Penampilan reproduksi kambing boer (Studi kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia)
ABSTRAK
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia).
Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Studi kasus ini bertujuan untuk mempelajari manajemen pemeliharaan
kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul dalam
pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya serta mengetahui
penampilan reproduksi kambing Boer untuk peningkatan populasi. Data populasi
yang diperoleh pada tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 108, 179,
dan 116 ekor kambing. Data kelahiran ketiga tahun tersebut masing-masing
adalah 19, 60 dan 56 ekor anak kambing dengan data kematian masing-masing
sebanyak 4, 14, dan 19 ekor kambing. Hasil studi menunjukkan metode
perkawinan kambing digunakan cara perkawinan alami dan inseminasi buatan
(IB) baru diperkenalkan pada tahun 2011. Masalah reproduksi yang ditemukan di
pusat ini adalah induk yang melahirkan dua ekor anak, hanya akan menyusui satu
ekor anaknya dan satu ekornya lagi akan diabaikan. Kasus penyakit yang tertinggi
yang menyerang pada kambing adalah Strongylosis (29,5%), Meliodiosis (28,7%),
Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Kata kunci: kambing boer, penampilan reproduksi, pusat bioteknologi, sabah
ABSTRACT
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. The Appearance of Boer Goat’s
Reproduction (Case Study at Biotechnology Center JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia). Supervised by R. KURNIA ACHJADI.
The aim of this research was to study the management of Boer goat
handling, to identify the impacts that often risen in Boer goat handling and search
for solution and to determine the increased appearance of Boer goat reproduction
for population. Population data that is obtained in 2008, 2009 and 2010 amounted
to 108, 179 and 116 goats respectively. Birth data for the three years respectively
was 19, 60 and 56 goatling with their mortality data by 4, 14 and 19 goats. The
results of this study showed that the method of goat breeding is still used mating
and artificial insemination (AI) was introduced in 2011. Reproductive problems
that arise at the center is the goats who gave birth of goats, only first/second
goatling would be nursed and the other goatling will be ignored. The highest case
of disease that infected the goat was Strongylosis (29.5%), Meliodiosis (28.7%),
Coccidiosis (22.4%) and Pasteurellosis (12.7%) respectively.
Keywords: Biotechnology Center, Boer goats, reproductive performance, Sabah
PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING BOER
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi Jabatan Perkhidmatan
Haiwan dan Perusahaan Ternak (JPHPT) Keningau, Sabah,
Malaysia)
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penampilan
Reproduksi Kambing Boer (Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau,
Sabah, Malaysia) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Syafiah Norsyamimi Jubidin
NIM B04088006
ABSTRAK
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia).
Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Studi kasus ini bertujuan untuk mempelajari manajemen pemeliharaan
kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul dalam
pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya serta mengetahui
penampilan reproduksi kambing Boer untuk peningkatan populasi. Data populasi
yang diperoleh pada tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 108, 179,
dan 116 ekor kambing. Data kelahiran ketiga tahun tersebut masing-masing
adalah 19, 60 dan 56 ekor anak kambing dengan data kematian masing-masing
sebanyak 4, 14, dan 19 ekor kambing. Hasil studi menunjukkan metode
perkawinan kambing digunakan cara perkawinan alami dan inseminasi buatan
(IB) baru diperkenalkan pada tahun 2011. Masalah reproduksi yang ditemukan di
pusat ini adalah induk yang melahirkan dua ekor anak, hanya akan menyusui satu
ekor anaknya dan satu ekornya lagi akan diabaikan. Kasus penyakit yang tertinggi
yang menyerang pada kambing adalah Strongylosis (29,5%), Meliodiosis (28,7%),
Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Kata kunci: kambing boer, penampilan reproduksi, pusat bioteknologi, sabah
ABSTRACT
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. The Appearance of Boer Goat’s
Reproduction (Case Study at Biotechnology Center JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia). Supervised by R. KURNIA ACHJADI.
The aim of this research was to study the management of Boer goat
handling, to identify the impacts that often risen in Boer goat handling and search
for solution and to determine the increased appearance of Boer goat reproduction
for population. Population data that is obtained in 2008, 2009 and 2010 amounted
to 108, 179 and 116 goats respectively. Birth data for the three years respectively
was 19, 60 and 56 goatling with their mortality data by 4, 14 and 19 goats. The
results of this study showed that the method of goat breeding is still used mating
and artificial insemination (AI) was introduced in 2011. Reproductive problems
that arise at the center is the goats who gave birth of goats, only first/second
goatling would be nursed and the other goatling will be ignored. The highest case
of disease that infected the goat was Strongylosis (29.5%), Meliodiosis (28.7%),
Coccidiosis (22.4%) and Pasteurellosis (12.7%) respectively.
Keywords: Biotechnology Center, Boer goats, reproductive performance, Sabah
PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING BOER
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia)
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Penampilan Reproduksi Kambing Boer (Studi Kasus di Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia)
Nama
: Syafiah Norsyamimi Jubidin
NIM
: B04088006
Disetujui oleh
drh.R. Kurnia Achjadi, MS
NIP. 19500907 197603 1 002
Pembimbing
Diketahui oleh
drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan lapangan
dan penulisan skripsi yang berjudul Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia) yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, bantuan, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT.
2. Kedua orang tuaku tercinta, Ayah dan Ibu, dan adik-adikku Ira, Nonoi,
Killa, Toha dan Inaz yang selalu mendoakan, mendidik dan mendukung
kepada penulis selama menjadi mahasiswa sampai menyelesaikan
penulisan skripsi ini..
3. Drh. R. Kurnia Achjadi, MS, sebagai pembimbing skripsi yang dengan
sabar memberikan bimbingannya kepada penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, P.hD sebagai pembimbing akademik
yang telah membantu selama penulis menjalankan studi di FKH IPB.
5. Pihak Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah dan JPHPT Sabah,
Malaysia karena memberikan ijin dalam pengambilan data bagi
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kedokteran Hewan.
7. Pihak Biasiswa Kerajaan Negeri Sabah, Jabatan Perkhidmatan Awan
Negeri Sabah terutama En. Sebrini dan Puan Mahasitah karena banyak
membantu dari segi keuangan.
8. Kak Astri dan Kak Kuya yang sama-sama memberikan bantuan dan
dukungan semasa penulisan skripsi ini.
9. Rekan-rekanku FKH 45 “AVENZOAR” yang telah bersama-sama
berjuang dalam menempuh studi di FKH IPB.
10. Rekan-rekan mahasiswa Malaysia angkatan 42, 44, 45, 46, 47, dan 48.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan materil yang
penulis tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Syafiah Norsyamimi Jubidin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
2
Sejarah Singkat Kambing Boer di Sabah
2
Fisiologi Reproduksi
4
Efisiensi Reproduksi
8
Hormon-hormon Reproduksi
8
METODE
10
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
10
Materi dan Metode
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Gambaran Umum Sabah, Malaysia
10
Sejarah Singkat Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia
11
Perkembangan Populasi Ternak Kambing
11
Pengetahuan Manajemen Ternak
12
Aspek Reproduksi
12
Manajemen Reproduksi Kambing Boer Betina
13
Gangguan Reproduksi dan Penyakit
14
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
20
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Karakteristik Kualitatif dan Kuantitatif Kambing Boer
Hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi
Populasi kambing Boer pada tahun 2008-2010
Data Kelahiran dan Kematian anak pada tahun 2008-2010
Data Kelahiran dan Kematian anak bagi induk yang melahirkan anak
kambing lebih dari satu ekor anak kambing
6 Data Penyakit pada kambing di seluruh Sabah pada tahun 2008-2010
4
8
12
14
14
15
DAFTAR GAMBAR
1 Kambing Boer betina di Unit Kambing, Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah
2 Kelompok kambing Boer di ladang salah satu peternak di Australia
3 Kambing Boer betina
4 Proses oogenesis
5 Kambing Boer jantan
6 Proses spermatogenesis
7 Wilayah di Sabah
8 Unit Kambing, Pusat Bioteknologi, Keningau
9 Pennisetum purpureum
10 Kandang panggung di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah
3
3
5
6
7
7
10
11
12
16
DAFTAR BAGAN
1 Struktur organisasi Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau tahun 2010
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Boer (Capra aegragus) merupakan kambing pedaging unggul
yang memiliki karakteristik yang khas, meliputi ciri fisik kambing (bobot badan,
ukuran badan, warna rambut), produksi (laju pertumbuhan badan dan berat badan
yang relatif cepat), serta penampilan reproduksinya (fisiologi reproduksi jantan
dan betina. Kambing ini berasal dari Afrika Selatan dan masuk ke Sabah sejak
tahun 1992. Laju pertumbuhan yang cepat, karakteristik sifat yang jinak, dan
kandungan protein yang tinggi dari daging kambing ini menyebabkan kambing
Boer banyak diternakan sebagai kambing pedaging.
Permintaan daging kambing sebagai substitusi daging sapi sekarang ini
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi, perkembangan
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Permintaan daging kambing di Sabah,
Malaysia, cukup tinggi namun pemerintah hanya mampu memenuhi sebanyak
10% dari jumlah permintaan dan selebihnya pemerintah melakukan impor daging
beku kambing dari Australia. Hal ini mengakibatkan perlu adanya suatu usaha
untuk memenuhi jumlah permintaan kambing pedaging. Sifat unggul kambing
Boer ini menjadikan pilihan utama para peternak untuk mendapatkan dagingnya.
Sabah merupakan provinsi bagian dari Malaysia yang berada di Kepulauan
Borneo. Letak geografis dan topografi dari Sabah sangat berpotensi untuk
melakukan perkembangbiakan kambing pedaging terutama kambing Boer. Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau didirikan untuk mengembangkan kambing Boer
sebagai kambing pedaging untuk memenuhi kebutuhan daging kambing di Sabah.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangbiakan kambing
Boer namun pengetahuan dalam pengembangbiakan dan manajemen kambing
Boer di Sabah masih rendah. Berdasarkan alasan tersebut maka dilakukan studi
kasus untuk mengetahui manajemen pemeliharaan kambing Boer sehingga dapat
dijadikan sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuan para peternak dan
masyarakat.
Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain adalah mempelajari manajemen
pemeliharaan kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul
dalam pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya, serta
mengetahui penampilan reproduksi kambing Boer sebagai upaya untuk
peningkatan populasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai penampilan reproduksi kambing Boer di Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah, Malaysia serta upaya peningkatan populasi dan
produktivitasnya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
Asia merupakan pusat domestikasi kambing. Domestikasi kambing
diperkirakan terjadi 9.000 sampai 11.000 tahun sebelumnya. Kambing merupakan
hewan ternak yang pertama kali didomestikasikan atau nomor dua setelah anjing.
Nenek moyang ternak kambing tersebut diyakini berasal dari hewan bezoar atau
kambing jinak ( Capra aegragus hircus) yang merupakan subspecies dari Capra
aegragus (kambing liar aegragus).
Ternak kambing digolongkan menjadi 6 kelompok, yaitu berdasarkan
daerah asal, kegunaan, ukuran tubuh, bentuk telinga, panjang telinga, serta tanduk.
Penggolongan berdasarkan daerah asal memberi petunjuk kemampuan adaptasi
terhadap iklim dan kondisi lingkungan tertentu. Berdasarkan kegunaannya,
kambing diklasifikasikan atas produk yang dihasilkan, yaitu susu (kambing perah),
daging (kambing potong), dan bulu (Khasmier).
Perbedaan ukuran tubuh kambing umumnya ditentukan dengan
menggunakan tinggi pundak. Kambing dapat digolongkan atas tiga kelompok
berdasarkan cara ini, yaitu kelompok besar (di atas 65 cm), kecil (51-65 cm), dan
kerdil atau mini (kurang dari 50 cm). Kambing kelompok besar dengan berat
tubuh diantara 20-63 kg untuk produksi daging dan/atau susu. Kelompok kecil
dengan berat tubuh diantara 19-37 kg dan kelompok mini dengan berat tubuh
diantara 18-25 kg dipelihara untuk produksi daging. Bentuk telinganya
digolongkan berdasarkan daun telinga (terbuka lebar atau melipat) dan ukuran
panjang telinga (pendek, sedang, dan panjang) yang sangat spesifik untuk setiap
breed tertentu. Bentuk telinga sering menjadi faktor yang mempengaruhi harga
ternak bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tanduk yang digolongkan
menjadi panjang, pendek, atau tidak bertanduk (Sutama dan Budiarsana, 2009).
Sejarah Singkat Kambing Boer di Sabah
Menurut JPHPT (2007), kambing Boer juga dikenal dengan nama
Africanda, Africaner dan South African kambing yang dikembangbiakkan dari ras
asli dengan sedikit persilangan dari Eropa, Angora dan kambing India yang telah
dikembangbiakkan beberapa tahun sebelumnya. Sebagian peneliti menyetujui
bahwa populasi ras asli berkemungkinan berasal dari Namaqua Hotentos dan dari
arah selatan perpindahan Suku Bantu. Kata “Boer” berasal dari kata Belanda yang
bermaksud peternak dan mungkin digunakan untuk membedakan kambing yang
berasal dari Angora yang telah diimpor ke Afrika Selatan waktu abad ke-19.
