Formula Campuran Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dan Meniran (Phyllanthus niruri L.) sebagai Antijerawat

2

ABSTRAK
PUTRI WULANDARI Formula Campuran Ekstrak Temulawak (Curcuma
xanthorriza) dan Meniran (Phyllanthus niruri) sebagai Antijerawat. Dibimbing
oleh LATIFAH KOSIM DARUSMAN dan IRMANIDA BATUBARA.
Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas campuran ekstrak temulawak
(Curcuma xantorrizha) dan meniran (Phyllanthus niruri) sebagai antijerawat
dibandingkan masing-masing ekstrak, terutama dilihat dari aktivitasnya sebagai
antibakteri terhadap Staphyllococcus epidermidis dan antioksidan. Rimpang
temulawak dan meniran diekstraksi dengan etanol 96%. Selanjutnya ekstrak
tersebut dibuat formula campurannya berdasarkan rancangan simplex centroid.
Kesepuluh formula yang diperoleh diuji aktivitasnya sebagai antioksidan dan
antibakteri. Formula 5 (½ temulawak dan ½ meniran) merupakan formula teraktif
sebagai antijerawat dengan nilai IC50 untuk antioksidan sebesar 9.47 ppm,
konsentrasi hambat minimum (KHM) untuk S.epidermidis sebesar 0.25 mg/mL,
dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) sebesar 1.00 mg/mL. Setelah dianalisis
penciri dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT), diketahui bahwa dalam formula 5 terdapat senyawa xantorizol, filantin,
dan hipofilantin.


ABSTRACT
PUTRI WULANDARI Mixture Formula Temulawak (Curcuma xanthorriza)
and Meniran (Phyllanthus niruri) Extract as Antiacne. Supervised by LATIFAH
KOSIM DARUSMAN dan IRMANIDA BATUBARA.
This study aimed to examine the effectiveness of temulawak (Curcuma
xantorrizha) and meniran (Phyllanthus niruri) extract as an antiacne compared to
each extract, especially based on its activity as an antibacterial against
Staphyllococcus epidermidis and antioxidants. Temulawak rhizome and meniran
were extracted with 96% ethanol. Furthermore, simplex centroid design was used
to prepared formula from extract. Tenth formula obtained and tested for their
antioxidant and antibacterial activities. Formula 5 (½ temulawak and ½ meniran)
as the most active antiacne formula with IC50 of antioxidant values of 9.47 ppm,
the minimum inhibitory concentration (MIC) againts S. epidermidis was 0.25
mg/mL, and minimum bactericidal concentration (MBC) was 1.00 mg/mL. The
characteristic by thin layer chromatography (TLC) and high performance liquid
chromatography (HPLC), formula 5 consisted of xanthorizol, phylantin, and
hypophylantin.

1


PENDAHULUAN
Jerawat (Acne vulgaris) merupakan
penyakit kulit peradangan kronik folikel
polisebasea yang umumnya terjadi pada masa
remaja dengan gambaran klinis berupa
komedo, papul, dan nodus pada daerah muka,
bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan
lengan bagian atas. Jerawat terjadi karena
pori-pori kulit terbuka dan tersumbat dengan
minyak, sel-sel kulit mati, infeksi bakteri,
faktor makanan, kosmetik, dan bahan kimia
lain (Wasistaatmadja 2002). Penyakit ini tidak
fatal, namun cukup merisaukan karena
berhubungan
dengan
menurunnya
kepercayaan diri akibat berkurangnya
keindahan wajah para penderita.
Bakteri yang berperan dalam jerawat
adalah

Propionibacterium
acnes
dan
Staphylococcus epidermidis (Wasistaatmadja
2002). Bakteri ini tentunya harus dihambat
pertumbuhannya untuk mengurangi terjadinya
peradangan (inflamasi). Selain itu, lipase dari
P. acnes juga merupakan faktor penting dalam
patogenesis jerawat karena lipase memecah
asam lemak bebas dari lipid kulit yang
mengakibatkan inflamasi jaringan dan
mendukung terbentuknya jerawat (Brook et
al. 2005). Menurut Katzman & Logan (2007)
kondisi paling kronis ditandai dengan stres
oksidatif
dan
inflamasi,
serta
ada
kemungkinan bahwa tingkat antioksidan

dalam darah dipakai untuk mengurangi radikal
bebas pada jerawat.
Sekarang ini, penelitian tanaman obat
sedang dikembangkan untuk menangani
masalah jerawat dengan melihat potensinya
sebagai antijerawat. Potensi antijerawat dapat
dilihat dari aktivitas tanaman obat sebagai
antibakteri, penghambat aktivitas lipase, dan
antioksidan (Batubara et al. 2009), karena
menurut Katzman & Logan (2007) masalah
jerawat dapat diatasi dengan menghambat
pertumbuhan P. acnes, menghambat aktivitas
lipase P. acnes, dan menghambat stres
oksidatif (Katzman & Logan 2007). Selain itu,
tanaman tersebut juga harus aman bagi kulit
(tidak menyebabkan iritasi) (Tilaar et al.
2008).
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu tanaman obat yang
memiliki banyak kegunaan, antara lain

sebagai antibakteri Streptococcus mutans,
Staphylococcus aureus, dan P. acnes (Hwang
2000; Husein et al. 2009; Batubara et al.
2008), penghambat aktivitas lipase P. acnes
(Batubara et al. 2008), dan sebagai
antioksidan (Batubara 2008; Tilaar et al.

