Study of Listeria monocytogenes in Gouda Cheeses

KAJIAN Listeria monocytogenes PADA KEJU GOUDA

DEBBY FADHILAH PAZRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Listeria
monocytogenes pada Keju Gouda adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Debby Fadhilah Pazra
NIMB251110011

RINGKASAN
DEBBY FADHILAH PAZRA. Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda.
Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan DENNY WIDAYA
LUKMAN.
Listeria monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat
menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi.
L. monocytogenes dapat ditemukan pada keju Gouda karena dipengaruhi berbagai
faktor diantaranya proses pasteurisasi susu yang tidak sempurna, kontaminasi
setelah pasteurisasi, prosedur sanitasi yang tidak benar serta kemampuan bakteri
ini membentuk biofilm. Selain itu, bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses
pembuatan keju serta pada proses pemeraman keju. Tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk mengkaji keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda serta
memberikan gambaran keamanan keju Gouda terhadap keberadaan
L. monocytogenes.
Sampel yang digunakan pada Penelitian ini terdiri atas 15 keju Gouda
produksi lokal dan 15 keju Gouda impor. Sampel yang diambil memperhatikan
kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Metode untuk mendeteksi keberadaan

L. monocytogenes pada penelitian ini mengacu pada Bacteriological Analytical
Manual (BAM), Food and Drug Administration (FDA) dan Bergey’s Manual of
Determinative Bacteriology. Tahap pertama yaitu pengayaan sampel pada media
Listeria enrichment broth, kemudian dilakukan isolasi pada media Oxford agar
dan dilanjutkan dengan tahap identifikasi menggunakan uji katalase, uji KOH 3%,
pewarnaan Gram, uji fermentasi karbohidrat (mannitol, rhamnose, xylose), uji
motilitas dan uji CAMP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan keberadaan
L. monocytogenes pada 15 sampel keju Gouda produksi lokal (0%) dan 15 sampel
keju Gouda impor (0%). Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju
Gouda produksi lokal dan impor yang diuji disebabkan karena kombinasi dari
faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju Gouda seperti proses
pasteurisasi susu sebagai bahan baku pembuatan keju Gouda, penurunan pH
akibat dari penambahan kultur starter bakteri asam laktat (BAL), dan terjadinya
penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Kombinasi dari
faktor-faktor presevatif ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes
bahkan dapat menginaktifkan L. monocytogenes. Selain itu, tidak terjadinya
kontaminasi dari bakteri ini setelah proses pasteurisasi susu maupun selama
proses pengolahan susu hingga menjadi keju. Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda

yang diuji yaitu jumlah L. monocytogenes pada sampel masih di bawah limit
deteksi dari metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa semua sampel keju Gouda yang diuji tidak
ditemukan keberadaan L. monocytogenes dan relatif aman dari cemaran
L. monocytogenes serta telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI
7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
Kata kunci: keju Gouda, Listeria monocytogenes

SUMMARY
DEBBY FADHILAH PAZRA. Study of Listeria monocytogenes in Gouda
Cheeses. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and DENNY WIDAYA
LUKMAN.
Listeria monocytogenes is a foodborne pathogen, which has been associated
with several outbreaks of human listeriosis especially in high risk groups.
L. monocytogenes could present in Gouda cheeses because it was influenced by
various factors, including unsatisfactory pasteurization treatment, contamination
after heat treatment, improper sanitizing procedures and ability of this bacteria to
forming biofilms. In addition, this bacteria could survive during the process of
cheese making and ripening. The purpose of this study were to examine the
presence of L. monocytogenes in Gouda cheeses and to provide an overview of

Gouda cheese safety of in regards with L. monocytogenes.
The samples of this study consisted of 15 local Gouda cheese and 15
imported Gouda cheese which were sold in supermarkets. The samples were taken
with considering production code and expired date. The method to detect presence
of L. monocytogenes which referred to the Bacteriological Analytical Manual, US
Food and Drug Administration and Bergey's Manual of Determinative
Bacteriology. The first step was enrichment of samples in Listeria enrichment
broth, then isolated in oxford agar and identification step using catalase test, 3%
KOH test, Gram stain, carbohydrate fermentation test (mannitol, rhamnose,
xylose), motility test and CAMP test.
The results of this study showed that L. monocytogenes was not found in 15
samples of local Gouda cheese (0%) and 15 samples of imported Gouda cheese
(0%). The absence of L. monocytogenes in local and imported Gouda cheeses was
related to combination of preservative factors in Gouda cheese such as
pasteurization of milk as raw material for making of Gouda cheese, decrease in
pH was caused by the addition of lactic acid bacteria starter cultures, and decline
in water activity during the ripening process of Gouda cheeses. The combination
of these preservative factors could inhibit the growth of L. monocytogenes could
even inactivate L. monocytogenes. In addition, there was not contamination of
L. monocytogenes after the pasteurization and during processing of milk to

become cheeses. Another factor that could affect the absence of L. monocytogenes
in Gouda cheese samples was the number of L. monocytogenes in the samples
below the detection limit of conventional method which used in this study. The
study could be concluded that all of samples of Gouda cheese were not found the
existence of L. monocytogenes and relatively safe from contamination of
L. monocytogenes and fulfilled the standard that determined by national standard
of Indonesia 7388:2009 about Maximum Limit of Microbial Contamination in
Food.
Keywords: Gouda cheeses, Listeria monocytogenes

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


KAJIAN Listeria monocytogenes PADA KEJU GOUDA

DEBBY FADHILAH PAZRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet drh Mirnawati B
Sudarwanto

Judul Tesis
Nama

NlM

Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda
Debby Fadhilah Pazra
B251110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Trioso umawarman, MSi
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Tanggal Ujian:Z

9 JUL ZGtl


Tanggal Lulus :

1 4 AUG 2013

Judul Tesis
Nama
NIM

:
:
:

Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda
Debby Fadhilah Pazra
B251110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr drh Trioso Purnawarman, MSi
Ketua

