Pengembangan Nanobiokoagulan Dari Biji Kelor (Moringa Oleifera) Untuk Proses Penjernihan Air

(1)

PENGEMBANGAN NANOBIOKOAGULAN

DARI BIJI KELOR (Moringa oleifera)

UNTUK PROSES PENJERNIHAN AIR

HENDRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Nanobiokoagulan dari Biji kelor (Moringa oleifera) untuk Proses Penjernihan Air adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Jakarta, Februari 2016

Hendrawati


(4)

RINGKASAN

HENDRAWATI. Pengembangan Nanobiokoagulan dari Biji kelor (Moringa oleifera) untuk Proses Penjernihan Air. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN, HEFNI EFFENDI DAN ETI ROHAETI.

Pengolahan air kotor menjadi air bersih biasa dilakukan dengan proses koagulasi menggunakan koagulan sintetis. Padahal penggunaan koagulan ini, jika tidak sesuai dosis yang benar dan digunakan secara terus menerus dapat beresiko bagi kesehatan dan tidak ramah lingkungan. Serbuk biji kelor (Moringa oleifera) terbukti efektif sebagai koagulan alami dalam proses penjernihan air. Penelitian ini telah mengembangkan ukuran serbuk biji Moringa oleifera lolos ayakan 100 mesh (MoM) sampai ukuran nano partikel (MoN) dengan proses milling menggunakan HEM dan mengukur ukuran serbuk dengan PSA. Kemudian mengkarakterisasi sifat fisik dan kimianya, dan mengaplikasikaanya sebagai biokoagulan dalam proses penjernihan air.

Hasil karakterisasi menunjukan ukuran MoM adalah ± 2300 dan MoN ±300 nanometer. Kandungan senyawa utama pada MoM; total protein = 44.65 %, lemak = 27.05 %, kadar air = 10.86 %, kadar abu = 3.79 %. Kandungan senyawa utama pada MoN; total protein = 44.41 %, lemak = 26.98 %, kadar air = 9.38 %, kadar abu = 3.53 %. Berat molekul diuji dengan SDS page, yaitu 13-28 Kda dan 52-63 Kda. Tidak terdapat perbedaan jenis senyawa penyusun MoM maupun

MoN. Kandungan protein terlarut dalam air, MoM adalah 0.06 % dan MoN yaitu 0.29 %. Karakteristik serbuk biji moringa bersifat amorf dan berongga. Dosis optimum MoN dalam menurunkan kekeruhan pada sampel air tanah adalah 30 ppm dan pada air limbah tekstil adalah 40 mg/L. Sedangkan dosis optimum MoM pada sampel air tanah adalah 80 mg/L dan pada air limbah tekstil adalah 100 mg/L.

Ukuran serbuk MoN lebih kecil dibandingkan MoM, ketika biokoagulan ini ditambahkan ke dalam air sampel, maka protein yang terlarut dari MoN menjadi lebih banyak dibandingkan MoM. Saat diaplikasikan pada air sungai Cisadane dan air Situ Cipondoh Tangerang sebagai air baku air minum dengan metode jar tes, MoN dan MoM pada konsentrasi optimum mampu memperbaiki kualitas air sebanding dengan PAC. Parameter kualitas air yang diuji seperti turbiditas, pH, temperatur, intensitas warna, konduktifitas, kadar logam terlarut (Fe, Mn, Zn, Al dan Cr) dan parameter non logam (amonia, nitrat dan nitrit) telah berhasil diperbaiki dan sudah sesuai dengan standar baku mutu.

Serbuk biji moringa MoN telah diaplikasikan sebagai biokoagulan pada

Thin Stillage (TS). Menunjukkan bahwa penambahan koagulan MoN (0.6 %) dan MoM (1.5 %) dapat digunakan untuk mengurangi kekeruhan dan merekonstruksi parameter karakteristik limbah. Dosis MoN untuk TS cukup besar dibandingkan untuk limbah tekstil (40 mg/L), karena sampel TS merupakan jenis limbah organik dan keasaman yang tinggi (pH=3.4).

Aplikasi MoN pada penelitian ini dilakukan pada air limbah laboratorium pada skala besar. Kemampuannya sebagai biokoagulan sebanding dengan koagulan sintetik. Biokoagulan MoN mampu menurunkan tingkat kekeruhan air limbah dari 193 NTU menjadi 93 NTU. Koagulan sintetik PAC menurunkan tingkat kekeruhan air limbah dari 193 NTU menjadi 111 NTU. MoN mampu


(5)

menurunkan kadar logam terlarut (Fe, Zn, Cr, Cu, Cd dan Al), dan menurunkan jumlah bakteri E.coli dari 1100 menjadi 210. MoN juga mampu meningkatkan nilai pH air limbah dari 5.40 menjadi 6.56. MoN mampu mengubah keasaman limbah menjadi netral tanpa tambahan zat lainnya. Sedangkan koagulan sintetik PAC justru menurunkan nilai pH limbah dari 5.40 menjadi 5.38.

Gambaran teoritis mekanisme reaksi yang terjadi antara serbuk biji moringa dengan pengotor dalam air adalah netralisasi. Netralisasi terjadi karena penggabungan muatan negatif dari koloid pengotor air dengan muatan positif dari asam amino protein pada biji moringa.

Hasil jajak pendapat masyarakat tentang pengenalan jenis dan manfaat tanaman moringa telah dilakukan. Data diambil dari seratus orang responden. Diketahui, 60% mengenal tanaman moringa, sisanya tidak mengenal tanaman tersebut. Responden yang pernah memanfaatkan tanaman moringa sekitar 22.5%, sisanya tidak pernah memanfaatkan. Responden yang mengetahui manfaat biji moringa hanya sekitar 2%. Sebanyak 80% responden menyetujui jika biji moringa digunakan sebagai biokoagulan pada proses penjernihan air dengan pertimbangan bahwa responden percaya penggunaan biokoagulan moringa lebih aman untuk kesehatan dan aman juga untuk lingkungan.

Kata Kunci : baku mutu, kadar logam, koagulan alami, koagulasi, kualitas air, Moringa oleifera, nano partikel, penjernihan air, dan turbiditas.


(6)

SUMMARY

HENDRAWATI. The Development of Nanobiocoagulant from Moringa oleifera

Seeds Powder for Water Purification Process. Supervised by LATIFAH K. DARUSMAN, HEFNI EFFENDI and ETI ROHAETI.

The conversion of wastewater into clean water often involves the coagulation process using synthetic coagulant. The use of this type of coagulant continuously and in un-match dosage possesses risks to human health and

environment. Kelor’s seed powder (Moringa oleifera) has been proven effective as a natural coagulant in the clarification process. This study has produced seed powder of Moringa oleifera that can pass through the sieve ranging from 100 mesh (MoM) to nanoparticle size (MoN). We used milling process using HEM and measured powder size with PSA. We also characterized physical and chemical characteristics of the powder and used it as biocoagulant in the water clarification process.

The particle size of the MoM and MoN powder are 2300 nm and 300 nm, respectively. The main components of MoM and MoN are protein (44.65 % for MoM and 44.41 % for MoN), fat (27.05% for MoM and 26.98% for MoN), water (10.86 % for MoM and 9.38% for MoN) and ash (3.79% for MoM and 3.53% for MoN). Molecular weight for both types are 13-28 kDa and 52-63 kDa as assessed by SDS-PAGE. The water-soluble protein contained in MoM and MoN are

0.06 % and 0.29 %, respectively. The optimum dosage of MoN in reducing turbidity of ground water and wastewater sample are 30 ppm and 40 ppm, respectively. While the optimum dosage of MoM for ground water and wastewater sample are 80 ppm and 100 ppm, respectively.

The particle size of MoN is smaller than MoM. When the coagulant is added in the water sample, the soluble protein of MoN becomes more abundant than MoM. Biocoagulant MoN and MoM at optimum concentration were able to improve water quality as good as PAC when applied to Cisadane water and Situ Cipondoh water as standard drinking water using jar test method,. Parameter tested including turbidity, pH, temperature, colour intensity, conductivity, soluble metals (Fe, Mn, Zn, Al and Cr) and non-metals (ammonia, nitrate and nitrite) have

been improved according to the quality standard.

MoN has also been used as biocoagulant to treat the waste of bioethanol industry (Thin Stillage). Our research showed that the addition of MoN (0.6%) and MoM (1.5%) was effective to reduce turbidity and construct the characteristic parameter of sewage.

MoN has been applied as biocoagulant in Thin stillage (TS). Our research showed that the addition of biocoagulant MoN (0.6%) and MoM (1.5%) can be used to reduce turbidity and reconstruct characteristics of the waste. Dose mof MoN for TS is sufficiently large compared to textile waste (40 mg/L), because the sample TS is a kind of organic wastes and high acidity (pH = 3.4).

Applications MoN in this study conducted on laboratory waste water on a large scale. His ability as biokoagulan comparable with synthetic coagulant. MoN able to reduce the level of waste water turbidity of 193 NTU to 93 NTU. Synthetic coagulant PAC reduce the level of waste water turbidity of 193 NTU to 111 NTU. MoN capable of lowering dissolved metal (Fe, Zn, Cr, Cu, Cd and Al), and


(7)

reduce the amount of E. coli 1100 into 210 . MoN is also able to increase the pH value of the wastewater from 5.40 became 6. 56. MoN able to change the acidity of the waste to neutral without additional other substances. While synthetic coagulant PAC actually reduce the pH value of the waste from 5.40 became 5.38.

Overview of the theoretical mechanism of the reaction that occurs between moringa seed powder with impurities in the water is neutralization. Neutralization occurs because combining the negative charge of the colloidal water impurities with the positive charge of the amino acids in the protein moringa seeds.

The results of a public opinion poll on the introduction of the types and benefits of moringa plant has been carried out. Data taken from a hundred respondents. Known, 60% know the moringa plant, the rest are not familiar with these plants. Respondents who have ever used moringa plants around 22.5%, the rest never used. Respondents who know the benefits of moringa seeds only about 2%. 80% of respondents approve if moringa seeds are used as biokoagulan in the water purification process on the basis that the respondents believe the use of moringa as biokoagulan safer for health and safe also for the environment.

