Kajian potensi biji kelor (Moringa oleifera) sebagai koagulan

ABSTRAK
RESTU SMINAR RAHAYU (MEINAR). Kajian Potensi Biji Kelor (Moringa oleifera)
Sebagai Koagulan. Dibimbing oleh LATIFAH K DARUSMAN dan WULAN TRI
WAHYUNI
Pengadaan air minum masih menjadi masalah besar bagi beberapa negara. Salah
satu penyebab adalah tingginya biaya pengolahan kimia air bersih. Oleh sebab itu,
diperlukan ketersediaan material lokal yang cukup murah. Salah satu koagulan alami
yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan kimia sintetik adalah biji kelor (Moringa
oleifera).
Dalam penelitian ini, dengan menggunakan metode uji jar, diperoleh kondisi
optimum koagulasi dengan biji kelor ialah pada pH 6 dengan konsentrasi 50 mg/L dan
waktu pengenapan 60 menit. Sementara kondisi optimum untuk koagulan biji kelor
berkulit adalah pada pH 7 dengan konsentrasi 80 mg/L dan waktu pengenapan 60 menit.
Sebelumnya, kondisi koagulasi optimum untuk aluminium klorohidrat (ACH) telah
diketahui berturut-turut ialah pH 7, 10 mg/L, dan 10 menit.
Kondisi optimum masing-masing koagulan memberikan respons yang berbedabeda terhadap penurunan kekeruhan, konsentrasi ion besi, dan ion mangan. Nilai rata-rata
penurunan kekeruhan dengan koagulan biji kelor, biji kelor berkulit, dan ACH masingmasing 99,10; 99,07; dan 99,71%. Nilai rata-rata penurunan ion besi untuk ketiga
koagulan di atas berturut-turut 98,30; 98,45; dan 98,98%, sedangkan nilai rata-rata
penurunan ion mangan berturut-turut 77,87; 81,08; dan 78,65%. Nilai keterulangan yang
dihitung sebagai standar deviasi relatif pada proses koagulasi menggunakan ketiga jenis
koagulan pada pengukuran ketiga parameter di atas kurang dari 10%.


ABSTRACT
RESTU SMINAR RAHAYU (MEINAR). Study of Potential Kelor Seed (Moringa
oleifera) as Coagulant. Under direction of LATIFAH K DARUSMAN and WULAN TRI
WAHYUNI.
Adequate access to drinking water is still a huge problem for several countries.
One of the reason is the high cost for water’s chemical treatment. Hence, there is a need
for low cost and locally available materials. One of the natural coagulants that can be
used as an alternative for synthetic chemicals is a seed of Moringa oleifera.
In this research, by using the jar test method, the optimum coagulation condition of
M. oleifera seed was obtained at pH 6 with concentration of 50 mg/L and settling time of
60 minutes. The optimum condition of M.oleifera unskinned seeds as a coagulant was at
pH 7 with concentration of 80 mg/L and settling time of 60 minutes. Previously, optimum
coagulation conditions for aluminium chlorohydrate (ACH) has been obtained at pH 7, 10
mg/L, and 10 minutes, respectively.
The optimum conditions of each coagulant gave different responses in turbidity,
iron and manganese contents decrease. The average values of turbidity reduction with M.
oleifera seed, unskinned seed, and ACH were 99.10, 99.07, and 99.71% respectively. The
average values of iron reduction for those coagulants were 98.30, 98.45, and 9.,98%,
whereas the average values of manganese reduction were 77.87, 81.08, and 78.65%,

respectively. Repeatability showed as relative standard deviations on the coagulation
process using three types of coagulant on the measurement of three parameters above
were below 10%.

1

PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam yang
diperlukan untuk hajat hidup orang banyak,
bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh
karena itu, sumber daya air harus dilindungi
agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik.
Saat ini, masalah utama yang dihadapi
meliputi jumlah air yang sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat
dan mutu air untuk keperluan domestik yang
makin menurun. Kegiatan industri, domestik,
dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap
sumber daya air, antara lain menurunkan
mutunya. Kondisi ini dapat menimbulkan

gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua
makhluk hidup yang bergantung pada sumber
daya air. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan dan perlindungan sumber daya air
secara saksama (Effendi 2003).
Fenomena koagulasi dan flokulasi sangat
berperan penting dalam pengolahan air dan
limbah. Dalam pengolahan air minum,
beberapa
senyawa
koagulan
telah
diujicobakan (Bratby 2006). Koagulan yang
sering digunakan di antaranya aluminium
klorohidrat (ACH), poli(aluminium klorida)
(PAC), dan aluminium sulfat (alum), yang
tergolong koagulan anorganik. Di samping itu,
telah diketahui bahwa monomer dari beberapa
koagulan golongan polimer organik sintetik,
seperti akrilamida, bersifat merusak jaringan

saraf dan karsinogen (Katayon et al. 2006).
Selain koagulan anorganik, tersedia pula
alternatif lokal sebagai koagulan organik
alami dari tanaman yang mudah diperoleh di
sekitar kita. Koagulan alami ini biodegradabel
dan aman bagi kesehatan manusia.
Kelompok penelitian The Environmental
Engineering Group di Universitas Leicester,
Inggris, telah lama mempelajari potensi
penggunaan koagulan alami dalam proses
pengolahan air skala kecil, menengah, dan
besar. Penelitian mereka dipusatkan terhadap
potensi koagulan dari tepung biji tanaman
kelor (Moringa oleifera). Dosis optimum
koagulan biji kelor dengan kondisi kekeruhan
awal lebih dari 150 NTU (nephelometric
turbidity unit) adalah 50–200 mg/L.
Selain biji kelor, bahan alami lainnya
dengan potensi koagulan ialah biji asam jawa
(Tamarindus indica), yang dapat digunakan

pada pengolahan limbah cair industri tahu.
Dengan dosis optimum 3000 mg/L, kekeruhan
awal sebesar 586 FTU (formazin turbidity
units) menurun menjadi 96 FTU pada pH 4
(Enrico 2008).

Biji kelor telah dilaporkan efektif sebagai
koagulan untuk menurunkan kekeruhan pada
limbah cair kelapa sawit. Biji kelor juga tidak
mengandung senyawa toksik sehingga aman
bagi kesehatan (Hasbi et al. 2000).
Biji kelor telah dimanfaatkan sebagai
koagulan alami untuk menurunkan kekeruhan
air lindi di tempat pengolahan akhir (TPA)
Benowo, tanpa menurunkan pH (Dwirianti
2007). Selain menurunkan kekeruhan, biji
kelor juga efektif menurunkan kadar logam
berat. Serbuk biji kelor tanpa kulit ari
memberikan efisiensi penurunan logam Cu2+
lebih besar daripada yang berkulit ari (Widarti

& Titah 2007). Beberapa penelitian di atas
menggunakan biji kelor untuk pengolahan air
limbah agar memenuhi persyaratan untuk
dibuang ke sungai. Pada penelitian ini diukur
efektivitas penurunan kekeruhan, kadar ion
besi dan ion mangan oleh biji kelor yang
berkulit ari dan yang tidak pada air sungai
yang akan digunakan sebagai bahan baku
pada instalasi pengolahan air bersih.
Ketiganya merupakan parameter penting yang
memengaruhi mutu air sungai karena adanya
kontaminasi dari proses alam seperti serpihan
batu, lumpur, dan hasil oksidasi logam yang
berasal dari tanah.
Hasilnya dibandingkan dengan hasil
koagulasi menggunakan ACH. Kondisi
optimum ACH telah diketahui sebelumnya
dari data hasil pengujian berkala laboratorium
proses instalasi pengolahan air (IPA) 1 PT.
Palyja yang dijadikan acuan pada proses

pengolahan air bersih di instalasi tersebut.
Penelitian
dilakukan
dalam
skala
laboratorium dengan menggunakan metode uji
jar yang juga merupakan simulasi operasional
proses pengolahan konvensional (koagulasi,
flokulasi, dan sedimentasi). Data yang
diperoleh diolah secara statistik untuk melihat
ada tidaknya perbedaan hasil dari perlakuanperlakuan di atas dan dilakukan pengulangan
untuk setiap parameter.

