km2 yang berada di ketinggian 0-10 meter dari permukaan laut. Sejak adanya kecamatan Bandar Khalifah yang menjadi ibukota kecamatan sekaligus sebagai pusat pemerintahannya adalah Pekan Bandar Khalifah. Melihat dari letak dan geografisnya kecamatan Bandar Khalifah sedikit identik dengan nuansa bahari, maka didaerah pesisirnya terbentang hamparan yang pada awalnya adalah pertambakan udang namun pada saat ini telah beralih fungsi menjadi perkebunan


(28)

kelapa sawit. Penyebaran penduduk di kecamatan Bandar Khalifah pada umumnya merata meliputi sebagai berikut:

• Desa Bandar Tengah, luas 29.55 km dengan penduduk 8081 jiwa • Desa Juhar, luas 39.01 km dengan penduduk 5869 jiwa

• Desa Gelam Sei Serimah, luas 22.76 km dengan penduduk 4932 jiwa

• Desa Pekan Bandar Khalipah luas 7.83 km dengan penduduk 2358 jiwa

• Desa Kayu Besar, luas 16.85 km dengan penduduk 3712 jiwa (Pemkab Sergei, 2008).

Desa Kayu Besar

Desa Kayu Besar terdiri dari 13 dusun yang tersebar, sebagai berikut: • Pematang Buluh Timur

• Pematang Buluh Barat • Pasar Satu

• Pondok Panjang • Barisan Gereja • Pematang Terab • Mesjid

• Tiga Dolok • Pematang Tengah • Benteng

• Sidorejo Timur • Sidorejo Barat dan • Sampuran Nauli


(29)

Penduduk di Desa Kayu Besar tersebar dalam 13 dusun (Kantor Kepala Desa Kayu Besar, 2007). Potensi pengembangan di Desa Kayu Besar seperti Peternakan, Pertukangan, Pertanian, Perkebunan, Kerajinan dan Kehutanan. Kawasan mangrove di Desa Kayu Besar menjadi salah satu potensi pengembangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi Hutan Bakau seluas 225 Ha di Desa Kayu Besar telah mengalami kerusakan kondisi fisik. Kerusakan pada hutan bakau diakibatkan pemanfaatan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan dari masyarakat.

Ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar mempunyai berbagai potensi seperti pemanfaatan hasil hutan, hasil hutan non kayu, pemanfaatan ekosistem mangrove seperti tambak, budidaya perikanan, pertanian dan kebun disekitar areal mangrove. Pengelolaan yang tepat guna dan ramah linkungan akan membantu masyarakat dalam mengambil manfaat ekonomi ekosistem mangrove Desa Kayu Besar.


(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalifah, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Oktober – Desember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data-data primer

2. Data-data sekunder 3. Kuisioner

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Komputer dengan perangkatnya

2. Kamera digital 3. Tape recorder 4. Kompas 5. Parang 6. Kalkulator 7. Phiband 8. Pita ukur 9. Teropong 10.Tali 11.Alat tulis


(31)

Populasi dan Sampel Penelitian

Jumlah penduduk di Desa Kayu Besar sebanyak 714 KK (Sumber : Kantor Kepala Desa Kayu Besar, 2008), tetapi yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mengerti akan kondisi dan potensi mangrove di lokasi penelitian. Jumlah sampel dalam penelitian ini diperkirakan sebesar 30 responden. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertujuan). Menurut Soekartawi (1995), dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Data Primer

Data Primer yang diperlukan adalah:

a. Ciri-ciri keluarga: nama, umur, identitas, jumlah anggota keluarga, pendidikan, mata pencaharian.

b. Pendapatan rumah tangga: pendapatan seluruh anggota keluarga dari kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove ditambah pendapatan lainnya. c. Bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove secara aktual yang dilakukan

masyarakat sekitar: jenis pemanfaatan baik di hutan mangrove maupun disekitarnya, pengambilan manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove. d. Tingkat keanekaragaman jenis dari hutan mengrove, meliputi: Kerapatan


(32)

(FR), Dominansi (D), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Shannon_Wienner dan Indeks Simpson´s.

e. Keanekaragaman jenis satwa dalam formasi hutan mangrove.

f. Keanekaragaman jenis berbagai Hasil Hutan non Kayu yang terdapat dalam hutan mangrove.

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Melakukan kegiatan analisi vegetasi dengan menginventarisasi tanaman yang ada di hutan mangrove. Analisis vegetasi dalam kegiatan penlitian ini dilakukan dengan metoda kombinasi antara metoda jalur dan metoda garis berpetak. Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut :

a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m.

b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.

c) Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih.

Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah: a) Semai : 2 x 2 m

b) Pancang : 5 x 5 m c) Pohon : 10 x 10 m


(33)

10 m

Arah Rintis

2 m 5 m

Gambar 2. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak (Onrizal, 2007).

Parameter-parameter dalam Analisis Vegetasi

Data yang telah diperoleh dari kegiatan pengukuran di Lapangan kemudian diolah dengan menggunakan formulasi metode petak kuadrat untuk menghitung besarnya kerapatan (individu/ha), frekuensi dan dominansi (m²/ha) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis sebagai berikut :

a). Kerapatan Jenis

contoh petak

Luas

individu (K)

Kerapatan =

100% jenis seluruh K total jenis suatu K (KR) Relatif

K = ×

b). Frekuensi (F)

= contoh petak sub seluruh spesies suatu ditemukan petak sub (F) Frekuensi 100% jenis seluruh total F jenis suatu F (FR) Relatif


(34)

c). Dominasi (D) contoh petak Luas spesies suatu dasar bidang Luas (D) Dominasi = 100% jenis seluruh total D jenis suatu D (DR) Relatif

D = ×

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon) INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang)

Untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi dapat dipergunakan beberapa indeks sebagai berikut :

- Indeks Simpson’s

Formula yang digunakan untuk melihat keragaman Indeks Simpson’s adalah : 2

1−

= Pi

D

Keterangan :

D : Indeks Simpson’s

Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i Pi² : (Ni/Nt)²

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu - Indeks Shannon _Wienner

Formula yang digunakan untuk melihat Indeks Keragaman Shannon_Wienner:

= = s i LogePi Pi D 1 ) ( Keterangan :

D : Indeks Shannon Wienner Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i


(35)

Pi² : (Ni/Nt)²

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu

Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominasi, Dominasi Relatif, Indeks Simpson’s dan Indeks Shannon Wienner dimaknai dengan mengkaitkannya terhadap pengolahan dan kelestarian hasil hutan (Latifah, 2005). Nilai Tolak Ukur Indeks Keragaman Jenis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Tolak Ukur Indeks Keanekaragaman Jenis

Nilai Tolak Ukur Keterangan

H < 1,0

1,0 < H > 3,332

H > 3,332

Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem yang tidak stabil

Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang dan tekanan ekologis sedang Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi dan tahan terhadap tekanan ekologis

Sumber: (Restu (2002) dalam Fitriana 2005).

