Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan Dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau

PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA
BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU

AMALIA RATNASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Kota Hijau
Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka
Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Amalia Ratnasari
NIM A156120071

RINGKASAN
AMALIA RATNASARI. Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan
Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau. Dibimbing oleh
SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan BOEDI TJAHJONO.
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan pesat. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali mengakibatkan
tingginya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun dan semakin berkurangnya
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dampaknya adalah kerusakan lingkungan dan
berkurangnya kenyamanan kota. Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan
kota yang berkembang adalah dengan menerapkan konsep Kota hijau. Kementrian
Pekerjaan Umum merumuskan konsep kota hijau di Indonesia dalam Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yaitu untuk mewujudkan 30% dari wilayah

kota sebagai RTH.
Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk merumuskan arahan
pengembangan RTH dalam mewujudkan Kota Yogyakarta menjadi kota hijau.
Beberapa hal yang telah dilakukan untuk mencapainya seperti : (1)
Mengidentifikasi luas dan persebaran penggunaan lahan dan RTH eksisting Kota
Yogyakarta tahun 2014, (2) Menghitung luas kecukupan RTH berdasarkan luas
wilayah, jumlah penduduk dan nilai THI, (3) Menentukan area-area berpotensi
untuk pengembangan RTH, (4) Menyusun arahan pengembangan RTH menuju
Kota Hijau Yogyakarta.
Pada tahap awal dilakukan interpretasi citra Quickbird untuk
mengidentifikasi penggunaan lahan dan RTH eksisting. Kecukupan RTH dihitung
berdasarkan luas wilayah sesuai dengan ketentuan UU No. 26 tahun 2007 (30%
dari luas administrasi kota), berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada tahun
2029 sesuai dengan standarisasi kebutuhan RTH per penduduk dalam Permen PU
No.05/PRT/M/2008 (20m2 per penduduk), berdasarkan indeks kenyamanan
thermal menggunakan metode yang dikembangkan oleh Niewolt (1975) (selang
kenyaman THI 20 – 26 °C). Banyaknya lahan terbangun di Kota Yogyakarta,
maka penambangan RTH dapat memanfaatkan lahan-lahan kosong milik
pemerintah atau masyarakat. Arahan pengembangan RTH dilakukan berdasarkan
penggunaan lahan, RTH eksisting, luas kecukupan RTH dan area berpotensi RTH

dengan mempertimbangkan RTRW dan Zoning Regulation Kota Yogyakarta.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan eksisting Kota Yogyakarta
tahun 2014 didominasi oleh permukiman seluas 1333,75 ha (40.58%).
Permukiman ini tersebar merata di seluruh Kota Yogyakarta. RTH eksistingnya
seluas 584,45 ha (17,78%) terdiri dari RTH publik seluas 329,63 ha (10,03%) dan
RTH privat seluas 254,82 ha (7,75%). Pada pusat kota, RTH tersebar secara linear
umumnya berupa RTH publik seperti taman kota dan rekreasi, sedangkan di
pinggiran kota RTH tersebar secara acak didominasi oleh RTH privat seperti
sawah.
Kecukupan RTH Kota Yogyakarta berdasarkan luas wilayah adalah seluas
975 ha. Kecukupan RTH berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2029
adalah 805,36 ha dan berdasarkan nilai THI jumlah RTH yang diperlukan
minimal seluas 177 ha. Secara umum luas kecukupan RTH tiap kecamatan di
Kota Yogyakarta belum dapat tercukupi. Saat ini kecukupan RTH berdasarkan

jumlah penduduk yang dapat tercukupi adalah di Kecamatan Umbulharjo, yaitu
terdapat kelebihan seluas 3,12 ha.
Area yang berpotensi untuk pengembangan RTH adalah seluas 126,02 ha
atau 3,84%. Area potensi 1 berupa jalur hijau jalan terdapat 15,62 ha (0,48%),
area potensi 2 yang berupa lahan kosong seluas 15,32 ha (0,47%) dan area 3

berupa sempadan sungai seluas 95,08 ha (2,89%). Luas total RTH hanya mampu
mencapai 710,47 ha atau 21,62%. Hal ini menunjukkan bahwa RTH di Kota
Yogyakarta masih jauh dari standar kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menuju
Kota Hijau yaitu 30%.
Arahan pengembangan RTH Kota Yogyakarta untuk menuju Kota Hijau
adalah mempertahankan RTH eksisting seluas 584,45 ha yang berupa area hijau,
taman kota dan sempadan sungai; menambah RTH seluas 126,02 ha yang
ditujukan untuk membangun RTH publik seperti jalur hijau jalan, taman
lingkungan permukiman dan merefungsi sempadan sungai; pengembangan RTH
di Kota Yogyakarta di fokuskan pada pengembangan RTH kenyamanan seperti
meningkatkan kualitas RTH eksisting dengan penambahan vegetasi terutama jenis
peneduh dan menghijaukan bangunan dengan roof garden atau vertical garden.
Kata kunci : Arahan pengembangan, Kota Hijau, RTH

