Film Layak Makan Protein Whey Dengan Ekstrak Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.)Sebagai Antibakteri

(1)

FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK

HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

SEBAGAI ANTIBAKTERI

TESIS

Oleh

DIAN NIRWANA HARAHAP

117006021/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK

HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

SEBAGAI ANTIBAKTERI

TESIS

Diajuan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN NIRWANA HARAHAP

117006021/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.) SEBAGAI

ANTIBAKTERI

Nama : DIAN NIRWANA HARAHAP

Nomor Pokok : 117006021

Program Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc Saharman Gea, M.Si, Ph.D

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc

NIP.195204181980021001 NIP.196310261991031001


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc

Anggota : 1. Saharman Gea, M.Si, Ph.D

2. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D 3. Dr. Nimpan Bangun, M.Sc


(5)

PERNYATAAN

FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK

HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

SEBAGAI ANTIBAKTERI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan sumbernya dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013 Penulis


(6)

(7)

FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK

HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

SEBAGAI ANTIBAKTERI

ABSTRAK

Aktivitas antibakteri film layak makan berbahan dasar isolat protein whey (WPI) digabungkan dengan ektrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) pada konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8%, 10% dan perbandingan gliserol 40%, 30% dan 20% terhadap beberapa bakteri patogen gram positif (S. aureus) dan gram negatif (Salmonella sp dan E. coli) telah diteliti dengan menggunakan metode difusi agar. Ekstrak herba meniran diuji fitokimia terlebih dahulu. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa sampel ekstrak herba meniran positif mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, tannin, glikosida, antrakuinon, dan triterpen/steroid. Zona hambat diukur setelah masa inkubasi 24 jam. Film yang mengandung ekstrak herba meniran (WPI-Meniran) berhasil menghambat bakteri S. aureus pada konsentrasi meniran 2% (w/w) yaitu 14.08; 14.68; 15.07 mm. Sedangkan film paling optimum zona penghambatannya berada pada film WPI-Meniran 10% (w/w) yaitu 27.12mm; 28.17mm dan 29.10 mm. Sama halnya pada bakteri S. aureus, edible film WPI-Meniran berhasil menghambat Salmonella sp dan E. coli pada film WPI-Meniran 2% (w/w) dengan zona penghambatan untuk Salmonella sp yaitu 15,12 mm; 15,42 mm; 15,92 mm dan untuk E. coli yaitu 14.40 mm; 15.47 mm dan 15.93 mm. Zona hambat optimum terletak pada konsentrasi 10% (w/w) untuk Salmonella sp yaitu 29.60 mm; 30.38 mm; 31.33 mm dan zona hambat E. coli yaitu 28.23 mm; 29,12 mm; 30,30 mm. Disimpulkan bahwa film layak makan WPI-Meniran sensitif terhadap bakteri patogen.


(8)

EDIBLE FILM PROTEIN WHEY WITH MENIRAN EXTRACT

HERBA (Phyllanthus niruri L.) AS ANTIBACTERIAL

ABSTRACT

Antibacterial activities of isolate protein whey-based edible film incorporated with meniran extract herba (Phyllanthus niruri L.) at various concentration of 2%, 4%, 6%, 8%, 10% and glycerol (40%, 30% and 20%) on pathogenic bacteria (S. aureus, Salmonella sp and E. coli) have been tested following a plate diffusion assay. The test of Phytochemical showed that Phyllanthus niruri L. contained chemical compounds of flavonoid, alkaloid, tannin, glikosida, antraquinon, and triterpen/ steroid. The zona of inhibition were measured after an incubation period. The film contained Phyllanthus niruri L. (WPI-Meniran) inhibited the growth S.aureus bacteria at 2% (14.08 mm; 14.68 mm; 15.07 mm). The most optimum zone of inhibition Edible film WPI-Meniran at 10% (w / w) were 27.12 mm; 28.17 mm; 29.10 mm. The edible film of WPI-Meniran inhibited Salmonella sp and E. coli at 2% (w/w) with inhibition zones for Salmonella sp were 15.12 mm; 15.42 mm; 15.92 mm and E. coli were 14:40 mm; 15:47 mm; 15.93 mm. The most optimum of inhibition zone at 10% (w / w) for Salmonella sp were 29.60 mm; 30.38 mm; 31.33 mm and inhibition zone E. coli were 28.23 mm; 29.12 mm; 30.30 mm. The conclusion of this experiment showed that the WPI-Meniran edible film gave the result of sensitivity with pathogenic bacteria.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji Syukur yang tak terhingga penulis ucapkan dengan segala kerendahan hati dan diri kepada Allah SWT, Sang Khaliq yang senantiasa mencurahkan segala nikmat Iman, Islam dan Ihsan, serta Shalawat dan salam kepada Nabi Allah sebagai teladan insan terbaik; Rasulullah Muhammad SAW sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini dengan sebaik mungkin. Tesis ini berjudul “FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.) SEBAGAI ANTIBKTERI”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universias Sumatera Utara Medan.

Keberhasilan dari penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dan telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Orangtua penulis, buat Ayahanda Kapten CAJ Dian Bahri Harahap dan Ibunda Hesti

Yulianti yang selalu sabar dan mendoakan, memberi perhatian, dan menjadikan

inspirasi di setiap langkah hidup kami. Kepada (alm) Kakek Soetrisno R, Nenek Omi, yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis. Kepada kakak saya tersayang

Diannita Harahap, S.Pd, M.Si dan adik-adik saya tersayang Rio Ferdiani, S.Pd

dan Ricky Harahap yang selalu memotivasi dan menginspirasi disetiap langkah

hidup kami.

Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT & H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) dan Dr. Sutarman, M.Sc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.


(10)

Bapak Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Bapak Saharman Gea, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing II yang telah dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta memberikan masukan, saran, dan petunjuk kepada penulis dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini.

Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia. Bapak dan Ibu dosen Pascasarjana Ilmu Kimia yang telah membimbing dan memotivasi serta memberi disiplin ilmu selama penulis menjalani studi.

Seluruh staf laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, laboratorium Fitokimia Farmasi FMIPA USU, laboratorium Mikrobiologi PTKI. Ibu Leo Asnah Munthe, S.Ag selaku kepala SMP Nusa Penida Medan dan bapak Drs. Jasa Sembiring selaku kepala SMK 1 Medan Area Medan. Ibu Iyus Dahniar S, S.Pd serta ananda siswa-siswi SMP Nusa Penida Medan dan SMK 1 Medan Area Medan yang telah bersedia membantu peneliti dalam penelitian ini. Kak Lely selaku tata usaha Pascasarjana Ilmu Kimia dan bang Edi selaku teknisi Laboratorium Kimia Polimer FMIPA-USU.

Sahabat seperjuangan yang selalu mengerti, membantu, dan berbagi dalam suka dan duka, temon Adilah Wirdhani Lubis, S.Pd, M.Si. Teman-teman Kak Emma Suryani, Kak Dwi yuliani, Tisna, Ibu Tuty, Ibu Gimelia, Deni Reflianto, Kak Sari, Kak Ferry, Ibu Ratna, Bang Frans, Bang Nasir, Bang Mulia, Bang Ridwan, serta seluruh saudara dan teman-teman yang selalu mendoakan yang terbaik kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah dengan sabar mendengarkan segala keluh kesah dan memberikan masukannya kepada penulis.

Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis berharap Allah memberikan Berkah-Nya berlipat ganda kepada kalian, amin ya Rabbalalamin.


(11)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan ilmu pengetahuan untuk masa yang akan datang.

Medan, Juli 2013 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap berikut gelar : Dian Niwana Harahap, S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Jayapura, 16 April 1989

Alamat Rumah : Jl. Lapangan Golf Asrama Kodam I/BB blok Anggrek No. H12, Tuntungan II, Kec. Pancur

Batu, Kab. Deliserdang, Prov. SUMUT

Telepon/HP : +6285296737673

Email : dian_pangan@yahoo.com

Nama Ayah : Kapten CAJ Dian Bahri Harahap

Nama Ibu : Hesti Yulianti

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Swasta Alwashliyah Medan Tamat : 2000 SMP : SLTP Negeri 1 Pancur Batu Tamat : 2003 SMA : SMA Swasta Palapa Medan Tamat : 2006 Strata-1 : Pendidikan Kimia FKIP UISU Tamat : 2010 Strata-2 : Program Magister Ilmu Kimia USU Tamat : 2013


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

DAFTAR SINGKATAN xiii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 4

1.3. Pembatasan Masalah 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 5

1.6. Metodologi Penelitian 5

1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


(14)

2.2. Film Layak Makan 7

2.3. Protein Whey Isolate 9

2.4. Agen Antibakteri 12

2.4.1. Meniran (Phyllanthus niruri L.) 12

2.4.2. Kandungan Kimia 15

2.4.2.1. Alkaloid 17

2.4.2.2. Flavonoid 18

2.4.2.3. Terpenoid 18

2.4.2.4. Tanin 19

2.4.2.5. Saponin 19

2.5. Bakteri Patogen 19

2.5.1. Bakteri S. aureus 19

2.5.2. Bakteri Salmonella sp 21

2.5.3. Bakteri E. coli 23

2.6. Mekanisme Kerja Antibakteri 24

2.7. Penggabungan Matriks dengan Agen Antibakteri 25

BAB 3. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi penelitian 27

3.2. Alat dan Bahan 27

3.2.1. Alat 27

3.2.2. Bahan 27

3.3. Prosedur Penelitian ... 27 3.3.1. Proses Ekstraksi Herba Meniran 27 3.3.2. Proses Pembuatan Film Layak Makan WPI-Meniran 28 3.4. Karakterisasi Film Layak Makan WPI-Meniran 29

3.4.1. Uji Fitokimia 29

3.4.1.1. Alkaloid 29


(15)