Keywords : quality standard, metal content, natural coagulant, coagulation, water quality, Moringa oleifera, nano particle, water clarification process, turbidity.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

PENGEMBANGAN NANOBIOKOAGULAN

DARI BIJI KELOR (Moringa oleifera)

UNTUK PROSES PENJERNIHAN AIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin

2. Dr. Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin


(11)

(12)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil Alaamiin, Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkat rahmat dan anugrah-Nya, disertasi ini berhasil diselesaikan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), di Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Latifah K. Darusman, MS selaku ketua komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan tentang penyusunan disertasi dan tentang bersikap akademik yang baik.

2. Dr Ir Hefni Effendi, M.Phil dan Dr Ir Eti Rohaeti, MS selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi.

3. Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Dr Ir Widiatmaka, DEA selaku ketua dan sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4. Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr dan Prof Marimin selaku dekan dan sekretaris

Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Prof Dr-ingg Ir Suprihatin dan Dr Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran sehingga disertasi ini semakin komprehensif.

6. Seluruh dosen pengajar dan staf di lingkungan Program Studi PSL IPB. 7. Kementerian Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS 2010-2013.

8. Kementerian Agama atas kesempatan mengikuti Prosale 2013-2014.

9. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Ketua Jurusan Kimia, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Sekolah Pascasarjana IPB. 10. Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) UIN Jakarta atas bantuan dana

hibah penelitian kategori publikasi nasional tahun 2014 11. Teman-teman Angkatan 2010 PSL-IPB atas kerjasamanya.

12. Teman-teman dosen, alumni dan mahasiswa program studi kimia FST UIN Jakarta atas diskusi dan dorongan semangatnya.

Terimakasih tak terhingga kepada suami tercinta Herdiyanto Wibowo dan ananda tersayang; Hasna Meilia Herdanisa, Haiqal Herdiansyah Putera dan Humaira Maharani Herdarinda, atas semua pengertian, pemakluman dan pengorbanannya. Disertasi ini saya dedikasikan kepada keluarga besar; orangtua tercinta Bapak H. Solihin Shaleh (alm) dan Mamah Hj. Siti Djubaedah (amlh), atas kasih sayang dan penanaman karakter yang mendalam, semoga Allah menjadikannya sebagai ahli surga, kepada suami dan anak-anak juga kepada kakak-kakak dan adik yang selalu bersemangat untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dalam mencerdaskan generasi penerus, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya.

Semoga disertasi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Jakarta, Februari 2016


(13)

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Hipotesis 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Novelty 5

Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Pencemaran Air 7

Sumber Pencemaran Air 8

Kualitas Air 8

Temperatur 8

Konduktivitas 9

Kekeruhan atau Turbidity 9

Nilai pH 9

Dissolve Oxygen (DO) dan Biochemical Demand (BOD) 10

Kontaminasi Mikrobiologi 10

Koagulasi 11

Koagulan 12

Tawas/Alum 12

Mekanisme Koagulasi Protein 12

Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi 13

Kelor (Moringa oleifera) 14

Perbandingan Efektivitas Biji Moringa dengan Biokoagulan Lain 15

Jar Test 16

Nano Koagulan 17

3 METODE 18

Waktu dan Tempat Penelitian 18

Bahan dan Alat 18

Bahan dan Alat untuk Karakterisasi Biji Moringa 18 Bahan dan Alat untuk Aplikasi Biji Moringa sebagai Koagulan 18

Prosedur Analisis Data 19

Persiapan dan Karakterisasi Biji Moringa 19

Penentuan Dosis Optimum dan Aplikasi Biokoagulan pada Air Baku 20 Uji Efektivitas Biji Moringa pada Skala Besar (Scale up) 20


(15)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 A.Karakterisasi dan Penentuan Dosis Optimum Serbuk Biji Moringa

oleifera Sebagai Nanobiokoagulan dalam Proses Penjernihan Air 22

Persiapan Biokoagulan 22

Ukuran Serbuk Biji Moringa 24

Karakteristik Biokoagulan Serbuk Biji Moring 26

Komponen Utama Serbuk Biji Moringa 26

Kadar Protein Serbuk Biji Moringa yang Terlarut Air 27

Berat Molekul Protein Penyusun Moringa 27

Senyawa Mineral Penyusun Biji Moringa 28

Jenis Asam Amino yang Terdapat Pada Serbuk Biji Moringa 29 Penentuan Dosis Optimum Serbuk Biji Moringa sebagai Biokoagulan 29

B. Penggunaan Serbuk Biji Moringa Sebagai Koagulan pada Air Baku 31 Aplikasi Serbuk Biji Moringa Sebagai Biokoagulan pada Sampel Air

Sungai Cisadane 33

Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Temperatur 34 Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Perubahan pH 34 Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Konduktivitas 35 Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Turbiditas 36 Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Intensitas Warna 36 Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Zat Padat Terlarut

(TDS) 37

Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Kadar Logam

Terlarut 37

Pengaruh Biokoagulan MoM dan MoN terhadap Kadar Amonia,

Nitrat dan Nitrit 38

Aplikasi Serbuk Biji Moringa sebagai Biokoagulan pada Sampel Air

Situ Cipondoh 40

C. Aplikasi Biokoagulan MoM dan MoN pada Limbah Pabrik

Bio-etanol (Thin Stillage) 41

D. Aplikasi Serbuk Biji Moringa Ukuran Nano Sebagai Koagulan Alami Dalam Memperbaiki Kualitas Air Limbah Laboratorium pada Skala

Besar (Scale up) 45

Pengaruh Biokoagulan MoN dan Koagulan PAC terhadap Temperatur 46 Pengaruh Biokoagulan MoN dan Koagulan PAC terhadap Turbiditas 46 Pengaruh Biokoagulan MoN dan Koagulan PAC terhadap Nilai pH 46 Pengaruh Biokoagulan MoN dan PAC terhadap Konduktivitas 47 Pengaruh Biokoagulan MoN terhadap Total Koliform 47 Pengaruh Biokoagulan MoN dan koagulan PAC terhadap kadar logam 48


(16)

E. Pembahasan Umum 49 Gambaran Teoritis Reaksi Antara Asam Amino dari Protein Biji

Moringa dengan Pengotor dalam Air 51

F. Pendapat Masyarakat Tentang Penggunaan Serbuk Biji Moringa

sebagai Biokoagulan 52

4 SIMPULAN DAN SARAN 54

Simpulan 54

Ucapan Terimakasih 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 59


(17)

DAFTAR TABEL

1. Perbandingan efektivitas biji moringa dengan biokoagulan lain 15

2. Ukuran partikel serbuk biji moringa 24

3. Hasil analisa proksimat serbuk biji moringa 26 4. Persenyawaan mineral yang terdapat dalam serbuk biji moringa 29 5. Kandungan asam amino yang terdapat dalam serbuk biji kelor 29 6. Penentuan dosis optimum serbuk biji moringa MoM pada air limbah

dan air tanah 30

7. Penentuan dosis optimum serbuk biji moringa MoN pada air limbah

dan air tanah 30

8. Pengaruh penambahan serbuk biji moringa sebagai biokoagulan

terhadap kualitas air Sungai Cisadane 33

9. Pengaruh penambahan serbuk biji moringa sebagai biokoagulan

terhadap kualitas air Situ Cipondoh 41

10.Karakteristik TS sebelum dan setelah perlakuan dengan MoM dan

MoN 43

11.Pengaruh biokoagulan MoN dan koagulan PAC terhadap parameter

air limbah laboratorium 45

12.Hasil uji kadar bakteri E.coli berdasarkan metode MPN 47 13.Pengaruh penambahan koagulan terhadap kadar logam air limbah 49


(18)

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir kerangka pemikiran 6

2. Moringa oleifera 14

3. Biji Moringa oleifera dan kulitnya (a), dan biji Moringa oleifera

tanpa kulit (b) 15

4. Proses Jar Test 16

5. Tahapan persiapan dan karakterisasi biji moringa 19

6. Alur kerja penentuan kondisi optimum 20

7. Percobaan skala lebih besar (scale up) 21

8. Foto tahapan pemanenan, pohon moringa (a), buah moringa matang dan kering (b), biji buah moringa (c), dan biji buah moringa kualitas

baik (d) 23

9. Biji buah moringa sebelum dikupas (a), setelah dikupas (b), dan

setelah diblender (c) 23

10.Serbuk biji moringa hasil HEM 3x30 menit (a), 4x30 menit (b) 24 11.Foto data hasil SEM 500x (a) dan 10.000x (b) 25 12.Kadar protein terlarut serbuk biji moringa MoM dan MoN 27 13.Profil berat molekul protein pada MoM dan MoN 28 14.Perbandingan dosis MoN dan MoM pada air limbah dan air tanah 31 15.Kadar amonia (NH3-N) pada sampel air sungai dengan penambahan

koagulan MoM, MoN, dan PAC 38

16.Kadar nitrat (NO3-N) pada sampel air sungai dengan penambahan

koagulan MoM, MoN, dan PAC 39

17.Kadar nitrit (NO2-N) pada sampel air sungai dengan penambahan

koagulan MoM, MoN, dan PAC 39

18.Foto Thin Stillage tampak atas (a), tampak samping (b), setelah

terpisah antara cairan dan padatan 42

19. Foto proses pengolahan TS dengan penambahan MoM dan MoN 43 20.Hasil uji HPLC, pengaruh MoN terhadap limbah TS 44 21.Reaksi yang dimungkinkan terjadi antara asam glutamat dengan

Ca(HCO3)2 51


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Cara kerja analisa proksimat dan pengujian kualitas air. 59 2 Prosedur analisis kadar protein (AOAC 1999) 64