Tahun 1900, kambing Boer telah diperkenalkan ketika peternak di Easter Capa
Privince mulai memilih untuk kegunaan kambing pedaging dan masuk ke Sabah
sejak tahun 1992.
3
Gambar 1 Kambing Boer betina di Unit Kambing, Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah (Sumber: JPHPT, Sabah)
Gambar 2 Kelompok kambing Boer di ladang salah satu peternak di Australia
(Sumber: Achjadi RK, Staf Pengajar, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi FKH IPB)
Klasifikasi kambing Boer tersebut menurut Sutama dan Budiarsana (2009)
ialah:
Kingdom
Fillum
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies
: Animalia
: Chordata
: Mamalia
: Artiodactyla
: Ruminansia
: Bovidae
: Caprini
: Capra
: Capra aegragus
Karakteristik kualitatif dan kuantitatif kambing Boer tersebut menurut
Mahmilia dan Tarigan (2004), seperti pada Tabel 1;
4
Tabel 1 Karakteristik Kualitatif dan Kuantitatif Kambing Boer
Karakteristik
Postur tubuh
Warna rambut
Kepala
Tanduk
Telinga
Rambut
Ekor
Bobot tubuh
Tinggi pundak
Panjang badan
Tinggi pinggul
Lebar dada
Lingkar dada
Panjang tanduk
Panjang telinga
Panjang ekor
Lebar ekor
Ciri-ciri
Panjang, dalam dan lebar. Garis punggung realtif lurus dan kokoh
dan bahu bundar.
Pola warna dasar putih dan biasanya dengan kombinasi warna
coklat atau merah bata pada bagian leher dan kepala
Bentuk muka agak cembung, berjenggot dan hidungnya cembung.
Tanduk melengkung ke atas dan ke belakang.
Telinga lebar dan menggantung.
Rambut relatif pendek sampai sedang.
Ekornya pendek dan umumnya mengarah ke depan.
Kambing jantan dewasa antara 80-130 kg atau 110-135 kg (JPHPT
2007), dan betina dewasa antara 50-75 kg atau 90-100 kg (JPHPT
2007).
Kambing jantan dewasa 50-75 cm, kambing betina antara 60-70
cm.
Rataan jantan dewasa, 76,5 ± 6,36 cm; Betina dewasa, 74,33 ±
2,08 cm.
Rataan jantan dewasa, 74,5 ± 2,12 cm; Betina dewasa, 73,67 ±
5,51 cm.
Rataan jantan dewasa, 26 ± 4,24 cm; Betina dewasa, 22 ± 4,36 cm.
Rataan jantan dewasa, 86,75 ± 5,30 cm; Betina dewasa, 83 ± 7,81
cm.
Rataan jantan dewasa, 32,75 ± 1,77 cm; Betina dewasa, 23,5 ±
9,26 cm.
Rataan jantan dewasa, 22 ± 4,95 cm; Betina dewasa, 24,5 ± 1,80
cm.
Rataan jantan dewasa, 15,5 ± 2,12 cm; Betina dewasa, 15 ± 1,73
cm.
Rataan jantan dewasa, 6,25 ± 1,06 cm; Betina dewasa, 7,83 ± 0,58
cm.
Fisiologi Reproduksi
Fisiologi reproduksi mempunyai hubungan erat dengan siklus reproduksi.
Berbagai hal yang mencakup siklus reproduksi antara lain adalah pubertas, siklus
estrus, dan perubahan organ seksual post partus. Siklus ini sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sekitar, genetik, mekanisme hormon, tingkah laku, serta faktorfaktor fisik dan psikis (Hafez, 2000).
Fisiologi Reproduksi Kambing Boer Betina
Pubertas
Pubertas merupakan periode pada saat organ reproduksi betina untuk
pertama kalinya dapat berfungsi. Menurut Hafez (2000), pubertas pertama kali
ditandai dengan proses ovulasi kira-kira 5-7 bulan. Kambing betina mencapai
pubertas sekitar 5-6 bulan, namun akan mencapai pubertas lebih awal sekitar 4
bulan pada anakan yang mendapat nutrisi berupa susu yang baik. Pada kambing
5
Boer betina (Gambar 3), pubertas tercapai pada umur 6 bulan dan pertama kalinya
dapat dikawinkan pada umur 10-12 bulan (Nurrohmawati, 2008).
Gambar 3 Kambing Boer betina (Sumber: JPHPT, Sabah)
Siklus Estrus
Setelah masa pubertas tercapai dan musim reproduksi telah dimulai, estrus
terjadi pada hewan betina yang sedang tidak bunting dan mengikuti suatu siklus
ritmik yang khas. Siklus berahi atau siklus estrus adalah interval antara timbulnya
satu periode berahi ke permulaan periode berahi berikutnya. Mekanisme hormonal
secara langsung yaitu dari ovari dan secara tidak langsung dari kelenjar pituitary
bagian adenohipofise yang mengendalikan siklus estrus ini. Lama estrus kambing
bervariasi tergantung pada bangsa kambing, umur, musim, dan pengaruh dari
hewan jantan itu sendiri (Hafez, 2000).
Siklus estrus umumnya mempunyai 4 fase, yaitu prosetrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Fase sebelum estrus, yaitu periode di mana folikel de
graaf tumbuh di bawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan sejumlah
estradiol yang makin bertambah merupakan fase proestrus (Marawali et al, 2001).
Sistem reproduksi pada fase ini mulai mempersiapkan untuk pelepasan ovum dari
ovarium. Fase estrus merupakan periode yang ditandai dengan penerimaan
pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan
tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri
pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya. Lamanya estrus pada
kambing Boer, umumnya bervariasi, namun rata-rata antara 22-60 jam (Greyling,
2000). Periode segera sesudah estrus di mana corpus luteum bertumbuh cepat dari
sel-sel granulosa folikel yang telah pecah di bawah pengaruh hormon LH dari
adenohipofise merupakan fase metestrus. Metestrus ditandai dengan berhentinya
puncak estrus dan bekas folikel setelah ovulasi mengecil dan berhentinya
pengeluaran lendir. Fase diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus
berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran
reproduksi menjadi nyata (Marawali et al, 2001).
6
Gambar 4 Proses oogenesis (Ldysinger, 2012)
Kebuntingan
Saat setelah terjadi pembuahan (fertilisasi) ovum oleh sperma hingga
lahirnya anak merupakan periode kebuntingan atau gestasi. Lama kebuntingan
ditentukan secara genetik walaupun dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor
maternal, fetus, dan lingkungan. Kebuntingan terbagi dari 3 periode berdasarkan
keadaan embrionya. Periode pertama, embrio sangat sensitif terhadap faktorfaktor berbahaya, seperti virus, protozoa, dan obat-obatan yang dapat
menyebabkan kematian dan cacat. Periode ini berhubungan dengan proses
differensiasi sel dan pembentukan organ. Embrio relatif kurang sensitif terhadap
virus, protozoa, dan obat-obatan menunjukkan keadaan embrio pada periode
kedua. Periode terakhir, embrio akan tumbuh dengan cepat.
Kambing betina yang bunting akan menunjukkan beberapa gejala seperti
tidak adanya tanda-tanda estrus pada siklus estrus berikutnya akibat adanya
hormon progesteron yang dihasilkan dari corpus luteum dan uterus, membesarnya
abdomen sebelah kanan, badan sering digesekkan ke dinding kandang, ambing
mulai membesar, relatif lebih tenang, rambut terlihat lebih bersih, dan menjelang
kelahiran, puting dapat mengeluarkan susu (Mulyono, 2005). Kambing boer
betina setelah melahirkan akan dapat dikawinkan lagi setelah 3 bulan setelah
bunting selama 5 bulan (Nurrohmawati, 2008).
Fisiologi Reproduksi Kambing Boer Jantan
Pubertas
Waktu pubertas pada hewan jantan hampir bersamaan dengan waktu
pubertas hewan betina pada spesies yang sama. Pubertas pada hewan jantan
ditandai oleh sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan seksual, kesanggupan
berkopulasi, dan adanya sperma hidup di dalam ejakulat, namun timbulnya
pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Penjantan Boer
(Gambar 5) mulai aktif kawin pada umur 7-8 bulan, dimana aktivitas seksual ini
bisa dipertahankannya sehingga umur 7-8 tahun (Nurrohmawati, 2008).
7
Gambar 5 Kambing Boer jantan (Sumber: JPHPT, Sabah)
Gambar 6 Proses spermatogenesis (Ldysinger, 2012)
Testis menghasilkan spermatozoa melalui suatu proses yang disebut
spermatogenesis (Gambar 6). Spermatozoa pertama dikeluarkan pada waktu
pubertas. Spermatogenesis merupakan proses yang berkesinambungan selama
hidup dan dimulai dengan pembelahan sel benih atau spermatogenia. Tahap
berikutnya adalah dari spermatogonia menjadi fase spermatosit dan spermatid,
kemudian menjadi spermatozoa bersamaan dengan meiosis atau pengurangan
jumlah kromosom dari diploid (2N) menjadi haploid (H). Sel telur yang telah
dibuahi akan mempunyai 2N (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991).
Produksi Spermatozoa
Hewan jantan setiap harinya dapat memproduksi spermatozoa dalam
jumlah yang banyak. Pejantan dewasa saat ejakulat, menghasilkan spermatozoa
yang berlipat ganda, lebih banyak daripada jumlah yang diperlukan bagi
keberhasilan fertilisasi seekor betina. Beberapa laporan menunjukkan bahwa
8
volume ejakulat kambing Boer cukup tinggi yaitu 1,2-2,03 ml/ejakulat dan 0,691,03 ml/ejakulat (Mahmilia et al., 2006).
Efisiensi Reproduksi
Efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata
oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi ternak (Partodihardjo S,
1980). Hewan betina mampu menghasilkan anak hanya jika dikawinkan dengan
pejantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat dibuahi ovum
dan memulai proses-proses yang berhubungan dengan konsepsi, implantasi, atau
differensiasi normal dari embrio dan pertumbuhan janin. Tingkat kesuburan
kambing betina dapat ditentukan dengan menggunakan parameter seperti Kidding
Internal (KI) dan jarak estrus pertama ke post partus (EI).
Kidding Interval (KI)
Jarak antara dua kelahiran yang berurutan yang dapat dihitung dengan
menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi
konsepsi kembali adalah kidding interval. Menurut Abebe G (2012), Nilai CI pada
kambing sekurang-kurangnya tiga kali dalam 2 tahun (tidak lebih dari 8 bulan).
Jarak Estrus Pertama ke Post Partus (EI)
Involusi uteri atau uterus kembali pada ukuran dan posisi semula dan
mempersiapkan diri untuk kebuntingan berikutnya. Hewan betina sesudah partus
harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan estrus, ovarium dan
organ-organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus
normal dan untuk kebuntingan baru. Lamanya siklus estrus pada kambing
bervariasi antara 18 sampai dengan 22 hari dengan rata-rata 21 hari (Hafez, 2000).
Hormon-hormon Reproduksi
Hormon adalah satu zat yang dihasilkan oleh kelenjar dan disebarkan
melalui peredaran darah untuk memberi efek tertentu pada sel-sel tubuh. Kerja
hormon mempengaruhi kinerja pertumbuhan dan reproduksi. Agar efisien, semua
hormon yang berkaitan dengan repoduksi harus berfungsi secara baik. Beberapa
hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi ternak ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi
Tempat
Dihasilkan
Hipotalamus
Hormon
Jenis/Susunan
Kimia
Releasing Peptida
Gonadotrophin
Hormone (GnRH)
Prolactin
Inhibiting Peptida
Hormone (PIH)
Corticotrophic
Releasing Peptida
Hormone (CRH)
Fungsi
- Pelepas FSH dan LH
- Menahan keluarnya prolaktin
- Pelepas ACTH
9
Pituitari anterior
Follicle
Stimulating Protein
Hormone (FSH)
Luteinizing Hormone (LH)
Protein
Prolaktin (PRL)
Adrenocorticotrophic
Hormone (ACTH)
Oksitosin
Protein
Polipeptida
Estrogen
Steroid
Progesteron
Steroid
Relaksin
Polipeptida
Testis
Inhibin
Androgen (testosterone)
Protein
Steroid
Korteks ginjal
Inhibin
Glucocorticoids (kortisol)
Protein
Steroid
Konseptus
Early pregnancy factor
Protein
Uterus
Trofoblastin
Prostaglandin F2α (PG F2 α)
Protein
Asam lemak
Pituitari
posterior
Ovarium
Plasenta
Peptida
Human
Chorionic Protein
Gonadotrophin (HCG)
Pregnant
Mare
Serum Protein
Gonadotrophin (PMSG)
Gonadotrophin lain
Protein
Estrogen
Steroid
Progesteron
Relaksin
Steroid
Polipeptida
Sumber: Sutama dan Budiarsana, 2009
- Pertumbuhan folikel
- Produksi dan pelepasan
estrogen
- Spermatogenesis
- Ovulasi
- Pembentukan dan fungsi
Corpus Luteum (CL)
- Sintesis susu
- Pelepasan glukokorticoids
- Kelahiran
- Keluarnya susu
- Tingkah laku kawin
-Sifat-sifat seksual sekunder
-Mempertahankan
sistem
saluran ambing betina.