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam
segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan
tesis ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari
berbagai pihak dalam penyempurnaan tulisan.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr drh Trioso
Purnawarman, MSi selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan
arahannya dalam penyelesaian tesis; Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
selaku anggota komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS KMV
SPs IPB) yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulisan tesis; dan
seluruh staf pengajar beserta tenaga kependidikan PS KMV SPs IPB. Terima
kasih kepada seluruh rekan-rekan PS KMV Reguler tahun 2011/2012 dan rekanrekan mahasiswa pascasarjana lainnya yang telah memberikan warna dan
keceriaan saat proses pendidikan. Terima kasih juga kepada Pak Hendra, Pak
Rahmat dan Pak Ade yang sudah banyak membantu selama penelitian di
laboratorium. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga
tercinta atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada penulis.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Semoga tesis ini
bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2013
Debby Fadhilah Pazra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik L. monocytogenes
L. monocytogenes pada Keju
Listeriosis pada Manusia
Patogenesis L. monocytogenes
Keju Gouda
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Metode
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel

Metode Pengujian L. monocytogenes
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan L. monocytogenes pada Keju Gouda
Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
1
2
2
2
2
4
4
5
7
9
9
9
10
13
13
20
24
24
24
29

14

DAFTAR TABEL
1 Interpretasi hasil uji L. monocytogenes
2 Persentase L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan
impor
3 Wabah listeriosis yang dikaitkan dengan keju pada beberapa negara dari
tahun 2000-2010

3
14
21

DAFTAR GAMBAR
1 Listeria monocytogenes dengan pewarnaan Gram pada kultur cairan
serebrospinal
2 Tahap proses invasi dan penyebaran intraseluler L. monocytogenes
3 Keju Gouda
4 Diagram alir pembuatan keju Gouda
5 Diagram alir pembiakan L. monocytogenes
6 Diagram alir identifikasi L. monocytogenes
7 Uji CAMP
8 Tahap pengayaan menggunakan LEB
9 Media Oxford agar mengandung biakan sampel keju Gouda produksi
lokal dan impor yang telah diperkaya dalam media LEB tidak
ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes
10 Kontrol positif yang diisolasi pada media Oxford agar terdapat
pertumbuhan dari L. monocytogenes

3
6
7
8
11
11
12
14
14

15

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Listeria monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat
menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi seperti
bayi, lanjut usia (umur ≥60 tahun), wanita hamil dan penderita
immunocompromised. Infeksi yang disebabkan oleh L. monocytogenes terutama
dapat menyebabkan septikemia dan meningitis dengan tingkat mortalitas yang
tinggi (Lomonaco et al. 2009). Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa
sebagian besar infeksi L. monocytogenes bersumber dari makanan yang
terkontaminasi (Ueda et al. 2006).
Keju terutama keju lunak dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis di
beberapa negara. Wabah listeriosis yang disebabkan karena mengonsumsi keju
telah dilaporkan di Jepang pada tahun 2001. Sebanyak 86 orang telah terinfeksi
L. monocytogenes dan 38 orang diantaranya menunjukkan gejala gastroenteritis
atau gejala seperti flu (flue like syndrome) setelah mengonsumsi keju (Makino et
al. 2005). Sebanyak 119 kasus listeriosis juga terjadi di Chili pada tahun 2008
setelah mengonsumsi keju Brie dan Camembert (Gilmour et al. 2010), sedangkan
di Indonesia belum tersedia data maupun laporan yang mencatat kejadian
listeriosis. Hal ini cukup menyulitkan dalam menentukan prevalensi listeriosis di
Indonesia.
Infeksi L. monocytogenes melalui makanan pada manusia terutama
berkaitan dengan produk-produk yang tidak memerlukan pemasakan sebelum
dikonsumsi dan masa simpannya diperpanjang pada suhu dingin, produk ini
disebut dengan ready to eat (makanan siap saji) salah satunya yaitu keju
(Lomonaco et al. 2009). Keju Gouda merupakan salah satu jenis keju yang
dikenal di Indonesia, dimana merupakan keju semi keras yang berasal dari
Belanda. Pemenuhan kebutuhan keju Gouda di Indonesia tidak hanya melalui
impor tetapi sudah dapat di produksi di dalam negeri sejak tahun 1999.
Listeria monocytogenes dapat ditemukan pada keju Gouda karena
dipengaruhi berbagai faktor diantaranya proses pasteurisasi susu yang tidak
sempurna, perlakuan atau kontaminasi setelah pasteurisasi, prosedur sanitasi yang
tidak benar, pengembangan resistensi bahan kimia yang secara rutin digunakan
untuk sanitasi serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm juga
mengakibatkan resisten terhadap desinfektan. Selain itu, beberapa sifat dari
L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH rendah (sampai pH 4.4), tahan
terhadap konsentrasi garam yang tinggi dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu
dingin memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan
keju dan pada proses pemeraman keju (Lomonaco et al. 2009). Pada umumnya
permukaan keju Gouda dilapisi oleh lilin sehingga oksigen yang masuk ke dalam
keju Gouda menjadi sedikit. Kondisi ini menjadi media yang cocok untuk
pertumbuhan L. monocytogenes mengingat bahwa bakteri ini bersifat fakultatif
anaerob sampai mikroaerofilik. Laporan dari CDC (2010), menyatakan bahwa
L. monocytogenes telah dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju
Gouda telah dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California
terkait dengan terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika

2

Serikat akibat dari mengonsumsi keju. Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan
pengujian terhadap keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda yang beredar
di Indonesia.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas dapat diambil suatu
perumusan masalah yaitu apakah keberadaan L. monocytogenes ditemukan pada
keju Gouda serta bagaimana gambaran keamanan keju Gouda tersebut ditinjau
dari keberadaan L. monocytogenes.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberadaan L. monocytogenes pada
keju Gouda serta untuk memberikan gambaran keamanan keju Gouda ditinjau
dari keberadaan L. monocytogenes.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keamanan keju
Gouda ditinjau dari keberadaan L. monocytogenes. Selain itu, diharapkan dapat
sebagai bahan pertimbangan terhadap kebijakan teknis kegiatan importasi untuk
mencegah peluang masuk L. monocytogenes melalui media pembawa keju.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik L. monocytogenes
Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang,
berukuran kecil dengan diameter 0.5 µm dan panjang 1-2 µm (Gambar 1).
Susunan sel dari bakteri ini ditemukan sebagai unit tunggal atau rantai pendek
serta dapat berbentuk V dan Y. Kadang-kadang bakteri ini berbentuk coccoid
dengan rata-rata diameter 0.5 µm dan dapat dikelirukan dengan streptococci.
L. monocytogenes tidak menghasilkan spora dan tidak membentuk kapsul serta
bakteri ini merupakan patogen fakultatif intraseluler yang dapat ditemukan dalam
monosit dan netrofil (Baek 2000; Donnelly 2001; Ryser dan Marth 2007).

3

Gambar 1 L. monocytogenes dengan pewarnaan Gram pada kultur cairan
serebrospinal (Lee et al. 2010)
Listeria monocytogenes memiliki flagela peritrikus yang merupakan alat
gerak ketika dikultur pada suhu 20-25 °C dan tidak atau motilitasnya sangat lemah
pada suhu 37 °C. Preparat hanging-drop dari biakan segar dalam tryptose
phosphate broth diinkubasi pada suhu 20 °C menunjukkan karakteristik motilitas
tumbling. Motilitas biakan dalam media semisolid menghasilkan gambaran khas
berbentuk payung atau pohon pinus terbalik sekitar 0.5 cm di bawah permukaan,
karena bakteri ini bersifat mikroaerofilik (Ryser dan Marth 2007). Selain itu,
L. monocytogenes bersifat fakultatif anaerob, hemolitik dan mempunyai
kemampuan memfermentasi rhamnose tetapi bukan xylose (Ray 2005).
Karakteristik penting dari L. monocytogenes adalah bersifat psikrotrof
dimana mampu tumbuh pada suhu dingin, mampu mentoleransi konsentrasi garam
(NaCl) yang tinggi, kondisi pH yang rendah (Vázquez-Boland et al. 2001), tahan
terhadap pembekuan dan pengeringan (Ray 2005) serta mampu membentuk
biofilm pada permukaan peralatan pengolahan dan lingkungan pengolahan
(Borucki et al. 2003). Biofilm adalah koloni bakteri yang melekat pada
permukaan benda atau lingkungan dan berlindung dalam matriks extracellular
polymeric substances (EPS) (Donlan dan Costerton 2000). Kemampuan
L. monocytogenes membentuk biofilm membuat bakteri ini menjadi lebih resisten
terhadap desinfektan dan paparan suhu tinggi (Moltz dan Martin 2005).
Menurut Ray (2005), kisaran suhu pertumbuhan L. monocytogenes yaitu
1-44 °C dengan pertumbuhan optimal pada suhu 35-37 °C. L. monocytogenes
sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71.7 °C selama 15 detik atau 62.8 °C selama
30 menit), tapi ketika bakteri ini di dalam sel darah putih, diperlukan suhu yang
lebih tinggi untuk membunuh sel bakteri yaitu pada suhu 76.4-77.8 °C selama 15
detik. Menurut Ryser dan Marth (2007), L. monocytogenes dapat tumbuh pada pH
4.5-9.2 dengan pertumbuhan optimal pada pH 7, bakteri ini juga tumbuh optimal
pada aw ≥0.97 serta mampu tumbuh pada konsentrasi NaCl 10%, bahkan dapat
bertahan hidup pada konsentrasi garam yang lebih tinggi. Kelangsungan hidup
pada pH rendah dan konsentrasi garam yang tinggi sangat bergantung pada suhu.
Menurut Jay et al. (2005), pertumbuhan L. monocytogenes terjadi dalam 14 hari
pada pH 4.4 dengan suhu 20 °C dan pada pH 5.23 dengan suhu 4 °C pertumbuhan

4

terjadi dalam 21 hari. Menurut Adams dan Moss (2008), pada konsentrasi NaCl
16% dengan pH 6.0 L. monocytogenes dapat bertahan selama satu tahun.

L. monocytogenes pada Keju
Kehadiran L. monocytogenes pada keju disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain proses pasteurisasi yang tidak sempurna, perlakuan atau kontaminasi
setelah pasteurisasi. Kontaminasi dapat meningkat akibat prosedur sanitasi yang
tidak benar, pengembangan resistensi bahan kimia yang secara rutin digunakan
untuk sanitasi serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm juga
mengakibatkan resisten terhadap desinfektan. Selain itu, beberapa sifat dari
L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH rendah (sampai pH 4.4), tahan
terhadap konsentrasi garam yang tinggi dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu
dingin memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan
keju dan pada proses pemeraman keju (Lomonaco et al. 2009).
Menurut Doyle et al. (2001), selama proses pembuatan keju bakteri ini
terkonsentrasi dalam curd (dadih keju) dan hanya sebagian kecil ditemukan pada
whey. Perilaku pertumbuhan bakteri ini dalam curd dipengaruhi oleh jenis keju.
Pada keju Feta terdapat pertumbuhan L. monocytogenes sedangkan pada keju
Cottage terjadi inaktivasi dari bakteri ini. Saat pemeraman, sel bakteri dapat
meningkat seperti pada keju Camembert, menurun secara berlahan seperti pada
keju Cheddar atau penurunan secara cepat kemudian stabil seperti keju Blue.
Penelitian yang dilakukan pada keju Gouda dengan menginokulasikan
L. monocytogenes sebesar 500 cfu/ml ke dalam susu pasteurisasi dan diperam
selama 6 minggu pada suhu 13 °C. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
L. monocytogenes terkonsentrasi dalam curd selama proses pembuatan keju yang
mengakibatkan peningkatan populasi sekitar 10 kali lipat dari jumlah yang
diinokulasikan. Jumlah L. monocytogenes relatif konstan pada bagian dalam dari
sampel keju Gouda yaitu 104 cfu/g selama 2 minggu pemeraman, tetapi bakteri ini
tidak terdeteksi pada permukaan sampel keju Gouda. Setelah 6 minggu
pemeraman, L. monocytogenes terdeteksi di permukaan sampel keju Gouda
sebesar 102-104 cfu/g. Sebaliknya, pada bagian dalam sampel keju Gouda yang
diperam selama 6 minggu, jumlah L. monocytogenes menurun empat sampai
delapan kali lipat (Ryser dan Marth 2007).