Inventarisasi satwa dalam formasi hutan mangrove

a. Metode Line Transect (Garis Transek/Jalur)

Salah satu teknik pengamatan satwaliar secara langsung (dengan melihat objeknya) adalah dengan metode garis transek/jalur. Metode ini dapat digunakan untuk sensus berbaga jenis satwaliar, seperti burung (Bibby, 1992), primata dan


(36)

b. Metode pengamatan tidak langsung

Teknik ini dipakai untuk pengamatan satwaliar yang objeknya tidak mudah untuk dijumpai secara langsung, antara lain adalah Tracks Count Method (menghitung populasi berdasarkan jejak) dan Pellet Group Count (penghitungan berdasarkan kelompok feses).

Tracks Count Method termasuk metode klasik yang dipergunakan untuk identifikasi satwaliar yang menetap di suatu wilayah, dan untuk mengetahui pergerakan, habitat kesukaan dan kondisi kepadatan populasinya. Pellet Group Count dapat digunakan untuk mengetahui kepadatan populasi satwaliar berdasarkan akumulais feses, dengan asumsi bahwa ada korelasi antara kepadatan populasi dengan akumulasi feses (Alikodra, 1990).

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai upaya untuk mengkaji ulang dan melengkapi informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Keterbukaan dan kejujuran responden memberikan informasi sangat penting adanya karena wawancara dilakukan seperti pembicaraan secara informal dan bersifat dialogis, terutama dengan membangun kepercayaan antara responden dan peneliti.

2. Kuisioner

Data yang diambil dari kuisioner kepada seluruh sampel penelitian untuk melengkapi hasil dari wawancara yang dilaksanakan sehingga didapatkan data yang akurat.


(37)

3. Observasi

Kegiatan yang dilakukan pada observasi yakni : melihat kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, melihat kegiatan masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem mangrove dan melihat interaksi masyarakat.

4. Studi Pustaka

Kegiatan yang dilakukan yakni mengumpulkan data sekunder, dokumentasi dan literatur yang tersedia tentang lokasi penelitian.

5. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi ditujukan untuk mendapatkan data berupa tingkat keanekaragaman jenis dari hutan mangrove. Tingkat keanekaragaman jenis akan menjadi dasar dalam menduga potensi dari hutan mangrove tersebut.

6. Inventarisasi Satwaliar

Inventarisasi satwaliar ditujukan untuk mendata satwaliar yang terdapat pada ekosistem mangrove dengan metode langsung dan metode tidak langsung yang terdapat pada hutan mangrove.

7. Inventarisasi Hasil Hutan non Kayu

Inventarisasi Hasil Hutan non Kayu ditujukan untuk mendapatkan data berupa keanekaragaman jenis Hasil Hutan non Kayu yang terdapat pada hutan mangrove.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, BPS yang meliputi : letak dan luas desa, jumlah penduduk, dan data dari sumber lain.


(38)

Pengolahan Data

1. Analisis Deskriptif

Menurut Nazir (1988), metode deskriptif digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang terkumpul dari hasil kuisioner, wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka. Data yang terkumpul dari hasil kuisioner dinyatakan dalam bentuk tabel (tabulasi) frekuensi silang yang berupa data karakteristik responden yang meliputi umur, pendidikan, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga.

2. Penelusuran Literatur

Penelusuran Literatur dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dengan cara mengumpulkan referensi sebanyak mungkin tentang penelitian. Kemudian referensi tersebut dipadukan dengan data-data penelitian baik itu data primer maupun data sekunder yang telah dilakukan analisis data. Penelusuran Literatur akan memperkaya isi dari penelitian yang nantinya berguna bagi pembaca dan pengguna hasil dari penelitian ini.


(39)

Mulai

Persiapan

Pengumpulan Data

Pelaksanaan Penelitian

Penelusuran Literatur

Analisis Vegetasi

dan Pengamatan Satwa Kuisioner

Data Primer Data Sekunder Data Primer

Kelimpahan Spesies Mangrove (Data Primer)

Analisis Deskriptif

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian Potensi Ekosistem

Mangrove Potensi Pemanfaatan

Ekonomi Ekosistem Mangrove secara aktual

Alternatif Pengembangan Potensi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Salah satu unsur untuk mengetahui kondisi masyarakat di sekitar kawasan mangrove desa Bandar Khalifah adalah dengan cara menyebarkan kuisioner. Melalui hasil kuisioner diketahui karakteristik – karakteristik dari masyarakat di sekitar kawasan mangrove seperti umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan.

Rata-rata umur responden berkisar antara umur 20 - 60 tahun. Distribusi responden berdasarkan umur ditunjukkan pada Tabel 2, data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 7.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Proporsi (%)

1 20 – 30 1 3,3

2 31 – 40 8 26,7

3 41 – 50 17 56,7

4 51 – 60 4 13,3

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa masyarakat yang menjadi responden terbanyak berada pada kelas umur 41 – 50 tahun (56,7 %), disusul oleh kelas umur 31 – 40 tahun (26,7 %), kelas umur 51 – 60 tahun (13,3 %) dan yang terakhir kelas umur 20 – 30 tahun (3,3 %). Rata – rata umur dari semua responden adalah 43 tahun. Hal sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja berada dalam kelas umur 15 – 64 tahun. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa rata – rata masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif.


(41)

Umumnya responden bermata pencaharian sebagai wiraswasta (50 %), selain itu responden juga bermata pencaharian sebagai Nelayan (20 %), kemudian disusul responden yang bermata pencaharian sebagai karyawan/buruh (16,7 %), Pedagang (6,7 %) dan PNS (3,3 %). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)

1 Petani 1 3,3

2 Pedagang 2 6,7

3 Karyawan/Buruh 5 16,7

4 Wiraswasta 15 50

5 Nelayan 6 20

6 PNS 1 3,3

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Sebagian besar responden yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta merupakan petambak, pencari kayu bakar, pembuat atap rumah, pencari kepiting dan kepah serta pengumpul cacing. Bagi responden yang mempunyai mata pencaharian Wiraswasta pada umumnya bekerja mengambil manfaat dari ekosistem mangrove. Pekerjaan utama masyarakat biasanya didukung oleh adanya pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut.

Rata-rata responden memiliki anggota keluarga antara 4 – 6 orang (46,7 %), kemudian disusul responden dengan anggota keluarga antara 7 – 9 orang (40 %), responden dengan anggota keluarga antara 1 – 3 orang (6,7 %) dan responden dengan anggota keluarga > 9 orang (6,6 %). Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.


(42)

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

No. Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Frekuensi Proporsi (%)

1 1 – 3 2 6,7

2 4 – 6 14 46,7

3 7 – 9 12 40

4 > 9 2 6,6

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Rata-rata jumlah anggota keluarga responden adalah 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah cukup tinggi. Akan tetapi dalam pemanfaatan ekosistem mangrove tidak dilakukan oleh semua anggota kelurga, melainkan hanya sebagian saja.