2008; Jitoe et al. 1992; Masuda et al. 1992).
Senyawa aktif yang berperan sebagai
antibakteri adalah xantorizol (Hwang 2000).
Selain xantorizol, temulawak mengandung
kurkumin yang memiliki aktivitas antioksidan
tinggi tetapi aktivitas antibakterinya rendah
dan tidak ada daya inhibisi terhadap aktivitas
lipase P. acnes dan gama elemenon yang
memiliki aktivitas tinggi dalam menghambat
aktivitas lipase P. acnes (Batubara et al.
2008). Keberadaan komponen sebagai
antibakteri P. acnes, penghambat aktivitas
lipase P. acnes, dan antioksidan menunjukkan

bahwa temulawak memiliki potensi sebagai
antijerawat (Batubara 2008; Batubara 2009).
Selain itu, menurut Tilaar et al. (2008)
temulawak juga aman bagi kulit karena tidak
menyebabkan iritasi.
Meniran (Phyllanthus niruri L.) juga salah
satu tanaman obat yang berfungsi sebagai
antibakteri E. coli (Balistika 2000; Gunawan
2008), S. typhi, dan S. aureus dengan nilai
konsentrasi hambat minimum (KHM) sebesar
50 µg/ml (Sumathi & Paravathi 2010) dan
sebagai antioksidan (Harish & Shivanandappa
2006). Senyawa aktif yang berperan dalam
antibakteri
adalah
senyawa
filantin
(Murugaiyah & Chan 2007) dan senyawa
terpenoid (campuran senyawa phytadiena dan
1,2-seco cladiellan) (Gunawan 2008).

Berdasarkan latar belakang di atas maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas campuran ekstrak temulawak (C.
xantorrizha Roxb.) dan meniran (P. niruri L.)
sebagai antijerawat dibandingkan masingmasing ekstrak, terutama dilihat dari
aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap S.
epidermidis yang merupakan salah satu
bakteri penyebab jerawat dan sebagai
antioksidan.

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
adalah tanaman obat-obatan yang tergolong
keluarga Zingiberaceae. Temulawak berupa
tumbuhan rumpun berbatang semu dengan
tinggi hingga lebih dari 1 meter. Aroma dan
warna khas dari rimpang temulawak adalah
berbau tajam dan daging buahnya berwarna
kekuning-kuningan (Gambar 1) (Afifah 2003).

Secara taksonomi, meniran diklasifikasikan
dalam divisi Sphermatophyta, sub divisi
Angiospermae, kelas Monocotyledone, bangsa

1

PENDAHULUAN
Jerawat (Acne vulgaris) merupakan
penyakit kulit peradangan kronik folikel
polisebasea yang umumnya terjadi pada masa
remaja dengan gambaran klinis berupa
komedo, papul, dan nodus pada daerah muka,
bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan
lengan bagian atas. Jerawat terjadi karena
pori-pori kulit terbuka dan tersumbat dengan
minyak, sel-sel kulit mati, infeksi bakteri,
faktor makanan, kosmetik, dan bahan kimia
lain (Wasistaatmadja 2002). Penyakit ini tidak
fatal, namun cukup merisaukan karena
berhubungan

dengan
menurunnya
kepercayaan diri akibat berkurangnya
keindahan wajah para penderita.
Bakteri yang berperan dalam jerawat
adalah
Propionibacterium
acnes
dan
Staphylococcus epidermidis (Wasistaatmadja
2002). Bakteri ini tentunya harus dihambat
pertumbuhannya untuk mengurangi terjadinya
peradangan (inflamasi). Selain itu, lipase dari
P. acnes juga merupakan faktor penting dalam
patogenesis jerawat karena lipase memecah
asam lemak bebas dari lipid kulit yang
mengakibatkan inflamasi jaringan dan
mendukung terbentuknya jerawat (Brook et
al. 2005). Menurut Katzman & Logan (2007)
kondisi paling kronis ditandai dengan stres

oksidatif
dan
inflamasi,
serta
ada
kemungkinan bahwa tingkat antioksidan
dalam darah dipakai untuk mengurangi radikal
bebas pada jerawat.
Sekarang ini, penelitian tanaman obat
sedang dikembangkan untuk menangani
masalah jerawat dengan melihat potensinya
sebagai antijerawat. Potensi antijerawat dapat
dilihat dari aktivitas tanaman obat sebagai
antibakteri, penghambat aktivitas lipase, dan
antioksidan (Batubara et al. 2009), karena
menurut Katzman & Logan (2007) masalah
jerawat dapat diatasi dengan menghambat
pertumbuhan P. acnes, menghambat aktivitas
lipase P. acnes, dan menghambat stres
oksidatif (Katzman & Logan 2007). Selain itu,

tanaman tersebut juga harus aman bagi kulit
(tidak menyebabkan iritasi) (Tilaar et al.
2008).
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu tanaman obat yang
memiliki banyak kegunaan, antara lain
sebagai antibakteri Streptococcus mutans,
Staphylococcus aureus, dan P. acnes (Hwang
2000; Husein et al. 2009; Batubara et al.
2008), penghambat aktivitas lipase P. acnes
(Batubara et al. 2008), dan sebagai
antioksidan (Batubara 2008; Tilaar et al.