3 Metode analisis asam amino 66

4 Contoh Perhitungan 69

5 Diagram alir penelitian penggunaan serbuk biji moringa dalam

air baku 70

6 Standart Operational Precedure IPAL Laboratorium PLT UIN

Jakarta 71

7 Contoh data ukuran serbuk biji moringa hasil uji PSA 75

8 Difaktogram biji moringa hasil uji XRD 76

9 Data kadar mineral pada biji moringa hasil uji XRF 77 10 Data kadar protein dan asam amino dari serbuk biji moringa 78

11 Kromatogram kadar asam amino pada MoN 79

12 Kromatogram kadar asam amino pada MoM 80

13 Foto Instalasi Pengolahan Air Minum( IPAM) PDAM 81 14 Foto tahapan koagulasi dengan metode jar test 82


(20)

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan. Makhluk hidup di muka bumi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan air. Namun demikian, air dapat menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam kondisi yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada isue lingkungan strategis Indonesia disebutkan bahwa pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245.7 juta jiwa, yang semuanya berhak mendapatkan akses air minum (BPPN 2010). Pertumbuhan penduduk terutama di daerah perkotaan lebih tinggi daripada pertumbuhan sarana penyediaan air minum yang ada. Pertambahan penduduk akan meningkat dengan cepat, sementara ketersediaan air sangat terbatas. Penggundulan hutan yang tidak terkendali semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutarna air permukaan mengalami pencemaran yang semakin meningkat akibat limbah domestik, limbah industri dan limbah pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Penyediaan air bersih khususnya air minum, selain kuantitas dan kontinuitasnya, kualitasnya pun harus memenuhi standar yang berlaku. Air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air tersebut. Misalnya kriteria air yang dapat diminum secara langsung, mempunyai kriteria yang berbeda dengan air yang dapat digunakan untuk air baku air minum, air untuk keperluan perikanan dan peternakan dan air untuk keperluan pertanian serta usaha perkotaan, industri dan pembangkit tenaga air.

Penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek penyebab dapat berasal alam, atau dari kegiatan manusia. Air minum yang ideal harus memenuhi beberapa karakteristik, seperti jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung kuman patogen dan segala makhluk hidup yang membahayakan kesehatan manusia, tidak mengandung zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh, tidak meninggalkan endapan pada seluruh jaringan distribusinya, tidak korosif dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya serta meluasnya penyakit bawaan air (Soemirat 2000).

Salah satu cara pengolahan air yang biasa dilakukan adalah melalui proses koagulasi. Proses koagulasi dapat menggunakan bahan koagulan sintetis dan koagulan alami (biokoagulan). Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid karena penambahan bahan sintetik sehingga partikel-partikel tersebut bersifat netral dan membentuk endapan karena adanya gaya gravitasi. Koagulasi secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan, dan penambahan koagulan. Koagulasi merupakan proses pembubuhan koagulan ke dalam air yang akan diolah. Proses koagulasi merupakan destabilisasi koloid dengan adanya pembubuhan koagulan. Bahan koagulan sintetik yang biasa digunakan, diantaranya ferro sulfat (Fe(SO4)),


(22)

alumunium sulfat atau alum (Al2(SO4)3), dan Poly Alumunium Chloride (PAC)

atau (Al2(OH)3Cl3)10.

Metode pemurnian air yang biasa dengan menggunakan bahan koagulan sintetis seperti aluminium sulfat (alum) dan kalsium hipoklorit memiliki beberapa kelemahan, baik dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi. Secara ekonomi, bahan-bahan sintetik tersebut diimpor dan dengan demikian membuat air bersih menjadi relatif mahal. Dari sisi kesehatan, dikhawatirkan penggunaan koagulan sintetis secara terus menerus, bisa berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan dari aspek lingkungan, penggunaan koagulan sintetik dalam jumlah besar dan terus menerus, akan menimbulkan penumpukan sejumlah limbah lumpur sisa pengendapan yang sukar didegradasi, dan bisa mengubah keasaman air dan tanah disekitarnya, sehingga berdampak buruk bagi lingkungan.

Penggunaan koagulan alami atau dikenal dengan biokoagulan, diharapkan bisa mengurangi permasalahan yang timbul akibat penggunaan koagulan sintetik, baik dari sisi ekonomi, sosial terutama bidang kesehatan maupun sisi ekologi. Dari sisi ekonomi, penggunaan biokogulan relatif lebih murah, karena tersedia secara local. Dari sisi kesehatan, penggunaan biokoagulan, tidak menimbukan akumulasi zat yang berbahaya. Dan dari sisi ekologi, lumpur sisa pengolahan yang timbul akibat koagulasi, merupakan lumpur yang netral dan mudah didegradasi. Bahkan lumpur ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk alami.

Penelitian sebelumnya Postnote (2002) menunjukkan penggunaan bahan koagulan sintetis untuk pemurnian air dapat membahayakan kesehatan yang serius jika terjadi kesalahan pada perlakuannya selama proses pengolahan. Laporan ini mempertimbangkan tingginya tingkat aluminium dalam otak adalah faktor yang beresiko menyebabkan penyakit Alzheimer. Bahaya penggunaan aluminium dalam lingkungan secara terus menerus telah dilaporkan. Inti dari laporan adalah adanya keraguan tentang kelayakan memasukkan aluminium ke lingkungan dengan cara penggunaan aluminium sulfat yang terus-menerus sebagai koagulan dalam pengolahan air. Kadar aluminium yang diperbolehkan dalam air untuk keperluan air minum sekitar 0.2 mg/L, sedangkan bagi industri, kadar alumunium perairan yang dianggap baik tidak lebih dari 0.1 mg/L (Effendi 2003).

Selain bahan koagulan sintetis, sebenarnya terdapat bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tropis yang dapat digunakan sebagai koagulan diantaranya adalah biji Moringa oleifera. (Dolcas 2008, Scharwz 2000, HDRA 2002, Rebecca et al. 2006, Postnote 2002, Francis et al. 2009, Mumumi et al. 2013). Penggunaan bahan-bahan alami dari tanaman asli setempat untuk menjernihkan air bukanlah ide yang baru (Sutherland et al. 1994). Diantara tanaman yang telah diuji seperti serbuk biji moringa, biji asam jawa, biji kecipir, dan biji flamboyan, serbuk biji moringa menunjukkan yang paling efektif sebagai koagulan primer untuk pengolahan air dan dapat dibandingkan dengan alum (Hendrawati et al. 2013). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa biji kelor

tidak beracun (Grabow et al. 1985, Luqman et al. 2013) sehingga disarankan untuk digunakan sebagai biokoagulan di negara-negara berkembang.

Berdasarkan penelitian Dolcas 2008; Sahni dan Srivastava 2009; Broin 2002, diketahui beberapa sifat yang menyebabkan biji moringa bisa berfungsi sebagai biokoagulan diantaranya adalah kandungan molekul protein yang cukup tinggi. Protein dengan berat molekul yang rendah ini larut dalam air (Garcia et al. 2010). Ketika biji moringa yang sudah dibuat serbuk dimasukkan ke dalam air


(23)

keruh, protein yang terdapat dalamnya akan mengikat partikulat-partikulat bermuatan negatif yang menyebabkan kekeruhan, seperti lempung, bakteri, abu, dan lain-lain. Sehingga partikulat tersebut mengumpul dan menggumpal menjadi massa yang lebih besar dan akan mengendap ke dasar, selanjutnya jadi mudah untuk dipisahkan antara air dan pengotornya.

Penelitian biji moringa sebagai biokoagulan, yang dipublikasikan antara lain dilakukan oleh: Esti dan Sahar (2000), Schwarz (2000), HDRA the Organic Organization (2002), Dwirianti (2004), Rebecca et al. (2006), Francis et al.

(2009), Garcia et al. (2010), yang melaporkan bahwa biji moringa berpotensi sebagai koagulan pada air tanah atau air limbah. Sedangkan Saulawa et al. (2011) melakukan pengawetan ekstrak biji moringa dengan trona solution sebuah larutan modifikasi yang mengandung garam sodium klorida, supaya daya simpan ekstrak menjadi lebih lama.

Faktor yang mempengaruhi efektivitas serbuk biji moringa sebagai biokoagulan, adalah ukuran serbuk dan senyawa aktifnya. Sharma et al. (2006) melakukan uji perbedaan ukuran partikel terhadap efektivitas serbuk biji moringa sebagai biokoagulan, hasilnya menunjukan ukuran serbuk ukuran kecil (105 mikron) lebih efektif dari pada serbuk ukuran 210 dan 420 mikron. Ketika serbuk biji moringa digunakan sebagai koagulan, senyawa aktif tersebut akan terlarut dalam air dan kemudian bereaksi dengan zat-zat pengotor yang ada dalam air. Ukuran serbuk biji moringa akan berpengaruh terhadap banyaknya senyawa aktif yang terlarut. Semakin kecil ukuran serbuk biji moringa, maka akan semakin banyak senyawa aktif yang terlarut dalam air. Dalam penelitian ini, untuk menguji pengaruh ukuran serbuk yang optimal, maka serbuk biji moringa dibuat variasi ukuran. Variasi ukuran serbuk moringa dikembangkan dari serbuk ukuran kasar sampai mendapatkan serbuk halus ukuran nano partikel. Serbuk kasar Moringa oleifera lolos ayakan 100 mesh dalam hal ini disebut MoM, sedangkan serbuk halus nano partikel dalam hal ini disebut MoN. Harapannya ukuran serbuk yang halus yang dikembangkan melalui nano teknologi lebih efisien dan tetap efektif sebagai koagulan. Sebelum diaplikasikan sebagai biokoagulan dalam proses penjernihan air, maka serbuk biji moringa perlu dikarakterisasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sifat antara MoM dan MoN.

Penggunaan biokoagulan pada pengolahan air diharapkan akanmemberikan keuntungan dibandingkan dengan pengolahan air dengan menggunakan bahan koagulan sintetis karena bersifat alami dan dilaporkan dapat dikonsumsi sehingga lebih aman untuk kesehatan. Biaya penggunaan biokoagulan ini akan lebih murah dibandingkan penggunaan koagulan yang biasa digunakan seperti alum. Biokoagulan yang akan digunakan untuk penjernihan air akan diuji juga efektifitasnya pada proses pengolahan air limbah. Mengingat hal tersebut, perlu penelitian yang bisa menjelaskan efektifitas dari biji moringa dalam memperbaiki kualitas air. Parameter kualitas air yang perlu diteliti diantaranya kekeruhan, daya hantar listrik, perubahan pH dan temperatur, kemampuan menyerap logam, dan kemampuan dalam merunkan muatan mikrobial.