Umumnya responden yang berada di Desa Bandar Khalifah berpendidikan SD (46,7 %), SLTP (40%), SMU (10%) dan Perguruan tinggi (3,3%). Responden paling dominan merupakan lulusan SD. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang mengambil manfaat dari mangrove. Selanjutnya karakteristik tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)

1 SD/SR 14 46,7

2 SLTP/SMP 12 40

3 SLTA/SMU/SMK 3 10

4 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

1 3,3

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Sebagian besar responden masih bergantung akan keberadaan hutan mangrove dan manfaatnya. Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat


(43)

menunjukkan bahwa ekosistem mangrove bisa memberi kontribusi terhadap masyarakat. Tingkat pendapatan responden ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No. Tingkat Pendapatan (Rp) Frekuensi Proporsi (%)

1 100.000 – 500.000 12 40%

2 600.000 – 1.000.000 17 56,67%

3 ≥ 1.100.000 1 3,3%

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa masyarakat yang menjadi responden tertinggi adalah masyarakat dengan pendapatan Rp. 600.000 – 1.000.000, yaitu sebanyak 17 orang (56,67%), disusul responden dengan pendapatan 100.000 – 500.000 sebanyak 12 orang (40%) dan masyarakat dengan pendapatan ≥ 1.100.000 yaitu 1 orang (3,3%). Pendapatan yang diterima responden sebagian merupakan hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, meskipun ada responden yang menambah pendapatan dari sumber lain. Pada umumnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan ekosistem mangrove Desa Kayu Besar mempunyai pekerjaan lain disamping pekerjaan utama.

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Analisis vegetasi (anveg) dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur hutan mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai. Anveg dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi antara metoda jalur dan metoda garis berpetak. Anveg dilakukan pada 1 jalur dengan 53 petak ukur dan azimuth 50º menuju garis pantai.


(44)

waru, bakau, truntun, lenggade dan tanjang. Jenis – jenis ini tersebar dalam tiga stadium pertumbuhan tersebut pada hutan mangrove Desa Kayu Besar.

Untuk tingkat semai kerapatan tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia marina), yaitu sebesar 41,21% dan kerapatan yang terendah terdapat pada jenis tanjang (Bruguiera cylindrica), yaitu sebesar 0,6%. Sedangkan frekuensi tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia marina), yaitu sebesar 28,45% dan frekuensi terendah terdapat pada jenis tanjang (Bruguiera cylindrica), yaitu sebesar 1,29%. Melalui indeks Shannon_Wienner diketahui bahwa tingkat semai memiliki keragaman jenis sebesar 1,875. Hal ini berarti bahwa komunitas mangrove di Desa Kayu Besar memiliki kelimpahan spesies yang sedang. INP tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia marina), yaitu sebesar 69,66% dan terendah pada jenis tanjang (Bruguiera cylindrica), yaitu sebesar 1,89%. Hal ini menunjukkan jenis api – api (Avicennia marina) merupakan spesies yang dominansinya yang lebih tinggi dibanding spesies lain yang ada di hutan mangrove Desa Kayu Besar.

Pada tingkat pancang kerapatan tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia alba), yaitu sebesar 23,13% dan yang terendah terdapat pada jenis tanjang (Bruguiera cylindrica), yaitu sebesar 0,97%. Frekuensi tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia alba), sebesar 18,49% dan frekuensi terendah terdapat pada jenis lenggade (Bruguiera parviflora), yaitu sebesar 3,29%. INP tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia alba), sebesar 41,62% dan yang terendah terdapat pada lenggade (Bruguiera parviflora), yaitu sebesar 4,99%. Hal ini menunjukkan jenis api – api (Avicennia alba) merupakan spesies yang dominansinya yang lebih tinggi dibanding spesies lain yang ada di hutan


(45)

mangrove Desa Kayu Besar. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan indeks Shannon_Wienner dapat dikatakan bahwa kelimpahahan spesies pada tingkat pancang adalah sedang dengan nilai sebesar 2,216.

Untuk tingkat pohon kerapatan tertinggi terdapat pada jenis jenis api-api (Avicennia marina), yaitu sebesar 43,69% dan yang terendah terdapat pada jenis buta-buta (Excoecaria agallocha) sebesar 0,59%. Frekuensi tertinggi terdapat pada jenis (Avicennia marina), yaitu sebesar 33,34% dan yang terendah terdapat pada jenis buta-buta (Excoecaria agallocha) sebesar 1,15%. Pada tingkat pohon yang mendominasi adalah jenis api-api (Avicennia marina), sebesar 43,23%. Sedangkan, jenis buta-buta (Excoecaria agallocha) sebesar 0,37%. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan indeks Shannon_Wienner dapat dikatakan bahwa kelimpahan spesies pada tingkat pohon adalah sedang dengan nilai sebesar 1,625. INP tertinggi terdapat pada jenis api-api (Avicennia lanata), sebesar 40,77% dan yang terendah terdapat pada Buta – buta (Excoecaria agallocha), yaitu sebesar 2,11%. Hal ini menunjukkan jenis api – api (Avicennia lanata) merupakan spesies yang dominansinya yang lebih tinggi dibanding spesies lain yang ada di hutan mangrove Desa Kayu Besar.

Dari hasil pengukuran di lapangan pada tiga tingkat stadium pertumbuhan didapat bahwa tingkat keragaman jenis untuk tingkat semai adalah sedang dengan nilai Indeks Shannon_Wienner 1,875. Hal ini sesuai dengan pernyataan Restu, 2002 dalam Fitriani (2005) yakni Indeks 1,0 < H > 3,322 merupakan keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang dan tekanan ekologis sedang. Untuk tingkat pancang nilai Indeks


(46)

tingkat pancang adalah sedang. Nilai Indeks Shannon_Wienner untuk tingkat pohon sebesar 1,625. Nilai ini menunjukkan keanekaragaman jenis untuk tingkat pohon adalah sedang. Secara keseluruhan keanekaragaman jenis untuk ketiga stadium pertumbuhan pada kawasan mangrove Desa Kayu Besar adalah sedang.

Analisis vegetasi hutan mangrove Desa Kayu Besar pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui jenis vegetasi yang terdapat di hutan mangrove tersebut. Data ini dibutuhkan untuk dapat mengetahui potensi yang terdapat pada hutan mangrove Desa Kayu Besar. Pemanfaatan hasil hutan mangrove seperti ini bergantung dari komposisi jenis apa yang terdapat didalamnya. Dari jenis – jenis vegetasi yang terdapat di hutan mangrove tersebut nantinya akan diketahui manfaat apa yang bisa diambil oleh masyarakat.

Inventarisasi Satwaliar

Dari hasil pengamatan satwaliar yang dilakukan di hutan mangrove di Desa Kayu Besar, jenis yang ditemukan monyet ekor panjang dan burung raja udang. Pengamatan hanya dilakukan melalui pengamatan langsung, hal ini dikarenakan indikasi untuk pengamatan tidak langsung tidak ditemukan. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Inventarisasi Satwaliar Pada Hutan Mangrove Nama Satwa

No Nama Lokal Nama Latin

1. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 2. Burung Raja Udang Alcedo meninting

Sumber: Data Primer

Terdapat beberapa jenis satwa yang ditemukan pada saat pangamatan dilakukan. Satwa tersebut pada umumnya hidup dan bertempat tinggal pada


(47)

kawasan hutan mangrove dan mencari makan pada tempat yang sama. Jenis hewan ini masih tergolong biasa karena masih bisa ditemukan pada daerah lain.