2008; Jitoe et al. 1992; Masuda et al. 1992).
Senyawa aktif yang berperan sebagai
antibakteri adalah xantorizol (Hwang 2000).
Selain xantorizol, temulawak mengandung
kurkumin yang memiliki aktivitas antioksidan
tinggi tetapi aktivitas antibakterinya rendah
dan tidak ada daya inhibisi terhadap aktivitas
lipase P. acnes dan gama elemenon yang
memiliki aktivitas tinggi dalam menghambat
aktivitas lipase P. acnes (Batubara et al.
2008). Keberadaan komponen sebagai
antibakteri P. acnes, penghambat aktivitas
lipase P. acnes, dan antioksidan menunjukkan
bahwa temulawak memiliki potensi sebagai
antijerawat (Batubara 2008; Batubara 2009).
Selain itu, menurut Tilaar et al. (2008)
temulawak juga aman bagi kulit karena tidak
menyebabkan iritasi.
Meniran (Phyllanthus niruri L.) juga salah
satu tanaman obat yang berfungsi sebagai
antibakteri E. coli (Balistika 2000; Gunawan
2008), S. typhi, dan S. aureus dengan nilai
konsentrasi hambat minimum (KHM) sebesar
50 µg/ml (Sumathi & Paravathi 2010) dan
sebagai antioksidan (Harish & Shivanandappa
2006). Senyawa aktif yang berperan dalam
antibakteri
adalah
senyawa
filantin
(Murugaiyah & Chan 2007) dan senyawa
terpenoid (campuran senyawa phytadiena dan
1,2-seco cladiellan) (Gunawan 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas campuran ekstrak temulawak (C.
xantorrizha Roxb.) dan meniran (P. niruri L.)
sebagai antijerawat dibandingkan masingmasing ekstrak, terutama dilihat dari
aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap S.
epidermidis yang merupakan salah satu
bakteri penyebab jerawat dan sebagai
antioksidan.

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
adalah tanaman obat-obatan yang tergolong
keluarga Zingiberaceae. Temulawak berupa
tumbuhan rumpun berbatang semu dengan
tinggi hingga lebih dari 1 meter. Aroma dan
warna khas dari rimpang temulawak adalah
berbau tajam dan daging buahnya berwarna
kekuning-kuningan (Gambar 1) (Afifah 2003).
Secara taksonomi, meniran diklasifikasikan
dalam divisi Sphermatophyta, sub divisi
Angiospermae, kelas Monocotyledone, bangsa

2

Zingiberales, marga Curcuma, dan jenis
xantorrizha.

Gambar

1

Tanaman temulawak (C.
xanthorrizol Roxb.) (Koleksi
pribadi 2011)

Temulawak (C. xanthorriza Roxb.) telah
diketahui berpotensi sebagai antioksidan
(Jitoe et al. 1992) dan antibakteri dengan
xantorizol yang berperan sebagai senyawa
aktifnya (Hwang 2000). Kandungan senyawa
xantorizol dalam temulawak sebesar 21%
(Darusman et al. 2006). Xantorizol
merupakan antibakteri potensial yang
memiliki spektrum luas terhadap aktivitas
antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman
terhadap kulit (Hwang 2000). Menurut
Batubara et al. (2009), ekstrak temulawak
dalam etanol 50% memiliki potensi sebagai
antijerawat dengan nilai konsentrasi hambat
minimum (KHM) untuk P. acnes sebesar 0,5
mg/ml, nilai konsentrasi bunuh minimum
(KBM) sebesar 2,0 mg/ml, dan nilai IC50
untuk antioksidan sebesar 80,72 µg/ml.
Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Meniran (P. niruri) merupakan tanaman
yang batangnya berbentuk bulat dengan tinggi
kurang dari 50 cm. Meniran memiliki daun
yang bersirip genap dan setiap satu tangkai
daun terdiri dari daun majemuk yang memiliki
ukuran kecil dan berbentuk lonjong. Bunga
meniran terdapat pada ketiak daun menghadap
ke arah bawah (Gambar 1). Tumbuhan ini
berasal dari daerah tropis yang tumbuh liar di
hutan-hutan, ladang-ladang, kebun-kebun,
maupun pekarangan rumah. Meniran tumbuh
subur di tempat yang lembab pada dataran
rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas
permukaan laut.

Gambar 2 Tanaman meniran (P. niruri L.)
(Koleksi pribadi 2011).