3.4.1.3. Steroida dan Triterpen Bentuk Bebas 30

3.4.1.4. Tanin 30

3.4.1.5. Saponin 30

3.4.1.6. Glikosida 30

3.4.1.7. Antrakinon Glikosida 31

3.4.1.8. Sianogenik Glikosida 31

3.4.2. Uji Antibakteri 31

3.4.3. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform

Infrared Spectroscopy (FTIR) 32

3.4.4. Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning

Electron Microscopy (SEM) 32

3.5. Bagan Penelitian 33

3.5.1. Ekstraksi Herba Meniran 33

3.5.2. Pembuatan Film Layak Makan WPI-Meniran 34 3.5.3. Karakterisasi Film Layak Makan WPI-Meniran 35

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 36

4.1.1. Ekstraksi Herba Meniran 36

4.1.1.1. Uji Fitokimia 36

4.1.2. Pembuatan film layak makan WPI-Meniran 37 4.1.3. Uji Aktivitas Antibakteri Edible Film WPI-Meniran 40 4.1.4. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Tarnsform

Infrared Spectroscopy (FTIR) 46

4.1.5. Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning

Electron Microscopy (SEM) 51

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 53


(16)

DAFTAR PUSTAKA 54


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Protein Whey Susu Sapi 10

Tabel 4.1 Uji Fitokimia Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) 36 Tabel 4.2 Perbandingan Persentase WPI:Gliserol:Meniran 39 Tabel 4.3 Zona Hambat Film Layak Makan WPI-Meniran terhadap

Bakteri Patogen


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Herba Meniran (Phyllanthus niruri L) 13 Gambar 2.2 Struktur Senyawa Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan 14 Gambar 2.3 Struktur Kimia Filantin dan Hipofilantin 16 Gambar 2.4 Struktur Kimia Senyawa ) farnesil farnesol, isolintetralin,

niranthin, 5-demethoxy-niranthin, dimethylenodioxy-niranthin

17

Gambar 2.5 Bakteri S. aureus 20

Gambar 2.6 Bakteri Salmonella sp 22

Gambar 2.7 E. coli 24

Gambar 2.8 Perbandingan Struktru Dinding Sel Bakteri Gram Positif

dan Negatif 25

Gambar 3.1 Bagan Ekstraksi Tumbuhan Meniran 33

Gambar 3.2 Bagan Pembuatan Film Layak Makan WPI-Meniran 34 Gambar 3.3 Karakterisasi Film Layak Makan WPI-Meniran 35 Gambar 4.1 Film Layak Makan WPI dan WPI-Meniran 38 Gambar 4.2 Grafik Zona Hambat Bakteri S. aureus 40 Gambar 4.3 Grafik Zona Hambat Bakteri Salmonella sp 41 Gambar 4.4 Grafik Zona Hambat Bakteri E. Coli 42 Gambar 4.5 Spektrum FT-IR Film Layak Makan WPI 47 Gambar 4.6 Skema Ikatan Silang Antara Senyawa 1,2-seco-cladiellan

pada Herba Meniran dan Gugus Fungsi Asam Amino Protein

49 Gambar 4.7 Spektrum FT-IR Film Layak Makan WPI-Meniran 50 Gambar 4.8 Foto SEM permukaan film layak makan WPI dan


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Proses Ekstraksi Herba Meniran L-1

Lampiran 2 Gambar Pembuatan film layak makan WPI Meniran L-2 Lampiran 3 Peralatan Penelitian Tabel Korelasi FT-IR L-3


(20)

DAFTAR SINGKATAN

WPI : Whey Protein Isolat

FTIR : Fourier Tarnsform Infrared Spectroscopy SEM : Scanning Electron Microscopy


(21)

FILM LAYAK MAKAN PROTEIN WHEY DENGAN EKSTRAK

HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

SEBAGAI ANTIBAKTERI

ABSTRAK

Aktivitas antibakteri film layak makan berbahan dasar isolat protein whey (WPI) digabungkan dengan ektrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) pada konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8%, 10% dan perbandingan gliserol 40%, 30% dan 20% terhadap beberapa bakteri patogen gram positif (S. aureus) dan gram negatif (Salmonella sp dan E. coli) telah diteliti dengan menggunakan metode difusi agar. Ekstrak herba meniran diuji fitokimia terlebih dahulu. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa sampel ekstrak herba meniran positif mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, tannin, glikosida, antrakuinon, dan triterpen/steroid. Zona hambat diukur setelah masa inkubasi 24 jam. Film yang mengandung ekstrak herba meniran (WPI-Meniran) berhasil menghambat bakteri S. aureus pada konsentrasi meniran 2% (w/w) yaitu 14.08; 14.68; 15.07 mm. Sedangkan film paling optimum zona penghambatannya berada pada film WPI-Meniran 10% (w/w) yaitu 27.12mm; 28.17mm dan 29.10 mm. Sama halnya pada bakteri S. aureus, edible film WPI-Meniran berhasil menghambat Salmonella sp dan E. coli pada film WPI-Meniran 2% (w/w) dengan zona penghambatan untuk Salmonella sp yaitu 15,12 mm; 15,42 mm; 15,92 mm dan untuk E. coli yaitu 14.40 mm; 15.47 mm dan 15.93 mm. Zona hambat optimum terletak pada konsentrasi 10% (w/w) untuk Salmonella sp yaitu 29.60 mm; 30.38 mm; 31.33 mm dan zona hambat E. coli yaitu 28.23 mm; 29,12 mm; 30,30 mm. Disimpulkan bahwa film layak makan WPI-Meniran sensitif terhadap bakteri patogen.


(22)

EDIBLE FILM PROTEIN WHEY WITH MENIRAN EXTRACT

HERBA (Phyllanthus niruri L.) AS ANTIBACTERIAL

ABSTRACT

Antibacterial activities of isolate protein whey-based edible film incorporated with meniran extract herba (Phyllanthus niruri L.) at various concentration of 2%, 4%, 6%, 8%, 10% and glycerol (40%, 30% and 20%) on pathogenic bacteria (S. aureus, Salmonella sp and E. coli) have been tested following a plate diffusion assay. The test of Phytochemical showed that Phyllanthus niruri L. contained chemical compounds of flavonoid, alkaloid, tannin, glikosida, antraquinon, and triterpen/ steroid. The zona of inhibition were measured after an incubation period. The film contained Phyllanthus niruri L. (WPI-Meniran) inhibited the growth S.aureus bacteria at 2% (14.08 mm; 14.68 mm; 15.07 mm). The most optimum zone of inhibition Edible film WPI-Meniran at 10% (w / w) were 27.12 mm; 28.17 mm; 29.10 mm. The edible film of WPI-Meniran inhibited Salmonella sp and E. coli at 2% (w/w) with inhibition zones for Salmonella sp were 15.12 mm; 15.42 mm; 15.92 mm and E. coli were 14:40 mm; 15:47 mm; 15.93 mm. The most optimum of inhibition zone at 10% (w / w) for Salmonella sp were 29.60 mm; 30.38 mm; 31.33 mm and inhibition zone E. coli were 28.23 mm; 29.12 mm; 30.30 mm. The conclusion of this experiment showed that the WPI-Meniran edible film gave the result of sensitivity with pathogenic bacteria.


(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemasan aktif (active packaging) merupakan salah satu inovasi konsep kemasan makanan yang telah dikenal sebagai permintaan terbaru dan mengikuti kecendrungan pasar. Pada umumnya kemasan aktif dapat difungsikan untuk memperpanjang masa simpan, pengatur oksigen, kelembaban, emisi etanol, rasa, dan aktivitas antimikroba (Quintavalla dan Vicini, 2002).

Kontaminasi mikroba menurunkan masa simpan makanan dan meningkatkan resiko keracunan makanan. Dalam kondisi yang sesuai, sebagian besar mikroorganisme akan tumbuh atau berkembang biak. Bakteri berkembang biak dengan cara membelah untuk memproduksi dari satu menjadi dua organisme, jumlahnya meningkat secara eksponensial. Dalam kondisi ideal beberapa bakteri dapat tumbuh dan membelah setiap 20 menit, sehingga satu sel bakteri bisa meningkat sampai 16 juta sel dalam 8 jam (Coles et al, 2003).

Kemasan antimikroba adalah kemasan aktif yang menjanjikan pada produk makanan. Sering sekali kontaminasi terjadi pada makanan terutama pada bagian permukaan yang dikerenakan penanganan pascapengolahan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keamanan pada makanan dan menunda pembusukan salah satunya menggunakan spray antimikroba atau pencelupan. Selain itu mencampurkan bakterisida dengan agen bakteriostatis ke dalam formula dapat menyebabkan inaktivasi sebagian zat aktif produk oleh karena itu memiliki efek yang terbatas.


(24)

Penggunaan kemasan film antimikroba lebih efesien. Dengan adanya migrasi perlahan dari bahan material kemasan ke permukaan produk, sehingga konsentrasi tinggi tetap terjaga dan hal ini sangat dibutuhkan. Jika antimikroba dimasukkan pada bahan kemasan dapat mengontrol kontaminasi bakteri dengan mengurangi pertumbuhan bakteri (Quintavalla dan Vicini, 2002). Berbagai jenis antibakteri baik bahan sintetik maupun alami telah dikembangkan dan digunakan. Antibakteri sintetik seperti formalin jika dikonsumsi terus menerus akan berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu pengawet alami seperti oregano, minyak esensial bawang putih dan protein whey (Seydim dan Sarikus, 2006).