Pengamatan satwaliar yang dilakukan pada dasarnya untuk mengetahui potensi satwa yang terdapat pada mangrove. Jenis satwa yang ditemukan di hutan mangrove bisa dijadikan sebagai indikator akan kondisi fisik mangrove tersebut. Dimana, jika kondisi fisik mangrove semakin bagus maka satwa yang akan dijumpai akan semakin banyak dan bervariasi. Frekuensi satwa yang dijumpai di mangrove Desa Kayu Besar sangatlah sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik mangrove yang memburuk. Bahkan, menurut masyarakat setempat satwaliar seperti monyet ekor panjang terkadang sudah memasuki areal kebun milik masyarakat dan merusaknya.

Hasil Hutan non Kayu

Dari hasil inventarisasi hasil hutan non kayu yang dilakukan pada ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, ditemukan beberapa jenis yaitu nipah, kepiting dan kepah, cacing pita, udang bakau dan ikan. Dari hasil hutan non kayu yang dijumpai merupakan jenis yang umum dan bisa dijumpai di daerah mangrove lainnya. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Inventarisasi Hasil Hutan non Kayu Nama Spesies No

Nama Lokal Nama Latin

1. Kepiting Scylla serrata

2. Kepah Mytilus edulis

3. Nipah Nypa fruticans

4. Cacing Pita Lumbricus rubellus


(48)

Masyarakat pada umumnya memanfaatkan hasil hutan non kayu tersebut tidak hanya untuk keperluan sehari – hari saja, akan tetapi untuk dijual juga. Salah satunya adalah nipah yang dimanfaatkan untuk membuat atap rumah dan diperjual belikan oleh masyarakat. Hasil hutan non kayu yang dijumpai pada ekosistem mangrove Desa Kayu Besar semuanya dimanfaatkan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya memanfaatkan hasil hutan berupa kayu untuk dieksploitasi.

Pemanfaatan hasil hutan non kayu dapat menambah penghasilan masyarakat sekitar mangrove Desa Kayu Besar. Bahkan, ada masyarakat yang pekerjaan sehari – harinya adalah mengumpulkan kepiting mangrove untuk dimakan dan dijual. Hasil hutan non kayu selain mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat, juga dapat dinikmati sendiri manfaatnya oleh masyarakat.

Potensi Pemanfaatan Ekonomi Ekosistem Mangrove Secara Aktual

Masyarakat di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai sejak lama telah memanfaatkan berbagai potensi mangrove yang ada disekitar mereka. Umumnya masyarakat desa tersebut memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan potensi ekonominya. Dalam penelitian ini, pemanfaatan tersebut berupa membuka tambak, mencari kayu bakar, membuat atap rumah, mengumpulkan cacing pita, mencari kepiting dan kepah. Pemanfaatan potensi ekonomi mangrove di Desa Kayu Besar,dapat dilihat pada Tabel 9.


(49)

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan Pada Ekosistem Mangrove

No. Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

1. Mencari cacing pita 5 12,5

2. Mencari kepiting dan kepah 4 10

3. Membuka tambak 7 17,5

4. Mencari kayu bakar 12 30

5. Membuat atap rumah 10 25

6. Memancing ikan 2 5

Jumlah 40 100%

Sumber: Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove yang paling duminan adalah mencari kayu bakar, yaitu sebesar 30% dari 30 responden. Kemudian disusul oleh membuat atap dari nipah (25%), membuka tambak (17,5%), mencari kepiting dan kepah (10%), mencari cacing pita (12,5%) dan memancing ikan (5%). Umumnya masyarakat memanfaaatkan mangrove sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. Seluruh pemanfaatan mangrove di Desa Kayu Besar dilakukan secara manual (masih mempergunakan tenaga manusia) dan masih bersifat tradisional. Tingkat pendidikan masyarakat yang rata – rata tamatan SD mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya pemanfaatan mangrove dengan cara – cara lain (penggunaan teknologi) oleh masyarakat.

Pemanfaatan Kayu Bakar

Pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling dominan dilakukan masyarakat adalah mengumpulkan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar ini banyak dilakukan masyarakat karena cara pengerjaannya yang relatif mudah. Masyarakat dengan menggunakan peralatan seperti parang dan kapak masuk ke


(50)

diambil umumnya yang sudah tua atau mati. Hal ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan tanaman muda, selain itu juga bisa untuk mempermudah pengerjaan. Jenis vegetasi yang paling sering dimanfaatkan adalah Bakau (Rhizophora apiculata) karena mudah terbakar. Kayu bakar yang sudah diambil dan dikeluarkan dari dalam hutan kemudian dibawa dengan menggunakan sepeda atau gerobak kecil. Kayu bakar ini kemudian ada yang dimanfaatkan untuk kalangan sendiri dan ada juga yang dijual.

Pemanfaatan Nipah untuk atap rumah

Pemanfaatan nipah untuk keperluan atap rumah merupakan bentuk pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat sekitar mangrove Desa Kayu Besar. Pengerjaannya cukup mudah, daun nipah yang diambil dari hutan kemudian dipotong dengan ukuran yang disesuaikan dan nantinya digabungkan. Dibutuhkan penopang (biasanya batang daun nipah) sebagai penahan daun tersebut, lalu dirajut untuk memperkuat pegangan. Untuk ukuran biasanya disesuaikan dengan keperluan ataupun pesanan. Atap daun nipah ini banyak dijual disepanjang jalan menuju Desa Kayu Besar.

Mengelola tambak

Tambak yang dikelola oleh masyarakat berada disekitar mangrove dan tidak jauh dari hutannya. Sebagian besar tambak yang dikelola oleh masyarakat di Desa Kayu Besar merupakan peninggalan dari pihak swasta yang dulu pernah mengelola tambak namun kurang berhasil, akan tetapi ada juga yang membuka tambak sendiri. Jenis yang sering dikembangkan masyarakat untuk tambak adalah


(51)

udang. Pemanfaatan tambak cukup menjanjikan keuntungan, akan tetapi membutuhkan banyak modal dan cukup rumit karena harus memiliki izin dari pemerintah setempat. Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh masyarakat juga berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Untuk itu dalam pengelolaan perlu diterapkan sistem yang juga dapat menjaga kelestarian ekosistem seperti mengkombinasikan tanaman di dalam tambak (Sylvofishery).