(24)

Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, yang menjadi dasar timbulnya permasalahan adalah proses pengolahan air baku menjadi air bersih memerlukan sejumlah proses perlakuan, diantaranya penambahan koagulan seperti alum dan tawas untuk mengendapkan berbagai kotoran sehingga terpisah dari air bersih. Tetapi penggunaan koagulan sintetik dalam jumlah banyak dan dalam proses yang terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut diantaranya, akan berbahaya bagi kesehatan individu yang mengkonsumsi air hasil olahan, karena dimungkinkan ada bahan koagulan yang masih tersisa, walaupun dalam jumlah kecil.

Permasalahan lainnya, dari sisi ekologi, penggunaan koagulan sintetik akan menghasilkan sejumlah lumpur sisa pengendapan yang akan mencemari lingkungan, karena lumpur tersebut banyak mengandung alum dan senyawa hipoklorit lainnya yang akan berbahaya bagi lingkungan, karena relative sukar didegradasi dan akan mengubah susunan hara tanah dan hara air dari keadaan normal.

Permasalahan lain yang akan timbul dari sisi ekonomi, penggunaan koagulan sintetik secara terus menerus akan menyebabkan ketergantungan pada produsen koagulan sintetik tersebut, yang didapat dengan cara impor dari luar negeri. Dari permasalahan yang diuraikan diatas, diharapkan penggunaan biokoagulan moringa, dapat menguraikan permasalahan yang kompleks menjadi lebih sederhana. Untuk menetapkan kelayakan serbuk biji moringa sebagai biokoagulan, persoalan yang perlu dijawab adalah sebagai berikut.

1. Apakah penggunaan serbuk biji moringa sebagai koagulan alami dapat memperbaiki kualitas air?

2. Berapakah dosis serbuk biji moringa yang optimal untuk memperbaiki kualitas air?

3. Benarkah ukuran nanopartikel serbuk biji moringa lebih efektif sebagai biokoagulan?

4. Bagaimana karakteristik serbuk biji moringa dilihat dari kandungan utama senyawa penyusunnya?

5. Bagaimana gambaran teoritis mekanisme reaksi antara asam amino dari protein biji moringa dengan pengotor dalam air?

Hipotesis

1. Serbuk biji moringa pada ukuran dan dosis optimum memiliki kemampuan sebagai biokoagulan pada pengolahan air.

2. Serbuk nanopartikel biji moringa lebih efektif sebagai biokoagulan dibandingkan dengan serbuk lolos ayakan 100 mesh.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah menelaah pengaruh penggunaan serbuk biji moringa sebagai biokoagulan pada pengolahan air baku, mendapatkan ukuran partikel optimal dan dosis optimal penggunaan serbuk biji moringa untuk


(25)

memperbaiki kualitas air baku. Mengkarakterisasi komposisi senyawa utama yang terdapat dalam biokoagulan serbuk biji moringa. Membandingkan efektivitas penggunaan serbuk biji moringa ukuran nanopartikel sebagai koagulan dengan koagulan sintetik alum atau PAC. Memberi gambaran teoritis mekanisme reaksi yang terjadi, saat serbuk biji moringa berfungsi sebagai koagulan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dan gambaran bahwa serbuk biji moringamemiliki kemampuan sebagai biokoagulan dalam memperbaiki kualitas air tanah untuk menggantikan atau mengurangi koagulan sintetik yang biasa digunakan. Dengan mengetahui karakteristik serbuk biji moringa, diharapkan bisa memberikan gambaran mekanisme reaksi yang terjadi saat terjadi koagulasi antara asam amino dari protein serbuk biji moringa dengan pengotor yang ada dalam air.

Novelty

Novelty atau kebaruan dalam penelitian ini adalah penggunaan serbuk biji moringa ukuran nano sebagai biokoagulan dalam proses penjernihan air, bisa menggantikan penggunaan koagulan sintetik. Penggunaan biokoagulan serbuk biji moringa dapat diterapkan pada skala besar (scale up). Pengujian karakteristik serbuk biji moringa dapat memberi gambaran teoritis mengenai mekanisme reaksi yang terjadi antara serbuk biji moringa dengan pengotor yang ada dalam air.

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam penelitian ini, timbul pemikiran untuk mencari solusinya. Permasalahan pengurangan koagulan sintetik, diselesaikan dengan penggunaan biokoagulan serbuk biji moringa. Permasalahan terbatasnya kesediaan biokoagulan, diselesaikan dengan optimasi ukuran serbuk sampai ukuran nanopartikel dan optimasi konsentrasi. Efektivitas serbuk biji moringa diuji pada berbagai sampel air. Permasalahan komposisi serbuk biji moringa diselesaikan dengan uji karakterisasi. Dengan mengetahui karakteristik serbuk biji moringa dan uji aplikasinya dalam skala besar (scale up) sebagai biokoagulan, diharapkan penggunaan biokoagulan moringa ukuran nanopartikel, dapat dijadikan alternatif penggunaan koagulan dalam proses penjernihan air. Kerangka pemikiran merujuk pada Gambar 1.


(26)

(27)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Air

Pengertian pencemaran air didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Definisi pencemaran air mengacu pada definisi lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (PPRI 1990). Definisi pencemaran air juga dikemukakan dalam beberapa buku diantaranya adalah “Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Walau fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi, dan sebagainya juga mengakibatkan perubahan yang besar terhadap kualitas air, hal ini tidak bisa dianggap sebagai pencemaran air” (Soemirat 2000) dan “Pencemaran air adalah terjadinya perubahan komposisi atau kondisi yang diakibatkan oleh adanya kegiatan atau hasil kegiatan manusia sehingga secara langsung maupun tidak langsung air menjadi tidak layak atau kurang layak untuk semua fungsi atau tujuan pemanfaatan sebagaimana kewajaran air yang dalam keadaan alami” (Parmamin 2007). Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair.

Persyaratan kualitas air tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 146 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Sementara temperaturnya sebaiknya sejuk dan tidak panas. Penyimpangan terhadap parameter ini menunjukkan bahwa air tersebut telah terkontaminasi bahan lain yang mungkin berbahaya bagi kesehatan manusia. Parameter kimia, air haruslah bebas dari beberapa logam berat yang berbahaya seperti besi (Fe), seng (Zn), air raksa (Hg), dan mangan (Mn). Air dengan kualitas yang baik memiliki pH 6-8 dan tidak mengandung zat-zat kimia pencemar yang kadarnya melebihi ambang batas yang diizinkan. Air yang terkontaminasi umumnya bisa diketahui dari warna dan baunya. Parameter mikrobiologis, dalam parameter mikrobiologis hanya dicantumkan Coli tinja, dan total koliform. Bila mengandung Coli tinja berarti air tersebut tercemar tinja. Tentu saja tinja dari penderita sangat potensial menularkan penyakit, diantaranya tifus. Sementara jika tercemar total koliform, air itu dapat mengakibatkan penyakit-penyakit saluran pernapasan. Air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air tersebut. Misalnya kriteria air yang dapat diminum secara langsung (air kualitas A) mempunyai kriteria yang berbeda dengan air yang dapat digunakan untuk air baku air minum (kualitas B) atau air kualitas C untuk keperluan perikanan dan perternakan dan air kualitas D untuk keperluan pertanian serta usaha perkotaan, industri, dan pembangkit tenaga air (Achmad 2004).


(28)

Sumber Pencemaran Air

Banyak penyebab pencemaran air, tetapi secara umum sumbernya dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, rumah tangga dan sebagainya. Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah atau dari atmosfir yang masuk melalui hujan.

Pada dasarnya sumber pencemaran air berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. Air mempunyai sifat pelarut yang sangat baik, dalam perjalanan siklusnya banyak melarutkan zat-zat padat, garam-garam, dan gas-gas. Jenis pencemar air yang mungkin ada, antara lain seperti padatan tersuspensi, padatan koloid, padatan terlarut, dan cairan yang tidak dapat bercampur (Warlina 2004).

Kualitas Air

Secara umum parameter kualitas air dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu: parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Berikut adalah beberapa parameter kualitas air.

Temperatur

Temperatur air bersih maksimum yang diperoleh adalah yang memiliki temperatur sama dengan temperatur udara. Khususnya untuk perairan, karena temperatur mempengaruhi kualitas kehidupan akuatik. Temperatur adalah suatu ukuran bagaimana dingin atau panasnya air. Parameter temperatur penting untuk diketahui karena mempengaruhi jumlah oksigen terlarut (DO) yang ada dalam air dimana oksigen ini dibutuhkan oleh mikroorganisme yang hidup di dalam air. Peningkatan temperatur juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu pada badan air salah satunya dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran, serta kedalaman badan air (Effendi 2003).

Perubahan temperatur berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Temperatur sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan. Berdasarkan peranan tersebut, temperatur air dapat mempengaruhi kehidupan biota air yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air (Achmad 2004).

Konduktivitas

Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) air dalah kemampuan larutan untuk menghantarkan arus listrik yang dinyatakan dalam μmhos/cm dan atau

mikroSicmens (μS). Arus listrik dialirkan oleh ion-ion dalam larutan, oleh karena itu konduktivitas meningkat apabila konsentrasi ion meningkat. Konduktivitas diukur dengan elektroda konduktometer. Keberadaan ion-ion bebas dari garam


(29)

yang terionisasi dapat menghantarkan listrik dalam air. Asam, basa, dan garam merupakan konduktor yang baik, sedangkan bahan organik merupakan bukan penghantar listrik yang baik seperti benzene dan sukrosa tidak mengalami ionisasi di dalam air (Mackereth 1989).