Regalado, et al (2006) memperkirakan whey cair diproduksi di seluruh dunia sekitar 118 juta ton/tahun, yang setara dengan sekitar 7 juta ton padatan whey. Menurut Han (2005) protein bahan pembentuk film layak makan ini diperoleh dari sumber hewan dan tumbuhan seperti dari jaringan hewan, susu, telur dan biji-bijian. Protein whey dapat menghasilkan film yang transparan, lunak, fleksibel dan mempunyai sifat penahan aroma dan oksigen yang baik pada kelembaban relatif (relative humity) yang rendah. Protein whey isolat merupakan hasil pemurnian dari protein whey (Oscar et al, 2011). Setelah penambahan antibakteri dari ekstrak herba meniran diharapkan mampu menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri patogen yang pada umumnya menyerang pangan hewani asal ternak.

Ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) memiliki kandungan senyawa aktif yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai macam penyakit diantaranya adalah alkaloid, terpenoid, glikosida, steroid, saponin, tanin, dan flavonoid. Menurut Robinson (1995) senyawa alkaloida (berberin dan kolumbin) dalam tanaman brotowali (Tinospora crispa (L.) MIERS.) dapat mengganggu terbentuknya jembatan silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Selain itu menurut Schlegel dan Schmidt (1994) alkaloida mampu berikatan dengan DNA,


(25)

sehingga menghambat pembentukan enzim penting dari mikroorganisme dan perusakan senyawa protein dari mikroorganisme.

Desvita (2011) telah menguji sejauhmana ekstrak herba meniran dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir patogen dengan pelarut yang berbeda (metanol, etil asetat dan n-heksan). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa masing-masing ekstrak herba meniran memiliki aktivitas antimikroba yang berbeda dan ekstrak yang paling potensial adalah ekstrak metanol. Sejalan dengan yang dilakukan oleh Gunawan, et al (2008) yaitu mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa terpenoid dari herba meniran dengan menggunakan pelarut n-heksana terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. Hasilnya membuktikan bahwa hasil ekstrak herba meniran mengandung dua senyawa terpenoid yaitu Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan yang aktif terhadap dua bakteri tersebut.

Beberapa penelitian lain menggunakan plate counting test untuk mengevaluasi WPI yang dikombinasi dengan lysozime, sistem lactoperoxidase, lactoferrin dan lactoferin hydrolizate terhadap mikroorganisme gram positif (L. monocytogens), dan mikroorganisme gram negatif (Salmonella enteric dan E. coli O157:H7) (Regalado, dkk, 2006). Uji antimikroba juga telah dilakukan terhadap jamur (Penicillium commune) oleh film layak makan WPI antimikroba digabung dengan lactoferrin (LF), lactoverin hydrolizate (LFH), dan sistem lactoperoxidase (LPOS). Namun hanya film WPI-LPOS menunjukkan pengaruh antimikroba terhadap mikroorganisme gram negatif. Seydim dan Sarikus (2006) telah menggabungkan WPI dan beberapa rempah oregano, rosemary dan minyak esensial bawang putih. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa rosemary tidak memiliki aktivitas antibakteri sedangkan rempah lainnya menunjukan adanya aktivitas antibakteri pada perbandingan tertentu. Kemudian oleh Manab, et al (2011) yaitu dengan menggabungkan film layak makan berbahan dasar protein whey dengan asam organik kemudian diuji aktivitas antibakterinya terhadap beberapa bakteri diantaranya


(26)

lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus, E. coli, Salmonella sp. Hasilnya menunjukan bahwa masing-masing memiliki zona hambat terhadap bakteri tersebut. Oleh sebab itu, maka peneliti mencoba menggabungkan film layak makan WPI dengan ekstrak meniran yang sudah terbukti mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha mengatasi masalah kontaminasi beberapa bakteri dengan memanfaatkan ekstrak herba meniran sebagai agen antimikroba pada film layak makan berbahan dasar protein whey isolat dengan memvariasikan konsentrasi ekstak herba meniran.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ekstrak herba meniran dapat dijadikan agen antibakteri alami yang dapat digabungkan dengan film layak makan protein whey isolat?

2. Bagaimana aktivitas antibakteri film layak makan WPI-Meniran terhadap bakteri S. aureus, Salmonella sp dan E. coli ?

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada film layak makan berbahan dasar protein whey yang digabungkan dengan ekstrak herba meniran untuk menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, Salmonella sp dan E. coli.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara memperoleh agen antibakteri alami yang dapat digabungkan dengan film layak makan berbahan dasar protein whey isolat. 2. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri film layak makan WPI-Meniran terhadap


(27)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat dan peneliti selanjutnya mengenai cara memperoleh agen antibakteri alami yang dapat digabungkan pada saat pembuatan film layak makan. Demikian juga dengan kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri khususnya bakteri S. aureus, Salmonella sp dan E. coli.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian skala laboratorium yang dilakukan dalam 3 (tiga) tahap. Pertama, mengekstraksi herba meniran dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol kemudian diuji Fitokimia. Kedua, pembuatan film layak makan WPI-Meniran dengan mencampurkan keduanya menggunakan pengaduk magnet. Terakhir, uji aktivitas antibakteri, dan karakterisasi gugus fungsi dengan FT-IR dan uji morfologi dengan SEM.

1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 – Juni 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Laboratorium Kimia Polimer, Laboratorium Fitokimia Farmasi USU, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU. Sementara untuk uji gugus fungsi menggunakan FT-IR dilakukan di Laboratorium Kimia Organik UGM Yogyakarta dan uji morfologi dengan SEM dilakukan di Laboratorium Geologi PPPGL Bandung.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Smart Food Coating

Smart packaging didefinisikan oleh Wagner (1989) dalam Rooney (1995) sebagai lebih dari sekedar menawarkan perlindungan. Kemasan berinteraksi dengan produk, dan dalam beberapa kasus terbukti memberi perubahan. Active packaging sering disebut sebagai interaktif atau smart packaging yang dimaksudkan untuk merasakan perubahan lingkungan internal maupun eksternal dan perubahan sifat bagian dalam dari kemasan.

Ruang lingkup bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari mulai bahan yang sangat bervariasi hingga model atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik. Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas, logam, fiber hingga bahan-bahan yang dilaminasi. Namun demikian pemakaian bahan-bahan seperti papan kayu, karung goni, kain, kulit kayu, daun-daunan, dan pelepah dan bahkan sampai barang-barang bekas seperti koran dan plastik bekas yang tidak etis dan hiegenis juga digunakan sebagai bahan pengemas produk pangan. Bentuk dan teknologi kemasan juga bervariasi dari kemasan botol, kaleng, tetrapak, corrugated box, kemasan vakum, kemasan aseptik, kaleng bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan aktif dan pintar (active and intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan kondisi lingkungan di dalam kemasan dengan kebutuhan produk yang dikemas (Julianti, 2007).

Kemasan antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) kemasan yang mengandung agen antibakteri yang bermigrasi dari permukaan kemasan ke makanan secara langsung; (2) kemasan yang efektif terhadap pertumbuhan mikrobiologi pada permukaan makanan tanpa migrasi zat aktif kemakanan.


(29)

Wieddyanto, et al (2006) melaporkan pemanfaatan protein whey sebagai film layak makan untuk bahan kemasan dalam upaya menghambat pertumbuhan mikroba pada produk daging. Hasil yang diperoleh film layak makan ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis daging yang dapat mempertahankan penurunan berat dan penurunan jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi permukaan daging. Senyawa antimikroba alami berasal dari alam telah diisolasi dari sumber tanaman dan hewan. Senyawa dari asal tanaman termasuk ekstrak rempah-rempah; kayu manis, allspice, cengkeh, thyme, rosemary, dan oregano adalah beberapa bahan yang telah menunjukkan aktivitas antimikroba (Seydim dan Sarikus, 2006).

2.2. Film Layak Makan

Kemasan edible adalah kemasan yang layak untuk dimakan karena terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Sifat-sifat kemasan masa depan diharapkan mempunyai bentuk yang fleksibel namun kuat, transparan, tidak berbau, tidak mengkontaminasi bahan yang dikemas dan tidak beracun, tahan panas, biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terbarukan. Bahan-bahan ini berupa bahan-bahan hasil pertanian seperti karbohidrat, protein dan lemak (Julianti, 2007). Bahan-bahan ini juga dapat bertindak sebagai pembawa bahan aktif, seperti antioksidan, rasa, kaya nutrisi, pewarna, agen antimikroba, atau rempah-rempah (Cha, 2004).

Film layak makan yang sudah banyak beredar umumnya berasal dari bahan protein, misalnya film dari kolagen gelatin, protein jagung (corn zein), protein gandum (wheat gluten), protein kedelai (soy protein), kasein, dan film dari protein whey. Film dengan bahan dasar protein biasanya diperoleh dari pencetakan dan pengeringan (Khotibul et al, 2010). Selain itu kondisi pH juga harus diperhatikan. Menurut Perez-Gago (1999) yang menyatakan bahwa pembentukan film layak makan dari protein whey tidak bias secara sempurna pada pH 3, kemungkinan disebabkan oleh tingginya gaya elektrostatik yang mengadakan penolakan antarprotein. Ketika


(30)

film layak makan ini dikondisikan pada pH 4 dan 5, viskositas larutan meningkat dengan cepat sehingga menghasilkan gel yang lunak.

Salah satu bahan pembuatan film layak makan yang berasal dari protein yaitu protein whey. Protein whey berasal dari hasil samping industri keju, yang mengandung laktoglobulin (57%) dan laktalbumin (19%). Film layak makan protein whey mempunyai sifat transparan, lunak, fleksibel dan penahan aroma dan oksigenyang baik pada kelembaban rendah yang didapatkan dengan cara protein didenaturasi pada suhu 90oC selama 30 menit, penambahan asam dan basa untuk membentuk ikatan disulfida intermolekuler sehingga menghasilkan gel yang lunak (Manab, 2008).

Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Adanya ikatan kovalen disulfide meningkatkan kestabilan film dan menyebabkan film dari protein ini tidak larut dalam air (Galietta et al, 1998).