SUMMARY
AMALIA RATNASARI. Yogyakarta Green City Planning based on Land Use
and Adequacy of Green open Space. Supervised by SANTUN RISMA
PANDAPOTAN SITORUS and BOEDI TJAHJONO.
Yogyakarta is one of the cities that growth rapidly. Uncontrolled urban
growth causing the land conversion into developed land and decreasing the green

open space (RTH). The impact are environmental damage and reduced city
comfortability. An alternative resolution of developing city is by applying green
city concept. Ministry of Public Works formulate green cities concept in
Indonesia in the Green City Development Program (P2KH) is to actualize 30% of
the city area as green open space.
The main purpose of this research is to formulate RTH development
strategy in realizing the city of Yogyakarta into a green city. Several activities
have been carried out to achieve it such as: (1) Identifying vast and distribution of
land use existing and RTH existing of Yogyakarta city in 2014, (2) Calculating
the adequacy of RTH based on vast territory, total population and values of THI,
(3) Determining potential areas that could be developed for green open space, (4)
Arranging RTH development strategy toward Yogyakarta Green City.
Interpreting of Quickbird image has been carried out to identify the existing
land use and existing RTH. Adequacy of RTH calculated based on vast territory in
accordance with Act No. 26 in 2007(30% of the total area of city administration),
based on projection of the total population in 2029 due to the standard needs of
RTH per population in Permen PU No.05/PRT/M/2008 (20m2 per population),
based on thermal comfort index using method developed by Niewolt (1975) (THI
comfort range of 20-26 °C). Yogyakarta has many of developed land, so that to
increasing RTH, it can utilize vacant land owned by the government or the

citizens. RTH development strategy is conducted based on land use, existing
RTH, adequacy of RTH and potential areas by considering RTRW and Zoning
Regulation of Yogyakarta city.
The results showed that existing land use of Yogyakarta in 2014 was
dominated by settlement covering 1333.75 ha (40.58%). These settlements are
spread evenly throughout Yogyakarta city. Existing RTH is 584.45 ha (17.78%)
consisting of public RTH covering an area of 329.63 ha (10.03%) and private
RTH for 254.82 ha (7.75%). RTH linearly dispersed at the city center, generally in
the form of public RTH such as city parks and recreation park. While in suburban
RTH randomly scattered as a private RTH dominated by rice fields.
Adequacy of RTH Yogyakarta based on vast territory is 975 ha. RTH
adequacy based on projections of the total population in 2029 is 805.36 ha and
based on the value of THI required RTH minimum covering 177 ha. Generally
vast adequacy of RTH every district in Yogyakarta city is can not be fulfilled.
Currently adequacy of RTH based on total population that can be fulfilled is in
District Umbulharjo, there is an extra RTH of 3.12 ha.
Areas that potentially be developed as RTH is 126.02 ha or 3.84%. Potency
1 in the form of green corridors is 15.62 ha (0.48%), potency 2 is vacant land
covering of 15.32 ha (0.47%) and potency 3 in the form of riparian area of 95.08
ha (2,89%). The total area of RTH is only achieving 710.47 ha or 21.62%. This


indicates that RTH in Yogyakarta is under the standard needed toward City Green
that is 30%.
RTH development strategy of Yogyakarta toward Green City are
maintaining the existing RTH of 584.45 ha in the form of green areas, city parks
and riparian area; adding RTH of 126.02 ha to build public RTH such as a green
corridors, residential park and refunction of riparian area; RTH development in
Yogyakarta focussed on developing RTH comforts such as improving the quality
of existing RTH by adding vegetation especially on shady type and greening the
building with roof garden or vertical garden.
Keywords: Development Strategy, Green City, Green Open Space

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA
BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU

AMALIA RATNASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan mulai bulan Februari 2014 ini adalah Ruang Terbuka Hijau
(RTH), dengan judul Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan
Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang
telah memberi arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
4. Orang tua tercinta Ir Agoes Sriyanto, MSi dan Dr Rugayah, MSc yang
terus mendukung dengan doa dan semangat. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
5. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah

mendukung selama penyusunan Tesis.
6. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015

Amalia Ratnasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1
4
5
5
5
5

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Atribut Kota Hijau
Muatan Rencana Aksi Kota Hijau
Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Kota
Ruang Terbuka Hijau
Jenis Ruang Terbuka Hijau
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu Udara
Kelembaban Udara
Temperature Humidity Index (THI)
Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

7
7
7
8
9
10
12
13
13
13
14
15
15

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data serta Alat Penelitian
Teknik Analisis Data
Metode Analisis Data
Analisis Data Citra
Analisis Kecukupan RTH
Analisis Area Prioritas untuk Pengembangan RTH
Penyusunan Arahan Pengembangan RTH

20
20
20
21
21
21
24
28
28

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Iklim
Hidrologi
Kependudukan
Penggunaan Lahan
Ruang Terbuka Hijau

30
30
31
31
32
33
34

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta tahun 2010-2029 34
Potensi dan Permasalahan
37
HASIL PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan Eksisting dan RTH Eksisting di Kota Yogyakarta
Kecukupan RTH di Kota Yogyakarta
Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Kecukupan RTH Bersadarkan Temperature Humidity index (THI)
Area Prioritas untuk Pengembangan RTH
Arahan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta
Tahapan Perencanaan Pengembangan RTH Kota Yogyakarta