TINJAUAN PUSTAKA
Air
Air permukaan merupakan salah satu
sumber penting bahan baku air bersih. Faktorfaktor yang harus diperhatikan adalah mutu
air baku, jumlah, dan kesinambungannya
(Chandra 2007). Pada suhu ambien, air
merupakan cairan bening yang tidak

berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau
(Kurita 1999).

1

PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam yang
diperlukan untuk hajat hidup orang banyak,
bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh
karena itu, sumber daya air harus dilindungi
agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik.
Saat ini, masalah utama yang dihadapi
meliputi jumlah air yang sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat
dan mutu air untuk keperluan domestik yang
makin menurun. Kegiatan industri, domestik,
dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap
sumber daya air, antara lain menurunkan
mutunya. Kondisi ini dapat menimbulkan
gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua

makhluk hidup yang bergantung pada sumber
daya air. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan dan perlindungan sumber daya air
secara saksama (Effendi 2003).
Fenomena koagulasi dan flokulasi sangat
berperan penting dalam pengolahan air dan
limbah. Dalam pengolahan air minum,
beberapa
senyawa
koagulan
telah
diujicobakan (Bratby 2006). Koagulan yang
sering digunakan di antaranya aluminium
klorohidrat (ACH), poli(aluminium klorida)
(PAC), dan aluminium sulfat (alum), yang
tergolong koagulan anorganik. Di samping itu,
telah diketahui bahwa monomer dari beberapa
koagulan golongan polimer organik sintetik,
seperti akrilamida, bersifat merusak jaringan
saraf dan karsinogen (Katayon et al. 2006).

Selain koagulan anorganik, tersedia pula
alternatif lokal sebagai koagulan organik
alami dari tanaman yang mudah diperoleh di
sekitar kita. Koagulan alami ini biodegradabel
dan aman bagi kesehatan manusia.
Kelompok penelitian The Environmental
Engineering Group di Universitas Leicester,
Inggris, telah lama mempelajari potensi
penggunaan koagulan alami dalam proses
pengolahan air skala kecil, menengah, dan
besar. Penelitian mereka dipusatkan terhadap
potensi koagulan dari tepung biji tanaman
kelor (Moringa oleifera). Dosis optimum
koagulan biji kelor dengan kondisi kekeruhan
awal lebih dari 150 NTU (nephelometric
turbidity unit) adalah 50–200 mg/L.
Selain biji kelor, bahan alami lainnya
dengan potensi koagulan ialah biji asam jawa
(Tamarindus indica), yang dapat digunakan
pada pengolahan limbah cair industri tahu.

Dengan dosis optimum 3000 mg/L, kekeruhan
awal sebesar 586 FTU (formazin turbidity
units) menurun menjadi 96 FTU pada pH 4
(Enrico 2008).

Biji kelor telah dilaporkan efektif sebagai
koagulan untuk menurunkan kekeruhan pada
limbah cair kelapa sawit. Biji kelor juga tidak
mengandung senyawa toksik sehingga aman
bagi kesehatan (Hasbi et al. 2000).
Biji kelor telah dimanfaatkan sebagai
koagulan alami untuk menurunkan kekeruhan
air lindi di tempat pengolahan akhir (TPA)
Benowo, tanpa menurunkan pH (Dwirianti
2007). Selain menurunkan kekeruhan, biji
kelor juga efektif menurunkan kadar logam
berat. Serbuk biji kelor tanpa kulit ari
memberikan efisiensi penurunan logam Cu2+
lebih besar daripada yang berkulit ari (Widarti
& Titah 2007). Beberapa penelitian di atas
menggunakan biji kelor untuk pengolahan air
limbah agar memenuhi persyaratan untuk
dibuang ke sungai. Pada penelitian ini diukur
efektivitas penurunan kekeruhan, kadar ion
besi dan ion mangan oleh biji kelor yang
berkulit ari dan yang tidak pada air sungai
yang akan digunakan sebagai bahan baku
pada instalasi pengolahan air bersih.
Ketiganya merupakan parameter penting yang
memengaruhi mutu air sungai karena adanya
kontaminasi dari proses alam seperti serpihan
batu, lumpur, dan hasil oksidasi logam yang
berasal dari tanah.
Hasilnya dibandingkan dengan hasil
koagulasi menggunakan ACH. Kondisi
optimum ACH telah diketahui sebelumnya
dari data hasil pengujian berkala laboratorium
proses instalasi pengolahan air (IPA) 1 PT.
Palyja yang dijadikan acuan pada proses
pengolahan air bersih di instalasi tersebut.
Penelitian
dilakukan
dalam
skala
laboratorium dengan menggunakan metode uji
jar yang juga merupakan simulasi operasional
proses pengolahan konvensional (koagulasi,
flokulasi, dan sedimentasi). Data yang
diperoleh diolah secara statistik untuk melihat
ada tidaknya perbedaan hasil dari perlakuanperlakuan di atas dan dilakukan pengulangan
untuk setiap parameter.

TINJAUAN PUSTAKA
Air
Air permukaan merupakan salah satu
sumber penting bahan baku air bersih. Faktorfaktor yang harus diperhatikan adalah mutu
air baku, jumlah, dan kesinambungannya
(Chandra 2007). Pada suhu ambien, air
merupakan cairan bening yang tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau
(Kurita 1999).

2

Menurut Soemirat (2000), di Indonesia air
permukaan merupakan salah satu bahan baku
air bersih yang sering dipakai karena
ketersediaannya. Air minum yang ideal harus
jernih, tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa, tidak mengandung kuman patogen dan
makhluk
hidup
lain
yang
dapat
membahayakan kesehatan manusia, tidak
mengandung zat kimia yang dapat mengubah
fungsi tubuh, tidak meninggalkan endapan
pada sistem distribusi, tidak korosif, dan lainlain. Hal ini mencegah terjadinya serta
meluasnya penyakit bawaan air.
Dalam aplikasinya, air yang akan
digunakan untuk air bersih atau air minum
harus mengalami beberapa tahap pengolahan.
Unsur–unsur yang menyebabkan air tersebut
belum memenuhi standar perlu dihilangkan
atau dikurangi. Teknologi untuk pengolahan
air sangat bergantung pada sumber air baku
yang mutunya bermacam-macam. Tahapan
pengolahan air sederhana meliputi proses
koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Koagulasi
Proses koagulasi menyebabkan partikel
halus bergabung menjadi partikel yang dapat
mengenap (Hadyana 2002). Suatu koloid
selalu terdiri dari dua fase, yaitu fase
pendispersi dan terdispersi. Berdasarkan
kelarutannya, koloid ada dua jenis. Koloid
dispersi partikelnya tidak dapat larut secara
individu dalam medium, yang terjadi hanyalah
penyebaran (dispersi) partikel tersebut,
sedangkan koloid asosiasi terbentuk dari
gabungan partikel kecil yang terlarut dalam
medium (Syukri 1999).
Stabilitas koloid merupakan segi penting
dalam proses koagulasi untuk menghilangkan
koloid. Stabilitas koloid bergantung pada
ukuran koloid dan muatan listriknya, dan juga
dipengaruhi oleh pendispersinya (dalam hal
ini, air) seperti kekuatan ionik dan pH.
Beberapa gaya menyebabkan stabilitas
partikel: gaya elektrostatik tolak-menolak
antarmuatan partikel sejenis, reaksi hidrasi
(penggabungan dengan molekul air), dan
stabilisasi karena adsorpsi molekul besar.
Secara umum ada dua jenis koloid; pada
sistem pengolahan air lebih dikenal sebagai
koloid hidrofobik dan hidrofilik. Sulit untuk
membedakan keduanya. Biasanya kedua jenis
koloid tersebut ada dalam satu sistem dan
secara kontinu berada dalam transisi antara
hidrofobik dan hidrofilik (Bratby 2006).
Koagulasi mengubah sistem dari keadaan
stabil menjadi tidak stabil. Ada beberapa