Pembentukan film dari protein whey juga dipengaruhi oleh adanya bahan pemlastis. Komponen ini diperlukan untuk membantu meningkatkan pengikatan antara molekul-molekul protein di dalam film, tetapi jumlahnya tidak boleh terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Apabila terlalu sedikit film yang dihasilkan rapuh dan apabila terlalu banyak akan meningkatkan nilai water vapour permeability (WVP) film yang tidak diinginkan dalam pembentukan film ini. Bahan pemlastis yang digunakan adalah gliserol karena mampu meningkatkan pengikatan molekul-molekul protein dan tidak mengganggu ikatan hidrogen (Galietta et al, 1998). Penambahan komponen pemlastis kedalam formulasi film mempengaruhi keregangan, fleksibelitas dan elastisitas film yang dihasilkan. Senyawa CaCl2 juga digunakan dalam pembuatan


(31)

film layak makan dengan tujuan untuk meningkatkan ikatan silang ionik di dalam film (Cagri, 2003). Ikatan ini penting untuk membantu meningkatkan gaya kohesi, sifat barier, kekuatan, dan mencegah film agar tidak mudah larut (Galietta et al, 1998).

2.3. Protein Whey Isolat

Whey protein berasal dari susu sapi dan biasanya tersedia dalam bentuk suplemen bubuk protein sehingga lebih cepat diserap tubuh.. Whey protein memiliki kandungan Branch Chain Amino Acids (BCAA/asam amino rantai bercabang) terbesar yang sangat baik untuk pembentukan dan pemeliharaan massa otot tubuh, sudah lama populer di industri keolahragaan sebagai suplemen pembangun otot. Namun, penelitian menunjukkan hal ini memungkinkan memiliki aplikasi yang jauh lebih luas sebagai makanan fungsional dalam mencegah penyakit seperti kanker, hepatitis B, HIV, penyakit jantung, osteoporosis dan bahkan stres kronis.

Ada 2 (dua) jenis protein whey yaitu (1) Whey Protein Concentrate, yaitu whey protein berkualitas tinggi yang masih mengandung karbohidrat dan lemak. Kadar konsentrasi protein mencapai 70%, (2) Whey Protein Isolate, adalah jenis whey protein yang berkualitas tinggi dan lebih murni karena diterapkan pemrosesan tambahan. Kadar konsentrasi proteinnya mencapai 93% atau lebih tinggi.

Whey protein diekstrak dari whey, bahan cair dibuat dari produksi keju. Protein susu terbagi dalam dua bentuk fraksi protein, ditemukan sebagai protein kasein dan protein whey (Hidayat et al, 2006). Protein whey mewakili sekitar 20% dari protein susu dan protein lainnya mewakili 80% dari total. Protein whey berkualitas tinggi, karena memiliki semua asam amino esensial, dan nilai biologis tinggi dari pada protein telur atau kasein.

Whey adalah cairan kuning-hijau yang terpisah dari kasein saat pembuatan


(32)

limbah whey atau dikembalikan kepeternakan untuk makanan ternak. Namun penelitian tentang protein whey berkembang, biaya keuangan dalam penjualan whey sangat menguntungkan. Selanjutnya, terutama protein dan laktosa digunakan untuk bahan makanan. Protein whey telah digunakan dalam kembang gula, roti, dan eskrim produk, susu formula dan makanan kesehatan. Penelitian baru-baru ini menemukan penggunaan dari protein whey yaitu dengan memanfaatkan kemampuan protein whey olahan (80- 90%) untuk membentuk film dan coating pada permukaan produk (Regalado et al, 2006). Komposisi protein whey dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Protein Whey Susu Sapi

Protein Whey Konsentrasi (g/L)

Mr (kDa)

Td (oC)

Fungsi Biologi

Total 7 - - -

β-LG 3 18,6 71,9 Transfer provitamin A

α-LA 0,7 14,2 35 Sintesis laktosa

64,3b

Ig 1 150-900 - Imunitas pasif

BSA 0,4 66,4 72-74 Transfer asam

lemak

LFc 0,02-0,35 78,5 - Agen bakteriostatik

LPODd 0,01-0,03 77 - Agen antibakteri

Lysozim < 0,001 14 - Agen antibakteri

Enzymes (>50) 0,03 - - Indikator kesehatan Proteose peptones ≥ 1 <12 - Aktivitas Opioid

GMPe 0-1,5 8-32 - Regulasi pertumbuhan

sel a

Td = Termal denaturasi, bTd = Ca berikatan α-LA, claktoferrin, dLPOD = laktoperoksidase, eGMP = glikomakropeptida. (Regalado et al, 2006)

Tabel 2.1 meninjukan bahwa Protein whey mengandung: β-lactoglobulin (β -LG), α-lactalbumin (α-LA), bovine serum albumin (BSA) and immunoglobulins (Ig) (Regalado et al, 2006). Whey terdiri dari sejumlah protein termasuk beta

-lactoglobulin, alpha-lactalbumin, bovineserum albumin (BSA) dan glycomacropeptide (GMP). Secara kolektif, whey mengandung beberapa asam amino termasuk BCAA leusin, isoleusin, dan valin. BCAA diperlukan untuk pertumbuhan


(33)

dan perbaikan jaringan dan leusin khususnya memainkan peran penting dalam inisiasi terjemahan - sintesis protein. Protein whey juga mengandung agen bakteriostatik

yaitu laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim. Jeremi, et al (2013) menyatakan bahwa laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim memiliki sifat antimikroba.

Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Hasil penelitian Khotibul, et al (2010) film protein whey pada pemanasan 90oC mudah mengalami keretakan pada saat penyimpanan, sehingga perlu ditambahkan pemlastis.

Tujuan penambahan bahan pemlastis dalam larutan film adalah untuk mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film. Peningkatan fleksibilitas film dikarenakan terjadi pengurangan kekuatan tarik intermolekuler diantara rantai polimer.

2.4. Agen Antibakteri

2.4.1. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

Herba meniran merupakan herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 30-50 cm, bercabang–cabang. batang berwarna hijau pucat. Tumbuhan ini berdaun tunggal dengan letak berseling, helaian daun bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan bawah berbintik kelenjar, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm, lebar sekitar 7 mm, dan berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan bunga jantan. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak daun. Buahnya kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5 mm. Bijinya kecil, keras, berbentuk ginjal, berwarna coklat (Syamsyuhidayat dan Hutapea, 1991).


(34)

Tumbuhan meniran tumbuh liar di dataran dan daerah pegunungan dari ketinggian 1 mm sampai 1000 m dari permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah gembur, berpasir di ladang, di tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar pekarangan rumah (Dalimarta, 2000). Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan. Ciri tumbuhan meniran yang siap dipanen adalah daun tampak hijau tua hampir menguning dan buah agak keras jika dipijit.

Herba meniran merupakan tanaman yang mempunyai banyak khasiat dan telah digunakan sebagai obat tradisional. Khasiat tanaman tersebut diduga berasal dari kandungan berbagai senyawa kimia. Khasiat tersebut diduga berasal dari kandungan berbagai senyawa kimia, di antaranya alkaloid (sekurinin), flavonoid (kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, nirurin, niruside, rutin, leukodelfinidin, dan galokatekin), dan lignan (filantin dan hipofilantin). Senyawa lainnya, steroid dan triterpenoid, berasal dari biosintesis skualena, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karbohidrat (Wibowo, 2009). Tumbuhan meniran (Gambar 2.1) memiliki sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Euphorbiales Suku : Euphorbiaceae Marga : Phyllanthus Jenis : P. niruri Linn. (Van Steenis, 2003).


(35)

Gambar 2.1. Herba meniran (Phyllanthus niruri L)

Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah Phyllanthus urinaria L., Phyllanthus alatas BI, Phyllanthus cantonensis Hornen, Phyllanthus echinatus Wall, Phyllanthus leptocarpus Wight. Nama daerah Jawa: meniran, meniran merah, meniran hijau. Sunda: memeniran. Maluku: gosau cau, hsieh hsia chu (Dalimarta, 2000).

Potensi herba meniran di Indonesia untuk dijadikan obat alternatif terhadap berbagai penyakit berbahaya seperti demam panas, diabetes, hepaptitis, dan jenis penyakit lainnya. Hal ini disebabkan karena herba meniran mudah ditemukan di Indonesia. Herba meniran telah digunakan masyarakat untuk pengobatan diabetes. Pada dosis 10 mg per 200 g BB ekstrak metanol herba meniran efektif menurunkan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegitus L.) diabetik (Fahri et al, 2005).

Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa herba meniran memiliki efek imunostimulator dan aktivitas antiviral terhadap virus Hepatitis B dan virus Herpes Simpleks. Selain itu pada hewan uji mencit, ketika diberikan infusa herba meniran menunjukkan efek yang relatif tidak berbeda dengan kotrimoksazol dalam


(36)

pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh S. aureus. Masa penyembuhan hewan uji yang diinfeksi kulitnya dengan S. aureus adalah 22,10 hari dengan menggunakan ekstrak herba meniran dan 20,77 hari dengan kotrimoksazol (Praseno et al. 2001). Penelitian lain menyebutkan herba meniran mengandung senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antimalaria. Pada dosis 800.128 mg/kg BB hewan uji optimal dalam menghambat pertumbuhan 6182 parasitemia tiap 10000 eritrosit dalam tubuh hewan uji (Latra, 2004).