42
42
46
46
48
51
54
56
61

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

64
64
64

DAFTAR PUSTAKA

66

LAMPIRAN

69

RIWAYAT HIDUP

78

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Muatan Rencana Aksi Kota Hijau
Kepemilikan RTH
Selang Kenyamanan Beberapa Negara
Matrik Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Jenis Data, Sumber Data,
Teknik Analisis Data dan Output
Titik pengecekan tiap kecamatan di Kota Yogyakarta berdasarkan jenis
penggunaan lahan
Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Titik pengambilan sampel tiap kecamatan di Kota Yogyakarta
berdasarkan jenis RTH
Klasifikasi Nilai THI (Temperature Humidity Index)
Kelembapan Udara dan Suhu Udara di Kota Yogyakarta Tahun 2013
Distribusi Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Menurut Kecamatan
Tahun 2010-2013
Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Status Peruntukan Lahan Tahun
2007-2010 Kotaa Yogyakarta
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta Tahun 2007-2010
Komposisi RTH Publik dan Privat Kota Yogyakarta Tahun 2009
Luas RTH Eksisting Kota Yogyakarta

7
11
15
21
23
25
26
26
31
33
33
34
34
44

15 Kebutuhan RTH Kota Yogyakarta Berdasarkan UUTR No.26 Tahun
2007
16 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
17 Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.05/PRT/M/2008 pada 3 titik tahun
18 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk pada Tahun
2013
19 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk pada Tahun
2029
20 Sebaran Nilai THI di Kota Yogyakarta
21 Proporsi THI pada tiap kecamatan
22 Proporsi THI dan luas penambahan RTH minimal Kota Yogyakarta
23 Luas Area Berpotensi RTH di Kota Yogyakarta

47
47
49
50
50
52
53
54
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kerangka Pemikiran Penelitian
Tipologi RTH
Peta sebaran titik pengecekan lapangan
Peta sebaran titik pengukuran suhu dan kelembapan
Diagram Alir Penelitian
Peta Wilayah Kota Yogyakarta
Kondisi 3 sungai utama di Kota Yogyakarta
Suasana pusat Kota Yogyakarta
Taman Sari Yogyakarta
Beberapa macam RTH Publik
Beberapa macam RTH Privat
Beberapa permasalahan lingkungan kota
Proporsi penggunaan lahan Kota Yogyakarta tahun 2014
Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014
Proporsi RTH Eksisting Perkecamatan
Peta RTH Eksisting Kota Yogyakarta
Proporsi RTH Berdasarkan Luas Wilayah Perkecamatan
Proporsi RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Perkecamatan
Sebaran Tingkat kenyamanan di Kota Yogyakarta
Area Berpotensi RTH
Peta Arahan Pengembangan RTH Kota Yogyakarta

6
10
24
27
29
30
32
38
38
40
40
41
42
43
45
46
48
51
53
56
62

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Perhitungan penggunaan lahan eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014
Perhitungan RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014
Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta
Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta

69
70
71
72

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota sebagai suatu perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Suatu kota berawal dari komunitas kecil yang
lama kelamaan berkembang menjadi sebuah komunitas besar. Perkembangan kota
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dan salah satu hal krusial yang
mempengaruhinya adalah terbukanya aksesibilitas (Putri dan Zain 2010).
Kemudahan aksesibilitas, kondisi lingkungan fisik, dan lingkungan sosial suatu
wilayah akan menjadi daya tarik seseorang untuk bermigrasi atau berpindah dari
satu tempat ke tempat lain (Royuela et al. 2010). Mereka bermigrasi dengan
tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Menurut Rodgers et al.
(2011) migrasi dari desa ke kota merupakan penyebab utama pertumbuhan
penduduk kota. Menurut Cropper dan Griffiths (1994) pertumbuhan kota sering
dituduh sebagai penyebab degradasi lingkungan terutama apabila pertumbuhan
populasi penduduk kota sudah melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya.
Semakin padat penduduk kota maka kualitas lingkungan semakin rendah (Todaro
dan Smith 2006). Bahaya pencemaran lingkungan hidup di kota-kota Indonesia
semakin hari semakin serius dan akan memberi dampak yang berbahaya untuk
jangka panjang jika tidak segera diambil langkah-langkah konkrit dalam
menanggulangi masalah lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan yang terjadi
di kota adalah polusi udara, polusi air, dan sampah padat (Kahn 2006).
Tingginya jumlah penduduk ini mengakibatkan kebutuhan penduduk
terhadap ruang semakin tinggi terutama untuk lahan terbangun. Hal ini pada
akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya proses konversi lahan dari lahan non
terbangun menjadi lahan terbangun. Permasalahan laju perubahan penggunaan
lahan yang tinggi disebabkan terutama oleh tingkat pemanfaatan lahan kota yang
relatif tinggi, sedangkan luas lahan kota relatif terbatas/ tetap.
Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan kota yang berkembang di
Indonesia yaitu konsep Kota Hijau (Green City) sebagai bagian dari proses
pembangunan dan peremajaan kota. Menurut Ernawi (2012) konsep kota hijau
memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain
pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi pada berbagai permasalahan
perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan
berkurangnya luasan ruang terbuka hijau. Kementerian PU (2012) menerangkan
bahwa konsep kota hijau memiliki 8 atribut yaitu : 1. Green Planning and Design,
2. Green Open Space, 3. Green Waste, 4. Green Transportation, 5. Green Water,
6. Green Energi, 7. Green Building, 8. Green Community.
Konsep kota hijau di Indonesia dirumuskan dalam Program Pengembangan
Kota Hijau (P2KH). Menurut Kementerian PU (2011) P2KH merupakan salah
satu langkah Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kota/ Kabupaten dalam memenuhi ketetapan Undang – Undang
Penataan Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan. Berdasarkan
Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 pengertian Ruang Terbuka Hijau Kota adalah
ruang-ruang terbuka dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka atau pada dasarnya tanpa bangunan.