Listeriosis pada Manusia
Listeria monocytogenes merupakan foodborne pathogen yang sumber
infeksi utamanya melalui makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Penyakit yang
disebabkan oleh infeksi L. monocytogenes disebut listeriosis. Listeriosis sering
terjadi pada kelompok berisiko tinggi seperti bayi, lanjut usia, wanita hamil dan
penderita immunocompromised dengan tingkat kematian yang tinggi sebesar 30%
(Lomonaco et al. 2009). Menurut Acha dan Szyfrez (2003), kelompok umur
paling rentan terhadap L. monocytogenes adalah bayi baru lahir (pada kejadian
infeksi transplasenta), kemudian diikuti kelompok umur >50 tahun.

5

Secara keseluruhan, 1 558 kasus listeriosis dari 27 negara anggota Uni
Eropa telah dilaporkan pada tahun 2007. Kelompok yang paling banyak terinfeksi
yaitu kelompok berusia tua (>50 tahun) dan bayi baru lahir, dengan kejadian
masing-masing 1 kasus/100 000 penduduk dan 0.51 kasus/100 000 penduduk.
Pada kelompok anak-anak (0-4 tahun), 85% kasus terjadi pada bayi baru lahir.
Tingkat kematian di Uni Eropa diperkirakan sekitar 20% (dari 795 kasus penyakit
yang dilaporkan terdapat 160 orang meninggal) (EFSA 2009).
Terdapat dua bentuk gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi
L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis/gastrointestinal illness (bentuk
saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (bentuk invasif). Pada listerial
gastroenteritis, gejala klinis ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan diare
yang terlihat setelah menelan bakteri selama lebih dari 12 jam. Listeriosis bentuk
invasif diakui sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan
gejala dan tingkat kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al. 2008). Masa
inkubasi penyakit invasif pada umumnya jauh lebih lama dari bentuk pencernaan
yaitu antara 20-30 hari (Garrido et al. 2010). Telah dilaporkan bahwa 1-10%
manusia yang terinfeksi L. monocytogenes tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi
bakteri ini dapat mengkontaminasi lingkungan melalui feses (Lovett dan Twedt
2004).
Gejala klinis bentuk invasif pada wanita hamil yang paling sering terlihat
yaitu gejala seperti flu diantaranya demam, menggigil, sakit kepala, kelelahan dan
nyeri otot sekitar 2-14 hari sebelum keguguran serta kadang-kadang menimbulkan
gejala gastrointestinal (Adams dan Moss 2008). Infeksi terhadap fetus dapat
terjadi melalui transplasenta yang dapat mengakibatkan abortus, kematian pada
bayi baru lahir atau persalinan prematur (Disson et al. 2008). Listeriosis pada bayi
baru lahir dapat mengakibatkan meningitis, pneumonia, septikemia dan
granuloma (abses) yang tersebar luas. Listeriosis pada kelompok umur dewasa
yang tidak hamil biasanya ditandai dengan septikemia, meningitis dan
meningoensefalitis, tetapi dapat juga menyebabkan endokarditis, arteritis, abses
lokal atau osteomielitis (Vazquez-Boland et al. 2001; Doganay 2003; Delgado
2008).

Patogenesis L. monocytogenes
Listeria monocytogenes merupakan patogen fakultatif intraseluler yang
mampu bertahan dalam makrofag dan menyerang berbagai sel nonphagocytic
seperti sel-sel epitel, hepatosit dan sel endotel (Cossart et al. 2003). Makanan
yang terkontaminasi L. monocytogenes masuk ke saluran pencernaan, kemudian
bakteri ini menyerang mukosa saluran pencernaan dan berlekatan dengan sel usus
dibantu oleh D-galaktosa yang ada pada permukaan sel (Gambar 2a). Bakteri
kemudian menginvasi makrofag (sel parenkim) dan terperangkap dalam vakuola
yang disebut fagosom (Gambar 2b). Selanjutnya bakteri tersebut menghasilkan
toksin listeriolysin O (LLO), dua phospholipases C yaitu phosphatidylinositolspecific phospholipases C (PI-PLC) dan phosphatidylcholine-specific
phospholipase C (PC-PLC) mempunyai kemampuan sitolitik untuk merusak
fagosom agar dapat masuk ke dalam sitoplasma (Gambar 2c). Ketiga toksin
tersebut juga mencegah pencernaan bakteri oleh enzim hidrolitik yang dihasilkan

6

oleh lisosom. Secara cepat bakteri berkembang biak di dalam sitoplasma dan
membentuk F-aktin (Gambar 2d). Bakteri akan menginvasi sel lain dengan
bantuan F-aktin mengakibatkan kerusakan sel dan septikemia (Gambar 2e).
Setelah berhasil menginvasi sel lain, bakteri berada dalam vakuola dengan
membran ganda dan melanjutkan siklus hidup dengan terus menginvasi sel lain
(Gambar 2f) (Lovett dan Twedt 2004).