Gunawan (2008) yaitu mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa terpenoid dari herba meniran dengan menggunakan pelarut n-heksana terhadap bakteri Escerichia coli dan Staphylococcus aureus. Hasil penelitian membuktikan bahwa hasil ekstrak herba meniran mengandung dua senyawa terpenoid yaitu Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan yang aktif terhadap dua bakteri tersebut. Struktur Phytadienedan 1,2-seco-cladiellan dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

(a)

OH OCH3

O

O

(b)

Gambar 2.2. Struktur senyawa herba meniran (a) Struktur senyawa Phytadiene; (b) Struktur senyawa 1,2-seco-cladiellan


(37)

Senyawa tersebut terbentuk dari karvon, dimana karvon merupakan senyawa golongan monoterpenoid yang mengandung gugus keton (Gunawan et al, 2008). Senyawa tersebut yang diduga aktif terhadap beberapa bakteri patogen.

2.4.2. Kandungan Kimia

Tumbuhan meniran mengandung lignin, alkaloid, dan bioflavonoid. Konstituens utama tumbuhan ini berupa lignan filantin (0.5%) dan hipifilantin (hingga 0.2%) (Daniel, 2006). Adapun struktur filantin dan hipofilantin dapat dilhat pada Gambar 2.3

Selain senyawa filantin dan hipofilantin ada pula beberapa senyawa lainnya yang terkandung dalam herba meniran seperti farnesil farnesol, isolintetralin, niranthin, 5-demethoxy-niranthin dan dimethylenodioxy-niranthin (Maciel et al, 2007). Masing-masing struktur senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(a)

H3C

H3C

O O

O

O O

CH3

CH3

O

CH3


(38)

(b)

Gambar 2.3 Struktur kimia (a) filantin dan (b) hipofilantin

OH

(a)

OCOMe OCOMe

OMe

OMe O

O

(b) H3C

H3C O O

O O

CH3

CH3

O O


(39)

(c) (d)

(e)

Gambar 2.4 Struktur kimia (a) farnesil farnesol; (b) isolintetralin; (c) niranthin; (d) 5-demethoxy-niranthin; (e) dimethylenodioxy-niranthin

Penapisan fitokimia merupakan pemeriksaan kandungan kimia secara kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam tumbuhan. Pemeriksaan diarahkan pada senyawa metabolit sekunder yang memiliki kasiat aktivitas antibakteri seperti alkaloid, flavonoid, terpen, tanin, saponin, glikosida dan antrakuinon.

2.4.2.1. Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik, serta dapat dideteksi dengan cara pengendapatan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorff dan Bouchardat. Alkaloid sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil

OMe OMe OMe OMe HO HO MeO OMe OMe OMe OMe O O MeO OMe OMe OMe OMe O O


(40)

berupa cairan pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan berasa pahit (Aprilya, 2012). Kebasaan pada alkaloid menyebabkan senyawa tersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil dekomposisi seringkali berupa N-oksida (Lenny, 2006)

Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati (Lamothe et al, 2009). Adanya komponen asing dalam membran juga dapat menyebabkan pembentukan dinding sel akan terhalangi atau membentuk dinding sel yang rapuh, yang selanjutnya akan menyebabkan lisis dan kematian sel.

2.4.2.2. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan berpembuluh. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Biasanya dalam menganalisis flavonoid, yang diperiksa adalah aglikon dalam ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ekstraksi flavonoid dilakukan dengan etanol mendidih untuk menghindari oksidasi enzim. Pendekatan adanya senyawa ini dapat dilakukan dengan menambahkan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau atau hitam kuat (Aprilya, 2012).

2.4.2.3. Terpenoid

Terpen adalah salah satu senyawa yang tersusun dari isopren CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan memiliki kerangka karbon yang dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan unit isoprene ini. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen, dan seskuiterpen yang mudah menguap, triterpen dan sterol. Secara umum terpen larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpen diekstraksi dengan menggunakan eter dan kloroform. Senyawa ini biasanya diidentifikasi dengan reaksi Lieberman-Bouchardat (anhidrat asetat – H2SO4) yang memberikan warna kehitaman (Aprilya, 2012).


(41)

2.4.2.4. Tanin

Tanin merupakan senyawa yang pada umumnya terdapat dalam tumbuhan berpembuluh, memiliki gugus fenol, rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena kemampuannya menyambung silang protein. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Secara kimia tanin dikelompokan menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.

Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer (Harborne, 1987). Tanin diidentifikasi dengan cara pengendapan menggunakan larutan gelatin 10%, campuran natrium klorida-gelatin, Besi (III) klorida 3%, dan timbal (II) asetat 25%.

2.4.3.5. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah pada tikus (Harborne, 1987). Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak bersama air hangat di dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah penambahan HCl 2N busa tidak hilang.

2.5.Bakteri Patogen

2.5.1. Bakteri S. aureus

Staphylococcus adalah nama yang berasal dari istilah Yunani staphile (sekelompok anggur) dan kokkus (strawberry). S. aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur.


(42)

Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya mulai dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancam jiwa. Bakteri ini bersifat Gram-positif dan hampir setiap orang pernah mengalami infeksi yang disebabkan oleh spesies ini (Jawetz et al, 1996). S. aureus merupakan bakteri yang dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan penyakit keracunan makanan (Ajizah et al, 2007).

S. aureus (Gambar 2.5) adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah.

Gambar 2.5. Bakteri S. aureus (Nancy, 2013)

S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37oC, pH optimum 7,0 -7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. S. aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang merupakan substansi penting di


(43)

dalam struktur dinding sel. Peptodoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton yang kaku pada dinding sel. Peptodoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini penting dalam patogenesis infeksi.Bakteri ini diisolasi dari lukabernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Jawetz et al, 1996).

Kerusakan makanan oleh bakteri S. aureus saat ini dapat diamati pada berbagai produk makanan. Selain itu bakteri S. aureus adalah patogen manusia yang menyebabkan kerusakan makanan yang memnyebabkan penyakit di seluruh dunia (Elizaquı'vel dan Aznar, 2008). S. aureus adalah salah satu dari mikroba pada kulit manusia (Fujimoto et al, 2006). Pada kadar 89% dari wabah yang disebabkan oleh kontaminasi makanan oleh pekerja dibidang makanan, patogen dipindahkan ke makanan oleh tangan pekerja. Oleh karena itu, S. aureus adalah patogen penting yang harus dikontrol dalam industri makanan (Shen et al, 2010).

2.5.2. Bakteri Salmonella sp

Salmonella (Gambar 2.6) adalah bakteri pendek (1-2 μm), Gram negatif, berbentuk batang yang tidak membentuk spora, biasanya motil dengan flagella peritrisous. Salmonella adalah anaerob fakultatif yang secara biokimia dikarakterisasi dengan kemampuannya memfermentasi glukosa yang memproduksi asam dan gas, dan ketidakmampuannya menyerang laktosa dan sukrosa. Temperatur pertumbuhan optimumnya 38oC (Forsythe and Hayes, 1998). Salmonella dapat tumbuh pada aktivitas air yang rendah (aw ≤ 0,93) yang responnya tergantung strain dan jenis pangan. Salmonella aktif tumbuh pada kisaran pH 3,6 – 9,5 dan optimal pada nilai pH mendekati normal (D’aoust, 2001).


(44)

Gambar 2.6. Bakteri Salmonella sp (James G, 2012)

Salmonella sp terdapat pada bahan pangan mentah, seperti telur dan daging ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella sp dinamakan salmonellosis. Salmonella sp adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe Salmonella sp menyebabkan penyakit pada organ pencernaan. Orang yang mengalami salmonellosis dapat menunjukkan beberapa gejala seperti diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella sp. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah-muntah (Sorrels et al, 1970).

Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi, S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifoid (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian. S. typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun. Kontaminasi Salmonella dapat dicegah dengan mencuci


(45)

tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi (Beuchat and Heaton, 1975).

Cara penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang berasal dari pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat melalui kontaminasi silang akibat higiene yang buruk. Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat terjadi selama infeksi. Gejala keracunan: Pada kebanyakan orang yang terinfeksi

Salmonella sp, gejala yang terjadi adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72

jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh. Penanganan: Untuk pertolongan dapat diberikan cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat (POM RI, 2009).

2.5.3. Bakteri E.coli

Escherichia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan manusia dan hewan. Sejak 1940 di Amerika Serikat telah ditemukan strain-strain E. coli yang tidak merupakan flora normal saluran pencernaan. Strain tersebut dapat menyebabkan diare pada bayi (Supardi dan Sukamto, 1999).

E. coli (Gambar 2.7) mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µ m, tersusun tunggal, tidak membentuk spora, yang dapat meragikan laktosa dengan pembentukan asam dan gas pada suhu 37oC dan 44oC dalam waktu kurang dari 48 jam. E. coli merupakan bakteri Gram negatif, tidak berkapsul, umumnya mempunyai fibria dan bersifat motil (Supardi dan Sukamto, 1999).


(46)

Gambar 2.7 Bakteri E. coli (Drew F, 2010)

Bakteri yang dapat menjadi penyebab infeksi salah satunya adalah bakteri ini mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkontaminasi bahan-bahan yang bersentuhan dengannya. Suatu proses pengolahan biasanya E. coli mengkontaminasi alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan. Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik menjadi penyebab E. coli juga pernah ditemukan pada bahan makanan asal hewan seperti daging sapi dan daging ayam segar (Faridz et al, 2007).

2.6. Mekanisme Kerja Antibakteri

Kemampuan herba dalam menghambat pertumbuhan bakteri merupakan salah satu kriteria pemilihan senyawa antibakteri. Semakin kuat efek penghambatannya semakin efektif digunakan.

Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan komponen anti bakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikro statik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostaik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan (Adolf, 2006)


(47)

Menurut Suprianto dalam Thorpe (1995), cara kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh sifat-sifat zatnya antara lain polaritas dan keadaan molekul. Sifat hidrofilik sangat penting untuk menjamin bahwa antibakteri larut dalam air ketika pertumbuhan bakteri terjadi, sedangkan pada saat yang sama antibakteri bekerja pada membran sel yang hidrofobik sehingga membutuhkan sifat hidrofobik (Gambar 2.7).