Konduktivitas atau daya hantar listrik adalah sifat menghantarkan listrik dalam air. Konduktivitas merupakan gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, oleh karena itu semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, maka akan semakin tinggi nilai daya hantar listriknya. Penentuan daya hantar listrik pada dasarnya adalah pengukuran kemampuan sampel air untuk menghantarkan arus listrik. Kemampuan sampel air untuk menghantarkan arus listrik berhubungan erat dengan konsentrasi total zat terionisasi dalam air. Pada umumnya senyawa anorganik terlarut dalam air ditemukan dalam bentuk ion-ion. Bentuk ion-ion tersebut akan menghantarkan aliran listrik dan bergerak kearah elektroda-elektroda yang dicelupkan pada larutan tersebut. Ion-ion yang bermuatan negatif akan bermigrasi kearah elektroda positif (Sihombing 2002).

Dalam Boyd (1982) disebutkan, air suling memiliki nilai daya hantar listrik sekitar 1 µS/cm, sedangkan perairan alami sekitar 20-1500 µS/cm. Perairan laut memiliki nilai daya hantar listrik yang sangat tinggi karena banyak mengandung garam terlarut. Nilai daya hantar listrik untuk jenis air laut berkisar antara 45000-55000 µS/cm (Tancung et al. 2007). Air yang layak konsumsi bagi manusia bukan air murni tanpa ion terlarut, tapi air murni dengan sifat konduktivitas pada taraf wajar. Karena sifat konduktivitas wajar ini diperlukan bagi metabolisme tubuh kita. Pengukuran daya hantar listrik sampel air dapat diukur menggunakan

conductimeter. Satuan yang digunakan adalah µmhos/cm atau µSiemens/cm, kedua satuan tersebut setara (Mackereth dan Talling 1989). Daya hantar listrik (DHL) atau konduktifitas untuk air konsumsi berkisar antara 88.7–111.8 µS/cm (Sayed 2009).

Kekeruhan atau Turbidity

Turbidity adalah sesuatu yang digunakan untuk mendefinisikan seberapa jernih air yang diamati. Kejernihan adalah bentuk visual yang mudah dan dapat dikenal oleh mata tapi untuk mengukur air tersebut apakah benar-benar jernih dibandingkan satu dengan yang lainnya diperlukan suatu standar tertentu dan alat tertentu untuk mengukurnya (Asril et al. 2006). Standar yang sering digunakan dalam pengukuran kejernihan air adalah nephelometric mengacu pada bagaimana cahaya dipantulkan oleh material suspensi dalam air.

Nilai pH

Nilai pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Keasaman adalah konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air. Nama pH berasal dari potential of

hidrogen. Penentuan pH merupakan salah satu yang terpenting dan sering digunakan dalam pengujian kimia air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti aktivitas biologis misalnya pada aktivitas fotosintesis dan respirasi organisme yang hidup di dalam perairan.


(30)

Dissolve Oxygen (DO) dan Biochemical Demand (BOD)

Pada temperatur kamar, jumlah oksigen terlarut dalam air adalah sekitar 8 mg/L. Kelarutan oksigen di air tawar lebih tinggi daripada air asin, karena sumber oksigen terlarut dekat permukaan, konsentrasi oksigen akan turun dengan makin dalamnya air (Hadisubroto 1989). Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas (Salmin 2005).

Penguraian bahan organik secara biologis di alam melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu

prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi selama

pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktivitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan temperatur. Selama pemerikasaan BOD, temperatur harus diusahakan konstan pada temperatur 20 ºC yang merupakan temperatur umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya di

laboratorium, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa itu presentase reaksi cukup besar dari total BOD (Salmin 2005). Dalam waktu 20 hari, oksidasi mencapai 95-99% sempurna dan dalam waktu 5 hari seperti yang umum digunakan untuk mengukur BOD yang kesempurnaan oksidasinya mencapai 60-70 % (Achmad 2004).

Kontaminasi Mikrobiologi

Ada batas-batas kandungan mikrobiologi pada air yang kita minum sehingga masih dapat diterima sistem kekebalan tubuh manusia yang akan melatih tubuh dalam membentengi diri dari penyakit. Tapi jika melebihi batas tersebut, dan bahkan mungkin pada jenis mikrobiologi tertentu dimana sistem kekebalan tubuh rentan dan tak mampu untuk mengakomodasinya, cemaran ini bisa sangat membahayakan bagi manusia.

Parameter mikrobiologis untuk pengolahan air bersih salah satunya yaitu uji kandungan koliform dengan metode Most Probable Number (MPN). Adanya bakteri koliform di dalam air menunjukkan kemungkinan adanya bakteri pathogen yang berbahaya bagi kesehatan (Fardiaz 1989). Untuk mengetahui jumlah koliform di dalam sampel bisa digunakan metode MPN. Pemeriksaan kehadiran bakteri coli dari air dilakukan berdasarkan penggunaan medium kaldu laktosa yang ditempatkan di dalam tabung durham yang letaknya terbalik, digunkan untuk menangkap gas yang terjadi akibat fermentasi laktosa menjadi asam dan gas. Metode ini lebih baik dibandingkan dengan metode cawan karena lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah yang sangat rendah di dalam sampel uji.

Pendekatan untuk enumerasi bakteri hidup adalah dengan metode MPN. MPN didasarkan pada metode statistik (teori kemungkinan). Metode MPN ini umumnya digunakan untuk menghitung jumlah bakteri pada air khususnya untuk mendeteksi adanya bakteri koliform yang merupakan kontaminan utama sumber


(31)

air minum. Ciri-ciri utamanya, yaitu bakteri gram negatif, batang pendek, tidak membentuk spora, memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas CO2 yang

dideteksi dalam waktu 24 jam inkubasi pada 37 ºC. Sampel ditumbuhkan pada seri tabung sebanyak 3 atau 5 buah tabung untuk setiap kelompok. Apabila dipakai 3 tabung disebut seri 3, dan jika dipakai 5 tabung maka disebut seri 5.

Media yang digunakan adalah Lactose Broth yang memiliki komposisi Beef extract (3 g), peptone (5 g), lactose (10 g) dan Bromthymol Blue (0,2 %) per liternya. Pemberian sampel pada tiap seri tabung berbeda-beda. Untuk sampel sebanyak 10 mL ditumbuhkan pada media LBDS (Lactose Broth Double Strength), untuk sampel 1 mL dan 0,1 mL dimasukkan pada media LBSS (Lactose Broth Single Strength). Pada proses pengujiannya, media yang telah dimasukkan kedalam tabung, diberi indikator perubahan pH dan dimasukkan tabung Durham yang berfungsi untuk memerangkap gas CO2 yang terbentuk (Pelczar dan Chan

1985).

Berdasar sifat koliform, maka bakteri ini dapat memfermentasikan laktosa menjadi asam dan gas CO2 yang dideteksi oleh berubahnya warna dan gas dalam

tabung Durham. Nilai MPN ditentukan dengan kombinasi jumlah tabung positif (asam dan gas) tiap serinya setelah diinkubasi. Salah satu zat aktif (active agent) yang terkandung dalam biji moringa yaitu 4α L-ramnosiloksi-benzil-isotiosianat yang memiliki aktivitas anti mikroba (Grabow 1985). Oluduro dan Aderiye (2007) melakukan penelitian Biji Moringa oleifera sebagai antibakteri. Bakteri jenis S. faecalis dan P. aerugenosa yang di biakkan pada air, tidak mengalami pertumbuhan kembali setelah ditambahkan serbuk biji Moringa oleifera.

Koagulasi

Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid karena penambahan bahan sintetik tertentu sehingga partikel-partikel tersebut bersifat netral dan membentuk endapan karena adanya gaya gravitasi. Koagulasi secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan, dan penambahan koagulan. Salah satu cara pengolahan air adalah melalui proses koagulasi. Pemisahan koloid dapat dilakukan dengan cara penambahan koagulan sintetik ataupun koagulan alami yang diikuti dengan pengadukan lambat pada sehingga menyebabkan penggumpalan partikel-partikel koloid yang kemudian sebagian besar dapat dipisahkan dengan sedimentasi (Tebbut 1982). Proses koagulasi dapat menggunakan bahan koagulan sintetis dan alami. Proses koagulasi merupakan proses destabilisasi koloid dengan adanya pembubuhan koagulan. Bahan koagulan dapat berupa sintetik seperti ferro sulfat (FeSO4),

alumunium sulfat atau alum (Al2(SO4)3), dan Poly Alumunium Chloride (PAC)

(Al2(OH)3Cl3)10. Al3+ dari PAC dan Al2(SO4)3 akan bereaksi dengan OH-

membentuk Al(OH)3 yang mudah mengendap (Dhallawati 2000).

Selain bahan kimia sintetis, terdapat bahan-bahan alami yang bisa berasal dari tumbuh-tumbuhan tropis yang dapat digunakan sebagai koagulan diantaranya adalah biji moringa (Moringa oleifera). Berbagai penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa biji moringa merupakan biokoagulan yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisika-kimia air limbah.


(32)

Koagulan

Koagulan sintetik adalah garam logam yang bereaksi dengan air yang bersifat alkali (basa) untuk menghasilkan flok logam hidroksida yang tidak larut, dimana flok yang terbentuk tidak dapat digolongkan sebagai partikel koloid. Pengendapan yang baik adalah terbentuknya flok-flok yang menghasilkan padatan yang dapat turun. Koagulan sintetik yang sering digunakan untuk pengolahan air adalah alumunium sulfat (alum) Al2(SO4)3. Untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O,

ketika penambahan koagulan kedalam air kotor disertai dengan pengadukan cepat, Al2(SO4)3 segera bereaksi dengan natural alkalinity (Arifina 2007).

Tawas/Alum

Tawas atau alum adalah suatu senyawa alumunium sulfat dengan rumus kimia Al2(SO4)3.18H2O (Jalaluddin dan Toni 2005). Semakin banyaknya dosis

tawas yang ditambahkan menyebabkan pH makin turun, karena dihasilkannya asam sulfat sehingga perlu dicari dosis tawas optimum yang harus ditambahkan. Untuk pengaturan (menaikan) pH biasanya ditambahkan larutan kapur Ca(OH)2

atau soda abu (Na2CO3) (Indriyati 2006).