mekanisme destabilisasi. Pertama, dengan
proses kompresi lapisan ganda listrik oleh
muatan yang berlawanan. Kedua, dengan
mengurangi potensial permukaan yang
disebabkan oleh adsorpsi molekul tertentu
dengan muatan elektrostatik berlawanan.
Ketiga, dengan adsorpsi molekul organik di
permukaan partikel yang dapat membentuk
jembatan molekul antarpartikel. Terakhir,
dengan penggabungan partikel koloid ke
dalam senyawa yang terbentuk dari
koagulan/flokulan.
Destabilisasi yang terjadi bergantung pada
jenis mekanismenya. Bisa saja hanya ada satu
mekanisme yang menyebabkan agregasi atau
kombinasi dari beberapa mekanisme. Untuk
aplikasi praktis di IPA terdapat kombinasi
beberapa mekanisme destabilisasi yang
disebabkan oleh kompresi lapisan ganda.
Pada sistem pengolahan air, koagulasi
terjadi pada unit pengadukan cepat (flash
mixing). Koagulan harus tersebar secara cepat
dan destabilisasi muatan negatif oleh muatan
positif harus terjadi dalam beberapa detik.
Proses koagulasi-flokulasi
juga dapat
menghilangkan sebagian atau seluruh zat
terlarut, dan hal ini menjadi fungsi utama dari
koagulasi-flokulasi.
Koagulan
Koagulan adalah zat kimia yang
menyebabkan destabilisasi muatan negatif
partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan
donor muatan positif yang digunakan untuk
mendestabilisasi muatan negatif pada partikel
koloid.
Koagulan
digunakan
untuk
mengurangi kekeruhan dan diklasifikasikan
menjadi koagulan alami, anorganik, dan
polimer organik sintetik (Katayon et al. 2006).
Saat ini dalam pengolahan air lazim
dipakai garam Al(III) atau Fe(III). Contohnya,
alum, PAC, Fe(III) sulfat, dan Fe(III) klorida.
Di samping itu, telah diketahui bahwa
monomer dari beberapa koagulan polimer
organik sintetik, seperti akrilamida, bersifat
merusak jaringan saraf dan karsinogen.
Sementara itu, koagulan alami biodegradabel
dan aman untuk kesehatan manusia (Katayon
et al. 2006).
Aluminium Klorohidrat (ACH)
Aluminium klorohidrat (ACH) merupakan
koagulan anorganik yang sering dipakai di
instalasi pengolahan air. ACH memiliki rumus
molekul Al2Cl(OH)5 (Gambar 1).

3

Gambar 1

Struktur molekul aluminium
klorohidrat.

Secara komersial, ACH dapat diproduksi
dengan cara mereaksikan aluminium dengan
asam klorida. Bahan baku yang dapat
digunakan antara lain aluminium besi,
aluminium trihidrat, aluminium klorida, dan
aluminium sulfat. Berkaitan dengan bahaya
ledakan hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi
logam aluminium dengan asam klorida, di
industri ACH lazim disiapkan dengan
mereaksikan aluminium hidroksida dengan
asam klorida (Bratby 2006).
Biji Kelor (Moringa oleifera)
Kelor awalnya banyak tumbuh di India.
Namun, kini kelor banyak ditemukan di
daerah beriklim tropis (Grubben 2004). Kelor
tumbuh di daerah panas dan sedikit gersang
dengan curah hujan 250–1500 mm. Berikut ini
adalah klasifikasi tanaman kelor.
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Famili
: Moringaceae
Genus
: Moringa
Spesies
: Moringa oleifera
Tanaman tersebut juga dikenal sebagai
tanaman “stik-drum” karena bentuk polong
buahnya yang memanjang meskipun ada juga
yang menyebutnya sebagai ”horseradish”
karena rasa akarnya menyerupai lobak.
Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu
yang dapat memiliki ketinggian batang 7–11
m. Pohon kelor umumnya tumbuh 3–4 m pada
tahun pertama. Batang kayunya getas (mudah
patah), cabangnya jarang, tetapi berakar kuat.
Batangnya berwarna kelabu, daun berbentuk
bulat telur dengan ukuran kecil, tersusun
majemuk dalam satu tangkai. Pohon kelor
mulai berbuah setelah 2 tahun. Bunganya
berwarna hijau, keluar sepanjang tahun,
dengan aroma semerbak. Pengembang biakan
pohon kelor bisa menggunakan biji ataupun
menggunakan setek batang. Biji kelor
(Gambar 2) berbentuk segi tiga memanjang
yang disebut kelantang (Jawa) dan berbau
minyak “behen” atau “ben”. Buahnya
berbentuk memanjang, berwarna hijau, keras,
dengan panjang 30-50 cm (Jonni et al. 2008).

Gambar 2 Biji kelor.
Menghilangkan zat organik dan anorganik
dari air baku merupakan hal yang penting
sebelum air dikonsumsi oleh manusia. Biji
kelor dapat digunakan sebagai adsorben bahan
organik, sebagai koagulan pada pengolahan
air, dan merupakan zat polimer organik yang
tidak berbahaya (Vieira et al. 2009).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa
efisiensi ekstrak biji akan menurun seiring
bertambah lamanya waktu penyimpanan.
Penurunan terjadi setelah disimpan 1–5 bulan
(Katayon et al. 2006).
Koagulan biji kelor yang dicampur dengan
air merupakan protein yang bersifat serupa
dengan polielektrolit positif. Biji kelor juga
mengandung logam alkali kuat seperti K dan
Ca, yang menjadi kutub positif (Duke 1998).
Efektivitas koagulasi biji kelor ditentukan
oleh kandungan protein kationik dengan bobot
molekul sekitar 6.5 kDa. Zat aktif dalam biji
kelor adalah 4-(α-L-ramnosiloksi) benzil
isotiosianat (Gambar 3) (Muharto et al. 2007).

Gambar 3

Struktur 4(α-L-ramnosiloksi)
benzil isotiosianat.

WELL (tt) menyatakan beberapa tingkat
konsentrasi sesuai tingkat kekeruhan air baku
(Tabel 1).
Tabel 1 Hubungan antara dosis biji kelor dan
kekeruhan air baku
Kekeruhan air baku (NTU)
150

Dosis (mg/L)
10–50
30–100
50–200

Sumber: WELL (tt)

Mekanisme koagulasi dengan koagulan
protein yang paling mungkin adalah adsorpsi,
netralisasi muatan, dan pembentukan ikatan
antarpartikel yang tidak stabil (Katayon et al.