Secara
taksonomi,
meniran
diklasifikasikan dalam divisi Sphermatophyta,
sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledone,
bangsa Geraniales, suku Euphobiaceae, marga
Phyllantus, dan jenis niruri. Senyawa aktif
yang dikandung meniran antara lain filantin,
hipofilantin,
filtetralin,
dan
niranrin
(Murugaiyah & Chan 2007), alkaloid
(Petchnaree 1986), terpenoid (Gunawan
2008), tannin (Markom et al. 2007), dan
glikosida flavanon (Gupta & Bahar 1984).
Meniran memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, terutama S. aureus, S. thypi, dan
E. coli (Balistika 2000; Gunawan 2008;
Sumathi & Paravathi 2010) dan sebagai
antioksidan (Harish & Shivanandappa 2006).
Aktivitas antibakteri yang dimiliki meniran
dapat diteliti lebih lanjut sebagai antijerawat
sebab jerawat umumnya disebabkan oleh
infeksi bakteri P. acnes dan S. epidermidis,
bakteri S. epidermidis merupakan bakteri yang
tergolong dalam satu genus dengan S. aureus.
Aktivitasnya sebagai antioksidan juga
berfungsi mengurangi oksidasi pada jerawat
(Katzman & Logan 2007).
Jerawat
Jerawat (Acne vulgaris) adalah penyakit
kulit akibat peradangan menahun dari folikel
polisebasea (Wasitaatmadja 2002). Penyakit
ini biasanya terjadi pada remaja. Jerawat
terutama timbul pada kulit yang berminyak
berlebihan (Yuindarmanto 2009). Selain itu,
jerawat juga disebabkan oleh infeksi dari
jasad renik, antara lain Propionibacterium
acne, Staphylococcus epidermidis atau
Pityrosporum ovale dan P. orbiculare.
Kadang-kadang jerawat menyebabkan rasa
gatal yang mengganggu atau rasa sakit kecuali
bila terjadi pustula atau nodus yang besar
(Wasitaatmadja 2002).
Sistem
pertahanan
tubuh
dengan
antioksidan yang lemah dapat menyebabkan
timbulnya jerawat (Katzman & logan 2007).
Senyawa antioksidan tersebut berfungsi
mengatasi faktor stres oksidatif dari pasien
jerawat (Katzman & Logan 2007). Stres
oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme
antioksidan tidak cukup untuk memecah spesi
oksigen reaktif (Halliwel et al. 1995). Jerawat
terjadi ketika lubang kecil pada permukaan
kulit yang disebut pori-pori tersumbat. Poripori merupakan lubang bagi saluran yang
disebut folikel, yang mengandung rambut dan
kelenjar minyak. Ketika kelenjar minyak
memproduksi terlalu banyak minyak, poripori akan banyak menimbun kotoran dan juga

3

mengandung bakteri. Kondisi ini dapat
menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan
minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika
jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas
sehingga padatan asam lemak dan minyak
kulit yang mengeras akan membesar (Brook et
al. 2005).
Antijerawat
merupakan
salah satu
komponen yang dapat mengatasi timbulnya
jerwat. Jerawat dapat diatasi dengan
menghambat
pertumbuhan
P.
acnes,
menghambat aktivitas lipase P. acnes, dan
menghambat stres oksidatif (Katzman &
Logan 2007). Artinya, suatu komponen yang
bersifat antijerawat harus mampu mnghambat
pertumbuhan P. acnes, menghambat aktivitas
lipase P. acnes, dan menghambat stres
oksidatif (Batubara et al. 2008; Batubara et al.
2009).
Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan
salah satu dari 30 jenis bakteri yang termasuk
dalam genus Staphylococcus. Bakteri ini
terdapat pada kulit dan dapat ditemukan
dalam selaput lendir pada hewan. S.
epidermidis tergolong bakteri gram positif,
bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan
spora dan tidak motil, umumnya tumbuh
membentuk kluster seperti anggur (Gambar
4), dengan diameter sekitar 1-2 mm, dan
tumbuh dengan optimum pada suhu 37 oC
(Otto 2009). Bakteri tersebut tumbuh cepat
pada agar darah dan tidak menghasilkan
enzim koagulase yang dapat menggumpalkan
darah, sehingga sering disebut Staphylococcus
koagulase negatif (Kirchhoff & Sheagren
1985).

Gambar 3 Bakteri S. epidermidis (Otto 2009).
Infeksi yang disebabkan oleh S.
epidermidis biasanya dikaitkan dengan
perangkat medis, seperti kateter, dan sering
terjadi pada orang dengan sistem kekebalan
yang lemah (Goldmann 1993). Sedikit yang
diketahui tentang bagaimana S. epidermidis
menyebabkan penyakit pada manusia.
Karakteristik dari banyak strain mikroba ini
adalah produksi dari kapsul atau lendir yang

dihasilkan dalam pembentukan biofilm
(Fitzpatrick et al. 2005).
Dalam sebuah biofilm, S. epidermidis
dilindungi terhadap serangan dari sistem
kekebalan tubuh dan melawan perlakuan
antibiotik yang membuat infeksi S.
epidermidis sulit dihentikan (Fitzpatrick et al.
2005). Kekebalannya terhadap beberapa
antibiotik menyebabkan bakteri tersebut
memerlukan
pengobatan
lain,
seperti
vankomisin, rifampisin, dan kuinolon
(Kirchhoff & Sheagren 1985). Namun barubaru
ini
S.epidermis
menunjukkan
keresistenannya
terhadap
vankomisin,
sehingga muncul antibiotik lain seperti
linezolid dan quinupristin (John et al. 2002).
Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat
mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu
metabolisme mikroba yang merugikan.
(Madigan et al. 2008). Antibakteri termasuk
ke dalam antimikroba yang digunakan untuk
menghambat
pertumbuhan
bakteri.
Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri
diantaranya yaitu menghambat sintesis
dinding
sel,
menghambat
keutuhan
permeabilitas
dinding
sel
bakteri,
menghambat kerja enzim, dan menghambat
sintesis asam nukleat dan protein (Jawetz et
al. 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas senyawa antibakteri antara lain pH,
suhu stabilitas bakteri tersebut, lamanya
inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri
(Madigan et al. 2008).
Antioksidan
Antioksidan merupakan zat yang mampu
memperlambat atau mencegah proses
oksidasi. Zat ini secara nyata mampu
memperlambat atau menghambat oksidasi zat
yang mudah teroksidasi meskipun dalam
konsentrasi rendah (Masuda et al. 1992).
Kondisi
oksidasi
dapat
menyebabkan
kerusakan protein dan DNA, kanker, penuaan,
dan penyakit lainnya (Jitoe et al. 1992).
Komponen kimia yang berperan sebagai
antioksidan adalah senyawa golongan fenolik
dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan
tersebut banyak terdapat di alam, terutama
pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki
kemampuan untuk menangkap radikal bebas.
Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil
karena memiliki elektron yang tidak
berpasangan dan mencari pasangan elektron