- Pertumbuhan ambing
-Mempertahankan kebuntingan
- Pertumbuhan ambing
- Pembesaran pinggul
- Pengendoran serviks
- Mengurangi konstraksi uterus
- Mencegah pelepasan FSH
- Tingkah laku kawin jantan
- Spermatogenesis
- Mempertahankan system
saluran kelamin jantan
- Mencegah pelepasan FSH
- Kelahiran
- Sintesis susu
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk
- Mempertahankan CL
- Mempertahankan CL
- Regresi CL
- Kelahiran
- Seperti LH
- Seperti LH dan sebagian
seperti LH.
- Supplemen terhadap CL kuda
- Pengenalan kebuntingan pada
kuda
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk pada babi
-Mempertahankan kebuntingan
- Pembesaran pinggul (pelvis)
10
METODE
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan
Desember 2011 di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia.
Materi dan Metode Pelaksanaan
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat
Bioteknologi, JPHPT Keningau, Sabah mulai tahun 2008 sampai 2010 dan JPHPT,
Sabah mulai tahun 2008 sampai 2010. Data tersebut kemudian diolah dan
dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sabah, Malaysia
Sabah (Gambar 7) merupakan salah satu provinsi bagian terbesar kedua di
Malaysia dan terletak di utara Pulau Borneo. Luas dari daerah ini adalah 72.500
km2 dengan pantai sepanjang 1.440 km yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan
di bagian barat, Laut Sulu di bagian timur laut, dan Laut Celebes di bagian selatan.
Sabah dikenal dengan nama Negeri di bawah bayu karena kedudukannya yang
dilewati angin hujan (Sabah Gov, 2012). Salah satu wilayah di Sabah adalah
Keningau yang memiliki luas sebesar 353.274 hektar dan terdiri 14 kecamatan
dan 245 desa. Topografi dari Keningau adalah berbukit-bukit dengan curah hujan
yang sangat tinggi yaitu antara 30% hingga melebihi 100% di atas rata-rata (JMM,
2012). Komoditas utama wilayah ini adalah daging sapi, kerbau, kambing, rusa
dan susu segar (JPHPT, 2012).
Gambar 7 Wilayah di Sabah (JPHPT, 2012)
11
Sejarah Singkat Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia
Gambar 8 Unit Kambing, Pusat Bioteknologi, Keningau (Sumber: JPHPT, Sabah)
Pusat Bioteknologi Keningau (Gambar 8) adalah salah satu pusat yang
didirikan oleh JPHPT Sabah di kota Keningau sebagai usaha untuk meningkatkan
industri ternak ruminan khususnya dalam perbaikan mutu genetiknya. Luas dari
JPHPT adalah 24 hektar yang dulunya merupakan bagian dari Stesen Pembiakan
Ternakan (Balai Pembibitan Ternak) Sebrang. Laboratorium dan kantor
administrasi pusat dibangun dan mulai digunakan pada pertengahan 1998 sebagai
laboratorium pengolahan semen. Pada 2002 hingga 2003, JPHPT berencana untuk
memulai program transfer embrio pada kambing dan sapi, disamping
menjalankan penelitian terhadap semen ternak lain.
Perkembangan Populasi Ternak Kambing
Data perkembangan jumlah populasi ternak kambing Boer di JPHPT
Keningau diperoleh dengan membandingkan jumlah populasi pada tiga tahun
terakhir yaitu tahun 2008, 2009, dan 2010. Perbandingan jumlah populasi dibagi
menjadi populasi induk dan anakan baik hewan jantan maupun betina (Tabel 3).
Data populasi kambing Boer pada tahun 2009 menunjukkan adanya
peningkatan jumlah populasi sebanyak 71 ekor kambing dari 108 ekor kambing
pada tahun 2008. Pada tahun 2010, jumlah populasi kambing Boer mengalami
penurunan sebanyak 63 ekor kambing dari 179 ekor kambing yang diduga akibat
beberapa kasus penyakit seperti melioidiosis dan pasteurellosis yang menyerang
kambing hingga produktivitas kambing menurun dan kematian anak kambing dari
induk yang melahirkan lebih dari dua anak kambing pada tahun 2009.
Pemindahan beberapa ekor kambing Boer dari Unit Kambing, Pusat Bioteknologi
JPHPT Sabah ke beberapa tempat di Sabah juga mengakibatkan penurunan
populasi kambing di JPHPT.
12
Tabel 3 Populasi kambing Boer pada tahun 2008-2010
Struktur
Populasi
Ekor
2008
Persentase
Tahun
2009
Ekor Persentase
Induk
Jantan
9
8
22
12
Betina
65
60
67
37
Anak
16
15
42
24
Jantan
18
17
48
27
Betina
Jumlah
108
100
179
100
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
Ekor
2010
Persentase
30
59
26
51
19
8
116
16
7
100
Pengetahuan Manajemen Ternak
Pengetahuan manajemen ternak kambing untuk para peternak di luar
JPHPT diupayakan melalui pelatihan dan pendidikan dari pemerintah untuk
memberikan pengetahuan mengenai manajemen peternakan kambing secara
cuma-cuma. Peternak di luar JPHPT dapat membeli bakalan induk dari
pemerintah yang disediakan oleh JPHPT Sabah.
Pakan hijauan umum diberikan peternak adalah Pennisetum purpureum atau
dikenali dengan nama rumput gajah (Gambar 9). Ternak menggemari hijauan
tersebut karena lebat daunnya dan garing. Hijauan tersebut dapat menghasilkan
produksi yang tinggi dan tahan kemarau (MARDI 2008). Konsentrat diberikan
terlebih dahulu untuk melancarkan sistem pencernaan ternak sebelum diberikan
hijauan.
Gambar 9 Pennisetum purpureum (MARDI 2008)
Aspek Reproduksi
Pelatihan Inseminasi Buatan (IB) mulai diperkenalkan pada tahun 2011.
Sebelumnya pengelolaan sistem reproduksi ternak pada peternakan umum di luar
JPHPT belum mengenal sistem IB. IB diperkenalkan dengan tujuan untuk
13
memperbanyak jumlah populasi kambing karena banyaknya permintaan induk
oleh peternak untuk dipelihara baik secara individu maupun komersial.
Para peternak umumnya melakukan perkawinan alami pada ternaknya.
Perkawinan secara alami dipilih karena dinilai lebih praktis dan lebih murah.
Perkawinan alami yang dilakukan adalah dengan cara memelihara kambing
pejantan dan kambing betina dalam satu kandang yang sama. Menurut Sutama
dan Budiarsana (2009), kendala yang dihadapi IB pada kambing adalah sulitnya
penetrasi serviks untuk dapat mendeposisikan semen di dalam uterus. Deposisi
semen, umumnya hanya dapat dilakukan di depan seviks atau dalam vagina
sehingga tingkat kebuntingan yang diperoleh rendah (30-56%). Perkawinan secara
alami menjadi pilihan dalam meningkatkan populasi kambing, disamping
perkawinan secara IB tergantung keperluan.
Nilai rataan kidding interval kambing di Sabah adalah 420-450 hari (13-15
bulan), sedangkan nilai rataan siklus estrus (Estrus cycle) adalah 21 hari. Kidding
interval yang diperoleh berada diluar dari nilai optimum, mungkin disebabkan
perubahan suhu yang fluktuatif sehingga menyebabkan siklus estrus bertambah
panjang ( Elieser et al. 2012).
Manajemen Reproduksi Kambing Boer Betina
Pengetahuan mengenai manajemen reproduksi kambing sangat penting
dalam meningkatkan jumlah populasi dari kambing Boer. JPHPT sendiri
menggunakan modifikasi antara perkawinan alami dan inseminasi buatan,
walaupun perkawinan alami lebih banyak digunakan dalam manajemen
reproduksi. Perkawinan alami dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
memelihara jantan dan betina dalam satu kandung ataupun dengan memelihara
jantan dan betina secara terpisah, jantan akan disatukan dengan betina apabila
betina mengalami estrus. Umumnya, perkawinan alami yang dilakukan di JPHPT
adalah dengan memelihara jantan dan betina di dalam satu kandang dengan jantan
berbanding betina yaitu sebesar 1:20 ekor kambing.
Tabel 4 menunjukkan data angka kelahiran dan kematian dari anakan pada
tahun 2008 hingga 2009. Tahun 2008 menunjukkan angka kelahiran sebanyak 19
ekor anak dengan presentasi perbandingan jumlah kelahiran jantan dan betina
50% yang terdiri atas jantan sebanyak 9 ekor dan betina 10 ekor. Angka kematian
pada tahun 2008 menunjukkan kematian sebanyak 4 ekor kambing dengan
perbandingan presentasi kematian jantan dan betina masing-masing sebanyak
50%. Angka kelahiran dan kematian anak pada tahun 2009 masing-masing
meningkat sebanyak 41 ekor anak kambing dan 10 ekor kambing dari tahun
sebelumnya. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2009 menunjukkan angka
kelahiran sebanyak 27 ekor untuk jantan dan selebihnya adalah betina, sedangkan
angka kematiannya sebanyak 4 ekor pada kambing jantan dan 10 ekor pada
kambing betina. Pada tahun 2010, angka kelahiran pada kambing Boer
menunjukan penurunan sebanyak 4 ekor anak kambing dan angka kematian
meningkat sebanyak 5 ekor kambing dari tahun sebelumnya. Berdasarkan dari
data yang diperoleh, menurunnya angka kelahiran pada tahun 2010 diduga akibat
14
tingginya kematian pada anak kambing dari induk yang melahirkan lebih dari dua
anak pada tahun 2009.
Tabel 4 Data Kelahiran dan Kematian anak pada tahun 2008-2010
Jenis
Kelamin
Tahun (ekor)
2009
Lahir
Mati
Lahir
Mati
Jantan
9
2
27
4
Betina
10
2
33
10
Jumlah
19
4
60
14
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
2008
2010
Lahir
31
25
56
Mati
12
7
19
Gangguan Reproduksi dan Penyakit
Salah satu permasalahan umum yang dihadapi oleh JPHPT dan peternak
pada saat ini adalah induk yang melahirkan anak lebih dari satu. Umumnya induk
hanya akan menyusui satu anak dan mengabaikan anak yang lain. Kasus ini
diselesaikan dengan dua cara yaitu dengan memberikan susu formula kepada anak
kambing tersebut dan/atau dengan cara memegang induk kambing, kemudian
anaknya dibiarkan menyusui pada induk tersebut. Tabel 5 menunjukkan data
kelahiran dan kematian anak bagi induk yang melahirkan anak kambing lebih dari
satu ekor anak kambing.
Tabel 5 Data Kelahiran dan Kematian anak bagi induk yang melahirkan anak
kambing lebih dari satu ekor anak kambing
Tahun
Lahir
Mati
(pasang ekor anak)
(ekor)
2008
3
1
2009
19
12
2010
14
5
Jumlah
36
18
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
Tahun 2009 menunjukkan data kematian anak dari induk yang melahirkan
anak kembar paling tinggi yaitu sebesar 31,6% berbanding dengan tahun 2008 dan
2010 masing-masing sebesar 16,7% dan 17,9%. Kekurangan nutrisi pada induk
mengakibatkan ia membiarkan anak kambingnya yang lain diabaikan sehingga
anak kambing tersebut tidak mendapatkan nutrisi dan sistem imunnya juga rendah
dan menyebabkan ia lemah dan mati.
Tabel 6 menunjukkan bahwa kasus Strongylosis merupakan kasus penyakit
tertinggi yang menyerang kambing bagi seluruh Sabah yaitu sebesar 29.5%,
diikuti oleh meliodiosis, koksidiosis, pasteurellosis dan haemonchosis masingmasing sebanyak 28.7%, 22.4%, 12.7%, dan 2.9%. Jenis penyakit lain yang
menyerang pada kambing selama tiga tahun tersebut adalah Monieziosis dan
Salmonellosis dengan presentasi kasus masing-masing sebanyak 2.1% dan 0.8%,
15
sedangkan jenis penyakit seperti Caseous lymphadenitis, Johne’s Disease dan
Heavy worm burden terjadi sebanyak 0.4%. Penyajian Tabel 6 mengambarkan
status penyakit di seluruh Sabah sehingga dapat diketahui solusi penanganan
penyakit dan pusat dapat mempraktikkan sistem penanganan penyakit di kandang
tersebut.
Penyakit endoparasit umumnya ditangani dengan merubah sistem
pemeliharaan kambing dari sistem semi-intensif (siang dilepas, malam di
kandang) menjadi sistem intensif (selalu dikandangkan) karena pengobatan
menggunakan obat anthelmintik tidak lagi digunakan karena parasit telah resistan
terhadap obat anthelmintik seperti Thiabendazole, Levimisole, Ivermectin, dan
Oxfendazole (MARDI 2008). Penyakit yang bersifat zoonosis seperti meliodiosis
dan salmonellosis ditangani dengan menjalankan pemeriksaan penyakit setiap
tahun sehingga hewan yang menunjukkan uji serologi positif akan dipotong.
Penanganan penyakit yang diterapkan oleh pihak JPHPT umumnya adalah dengan
merubah sistem pemeliharaan kambing dan pakan yang diberikan mengikut sistem
potong dan angkut dimana, pakan diberikan di dalam kandang. Jenis kandang
kambing yang digunakan di pusat ini adalah kandang panggung (Gambar 10).