2
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan adalah untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lainnya. RTH sangat diperlukan
untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi masyarakat serta
menciptakan estetika kota (Joga dan Ismaun 2011). Menurut UU No. 26 tahun
2007 luas minimal RTH di wilayah perkotaan agar dapat menjalankan prosesproses ekologis tersebut minimal 30% dari total luas wilayah kota, terdiri atas
RTH publik 20% dan RTH privat 10% (Direktorat Jendral Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum 2007).
Salah satu kota di Jawa yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pesat adalah Kota Yogyakarta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Keadaan ini akan terus mengalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan
penduduk dan aktifitas yang ada di Kota Yogyakarta. Secara administratif Kota
Yogyakarta adalah Ibukota Provinsi DIY yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Sebagai salah satu kota kuno di
Indonesia Kota Yogyakarta merupakan kota yang lahir secara terencana dengan
baik dalam pemilihan lokasi hingga rencana tata ruangnya.
Pusat kota dijadikan sebagai pusat kehidupan penduduk kota karena di
dalamnya terdapat komponen yang merepresentasikan aspek kehidupan sosial,
politik, keagamaaan, dan ekonomi. Dalam kawasan ini terdapat berbagai macam
bangunan yang digunakan sebagai kawasan permukiman maupun pusat kegiatan
perdagangan dan jasa yang berguna untuk menunjang kehidupan bermasyarakat.
Pusat kota ini membentuk pola tertentu, pola-pola tersebut adalah alun-alun lor
yang merupakan pusat kota yang dikelilingi oleh Masjid Agung di sebelah
baratnya, Pekapalan (pendopo kecil) disebelah timur, Keraton di sebelah
selatannya, dan Pasar di sebelah utara.
Saat ini kawasan pusat kota mengalami perkembangan pesat dimana ruangruang pengembangan semakin sempit dan tidak mampu menampung
perkembangan kota yang semakin kompleks. Menurut Sitorus et al. (2011) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, yaitu alokasi RTH
dalam RTRW, fasilitas kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk, dan
fasilitas pendidikan. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 jumlah penduduk sebanyak 388.627
jiwa, dibandingkan dengan tahun 2012 yang berjumlah 394.012 jiwa, sehingga
telah mengalami kenaikan sebesar 5.385 jiwa dengan rata-rata kepadatan
penduduk 12.123 jiwa/km2 (BPS Kota Yogyakarta 2013). Walaupun
pertumbuhannya rendah tetapi jumlah penduduk akan terus bertambah setiap
tahunnya, bahkan pada bulan tertentu seperti liburan sekolah Kota Yogyakarta
semakin penuh sesak dan biasanya timbul kemacetan di berbagai tempat.
Meningkatnya jumlah penduduk ini diduga karena besarnya tingkat
urbanisasi ke Kota Yogyakarta dengan alasan mencari pekerjaan dan sekolah.
Mengingat bahwa Kota Yogyakarta tidak hanya sebagai pusat pemerintahan tetapi
juga merupakan pusat perekonomian (perdagangan dan jasa) serta pusat
pariwisata, maka seiring dengan waktu pertumbuhan penduduk akan berdampak
pada menurunnya kualitas lingkungan. Apalagi kota ini terletak di kaki Gunung
Api Merapi yang aktif sehingga pada saat aktifitas vulkanik terjadi maka debu
vulkanik sering menutupi kota ini, sehingga menambah rasa kurang nyaman untuk
mendukung kehidupan kota dan aktifitas warganya.