4

dalam makromolekul biologi (Masuda et al.
1992).
Salah satu metode yang digunakan untuk
pengujian aktivitas antioksidan adalah metode
DPPH. Metode DPPH didasarkan pada
kemampuan antioksidan untuk menghambat
radikal bebas dengan mendonorkan atom
hidrogen. Uji aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH menggunakan 1,1-difenil-2pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas.
Prinsipnya adalah reaksi penangkapan
hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan
yang mengubahnya menjadi 1,1-difenil-2pikrilhidrazin. Metode ini menggunakan
kontrol positif sebagai pembanding untuk
mengetahui aktivitas antioksidan sampel.
Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol,
BHT, dan vitamin C (Rahman et al. 2008).

Gambar 4 Mekanisme penangkapan radikal
DPPH (Rahman et al. 2008).

Desain Campuran dengan Simplex Centroid
Desain campuran merupakan rancangan
yang digunakan pada percobaan dengan
campuran bahan. Faktor dari rancangan ini
adalah komponen dari campuran sehingga
taraf masing-masing faktor tidak saling bebas
(Delaroza 2008). Salah satu contoh desain
rancangan adalah simplex centroid. Simplex
centroid memberikan ulasan percobaan dari
respon permukaan di bagian tengah bidang.
Salah satu cara untuk menggambarkan model
adalah mempertimbangkan struktur dari
percobaan tiga faktor. Desain tiga komponen
dapat digambarkan dengan segitiga sama sisi
dalam dua dimensi (Gambar 5) (Borges et al.
2007).

Gambar 5 Desain campuran dengan simplex
centroid.
Analisis Penciri dengan Kromatografi

Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode yang
melibatkan perpindahan suatu konstituen
padat atau cair ke dalam cairan lain, yaitu
pelarutnya. Prinsip dasar ekstraksi adalah
kelarutan, pemisahan zat terlarut yang
diinginkan atau menghilangkan komponen zat
terlarut yang tidak diinginkan dari fase padat
maka fase padat dikontakkan dengan fase cair.
Terdapat berbagai cara ekstraksi, salah
satunya adalah maserasi (Harborne 1987).
Maserasi adalah proses perendaman
sampel menggunakan pelarut pada suhu
ruang.
Teknik
maserasi
sangat
menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan
alam karena dengan perendaman terjadi
pemecahan dinding dan membran sel akibat
perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel
sehingga metabolit sekunder yang ada di
dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut
(Harborne 1987). Selain itu ekstraksi senyawa
akan sempurna karena dapat diatur lama
perendamannya. Pemilihan pelarut untuk
proses maserasi akan memberikan efektivitas
yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan
senyawa bahan alam pada pelarut tersebut
(Rohman et al.2006).

Analisis penciri adalah suatu analisis yang
digunakan untuk mengidentifikasi dan
membandingkan suatu komponen dengan
komponen lain berdasarkan informasi kimia
yang dihasilkan (Liang et al. 2007). Analisis
penciri kromatografi dapat dilakukan dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis dan
kromatografi cair kinerja tinggi.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan
jenis kromatografi partisi menggunakan
sebuah lapis tipis silika atau alumina yang
seragam pada sebuah lempeng gelas atau
logam yang keras. Fase diam untuk KLT
seringkali juga mengandung substansi yang
dapat berpendar dalam sinar ultra violet. Fase
gerak merupakan pelarut atau campuran
pelarut yang sesuai (Harvey 2000).
Pergerakan zat relatif terhadap garis depan
pelarut dalam sistem kromatografi lapis tipis
dapat didefinisikan sebagai nilai Rf, yaitu
perbandingan jarak tempuh zat dengan jarak
tempuh garis depan pelarut. KLT memiliki
banyak keuntungan dalam menganalisis
tanaman herbal, antara lain mudah, cepat,
preparasinya tidak rumit, dan dapat digunakan

5

untuk menganalisis berbagai macam sampel.
Hampir lebih dari 30 noda dapat diamati
secara simultan pada satu waktu di dalam satu
pelat (Funk & Droeschel 1991).

dan
hipofilantin
(dari
Pusat
Studi
Biofarmaka), dan silika gel G60F254 dari
Merck.
Metode