Mencari Cacing Pita

Bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove Desa Kayu Besar lainnya adalah mencari cacing pita. Pengumpulan cacing pita ini biasanya dilakukan pada saat pasang. Tambak yang sudah tidak dipergunakan lagi diberi celah agar air pasang laut bisa masuk. Tambak kemudian ditutup untuk menjaga air tetap didalam. Setelah air laut dalam tambak mulai surut, pencarian pun dilakukan Cacing pita ini dipergunakan masyarakat sebagai umpan pada saat memancing dilaut. Cacing pita ini lumayan mudah ditemui di sekitar Desa Kayu Besar dan sudah dikemas dalam plastik.

Mencari Kepiting dan Kepah

Pemanfaatan kepiting dan kepah sebagai hasil hutan non kayu sudah lama dilakukan masyarakat sekitar mangrove Desa Kayu Besar. Cara penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan galah yang ujungnya dipasangi kait. Kait ini nantinya dipergunakan untuk mengeluarkan kepiting dari lubangnya. Kepiting lalu diikat untuk menjaga


(52)

begitu saja. Di mangrove Desa Kayu Besar, akhir – akhir ini masyarakat mengeluhkan akan susahnya mencari kepiting dan kepah. Hal ini dikarenakan kondisi fisik mangrove yang rusak sehingga kepiting dan kepah sulit berkembang biak.

Memancing ikan

Pemanfaatan ekosistem lainnya dilakukan masyarakat dengan memancing ikan disekitar areal mangrove Desa Kayu Besar. Peralatan yang dipergunakan masyarakat umumnya adalah pancing sederhana dengan gagang kayu, namun ada juga yang mempergunakan jaring untuk membantu. Hasil pancingan umumnya tidak diperjual belikan melainkan untuk keperluan makan sehari – hari. Kegiatan memancing ini dilakukan masyarakat disepanjang sungai disekitar mangrove Desa Kayu Besar.

Masyarakat yang memanfaatkan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai masih menggunakan cara – cara lama dan bersifat tradisional. Masyarakat tersebut memerlukan cara/teknik penggunaan yang baru untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan hasil dari mangrove tersebut. Keterbatasan informasi yang didapat masyarakat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan mangrove. Penyuluhan – penyuluhan tentang pemanfaatan mangrove harus lebih dimaksimalkan lagi untuk membantu masyarakat dalam mengenal mangrove


(53)

Pemanfaatan terhadap mangrove tentu saja dapat menyebabkan kondisi alami mangrove terdegradasi. Menurut masyarakat hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar merupakan hutan mangrove sekunder, yaitu hasil tanaman dari masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Hal ini disebabkan karena dulu kawasan mangrove Desa Kayu Besar dieksploitasi secara besar – besaran oleh pihak swasta. Bahkan pada beberapa kawasan mangrove keadaan ekosistemnya sudah rusak dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Kejadian ini diperparah karena berkembangnya isu – isu konversi lahan hutan mangrove menjadi kebun kelapa sawit yang dikelola oleh pihak swasta.

Alternatif Pengembangan Potensi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove 1. Nipah (Nypa fruticans)

Pemanfaatan nipah oleh masyarakat masih dengan menggunakan cara – cara tradisional. Khusus untuk vegetasi nipah, penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu masyarakat suku Sough, Kuri dan Warnesa dalam kehidupan telah memanfaatkan mulai dari akar, daun hingga buahnya (Sihite, 2005). Pemanfaatan vegetasi nipah pada ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 10.


(54)

Tabel 10. Bentuk Pemanfaatan Nipah Pada Ekosistem Mangrove

Pemanfaatan Nipah (Nypa fruticans)

Bagian Tanaman Tujuan Pemanfaatan Cara Pemanfaatan

Buah Nipah

Tangkai daun

Malai

Daun

Akar

Anak daun dan tangkai daun Daun Bahan makanan Bahan makanan Bahan minuman Bahan bangunan

Obat – obatan

Sumber energi

Perlengkapan perahu tradisional

Buah dari Nipah yang masih muda dan segar dibelah. Air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda

Tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, ,diasapi di atas tungku api, setelah kering dibakar. Abunya diambil dan disimpan dalam media bambu sebagai pengganti garam dapur

Malai dipotong, kemudian disadap untuk menghasilkan nira (dalam bahasa lokal disebut “bobo”), sejenis minuman lokal/tradisional Bahan pembuatan atap dan kajang (dinding) rumah/pondok yang dapat bertahan 3 – 5 tahun masa pakai

̇ Untuk dinding, tangkai daun nipah dijemur sampai kering, dipotong sesuai ukuran kemudian dirakit untuk menjadi dinding rumah

̇ Untuk para – para (tempat

duduk)

Akar dibakar dan arangnya diletakkan pada gigi yang sakit Anak daun maupun tangkai daun yang telah kering diambil selanjutnya dibakar

Bahan baku pembuatan atap perahu yang dapat bertahan 3 – 5 tahun masa pakai

Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005 ; Asmuruf, 2001; Leftungun, 2004


(55)

Garam Nipah

Bentuk pemanfaatan nipah lainnya dapat dilihat pada kelompok masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat (Santoso, 2005). Masyarakat Batu Ampar mencoba mencari manfaat lain dari nipah selain manfaat yang sudah ada serta dinilai memiliki potensi ekonomi yang cukup sebagai tambahan sumber pendapatan masyarakat.

Bahan yang digunakan adalah pelepah nipah yang sudah tua, biasanya pelepah yang sudah diambil daunnya, dan jika dipotong daging pelepahnya berwarna kemerahan (semakin kemerahan kadar garam semakin tinggi). Pada prinsipnya proses pembuatan garam nipah ini adalah proses pencucian atau pemisahan kadar garam yang terkandung dalam pelepah nipah. Proses pembuatannya dimulai dari :

• Pengambilan bahan baku berupa pelepah nipah yang sudah tua sesuai kebutuhan

• Pelepah yang sudah diambil selanjutnya dibakar sampai menjadi abu. Setelah menjadi abu, kemudian diayak untuk memisahkan antara abu nipah dan abu kayu bakar.

• Proses selanjutnya adalah proses pencucuian yaitu, setelah diperoleh abu nipah kemudian disiram oleh air. Sampai abu tersebut larut kemudian larutan tersebut disaring untuk diambil airnya saja. Proses pencucian dihentikan jika abu nipah sudah tidak asin lagi.

• Setelah air saringan diperoleh, kemudian air tersebut dipanaskan di atas perapian, sampai airnya menguap dan diperoleh kristal garam


(56)

Pembuatan Gula Nipah

Pengolahan gula nipah yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Ujung Manik, Kecamatan Kawung Anten Kabupaten Cilacap. Diawali dengan pemberian pelatihan yang dilakukan Dinas Perindustrian Kabupaten Cilacap (Santoso, 2005).

Teknik pengolahan gula nipah adalah :

• Pembersihan, dilakukan untuk menghindari peretakan dan sinar matahari pada tandan siap deres. Memukul tandan yang siap untuk dideres untuk memperlancar keluarnya air dari tandan.