Gambar 2 Tahap proses invasi dan penyebaran intraseluler L. monocytogenes
(Hamon et al. 2006)
Lima hari hingga tiga minggu setelah tertelan, bakteri ini menyebar ke
seluruh tubuh dan mengakibatkan kerusakan sistem syaraf, jantung, mata, organ
lain dan fetus. Infeksi L. monocytogenes pada sistem syaraf menimbulkan
meningitis, ensefalitis dan abses dengan tingkat kematian 70%. Infeksi pada
wanita hamil dapat mengakibatkan aborsi dan kematian bayi setelah lahir dengan
rata-rata tingkat kematian sebesar 80%. Data epidemiologi menunjukkan bahwa
invasive listeriosis dapat terjadi sebagai kasus sporadis dan epidemi. Kematian
jarang terjadi pada kelompok usia dewasa dengan kondisi baik, namun angka

7

kematian 50% dapat terjadi pada kelompok usia dewasa dengan kekebalan rendah
atau kelahiran bayi. Kemampuan L. monocytogenes untuk menimbulkan
septikemia tergantung beberapa faktor seperti jumlah bakteri yang tertelan, status
kekebalan tubuh induk semang dan keganasan galur bakteri yang menginfeksi
(Lovett dan Twedt 2004).

Keju Gouda
Keju Gouda merupakan salah satu keju semi keras yang berasal dari
Belanda. Bentuk umum dari keju ini adalah berkulit tipis dan kering serta
umumnya dilapisi dengan lilin kuning (Gambar 3). Curd berwarna kuning gading
dan tidak lengket, tektur padat, rasanya gurih dengan sedikit asin tetapi tidak
masam (Scott 1986). Keju Gouda dapat berbentuk bulat atau silinder datar dengan
sisi menonjol berukuran antara 0.2-20 kg. Kandungan lemak dalam bahan kering
berkisar dari 40 sampai >50%, kadar air dalam keju bebas lemak berkisar dari
53-63%, kadar garam dalam air keju berkisar antara 2-7%, pH dapat bervariasi
dari 4.9-5.6 dan lama pemeramannya antara 2 minggu sampai 2 tahun (Fox et al.
2004).

Gambar 3 Keju Gouda (Anonim 2013)
Sebelum proses pembuatan keju Gouda dilakukan, susu disiapkan terlebih
dahulu sesuai dengan standarisasi untuk menghasilkan produk sesuai dengan
komposisi yang diinginkan. Keju Gouda biasanya berasal dari susu sapi dengan
sebagian skim untuk mendapatkan sedikitnya 40% kandungan lemak pada bahan
kering keju. Susu yang telah disiapkan kemudian dipasteurisasi secara HTST
(high temperature short time) dengan suhu 73-74 °C selama 15 detik. Setelah
dipasteurisasi, susu didinginkan untuk ditambahkan kultur starter bakteri asam
laktat (BAL) 0.6% terlebih dahulu, setelah itu ditambahkan rennet 0.020% dan
bahan tambahan lainnya, lalu dilakukan pengadukan sampai homogen. Diamkan
selama beberapa waktu sampai terjadi koagulasi susu (curd). Kultur starter BAL
yang biasanya digunakan untuk pembuatan keju Gouda yaitu mesofilik lactococci
dan leukonostok yang menghasilkan CO2. Tahap ini berfungsi untuk membantu
proses koagulasi oleh rennet. Kultur starter BAL yang ditambahkan bertugas
menurunkan derajat keasaman (pH) susu hingga mencapai titik isoelektriknya.

8

Fungsi rennet sebagai bahan koagulan akan lebih optimal jika ditambahkan dalam
kondisi susu yang telah mengalami penurunan pH hingga mencapai pH 5-6.
Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan curd dan pengadukan kembali, setelah
itu dilakukan pengendapan selama 30 menit. Kemudian whey dikeluarkan dan
ditambahkan air hangat (34.5 °C) lalu diaduk. Proses pengendapan curd dan
pengeluaran whey dilakukan sebanyak 3 kali, sedangkan penambahan air hangat
dilakukan 2 kali. Setelah pengeluaran whey yang ke-3 kali, curd dicetak dan
kemudian dilakukan pengempresan dengan tekanan pada permukaan keju
meningkat secara bertahap sekitar 25 kPa dalam tiga atau empat tahap selama 80
menit. Setelah pengempresan, kemudian didiamkan selama 1 jam. Tahapan
selanjutnya yaitu perendaman dalam air garam dengan konsentrasi 17-18%
selama 1 hari, lalu dikeringkan. Keju kemudian dilapisi dengan lilin dengan cara
dicelupkan pada lilin cair panas, selanjutnya keju diperam dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan jenis keju dalam kondisi suhu 12-16 °C dan kelembaban
(RH) 80-85%. Pemeraman pada keju Gouda dilakukan selama 2 minggu sampai
2 tahun. Keju yang telah diperam dilakukan pengemasan dalam kondisi vakum
(Fox et al. 2004). Proses pembuatan keju Gouda dapat dilihat pada Gambar 4.
Susu segar
Pengemasan
Pasteurisasi suhu 73-74 °C selama 15 detik
Keju Gouda
Penambahan kultur starter (0.6%) terlebih
dahulu, setelah itu rennet (0.02%)
rennet (0.02%)

Pemeraman keju jangka waktu tertentu
(sesuai jenis keju)

Koagulasi susu
Coating (pelapisan)
Pemotongan curd

Perendaman dalam larutan garam
(17-18%) selama 24 jam

Pengendapan 30 menit (3 kali proses)

Penambahan air hangat (2 kali proses)

Pengepresan curd meningkat secara
bertahap (3-4 kali) 25 kPa, 80 menit

Penyaringan whey (3 kali proses)

Pencetakan curd

Gambar 4 Diagram alir pembuatan keju Gouda (Fox et al. 2004)

9

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Depertemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, mulai bulan
Maret 2012 sampai dengan April 2013.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Keju Gouda produksi
lokal dan impor. Bahan kimia yang digunakan yaitu Listeria enrichment broth
(LEB), Oxford agar, trypticase soy agar dengan yeast extract (TSAye), tryptone
soya broth dengan yeast extract (TSBye), media semisolid SIM, pereaksi H2O2
3%, KOH 3%, gula-gula mannitol, xylosa, rhamnosa, pewarnaan Gram, anaerob
gas pack, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Rhodococcus equi ATCC 6939,
Streptococcus agalactiae, dan biakan L. monocytogenes (isolat lapang) sebagai
kontrol positif.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cawan petri (diameter
100 mm, tinggi 15 mm), tabung reaksi berpenutup, botol media, gelas erlenmeyer,
pipet ukur, pipet tetes, ose, mikroskop, pembakar bunsen, timbangan, tube shaker
(vortex), stomacher, tabung jar, inkubator bersuhu 30 °C ± 1 °C, inkubator
bersuhu 37 °C ± 1 °C, penangas air, autoklaf, lemari pendingin (refrigerator).