Tabel 6 Data Penyakit pada Kambing di Seluruh Sabah pada Tahun 2008-2010
Penyakit
2008
2009
2010
Total
(ekor)
Strongylosis
7
34
29
70
29,5
Meliodiosis
5
24
38
67
28,7
Koksidiosis
25
14
14
53
22,4
Pasteurellosis
17
12
1
30
12,7
Haemonchosis
4
3
0
7
2,9
Monieziosis
0
2
3
5
2,1
Salmonellosis
0
2
0
2
0,8
Caseous
lymphadenitis
1
0
0
1
0,4
Johne’s Disease
0
1
0
1
0,4
Heavy worm burden
(Srkjabinema ovis)
0
0
1
1
0,4
Jumlah
59
92
86
237
100
Sumber: JPHPT, Sabah
Tahun (ekor)
Persentase
(%)
16
Gambar 10 Kandang panggung di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah
(JPHPT, Sabah).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai rataan kidding interval kambing di Sabah adalah 420-450 hari (13-15
bulan), sedangkan nilai rataan siklus estrus kambing adalah 21 hari. Nilai kidding
interval berada di luar dari nilai optimum, disebabkan perubahan suhu yang
fluktuatif sehingga menyebabkan siklus estrus bertambah panjang. Populasi
kambing menurun pada tahun 2010 karena banyaknya kambing betina mati dan
perpindahan kambing dari pusat tersebut ke beberapa lokasi di Sabah. Metode
perkawinan kambing di JPHPT masih menggunakan cara perkawinan alami dan
kemudian dimodifikasi dengan sistem inseminasi buatan (IB) yang baru
diperkenalkan pada tahun 2011. Kasus penyakit yang menyerang pada kambing
dan mengakibatkan penurunan produksi kambing diantaranya adalah Strongylosis
(29,5%), Meliodiosis (28,7%), Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Pihak JPHPT menangani masalah tersebut umumnya dengan mengganti sistem
pemeliharaan kambing dari sistem semi-intensif (siang dilepas, malam dikandang)
menjadi sistem intensif (selalu dikandangkan).
Saran
Penambahan beberapa dokter hewan di kandang diharapkan dapat
mengurangi kasus penyakit di pusat tersebut.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abebe G. 2012. Reproduction in Sheep and Goats [internet]. [diacu 2012 Des 15].
Tersedia dari: http://www.esgpip.org/handbook/Handbook_PDF/Chapter%
205_%20Reproduction%20in%20Sheep%20and%20Goats.pdf
Achjadi RK. 2007. Manajemen Pengembangan Bioteknologi Reproduksi pada
Kambing. Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. [tidak dipublikasikan]
[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2007. Melioidosis
[internet]. [diacu 2012 Sep 30]. Tersedia dari: http: //www.cfsph.iastate.
edu/Factsheets/pdfs/melioidosis.pdf
Elieser S, Sumadi, Budisatria GS, Subandriyo. 2012. Productivity comparison
between Boer and Kacang Goat dam. J. Indonesian Trop. Anim. Agric
37(1):15-21
Fatet A, Pellicer-Rubio MT, Leboeuf B. 2010. Reproductive cycle of goats. Ani
Repro Sci 124(2011):211-219. doi:10.1016/j.anireprosci.2010.08.029
Greyling JPC. 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Small Ruminant
Res 36(2000):171-177.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed 7.Philadelphia: Lea and
Fabiger
Ldysinger. 2012. Spermatogenesis and Oogenesis [internet]. [diacu 2012 Mei 29].
Tersedia dari: http://ldysinger.stjohnsem.edu/ThM_599d_Beg/02_Biology
/02_spermat-oogen.htm
[JMM] Jabatan Meteolorogi Malaysia. 2012. Statistik Hujan Bulanan Bagi Sabah
Dan Sarawak [internet]. [Diunduh 2012 Nov 30]. Tersedia dari:
http://www.met.gov.my/images/Docs/laporan_monsun.pdf
[JPHPT] Jabatan Perkhidmatan Haiwan dan Perusahaan Ternak. 2007. Baka
Kambing [internet]. [diacu 2011 Jul 21]. Tersedia dari:
http://vet.sabah.gov.my/sites/default/files/file_upload/pamphlet/Baka%20
Kambing.pdf
. 2012. Wilayah [internet]. [diacu 2012 Oct 21]. Tersedia dari:
http://vet.sabah.gov.my/index.php?q=content/wilayah
Mahmilia F, Doloksaribu M, dan Pamungkas FA. 2006. Karakteristik Semen
Kambing Boer [internet]. [diacu 2012 Mei 29]. Tersedia dari:
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro06-79.pdf
Mahmilia F dan Tarigan A. 2004. Karakteristik morfologi dan performans
kambing Kacang, kambing Boer dan persilangannya [internet]. [diacu
2012
Aug
5].
Tersedia
dari:
http://peternakan.litbang.
4deptan.go.id/fullteks/lokakarya/prokpo04-23.pdf
Malan SW. 2000. The improved Boer goat. Small Ruminant Res 36(2000):165170
Marawali A, Hine MT, Burhanuddin, dan Belli HLL. 2001. Dasar-dasar ilmu
reproduksi ternak.Jakarta:Departemen Pendidikan nasional direktorat
pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia
Timur.
18
[MARDI] Malaysian Agricultural Research and Development Instiute. 2008.
Penternakan Boer untuk usahawan. Mohamed WZ, Amin MNM, Azmin AA,
editor. Malaysia: Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani.
Mashishi MSK. 2007. Respiratory disease in goats and sheep [internet]. [diacu
2012 Sep 30]. Tersedia dari: http://www.nda.agric.za/docs/Infopaks/
Respiratorydiseases.pdf
Mulyono S. 2005. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar
Swadaya
New Sabah Times. 2012. Profile [internet]. [diacu 2012 Jun 8]. Tersedia dari:
//www.newsabahtimes. com.my/nstweb/profile
Nurrohmawati L. 2008. Berharap Kemakmuran dari Kambing Boer [internet].
[diacu 2012 Mei 12]. Tersedia dari: http://www.suaramerdeka.com/v1/
index.php/read/cetak/2008/05/12/12942/Berharap-Kemakmuran-dariKambing-Boer
Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan, edisi 1. Jakarta: Mutiara Sumber
Widjaya
[Sabah Gov] Sabah Goverment. 2012. Pengenalan Kepada Sabah [internet].
[diacu 2012 Jun 7]. Tersedia dari: http://www.sabah.gov.my/about.asp [7
Juni 2012].
Sarwono B. 2008. Beternak Kambing Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya
Schoenion S. 2012. The internal parasites that affect sheep and goats [internet].
[diacu 2012 Okt 18]. Tersedia dari: http://www.sheepandgoat.com/
articles/sheepgoatparasites.pdf
Sutama IK dan Budiarsana IGM. 2009. Panduan Lengkap Kambing dan
Domba.Jakarta:Penebar Swadaya
Wodzicka-Tomaszewska M, Sutama IK, Putu IG, dan Chaniago TD. 1991.
Reproduksi, Tingkah laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
19
LAMPIRAN
Struktur Organisasi
Bagan 1 Struktur Organisasi Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau Tahun 2010
PENGARAH
(Direktorat Jenderal)
Jabatan Perkhidmatan Haiwan dan Perusahaan Ternak Sabah
TIMBALAN PENGARAH
(Wakil Direktorat Jenderal)
Bahagian Pengeluaran & Penyelidikan
(Divisi Pengeluaran & Penyelidikan)
PENOLONG PENGARAH
(Deptan)
Bahagian Bioteknologi
PEGAWAI PENGUASA
(Dokter Hewan)
PEMBANTU VETERINAR
(Wakil Dokter Hewan)
PEMBANTU AM RENDAH
(Karyawan)
PEKERJA RENDAH
AWAM
(Karyawan)
PEMANDU (Sopir)
TUKANG PAM
(Montir)
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
PEKERJA RENDAH
AWAM (Karyawan)
(Gaji Hari)
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 23 Oktober 1988
sebagai anak sulung dari enam bersaudara pasangan Bapak Jubidin Bin Erak dan
Ibu Rusina @ Victoria Malasius @ Dumporoh.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SK Sungai Damit, Tamparuli,
Sabah pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMK Sungai Damit,
Tamparuli, Sabah dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2007, penulis menyelesaikan
pendidikan pra universitas di SMK Tamparuli, Sabah. Penulis diterima menjadi
mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB ( USMI ) pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis aktif
dalam organisasi internal kampus Himpunan Minat Profesi ( HIMPRO ) Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) IPB dan juga eksternal kampus,
yaitu Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia ( PKPMI ) Cabang
Bogor sebagai Timbalan Pengerusi Tetap bagi sesi 2011/2012.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Boer (Capra aegragus) merupakan kambing pedaging unggul
yang memiliki karakteristik yang khas, meliputi ciri fisik kambing (bobot badan,
ukuran badan, warna rambut), produksi (laju pertumbuhan badan dan berat badan
yang relatif cepat), serta penampilan reproduksinya (fisiologi reproduksi jantan
dan betina. Kambing ini berasal dari Afrika Selatan dan masuk ke Sabah sejak
tahun 1992. Laju pertumbuhan yang cepat, karakteristik sifat yang jinak, dan
kandungan protein yang tinggi dari daging kambing ini menyebabkan kambing
Boer banyak diternakan sebagai kambing pedaging.
Permintaan daging kambing sebagai substitusi daging sapi sekarang ini
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi, perkembangan
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Permintaan daging kambing di Sabah,
Malaysia, cukup tinggi namun pemerintah hanya mampu memenuhi sebanyak
10% dari jumlah permintaan dan selebihnya pemerintah melakukan impor daging
beku kambing dari Australia. Hal ini mengakibatkan perlu adanya suatu usaha
untuk memenuhi jumlah permintaan kambing pedaging. Sifat unggul kambing
Boer ini menjadikan pilihan utama para peternak untuk mendapatkan dagingnya.
Sabah merupakan provinsi bagian dari Malaysia yang berada di Kepulauan
Borneo. Letak geografis dan topografi dari Sabah sangat berpotensi untuk
melakukan perkembangbiakan kambing pedaging terutama kambing Boer. Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau didirikan untuk mengembangkan kambing Boer
sebagai kambing pedaging untuk memenuhi kebutuhan daging kambing di Sabah.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangbiakan kambing
Boer namun pengetahuan dalam pengembangbiakan dan manajemen kambing
Boer di Sabah masih rendah. Berdasarkan alasan tersebut maka dilakukan studi
kasus untuk mengetahui manajemen pemeliharaan kambing Boer sehingga dapat
dijadikan sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuan para peternak dan
masyarakat.
Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain adalah mempelajari manajemen
pemeliharaan kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul
dalam pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya, serta
mengetahui penampilan reproduksi kambing Boer sebagai upaya untuk
peningkatan populasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai penampilan reproduksi kambing Boer di Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah, Malaysia serta upaya peningkatan populasi dan
produktivitasnya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
Asia merupakan pusat domestikasi kambing. Domestikasi kambing
diperkirakan terjadi 9.000 sampai 11.000 tahun sebelumnya. Kambing merupakan
hewan ternak yang pertama kali didomestikasikan atau nomor dua setelah anjing.
Nenek moyang ternak kambing tersebut diyakini berasal dari hewan bezoar atau
kambing jinak ( Capra aegragus hircus) yang merupakan subspecies dari Capra
aegragus (kambing liar aegragus).
Ternak kambing digolongkan menjadi 6 kelompok, yaitu berdasarkan
daerah asal, kegunaan, ukuran tubuh, bentuk telinga, panjang telinga, serta tanduk.
Penggolongan berdasarkan daerah asal memberi petunjuk kemampuan adaptasi
terhadap iklim dan kondisi lingkungan tertentu. Berdasarkan kegunaannya,
kambing diklasifikasikan atas produk yang dihasilkan, yaitu susu (kambing perah),
daging (kambing potong), dan bulu (Khasmier).
Perbedaan ukuran tubuh kambing umumnya ditentukan dengan
menggunakan tinggi pundak. Kambing dapat digolongkan atas tiga kelompok
berdasarkan cara ini, yaitu kelompok besar (di atas 65 cm), kecil (51-65 cm), dan
kerdil atau mini (kurang dari 50 cm). Kambing kelompok besar dengan berat
tubuh diantara 20-63 kg untuk produksi daging dan/atau susu. Kelompok kecil
dengan berat tubuh diantara 19-37 kg dan kelompok mini dengan berat tubuh
diantara 18-25 kg dipelihara untuk produksi daging. Bentuk telinganya
digolongkan berdasarkan daun telinga (terbuka lebar atau melipat) dan ukuran
panjang telinga (pendek, sedang, dan panjang) yang sangat spesifik untuk setiap
breed tertentu. Bentuk telinga sering menjadi faktor yang mempengaruhi harga
ternak bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tanduk yang digolongkan
menjadi panjang, pendek, a
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia).
Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Studi kasus ini bertujuan untuk mempelajari manajemen pemeliharaan
kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul dalam
pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya serta mengetahui
penampilan reproduksi kambing Boer untuk peningkatan populasi. Data populasi
yang diperoleh pada tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 108, 179,
dan 116 ekor kambing. Data kelahiran ketiga tahun tersebut masing-masing
adalah 19, 60 dan 56 ekor anak kambing dengan data kematian masing-masing
sebanyak 4, 14, dan 19 ekor kambing. Hasil studi menunjukkan metode
perkawinan kambing digunakan cara perkawinan alami dan inseminasi buatan
(IB) baru diperkenalkan pada tahun 2011. Masalah reproduksi yang ditemukan di
pusat ini adalah induk yang melahirkan dua ekor anak, hanya akan menyusui satu
ekor anaknya dan satu ekornya lagi akan diabaikan. Kasus penyakit yang tertinggi
yang menyerang pada kambing adalah Strongylosis (29,5%), Meliodiosis (28,7%),
Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Kata kunci: kambing boer, penampilan reproduksi, pusat bioteknologi, sabah
ABSTRACT
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. The Appearance of Boer Goat’s
Reproduction (Case Study at Biotechnology Center JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia). Supervised by R. KURNIA ACHJADI.
The aim of this research was to study the management of Boer goat
handling, to identify the impacts that often risen in Boer goat handling and search
for solution and to determine the increased appearance of Boer goat reproduction
for population. Population data that is obtained in 2008, 2009 and 2010 amounted
to 108, 179 and 116 goats respectively. Birth data for the three years respectively
was 19, 60 and 56 goatling with their mortality data by 4, 14 and 19 goats. The
results of this study showed that the method of goat breeding is still used mating
and artificial insemination (AI) was introduced in 2011. Reproductive problems
that arise at the center is the goats who gave birth of goats, only first/second
goatling would be nursed and the other goatling will be ignored. The highest case
of disease that infected the goat was Strongylosis (29.5%), Meliodiosis (28.7%),
Coccidiosis (22.4%) and Pasteurellosis (12.7%) respectively.
Keywords: Biotechnology Center, Boer goats, reproductive performance, Sabah
PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING BOER
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi Jabatan Perkhidmatan
Haiwan dan Perusahaan Ternak (JPHPT) Keningau, Sabah,
Malaysia)
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penampilan
Reproduksi Kambing Boer (Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau,
Sabah, Malaysia) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Syafiah Norsyamimi Jubidin
NIM B04088006
ABSTRAK
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia).
Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Studi kasus ini bertujuan untuk mempelajari manajemen pemeliharaan
kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul dalam
pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya serta mengetahui
penampilan reproduksi kambing Boer untuk peningkatan populasi. Data populasi
yang diperoleh pada tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 108, 179,
dan 116 ekor kambing. Data kelahiran ketiga tahun tersebut masing-masing
adalah 19, 60 dan 56 ekor anak kambing dengan data kematian masing-masing
sebanyak 4, 14, dan 19 ekor kambing. Hasil studi menunjukkan metode
perkawinan kambing digunakan cara perkawinan alami dan inseminasi buatan
(IB) baru diperkenalkan pada tahun 2011. Masalah reproduksi yang ditemukan di
pusat ini adalah induk yang melahirkan dua ekor anak, hanya akan menyusui satu
ekor anaknya dan satu ekornya lagi akan diabaikan. Kasus penyakit yang tertinggi
yang menyerang pada kambing adalah Strongylosis (29,5%), Meliodiosis (28,7%),
Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Kata kunci: kambing boer, penampilan reproduksi, pusat bioteknologi, sabah
ABSTRACT
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN. The Appearance of Boer Goat’s
Reproduction (Case Study at Biotechnology Center JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia). Supervised by R. KURNIA ACHJADI.
The aim of this research was to study the management of Boer goat
handling, to identify the impacts that often risen in Boer goat handling and search
for solution and to determine the increased appearance of Boer goat reproduction
for population. Population data that is obtained in 2008, 2009 and 2010 amounted
to 108, 179 and 116 goats respectively. Birth data for the three years respectively
was 19, 60 and 56 goatling with their mortality data by 4, 14 and 19 goats. The
results of this study showed that the method of goat breeding is still used mating
and artificial insemination (AI) was introduced in 2011. Reproductive problems
that arise at the center is the goats who gave birth of goats, only first/second
goatling would be nursed and the other goatling will be ignored. The highest case
of disease that infected the goat was Strongylosis (29.5%), Meliodiosis (28.7%),
Coccidiosis (22.4%) and Pasteurellosis (12.7%) respectively.
Keywords: Biotechnology Center, Boer goats, reproductive performance, Sabah
PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING BOER
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah,
Malaysia)
SYAFIAH NORSYAMIMI JUBIDIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Penampilan Reproduksi Kambing Boer (Studi Kasus di Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia)
Nama
: Syafiah Norsyamimi Jubidin
NIM
: B04088006
Disetujui oleh
drh.R. Kurnia Achjadi, MS
NIP. 19500907 197603 1 002
Pembimbing
Diketahui oleh
drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan lapangan
dan penulisan skripsi yang berjudul Penampilan Reproduksi Kambing Boer
(Studi Kasus di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia) yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, bantuan, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT.
2. Kedua orang tuaku tercinta, Ayah dan Ibu, dan adik-adikku Ira, Nonoi,
Killa, Toha dan Inaz yang selalu mendoakan, mendidik dan mendukung
kepada penulis selama menjadi mahasiswa sampai menyelesaikan
penulisan skripsi ini..
3. Drh. R. Kurnia Achjadi, MS, sebagai pembimbing skripsi yang dengan
sabar memberikan bimbingannya kepada penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, P.hD sebagai pembimbing akademik
yang telah membantu selama penulis menjalankan studi di FKH IPB.
5. Pihak Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah dan JPHPT Sabah,
Malaysia karena memberikan ijin dalam pengambilan data bagi
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kedokteran Hewan.
7. Pihak Biasiswa Kerajaan Negeri Sabah, Jabatan Perkhidmatan Awan
Negeri Sabah terutama En. Sebrini dan Puan Mahasitah karena banyak
membantu dari segi keuangan.
8. Kak Astri dan Kak Kuya yang sama-sama memberikan bantuan dan
dukungan semasa penulisan skripsi ini.
9. Rekan-rekanku FKH 45 “AVENZOAR” yang telah bersama-sama
berjuang dalam menempuh studi di FKH IPB.
10. Rekan-rekan mahasiswa Malaysia angkatan 42, 44, 45, 46, 47, dan 48.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan materil yang
penulis tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Syafiah Norsyamimi Jubidin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
2
Sejarah Singkat Kambing Boer di Sabah
2
Fisiologi Reproduksi
4
Efisiensi Reproduksi
8
Hormon-hormon Reproduksi
8
METODE
10
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
10
Materi dan Metode
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Gambaran Umum Sabah, Malaysia
10
Sejarah Singkat Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia
11
Perkembangan Populasi Ternak Kambing
11
Pengetahuan Manajemen Ternak
12
Aspek Reproduksi
12
Manajemen Reproduksi Kambing Boer Betina
13
Gangguan Reproduksi dan Penyakit
14
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
20
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Karakteristik Kualitatif dan Kuantitatif Kambing Boer
Hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi
Populasi kambing Boer pada tahun 2008-2010
Data Kelahiran dan Kematian anak pada tahun 2008-2010
Data Kelahiran dan Kematian anak bagi induk yang melahirkan anak
kambing lebih dari satu ekor anak kambing
6 Data Penyakit pada kambing di seluruh Sabah pada tahun 2008-2010
4
8
12
14
14
15
DAFTAR GAMBAR
1 Kambing Boer betina di Unit Kambing, Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah
2 Kelompok kambing Boer di ladang salah satu peternak di Australia
3 Kambing Boer betina
4 Proses oogenesis
5 Kambing Boer jantan
6 Proses spermatogenesis
7 Wilayah di Sabah
8 Unit Kambing, Pusat Bioteknologi, Keningau
9 Pennisetum purpureum
10 Kandang panggung di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah
3
3
5
6
7
7
10
11
12
16
DAFTAR BAGAN
1 Struktur organisasi Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau tahun 2010
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Boer (Capra aegragus) merupakan kambing pedaging unggul
yang memiliki karakteristik yang khas, meliputi ciri fisik kambing (bobot badan,
ukuran badan, warna rambut), produksi (laju pertumbuhan badan dan berat badan
yang relatif cepat), serta penampilan reproduksinya (fisiologi reproduksi jantan
dan betina. Kambing ini berasal dari Afrika Selatan dan masuk ke Sabah sejak
tahun 1992. Laju pertumbuhan yang cepat, karakteristik sifat yang jinak, dan
kandungan protein yang tinggi dari daging kambing ini menyebabkan kambing
Boer banyak diternakan sebagai kambing pedaging.
Permintaan daging kambing sebagai substitusi daging sapi sekarang ini
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi, perkembangan
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Permintaan daging kambing di Sabah,
Malaysia, cukup tinggi namun pemerintah hanya mampu memenuhi sebanyak
10% dari jumlah permintaan dan selebihnya pemerintah melakukan impor daging
beku kambing dari Australia. Hal ini mengakibatkan perlu adanya suatu usaha
untuk memenuhi jumlah permintaan kambing pedaging. Sifat unggul kambing
Boer ini menjadikan pilihan utama para peternak untuk mendapatkan dagingnya.
Sabah merupakan provinsi bagian dari Malaysia yang berada di Kepulauan
Borneo. Letak geografis dan topografi dari Sabah sangat berpotensi untuk
melakukan perkembangbiakan kambing pedaging terutama kambing Boer. Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau didirikan untuk mengembangkan kambing Boer
sebagai kambing pedaging untuk memenuhi kebutuhan daging kambing di Sabah.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangbiakan kambing
Boer namun pengetahuan dalam pengembangbiakan dan manajemen kambing
Boer di Sabah masih rendah. Berdasarkan alasan tersebut maka dilakukan studi
kasus untuk mengetahui manajemen pemeliharaan kambing Boer sehingga dapat
dijadikan sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuan para peternak dan
masyarakat.
Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain adalah mempelajari manajemen
pemeliharaan kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul
dalam pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya, serta
mengetahui penampilan reproduksi kambing Boer sebagai upaya untuk
peningkatan populasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai penampilan reproduksi kambing Boer di Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah, Malaysia serta upaya peningkatan populasi dan
produktivitasnya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
Asia merupakan pusat domestikasi kambing. Domestikasi kambing
diperkirakan terjadi 9.000 sampai 11.000 tahun sebelumnya. Kambing merupakan
hewan ternak yang pertama kali didomestikasikan atau nomor dua setelah anjing.
Nenek moyang ternak kambing tersebut diyakini berasal dari hewan bezoar atau
kambing jinak ( Capra aegragus hircus) yang merupakan subspecies dari Capra
aegragus (kambing liar aegragus).
Ternak kambing digolongkan menjadi 6 kelompok, yaitu berdasarkan
daerah asal, kegunaan, ukuran tubuh, bentuk telinga, panjang telinga, serta tanduk.
Penggolongan berdasarkan daerah asal memberi petunjuk kemampuan adaptasi
terhadap iklim dan kondisi lingkungan tertentu. Berdasarkan kegunaannya,
kambing diklasifikasikan atas produk yang dihasilkan, yaitu susu (kambing perah),
daging (kambing potong), dan bulu (Khasmier).
Perbedaan ukuran tubuh kambing umumnya ditentukan dengan
menggunakan tinggi pundak. Kambing dapat digolongkan atas tiga kelompok
berdasarkan cara ini, yaitu kelompok besar (di atas 65 cm), kecil (51-65 cm), dan
kerdil atau mini (kurang dari 50 cm). Kambing kelompok besar dengan berat
tubuh diantara 20-63 kg untuk produksi daging dan/atau susu. Kelompok kecil
dengan berat tubuh diantara 19-37 kg dan kelompok mini dengan berat tubuh
diantara 18-25 kg dipelihara untuk produksi daging. Bentuk telinganya
digolongkan berdasarkan daun telinga (terbuka lebar atau melipat) dan ukuran
panjang telinga (pendek, sedang, dan panjang) yang sangat spesifik untuk setiap
breed tertentu. Bentuk telinga sering menjadi faktor yang mempengaruhi harga
ternak bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tanduk yang digolongkan
menjadi panjang, pendek, atau tidak bertanduk (Sutama dan Budiarsana, 2009).
Sejarah Singkat Kambing Boer di Sabah
Menurut JPHPT (2007), kambing Boer juga dikenal dengan nama
Africanda, Africaner dan South African kambing yang dikembangbiakkan dari ras
asli dengan sedikit persilangan dari Eropa, Angora dan kambing India yang telah
dikembangbiakkan beberapa tahun sebelumnya. Sebagian peneliti menyetujui
bahwa populasi ras asli berkemungkinan berasal dari Namaqua Hotentos dan dari
arah selatan perpindahan Suku Bantu. Kata “Boer” berasal dari kata Belanda yang
bermaksud peternak dan mungkin digunakan untuk membedakan kambing yang
berasal dari Angora yang telah diimpor ke Afrika Selatan waktu abad ke-19.
Tahun 1900, kambing Boer telah diperkenalkan ketika peternak di Easter Capa
Privince mulai memilih untuk kegunaan kambing pedaging dan masuk ke Sabah
sejak tahun 1992.