• Penderesan, diawali dengan pembersihan dan penyiraman tandan selanjutnya dimulai pemotongan tandan mulai dari bagian bawah. Setelah itu diikatkan kantong plastik untuk menampung air nipah

• Pemasakan, setelah air nipah terkumpul kemudian dimasak dalam kuali tanpa campuran apapun. Pemasakan dilakukan terus – menerus dan digodok dengan sendok hingga membentuk gula.

• Pendinginan, setelah dilakukan pemasakan maka proses selanjutnya adalah pencetakan pada cetakan bambu, selanjutnya didinginkan selama ± 1 jam.

Anyaman Nipah

Potensi dari nipah selain dibuat garam dan dula nipah adalah dimanfaatkan untuk membuat anyaman (kerajinan tangan) seperti yang biasa ditemukan dipasaran. Pemanfaatan ini dilakukan oleh kelompok masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat (Santoso, 2005). Adapun bahan untuk pembuatan anyaman nipah adalah:


(57)

• Lidi (batang daun nipah) yang umumnya sudah cukup umur, tidak tua dan tidak terlalu muda. Batang daun nipah diambil sesuai dengan kebutuhan.

• Cara pembuatan dikerjakan seperti layaknya bahan dari rotan, yang biasanya dibuat keranjang, alas periuk, bakul kecil, tempat pena, sapu lidi dan lainnya. Hanya saja kesulitan dalam pembuatan anyaman adalah lidi tidak sama ukuran, baik panjang ataupun ukuran besar kecilnya sehingga untuk membuat anyaman pada ukuran yang lebih besar agak sulit karena memerlukan lidi yang besar dan panjang. (Santoso, 2005).

Atap daun Nipah

Pemanfaatan daun nipah untuk dijadikan atap rumah sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat Batu Ampar (Santoso, 2005). Proses pembuatannya cukup sederhana dan tidak jauh berbeda dengan daerah lain yaitu, daun nipah disusun dan dijahit dengan satu belahan kayu nibung. Pemanfaatan nipah untuk pembuatan atap sudah banyak dilakukan masyarakat di sekitar mangrove di Indonesia termasuk di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah.

Manisan buah nipah

Pemanfaatan nipah untuk bahan makanan sudah banyak dilakukan masyarakat Batu Ampar. Manisan nipah dibuat dari buah nipah yang dikategorikan masih muda (agak matang). Setelah buah – buah nipah itu dipetik


(58)

kayu manis dan cengkih untuk bahan pengawet dan aroma, kemudian dimasak dengan air gula. Selain jadi manisan juga dapat dicampur dengan hidangan es sirup (Santoso, 2005).

Es buah nipah

Di Malaysia (Negeri Perak, Taiping), buah nipah dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman es buah nipah dan tergolong menu spesial. Prosesnya hampir sama dengan pembuatan manisan buah nipah yaitu buah nipah muda dikupas dan daging buahnya dipergunakan sebagai bahan utama es buah nipah (Santoso, 2005)

Kolak buah nipah

Di Pantai Timur Sumatera Utara(tepatnya daerah Langkat), pada bulan puasa, masyarakat memanfaatkan buah nipah muda sebagai bahan baku makanan kolak. Proses pembuatannya cukup mudah yaitu, buah nipah muda dikupas dan diambil daging buahnya. Selanjutnya siap untuk dimasak (dimasukkan) ke dalam adonan kolak seperti air, gula dan santan (Santoso, 2005).

2. Api – api (Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia officinalis)

Pemanfaatan api – api sebagai salah satu vegetasi dari hutan mangrove umumnya masih untuk keperluan kayu bakar saja. Akan tetapi jika dilihat lebih dalam ternyata api – api mempunyai manfaat lain, seperti halnya di daerah – daerah lain yang dimanfaatkan masyarakat sekitar.


(59)

Pakan ternak

Di daerah Maluku dan Papua, ternak seperti halnya kambing diberi pakan dedaunan dari api – api muda. Caranya cukup mudah dengan mengumpulkan daun dari jenis api – api yang masih muda kemudian dijadikan sebagai pakan ternak. Pakan berupa dedaunan api – api ini memberi keuntungan karena relatif mudah didapati disekitar areal mangrove (Kusmana dkk, 2008).

Bahan Makanan

Buah api – api untuk dijadikan bahan makanan harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan di dalam jenis ini mempunyai kandungan toxic yang cukup berbahaya jika dikonsumsi. Jenis tanaman api – api yang telah diketahui dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan adalah Avicennia marina dan Avicennia officinalis. Hal ini dikaji pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan Baku Mangrove di Muara Gembong, Bogor (Santoso, 2005). Setelah buah ini diolah batu dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan makanan sebagai berikut: Bapau isi birayo, Ketimus api – api, Donat api – api, Bubur sum sum api – api, Tusuk sate birayo, Dadar birayo, Talam asin api – api, Dawet api – api, Dawet ayu buah brayo, Wajit api – api, Putri malu api – api, Putri ayu api – api, Kue bugis api – api, Gunastori api – api, Jala bia api – api, Talam manis api – api, Bola manis api – api, Biji salak api – api, Gemblong api – api, Puding api – api, Lumpia api – api, Wijen api – api, Pintu mayang, Bolu agar – agar birayo, Bolu birayo, Bolu buah api – api, Bolu api – api, Agar – agar buah birayo, Onde – onde telepon api – api, Onde – onde birayo, Keripik manis asin api


(60)

3. Perepat (Sonneratia alba) Bahan makanan

Pengolahan pada jenis perepat ini dilakukan pada buahnya yang kemudian diolah menjadi bahan makanan. Pengolahan buah perepat ini ditunjukkan kelompok masyarakat pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan Baku Mangrove di Muara Gembong, Bogor (Santoso, 2005). Sifat buah tidak beracun dan dapat langsung dimakan. Buah yang tua merupakan bahan baku makanan. Buah yang telah tua merupakan bahan baku makanan dan tidak memerlukan perlakuan atau langsung dapat dimasak menjadi aneka makanan dan minuman. Buah perepat dapat diolah menjadi Sirup pidada, Jus pidada, Wajit pidada, Dodol pidada, Bola asam manis pidada, Permen buah pidada dan Lempok buah pidada.

4. Tanjang (Bruguiera sexangula dan Bruguiera cylindrica) Bahan makanan

Tanaman tanjang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat. Proses penggunaan buah tanaman Tanjang dapat dilihat pada Lomba Masak Makanan Berbahan Baku Mangrove di Muara Gembong, Bogor. Pemanfaatan yang bisa dilakukan adalah pengupasan kulit buah tanjang, buah dipecah (agar cepat lunak bila dimasak), lalu dimasak dengan air sampai masak betul. Air bekas masak dibuang ditempat aman (beracun), lalu direndam 2 – 3 hari. Selanjutnya buah tanjang dapat langsung dimasak atau buah setelah direndam dapat dikeringkan apabila diperlukan dalam jangka waktu yang lama (Santoso, 2005).