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Penelitian ini menggunakan sampel keju Gouda produksi lokal dan impor
yang dijual di supermarket dengan total sampel sebanyak 30 sampel yang terdiri
atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor.
Sampel keju Gouda yang diambil memperhatikan kode produksi yang berbeda
pada setiap sampel dan tanggal kadaluarsa. Estimasi besaran sampel yang diambil,
dihitung menggunakan rumus dari Cannon dan Roe (1982) dengan menggunakan
prevalensi (P) sebesar 2% (Collin et al. 1995) dan tingkat kepercayaan (a) 90%.
Jumlah sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diambil di supermarket
berdasarkan pada total keju Gouda yang dipasok di supermarket tersebut yaitu
masing-masing sebesar rata-rata 15 kemasan (N). Perhitungan menggunakan
rumus dari Cannon dan Roe (1982) yaitu sebagai berikut:

10

Keterangan:
n : ukuran sampel
a : tingkat kepercayaan (90%)
D : nilai dugaan populasi yang sakit
[D = PxN, dengan asumsi
prevalensi (P) = 2%]
N : jumlah populasi
Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Kemudian dimasukkan ke
dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel dan disimpan
dalam kondisi dingin untuk ditransportasikan.

Metode Pengujian L. monocytogenes
Pengujian sampel mengacu pada Bacteriological Analytical Manual, Food
and Drug Administration (2011) dan Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology (1994). Secara rinci dapat dilihat pada diagram alir Gambar 5.
Preparasi sampel dan pengayaan (enrichment) menggunakan sampel keju
Gouda sebanyak 25 g dan ditambahkan 225 ml Listeria enrichment broth (LEB),
kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan stomacher selama 3 menit dan
diinkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam, 48 jam dan 7 hari. Selanjutnya
dilakukan isolasi pada media agar selektif (Oxford agar) secara duplo, diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 24-48 jam ± 2 jam secara aerobik dan anaerobik (Gambar
5). Pertumbuhan koloni kuman yang mencirikan L. monocytogenes pada media
Oxford agar berupa koloni kecil berdiameter 1 mm berwarna hitam dengan pusat
yang cekung dan halo berwarna hitam.
Tahap identifikasi diawali dengan menumbuhkan koloni yang mencirikan
L. monocytogenes pada media TSAye, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24-48 jam. Selanjutnya dilakukan uji biokimia yang terdiri atas uji KOH
3%, Uji katalase, uji gula-gula (mannitol, rhamnose, xylose), pewarnaan Gram, uji
motilitas, serta uji konfirmasi aktivitas hemolitik dengan uji CAMP. Sebelum
dilakukan uji gula-gula, koloni yang diduga L. monocytogenes dibiakan terlebih
dahulu pada media TSBye (Gambar 6). Interpretasi hasil uji L. monocytogenes
dapat dilihat pada Tabel 1.

11

25 g sampel ditambah 225 ml LEB dan kontrol
positif diinkubasi 24 jam, 48 jam dan 7 hari/30 °C

24 jam/30 °C
48 jam/30 °C

Oxford agar
24-48 jam ± 2 jam /37 °C
secara aerobik dan
anaerobik

7 hari/30 °C
Gambar 5 Diagram alir pembiakan L. monocytogenes
Koloni dari kontrol positif dan 5 koloni yang
diduga L. monocytogenes dibiakkan dalam
TSAye 24 jam/37 °C

Uji KOH, Uji Katalase, pewarnaan
Gram, Uji CAMP

TSBye
8 jam/37 °C
Mannitol, rhamnose, xylose

SIM-Agar

Gambar 6 Diagram alir identifikasi L. monocytogenes
a. Uji Katalase
Mencampurkan koloni yang diduga L. monocytogenes dengan satu tetes
pereaksi H2O2 3% pada gelas obyek hingga rata. Kemudian diamati apakah
terbentuk gelembung-gelembung gas.
b. Uji KOH
Dua tetes larutan KOH 3% diletakkan di atas gelas obyek. Satu koloni
kuman yang diduga L. monocytogenes diambil menggunakan ose steril. Ose yang
mengandung kuman dicampur dan diaduk dengan cepat dalam larutan KOH 3%
di atas gelas obyek, kemudian diamati apakah ada benang yang kental terbentuk
saat menaikkan dan menurunkan ose.