3
Gambar 1 Kambing Boer betina di Unit Kambing, Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah (Sumber: JPHPT, Sabah)
Gambar 2 Kelompok kambing Boer di ladang salah satu peternak di Australia
(Sumber: Achjadi RK, Staf Pengajar, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi FKH IPB)
Klasifikasi kambing Boer tersebut menurut Sutama dan Budiarsana (2009)
ialah:
Kingdom
Fillum
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies
: Animalia
: Chordata
: Mamalia
: Artiodactyla
: Ruminansia
: Bovidae
: Caprini
: Capra
: Capra aegragus
Karakteristik kualitatif dan kuantitatif kambing Boer tersebut menurut
Mahmilia dan Tarigan (2004), seperti pada Tabel 1;
4
Tabel 1 Karakteristik Kualitatif dan Kuantitatif Kambing Boer
Karakteristik
Postur tubuh
Warna rambut
Kepala
Tanduk
Telinga
Rambut
Ekor
Bobot tubuh
Tinggi pundak
Panjang badan
Tinggi pinggul
Lebar dada
Lingkar dada
Panjang tanduk
Panjang telinga
Panjang ekor
Lebar ekor
Ciri-ciri
Panjang, dalam dan lebar. Garis punggung realtif lurus dan kokoh
dan bahu bundar.
Pola warna dasar putih dan biasanya dengan kombinasi warna
coklat atau merah bata pada bagian leher dan kepala
Bentuk muka agak cembung, berjenggot dan hidungnya cembung.
Tanduk melengkung ke atas dan ke belakang.
Telinga lebar dan menggantung.
Rambut relatif pendek sampai sedang.
Ekornya pendek dan umumnya mengarah ke depan.
Kambing jantan dewasa antara 80-130 kg atau 110-135 kg (JPHPT
2007), dan betina dewasa antara 50-75 kg atau 90-100 kg (JPHPT
2007).
Kambing jantan dewasa 50-75 cm, kambing betina antara 60-70
cm.
Rataan jantan dewasa, 76,5 ± 6,36 cm; Betina dewasa, 74,33 ±
2,08 cm.
Rataan jantan dewasa, 74,5 ± 2,12 cm; Betina dewasa, 73,67 ±
5,51 cm.
Rataan jantan dewasa, 26 ± 4,24 cm; Betina dewasa, 22 ± 4,36 cm.
Rataan jantan dewasa, 86,75 ± 5,30 cm; Betina dewasa, 83 ± 7,81
cm.
Rataan jantan dewasa, 32,75 ± 1,77 cm; Betina dewasa, 23,5 ±
9,26 cm.
Rataan jantan dewasa, 22 ± 4,95 cm; Betina dewasa, 24,5 ± 1,80
cm.
Rataan jantan dewasa, 15,5 ± 2,12 cm; Betina dewasa, 15 ± 1,73
cm.
Rataan jantan dewasa, 6,25 ± 1,06 cm; Betina dewasa, 7,83 ± 0,58
cm.
Fisiologi Reproduksi
Fisiologi reproduksi mempunyai hubungan erat dengan siklus reproduksi.
Berbagai hal yang mencakup siklus reproduksi antara lain adalah pubertas, siklus
estrus, dan perubahan organ seksual post partus. Siklus ini sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sekitar, genetik, mekanisme hormon, tingkah laku, serta faktorfaktor fisik dan psikis (Hafez, 2000).
Fisiologi Reproduksi Kambing Boer Betina
Pubertas
Pubertas merupakan periode pada saat organ reproduksi betina untuk
pertama kalinya dapat berfungsi. Menurut Hafez (2000), pubertas pertama kali
ditandai dengan proses ovulasi kira-kira 5-7 bulan. Kambing betina mencapai
pubertas sekitar 5-6 bulan, namun akan mencapai pubertas lebih awal sekitar 4
bulan pada anakan yang mendapat nutrisi berupa susu yang baik. Pada kambing
5
Boer betina (Gambar 3), pubertas tercapai pada umur 6 bulan dan pertama kalinya
dapat dikawinkan pada umur 10-12 bulan (Nurrohmawati, 2008).
Gambar 3 Kambing Boer betina (Sumber: JPHPT, Sabah)
Siklus Estrus
Setelah masa pubertas tercapai dan musim reproduksi telah dimulai, estrus
terjadi pada hewan betina yang sedang tidak bunting dan mengikuti suatu siklus
ritmik yang khas. Siklus berahi atau siklus estrus adalah interval antara timbulnya
satu periode berahi ke permulaan periode berahi berikutnya. Mekanisme hormonal
secara langsung yaitu dari ovari dan secara tidak langsung dari kelenjar pituitary
bagian adenohipofise yang mengendalikan siklus estrus ini. Lama estrus kambing
bervariasi tergantung pada bangsa kambing, umur, musim, dan pengaruh dari
hewan jantan itu sendiri (Hafez, 2000).
Siklus estrus umumnya mempunyai 4 fase, yaitu prosetrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Fase sebelum estrus, yaitu periode di mana folikel de
graaf tumbuh di bawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan sejumlah
estradiol yang makin bertambah merupakan fase proestrus (Marawali et al, 2001).
Sistem reproduksi pada fase ini mulai mempersiapkan untuk pelepasan ovum dari
ovarium. Fase estrus merupakan periode yang ditandai dengan penerimaan
pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan
tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri
pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya. Lamanya estrus pada
kambing Boer, umumnya bervariasi, namun rata-rata antara 22-60 jam (Greyling,
2000). Periode segera sesudah estrus di mana corpus luteum bertumbuh cepat dari
sel-sel granulosa folikel yang telah pecah di bawah pengaruh hormon LH dari
adenohipofise merupakan fase metestrus. Metestrus ditandai dengan berhentinya
puncak estrus dan bekas folikel setelah ovulasi mengecil dan berhentinya
pengeluaran lendir. Fase diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus
berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran
reproduksi menjadi nyata (Marawali et al, 2001).
6
Gambar 4 Proses oogenesis (Ldysinger, 2012)
Kebuntingan
Saat setelah terjadi pembuahan (fertilisasi) ovum oleh sperma hingga
lahirnya anak merupakan periode kebuntingan atau gestasi. Lama kebuntingan
ditentukan secara genetik walaupun dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor
maternal, fetus, dan lingkungan. Kebuntingan terbagi dari 3 periode berdasarkan
keadaan embrionya. Periode pertama, embrio sangat sensitif terhadap faktorfaktor berbahaya, seperti virus, protozoa, dan obat-obatan yang dapat
menyebabkan kematian dan cacat. Periode ini berhubungan dengan proses
differensiasi sel dan pembentukan organ. Embrio relatif kurang sensitif terhadap
virus, protozoa, dan obat-obatan menunjukkan keadaan embrio pada periode
kedua. Periode terakhir, embrio akan tumbuh dengan cepat.
Kambing betina yang bunting akan menunjukkan beberapa gejala seperti
tidak adanya tanda-tanda estrus pada siklus estrus berikutnya akibat adanya
hormon progesteron yang dihasilkan dari corpus luteum dan uterus, membesarnya
abdomen sebelah kanan, badan sering digesekkan ke dinding kandang, ambing
mulai membesar, relatif lebih tenang, rambut terlihat lebih bersih, dan menjelang
kelahiran, puting dapat mengeluarkan susu (Mulyono, 2005). Kambing boer
betina setelah melahirkan akan dapat dikawinkan lagi setelah 3 bulan setelah
bunting selama 5 bulan (Nurrohmawati, 2008).
Fisiologi Reproduksi Kambing Boer Jantan
Pubertas
Waktu pubertas pada hewan jantan hampir bersamaan dengan waktu
pubertas hewan betina pada spesies yang sama. Pubertas pada hewan jantan
ditandai oleh sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan seksual, kesanggupan
berkopulasi, dan adanya sperma hidup di dalam ejakulat, namun timbulnya
pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Penjantan Boer
(Gambar 5) mulai aktif kawin pada umur 7-8 bulan, dimana aktivitas seksual ini
bisa dipertahankannya sehingga umur 7-8 tahun (Nurrohmawati, 2008).
7
Gambar 5 Kambing Boer jantan (Sumber: JPHPT, Sabah)
Gambar 6 Proses spermatogenesis (Ldysinger, 2012)
Testis menghasilkan spermatozoa melalui suatu proses yang disebut
spermatogenesis (Gambar 6). Spermatozoa pertama dikeluarkan pada waktu
pubertas. Spermatogenesis merupakan proses yang berkesinambungan selama
hidup dan dimulai dengan pembelahan sel benih atau spermatogenia. Tahap
berikutnya adalah dari spermatogonia menjadi fase spermatosit dan spermatid,
kemudian menjadi spermatozoa bersamaan dengan meiosis atau pengurangan
jumlah kromosom dari diploid (2N) menjadi haploid (H). Sel telur yang telah
dibuahi akan mempunyai 2N (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991).
Produksi Spermatozoa
Hewan jantan setiap harinya dapat memproduksi spermatozoa dalam
jumlah yang banyak. Pejantan dewasa saat ejakulat, menghasilkan spermatozoa
yang berlipat ganda, lebih banyak daripada jumlah yang diperlukan bagi
keberhasilan fertilisasi seekor betina. Beberapa laporan menunjukkan bahwa
8
volume ejakulat kambing Boer cukup tinggi yaitu 1,2-2,03 ml/ejakulat dan 0,691,03 ml/ejakulat (Mahmilia et al., 2006).
Efisiensi Reproduksi
Efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata
oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi ternak (Partodihardjo S,
1980). Hewan betina mampu menghasilkan anak hanya jika dikawinkan dengan
pejantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat dibuahi ovum
dan memulai proses-proses yang berhubungan dengan konsepsi, implantasi, atau
differensiasi normal dari embrio dan pertumbuhan janin. Tingkat kesuburan
kambing betina dapat ditentukan dengan menggunakan parameter seperti Kidding
Internal (KI) dan jarak estrus pertama ke post partus (EI).
Kidding Interval (KI)
Jarak antara dua kelahiran yang berurutan yang dapat dihitung dengan
menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi
konsepsi kembali adalah kidding interval. Menurut Abebe G (2012), Nilai CI pada
kambing sekurang-kurangnya tiga kali dalam 2 tahun (tidak lebih dari 8 bulan).
Jarak Estrus Pertama ke Post Partus (EI)
Involusi uteri atau uterus kembali pada ukuran dan posisi semula dan
mempersiapkan diri untuk kebuntingan berikutnya. Hewan betina sesudah partus
harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan estrus, ovarium dan
organ-organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus
normal dan untuk kebuntingan baru. Lamanya siklus estrus pada kambing
bervariasi antara 18 sampai dengan 22 hari dengan rata-rata 21 hari (Hafez, 2000).
Hormon-hormon Reproduksi
Hormon adalah satu zat yang dihasilkan oleh kelenjar dan disebarkan
melalui peredaran darah untuk memberi efek tertentu pada sel-sel tubuh. Kerja
hormon mempengaruhi kinerja pertumbuhan dan reproduksi. Agar efisien, semua
hormon yang berkaitan dengan repoduksi harus berfungsi secara baik. Beberapa
hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi ternak ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi
Tempat
Dihasilkan
Hipotalamus
Hormon
Jenis/Susunan
Kimia
Releasing Peptida
Gonadotrophin
Hormone (GnRH)
Prolactin
Inhibiting Peptida
Hormone (PIH)
Corticotrophic
Releasing Peptida
Hormone (CRH)
Fungsi
- Pelepas FSH dan LH
- Menahan keluarnya prolaktin
- Pelepas ACTH
9
Pituitari anterior
Follicle
Stimulating Protein
Hormone (FSH)
Luteinizing Hormone (LH)
Protein
Prolaktin (PRL)
Adrenocorticotrophic
Hormone (ACTH)
Oksitosin
Protein
Polipeptida
Estrogen
Steroid
Progesteron
Steroid
Relaksin
Polipeptida
Testis
Inhibin
Androgen (testosterone)
Protein
Steroid
Korteks ginjal
Inhibin
Glucocorticoids (kortisol)
Protein
Steroid
Konseptus
Early pregnancy factor
Protein
Uterus
Trofoblastin
Prostaglandin F2α (PG F2 α)
Protein
Asam lemak
Pituitari
posterior
Ovarium
Plasenta
Peptida
Human
Chorionic Protein
Gonadotrophin (HCG)
Pregnant
Mare
Serum Protein
Gonadotrophin (PMSG)
Gonadotrophin lain
Protein
Estrogen
Steroid
Progesteron
Relaksin
Steroid
Polipeptida
Sumber: Sutama dan Budiarsana, 2009
- Pertumbuhan folikel
- Produksi dan pelepasan
estrogen
- Spermatogenesis
- Ovulasi
- Pembentukan dan fungsi
Corpus Luteum (CL)
- Sintesis susu
- Pelepasan glukokorticoids
- Kelahiran
- Keluarnya susu
- Tingkah laku kawin
-Sifat-sifat seksual sekunder
-Mempertahankan
sistem
saluran ambing betina.