3
Penggunaan lahan di kota Yogyakarta pada tahun 2012 didominasi oleh
lahan permukiman, sedangkan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan
adalah sektor jasa seperti kegiatan perdagangan dan pariwisata. Peningkatan ini
menggambarkan dinamika perekonomian kota Yogyakarta yang ditopang oleh
sektor jasa, sebaliknya untuk lahan pertanian luasannya sangat rendah yaitu hanya
76 ha (BPS Kota Yogyakarta 2013). Mengingat posisi Kota Yogyakarta sebagai
daerah perkotaan, maka di dalam RTRW sudah tidak terdapat lagi alokasi lahan
pertanian.
Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2011,
ruang terbuka hijau (RTH publik) yang dibangun pemerintah hanya 17,17%
(557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yogyakarta. Kurangnya luas RTH publik
di wilayah kota diakibatkan oleh kendala keterbatasan lahan. Maraknya
pembangunan beragam proyek yang melanggar aturan lingkungan menyebabkan
semakin kritisnya ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta.
Permintaan lahan kota yang terus tumbuh untuk pembangunan berbagai fasilitas
perkotaan, sering mengubah konfigurasi alami lahan/ bentang alam perkotaan dan
menyita lahan-lahan tersebut atau berbagai bentukan ruang terbuka lainnya.
Pembangunan mal, hotel dan beragam fasilitas lainnya hampir tidak ada yang
memenuhi ketentuan untuk berpihak kepada aturan menjaga lingkungan.
Salah satu dampak akibat berkurangnya RTH yang dapat dirasakan secara
langsung adalah menurunnya tingkat kenyamanan kota. Menurut Niewolt (1975)
kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh
keadaan lingkungan yang dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan
kelembaban udara dan suhu udara yang disebut dengan Temperature Humidity
Index (THI). Hasil penelitian Niewolt (1975) juga menyatakan bahwa THI
Indonesia adalah pada kisaran 20 – 26 °C. Menurut Rushayati et al. (2011) suhu
udara tinggi dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan yaitu berupa lahan terbangun,
sebaliknya suhu udara rendah dipengaruhi oleh ruang terbuka hijau. Semakin
tinggi persentase lahan terbangun di suatu area, maka akan semakin tinggi juga
suhu udara di area tersebut. Sebaliknya semakin tinggi persentase ruang terbuka
hijau, maka semakin rendah suhu udaranya. Pengembangan dan pembangunan
ruang terbuka hijau akan efisien dan efektif jika dilakukan di area yang tepat yaitu
di area dengan suhu udara tinggi.
Untuk membuat suatu arahan tata ruang dalam konsep kota hijau dan
mendukung RTRW Kota Yogyakarta yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan maka diperlukan suatu pemanfaatan lahan yang optimal
berdasarkan kesesuaian lahan wilayah tersebut. Penerapan konsep kota hijau
diharapkan mampu menambah Ruang Terbuka Publik dan Ruang Terbuka Privat
serta merelokasikan kegiatan komersil dan aktifitas umum lainnya sebagai bagian
dari upaya menjaga laju pertumbuhan dan kebutuhan ruang kota. Sementara yang
terjadi adalah aktifitas yang terus berkembang di pusat kota, sedangkan
permasalahan kota belum terselesaikan secara optimal.
Dalam kasus Kota Yogyakarta RTH publik disumbang dari pembangunan
jalur hijau, sempadan sungai, areal pemakaman, jalur pengaman atau median
jalan, kebun binatang, lapangan olah raga, taman kota dan tempat rekreasi serta
tempat parkir terbuka, sedangkan RTH privat disumbang dari sawah, taman
kantor dan taman gedung komersil, taman perumahan dan permukiman.

4
Pada umumnya keberadaan RTH kota kurang mendapat perhatian, terutama
dalam tata letak penempatannya. Dengan mengetahui tipe dan lokasi-lokasi yang
tepat dalam penempatan RTH, fungsi RTH dapat dimaksimalkan sehingga dapat
memberikan manfaat yang cukup signifikan pada masyarakat sekitar. Diharapkan
pengembangan RTH secara langsung akan mempengaruhi kebijakan pemerintah
dalam membangun dan merencanakan suatu kota yang layak huni dan mampu
mendukung kehidupan warganya.
Perumusan Masalah
Perkembangan Kota yogyakarta yang sangat pesat menyebabkan turunnya
kualitas lingkungan. Tingginya jumlah penduduk di kota ini mengakibatkan
kebutuhan penduduk terhadap ruang semakin tinggi terutama untuk lahan
terbangun. Hal ini pada akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya proses konversi
lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Pembangunan
infrastruktur kota untuk memfasilitasi kebutuhan warganya seringkali mengambil
bagian dari ruang hijau sehingga jumlah ruang terbuka hijau yang ada di
perkotaan menjadi berkurang.
Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan konversi lahan di kota
adalah dengan menerapkan konsep Kota Hijau (Green City). Konsep kota hijau di
Indonesia dirumuskan dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH).
Menurut Kementerian PU (2011) Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
merupakan salah satu langkah Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kota/ Kabupaten dalam memenuhi ketetapan Undang–
Undang Penataan Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan.
Penerapan konsep Kota Hijau di Kota Yogyakarta di fokuskan untuk memenuhi
30% dari total luas wilayah kota menjadi RTH, yaitu RTH publik 20% dan RTH
privat 10%.
Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010,
ruang terbuka hijau publik yang dibangun pemerintah masih kurang dari 20% atau
hanya 17,17% (557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yogyakarta. RTH publik
kota ini didominasi oleh area hijau pasif yaitu 11,14% sedangkan taman kota,
taman rekreasi dan lapangan olah raga sebagai ruang interaksi hanya terdapat
2,27%. RTH privat sudah melebihi syarat yang ditentukan yaitu 14,49% yang
didominasi oleh area pertanian (6,25%) dan taman perkantoran (6,67%). Tetapi
angka ini dapat berubah karena area pertanian adalah area yang cepat sekali
berubah menjadi lahan terbangun. Meskipun didominasi oleh kawasan
permukiman tetapi taman lingkungan permukimannya hanya mencapai 1,63%.
Hal ini menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta kekurangan ruang publik sebagai
tempat interaksi warganya.
Dalam mewujudkan RTH seluas 30% diperlukan suatu perencanaan secara
bertahap dalam bentuk arahan pengembangan RTH yang dapat digunakan sebagai
upaya pencegahan dan solusi dalam mengatasi semakin berkurangnya luasan RTH
dan kenyamanan Kota Yogyakarta. Tahap awal yang dilakukan dalam menyusun
arahan tersebut adalah menginventarisasi penggunaan lahan dan RTH eksisting
dan menghitung kecukupan RTH tiap kecamatan. Setelah didapat nilai kecukupan
RTH-nya kemudian menentukan area prioritas yang dapat dikembangkan untuk
RTH.