Koagulasi dengan penambahan koagulan tawas akan menghasilkan reaksi kimia dimana muatan-muatan negatif yang saling tolak menolak disekitar partikel terlarut berukuran koloid akan ternetralisasi oleh ion-ion positif dari koagulan dan akhirnya partikel-partikel koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok. Protein dalam biji moringa akan bereaksi mirip dengan alum. Partikel koloid umumnya memiliki muatan sejenis, maka terjai gaya tolak-menolak. Supaya suspensi koloid tidak stabil maka diperlukan muatan yang berlawanan dengan partikel koloid sehingga dapat terjadi gaya tarik-menarik. Penambahan suatu koagulan akan mengurangi gaya tolakan elektrostatik sehingga larutan koloid tidak stabil dan akan terjadi pengendapan koloid. Penetralan dari muatan ini merupakan tujuan utama dari suatu proses koagulasi.

Mekanisme Koagulasi Protein

Koloid berasal dari kata “colla” (Yunani) artinya lengket/lem, karena nampak seperti lapisan film atau bentuk gelatin. Partikel-partikel koloid umumya berasal dari pasir, tanah liat, sisa tanaman, ganggang, zat organik dan lain-lain. Koloid adalah partikel yang tidak dapat mengendap secara alami. Dengan penambahan suatu pereaksi kimia yang disebut koagulan maka akan membuat keadaan partikel menjadi tidak stabil. Di dalam sistem koloid terdapat dua jenis gaya, yaitu gaya Van Der Waals dan gaya tolakan elektrostatik. Stabilitas suspensi koloid tergantung pada kesetimbangan gaya tarik dan gaya tolak. Gaya tolakan elektrostatis yang lebih besar daripada gaya Van Der Waals akan meningkatkan stabilitas suspensi koloid (Pararaja 2008).

Partikel-partikel koloid memiliki muatan sejenis, maka terjadi gaya tolak-menolak yang mencegah partikel-partikel koloid bergabung dan mengendap akibat gaya gravitasi. Muatan koloid juga berperan besar dalam menjaga kestabilan koloid. Apabila dalam larutan ditambahkan larutan yang berbeda muatan dengan sistem koloid, maka sistem koloid itu akan menarik muatan yang berbeda tersebut sehingga membentuk lapisan. Adanya lapisan ini menyebabkan secara keseluruhan bersifat netral. Jika partikel-partikel koloid tersebut bersifat


(33)

netral, maka akan terjadi penggumpalan dan pengendapan karena pengaruh gravitasi. Proses penggumpalan dan pengendapan ini disebut koagulasi.

Energi yang dimiliki koloid adalah jumlah dari energi Van Der Waals dan energi elektrostatik. Supaya suspensi koloid tidak stabil maka perlu untuk melawan energi yang dibawa oleh koloid. Penambahan suatu koagulan akan mengurangi gaya tolakan elektrostatik sehingga larutan koloid tidak stabil dan akan terjadi pengendapan koloid. Penetralan dari muatan ini merupakan tujuan utama dari suatu proses koagulasi.

Energi listrik yang dimiliki oleh suspensi koloid disebut zeta potensial, energi ini terdapat di permukaan luar partikel flok. Muatan partikel ini saling tolak menolak satu dengan yang lainnya. Tujuan penambahan koagulan adalah untuk mereduksi gaya tolakan elektrokinetik antar partikel. Penambahan ion positif dari koagulan pada koloid yang bermuatan negatif, misalnya partikel tanah, akan mengurangi tolakan langsung dimana gaya Van Der Waals akan ditiadakan dan partikel akan mengendap. Tebbut (1982) menyatakan reaksi yang berlangsung untuk memisahkan warna dengan proses koagulasi sangat tergantung pada pembentukan endapan dari kombinasi zat organik dan anorganik terlarut dengan koagulan, sehingga terdapat hubungan antara intensitas warna dan dosis koagulan yang diperlukan untuk pemisahan warna. Partikel-partikel yang ada dalam air akan terdestabilisasi kemudian terflokulasi, flok yang terbentuk akan memisahkan kekeruhan akibat koloid dalam air

Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi

Gaya antar molekul yang diperoleh dari agitasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap laju terbentuknya endapan. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan proses koagulasi adalah pengadukan, keadaan ini memberi kesempatan partikel melakukan kontak atau hubungan agar membentuk penggabungan (agglomeration). Dalam pengolahan air, untuk mencapai proses koagulasi yang optimum diperlukan pengaturan semua kondisi yang saling berkaitan dan mempengaruhi proses tersebut. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi antara lain adalah pH, suhu, konsentrasi koagulan dan pengadukan.

a. pH

Suatu proses koagulasi dapat berlangsung secara sempurna jika pH yang digunakan berada pada jarak tertentu sesuai dengan pH optimum koagulan yang digunakan.

b. Suhu

Proses koagulasi dapat berkurang pada suhu rendah kerena peningkatan viskositas dan perubahan struktur agregat menjadi lebih kecil sehingga dapat lolos dari saringan, sedangkan pada suhu tinggi yang mempunyai kerapatan lebih kecil akan mengalir ke dasar kolam dan merusak timbunan lumpur yang sudah terendap dari proses sedimentasi.

c. Konsentrasi koagulan

Konsentrasi koagulan sangat berpengaruh terhadap tumbukan partikel sehingga penambahan koagulan harus sesuai dengan kebutuhan untuk membentuk endapan. Jika konsentrasi koagulan kurang mengakibatkan tumbukan antar partikel berkurang sehingga mempersulit pembentukan endapan. Begitu juga sebaliknya jika konsentrasi koagulan terlalu banyak maka endapan tidak terbentuk dengan baik dan dapat menimbulkan kekeruhan kembali.


(34)

d. Pengadukan

Pengadukan yang baik diperlukan untuk memperoleh koagulasi yang optimum. Pengadukan terlalu lamban mengakibatkan waktu pertumbuhan endapan menjadi lama, sedangkan jika terlalu cepat mengakibatkan endapan yang terbentuk akan pecah kembali (Pararaja 2008).

Kelor (Moringa oleifera)

Moringa oleifera di Indonesia dikenal sebagai kelor, marongghi, moringa,

celor, kelor, kawona, motong dan barunggai. Pohon kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai akar yang kuat. Batang pokoknya berwarna kelabu. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang. Buahnya berbentuk seperti kacang panjang berwarna hijau dan keras serta memiliki panjang 120 cm. Bunga kelor berupa malai yang keluar dari ketiak daun, sedangkan buahnya menggantung sepanjang 20-45 cm dan isinya sederetan biji bulat, tetapi bersayap tiga (Schwarz 2000).

Klasifikasi

Kingdom : Plantae Ordo : Brassicales Family : Moringaceae Genus : Moringa

Species : M. oleifera

Budidaya tanaman Moringa atau kelor tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit dan dapat tahan pada musim kering yang panjang. Cepat tumbuh sampai ketinggian 4-10 meter, berbunga, dan menghasilkan buah dalam waktu kurang lebih 2 tahun sejak ditanam. Tanaman tersebut tumbuh cepat baik dari biji maupun dari stek, juga dapat tumbuh pada lahan yang gersang dan tidak subur. Sehingga baik bila dikembangkan di lahan-lahan kritis (Awaludin dan Panjaitan 2011). Tanaman kelor ini bermanfaat dan berkhasiat sebagai obat tradisional, karena mengandung beberapa zat kimia untuk menyembuhkan penyakit. Daun kelor mengandung alkaloid moringin, moringinan, dan pterigospermin. Kemudian gomnya mengandung arabinosa, galaktan, asam glukonat dan ramnosa, sedangkan bijinya mengandung asam palmitat, strearat, linoleat, oleat dan lignoserat. Biji

Moringa oleifera dengan kulitnya dan tanpa kulitnya dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2 Pohon Moringa oleifera


(35)

Gambar 3 Biji Moringa oleifera dan kulitnya (a), dan biji

Moringa oleifera tanpa kulit (b).(Koleksi pribadi).

Secara tradisional, kegunaan biji Moringa oleifera pada pengolahan air skala rumah tangga telah dilakukan di beberapa wilayah pedalaman di Sudan. Wanita-wanita di daerah tersebut yang mengambil air dari Sungai Nil, memasukkan serbuk Moringa oleifera dalam kantong kecil yang terbuat dari kain. Kantong ini kemudian dicelupkan dan diputar dalam wadah yang berisi air keruh dari Sungai Nil yang mereka ambil.

Perbandingan Efektivitas Biji Moringa dengan Biokoagulan lain

Biji Moringa oleifera mengandung molekul protein larut air dengan berat molekul yang rendah. Protein ini akan bermuatan positif jika dilarutkan dalam air. Fungsi protein akan bekerja seperti bahan sintetik yang bermuatan positif dan dapat digunakan sebagai koagulan polimer sintetik (Garcia et al. 2010). Ketika

Moringa oleifera yang sudah diolah (serbuk) dimasukkan kedalam air kotor, protein yang terdapat dalam Moringa oleifera akan mengikat partikulat-partikulat yang bermuatan negatif, partikulat ini menyebabkan kekeruhan. Efektivitas biokoagulan moringa telah dibandingkan dengan biokoagulan lain seperti biji asam jawa dan biji kecipir. Hasilnya menyebutkan bahwa biji moringa merupakan biokoagulan yang paling efektif (Hendrawati et al. 2013).

Tabel 1 Perbandingan efektivitas biji moringa dengan biokoagulan lain

Hendrawati et al. 2013.