12

c. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram dilakukan mengikuti prosedur Hans Christian Gram
(Xu1007). L. monocytogenes merupakan bakteri Gram positif sehingga
menunjukkan sel berwarna violet pada pemeriksaan mikroskopis.
d. Uji Motilitas
Menggunakan media semi solid yaitu media SIM dalam tabung medium.
Koloni dari media TSAye diambil dengan ose jarum, kemudian ditusukkan ke
dalam media SIM secara tegak dan diinkubasi pada suhu 25 °C selama 24 jam.
e. Uji Gula-gula
Sebanyak 0.5 ml biakan dari media TSBye diinokulasikan pada media yang
mengandung karbohidrat (mannitol, rhamnosa dan xylosa), kemudian
diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam.
f. Uji Konfirmasi
Konfirmasi aktivitas hemolitik L. monocytogenes (β-hemolitik) dilakukan
dengan uji CAMP. Uji ini dilakukan dengan menggoreskan biakan
Staphylococcus aureus (β-hemolitik) dan Rhodococcus equi secara parallel/sejajar
dan diametris berlawanan satu dengan yang lain pada media agar darah
(mengandung darah domba 5-7%). Kemudian beberapa koloni yang diduga
L. monocytogenes digoreskan sejajar terhadap yang lain tetapi membuat sudut ke
arah kanan dan diantara goresan S. aureus dan R. equi. Selanjutnya sebagai
kontrol positif, biakan L. monocytogenes juga digoreskan sejajar dengan koloni
yang diduga L. monocytogenes. Selain itu, biakan Streptococcus agalactiae juga
digoreskan sejajar dengan koloni yang diduga L. monocytogenes untuk
membedakan hasil uji CAMP positif antara L. monocytogenes dengan
Streptococcus agalactiae (Gambar 7). Selanjutnya media diinkubasikan pada suhu
37 °C selama 24-48 jam.
S. aureus

R. equi
L. monocytogenes

Tempat
terbentunya
zona hemolisis

S. agalactiae

Koloni yang diduga
L. monocytogenes

Gambar 7 Uji CAMP

13

Tabel 1 Interpretasi hasil uji L. monocytogenes
No.
Jenis uji
Hasil uji
Keterangan
1.
Pewarnaan Gram
Positif
Batang pendek, Gram positif
2.
Motilitas
Positif
Terdapat pertumbuhan bakteri di
sepanjang tusukan dan menyebar
seperti payung (umbrella motility)
sekitar 0.5 cm di bawah permukaan
media SIM
3.
Mannitol
Negatif
Berwarna ungu
4.
Rhamnosa
Positif
Berwarna kuning
5.
Xylosa
Negatif
Berwarna ungu
6.
KOH
Negatif
Tidak terbentuk benang kental
7.
Uji katalase
Positif
Terbentuk gelembung gas
8.
CAMP test
Positif
Zona hemolisis di sekitar goresan
Staphylococcus
aureus
yang
membentuk mata anak panah

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif
yaitu dengan menyajikan hasil uji keju Gouda terhadap keberadaan
L. monocytogenes dalam bentuk tabel dan gambar. Menurut Mattjik dan
Sumertajaya (2002), analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membahas
tentang cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data
sehingga dapat memberikan informasi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan L. monocytogenes pada Keju Gouda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 30 sampel keju Gouda yang
terdiri atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda
impor tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes (Tabel 2). Hal ini ditandai
dengan tidak ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes
pada media agar selektif (Oxford agar) setelah diinkubasi 24-48 jam ± 2 jam
dengan suhu inkubasi 37 °C secara aerobik maupun anaerobik pada semua sampel
yang diuji (Gambar 9), sedangkan pada kontrol positif yang diisolasi pada media
Oxford agar terdapat pertumbuhan dari L. monocytogenes (Gambar 10). Sampel
terlebih dahulu dilakukan pengayaan pada media LEB yang diinkubasi selama
24 jam, 48 jam dan 7 hari pada suhu 30 °C (Gambar 8) sebelum dilakukan isolasi
pada media Oxford agar.

14

Tabel 2 Persentase L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor
Jenis sampel
Hasil pengujian
Positif
Persentase (%)
Keju Gouda impor (n = 15)
Tidak ada
0
Keju Gouda produksi lokal (n = 15)

Tidak ada

0

Gambar 8 Tahap pengayaan menggunakan LEB

a
b
Gambar 9 Media Oxford agar mengandung biakan sampel keju Gouda produksi
lokal (a) dan impor (b) yang telah diperkaya dalam media LEB tidak
ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes

15

Gambar 10 Kontrol positif yang diisolasi pada media Oxford agar terdapat
pertumbuhan dari L. monocytogenes
Hal ini berbeda dengan laporan dari CDC (2010) yang menyatakan bahwa
L. monocytogenes dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju Gouda
dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California terkait dengan
terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika Serikat akibat dari
mengonsumsi keju. Keju Gouda yang diuji merupakan keju yang terbuat dari susu
yang tidak dipasteurisasi. Selain L. monocytogenes, Escherichia coli O157:H7
juga dideteksi pada keju Gouda tersebut yang mengakibatkan 38 orang terinfeksi
dan 15 orang dirawat di rumah sakit, sedangkan kasus penyakit akibat dari infeksi
L. monocytogenes tidak dilaporkan. Nwachukwu et al. (2009) juga telah
mendeteksi keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda yang diproduksi di
Nigeria.
Penelitian yang dilakukan oleh Wemmenhove et al. (2013) dengan
menginokulasikan tiga strain L. monocytogenes (Scott A, 2F, 6E) pada susu yang
telah dipasteurisasi sebagai bahan baku untuk pembuatan keju Gouda. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan ketiga strain
L. monocytogenes pada keju Gouda selama 8 minggu pemeraman dan terjadi
penurunan pertumbuhan pada ketiga strain L. monocytogenes secara signifikan
setelah 8 minggu sampai 52 minggu pemeraman sebesar 1 log-7 log.
Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda produksi
lokal dan impor yang diuji disebabkan karena kombinasi dari faktor-faktor
preservatif (penghambat) pada keju Gouda seperti proses pasteurisasi susu
sebagai bahan baku pembuatan keju Gouda, penurunan pH akibat dari
penambahan kultur starter bakteri asam laktat (BAL), dan terjadinya penurunan
aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Kombinasi dari faktor-faktor
presevatif ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes bahkan dapat
menginaktifkan L. monocytogenes. Menurut Ryser dan Marth (2007), inaktivasi
L. monocytogenes dapat terjadi akibat dari kombinasi efek antilisteria yang ada
pada keju seperti pH rendah, aktivitas air yang rendah serta suhu pada
pemrosesan. Kombinasi dari faktor-faktor preservatif tersebut selama proses
pembuatan keju dikenal dengan multiple hurdle technology. Menurut Leistner
(2000), multiple hurdle technology merupakan konsep preservasi pada bahan
makanan dengan menerapkan kombinasi faktor-faktor preservatif seperti suhu,
aktivitas air, pH, potensial redoks, dan bahan preservasi. Penerapan multiple