5
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat disusun beberapa
pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut :
1. Berapakah luas dan bagaimanakah persebaran penggunaan lahan aktual dan
RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014?
2. Berapakah luas kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk,
dan nilai THI?
3. Bagaimanakah cara menentukan area prioritas untuk pengembangan RTH?
4. Arahan pengembangan RTH seperti apa yang dapat direkomendasikan agar
sesuai dengan konsep Kota Hijau?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang diuraikan
di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi luas dan persebaran penggunaan lahan aktual dan RTH
eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014.
2. Menghitung luas kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah
penduduk, dan nilai THI.
3. Menentukan area prioritas untuk pengembangan RTH.
4. Menyusun arahan pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta.

1.

2.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
Memberikan gagasan dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah mengenai
penerapan konsep Green City di Indonesia dan khususnya di Kota
Yogyakarta.
Memperkaya ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan tujuan memberikan arahan
pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta. Konsep Kota hijau menurut
Kementrian PU (2011) memiliki 8 atribut yaitu : 1. Green Planning and Design,
2. Green Open Space, 3. Green Waste, 4. Green Transportation, 5. Green Water,
6. Green Energi, 7. Green Building, 8. Green Community. Namun demikian,
dalam penelitian ini hanya digunakan 2 atribut saja yaitu green Planning and
Design dan Green Open Space. Analisis tahap pertama yang dilakukan adalah
mengkaji kondisi eksisting dilihat dari penggunaan lahan dan RTH-nya
menggunakan interpretasi Citra Quickbird. Luas wilayah, jumlah penduduk dan
nilai THI Kota Yogyakarta dijadikan parameter untuk menghitung kecukupanan
RTH-nya. Setelah didapatkan jumlah kebutuhan RTH kemudian menentukan area
prioritas untuk dikembangkan menjadi RTH publik yang akan menjadi dasar
dalam penentuan arahan pengembangan RTH di Kota Yogyakarta.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan wisata dan pendidikan telah
menjadi magnet bagi orang untuk datang. Tingginya urbanisasi telah
meningkatkan jumlah penduduk dan menimbulkan degradasi lingkungan. Banyak
lahan atau ruang terbuka hijau beralih fungsi menjadi ruang terbangun hanya

6
untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana warganya. Undang-undang
No.26/2007 menyatakan proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling
sedikit 30% dari luas wilayah kota dimana 20% berupa ruang terbuka hijau
publik. Untuk memenuhi proporsi tersebut dipilih salah satu konsep pencapaian
yaitu kota hijau dengan menganalisis 2 atributnya yaitu Green Planning and
Design dan Green Open space.
Analisis penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui distribusi
peruntukan ruang yang meliputi ruang untuk fungsi lindung dan ruang untuk
fungsi budidaya, sedangkan analisis RTH dilakukan untuk mengetahui kecukupan
dan menentukan area yang berpotensi untuk RTH. Hasil analisis ini selanjutkan
digunakan untuk menentukan arahan pengembangan RTH di Kota Yogyakarta.
Alur kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar
1.
Kondisi eksisting
Kota Yogyakarta
Pertumbuhan Penduduk
Degradasi Lingkungan
Meningkatnya Ruang Terbangun dan
Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau

Analisis Green
Planning and Design

Analisis Green
Open Space

Pola dan Distribusi
Peruntukan Ruang

Kecukupan Ruang
Terbuka Hijau

Penggunaan Lahan

Area prioritas
untuk RTH

Arahan Pengembangan RTH menuju
Kota Hijau Yogyakarta
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Atribut Kota Hijau
Kota hijau adalah kota dimana semua konstruksi buatan manusia seperti
jalan dan bangunan berpadu dalam harmoni yang seimbang dengan lingkungan,
masyarakat, dan perekonomian. Kesemuanya itu dikelola oleh pemerintah yang
bertanggung jawab, terbuka kepada rakyatnya serta bekerja sama dengan
masyarakat melalui proses partisipatif (Kementerian Pekerjaan Umum 2011).
Terdapat 8 atribut kota hijau, yaitu :
1. Green Planning and Design, Perencanaan dan perancangan yang sensitif
terhadap agenda hijau.
2. Green Open Space, Perwujudan kualitas, kuantitas, dan jejaring RTH
perkotaan.
3. Green Waste, Penerapan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah,
mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah.
4. Green Transportation, Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan,
misalnya: transportasi publik, jalur sepeda, dsb.
5. Green Water, Peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
air.
6. Green Energi, Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan.
7. Green Building, Penerapan bangunan ramah lingkungan (hemat air, energi,
struktur, dsb)
8. Green Community, Peningkatan kepekaan, kepedulian, dan peran serta aktif
masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut Kota Hijau. (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2011)
Muatan Rencana Aksi Kota Hijau
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) adalah kegiatan yang telah
dirintis oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang - Kementerian Pekerjaan Umum,
merupakan salah satu langkah nyata pemerintah pusat bersama-sama dengan
pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten dalam memenuhi ketetapan
UUPR, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan, sekaligus menjawab
tantangan perubahan iklim di Indonesia. P2KH merupakan inovasi program
perwujudan RTH perkotaan yang berbasis komunitas. Muatan Rencana Aksi Kota
Hijau (RAKH) tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Muatan Rencana Aksi Kota Hijau
Atribut
Indikator
Green Planning Perencanaan Kota
& Design