4

2006). Dari ketiga mekanisme tersebut, sulit
untuk menentukan mekanisme yang terjadi,
karena mungkin berlangsung simultan. Akan
tetapi, umumnya mekanisme koagulasi
dengan biji kelor adalah adsorpsi dan
netralisasi muatan (Sutherland et al. 1990).
Pembentukan ikatan protein bermuatan
positif dari biji kelor akan terjadi pada bagian
bermuatan negatif dari permukaan partikel. Ini
membantu pembentukan muatan negatif dan
positif pada permukaan partikel. Pembentukan
ikatan partikel dapat ditingkatkan dengan
proses pengadukan. Terjadi kejenuhan
antarpartikel yang berbeda muatan sehingga
flok akan terbentuk.
Untuk digunakan sebagai koagulan dipilih
biji kelor yang telah matang di pohon dan
baru dipanen setelah kering. Sayap bijinya
yang ringan serta kulit bijinya mudah
dipisahkan hingga menyisakan biji yang putih.
Pada akhir 1950-an, sebuah tim dari
University of Bombay, Traancore University,
dan Departmen Biokimia di Indian Institute of
Science di Bangalore mengidentifikasi enam
senyawa kimia dalam biji kelor. Salah satunya
adalah 4(α-L-ramnosiloksi) benzil isotiosianat,
suatu zat aktif glukosinolat yang mampu
mengadsorpsi partikel lumpur, logam, dan
sekaligus menetralkan tegangan permukaan
partikel-partikel pada air limbah (Muharto et
al. 2007).
Parameter Mutu Air
Kekeruhan
Kekeruhan
air
permukaan
dapat
disebabkan oleh partikel-partikel koloid dari
serpihan batu, lumpur, tanah liat, atau dari
hasil oksidasi logam yang berasal dari tanah.
Partikel tersebut bisa berasal dari proses erosi,
mikroorganisme, atau dari tumbuhan (Drinan
2001).
Menurut Effendi (2003), kekeruhan
dinyatakan dalam unit kekeruhan yang setara
dengan 1 mg/L SiO2. Peralatan yang pertama
kali digunakan untuk mengukur kekeruhan
adalah jackson candler turbidimeter (JCT).
Kekeruhan juga lazim diukur dengan metode
nefelometri. Satuan kekeruhannya adalah
NTU (Sawyer & McCarty 1978). Satuan JCT
dan NTU tidak dapat saling dikonversi, tetapi
Sawyer dan McCarty (1978) mengemukakan
bahwa 40 NTU setara dengan 40 JCT.
Menurut Permenkes No 416/1990
(Lampiran 1) tentang syarat-syarat dan mutu
air bersih, batas maksimum untuk parameter
kekeruhan adalah 25 NTU. Sementara itu,
kekeruhan air sungai sebagai bahan baku air

bersih biasanya berkisar antara 100 dan 500
NTU.
Besi
Besi (Fe) banyak terdapat di dalam tanah,
tetapi hanya sedikit yang terlarut dalam air.
Besi di dalam air bervalensi +2 atau +3,
bergantung pada pH dan kondisi potensial
redoks di dalam air. Dalam lingkungan
reduktor (potensial elektrode negatif), besi
berada dalam bentuk Fe2+, yang larut dalam
air dan tidak berwarna (Said & Wahyono
1999). Ketika potensial di dalam air naik, Fe2+
akan teroksidasi menjadi Fe3+ membentuk
Fe(OH)3 yang kelarutannya rendah sehingga
akan tersuspensi membentuk kekeruhan,
berwarna kuning kecokelatan.
Endapan Fe(OH)3 korosif terhadap pipa
dan akan mengendap pada saluran pipa,
sehingga menyumbat dan mengotori bak seng,
wastafel, dan kloset. Besi terlarut, di sisi lain,
menimbulkan warna, bau, dan rasa dalam air
(Faust & Osman 1983). Kadar Fe lebih dari 1
mg/L sesuai dengan Permenkes No 416/1990
mengiritasi mata dan kulit. Apabila kelarutan
besi dalam air melebihi 10 mg/L, air akan
berbau seperti telur busuk.
Mangan
Mangan di dalam tanah kebanyakan
berbentuk mangan dioksida (valensi +4), yang
sukar larut di dalam air. Namun, karena dalam
kondisi anaerob (potensial elektrode negatif),
MnO2 tersebut dapat direduksi menjadi Mn2+
yang larut air.
Mangan yang tinggi di dalam air, terutama
untuk air minum, akan teroksidasi oleh
oksigen membentuk Mn4+ yang menyebabkan
air menjadi keruh, berwarna kecokelatan, dan
berbau logam mangan (Sutrisno 2006).
Menurut Permenkes No 416/1990 tentang
kualitas air bersih, batas maksimum untuk
parameter kadar mangan adalah 0,5 mg/L.
Uji Jar
Metode uji jar digunakan untuk
menentukan parameter-parameter seperti dosis
koagulan, pH, kebasaan, dan waktu flokulasi
yang dibutuhkan pada saat proses koagulasi
(Faust & Osman 1983). Metode ini paling
banyak digunakan untuk evaluasi dan
optimalisasi
proses
flokulasi-koagulasi.
Metode ini terdiri atas beberapa tahapan:
pertama adalah pengadukan secara cepat
(untuk mendispersi koagulan), pengadukan
lambat (untuk meningkatkan pembentukan

5

flok) dan pengenapan flok yang terbentuk
(Singh & Yadava 2003).
Uji jar terdiri dari enam buah wadah yang
masing-masing diisi dengan 1000 mL contoh
air.
Dosis
koagulan
yang
berbeda
ditambahkan ke dalam masing-masing wadah
untuk menentukan kisaran dosis optimum.
Koagulan
harus
ditambahkan
setelah
dilakukan pengadukan cepat secara simultan
beberapa saat (Hendric 2006).
Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)
Spektrofotometri serapan atom telah lama
digunakan untuk analisis kuantitatif unsurunsur
logam
dalam
jumlah
renik.
Spektrofotometri dirancang menggunakan
sistem optik berkas-tunggal atau berkas-ganda
(Harvey 2000).
Analisis AAS didasarkan pada penyerapan
energi sinar pada panjang gelombang tertentu
oleh atom-atom netral dalam keadaan gas dari
zat yang dianalisis. Prinsip kerja alat ini
adalah nyala api yang mengandung atom-atom
netral dari unsur yang dianalisis, yang berada
pada keadaan dasarnya, disinari oleh sinar
yang dipancarkan sumber sinar. Sebagian
intensitas sinar tersebut dengan panjang
gelombang tertentu akan diserap oleh atom,
sebagian lagi diteruskan ke monokromator
lalu berturut-turut ke detektor, amplifier, dan
rekorder (Day & Underwood 2002).
Menurut Khopkar (1998), keberhasilan
analisis ini bergantung pada proses eksitasi
dan cara memperoleh garis resonans yang
tepat. Jika sumbernya monokromatis, hukum
Lambert menyatakan bahwa proporsi sinar
datang yang diserap oleh bahan/medium tidak
bergantung pada intensitasnya. Hukum ini
tentunya hanya berlaku jika di dalam bahan
atau medium tidak ada reaksi kimia atau
proses fisis yang dapat dipicu atau diimbas
oleh sinar datang. Intensitas sinar yang
melewati bahan/medium dapat dituliskan
sebagai.
I = T × I0
dengan I adalah intensitas sinar keluar, I0
adalah intensitas sinar datang, dan T adalah
transmitans. Jika transmitans dinyatakan
dalam persen, maka
%T = (I/I0) × 100 (satuan %)
Hukum Beer lebih lanjut menyatakan
bahwa absorbans sinar berbanding lurus
dengan
konsentrasi
dan
ketebalan
bahan/medium:

A = ε c l
dengan ε adalah absorbsitivitas molar untuk
panjang gelombang tertentu, atau koefisien
ekstingsi (dalam L mol-1 cm-1), c adalah
konsentrasi (mol L-1), dan l adalah ketebalan
medium yang dilintasi sinar (cm).
Pada AAS, panjang gelombang garis
absorpsi resonans identik dengan garis emisi,
karena keserasian transisinya. Untuk itu,
diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan
sinar pada panjang gelombang tepat sama
dengan pada proses absorpsinya. Dengan
demikian, efek pelebaran puncak dapat
dihindarkan. Sumber radiasi tersebut dikenal
sebagai lampu katode cekung.
Pengujian Statistika
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006)
hipotesis statistik dibedakan menjadi dua,
yaitu hipotesis nol (H0) dan hipotesis
tandingan atau alternatif (H1). Pernyataan
yang ingin ditolak kebenarannya ditetapkan
sebagai hipotesis nol, sedangkan pernyataan
lawannya ditetapkan sebagai hipotesis
tandingan. Dikenal istilah uji satu arah dan
dua arah, yang dibedakan dari sifat penolakan
hipotesis tersebut.
Perbandingan nilai rerata dua contoh
dibagi menjadi dua kategori, yaitu data
berpasangan dan tak berpasangan. Data yang
diperoleh dari sumber yang sama diolah
dengan metode tak berpasangan, sedangkan
data dari sumber yang berbeda diolah dengan
metode berpasangan.
Presisi
Presisi dari sebuah prosedur analisis
menggambarkan kedekatan nilai dalam suatu
rangkaian pengukuran yang didapat dari
sampel yang homogen pada kondisi tertentu
(ICH 1996). Presisi dapat dinyatakan sebagai
keterulangan
(repeatability),
presisi
intermediet (intemediate precision), dan
ketersalinan (reproducibility). Presisi lazim
dituliskan sebagai variasi, standar deviasi,
atau standar deviasi relatif (RSD) dari suatu
deret pengukuran. Menurut APHA-AWWA
(2005),
keterulangan
(RSD)
yang
dipersyaratkan untuk pengukuran logam
menggunakan AAS adalah kurang dari 10%.

6

BAHAN DAN METODE

koagulasi diambil untuk diukur kekeruhan,
kadar mangan, dan kadar besinya.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah biji
kelor, ACH, HNO3 pekat, NaOH 5 N, HCl
1:1, NH3, CHCl3, H2SO4 2 M, pereaksi
Dragendorff, Mayer, Wagner, bubuk Mg,
HCl:etanol (1:1), amil alkohol, FeCl3 10%,
etanol, dietil eter, H2SO4 pekat, anhidrida
asetat. Sementara contoh yang digunakan
adalah air sungai yang digunakan sebagai air
baku di instalasi pengolahan air bersih.
Alat-alat yang digunakan adalah alat uji
jar, AAS NOVA 300 Analytik Jena,
turbidimeter HACH 2100AN IS, pH-meter,
blender, neraca analitik, alat kaca, corong,
kertas saring, penangas, dan shaker.
Metode
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa
tahap (Lampiran 2). Pertama koagulan
disiapkan dari biji kelor dan biji kelor
berkulit. Kemudian pH, dosis, dan waktu
pengenapan optimum ditetapkan untuk
masing-masing koagulan dengan mengukur
persen penurunan kekeruhan pada contoh air
baku. Setelah diperoleh kondisi optimum,
persen penurunan kekeruhan, kadar ion besi
dan mangan diukur dan dibandingkan dengan
hasil koagulasi menggunakan ACH. Data
yang dihasilkan diolah secara statistik untuk
melihat perbedaan efektivitas masing-masing
koagulan pada kondisi optimumnya.
Pembuatan Koagulan Biji Kelor dan Biji
Kelor Berkulit
Biji kelor yang akan digunakan adalah
yang telah matang di pohon dan diperoleh dari
daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sebagian
dikupas dan sebagian lagi dibiarkan dengan
kulitnya. Kedua jenis biji kelor masingmasing dihancurkan menggunakan blender
yang biasa digunakan untuk kacang-kacangan
sampai halus.
Metode Uji Jar
Disiapkan 6 buah gelas piala 1000 mL.
Masing-masing diisi 1000 mL contoh air
baku, dilrtakan dalam alat uji jar, dan mulai
dikocok dengan kecepatan 2,446 × g. Setelah
itu, ditambahkan koagulan untuk masingmasing konsentrasi dan dibiarkan 2 menit.
Kecepatan lalu diturunkan menjadi 0,0626 × g
dan pengocokan dilanjutkan kembali selama
18 menit. Contoh selanjutnya didiamkan
sampai lumpur dan air bersih terpisah. Hasil

Penetapan Pengaruh pH
Ke dalam 13 gelas piala 1000 mL
dimasukkan contoh air baku yang telah diukur
kekeruhannya masing-masing sebanyak 1000
mL. Kemudian ditambahkan NaOH 5 N atau
HCL 1:1 sehingga diperoleh variasi pH 1–13.
Selanjutnya campuran diaduk dengan
kecepatan 2,446 × g selama 2 menit lalu
0,0626 × g selama 18 menit. Contoh
didiamkan selama 60 menit hingga terenapkan
sempurna, kemudian diambil sebanyak 300
mL dan diukur kekeruhannya menggunakan
turbidimeter.
Penetapan pH Optimum
Disiapkan 10 gelas piala 1000 mL yang
dibagi menjadi 2 rangkaian masing-masing
terdiri dari 5 gelas piala. Rangkaian pertama
digunakan untuk koagulan biji kelor dan yang
kedua untuk biji kelor berkulit. Ke dalam
gelas piala dimasukkan contoh air baku yang
telah diukur kekeruhannya sebanyak 1000
mL, kemudian ditambahkan NaOH 5 N atau
HCl 1:1 sehingga diperoleh variasi pH (5, 6,
7, 8, 9) untuk setiap rangkaian. Dua gram
bubuk biji kelor dan 2 gram bubuk biji kelor
berkulit ditambahkan ke dalam masingmasing gelas piala, lalu diaduk dengan
kecepatan 2,446 × g selama 2 menit dan
dilanjutkan dengan kecepatan 0,0626 × g
selama 18 menit. Setelah itu, contoh
didiamkan selama 60 menit hingga terenapkan
sempurna, kemudian diambil sebanyak 300
mL dan diukur kekeruhannya menggunakan
turbidimeter.
Penetapan
Konsentrasi
Optimum
Koagulan Biji Kelor dan Biji Kelor
Berkulit
Disiapkan 28 gelas piala 1000 mL berisi
contoh yang telah diukur kekeruhannya
sebanyak 1000 mL. NaOH 5 N atau HCl 1:1
ditambahkan sehingga 14 gelas piala contoh
pH-nya 6 dan 14 lainnya memiliki pH 7. Ke
dalam masing-masing contoh dengan pH 6
ditambahkan bubuk biji kelor, sedangkan ke
dalam contoh dengan pH 7 dimasukkan bubuk
biji kelor berkulit dengan variasi jumlah
bubuk biji kelor maupun biji kelor berkulit
adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100,
200, 300, 400, 500 mg/L. Kemudian
dilakukan pengadukan berturut-turut dengan
kecepatan 2,446 × g selama 2 menit dan
0,0626 × g selama 18 menit. Setelah itu,
contoh didiamkan selama 60 menit hingga