Gambar 2.8 Perbandingan struktur dinding sel bakteri gram negatif dan positif (Suprianto, 2008)

Bakteri gram positif dapat dihambat dengan menyerang polimer dinding sel bakteri yang sangat tebal, sedangkan pada bakteri gram negatif antibakteri cenderung melumpuhkan membran sel bakteri dan dan peptidoglikan yang tipis.

2.7. Penggabungan Matriks dengan Agen Antibakteri

Penelitian mengenai film layak makan protein whey telah dilakukan sebelumnya oleh Seacheol et al, (2005) dengan menggabungkan sistem laktoperoksidase dengan film layak makan protein whey dengan mengikuti metode McHugh dan Krochta (1994). WPI dilarutkan ke dalam akuades dan ditambahkan gliserol dengan perbandingan


(48)

tertentu, divakum untuk menghilangkan udara terlarut. Proses denaturasi dilakukan dengan pemanasan campuran pada suhu 90oC selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan pendinginan di atas es. Proses terakhir dilakukan dengan penambahan laktoperoksidase sebanyak 0,5% hingga 5,0% w/v. Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Khotibul (2010) dengan mengikuti metode Galietta et al (1998). Larutan film dipanaskan pada suhu 90oC dengan di atas hot plate pH diatur hingga 5,2. Selanjutnya pengeringan dilakukan pada oven vakum pada suhu 34oC selama 38 jam. Monir et al, (2011) mengikuti yang metode yang dilakukan oleh Kim dan Ustunol (2001) dengan sedikit modifikasi menjelaskan bahwa setelah pencampuran larutan film, diatur pH 8 dengan menggunakan NaOH kemudian dilakukan pemanasan 90oC selama 30 menit sambil diaduk terus menerus, pada 5 menit terakhir ditambahkan agen antimikroba.


(49)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 – Juni 2013, di Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Laboratorium Polimer FMIPA USU, Laboratorium Fitokimia Farmasi USU, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU, Laboratorium Biokimia UGM Yogyakarta, Geologi Kuarter PPPLG Bandung.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peralatan gelas pirex, rotari evaporator Buchi Rotavapor R-200, desikator, batang pengaduk kaca, Erlenmeyer, magnetic tirrer,hot plate, plat kaca, oven blower, dan termometer.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu herba meniran, bubuk whey protein isolate (WPI 93%), metanol, akuades, gliserol, CaCl2(aq) 20%, NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, dan minyak kelapa sawit.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Proses Ekstraksi Meniran

Tumbuhan meniran diperoleh dari Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Tanaman (daun, batang, bunga dan buah) dicuci bersih, lalu dikeringanginkan pada suhu kamar tanpa terkena sinar matahari langsung selama ± 1 minggu, kemudian dipotong kecil-kecil dan diblender hingga diperoleh serbuk meniran. Selanjutnya ditimbang sebanyak ± 300 g dan dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer dan direndam (dimaserasi) dengan pelarut metanol 500 ml. Pemerasian


(50)

dilakukan pada suhu kamar dan hindari terkena sinar matahari, selama ± 3 hari dan pengadukan dilakukan setiap hari. Setelah 3 hari pemaserasian, maserat kemudian disaring. Filtrat dipisahkan dan ampasnya direndam kembali dengan larutan yang baru. Maserasi dilakukan 5 kali hingga diperoleh maserat yang terakhir berwarna jernih. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu tidak lebih dari 50oC dan diuapkan sehingga terpisah pelarutnya dengan ekstrak kental herba meniran. Ekstrak kental kemudian dimasukkan ke dalam botol vial dan dikeringkan dalam desikator sehingga diperoleh ekstrak kering (Desvita, 2011).

3.3.2 Proses Pembuatan Edible Film WPI-Meniran

Prosedur pembuatan edible film WPI-Meniran dilakukan menurut Galiettaet al. (1998) modifikasi pada bagian pengeringan edible film dengan menggunakan oven blower. Isolat protein whey dilarutkan dalam 15 ml akuades ditambahkan dengan gliserol sesuai dangan perlakuan (larutan I) dan 30 ml akuades ditambah dengan 0,25 ml CaCl2 20% (larutan II). Larutan I ditambahkan dengan larutan II kemudian diatur pH dengan NaOH 0,1 N hingga pH 8 dan dipanaskan pada suhu 90oC di atas hot plate dengan bantuan pengaduk magnetik 250 rpm selama 30 menit. Kemudian ditambahkan minyak kelapa sawit 0,25 ml 10 menit terakhir dan agen antibakteri herba meniran sesuai perlakuan 5 menit terakhir. Didinginkan hingga suhu ruang (di bawah 30oC). Kemudian disaring dan diatur pH 5,2 dengan HCl 0,1 N selanjutnya divakum selama 30 menit untuk menghilangkan udara terlarut dalam larutan film. Kemudian dicetak pada plat kaca yang sudah dilapisi aluminium foil. Setelah itu dikeringkan pada oven blower selama 18 jam. Setelah kering dikelupas dari cetakan sehingga diperoleh edible film WPI-Meniran.


(51)

3.4. Karakterisasi Edible Film WPI-Meniran 3.4.1. Uji Fitokimia

Uji fitokimia herba meniran adalah uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Senyawa kimia yang diuji antara lain: alkaloida, glikosida, steroida dan triterpen bentuk bebas, saponin, cyanogenik glikosida, antrakinon glikosida, tanin, dan flavonoid. Prosedur kerja uji fitokimia dapat dilakukan dengan cara:

3.4.1.1. Alkaloida

Sebanyak 1 g ekstrak metanol herba meniran ditambahkan kedalam 10 ml HCl 0,2 N, kemudian dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100º C, selanjutnya didinginkan dan disaring. Lalu ditambahkan 2 tetes larutan iodium ke dalam 0,5 ml filtrat, jika terdapat kekeruhan maka mengandung alkaloida (Depkes RI, 1995).

3.4.1.2. Flavonoida

Sebanyak 10 ml metanol ditambahkan kedalam 0,5 g ekstrak metanol herba meniran, kemudian direfluks dengan menggunakan alat pendingin balik selama 10 menit, lalu disaring dengan kertas saring kecil berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air. Setelah dingin ditambahkan 5 ml eter minyak tanah, dan dikocok dengan hati-hati, lalu didiamkan. Kemudian diuapkan pada suhu 40º C untuk membuang lapisan metanol. Filtrat dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, lalu disaring. Selanjutnya 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml sampai 2 ml etanol 95%, ditambahkan 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml HCl 2 N, lalu didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 ml HClpekat, jikadalamwaktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif, menunjukkan adanya flavonoida (glikosida-3 flavonol) (Depkes RI, 1995).


(52)

3.4.1.3. Steroida dan Triterpen Bentuk Bebas

Sebanyak 1 g ekstrak metanol herba meniran dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu disaring. Kemudian 5 ml filtrat diuapkan di dalam cawan penguap, lalu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat, maka akan terbentuk warna ungu atau hijau jika mengandung steroida atau triterpen (Farnsworth,1996).

3.4.1.4. Tanin

Sebanyak 10 ml air ditambahkan ke dalam 1 g ekstrak metanol herba meniran, kemudian disaring dan diencerkan sampai hampir tidak berwarna. Kemudian 1-2 tetes larutan FeCl3 10% ditambahkan ke dalam 2 ml larutan sampel, jika muncul warna biru atau hijau menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1996).

3.4.1.5. Saponin

Sebanyak 10 ml air panas ditambahkan ke dalam 0,5 g ekstrak metanol herba meniran, lalu didinginkan dan dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Apabila terbentuk buih selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm dan jika ditambahkan 1 tetes HCl 2 N, buih tidak hilang maka ekstrak tersebut mengandung saponin (Depkes RI, 1995).

3.4.1.6. Glikosida

Membuat larutan percobaan sebanyak 1 g ekstrak metanol herba meniran dicampurkan dengan 10 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dalam alat pendingin alir balik, kemudian direfluks selama 10 menit, lalu larutan tersebut didinginkan dan disaring. Kemudian 25 ml air dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M ditambahkan ke dalam 20 ml filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat diekstrak sebanyak 3 kali dengan menambahkan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2). Kemudian ditambahkan Na2SO4 anhidrat ke


(53)

dalamnya, lalu disaring dan diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50º C. Selanjutnya sisa filtrat dilarutkan dengan 2 ml metanol.

Cara percobaan:

Sebanyak 0,1 ml larutan di atas diuapkan dengan penangas air. Kemudian sisanya dilarutkan dalam 5 ml asam asetat anhidrat, ditambahkan pula 10 tetes asam sulfat pekat, maka akan terjadi warna biru atau hijau, jika mengandung glikosida (reaksi Libermann-Bouchard) (Depkes RI, 1995).

3.4.1.6. Antrakinon Glikosida

Sebanyak 2 ml larutan FeCl3dan 8 ml air serta 5 ml HCl pekat ditambahkan kedalam 200 mg ekstrak metanol herba meniran, lalu dididihkan, kemudian didinginkan. Selanjutnya 5 ml benzen ditambahkan kedalamnya, kemudian dikocok dan dibiarkan sampai lapisan benzen memisah, lalu dicuci 2 kali dengan 2 ml air, sampai lapisan benzen bewarna kuning. Kemudian 2 ml NaOH 2 N ditambahkan dan dikocok. Jika lapisan benzen tidak berwarna dan lapisan air berwarna merah, maka menunjukkan adanya antrakinon (Depkes RI, 1995).

3.4.1.7. Sianogenik Glikosida

Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilembabkan dengan air. Kertas saring yang telah dibasahi dengan larutan natrium pikrat dijepitkan dengan bantuan gabus pada mulut labu. Kemudian sampel tersebut dibiarkan terkena sinar matahari. Apabila timbul warna merah pada kertas saring menunjukkan adanya sianogenik glikosida (Depkes RI 1995).