- Pertumbuhan ambing
-Mempertahankan kebuntingan
- Pertumbuhan ambing
- Pembesaran pinggul
- Pengendoran serviks
- Mengurangi konstraksi uterus
- Mencegah pelepasan FSH
- Tingkah laku kawin jantan
- Spermatogenesis
- Mempertahankan system
saluran kelamin jantan
- Mencegah pelepasan FSH
- Kelahiran
- Sintesis susu
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk
- Mempertahankan CL
- Mempertahankan CL
- Regresi CL
- Kelahiran
- Seperti LH
- Seperti LH dan sebagian
seperti LH.
- Supplemen terhadap CL kuda
- Pengenalan kebuntingan pada
kuda
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk
- Pengenalan kebuntingan oleh
induk pada babi
-Mempertahankan kebuntingan
- Pembesaran pinggul (pelvis)
10
METODE
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan
Desember 2011 di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia.
Materi dan Metode Pelaksanaan
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat
Bioteknologi, JPHPT Keningau, Sabah mulai tahun 2008 sampai 2010 dan JPHPT,
Sabah mulai tahun 2008 sampai 2010. Data tersebut kemudian diolah dan
dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sabah, Malaysia
Sabah (Gambar 7) merupakan salah satu provinsi bagian terbesar kedua di
Malaysia dan terletak di utara Pulau Borneo. Luas dari daerah ini adalah 72.500
km2 dengan pantai sepanjang 1.440 km yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan
di bagian barat, Laut Sulu di bagian timur laut, dan Laut Celebes di bagian selatan.
Sabah dikenal dengan nama Negeri di bawah bayu karena kedudukannya yang
dilewati angin hujan (Sabah Gov, 2012). Salah satu wilayah di Sabah adalah
Keningau yang memiliki luas sebesar 353.274 hektar dan terdiri 14 kecamatan
dan 245 desa. Topografi dari Keningau adalah berbukit-bukit dengan curah hujan
yang sangat tinggi yaitu antara 30% hingga melebihi 100% di atas rata-rata (JMM,
2012). Komoditas utama wilayah ini adalah daging sapi, kerbau, kambing, rusa
dan susu segar (JPHPT, 2012).
Gambar 7 Wilayah di Sabah (JPHPT, 2012)
11
Sejarah Singkat Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah, Malaysia
Gambar 8 Unit Kambing, Pusat Bioteknologi, Keningau (Sumber: JPHPT, Sabah)
Pusat Bioteknologi Keningau (Gambar 8) adalah salah satu pusat yang
didirikan oleh JPHPT Sabah di kota Keningau sebagai usaha untuk meningkatkan
industri ternak ruminan khususnya dalam perbaikan mutu genetiknya. Luas dari
JPHPT adalah 24 hektar yang dulunya merupakan bagian dari Stesen Pembiakan
Ternakan (Balai Pembibitan Ternak) Sebrang. Laboratorium dan kantor
administrasi pusat dibangun dan mulai digunakan pada pertengahan 1998 sebagai
laboratorium pengolahan semen. Pada 2002 hingga 2003, JPHPT berencana untuk
memulai program transfer embrio pada kambing dan sapi, disamping
menjalankan penelitian terhadap semen ternak lain.
Perkembangan Populasi Ternak Kambing
Data perkembangan jumlah populasi ternak kambing Boer di JPHPT
Keningau diperoleh dengan membandingkan jumlah populasi pada tiga tahun
terakhir yaitu tahun 2008, 2009, dan 2010. Perbandingan jumlah populasi dibagi
menjadi populasi induk dan anakan baik hewan jantan maupun betina (Tabel 3).
Data populasi kambing Boer pada tahun 2009 menunjukkan adanya
peningkatan jumlah populasi sebanyak 71 ekor kambing dari 108 ekor kambing
pada tahun 2008. Pada tahun 2010, jumlah populasi kambing Boer mengalami
penurunan sebanyak 63 ekor kambing dari 179 ekor kambing yang diduga akibat
beberapa kasus penyakit seperti melioidiosis dan pasteurellosis yang menyerang
kambing hingga produktivitas kambing menurun dan kematian anak kambing dari
induk yang melahirkan lebih dari dua anak kambing pada tahun 2009.
Pemindahan beberapa ekor kambing Boer dari Unit Kambing, Pusat Bioteknologi
JPHPT Sabah ke beberapa tempat di Sabah juga mengakibatkan penurunan
populasi kambing di JPHPT.
12
Tabel 3 Populasi kambing Boer pada tahun 2008-2010
Struktur
Populasi
Ekor
2008
Persentase
Tahun
2009
Ekor Persentase
Induk
Jantan
9
8
22
12
Betina
65
60
67
37
Anak
16
15
42
24
Jantan
18
17
48
27
Betina
Jumlah
108
100
179
100
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
Ekor
2010
Persentase
30
59
26
51
19
8
116
16
7
100
Pengetahuan Manajemen Ternak
Pengetahuan manajemen ternak kambing untuk para peternak di luar
JPHPT diupayakan melalui pelatihan dan pendidikan dari pemerintah untuk
memberikan pengetahuan mengenai manajemen peternakan kambing secara
cuma-cuma. Peternak di luar JPHPT dapat membeli bakalan induk dari
pemerintah yang disediakan oleh JPHPT Sabah.
Pakan hijauan umum diberikan peternak adalah Pennisetum purpureum atau
dikenali dengan nama rumput gajah (Gambar 9). Ternak menggemari hijauan
tersebut karena lebat daunnya dan garing. Hijauan tersebut dapat menghasilkan
produksi yang tinggi dan tahan kemarau (MARDI 2008). Konsentrat diberikan
terlebih dahulu untuk melancarkan sistem pencernaan ternak sebelum diberikan
hijauan.
Gambar 9 Pennisetum purpureum (MARDI 2008)
Aspek Reproduksi
Pelatihan Inseminasi Buatan (IB) mulai diperkenalkan pada tahun 2011.
Sebelumnya pengelolaan sistem reproduksi ternak pada peternakan umum di luar
JPHPT belum mengenal sistem IB. IB diperkenalkan dengan tujuan untuk
13
memperbanyak jumlah populasi kambing karena banyaknya permintaan induk
oleh peternak untuk dipelihara baik secara individu maupun komersial.
Para peternak umumnya melakukan perkawinan alami pada ternaknya.
Perkawinan secara alami dipilih karena dinilai lebih praktis dan lebih murah.
Perkawinan alami yang dilakukan adalah dengan cara memelihara kambing
pejantan dan kambing betina dalam satu kandang yang sama. Menurut Sutama
dan Budiarsana (2009), kendala yang dihadapi IB pada kambing adalah sulitnya
penetrasi serviks untuk dapat mendeposisikan semen di dalam uterus. Deposisi
semen, umumnya hanya dapat dilakukan di depan seviks atau dalam vagina
sehingga tingkat kebuntingan yang diperoleh rendah (30-56%). Perkawinan secara
alami menjadi pilihan dalam meningkatkan populasi kambing, disamping
perkawinan secara IB tergantung keperluan.
Nilai rataan kidding interval kambing di Sabah adalah 420-450 hari (13-15
bulan), sedangkan nilai rataan siklus estrus (Estrus cycle) adalah 21 hari. Kidding
interval yang diperoleh berada diluar dari nilai optimum, mungkin disebabkan
perubahan suhu yang fluktuatif sehingga menyebabkan siklus estrus bertambah
panjang ( Elieser et al. 2012).
Manajemen Reproduksi Kambing Boer Betina
Pengetahuan mengenai manajemen reproduksi kambing sangat penting
dalam meningkatkan jumlah populasi dari kambing Boer. JPHPT sendiri
menggunakan modifikasi antara perkawinan alami dan inseminasi buatan,
walaupun perkawinan alami lebih banyak digunakan dalam manajemen
reproduksi. Perkawinan alami dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
memelihara jantan dan betina dalam satu kandung ataupun dengan memelihara
jantan dan betina secara terpisah, jantan akan disatukan dengan betina apabila
betina mengalami estrus. Umumnya, perkawinan alami yang dilakukan di JPHPT
adalah dengan memelihara jantan dan betina di dalam satu kandang dengan jantan
berbanding betina yaitu sebesar 1:20 ekor kambing.
Tabel 4 menunjukkan data angka kelahiran dan kematian dari anakan pada
tahun 2008 hingga 2009. Tahun 2008 menunjukkan angka kelahiran sebanyak 19
ekor anak dengan presentasi perbandingan jumlah kelahiran jantan dan betina
50% yang terdiri atas jantan sebanyak 9 ekor dan betina 10 ekor. Angka kematian
pada tahun 2008 menunjukkan kematian sebanyak 4 ekor kambing dengan
perbandingan presentasi kematian jantan dan betina masing-masing sebanyak
50%. Angka kelahiran dan kematian anak pada tahun 2009 masing-masing
meningkat sebanyak 41 ekor anak kambing dan 10 ekor kambing dari tahun
sebelumnya. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2009 menunjukkan angka
kelahiran sebanyak 27 ekor untuk jantan dan selebihnya adalah betina, sedangkan
angka kematiannya sebanyak 4 ekor pada kambing jantan dan 10 ekor pada
kambing betina. Pada tahun 2010, angka kelahiran pada kambing Boer
menunjukan penurunan sebanyak 4 ekor anak kambing dan angka kematian
meningkat sebanyak 5 ekor kambing dari tahun sebelumnya. Berdasarkan dari
data yang diperoleh, menurunnya angka kelahiran pada tahun 2010 diduga akibat
14
tingginya kematian pada anak kambing dari induk yang melahirkan lebih dari dua
anak pada tahun 2009.
Tabel 4 Data Kelahiran dan Kematian anak pada tahun 2008-2010
Jenis
Kelamin
Tahun (ekor)
2009
Lahir
Mati
Lahir
Mati
Jantan
9
2
27
4
Betina
10
2
33
10
Jumlah
19
4
60
14
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
2008
2010
Lahir
31
25
56
Mati
12
7
19
Gangguan Reproduksi dan Penyakit
Salah satu permasalahan umum yang dihadapi oleh JPHPT dan peternak
pada saat ini adalah induk yang melahirkan anak lebih dari satu. Umumnya induk
hanya akan menyusui satu anak dan mengabaikan anak yang lain. Kasus ini
diselesaikan dengan dua cara yaitu dengan memberikan susu formula kepada anak
kambing tersebut dan/atau dengan cara memegang induk kambing, kemudian
anaknya dibiarkan menyusui pada induk tersebut. Tabel 5 menunjukkan data
kelahiran dan kematian anak bagi induk yang melahirkan anak kambing lebih dari
satu ekor anak kambing.
Tabel 5 Data Kelahiran dan Kematian anak bagi induk yang melahirkan anak
kambing lebih dari satu ekor anak kambing
Tahun
Lahir
Mati
(pasang ekor anak)
(ekor)
2008
3
1
2009
19
12
2010
14
5
Jumlah
36
18
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
Tahun 2009 menunjukkan data kematian anak dari induk yang melahirkan
anak kembar paling tinggi yaitu sebesar 31,6% berbanding dengan tahun 2008 dan
2010 masing-masing sebesar 16,7% dan 17,9%. Kekurangan nutrisi pada induk
mengakibatkan ia membiarkan anak kambingnya yang lain diabaikan sehingga
anak kambing tersebut tidak mendapatkan nutrisi dan sistem imunnya juga rendah
dan menyebabkan ia lemah dan mati.
Tabel 6 menunjukkan bahwa kasus Strongylosis merupakan kasus penyakit
tertinggi yang menyerang kambing bagi seluruh Sabah yaitu sebesar 29.5%,
diikuti oleh meliodiosis, koksidiosis, pasteurellosis dan haemonchosis masingmasing sebanyak 28.7%, 22.4%, 12.7%, dan 2.9%. Jenis penyakit lain yang
menyerang pada kambing selama tiga tahun tersebut adalah Monieziosis dan
Salmonellosis dengan presentasi kasus masing-masing sebanyak 2.1% dan 0.8%,
15
sedangkan jenis penyakit seperti Caseous lymphadenitis, Johne’s Disease dan
Heavy worm burden terjadi sebanyak 0.4%. Penyajian Tabel 6 mengambarkan
status penyakit di seluruh Sabah sehingga dapat diketahui solusi penanganan
penyakit dan pusat dapat mempraktikkan sistem penanganan penyakit di kandang
tersebut.
Penyakit endoparasit umumnya ditangani dengan merubah sistem
pemeliharaan kambing dari sistem semi-intensif (siang dilepas, malam di
kandang) menjadi sistem intensif (selalu dikandangkan) karena pengobatan
menggunakan obat anthelmintik tidak lagi digunakan karena parasit telah resistan
terhadap obat anthelmintik seperti Thiabendazole, Levimisole, Ivermectin, dan
Oxfendazole (MARDI 2008). Penyakit yang bersifat zoonosis seperti meliodiosis
dan salmonellosis ditangani dengan menjalankan pemeriksaan penyakit setiap
tahun sehingga hewan yang menunjukkan uji serologi positif akan dipotong.
Penanganan penyakit yang diterapkan oleh pihak JPHPT umumnya adalah dengan
merubah sistem pemeliharaan kambing dan pakan yang diberikan mengikut sistem
potong dan angkut dimana, pakan diberikan di dalam kandang. Jenis kandang
kambing yang digunakan di pusat ini adalah kandang panggung (Gambar 10).