(61)

Obat – obatan

Penggunaan tanjang selain untuk bahan makanan juga bisa dijadikan sebagai bahan obat – obatan. Akar serta daun dari tanjang dapat dipergunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar. Obat ini bisa dijadikan sebagai pertolongan pertama bagi korban kebakaran. Buah dari tanjang juga diyakini bisa mengobati penyakit herpes (Noor, 2006).

5. Bakau (Rhizophora apiculata) Bahan Makanan

Masyarakat Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan telah mengenal penggunaan buah tanaman baku untuk kebutuhan pangan sejak lama. Buah yang dipergunakan sebagai bahan baku adalah buah yang telah masak/tua. Proses memasak buah dimulai dengan mengupas kulit bagian luar dan selanjutnya kulit bagian dalam dikupas untuk selanjutnya direndam 2 – 3 hari. Kemudian kulit bagian dalam tersebut dipergunakan sebagai campuran makanan/Sayur ikan (Santoso, 2005).

Sumber Energi dan Tiang Rumah

Masyarakat Papua, khusunya penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memanfaatkan kayu dari Rhizophora untuk keperluan kayu bakar dan juga tiang rumah. Kayu dari jenis Rhizophora diyakini mempunyai tekstur yang kuat untuk menyangga rumah penduduk (Sihite, 2005).


(62)

Obat – obatan

Air hasil rebusan kayu Rhizophora dapat dipergunakan sebagai obat pelangsing, anti mencret dan anti muntah. Cacahan kayunya bilamana ditempelkan pada luka yang baru dapat menghentikan pendarahan. Daun muda yang masih segar juga bisa dikunyah sebagai homeostati dan anti septik (Dephut, 1997).

6. Waru (Hibiscus tiliaceus) Peralatan/perlengkapan

Penggunaan tradisional vegetasi waru (Hibiscus tiliaceus) di bagian Timur Indonesia (Maluku dan Papua) paling dominan adalah untuk keperluan peralatan. Batang kering digunakan sebagai pengapung pada jala ikan. Kemudian kulit batang yang agak berserat dapat dijadikan sebagai tali pengikat dan bahkan bisa dijadikan simpul dalam pembuatan perangkap (Kusmana dkk, 2008).

Obat – obatan

Bagian tanaman waru yang dipergunakan untuk dijadikan obat adalah bunga. Bunga segar direbus dengan susu segar dan digunakan ketika dingin untuk membersihkan infeksi pada lubang telinga (Dephut, 1997).

7. Truntun (Lumnitzera littorea) Peralatan/Perlengkapan

Masyarakat Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua memanfaatkan truntun sebagai bahan peralatan. Kayu yang dihasilkan oleh


(63)

tanaman ini bisa dijadikan sebagai kayu bakar, tiang, pagar, balok penyangga, tiang untuk perangkap ikan dan kayu pembuatan sampan (Kusmana dkk, 2008).

Bahan Bangunan

Kulit dan kayu dari truntun dikenal kuat dan tahan terhadap air. Dengan penampilan yang menarik dan memiliki wangi seperti mawar, maka kayunya sangat cocok dijadikan sebagai bahan pembuatan lemari dan furnitur lainnya. Akan tetapi permasalahan yang sering dijumpai adalah kayu truntun berukuran besar jarang ditmui (Noor, 2006).

8. Buta – buta (Excoecaria agallocha) Obat – obatan

Pada beberapa daerah akar dari buta – buta dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi. Akarnya terlebih dahulu dibakar dan kemudian ditumbuk, selanjutnya dimasukkan ke dalam gigi yang berlubang. Getah dari buta – buta juga bisa dijadikan sebagai racun untuk membunuh ikan, akan tetapi juga berbahaya apabila mengenai mata karena dapat menyebabkan kebutaan. Kayu tidak bisa digunakan sebagai kayu bakar karena bau wanginya tidak sedap untuk makanan (Noor, 2006)

Untuk beberapa daerah tertentu, rebusan daun buta – buta juga bisa dipergunakan sebagai obat – obatan. Hasil rebusan diyakini bisa menyembuhkan sariawan pada bayi. Caranya mudah, daun buta – buta yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda direndam beberapa saat, lalu diberikan pada bayi


(64)

9. Lenggade (Bruguiera parviflora) Bahan makanan

Kulit kayu dari Lenggade dapat dipergunakan sebagai penyedap rasa ataupun bumbu bagi ikan mentah. Penggunaannya relatif mudah, kulit kayu lenggade dikupas dari batangnya kemudian dicampurkan pada ikan mentah. Kulit kayu lenggade yang tidak berbau dan dapat menjadi bumbu menjadikan kulit kayu ini bisa menambah cita rasa makanan (Kusmana dkk, 2008).

Sumber Energi

Pada beberapa daerah kayu lenggade dipergunakan sebagai kayu bakar. Hal ini pada dasarnya dikarenakan ukuran kayu yang relati kecil, sehingga jenis ini jarang dipergunakan untuk keperluan lain (Noor, 2006). Selanjutnya, berbagai pemanfaatan aktual masyarakat dan alternatif pemanfaatannya terhadap mangrove di Desa Kayu Besar dapat dilihat pada lampran 12.

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan manjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk – produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya). Secara tradisional, masyarakat setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Tetapi, meningkatnya jumlah penduduk dan pemanfaatan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya tekanan pada sumberdaya ini.


(65)

Nilai ekonomi kawasan mangrove yang muncul sebagai akibat dari peran ekologi dan produk yang dihasilkannya sering diabaikan sehingga kawasan ini banyak diubah menjadi kawasan pertambakan, pertanian dan perkebunan. Dalam penelitian ini, pemanfaatan yang dilakukan masyarakat terhadap mangrove di Desa Kayu Besar masih sederhana dan bersifat tradisional. Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya yang juga memanfaatkan ekosistem mangrove, terdapat bentuk pemanfaatan lain yang bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Penggunaan Lahan disekitar Ekosistem Mangrove

Penggunaan lahan disekitar ekosistem mangrove Desa Kayu Besar meliputi pertambakan udang, kebun masyarakat disekitar tambak, pemukiman serta jalan sebagai akses menuju kawasan mangrove. Kawasan mangrove Desa Kayu Besar memiliki sungai yang merupakan jalur nelayan menuju laut. Kawasan disekitar mangrove juga dijadikan lokasi persinggahan kapal – kapal nelayan. Penebangan yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove Desa Kayu Besar. Disamping itu terdapat pula kerusakan akibat dari perubahan lahan mangrove ke pertambakan dan pemanfaatan mangrove yang berlebihan seperti kayu bakar dan nipah yang juga berpotensi menimbulkan kerusakan pada ekosistem mangrove.