7

terenapkan sempurna, kemudian diambil
sebanyak 300 mL dan diukur kekeruhannya
menggunakan turbidimeter.
Penetapan Waktu Pengenapan Optimum
Koagulan Biji Kelor dan Biji Kelor
Berkulit
Disiapkan 20 gelas piala 1000 mL berisi
contoh yang telah diukur kekeruhannya
sebanyak 1000 mL. NaOH 5 N atau HCl 1:1
ditambahkan sehingga 10 gelas contoh pHnya 6 dan 10 lainnya memiliki pH 7. Ke
dalam masing-masing contoh dengan pH 6
ditambahkan 50 mg bubuk biji kelor.
Sementara ke dalam contoh dengan pH 7
dimasukkan 80 mg bubuk biji kelor berkulit.
Campuran diaduk dengan kecepatan 2,446 × g
selama 2 menit lalu 0,0626 × g selama 18
menit. Setelah itu, contoh didiamkan dengan
variasi waktu (10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80,
90, dan 100) menit, kemudian diambil
sebanyak 300 mL dan diukur kekeruhannya
menggunakan turbidimeter.
Penetapan Konsentrasi Ion Besi, Ion
Mangan, dan Kekeruhan Pada Kondisi
Optimum
Ke dalam 18 buah gelas piala 1000 mL
berisi contoh yang telah diukur kekeruhan,
kadar ion besi, dan ion mangannya sebanyak
1000 mL, NaOH 5 N atau HCl 1:1
ditambahkan sehingga 12 gelas piala contoh
pH-nya 7 dan 6 lainnya ber-pH 6. Bubuk biji
kelor berkulit sebanyak 80 mg dimasukkan ke
dalam 6 gelas piala yang memiliki pH 7, 10
mL ACH 1000 mg/L ditambahkan ke dalam 6
buah gelas piala pH 7 lainnya, sementara ke
dalam 6 gelas piala contoh dengan pH 6
ditambahkan bubuk biji kelor masing-masing
50 mg. Campuran diaduk dengan kecepatan
2,446 × g selama 2 menit lalu 0,0626 × g
selama 18 menit. Setelah itu, contoh yang
ditambahkan biji kelor maupun biji kelor
berkulit didiamkan selama 60 menit. Contoh
yang ditambahkan ACH hanya didiamkan
selama 10 menit. Contoh diambil masingmasing diambil sebanyak 300 mL untuk
diukur kekeruhan, kadar ion mangan dan ion
besinya. Data yang diperoleh diolah secara
statistik untuk menghitung ada tidaknya
perbedaan yang nyata antara hasil koagulasi
menggunakan koagulan biji kelor maupun biji
kelor berkulit dengan menggunakan ACH
serta untuk melihat nilai presisi dari masingmasing proses koagulasi serta pengukuran
ketiga parameter di atas.

Pengukuran Ion Besi dan Ion Mangan
(3500-Fe B dan 3500-Mn B. APHA-AWWA
2005)
Contoh air baku sebelum dan setelah
koagulasi dengan berbagai koagulan dipipet
masing-masing 100 mL lalu dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL
HNO3 pekat. Contoh dilumat sampai
volumenya menjadi 25 mL kemudian
disaring. Hasil saringan ditampung dalam labu
takar 100 mL lalu ditera menggunakan
akuabides. Setelah itu, contoh dianalisis kadar
ion besi dan ion mangan yang terkandung di
dalamnya menggunakan AAS.
Perbandingan Mutu Air Baku Hasil
Koagulasi
Data hasil penelitian ini diolah dengan
membandingkan nilai rerata dua contoh
menggunakan metode tidak berpasangan
maupun berpasangan. Perhitungan diawali
dengan menghitung variasi dari masingmasing kumpulan data, apakah berbeda nyata
atau tidak, dengan menghitung nilai F hitung
yang kemudian dibandingkan dengan nilai
tabel F melalui persamaan

Fhit 

SA

2

SB

2

Apabila variasi data tersebut tidak berbeda
nyata, maka nilai t hitung dihitung dengan
persamaan

t hit 

S pool 

XA  XB

1 n A   1 n B 
n A  1S A 2  n B  1S B 2
S pool

n A  nB  2

dan dibandingkan dengan tabel T (α, nA + nB –
2). Apabila berbeda nyata, maka t hitung
dihitung dengan persamaan

t hit 

S

XA  XB
2
A

 

n A  S B nB
2



dan dibandingkan dengan nilai tabel T (α, v).
Nilai v dihitung dengan persamaan
v

S

S n  S
 n  1 S
2

A

2
A

nA

A

2

2

A

2
B


n 
2

nB

B

2

B

 2

n B  1

Presisi
Air baku yang telah dikoagulasi dengan
tiga jenis koagulan pada kondisi optimum
dianalisis masing-masing 6 kali ulangan.
Presisinya dihitung dengan persamaan

8

n

s

 x
i 1

RSD(%) 

 x

2

i

n 1
s
 100%
x

Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji
Kelor Berkulit
Pengujian Alkaloid
Satu gram contoh dimasukkan ke dalam
tabung reaksi kemudian ditambahkan 3 tetes
NH3 dan dikocok. Lima mL HCl3
ditambahkan lalu divorteks sampai homogen.
Contoh disaring, 5 tetes H2SO4 2M
ditambahkan ke dalam filtrat. Akan terbentuk
dua lapisan. Lapisan atas atau lapisan asam
dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing
bagian ditambahkan pereaksi Dragendorff,
Mayer, dan Wagner. Perubahan yang terjadi
diamati.
Pengujian Fenolik
Campuran 5 g contoh dan 100 mL
akuabides dipanaskan selama 5 menit. Contoh
disaring, dan filtrat dibagi tiga, masingmasing untuk uji flavonoid, tanin, dan
saponin.
Untuk uji flavonoid, filtrat berturut-turut
ditambahkan bubuk Mg, HCl-etanol (1:1),
dan 1 mL amil alkohol. Perubahan warna
yang terjadi pada lapisan amil alkohol
diamati.
Filtrat ditambahkan 3 tetes FeCl3 10% dan
diamati perubahan warnanya dalam uji tanin.
Sementara untuk uji saponin, filtrat dikocok
kuat dan dilihat apakah terbentuk buih yang
stabil.
Pengujian Terpenoid
Contoh
diambil
sebanyak
1
g,
ditambahkan etanol, divorteks sampai
homogen, lalu dipanaskan. Saat masih panas
contoh disaring. Filtrat dipanaskan kembali
sampai kering, lalu ditambahkan 1 mL dietil
eter dan dikocok sampai homogen. Setelah
itu, 1 mL H2SO4 pekat dan 1 tetes anhidrida
asetat ditambahkan ke dalamnya, dan diamati
perubahan warna yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji
Kelor Berkulit
Pengujian fitokimia biji kelor dan biji
kelor berkulit dilakukan untuk mengetahui
senyawa metabolit sekunder yang terdapat di
dalam contoh. Hasil pengujian ini secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pengujian fitokimia biji kelor
dan biji kelor berkulit
Biji
Biji
Parameter
Kelor
Kelor
Berkulit
Alkaloid
+
+
A. Dragendorff
+
+
B. Mayer
+
+
C. Wagner
Fenolik
A. Flavanoid
B. Tanin
+
+
C. Saponin
Terpenoid
A. Steroid
B. Triterpenoid
Pengujian alkaloid dalam biji kelor dan
biji kelor berkulit menunjukkan hasil yang
positif. Contoh direaksikan dengan pereaksi
Dragendorff menghasilkan endapan jingga,
dengan pereaksi Mayer menghasilkan
endapan putih, dan dengan pereaksi Wagner
menghasilkan endapan cokelat. Alkaloid
merupakan golongan zat tumbuhan sekunder
yang terbesar. Pada umumnya alkaloid
bersifat basa dengan satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem
siklik. Prekursor alkaloid yang paling umum
adalah asam amino (Harborne 1987).
Hasil uji fenolik menunjukkan bahwa
dalam contoh biji kelor dan biji kelor berkulit
terdapat saponin. Hal itu dibuktikan dengan
terbentuknya buih yang stabil setelah contoh
diberi perlakuan dan dikocok. Saponin adalah
glikosida triterpena dan sterol. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan
bersifat seperti sabun, yang dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa
(Harborne 1987).
Koagulan alami yang telah dikaji sifat
fitokimianya antara lain Bridelia ferruginea
dengan kandungan tanin dan alkaloid sebagai
senyawa bioaktif utama. Selain itu, terdapat
pula steroid, terpenoid, dan saponin sebagai
senyawa aktif lainnya (Kolawole et al. 2006).