Parameter Tawas Biji Kelor Biji Asam Jawa Biji Kecipir

Temperatur (oC) Normal normal Normal Normal

Dosis Optimum (ppm) 100 ppm 80 ppm 90 ppm 300 ppm

pH 7 menjadi 5 6 menjadi 7 Optimum 3 Optimum 3

Kekeruhan (FTU) Menurunkan

89 % Menurunkan 97 % Menurunkan 99 % Menurunkan 92 %

Daya Hantar Listrik Tidak

berpengaruh

Menurunkan 10 s. d. 15 %

Menurunkan 3 s.d. 5 %

Menurunkan 12 s.d.26 %

MPN (unit/100ml) Turun dari 28

ke 20

Turun dari 28 ke 11

Turun dari 23 ke 10

Naik dari 9 ke 75

BOD (mg/L) 6.2 5.2 1.59 11.5

Kadar logam ( Cd, Cr, dan Mn) dari 6 mg/L

Menurunkan 98%

Menurunkan 100%

- -


(36)

Kondisi kecepatan pengadukan yang tepat, partikulat-partikulat bermuatan negatif yang sudah terikat, ukurannya akan membesar dan membentuk flok. Flok ini bisa diendapkan dengan gravitasi atau dihilangkan dengan filtrasi. Seperti koagulan lainnya, kemampuan biji moringa (Moringa oleifera) untuk menjernihkan air dapat bervariasi, tergantung dari keadaan air yang akan diproses. Efektifitas koagulasi oleh biji moringa ditentukan oleh kandungan protein kationik bertegangan rapat dengan berat molekul sekitar 6.5 kilodalton. Elusi NaCl pada pengujian elektroforesis terhadap protein yang terkandung dalam

Moringa oleifera menunjukkan kandungan protein ini 79.3 % bersifat kationik dan 20.7 % bersifat anionik (Sahni dan Srivastava 2008).

Potensial zeta larutan 5% biji moringa tanpa kulit adalah sekitar +6 mV. Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi oleh tegangan positif meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks. Potensial zeta air limbah adalah sekitar -46 mV. Akibatnya, koagulasi partikel tersuspensi dengan biji moringa dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik (Broin et al. 2002).

Jar Test

Pada penelitian ini, metode jar test digunakan pada saat uji pendahuluan. Selanjutnya jika kondisi optimum sudah didapatkan, metode yang digunakan adalah skale up dari metode jar test. Jar Test ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kinerja koagulasi dan flokulasi secara simulasi di laboratorium asalkan air yang dilakukan simulasi dengan jar test ini adalah air yang benar-benar akan dilakukan pengolahan di lapangan.

Uji koagulasi dilaksanakan untuk menentukan dosis bahan-bahan kimia, dan persyaratan yang digunakan untuk memperoleh hasil yang optimum. Variabel-variabel utama yang dikaji sesuai dengan yang disarankan, termasuk bahan kimia pembantu, pH, temperatur, dan kondisi campuran. Peralatan yang diperlukan terdiri dari batang pengaduk, gelas kimia, rak pereaksi bahan kimia dan bahan pembantu yang digunakan untuk larutan dan suspensi pengujian. Tersedia juga alat yang terintegrasi dan lebih modern yang diperuntukkan khusus pengujian dengan metode jar test, untuk metode jar test dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Proses Jar Test


(37)

Jar Test secara subyektif masih merupakan uji yang paling banyak digunakan dalam mengontrol koagulasi dan tergantung semata-mata kepada penglihatan kita (secara visual) untuk mengevaluasi suatu interpretasi/tafsiran. Penambahan garam aluminium atau garam besi, akan menurunkan pH air, disebabkan oleh reaksi hidrolisa garam tersebut. Koagulasi optimum bagaimanapun juga akan berlangsung pada nilai pH tertentu (pH optimum), dimana pH optimum harus ditetapkan dengan jar test (Pararaja 2008).

Nano Koagulan

Kemampuan biokogulan serbuk biji moringa, yang melebihi dibandingkan dengan kemampuan koagulan sintetik, sudah banyak yang dibuktikan melalui berbagai macam penelitian, baik pada proses penjernihan air baku untuk air minum, maupun untuk pengelolaan air limbah. Tapi keberadaan serbuk biji moringa yang terbatas, mendorong untuk pengembangan penelitian lanjutan. Tentu saja budidaya merupakan salah satu cara yang paling sesuai, supaya ketersediaan biji moringa tetap terjaga. Hal lain yang bisa dijadikan alternatif guna mengatasi permasalahan keberadaan biji moringa yang terbatas, adalah dengan cara meningkatkan efektivitasnya. Salah satu cara adalah dengan memperkecil ukuran partikel serbuk biji moringa, sampai ukuran nano partikel. Diharapkan dengan ukuran yang sangat kecil ini, serbuk biji moringa bisa lebih efektif sebagai biokoagulan.

Modifikasi fisik pada biokoagulan mencakup perubahan ukuran partikel atau butir koagulan biji moringa menjadi lebih kecil. Perkembangan modifikasi fisik mengarah ke bentuk nanopartikel. Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang digunakan. Perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dilakukan dengan metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode sonokimia. Metode ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan nano partikel yang terbaik diantara ketiga metode tersebut agar nano koagulan yang dihasilkan memiliki stabilitas konstan, berukuran partikel terkecil, berkualitas baik, serta mendapatkan metode yang paling sederhana dalam pembuatannya.

Nanopartikel dari bahan polimer yang biodegradable dan kompatibel merupakan salah satu perkembangan baik. Aplikasi nanoteknologi membuat revolusi baru dalam dunia industri dan diyakini pemenang persaingan global di masa yang akan datang adalah negara-negara yang dapat menguasai nanoteknologi. Ruang lingkup nanoteknologi meliputi usaha dan konsep untuk menghasilkan material atau bahan berskala nanometer, mengeksplorasi dan merekayasa karakteristik material atau bahan tersebut, serta mendesain ulang material atau bahan tersebut ke dalam bentuk, ukuran dan fungsi yang diinginkan. Pada penelitian ini, serbuk biji moringa ukuran nano dibuat melalui proses penggilingan secara fisik. Alat yang digunakan yaitu blender dan HEM.


(38)

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2012 – Mei 2015. Penelitian karakterisasi biji moringa dan penentuan dosis optimum serta aplikasi pada air limbah laboratorium dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembuatan serbuk biji moringa ukuran nano dilakukan di laboratorium nanoteknologi BATAN Puspitek Serpong. Uji kadar asam amino dilakukan di laboratorium PLT IPB. Analisa ukuran serbuk dilakukan di laboratorium Nanotech Masyarakat Nano Indonesia (MNI) Puspitek Serpong. Aplikasi biokoagulan pada air baku dilakukan di laboratorium PDAM Tirta Tangerang. Aplikasi biokoagulan pada air limbah pabrik bioetanol dan karakterisasinya dilakukan di laboratorium kimia Universitas Boras Swedia.

Bahan dan Alat Bahan dan Alat untuk Karakterisasi Biji Moringa

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan uji (sampel) dan bahan kimia. Bahan uji adalah air tanah dan air limbah tekstil, yang diambil dari wilayah Tangerang, serta biji Moringa oleifera yang diambil dari daerah Tangerang. Bahan kimia yang digunakan adalah koagulan sintetik (Poly Alumunium Chloride (PAC) dan alum) merek Kuriflock konsentrasi 100 mg/L; bahan untuk uji kadar protein Metode Kjeldhal; bahan untuk uji kadar lemak; bahan untuk uji MPN, berbagai pereaksi untuk uji kualitas air sesuai prosedur PDAM; dan pereaksi SDS PAGE.

Alat-alat yang digunakan adalah pH meter (Myron L ARH1), thermometer digital, conductymeter (Myron L ARH1), turbidity meter (HANNA Instrument),

Water Quality Cheker (WQC). High Electro Milling (HEM), Scanning Electron Microscope (SEM), X-Ray Fluoresence (XRF), Particle Size Analyzer (PSA),

High Performance Liquid Chromatoghrafi (HPLC) dan X-Ray Diffraxion (XRD).

Bahan dan Alat untuk Aplikasi Biji Moringa sebagai Biokoagulan

Bahan yang digunakan meliputi bahan uji (sampel) dan bahan kimia. Bahan uji terdiri dari air Sungai Cisadane dan Air Situ Cipondoh yang diambil dari intake air baku PDAM Tangerang. Serbuk MoM (± 2300 nm) dan MoN (± 300 nm) Bahan kimia yang digunakan meliputi bahan komersil untuk uji kualitas air, seperti serbuk indikator ferrover, larutan pereaksi salisilat, serbuk indikator

sulfaver, sebuk indikator nitraver, serbuk indikator nitriver, larutan kalium hidroksida dan bahan lainnya.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat jar test,

pH meter (Myron L ARH1), thermometer digital, conductometer (Myron L ARH1), turbidity meter (HANNA Instrument), UV-Vis Spectrophotometer (Perkin Elmer), magnetic stirrer (Cymarec*2), cuvet, dan alat gelas lainnya.


(39)

Prosedur Analisis Data

Prosedur kerja terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan dan karakterisasi biji moringa, penentuan kondisi optimum, uji efektivitas biji moringa dalam perbaikan kualitas berbagai sampel air pada skala laboratorium, dan uji efektivitas biji moringa dalam perbaikan kualitas sampel air limbah laboratorium pada skala besar (scale up). Uraian prosedur analisis proksimat dan pengujian kualitas air disajikan pada Lampiran 1.

Persiapan dan Karakterisasi Biji Moringa

Buah moringa dipilih yang berkualitas baik dan kering. Selanjutnya kulit biji dikupas. Isi biji moringa kemudian dihaluskan dengan blender dan dilanjutkan dengan digiling dengan HEM sampai didapatkan ukuran nano. Selanjutnya diuji karakteristiknya. Tahapan persiapan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahapan persiapan dan karakterisasi biji moringa

Uji kuantitatif senyawa keseluruhan menggunakan metode analisa proksimat untuk kadar air, kadar lemak, dan kadar protein total. Penentuan aktivitas protein terlarut dengan metode Lowry, sedangkan kadar air dan kadar abu dengan metode gravimetri. Uji berat molekul protein dilakukan dengan metode SDS-Page. Uji ukuran partikel menggunakan SEM, dan Particle Size Analyzer (PSA). Uji kadar persenyawaan logam dengan XRF. Uji kadar asam amino dengan HPLC. Cara kerja analisa kadar protein (AOAC 1999) disajikan pada Lampiran 2, dan metode analisis asam amino disajikan pada Lampiran 3.