Aksi
Aksi-1

Perancangan Kota

Aksi-2

Bentuk Rencana Aksi
Mengembangkan rencana tata
ruang yang telah mengadopsi
prinsip-prinsip kota hijau dan
menjamin karakter
kota/kawasan
Mengembangkan dokumen
perancangan kota yang
mengarah pada penerapan
kawasan berkepadatan tinggi,

8
Tabel 1 (Lanjutan)

Green Open
Space

Penetapan RTR dan
Rancang Kota

Aksi-3

Kuantitas RTH

Aksi-4

Kualitas RTH

Aksi-5

Perlindungan dan
restorasi
Habitat
dan Cagar Alam

Aksi-6

mixed used, dan berorientasi
pada manusia (penyediaan
jalur pedestrian, penyandang
cacat, pengguna sepeda)
Menetapkan dokumen
perencanaan dan perancangan
kota sebagai produk hukum
yang kuat dan mengikat, baik
perda/perwal/perbup,
termasuk peraturan mengenai
RTH
Meningkatkan kuantitas RTH
publik dan privat sesuai
dengan amanat UUPR
26//2007 (berdasarkan peta
RTH eksisting, peta rencana
dan program perwujudannya)
Menjamin akses yang mudah
bagi masyarakat pada RTH
dengan mengembangkan
jejaring RTH (network) yang
sesuai dengan karakteristik
kota/kawasan
Melindungi dan merestorasi
habitat yang kritis dari
pengembangan yang tidak
berkelanjutan (misal:
mangrove, persinggahan
satwa, zona lindungan
lainnya)

Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, (2011)
Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Kota
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur
tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spiritual (Arsyad 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan
menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan permukiman, 2) lahan
industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan
penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi,
8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan.
Menurut Yuwono (2008), penggunaan lahan sangat menentukan wujud
keruangannya serta caca-cara manusia beraktifitas. Penyebab penyimpangan
penggunaan lahan secara garis besar ada dua, yaitu ruang sebagai objek dan
manusia sebagai pelaku. Dari aspek ruang, pengambil alihan lahan dari
masyarakat yang berpenghasilan rendah oleh masyarakat yang berpenghasilan
menengah atau tinggi menunjukkan pembentukkan ruang dilatar belakangi oleh
nilai ekonomi. Semakin tinggi nilai ruang meningkatkan daya tarik masyarakat

9
yang mampu untuk menguasainya. Dari aspek pelaku, kota merupakan hasil
kreatifitas yang mencerminkan pandangan manusia yang membentuknya.
Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di
permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Dilihat dari
sistem keruangan kota penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh
terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Pengaruh penggunaan lahan terhadap pola
tata ruang kota tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan
komunikasi dari dan ke daerah-daerah di sekitar kota utama, kondisi topografis,
kondisi hidrologis merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh
penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota. Dalam menganalisis pengaruh
penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota perlu pemahaman bentuk-bentuk
penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun, daerah peralihan kota-desa
serta daerah perdesaan (Yunus 2006).
Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang
sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan
merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus
menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan
istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan,
posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan
aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi,
setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi et al. 2011).
Menurut Rustiadi et al. (2011), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan
dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan
pemanfaatannya. Kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih
rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub
urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks
pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta
penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map)
adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang
yang ada.
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau dikenal dengan istilah RTH, merupakan istilah yang
telah lama diperkenalkan. Pedoman Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di
Wilayah Perkotaan (Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988), menegaskan bahwa
untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan yang mencakup bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya, diperlukan upaya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasan-kawasan hijau.
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan dititikberatkan pada
hijau sebagai unsur kota, baik produktif maupun non produktif, dapat berupa
kawasan jalur hijau pertamanan kota, kawasan hijau pertanian, kawasan jalur
hijau pesisir pantai, kawasan jalur hijau sungai dan bentuk ruang terbuka hijau
lainnya.
Sesuai Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 tersebut, maka pengertian Ruang
Terbuka Hijau adalah ruang-ruang terbuka dalam kota atau wilayah yang lebih

10
luas, baik dalam bentuk areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang
atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, pada dasarnya
tanpa bangunan. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat
pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya
tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Menurut Irwan (2005) Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan
merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau
pertamanan, hutan kota, rekreasi, olah raga pemakaman, pertanian,
pekarangan/halaman, green belt dan lainnya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, menyebutkan
bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat
RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota. RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu
kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung
manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Luas ideal RTHKP
minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) diperlukan guna meningkatkan
kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan secara ekologis, estetis, dan
sosial. Secara ekologis, ruang terbuka hijau berfungsi sebagai pengatur iklim
mikro kota yang menyejukkan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen
alam yang mampu mengendalikan iklim mikro melalui pengendalian fluktuasi
atau perubahan unsur-unsur iklim mikro yang ada di sekitarnya misalnya suhu,
kelembaban, angin dan curah hujan.
Jenis Ruang Terbuka Hijau
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 dalam
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah
Perkotaan, jenis RTH dapat dikelompokkan sesuai dengan tipologinya yang
disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tipologi RTH
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar
alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau
binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan.

11
Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan
ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis
(mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti
hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke
dalam RTH publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH
privat tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Kepemilikan RTH
No.

Jenis

1.