16

hurdle technology pada bahan makanan dapat mengeliminasi, menginaktifkan
atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan dari mikroba yang tidak
diinginkan karena tidak dapat mengatasi hambatan tersebut. Hambatan yang
berbeda dalam pengolahan makanan tidak hanya merupakan gabungan efek tetapi
dapat bertindak secara sinergis.
Sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji terbuat dari susu
yang dipasteurisasi terlebih dahulu sehingga mampu mengeliminasi
L. monocytogenes dan bakteri patogen lain. Selain itu, tidak terjadinya
kontaminasi dari bakteri ini setelah proses pasteurisasi susu maupun selama
proses pengolahan susu hingga menjadi keju. Suhu pasteurisasi susu yang
digunakan pada keju Gouda produksi lokal yaitu 65 °C selama 30 menit, suhu ini
mampu menginaktifkan L. monocytogenes, sedangkan untuk keju Gouda impor
tidak diketahui berapa suhu pasteurisasi susu yang digunakan.
Menurut Ray (2005), L. monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi
(71.7 °C selama 15 detik atau 62.8 °C selama 30 menit). Menurut Ryser dan
Marth (2007), suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan sel yang irreversible
dari Listeria spp yang dapat mengakibatkan kematian sel. Terpaparnya
L. monocytogenes terhadap suhu di atas 56 °C menyebabkan kerusakan ribosom,
unfolding dan denaturasi protein serta inaktivasi enzim. Saat pemanasan, ribosom
kehilangan Mg2+ yang menyebabkan pemisahan subunit ribosomal 30S dan 50S.
Kerusakan ribosom terutama denaturasi dari subunit ribosom 30S dikaitkan
dengan inaktivasi termal bakteri vegetatif dan diyakini menjadi penyebab utama
kematian bakteri. Aktivitas enzim superoksida dimutase dari L. monocytogenes
akan menurun apabila terpapar pada suhu di atas 45-50 °C, sedangkan aktivitas
enzim katalase dari L. monocytogenes akan menurun apabila terpapar pada suhu
di atas 55-60 °C. Suhu pengolahan yang lebih tinggi dapat menginaktifkan enzimenzim tersebut.
Susu segar yang merupakan bahan dasar pembuatan keju dapat menjadi
sumber kontaminasi L. monocytogenes pada keju terutama keju yang berasal dari
susu yang tidak dipasteurisasi. Hewan dapat terinfeksi L. monocytogenes karena
memakan silase atau pakan yang terkontaminasi bakteri ini. Beberapa hewan yang
terinfeksi L. monocytogenes tidak menunjukkan gejala klinis (carrier) dan dapat
menjadi sumber kontaminasi lingkungan peternakan dan susu. Susu dapat
terkontaminasi L. monocytogenes melalui kontaminasi silang dari lingkungan
peternakan, peralatan yang digunakan saat pemerahan, dan melalui pekerja yang
terkontaminasi L. monocytogenes (Nightingale et al. 2004). L. monocytogenes
juga dapat menyebabkan mastitis pada sapi dan bakteri ini dapat dieksresikan di
dalam susu (Shakespeare 2009). Tingginya kejadian L. monocytogenes pada susu
segar menyebabkan keju yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat
menjadi faktor risiko terhadap kontaminasi L. monocytogenes pada keju.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, keju yang dibuat dari susu tanpa
pasteurisasi lebih sering ditemukan L. monocytogenes dibandingkan dengan keju
yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Kasalica et al. 2011). Sebanyak 333
sampel terdiri atas keju lunak (soft cheese) dan keju semi lunak (semi-soft cheese)
yang dikumpulkan dari toko ritel di Swedia, L. monocytogenes diisolasi sebanyak
6% dari sampel keju lunak dan keju semi lunak yang dibuat dari susu tanpa
pasteurisasi serta hanya 2% L. monocytogenes diisolasi dari keju lunak dan keju
semi lunak yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Loncarevic et al. 1995).

17

Menurut Wemmenhove et al. (2013), tidak adanya pertumbuhan atau
menurunnya pertumbuhan L. monocytogenes pada keju Gouda dapat disebabkan
karena kandungan asam laktat dan terjadinya penurunan aktivitas air selama
proses pemeraman keju Gouda. Asam laktat merupakan asam organik yang
dominan terdapat pada keju Gouda (13.9 g/kg). Setelah terbentuk, konsentrasi
asam laktat tidak berubah secara signifikan selama proses pemeraman keju
Gouda. Asam laktat yang terkandung pada keju Gouda dalam bentuk tidak
terdisosiasi (tidak terurai) dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes.
Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada proses pembuatan keju Gouda akan
memfermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat sehingga dapat
menurunkan pH. Kondisi ini yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
L. monocytogenes. Keju Gouda yang diperam selama lebih dari 2 minggu
memiliki pH berkisar antara 5.3-5.5 dan setelah 6 bulan pemeraman pH keju
Gouda tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Kisaran pH keju Gouda
tersebut masih lebih rendah dari kisaran pH pertumbuhan dari L. monocytogenes.
Menurut Doyle et al. (2001), L. monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran pH
5.6-9.6.
Menurut Ryser dan Marth (2007), tidak adanya pertumbuhan dan penurunan
kelangsungan hidup sel L. monocytogenes (viabilitas) dapat diamati pada pH ≤5.5,
ketika kondisi lingkungan lainnya (suhu) tidak optimal untuk kelangsungan hidup
L. monocytogenes. Suhu mempengaruhi perilaku pertumbuhan L. monocytogenes
dalam kondisi asam. Sensitivitas L. monocytogenes terhadap keasaman tinggi (pH