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
merupakan salah satu alat pemisah komponenkomponen dalam suatu senyawa berdasarkan
interaksi komponen dengan fase gerak
(cairan) dan fase diam. Fase gerak yang
melewati komponen dibantu dengan adanya
tekanan. Hasil dari alat ini berupa
kromatogram atau sidik jari kromatografi.
Kromatogram
menggambarkan
puncakpuncak dengan waktu retensi tertentu sesuai
komponen yang terpisahkan. Kadar dari
komponen yang terpisahkan ditunjukkan
dengan luas area dari masing-masing puncak
(Harvey 2000).
Parameter yang diukur pada analisis
penciri KCKT meliputi waktu retensi,
resolusi, jumlah puncak, dan luas puncak.
Parameter tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain metode ekstraksi dan
instrumen kromatografi. Namun, parameter
yang banyak dipakai adalah jumlah puncak
yang dihitung dari banyaknya puncak yang
muncul (Liang et al. 2004). KCKT dapat
digunakan untuk menganalisis hampir seluruh
komponen dalam obat herbal. Hal itu
disebabkan hasil sidik jari kromatografinya
dapat merepresentasikan senyawa aktif yang
terdapat dalam obat herbal tersebut (Liang et
al. 2004).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah neraca
analitik, eksikator, penguap putar, oven,
inkubator, microplate reader, autoklaf, 96well-plates, lampu UV, dan kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) (Shimadzu).
Bahan yang digunakan ialah rimpang
temulawak (C. xanthorriza Roxb.) yang
berasal dari kebun Biofarmaka, tanaman
meniran (P. niruri L.) yang berasal dari kebun
Biofarmaka, bakteri S. epidermidis, media
trypticase soy broth (TSB), etanol, metanol, nheksana, kloroform, etil asetat, HCl, amil
alkohol, serbuk Mg, CHCl3, H2SO4, NaOH,
FeCl3 1%, pereaksi Mayer, Wagner,
Dragendorf,
DMSO,
DPPH,
katekin,
kuersetin, tetrasiklin, TCC, standar xantorizol
(dari Pusat Studi Biofarmaka), standar filantin

Metode penelitian yang dilakukan
mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yaitu
penentuan kadar air, ekstraksi sampel dengan
etanol 96%, uji fitokimia ekstrak temulawak
dan meniran, dan membuat formula campuran
berdasarkan rancangan simplex centroid.
Formula yang didapat dilakukan uji aktivitas
antioksidan dan anti bakteri. Selanjutnya,
formula yang teraktif dilakukan analisis sidik
jari dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselin dikeringkan pada suhu
105ºC selama 30 menit lalu didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g
contoh daun kepel dimasukkan dalam cawan
dan dipanaskan pada suhu 105ºC selama 3
jam sampai diperoleh bobot konstan,
kemudian didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang. Penetapan kadar air ini dilakukan
berdasarkan penentuan jumlah bobot kering
contoh. Penentuan kadar air dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan (triplo).
Kadar air (%) = A  B 100%
A

Keterangan:
A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
B = bobot contoh setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi (BPOM 2004)
Sebanyak 50 gram sampel yang sudah
dikeringkan dan dihaluskan ditambah dengan
250 mL etanol 96%. Larutan tersebut
dimaserasi secara dinamik selama 6 jam dan
dimaserasi secara statik/diamkan selama 24
jam. Maserasi ekstrak dilakukan tiga kali
ulangan. Selanjutnya filtrat dikumpulkan dan
dipekatkan dengan penguap putar.
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Flavonoid dan saponin. Sebanyak 0.1
g ekstrak ditambahkan 10 mL air panas
kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat
ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL HCl
pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran
dikocok kuat-kuat. Uji positif terdapat
flavonoid ditandai dengan munculnya warna
merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil
alkohol. Sebanyak 10 mL filtrat dikocok

5

untuk menganalisis berbagai macam sampel.
Hampir lebih dari 30 noda dapat diamati
secara simultan pada satu waktu di dalam satu
pelat (Funk & Droeschel 1991).

dan
hipofilantin
(dari
Pusat
Studi
Biofarmaka), dan silika gel G60F254 dari
Merck.
Metode

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
merupakan salah satu alat pemisah komponenkomponen dalam suatu senyawa berdasarkan
interaksi komponen dengan fase gerak
(cairan) dan fase diam. Fase gerak yang
melewati komponen dibantu dengan adanya
tekanan. Hasil dari alat ini berupa
kromatogram atau sidik jari kromatografi.
Kromatogram
menggambarkan
puncakpuncak dengan waktu retensi tertentu sesuai
komponen yang terpisahkan. Kadar dari
komponen yang terpisahkan ditunjukkan
dengan luas area dari masing-masing puncak
(Harvey 2000).
Parameter yang diukur pada analisis
penciri KCKT meliputi waktu retensi,
resolusi, jumlah puncak, dan luas puncak.
Parameter tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain metode ekstraksi dan
instrumen kromatografi. Namun, parameter
yang banyak dipakai adalah jumlah puncak
yang dihitung dari banyaknya puncak yang
muncul (Liang et al. 2004). KCKT dapat
digunakan untuk menganalisis hampir seluruh
komponen dalam obat herbal. Hal itu
disebabkan hasil sidik jari kromatografinya
dapat merepresentasikan senyawa aktif yang
terdapat dalam obat herbal tersebut (Liang et
al. 2004).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah neraca
analitik, eksikator, penguap putar, oven,
inkubator, microplate reader, autoklaf, 96well-plates, lampu UV, dan kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) (Shimadzu).
Bahan yang digunakan ialah rimpang
temulawak (C. xanthorriza Roxb.) yang
berasal dari kebun Biofarmaka, tanaman
meniran (P. niruri L.) yang berasal dari kebun
Biofarmaka, bakteri S. epidermidis, media
trypticase soy broth (TSB), etanol, metanol, nheksana, kloroform, etil asetat, HCl, amil
alkohol, serbuk Mg, CHCl3, H2SO4, NaOH,
FeCl3 1%, pereaksi Mayer, Wagner,
Dragendorf,
DMSO,
DPPH,
katekin,
kuersetin, tetrasiklin, TCC, standar xantorizol
(dari Pusat Studi Biofarmaka), standar filantin