8

n

s

 x
i 1

RSD(%) 

 x

2

i

n 1
s
 100%
x

Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji
Kelor Berkulit
Pengujian Alkaloid
Satu gram contoh dimasukkan ke dalam
tabung reaksi kemudian ditambahkan 3 tetes
NH3 dan dikocok. Lima mL HCl3
ditambahkan lalu divorteks sampai homogen.
Contoh disaring, 5 tetes H2SO4 2M
ditambahkan ke dalam filtrat. Akan terbentuk
dua lapisan. Lapisan atas atau lapisan asam
dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing
bagian ditambahkan pereaksi Dragendorff,
Mayer, dan Wagner. Perubahan yang terjadi
diamati.
Pengujian Fenolik
Campuran 5 g contoh dan 100 mL
akuabides dipanaskan selama 5 menit. Contoh
disaring, dan filtrat dibagi tiga, masingmasing untuk uji flavonoid, tanin, dan
saponin.
Untuk uji flavonoid, filtrat berturut-turut
ditambahkan bubuk Mg, HCl-etanol (1:1),
dan 1 mL amil alkohol. Perubahan warna
yang terjadi pada lapisan amil alkohol
diamati.
Filtrat ditambahkan 3 tetes FeCl3 10% dan
diamati perubahan warnanya dalam uji tanin.
Sementara untuk uji saponin, filtrat dikocok
kuat dan dilihat apakah terbentuk buih yang
stabil.
Pengujian Terpenoid
Contoh
diambil
sebanyak
1
g,
ditambahkan etanol, divorteks sampai
homogen, lalu dipanaskan. Saat masih panas
contoh disaring. Filtrat dipanaskan kembali
sampai kering, lalu ditambahkan 1 mL dietil
eter dan dikocok sampai homogen. Setelah
itu, 1 mL H2SO4 pekat dan 1 tetes anhidrida
asetat ditambahkan ke dalamnya, dan diamati
perubahan warna yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji
Kelor Berkulit
Pengujian fitokimia biji kelor dan biji
kelor berkulit dilakukan untuk mengetahui
senyawa metabolit sekunder yang terdapat di
dalam contoh. Hasil pengujian ini secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pengujian fitokimia biji kelor
dan biji kelor berkulit
Biji
Biji
Parameter
Kelor
Kelor
Berkulit
Alkaloid
+
+
A. Dragendorff
+
+
B. Mayer
+
+
C. Wagner
Fenolik
A. Flavanoid
B. Tanin
+
+
C. Saponin
Terpenoid
A. Steroid
B. Triterpenoid
Pengujian alkaloid dalam biji kelor dan
biji kelor berkulit menunjukkan hasil yang
positif. Contoh direaksikan dengan pereaksi
Dragendorff menghasilkan endapan jingga,
dengan pereaksi Mayer menghasilkan
endapan putih, dan dengan pereaksi Wagner
menghasilkan endapan cokelat. Alkaloid
merupakan golongan zat tumbuhan sekunder
yang terbesar. Pada umumnya alkaloid
bersifat basa dengan satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem
siklik. Prekursor alkaloid yang paling umum
adalah asam amino (Harborne 1987).
Hasil uji fenolik menunjukkan bahwa
dalam contoh biji kelor dan biji kelor berkulit
terdapat saponin. Hal itu dibuktikan dengan
terbentuknya buih yang stabil setelah contoh
diberi perlakuan dan dikocok. Saponin adalah
glikosida triterpena dan sterol. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan
bersifat seperti sabun, yang dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa
(Harborne 1987).
Koagulan alami yang telah dikaji sifat
fitokimianya antara lain Bridelia ferruginea
dengan kandungan tanin dan alkaloid sebagai
senyawa bioaktif utama. Selain itu, terdapat
pula steroid, terpenoid, dan saponin sebagai
senyawa aktif lainnya (Kolawole et al. 2006).

9

Penetapan pH Optimum
Penelitian ini diawali dengan penetapan
pH yang tidak memengaruhi penurunan
kekeruhan air pada perlakuan tanpa pemberian
koagulan biji kelor. Pengaturan kisaran pH
sangat penting dalam proses koagulasi yang
optimum (Bratby 1980). Hasil penelitian
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa pH 5–9
tidak berpengaruh signifikan terhadap
penurunan kekeruhan; kekeruhan hanya
menurun sebesar 2,00–5,60%. Karena itu,
pada penelitian ini pH tersebut dipilih untuk
proses optimalisasi, sebab proses koagulasi
pada nilai pH kurang dari 5 atau lebih dari 9
akan terjadi tidak hanya karena penambahan
koagulan, tetapi juga dipengaruhi oleh pH.
Hubungan persen penurunan kekeruhan
dengan pH tanpa penambahan koagulan dapat
dilihat pada Gambar 5.

Penurunan Kekeruhan (%)

120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13

pH

Gambar 4 Kurva hubungan antara pH dan
persen penurunan kekeruhan
tanpa penambahan koagulan.
Setelah diperoleh rentang pH yang tidak
memengaruhi proses koagulasi secara
signifikan, dilakukan penetapan pH optimum
untuk
penurunan
kekeruhan
contoh
menggunakan koagulan biji kelor maupun biji
kelor berkulit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pH optimum untuk penurunan
kekeruhan menggunakan koagulan biji kelor
adalah 6, dengan persentase penurunan
kekeruhan sebesar 94,91%. Secara umum,
persen penurunan kekeruhan menggunakan
biji kelor berkulit pada pH 5–9 relatif sama.
pH 7 memberikan persen penurunan terbesar,
yaitu
sebesar
97,87%,
(Gambar

5).
P e n u r u n a n k e k e ru h a n (% )

Pengujian terpenoid terhadap contoh
menunjukkan hasil yang negatif baik untuk
steroid maupun untuk triterpenoid. Hasil
pengujian fitokimia biji kelor dan biji kelor
berkulit dapat dilihat pada Lampiran 3.