Tabel 6 Data Penyakit pada Kambing di Seluruh Sabah pada Tahun 2008-2010
Penyakit
2008
2009
2010
Total
(ekor)
Strongylosis
7
34
29
70
29,5
Meliodiosis
5
24
38
67
28,7
Koksidiosis
25
14
14
53
22,4
Pasteurellosis
17
12
1
30
12,7
Haemonchosis
4
3
0
7
2,9
Monieziosis
0
2
3
5
2,1
Salmonellosis
0
2
0
2
0,8
Caseous
lymphadenitis
1
0
0
1
0,4
Johne’s Disease
0
1
0
1
0,4
Heavy worm burden
(Srkjabinema ovis)
0
0
1
1
0,4
Jumlah
59
92
86
237
100
Sumber: JPHPT, Sabah
Tahun (ekor)
Persentase
(%)
16
Gambar 10 Kandang panggung di Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau, Sabah
(JPHPT, Sabah).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai rataan kidding interval kambing di Sabah adalah 420-450 hari (13-15
bulan), sedangkan nilai rataan siklus estrus kambing adalah 21 hari. Nilai kidding
interval berada di luar dari nilai optimum, disebabkan perubahan suhu yang
fluktuatif sehingga menyebabkan siklus estrus bertambah panjang. Populasi
kambing menurun pada tahun 2010 karena banyaknya kambing betina mati dan
perpindahan kambing dari pusat tersebut ke beberapa lokasi di Sabah. Metode
perkawinan kambing di JPHPT masih menggunakan cara perkawinan alami dan
kemudian dimodifikasi dengan sistem inseminasi buatan (IB) yang baru
diperkenalkan pada tahun 2011. Kasus penyakit yang menyerang pada kambing
dan mengakibatkan penurunan produksi kambing diantaranya adalah Strongylosis
(29,5%), Meliodiosis (28,7%), Koksidiosis (22,4%), dan Pasteurellosis (12,7%).
Pihak JPHPT menangani masalah tersebut umumnya dengan mengganti sistem
pemeliharaan kambing dari sistem semi-intensif (siang dilepas, malam dikandang)
menjadi sistem intensif (selalu dikandangkan).
Saran
Penambahan beberapa dokter hewan di kandang diharapkan dapat
mengurangi kasus penyakit di pusat tersebut.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abebe G. 2012. Reproduction in Sheep and Goats [internet]. [diacu 2012 Des 15].
Tersedia dari: http://www.esgpip.org/handbook/Handbook_PDF/Chapter%
205_%20Reproduction%20in%20Sheep%20and%20Goats.pdf
Achjadi RK. 2007. Manajemen Pengembangan Bioteknologi Reproduksi pada
Kambing. Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. [tidak dipublikasikan]
[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2007. Melioidosis
[internet]. [diacu 2012 Sep 30]. Tersedia dari: http: //www.cfsph.iastate.
edu/Factsheets/pdfs/melioidosis.pdf
Elieser S, Sumadi, Budisatria GS, Subandriyo. 2012. Productivity comparison
between Boer and Kacang Goat dam. J. Indonesian Trop. Anim. Agric
37(1):15-21
Fatet A, Pellicer-Rubio MT, Leboeuf B. 2010. Reproductive cycle of goats. Ani
Repro Sci 124(2011):211-219. doi:10.1016/j.anireprosci.2010.08.029
Greyling JPC. 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Small Ruminant
Res 36(2000):171-177.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed 7.Philadelphia: Lea and
Fabiger
Ldysinger. 2012. Spermatogenesis and Oogenesis [internet]. [diacu 2012 Mei 29].
Tersedia dari: http://ldysinger.stjohnsem.edu/ThM_599d_Beg/02_Biology
/02_spermat-oogen.htm
[JMM] Jabatan Meteolorogi Malaysia. 2012. Statistik Hujan Bulanan Bagi Sabah
Dan Sarawak [internet]. [Diunduh 2012 Nov 30]. Tersedia dari:
http://www.met.gov.my/images/Docs/laporan_monsun.pdf
[JPHPT] Jabatan Perkhidmatan Haiwan dan Perusahaan Ternak. 2007. Baka
Kambing [internet]. [diacu 2011 Jul 21]. Tersedia dari:
http://vet.sabah.gov.my/sites/default/files/file_upload/pamphlet/Baka%20
Kambing.pdf
. 2012. Wilayah [internet]. [diacu 2012 Oct 21]. Tersedia dari:
http://vet.sabah.gov.my/index.php?q=content/wilayah
Mahmilia F, Doloksaribu M, dan Pamungkas FA. 2006. Karakteristik Semen
Kambing Boer [internet]. [diacu 2012 Mei 29]. Tersedia dari:
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro06-79.pdf
Mahmilia F dan Tarigan A. 2004. Karakteristik morfologi dan performans
kambing Kacang, kambing Boer dan persilangannya [internet]. [diacu
2012
Aug
5].
Tersedia
dari:
http://peternakan.litbang.
4deptan.go.id/fullteks/lokakarya/prokpo04-23.pdf
Malan SW. 2000. The improved Boer goat. Small Ruminant Res 36(2000):165170
Marawali A, Hine MT, Burhanuddin, dan Belli HLL. 2001. Dasar-dasar ilmu
reproduksi ternak.Jakarta:Departemen Pendidikan nasional direktorat
pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia
Timur.
18
[MARDI] Malaysian Agricultural Research and Development Instiute. 2008.
Penternakan Boer untuk usahawan. Mohamed WZ, Amin MNM, Azmin AA,
editor. Malaysia: Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani.
Mashishi MSK. 2007. Respiratory disease in goats and sheep [internet]. [diacu
2012 Sep 30]. Tersedia dari: http://www.nda.agric.za/docs/Infopaks/
Respiratorydiseases.pdf
Mulyono S. 2005. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar
Swadaya
New Sabah Times. 2012. Profile [internet]. [diacu 2012 Jun 8]. Tersedia dari:
//www.newsabahtimes. com.my/nstweb/profile
Nurrohmawati L. 2008. Berharap Kemakmuran dari Kambing Boer [internet].
[diacu 2012 Mei 12]. Tersedia dari: http://www.suaramerdeka.com/v1/
index.php/read/cetak/2008/05/12/12942/Berharap-Kemakmuran-dariKambing-Boer
Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan, edisi 1. Jakarta: Mutiara Sumber
Widjaya
[Sabah Gov] Sabah Goverment. 2012. Pengenalan Kepada Sabah [internet].
[diacu 2012 Jun 7]. Tersedia dari: http://www.sabah.gov.my/about.asp [7
Juni 2012].
Sarwono B. 2008. Beternak Kambing Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya
Schoenion S. 2012. The internal parasites that affect sheep and goats [internet].
[diacu 2012 Okt 18]. Tersedia dari: http://www.sheepandgoat.com/
articles/sheepgoatparasites.pdf
Sutama IK dan Budiarsana IGM. 2009. Panduan Lengkap Kambing dan
Domba.Jakarta:Penebar Swadaya
Wodzicka-Tomaszewska M, Sutama IK, Putu IG, dan Chaniago TD. 1991.
Reproduksi, Tingkah laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
19
LAMPIRAN
Struktur Organisasi
Bagan 1 Struktur Organisasi Pusat Bioteknologi JPHPT Keningau Tahun 2010
PENGARAH
(Direktorat Jenderal)
Jabatan Perkhidmatan Haiwan dan Perusahaan Ternak Sabah
TIMBALAN PENGARAH
(Wakil Direktorat Jenderal)
Bahagian Pengeluaran & Penyelidikan
(Divisi Pengeluaran & Penyelidikan)
PENOLONG PENGARAH
(Deptan)
Bahagian Bioteknologi
PEGAWAI PENGUASA
(Dokter Hewan)
PEMBANTU VETERINAR
(Wakil Dokter Hewan)
PEMBANTU AM RENDAH
(Karyawan)
PEKERJA RENDAH
AWAM
(Karyawan)
PEMANDU (Sopir)
TUKANG PAM
(Montir)
Sumber: Pusat Bioteknologi JPHPT, Keningau, Sabah
PEKERJA RENDAH
AWAM (Karyawan)
(Gaji Hari)
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 23 Oktober 1988
sebagai anak sulung dari enam bersaudara pasangan Bapak Jubidin Bin Erak dan
Ibu Rusina @ Victoria Malasius @ Dumporoh.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SK Sungai Damit, Tamparuli,
Sabah pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMK Sungai Damit,
Tamparuli, Sabah dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2007, penulis menyelesaikan
pendidikan pra universitas di SMK Tamparuli, Sabah. Penulis diterima menjadi
mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB ( USMI ) pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis aktif
dalam organisasi internal kampus Himpunan Minat Profesi ( HIMPRO ) Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) IPB dan juga eksternal kampus,
yaitu Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia ( PKPMI ) Cabang
Bogor sebagai Timbalan Pengerusi Tetap bagi sesi 2011/2012.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Boer (Capra aegragus) merupakan kambing pedaging unggul
yang memiliki karakteristik yang khas, meliputi ciri fisik kambing (bobot badan,
ukuran badan, warna rambut), produksi (laju pertumbuhan badan dan berat badan
yang relatif cepat), serta penampilan reproduksinya (fisiologi reproduksi jantan
dan betina. Kambing ini berasal dari Afrika Selatan dan masuk ke Sabah sejak
tahun 1992. Laju pertumbuhan yang cepat, karakteristik sifat yang jinak, dan
kandungan protein yang tinggi dari daging kambing ini menyebabkan kambing
Boer banyak diternakan sebagai kambing pedaging.
Permintaan daging kambing sebagai substitusi daging sapi sekarang ini
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi, perkembangan
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Permintaan daging kambing di Sabah,
Malaysia, cukup tinggi namun pemerintah hanya mampu memenuhi sebanyak
10% dari jumlah permintaan dan selebihnya pemerintah melakukan impor daging
beku kambing dari Australia. Hal ini mengakibatkan perlu adanya suatu usaha
untuk memenuhi jumlah permintaan kambing pedaging. Sifat unggul kambing
Boer ini menjadikan pilihan utama para peternak untuk mendapatkan dagingnya.
Sabah merupakan provinsi bagian dari Malaysia yang berada di Kepulauan
Borneo. Letak geografis dan topografi dari Sabah sangat berpotensi untuk
melakukan perkembangbiakan kambing pedaging terutama kambing Boer. Pusat
Bioteknologi JPHPT Keningau didirikan untuk mengembangkan kambing Boer
sebagai kambing pedaging untuk memenuhi kebutuhan daging kambing di Sabah.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangbiakan kambing
Boer namun pengetahuan dalam pengembangbiakan dan manajemen kambing
Boer di Sabah masih rendah. Berdasarkan alasan tersebut maka dilakukan studi
kasus untuk mengetahui manajemen pemeliharaan kambing Boer sehingga dapat
dijadikan sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuan para peternak dan
masyarakat.
Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain adalah mempelajari manajemen
pemeliharaan kambing Boer, mengetahui berbagai masalah yang sering muncul
dalam pemeliharaan kambing Boer dan upaya mencari solusinya, serta
mengetahui penampilan reproduksi kambing Boer sebagai upaya untuk
peningkatan populasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai penampilan reproduksi kambing Boer di Pusat Bioteknologi JPHPT
Keningau, Sabah, Malaysia serta upaya peningkatan populasi dan
produktivitasnya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Singkat Asal Usul Rumpun Kambing
Asia merupakan pusat domestikasi kambing. Domestikasi kambing
diperkirakan terjadi 9.000 sampai 11.000 tahun sebelumnya. Kambing merupakan
hewan ternak yang pertama kali didomestikasikan atau nomor dua setelah anjing.
Nenek moyang ternak kambing tersebut diyakini berasal dari hewan bezoar atau
kambing jinak ( Capra aegragus hircus) yang merupakan subspecies dari Capra
aegragus (kambing liar aegragus).
Ternak kambing digolongkan menjadi 6 kelompok, yaitu berdasarkan
daerah asal, kegunaan, ukuran tubuh, bentuk telinga, panjang telinga, serta tanduk.
Penggolongan berdasarkan daerah asal memberi petunjuk kemampuan adaptasi
terhadap iklim dan kondisi lingkungan tertentu. Berdasarkan kegunaannya,
kambing diklasifikasikan atas produk yang dihasilkan, yaitu susu (kambing perah),
daging (kambing potong), dan bulu (Khasmier).
Perbedaan ukuran tubuh kambing umumnya ditentukan dengan
menggunakan tinggi pundak. Kambing dapat digolongkan atas tiga kelompok
berdasarkan cara ini, yaitu kelompok besar (di atas 65 cm), kecil (51-65 cm), dan
kerdil atau mini (kurang dari 50 cm). Kambing kelompok besar dengan berat
tubuh diantara 20-63 kg untuk produksi daging dan/atau susu. Kelompok kecil
dengan berat tubuh diantara 19-37 kg dan kelompok mini dengan berat tubuh
diantara 18-25 kg dipelihara untuk produksi daging. Bentuk telinganya
digolongkan berdasarkan daun telinga (terbuka lebar atau melipat) dan ukuran
panjang telinga (pendek, sedang, dan panjang) yang sangat spesifik untuk setiap
breed tertentu. Bentuk telinga sering menjadi faktor yang mempengaruhi harga
ternak bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada tanduk yang digolongkan
menjadi panjang, pendek, a