RTH Pekarangan
a. Perkarangan rumah tinggal
b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha
c. Taman atap bangunan
RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT
b. Taman RW
c. Taman kelurahan
d. Taman kecamatan
e. Taman kota
f. Hutan kota
g. Sabuk hijau (green belt)
RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan
b. Jalur pejalan kaki
c. Ruang dibawah jalan layang
RTH fungsi tertentu
a. RTH sempadan rel kereta api
b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi
c. RTH sempadan sungai
d. RTH sempadan pantai
e. RTH pengaman sumber air baku/mata air
f. Pemakaman

2.

3.

4.

RTH
Publik

RTH
Privat































Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, jenis Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan terdiri dari:
a. Taman kota
b. Taman wisata alam
c. Taman rekreasi
d. Taman lingkungan perumahan dan permukiman
e. Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial
f. Taman hutan raya
g. Hutan kota
h. Hutan lindung
i. Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah
j. Cagar alam
k. Kebun raya

12
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.

Kebun binatang
Pemakaman umum
Lapangan olah raga
Lapangan upacara
Parkir terbuka
Lahan pertanian perkotaan
Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET)
Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa
Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian
Kawasan dan jalur hijau
Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara dan
Taman atap (roof garden)

Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No
05/PRT/M/2008, RTH memiliki fungsi utama dan tambahan sebagai berikut:
a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi
udara (paru-paru kota)
Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat
berlangsung lancar
Sebagai peneduh
Produsen oksigen
Penyedia habitat satwa
Penyerap air hujan, polutan media udara, air dan tanah, serta
Penahan angin
b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
Fungsi sosial dan budaya:
- Menggambarkan ekspresi budaya lokal
- Media komunikasi warga kota
- Tempat rekreasi
- Wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam
mempelajari alam
Fungsi ekonomi:
- Sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun,
sayur mayur
- Bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan
lain-lain dan
Fungsi estetika:
- Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari
skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro:
lanskap kota secara keseluruhan
- Menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk
faktor keindahan arsitektural serta menciptakan suasana serasi dan
seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

13
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti
perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.
Fungsi hijau dalam RTH kota sebagai paru-paru kota, sebenarnya hanya
merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang, antara gas
karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) hasil fotosintesis khususnya pada
dedaunan. Sistem tata hijau ini berfungsi semacam ventilasi udara dalam rumah /
bangunan (Hakim 1987). Lebih dari itu, masih banyak fungsi RTH termasuk
fungsi estetika yang bermanfaat sebagai sumber rekreasi publik secara aktif
maupun pasif, yang diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat
pengendali tata ruang lahan dalam suatu sistem RTH kota (urban park system).
RTH juga berfungsi sebagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis
yang terik dan lembab (peneduh) (Purnomohadi 2006).
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu Udara
Suhu merupakan faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia.
Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kegiatan manusia.
Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala
tertentu dengan menggunakan termometer dan merupakan unsur iklim yang
sangat penting. Suhu atau temperatur udara ini berubah sesuai dengan tempat dan
waktu. Variasi harian dari suhu atau temperatur pada umumnya sama.
Suhu di permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (Tjasyono
1996) :
Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim
Pengaruh daratan atau lautan
Pengaruh ketinggian tempat
Pengaruh angin secara tidak langsung
Pengaruh panas laten
Tipe dan penutup tanah
Pengaruh sudut datang sinar matahari
Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam.
Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya
maksimum tercapai (Santosa 1986). Setiap hari, suhu udara maksimum terjadi
sesudah tengah hari, biasanya sekitar jam 14.00 dan akan mencapai minimum
sekitar jam 06.00 atau sekitar matahari terbit. Suhu udara yang bertambah secara
kontinu ini, dari matahari terbit sampai kira-kira jam 15.00 ditahan oleh angin laut
(Tjasyono 1996). Peningkatan panas laten akibat penguapan dapat menurunkan
suhu udara karena proporsi panas terasa yang menyebabkan kenaikan suhu udara
menjadi berkurang.
Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak
ditumbuhi oleh vegetasi. Menurut Landsberg (1981), iklim ideal bagi kenyamanan
manusia adalah udara yang bersih dengan suhu udara kurang lebih 27°C sampai
dengan 28°C, dan kelembaban udara antara 40% sampai 75%.

14
Kelembaban Udara
Menurut Kartasapoetra (2008) kelembaban adalah banyaknya kadar uap air
yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti:
1. Kelembaban mutlak adalah masa uap air yang berada dalam satu satuan udara
yang dinyatakan dalam gram/m3.
2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara
dengan satuan masa udara yang dinyatakan dalam gram/Kg.
3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan
jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu
dan dinyatakan dalam persen. Angka kelembaban relatif dari 0%-100%.
Dimana 0% artinya kering, sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap
air dimana akan terjadi titik-titik air.
Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Kelembaban
udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan
karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini
berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari tersebut.
Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang
memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air
di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001).
Proses-proses dimana kelembaban relatif dapat naik menjadi 100% dengan
penurunan temperatur adalah :
Proses pendinginan oleh radiasi
Proses pendinginan oleh konduksi dan pemindahan panas turbulensi oleh
eddies
Proses pendinginan adiabatik oleh penurunan tekanan
Kelembaban relatif (RH) akan lebih kecil bila suhu udara meningkat dan
sebaliknya jika suhu udara lebih rendah maka RH atau kelembabannya tinggi