120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
5

6

7

8

9

pH
Biji kelor

Biji kelor berkulit

Gambar 5 Kurva hubungan antara pH dan
persen penurunan kekeruhan
padapenetapan pH optimum
untukkoagulan biji kelor dan biji
kelor berkulit.
Proses koagulasi air baku berkaitan
dengan nilai potensial zeta larutan biji kelor
dan air baku itu sendiri. Potensial zeta air
sintetik adalah −46mV (Rambe 2009). Pada
pH tinggi spesies negatif dominan (Bratby
1980).
Bahan koagulan dalam biji kelor adalah
protein kationik yang larut dalam air.
Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit
sekitar +6 mV (Ndabigenggesere et al. 1995).
Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini
didominasi oleh tegangan positif meskipun
merupakan campuran heterogen yang
kompleks. Kedua hal di atas menunjukkan
bahwa pada pH netral partikel-partikel dalam
air bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi
partikel tersuspensi dengan biji kelor
dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan
negatif koloid oleh polielektrolit kationik.
Penetapan Konsentrasi Optimum
Penetapan konsentrasi optimum koagulan
biji kelor dan biji kelor berkulit dilakukan
dengan variasi konsentrasi 10–500 mg/L
terhadap contoh dengan kekeruhan awal
228,00 NTU. Setelah penambahan koagulan
biji kelor dengan konsentrasi 50 mg/L,
kekeruhan berkurang menjadi 3,29 NTU.
Konsentrasi tersebut optimum, karena pada
saat konsentrasi biji kelor ditingkatkan nilai
kekeruhan akhir naik kembali menjadi 3,98
NTU (Gambar 6).

P e n u ru n a n k ek e ru h a n
(% )

10

100.00
95.00
90.00
85.00
80.00
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 200 300 400 500

kulitnya yang menjadi zat aktif untuk proses
koagulasi (Pandia & Husin 2005).
Perubahan visual air baku setelah
koagulasi dapat dijadikan indikator awal
keberhasilan proses tersebut. Perubahan visual
yang nyata seperti terlihat pada Gambar 7 dan
8.

Konsentrasi koagulan (mg/L)
Biji kelor berkulit

Gambar 6 Kurva hubungan antara konsentrasi
koagulan dan persen penurunan
kekeruhan
pada
penetapan
konsentrasi optimum koagulan biji
kelor dan biji kelor berkulit.
Penetapan konsentrasi optimum koagulan
biji kelor berkulit dilakukan terhadap contoh
dengan kekeruhan awal 240,00 NTU.
Penambahan koagulan biji kelor berkulit
sebesar 80 mg/L mengurangi kekeruhan
menjadi 4,06 NTU. Pada saat konsentrasi
koagulan ditingkatkan menjadi 90 mg/L,
kekeruhan akhir naik menjadi 4,15 NTU
(Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi optimum untuk koagulan biji
kelor berkulit adalah 80 mg/L.
Penambahan koagulan biji kelor dalam
dosis tertentu meningkatkan jumlah kation
yang berfungsi menetralkan muatan negatif
dari partikel-partikel koloid. Penambahan ion
positif akan mengurangi gaya tolak-menolak
sesama koloid. Terjadi destabilisasi sistem
koloid yang memungkinkan koloid saling
mendekat dan membentuk mikroflok.
Mikroflok-mikroflok tersebut cenderung
bersatu dan membentuk makroflok karena
sudah mengalami destabilisasi dan akhirnya
mengendap. Pada konsentrasi koagulan yang
tepat, seluruh koloid dapat terikat dan
bergabung menjadi flok yang besar.
Gambar
6
menunjukkan
bahwa
penambahan konsentrasi koagulan biji kelor
maupun biji kelor berkulit melebihi jumlah
optimum justru akan menurunkan persentase
penurunan kekeruhan. Koagulan berlebih
dapat menutupi mikroflok sehingga tidak
terbentuk makroflok. Mekanismenya adalah
polimer-polimer yang berlebih akan menutupi
seluruh permukaan partikel koloid sehingga
tidak ada tempat untuk rantai akhir menempel
dan proses flokulasi tidak terjadi. Keadaan ini
dapat menstabilkan kembali partikel koloid.
Data penetapan konsentrasi optimum
selengkapnya diberikan di Lampiran 5.
Perbedaan dosis optimum antara koagulan biji
kelor dan biji kelor berkulit berkaitan dengan
kandungan protein dalam biji kelor dan

(a)
(b)
Gambar 7 Air baku sebelum (a) dan
setelah dikoagulasi (b)
dengan biji kelor.

(b)
(a)
Gambar 8 Air baku sebelum (a) dan
setelah
dikoagulasi
(b)
dengan biji kelor berkulit.
Penetapan Waktu Pengenapan Optimum
Selain penetapan pH dan konsentrasi
optimum, juga dilakukan penetapan waktu
pengenapan
(settling
time)
optimum.
Lampiran 6 dan Gambar 9 menunjukkan
bahwa waktu pengenapan optimum untuk
masing-masing koagulan adalah 60 menit
dengan persentase penurunan kekeruhan
sebesar 99,00% untuk koagulan biji kelor dan
98,98% untuk koagulan biji kelor berkulit.
100,00
Penurunan kekeruhan (%)

Biji kelor

99,00
98,00
97,00
96,00
95,00
94,00
93,00
92,00
91,00
10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Waktu pengenapan (menit)

Biji kelor

Biji kelor berkulit

Gambar 9 Kurva hubungan antara waktu dan
persen penurunan kekeruhan pada
penentuan waktu optimum proses
pengenapan untuk koagulan biji
kelor dan biji kelor berkulit.

11

Waktu pengenapan yang optimum adalah
60 menit. Namun, mulai menit ke-10 telah
diperoleh persen penurunan kekeruhan
sebesar 94,17% untuk koagulan biji kelor dan
96,12% untuk biji kelor berkulit. Nilai
kekeruhan akhir yang diperoleh berturut-turut
13,30 dan 8,86 NTU. Nilai tersebut telah
memenuhi baku mutu air bersih untuk
parameter kekeruhan, yaitu 25 NTU (Depkes
1990). Karena itu, pengenapan 10 menit dapat
diaplikasikan pada proses koagulasi untuk
pengolahan air bersih.
Perbandingan Hasil Koagulasi Biji Kelor
dan Biji Kelor Berkulit dengan Koagulan
Anorganik
Secara umum, besi dan mangan dalam air
tidak menyebabkan risiko kesehatan yang
berarti, tetapi dapat menyebabkan air menjadi
berwarna, berasa, dan berbau. Selain itu, dapat
timbul masalah pada sistem distribusi air
karena penempelan logam tersebut yang
membentuk kerak pada pipa (Lin 2007).
Baik besi maupun mangan dalam air
biasanya terlarut dalam bentuk senyawaan
atau garam bikarbonat, sulfat, hidroksida, dan
juga dalam bentuk koloid atau bergabung
dengan senyawa organik. Salah satu cara
menghilangkan zat besi dan mangan dalam air
adalah dengan koagulasi (Said & Wahyono
1999).
Senyawa
4-(α-L-ramnosiloksi)benzil
isotiosiana larut dalam air (Goyal et al. 2007).
Gugus hidroksil dalam zat aktif tersebut dapat
mengikat logam berat. Hidrogen yang semula
terikat pada alkohol akan digantikan oleh
logam berat yang lebih elektronegatif
(Muharto et al. 2007). Biji kelor juga
mengandung asam amino sistein yang dapat
menangkap logam berat (Muharto et al.
2007).
Air sungai dikoagulasi menggunakan
koagulan (a) biji kelor pada pH 6 dengan
konsentrasi 50 mg/L serta waktu pengenapan
60 menit, (b) biji kelor berkulit pa