Metode penelitian yang dilakukan
mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yaitu
penentuan kadar air, ekstraksi sampel dengan
etanol 96%, uji fitokimia ekstrak temulawak
dan meniran, dan membuat formula campuran
berdasarkan rancangan simplex centroid.
Formula yang didapat dilakukan uji aktivitas
antioksidan dan anti bakteri. Selanjutnya,
formula yang teraktif dilakukan analisis sidik
jari dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselin dikeringkan pada suhu
105ºC selama 30 menit lalu didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g
contoh daun kepel dimasukkan dalam cawan
dan dipanaskan pada suhu 105ºC selama 3
jam sampai diperoleh bobot konstan,
kemudian didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang. Penetapan kadar air ini dilakukan
berdasarkan penentuan jumlah bobot kering
contoh. Penentuan kadar air dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan (triplo).
Kadar air (%) = A  B 100%
A

Keterangan:
A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
B = bobot contoh setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi (BPOM 2004)
Sebanyak 50 gram sampel yang sudah
dikeringkan dan dihaluskan ditambah dengan
250 mL etanol 96%. Larutan tersebut
dimaserasi secara dinamik selama 6 jam dan
dimaserasi secara statik/diamkan selama 24
jam. Maserasi ekstrak dilakukan tiga kali
ulangan. Selanjutnya filtrat dikumpulkan dan
dipekatkan dengan penguap putar.
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Flavonoid dan saponin. Sebanyak 0.1
g ekstrak ditambahkan 10 mL air panas
kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat
ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL HCl
pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran
dikocok kuat-kuat. Uji positif terdapat
flavonoid ditandai dengan munculnya warna
merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil
alkohol. Sebanyak 10 mL filtrat dikocok

6

selama 10 menit dengan keadaan tertutup. Jika
terbentuk buih yang stabil berarti bahwa
ekstrak mengandung saponin.
Uji Alkaloid. Sejumlah 1 gram ekstrak
ditambah dengan 10 mL CHCl3 dan beberapa
tetes NaOH. Larutan tersebut disaring dan
filtratnya ditambahkan 10 tetes H2SO4 2 M
serta dikocok. Lapisan asam dipisahkan dan
masing-masing ditambahkan dengan pereaksi
Mayer (positif jika terbentuk endapan putih),
pereaksi Wagner (positif jika terbentuk
endapan cokelat), dan pereaksi Dragendorf
(positif jika terbentuk endapan merah jingga).
Uji Tanin. Sebanyak 10 mL ekstrak
dipanaskan selama 10 menit. Larutan tersebut
kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan
dengan FeCl3 1%. Jika terbentuk warna biru
tua atau hijau berarti bahwa ekstrak
mengandung tanin.
Uji Steroid dan Terpenoid. Sampel
diekstraksi dengan 10 mL etanol panas,
disaring, dan diuapkan hingga kering. Residu
yang dihasilkan dilarutkan dalam eter.
Selanjutnya fase eter tersebut ditambahkan 1
tetes H2SO4 serta 3 tetes asetat anhidrat. Jika
terbentuk warna biru atau hijau berarti bahwa
ekstrak positif mengandung steroid. Namun
jika terbentuk warna ungu berarti bahwa
ekstrak positif mengandung terpenoid.
Pembuatan Formula Campuran Ekstrak
Temulawak dan Meniran
Campuran
ekstrak
dibuat
dengan
menggunakan tiga bahan, yaitu ekstrak
temulawak, pati, dan ekstrak meniran. Pati
digunakan sebagai bahan pengisi. Ketiga
bahan tersebut dikombinasikan menggunakan
desain simplex centroid (Gambar 6)
berdasarkan ekstrak keringnya. Sepuluh hasil
formula ekstrak dinyatakan pada desain
campuran ekstak (Tabel 1).