Perikanan

Perikanan pada umumnya merupakan sumber daya ekonomi paling utama di kawasan mangrove. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya perikanan di


(66)

pengelolaan tambak udang. Untuk perikanan tangkap langsung, masyarakat Desa Kayu Besar umumnya menggunakan pancing. Kelompok masyarakat tersebut dapat mencoba metode lain seperti jaring apung/karamba dan perangkap ikan (bubu) seperti yang diterapkan masyarakat di Wulan dan Segara Anakan (Setyawan dan Kusumo, 2006). Jaring apung dan bubu digunakan untuk menangkap anakan biota laut yang menggunakan lingkungan mangrove untuk berkembangbiak, seperti udang dan ikan sehingga dalam sudut pandang konservasi jaring apung dapat mengganggu suplai bibit ke perairan laut di tepi pantai. Untuk itu perlu perbaikan yang berkelanjutan pada ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan bagi biota mangrove tersebut. Perbaikan pada ekosistem mangrove akan meningkatkan produksi perikanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Perikanan tangkap merupakan produk mangrove yang bernilai ekonomi paling tinggi (Hamilton, dkk.,1989). Perikanan tangkap juga dilakukan di dalam kawasan mangrove, khususnya pada kawasan yang memiliki perairan luas.

Hampir semua tambak pada ekosistem mangrove Desa Kayu Besar menggunakan sistem tambak intensif, hampir tidak ada yang melakukan penglolaan dengan sistem empang parit (tambak tumpang sari/Sylvo-fishery). Pada tambak intensif, semua tumbuhan mangrove dibersihkan, tumbuhan mangrove hanya disisakan ditepian tambak khususnya yang berbatasan dengan sungai untuk mencegah abrasi. Sedangkan pada sistem empang parit luasan tambak dan luasan vegetasi mangrove yang disisakan relatif sama (Hartina, 1996) sehingga tetap memungkinkan tumbuhnya vegetasi mangrove. Pengelolaan tambak dengan sistem empang parit merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ekosistem


(1)

Lampiran 12. Bentuk Pemanfaatan Aktual dan Alternatif Pemanfaatannya

No Jenis

Pemanfaatan

Aktual Alternatif

Pemanfaatan

1. Nipah

(Nypa fruticans)

Daun nipah untuk pembuatan

atap rumah.

• Buah nipah untuk bahan makanan. Air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa (TNC, 2005).

• Tangkai daun untuk bahan makanan. Tangkai daun dibakar dan abunya disimpan dalam bambu sebagai pengganti garam dapur (TNC, 2005).

• Malai nipah untuk bahan minuman. Malai dipotong dan disadap yang kemudian menghasilkan nira (TNC, 2005).

• Daun untuk bahan bangunan. Bahan pembuatan atap dan kajang (dinding) pondok (TNC, 2005).

• Akar nipah untuk obat – obatan. Akar dibakar dan diletakkan pada gigi yang sakit (TNC, 2005).

• Anak daun dan tangkai daun nipah sebagai sumber energi. Anak daun dan tangkai daun nipah yang kering dikumpulkan lalu dibakar (TNC, 2005).

• Daun nipah untuk perlengkapan perahu tradisional (TNC, 2005). • Pembuatan garam nipah. Pelepah nipah yang sudah tua diolah

menjadi garam nipah (Santoso, 2005).

• Pembuatan gula nipah. Air nipah yang sudah terkumpul dimasak hingga menjadi gula (Santoso, 2005).

• Manisan buah nipah (Santoso, 2005). • Es buah nipah (Santoso, 2005). • Kolak buah nipah (Santoso, 2005).


(2)

Lanjutan Lampiran 12.

No Jenis

Pemanfaatan

Aktual Alternatif

Pemanfaatan

2.

3.

4.

5.

6

Api – api

(Avicennia

marina, Avicennia

lanata, Avicennia

officinalis)

Perepat

(Sonneratia

alba)

Tanjang

(Bruguiera

sexangula, Bruguiera

cylindrical)

Bakau

(Rhizophora

apiculata)

Waru

(Hibiscus

tiliaceus)

Pemanfaatan api – api untuk

keperluan kayu bakar sebagai

sumber energi.

Belum dimanfaatkan

Belum dimanfaatkan

Pemanfaatan bakau untuk kayu

bakar

Belum dimanfaatkan

• Bahan makanan. Buah api – api dapat dijadikan sebagai bahan baku makanan (Santoso, 2005).

• Pakan ternak. Dedaunan api – api yang masih muda sebagai pakan ternak (Kusmana, 2008).

Bahan makanan. Buah perepat ini dapat diolah menjadi bahan

makanan dan minuman (Santoso, 2005).

• Obat – obatan. Akar dan daun tanjang dapat mengobati luka bakar (Noor, 2006).

• Bahan makanan. Buah tanjang sebagai bahan baku pembuatan makanan (Santoso, 2005).

• Sumber energi dan tiang rumah. Teksturnya yang kuat sangat cocok dijadikan tiang rumah (Sihite, 2005).

• Obat – obatan. Air rebusan kayu sebagai obat pelangsing, mencret dan muntah (Sihite, 2005).

• Bahan makanan. Buah bakau diolah menjadi sayur ikan yang bisa dikonsumsi (Santoso, 2005).

• Peralatan/perlengkapan. Batang waru yang ringan bisa dijadikan pengapung jala ikan (Kusmana, 2008).

• Obat – obatan. Bunga waru untuk membersihkan infeksi pada lubang telinga (Dephut, 1997).


(3)

77

Lanjutan Lampiran 12.

No Jenis

Pemanfaatan

Aktual Alternatif

Pemanfaatan

7.

8.

9.

Truntun

(Lumnitzera littorea)

Buta – buta

(Excoecaria agallocha)

Lenggade

Belum dimanfaatkan

Belum dimanfaatkan

Belum dimanfaatkan

• Peralatan/perlengkapan. Kayunya dapat dijadikan pagar, tiang dan penyangga (Kusmana, 2008).

• Bahan bangunan. Kayunya yang wangi bisa dijadikan bahan pembuatan lemari dan furnitur lainnya (Noor, 2006).

• Obat – obatan. Akar dari buta – buta dibakar untuk dijadikan obat sakit gigi (Noor, 2006).

• Obat – obatan. Hasil rebusan daun buta – buta untuk mengobati sariawan (Kusmana, 2008).

• Sumber energi. Kayu lenggade dipergunakan sebagai kayu bakar karena kayunya yang kecil (Noor, 2006).

• Bahan makanan. Kulit kayu dipergunakan sebagai penyedap rasa ikan mentah (Kusmana, 2008).


(4)

Lampiran 13. Dokumentasi penelitian

Kondisi Umum Hutan Mangrove Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalifah

Kabupaten Serdang Bedagai

A

B

Kegiatan Analisis Vegetasi di Hutan Mangrove:

A) Penentuan Azimuth (Arah Jalur)

B) Pengukuran Diameter Pohon


(5)

A

B

C

D

Bentuk Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Oleh Masyarakat;

A)

Cacing pita dijual sebagai umpan

B)

Kepiting mangrove untuk dikonsumsi dan dijual

C)

Tambak yang dikelola oleh masyarakat

D) Ikan hasil pancingan

A

B

Hasil Pemanfaatan Ekosistem Mangrove yang dipasarkan oleh Masyarakat;

A) Kayu Bakar dari Hutan Mangrove


(6)

B) Atap dari Pemanfaatan Nipah

Kegiatan Wawancara dengan Masyarakat