3.4.2 Uji Antibakteri

Edible film WPI-Meniran diuji dengan mengikuti prosedur Oscar et al. (2011). Film dipotong dengan diameter 0,6 mm dengan menggunakan cork borer kemudian disterilkan dengan menggunakan UV selama 10 menit. Sebanyak 10 ml media MHA dituangkan kedalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat. Lidi kapas steril


(54)

dicelupkan pada suspensi biakan dengan kepadatan sel 107 cfu, dan diusapkan perlahan-lahan pada permukaan media secara merata, selanjutnya dibiarkan mengering pada suhu kamar selama beberapa menit. Dengan menggunakan pinset steril, edible film WPI-Meniran dengan konsentrasi yang berbeda diletakkan secara teratur pada permukaan media uji. Kultur diinkubasi pada suhu optimum pertumbuhan 37-38º C untuk bakteri uji selama 24 jam. Setelah masa inkubasi, diameter zona hambat (daerah bening) di sekitar film diukur dengan menggunakan jangkasorong. Aktivitas film layak makan dapat dilihat dengan adanya zona hambat di sekitar film tersebut. Penelitian dilakukan oleh Oscar et al. (2011) melihat perbedaan sensitifitas diameter zona hambat dikelompokan menjadi: tidak sensitif, sensitif, sangat sensitif dan ekstrim sensitif. Jika zona hambat kurang dari sama dengan 8 mm berarti tidaks ensitif, antara 9 dan 14 mm berarti sensitif, antara 15 dan 19 mm berarti sangat sensitif dan lebih dari 20 mm ekstrim sensitif.

3.4.3. Analisa Gugus Fungsi Dengan Fourier Tarnsform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Edible film WPI-Meniran diletakkan pada tempat sampel dan diarahkan pada sinar inframerah dari FT-IR Shimadzu,di Laboratorium Kimia Organik FMIPA-UGM. Sampel dipindai dengan 128 scanning time pada suhu kamar dengan daerah 4000-500 cm-1.

3.4.4. Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)

Uji morfologi edible film WPI-Meniran dilakukan dengan menggunakan JSM-6360 dengan kekuatan 15kV. Sebelum dimasukkan ke dalam vakum, sample terlebih dahulu dilapisi dengan lapisan emas.


(55)

3.5. Bagan Penelitian

3.5.1. Ekstraksi Herba Meniran

- Dicuci bersih, dikeringanginkan suhu ruang selama ± 1minggu

- Dipotong kecil-kecildan diblender hingga diperoleh serbuk meniran

- Ditimbang ± 300 gram

- Dimasukan ke dalam Erlenmeyer dan dimaserasi selama 3 hari dengan pelarut metanol

- Diaduk setiap harinya - Maserat disaring

- Dirotari evaporator

- Dikeringkan dalam desikator

- Dirotari evaporator - Dikeringkan dalam

desikator

Gambar 3.1. Bagan ekstraksi herba meniran (Desvita, 2011) HERBA MENIRAN

SERBUK MENIRAN

RESIDU I FILTRAT I

FILTRAT II RESIDU II EKSTRAK HERBA MENIRAN


(56)

3.5.2 Pembuatan Film LayakMakan WPI-Meniran

Gambar 3.2. Bagan film layak makan WPI-Meniran(Galiettaet al, 1998)

30 ml Akuades + 0.25 ml CaCl2 20% WPI + 15 ml Akuades + Gliserol

(SesuaiPerlakuan)

Diatur pH 8 denganNaOH 0.1 N

Denaturasi pada suhu 90oC

(Dipanaskan di atas hotplate dengan menggunakan magnetik stirrer selama 30 menit)

(10 menit terakhir)

Ditambah minyak kelapa sawit 0.25 ml (5 menit terakhir)

Ditambah agen antibakteri herba meniran

Dinginkan pada suhu ruang di bawah 30oC, Atur pH 5.2 dengan HCl 0.1 N

Divakum selama 30 menit

Dicetakpada platkaca Dikeringkan dengan oven blower


(57)

3.5.3 Karakterisasi Film layakmakan WPI-Meniran

Gambar 3.3. Bagan karakterisasi film layak makan WPI-Meniran Film layakmakan WPI-Meniran

Analisa SEM Analisa FT-IR


(58)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HasilPenelitian

4.1.1. Ekstraksi Herba Meniran

Pada proses ekstraksi herba meniran dimulai dari penyediaan sampel dengan berat basah 1kg, dikeringkan pada ruangan yang terlindung dari sinar matahari selama ± 1 minggu sehingga beratnya menjadi 398,9 g. Kemudian dimaserasi selama 3 hari sehingga diperoleh hasil maserasi pertama larutan berwarna hitam pekat. Dilanjutkan dengan pemaserasian kedua, ketiga, keempat dan kelima. Hasil maserasi kemudian dirotari evaporator dan dikeringkan dalam desikator sehingga diperoleh ekstrak kental herba meniran (dapat dilihat pada lampiran 1).

4.1.1.1. Uji Fitokimia

Pengujian fitokimia memperlihatkan bahwa ekstrak herba meniran dengan pelarut metanol dapat menarik senyawa flavonoid, alkaloid, triterpen/ steroid, tanin, antrakuinon dan glikosida.Hasil pengujian fitokimia ekstrak herba meniran dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Uji Fitokimia Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.)

Senyawa Hasil

Alkaloid +

Flavonoid +

Saponin +

Triterpen +

Tanin +

Antrakuinon +

Glikosida

Glikosida sianogenik

+ -


(59)

Berdasarkan hasil uji fitokimia, sampel ekstrak herba meniran yang digunakan dalam penelitian ini mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, triterpen/ steroid, tanin, antrakuinon dan glikosida. Menurut Robinson (1995) senyawa alkaloida yang dikandung brotowali dapat mengganggu terbentuknya jembatan silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.Menurut Schlegel & Schmidt (1994) flavonoid merusak dinding sel bakteri karena sifatnya yang lipofilik. Senyawa golongan terpenoid dapat berikatan dengan protein dan lipid yang terdapat pada membran sel dan bahkan dapat menimbulkan lisis pada sel (Nursal et al. 2006). Ajizah (2004) menyebutkan tanin mempunyai sifat pengelat berefek plasmolitik yang dapat mengerutkan dinding sel atau membran sel bakteri sehingga mengganggu permeabilitas sel tersebut, kemudian sel tidak dapat melakukan aktivitas dan pertumbuhan sel terhambat bahkan mati. Masduki (1996) juga menjelaskan bahwa tanin aktif antibakteri dengan cara mempresipitasikan protein, berekasi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik bakteri.

4.1.2. Pembuatan Film Layak Makan WPI-Meniran

Beberapa film layak makan WPI-Meniran yang telah diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.1.


(60)

Gambar 4.1. Film layak makan WPI dan WPI-Meniran

Gambar 4.1 menunjukan bahwa beberapa di atas terbentuk dengan konsentrasi yang berbeda-beda.Huruf A, B, C menunjukan perbedaan rasio gliserol dimana A dengan gliserol 40%, B dengan gliserol 30% dan C dengan gliserol 20%. A0, B0 dan C0 sebagai kontrol positif dengan konsentrasi WPI:gliserol:meniran yaitu 60%:40%:0%; 70%:30%:0% dan 80%:20%:0%.Film WPI tampak berwarna putih transparan dan lunak sedangkan film WPI-Meniran berwarna kuning hingga kuning pekat juga transparan tergantung pada konsentrasi meniran yang terkandung pada masing-masing film. Adapun konsentrasi film layak makan WPI-Meniran yang telah diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(61)

Tabel 4.2 Perbandingan Persentase WPI : Gliserol : Meniran

Kode Perbandingan (%)WPI :Gliserol : Meniran

A0 60 : 40 : 0

A1 58 : 40 : 2

A2 56 : 40 : 4

A3 54 : 40 : 6

A4 52 : 40 : 8

A5 50 : 40 : 10

B0 70 : 30 : 0

B1 68 : 30 : 2

B2 66 : 30 : 4

B3 64 : 30 : 6

B4 62 : 30 : 8

B5 60 : 30 :10

C0 80 : 20 : 0

C1 78 : 20 : 2

C2 76 : 20 : 4

C3 74 : 20 : 6

C4 72 : 20 : 8

C5 70 : 20 : 10

Tabel 4.2 memperlihatkan masing-masing film WPI-Meniran di atas memiliki karakteristik yang berbeda-beda secara fisik maupun sifat mikrobiologisnya. Film layak makan WPI-meniran yang dihasilkan adalah berwarna kuning transparan dan lunak. Sejalan dengan gambar 4.1 dapat dilihat perbandingan antara WPI:Gliserol:Meniran dengan gliserol 40%; 30% dan 20% dan meniran 0%; 2%; 4%; 6%; 8%; 10%. Menurut Regalado (2006) pada umumnya digunakan pemlastis dapat mempengaruhi sifat mekanik film layak makan. Menurut Khotibul (2010) pemlastis ditambahkan dalam larutan film untuk mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film. Galiettaet al, (1998) juga menyebutkan bahwa semakin meningkatnya bahan pemlastis yang ditambahkan akan meningkatkan keregangan dan fleksibilitas tetapi menurunkan elastisitas dan sifat pertahanan film. Menurut Zinoviadou film WPI dapat mempertahankan integritas strukturalnya pada


(62)

permukaan makanan dengan kadar air tinggi dan berfungsi sebagai pembawa antimikroba yang efektif (Monir-Sadat et al, 2011).