Gambar 6 Sepuluh titik selektivitas simplex
centroid

Tabel 1 Desain campuran ekstrak
Komposisi ekstrak (b/b/b)
Formula
Pati
Temulawak Meniran
1
1
0
0
2
0
0
1
3
0
1
0
4
1/2
0
1/2
5
0
1/2
1/2
6
1/2
1/2
0
7
1/3
1/3
1/3
8
1/6
2/3
1/6
9
1/6
1/6
2/3
10
2/3
1/6
1/6
Uji Aktivitas Antibakteri (Batubara et al.
2009)
Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas
antibakteri
adalah
Staphylococcus
epidermidis. Media yang digunakan adalah
trypticase soy broth (TSB). Sebanyak 100 µL
medium steril, 40 µL sampel dilarutkan dalam
DMSO 20% atau kontrol dan 5 µL inokulum
bakteri dimasukkan ke dalam masing-masing
sumur (96-well plate). Inokulum telah
disiapkan pada konsentrasi 10-2 CFU/mL.
S.epidermidis diinkubasi dalam media selama
48 jam pada suhu 37oC. Konsentrasi ekstrak
yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri
(bening) secara visual dideskripsikan sebagai
konsentrasi hambat minimum (KHM).
Sebanyak 100 µL dari media yang tidak
menunjukkan
pertumbuhan
bakteri
diinokulasikan pada 100 µL media baru.
Kemudian diinkubasi selama 48 jam pada
suhu 37oC. Konsentrasi yang tidak
menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah
inokulasi kedua dideskripsikan sebagai
konsentrasi bunuh minimum (KBM). Kontrol
negatif yang digunakan adalah DMSO dan
kontrol positifnya adalah tetrasiklin dan TCC.
Uji Aktivitas Antioksidan (Batubara et al.
2009)
Uji aktivitas antioksidan yang digunakan
adalah uji penangkapan radikal bebas 2,2difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH).
Sampel
dilarutkan di dalam etanol hingga diperoleh
konsentrasi 1,67; 3,33; 6,67; 10,00; 13,33;
16,67; 100,00; 133,33; dan 166,67 µg/mL.
Alikuot sampel dan 100 µL larutan DPPH
(11,8 mg DPPH dalam 100 mL etanol)
ditambahkan ke masing-masing sumur 96well plate. Setelah 30 menit, diukur
absorbansnya pada 514 nm. Kontrol positif
yang digunakan adalah (+)-katekin dan etanol
sebagai kontrol negatif. Pengukuran absorbans
masing-masing sampel dengan berbagai

7

konsentrasi dan kontrol positif dilakukan tiga
kali ulangan. Aktivitas inhibitor dihitung
dengan persamaan:
Inhibisi (%) = [1-(Asampel – Akontrol) / (Ablangko –
Akontrol)] x 100%
di mana, Asampel adalah absorbans sampel,
Akontrol adalah absorbans dari (+)-katekin
sebagai kontrol dan Ablangko adalah absorbans
dari etanol sebagai blanko.
Analisis Penciri dengan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT)
Analisis Xantorizol (Asriani 2010). Pelat
kromatografi lapis tipis (KLT) yang
digunakan adalah pelat alumunium jenis silika
gel G60F254 dari Merck. Ekstrak kasar
temulawak dan formulasi campuran ekstrak
ditotolkan pada pelat KLT sebanyak 20 kali
totolan. Setelah kering, pelat KLT tersebut
langsung dielusi dalam bejana kromatografi
yang telah dijenuhkan oleh uap eluen
pengembang. Eluen yang digunakan yaitu nheksana:etil asetat (10:1). Noda yang
dihasilkan dari masing-masing eluen diamati
di bawah lampu UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm.
Analisis Filantin (Depkes RI 2008).
Pelat kromatografi lapis tipis (KLT) yang
digunakan adalah pelat alumunium jenis silika
gel G60F254 dari Merck. Ekstrak kasar meniran
dan formulasi campuran ekstrak ditotolkan
pada pelat KLT sebanyak 20 kali totolan.
Setelah kering, pelat KLT tersebut langsung
dielusi dalam bejana kromatografi yang telah
dijenuhkan oleh uap eluen pengembang.
Eluen
yang
digunakan
yaitu
kloroform:metanol:air (80:12:2). Noda yang
dihasilkan
dari
masing-masing
eluen
dicelupkan ke dalam AlCl3 dan diamati di
bawah lampu UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm. Standar yang digunakan
sebagai pembanding adalah kuersetin.
Analisis Penciri dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT)
Analisis Xantorizol (Asriani 2010).
Sebanyak 100 mg formula yang memiliki
aktivitas terbaik dilarutkan dengan 50 mL
etanol dan disaring menggunakan kertas
saring
Whatman.
Selanjutnya
sampel
diinjeksikan ke dalam KCKT (Shimadzu)
dengan volume injeksi sebesar 20 µL. Fase
gerak yang digunakan adalah H3PO4:metanol,
laju alirnya sebesar 1 mL/menit, kolom C18,
dan detektor UV pada panjang gelombang 224
nm. Konsentrasi standar xantorizol yang
digunakan sebesar 100 ppm.

Analisis Filantin (Tripathi et al. 2006).
Sebanyak 100 mg formula yang memiliki
aktivitas terbaik dilarutkan dengan 50 mL
metanol dan disaring menggunakan kertas
saring
Whatman.
Selanjutnya
sampel
diinjeksikan ke dalam KCKT (Shimadzu)
dengan volume injeksi sebesar 20 µL. Fase
gerak yang digunakan adalah metanol:air
(70:30), laju alirnya sebesar 0.7 mL/menit,
kolom C18, dan detektor photodiode array
(PAD) pada panjang gelombang 220 nm.
Standar yang digunakan adalah filantin dan
hipofilantin dengan konsentrasi masingmasing sebesar 50 ppm dan 50 ppm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar air
Kadar air suatu sampel dapat diartikan
sebagai banyaknya air yang terkandung dalam
sampel sebagai persen bahan kering. Menurut
Depkes RI (1995), penentuan kadar air
berfungsi mengetahui masa simpan serbuk
kering sampel dan sebagai salah satu syarat
bahan baku herbal. Suatu sampel dikatakan
baik dan dapat disimpan dalam jangka waktu
yang lama apabila memiliki kadar air