4.1.2.2. Uji Aktivitas Antibakteri Film Layak Makan WPI-Meniran terhadap Bakteri Patogen

Pengujian aktivitas antibakteri kemasan antimikroba dengan menggunakan metode difusi agar telah digunakan untuk mengevaluasi antimikroba (Monir-Sadat et al, 2011). Hasil pengujian aktivitas antibakteri film layak makan WPI-Meniran terhadap bakteri patogen S. aureus ditunjukan pada Gambar 4.2.

0 2 4 6 8 10

9 12 15 18 21 24 27 30

Z

o

n

a

Ha

m

b

at

B

ak

te

ri

S

.

a

u

re

u

s

(

m

m

)

Konsentrasi Meniran (%)

Gliserol = 40% Gliserol = 30% Gliserol = 20%

Gambar 4.2. Grafik zona hambat bakteri S. aureus

Hasil pengujian besarnya daya hambat mikroba uji oleh film layak makan terlihat sebagai wilayah jernih di sekeliling film yang mengandung ekstrak meniran.


(63)

Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukan bahwa S. aureus berhasil dihambat dengan masing-masing konsentrasi meniran 2% dengan zona hambat sebesar 14.08; 14.68; 15.07 mm. Penghambatan paling potensial dari ketiga bakteri uji terletak pada konsentrasi meniran 10 %. Zona hambat S.aureus pada konsentrasi meniran 10% sebesar 27.12; 28.17; 29.1 mm. Pada penghambatan S. aureus konsentrasi 4% ini meningkat secara signifikan. Hal ini diduga karena adanya perbedaan fase pertumbuhan bakteri S. aureus pada saat pengujian dilakukan. Pada konsentrasi 4% pertumbuhan bakteri S.aureus lambat. Sehingga memungkinkan dihasilkannya zona yang lebih besar.

0 2 4 6 8 10

12 15 18 21 24 27 30 33

Z

o

n

a

H

amb

at

B

ak

te

ri

S

a

lm

o

n

el

la

s

p

(

mm)

Konsentrasi Meniran (%)

Gliserol = 40% Gliserol = 30% Gliserol = 20%


(64)

Gambar 4.3 menunjukan bahwa Salmonellasp berhasil dihambat dengan masing-masing konsentrasi Meniran 2% dengan zona hambat sebesar 15.12; 15.42; 15.92 mm. Penghambatan paling potensial terletak pada konsentrasi meniran 10 %. Zona hambat Salmonella sp pada konsentrasi meniran 10% sebesar 29.60; 30.38; 31.33 mm. Film WPI (kontrol) sudah masuk ke dalam kategori sensitif. Ketika ditambahkan dengan ekstrak tumbuhan meniran, zona yang diperoleh semakin besar seiring dengan bertambahnya konsentrasi sesuai perlakuan.

0 2 4 6 8 10

12 15 18 21 24 27 30 33

Z

o

n

a

H

am

b

at

B

ak

te

ri

E

.c

o

li

(

m

m

)

Konsentrasi Meniran (%)

Gliserol = 40 % Gliserol = 30 % Gliserol = 20 %

Gambar 4.4. Grafik zona hambat Bakteri E. Coli

Gambar 4.4 menunjukan bahwa E. coli berhasil dihambat dengan masing-masing konsentrasi meniran 2% dengan zona hambat sebesar 14.45; 15.47; 15.93 mm. Penghambatan paling potensial terletak pada konsentrasi meniran 10 %. Zona


(65)

hambat E. coli pada konsentrasi meniran 10% sebesar 28.83; 29.12; 30.30 mm mm. Film WPI (kontrol) sudah masuk ke dalam kategori sensitif. Sama halnya dengan Salmonella sp, bakteri E. coli berhasil dihambat pertumbuhannya oleh film WPI (kontrol) maupun film WPI-Meniran. Zona hambat meningkat dengan adanya penambahan ekstrak tumbuhan meniran, zona yang diperoleh semakin besar seiring dengan bertambahnya konsentrasi sesuai perlakuan.

Berdasarkan ketiga grafik zona hambat bakteri patogen secara umum zona hambat bakteri gram negatif lebih besar dibandingkan dengan bakteri gram positif. Hal ini diduga karena adanya penyerangan pada masing-masing dinding sel bakteri uji. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih tebal dibandingkan dengan gram negatif. Zona penghambatan meningkat seiring dengan pertambahan konsentrasi ekstrak tumbuhan meniran. Bererapa konsentrasi film layak makan WPI-Meniran membentuk diameter zona hambat pada media bakteri selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Zona Hambat Film Layak Makan WPI-Meniran terhadap Bakteri Patogen

BAKTERI

Konsentrasi (%) Zona Hambat ± SD WPI:Gliserol:Meniran (mm)

S.aureus 60:40:0 11.08 ± 0.14

58:40:2 14.08 ± 0.10

56:40:4 21.25 ± 0.05

54:40:6 23.17 ± 0.08

52:40:8 25.53 ± 0.15

50:40:10 27.12 ± 0.10

70:30:0 11.23 ±0.08

68:30:2 14.68 ± 0.18

66:30:4 21.65 ± 0.18

64:30:6 24.37 ± 0.18

62:30:8 26.52 ± 0.28

60:30:10 28.17 ± 0.03

80:20:0 12.67 ±0.72


(1)

Rooney, M.L. 1995. Active Food Packaging. Glasgow, UK: Blackie Academic and Professional.

Schlegel HG dan Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi ke kenam. Alih Bahasa: Baskoro T. UGM-Press:Yogyakarta.

Seacheol Min, Linda J. Harris, John M Krochta. 2005. Antimicrobial Effects of Lactoferrin, Lysozyme, and the Lactoperoxidase System and Edible Whey Protein Films Incorporating the Lactoperoxidase System Against

Salmonellaenterica and Escherichia coli O157:H7. Journal of Food Science.

70(7): M332-M338.

Seydim A.C dan Sarikus G. 2006. Antimicrobial Activity of Whey Protein Based Edible Film Incorporated with Oregano, Rosemary and garlic essential oil.

Food Research International. 31(5):454-460.

Shen, Xiao Li, Wu, Min Jia, Chen Yonghong, Zhao Guohua. 2010. Antimicrobial and Physical properties with potassium sorbate or Chitosan. Food Hydrocolloids 24 (2010) 285–290.

Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi.Pengolahan dan Keamanan Pangan. Jakarta

Suprianto. 2008. Potensiekstrakserehwangi (Cymbopogonnardusl.) sebagai anti

Streptococcus mutans. Skripsi. FMIPA IPB.

Sorrells, K.M., M. L. Speck and J. A. Warren. 1970. Pathogenicity of Salmonella gallinarumAfter Metabolic Injury by Freezing. Applied and Environmental Microbiology 19 (1): 39–43.

Syamsuhidayat SS & Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid I.

Departemen Kesehatan R.I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan : Jakarta.

Thorpe NO. 1995. Cell biology. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley and Sons.

Van Steenis CGGJ. 2003.Flora untuk Sekolah di Indonesia, Alih Bahasa : Surjowinoto, M. PT. PradnyaParamita : Jakarta.


(2)

Wibowo, M. Cahyaningsih, Eni. Usia, Tepy. 2006. Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa (PhyllanthusniruriL.). JurnalIlmuKefarmasian Indonesia, September 2009, hal.57-63.

Wieddyanto Erwin, Ermi Indah, Esti W, SitiKhoirul Z. Pemnfaatan Protein Whey menjadi Edible Film Coating untuk Mempertahankan Kualitas Daging Ayam. Teknologi Hasilternak, UNIBRAW, Malang.

Yulina. Indah Karina. 2011. Aktivitas Antibakteri Kitosan Berdasarkan Perbedaan Derajat deasetilasi dan Bobot molekul. Tesis ITB. Bogor.


(3)

Lampiran 1. Proses Ekstraksi Herba Meniran

Serbuk Herba Meniran Maserasi Herba Meniran


(4)

Lampiran 2. Proses Pembuatan Edible Film WPI-Meniran


(5)

Pencetakan Pengeringan pada Oven


(6)

Lampiran 3.Tabel Korelasi FT-IR

TipeVibrasi Frekuensi (cm-1) Intensitas

C-H Alkana (stretch) 3000-2850 S

-CH3 Bend 1450-1375 m

-CH2- Bend 1465 M

Alkena (stretch) 3100-3000 M

(Out-of-plane bend) 1000-650 S

Aromatik (stretch) 3150-3050 S

(Out-of-plane bend) 900-690 S

Alkil (stretch) 3300 S

Aldehid 2900-2800 W

2800-2700 W

C-C Alkana Tidakdiinterpretasikan

C=C Alkena 1680-1600 m-w

Aromatik 1600 dan 1475 m-w

C=C Alkil 2250-2100 m-w

C=O Aldehid 1740-1720 S

Keton 1725-1705 S

AsamKarboksilat 1725-1700 S

Ester 1750-1730 S

Amide 1670-1640 S

Anhidrid 1810 dan 1760 S

AsamKlorida 1800 S

C-O Alkohol, Eter, Ester 1300-1000 S

Asamkarboksilat , anhidrid

O-H Alcohol , Phenol,

Free 3650-3600 m

H-Bonded 3500-3200 m

Asamkarboksilat 3400-2400 m

N-H Amina primer dansekunder 3500-3100

(stretch)

(bend) 1640-1550 m-s

C-N Amina 1350-1000 m-s

C=N Imindanoxim 1690-1640 w-s

C=N Nitril 2260-2240 m

X-C-Y Allen, Keten, isosianat 2270-1950 m-s

N=O Nitro (R-NO2) 1150 dan 1350 s

S-H Mercaptans 2550 w

S=O Sulfoxida 1050 s

Sulfon, sulfonilklorida, 1375-1300 dan s

Sulfat, sulfoamida 1200-1140 s

C-X Florida 1400-1140 s

Klorida 800-600 s

Bromida, iodide <667 s

s= strong ; m= medium ; w= weak (Donald et al, 1979)