Biji kelor dikeringkan

Dihaluskan dengan blender Dihaluskan dengan HEM

Disaring

Lolos 100 mesh (MoM) Nano Partikel (MoN)

Karakterisasi

Diuji dengan PSA atau SEM

Kadar Protein (Lowry methode)

Kadar Lemak (Proximat)

Kadar Air (Gravimetri)

Kadar Abu (Gravimetri)

Uji berat molekul (SDS-Page) methode)


(40)

Penentuan Dosis Optimum dan Aplikasi biokoagulan pada air baku

Metode jar test, digunakan untuk menguji dosis optimum. Koagulan yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam gelas beaker yang berisi 500 mL air sampel. Dicampurkan dan diaduk dengan cepat (150 rpm) selama 5 menit, diikuti dengan pengadukan perlahan (50 rpm) selama 15 menit, dan 30 rpm selama 30 menit. Suspensi dibiarkan selama 1 jam tanpa gangguan. Diambil supernatan dari masing-masing sampel untuk dilakukan pengujian parameter. Alur kerja penentuan kondisi optimum dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Alur kerja penentuan dosis optimum

Setelah parameter diuji, dihitung persentase perubahannya dengan cara :

% Perubahan = N w −NN w r × % (1)

Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4. Setelah didapatkan dosis optimum, biokoagulan diaplikasikan pada berbagai sampel air. Sampel air yang diuji meliputi ais Sungai Cisadane, air Situ Cipondoh, air limbah pabrik bioetanol (Thin Stilage) dan air limbah laboratorium. Diagram alir penggunaan biokoagulan serbuk biji moringa dalam air baku PDAM disajikan pada Lampiran 5.

Uji Efektivitas Biji Moringa pada Skala Besar (Scale up)

Uji efektivitas biji moringa dalam perbaikan kualitas sampel air limbah laboratorium dilakukan pada skala besar (scale up). Semua parameter pengujian diuji coba kembali dengan metode scale up, setelah didapatkan kondisi optimum. Pada Gambar 7 diilustrasikan percobaan pada skala yang lebih besar (scale up).

koagulasi

MoN MoM

Sampel Air

(Parameter Turbiditas, konduktivitas, Temperatur dan pH)

Penentuan dosis optimum


(41)

Gambar 7 Percobaan skala lebih besar (scale up)

Kolam inlet (1) merupakan tempat penampungan limbah. Air limbah akan dialirkan oleh pompa (2) dan diatur dengan flowmeter (3) dengan kecepatan alir 100 ml per detik. Koagulan pada tangki (7) diijeksikan 1 ml per detik. Air limbah dan koagulan pada reaktor koagulasi (4) diaduk oleh pompa mixer (5 dan 6). Campuran air limbah dan koagulan dari reaktor koagulasi akan dialirkan. Residu masuk ke kolam sludge (8), sedangkan cairannya masuk ke kolam sedimentasi (9) supaya pengendapan atau koagulasi pengotor lebih optimal. Air limbah hasil pengolahan dialirkan ke tabung media filter (10), untuk selanjutnya bisa dilepas ke lingkungan. Standar operating procedure IPAL disajikan pada Lampiran 6.


(42)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi dan Penentuan Dosis Optimum Serbuk Biji Moringa oleifera Sebagai Nanobiokoagulan dalam Proses Penjernihan Air.

Proses pengolahan air baku menjadi air bersih, memerlukan sejumlah proses perlakuan, diantaranya penambahan koagulan seperti alum dan PAC untuk mengendapkan berbagai kotoran. Penggunaan koagulan dalam jumlah banyak secara terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan individu yang mengkonsumsi air hasil olahan, karena dimungkinkan ada koagulan yang masih tersisa, walaupun dalam jumlah kecil. Dari sisi ekologi, penggunaan koagulan sintetik akan menghasilkan sejumlah lumpur sisa pengendapan yang akan mencemari lingkungan, karena lumpur tersebut banyak mengandung alum dan senyawa hipoklorit lainnya yang berbahaya bagi lingkungan, karena relatif sukar didegradasi dan akan mengubah susunan hara tanah dan hara air dari keadaan normal. Penggunaan koagulan sintetik secara terus menerus menyebabkan ketergantungan pada produsen koagulan sintetik, yang didapat dengan cara impor dari luar negeri (Amagloh dan Benang 2009).

Selain bahan koagulan sintetis, terdapat bahan koagulan alami (biokoagulan) yang berasal dari tumbuhan tropis yang dapat digunakan sebagai koagulan seperti biji moringa (Moringa oleifera). Diantara tanaman yang telah diuji seperti serbuk biji moringa, biji asam jawa, biji kecipir, dan biji flamboyan, serbuk biji moringa menunjukkan yang paling efektif sebagai koagulan untuk pengolahan air dan dapat dibandingkan dengan alum.

Faktor yang mempengaruhi efektivitas serbuk biji moringa sebagai biokoagulan, adalah kandungan senyawa aktif yang terdapat di dalamnya. Ketika serbuk biji moringa digunakan sebagai koagulan, senyawa aktif tersebut akan terlarut dalam air dan kemudian bereaksi dengan zat-zat pengotor yang ada dalam air. Tentunya ukuran serbuk biji moringa akan berpengaruh terhadap banyaknya senyawa aktif yang terlarut. Semakin kecil ukuran serbuk biji moringa, maka akan semakin banyak senyawa aktif yang terlarut dalam air. Dalam penelitian ini, untuk menguji pengaruh ukuran partikel yang optimal, maka serbuk biji moringa dibuat variasi ukuran. Variasi ukuran serbuk moringa dikembangkan dari serbuk ukuran kasar sampai mendapatkan serbuk halus ukuran nano partikel. Serbuk kasar

Moringa oleifera lolos ayakan 100 mesh dalam hal ini disebut MoM, sedangkan serbuk halus nano partikel dalam hal ini disebut MoN. Harapannya ukuran serbuk yang halus yang dikembangkan melalui nano teknologi lebih efisien dan tetap efektif sebagai koagulan. Sebelum diaplikasikan sebagai biokoagulan dalam proses penjernihan air, maka serbuk biji moringa perlu dikarakterisasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sifat antara MoM dan MoN.

Persiapan Biokoagulan

Biokoagulan dipersiapkan dengan beberapa tahapan yaitu pemanenan, pembuatan Serbuk biji moringa variasi ukuran dengan alat blender dan HEM setelah itu dilakukan analisa ukuran partikel dengan PSA dan SEM. Penanaman pohon moringa sampai berbunga dan berbuah memerlukan waktu sekitar 2 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Awaludin dan


(43)

Panjaitan (2011). Gambar 8 menggambarkan pemanenan buah moringa. Panen buah dilakukan setelah buah moringa tua, ditandai dengan warna kulit buah coklat kehitaman dan mengering. Pemanenan dilakukan saat cuaca panas atau tidak sedang hujan. Hal ini ditujukan supaya buah moringa tidak lembab, sehingga tidak ditumbuhi jamur dan kapang, juga tidak hidup hewan kecil seperti kutu atau sejenis serangga yang biasa hidup dalam biji-bijian.

a b

c d

Gambar 8 Foto tahapan pemanenan, pohon moringa (a), buah moringa matang dan kering (b), biji buah moringa (c) dan biji buah moringa kualitas baik (d).

(koleksi pribadi)

Buah moringa diambil bijinya, dipilih biji yang berkualitas baik dan kering. Selanjutnya kulit biji dikupas untuk mendapatkan isi biji moringa berupa butiran berwarna putih kekuningan. Gambar 9 Isi biji moringa kemudian dihaluskan dengan blender guna mendapatkan serbuk biji moringa.

a b c

Gambar 9 Biji buah moringa sebelum dikupas (a), setelah dikupas (b), dan setelah diblender (c).(koleksi pribadi)


(44)

Penghalusan biji buah moringa menggunakan dua cara. Gambar 10 cara pertama dengan menggunakan Blender Philips HR1757 sehingga didapatkan serbuk biji moringa kemudian diayak dengan ayakan ukuran 100 mesh. Bentuk serbuk kering tidak menggumpal. Selanjutnya diberi kode sampel MoM (Moringa oleifera Mesh partikel). Cara kedua dengan menggunakan blender kemudian dilanjutkan HEM didapatkan serbuk halus ukuran nanometer, selanjutnya diberi kode MoN. Semakin lama waktu penggilingan akan menyebabkan serbuk menjadi menggumpal.

a b

Gambar 10 Serbuk biji moringa hasil HEM 3x30 menit (a), 4x30 menit (b). (koleksi pribadi)

Serbuk biji moringa diuji karakteristiknya meliputi analisa proximat, untuk mengetahui komponen utama penyusun serbuk biji buah moringa.

Ukuran Serbuk Biji Moringa

Ukuran serbuk biji moringa dibuat bervariasi untuk mendapatkan ukuran nano partikel. Penghalusan biji moringa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan cara diblender kering dan lolos ayakan 100 mesh (sampel 1), diblender basah dengan mencampur biji moringa dan aquades 1:1 (sampel 2), diblender dan dilanjutkan digiling menggunakan HEM dengan variasi waktu 1 x 30 menit (sampel 3), 2 x 30 menit (sampel 4), 3 x 30 menit (sampel 5), 4 x 30 menit (sampel 6). Sampel 7 merupakan sampel 6 yang diperlakukan lebih lanjut dengan ultrasonifikasi. Tabel 2 menunjukan tampilan fisik serbuk moringa, ukuran partikel dan polidispersitas indeks yang diukur dengan PSA. Contoh hasil analisa ukuran serbuk, merujuk pada Lampiran 7.

Tabel 2 Ukuran partikel serbuk biji moringa

Sampel moringa Tampilan Fisik Rata-rata Ukuran Partikel

(nm)

Polidispersitas Indeks (PI)

1 Powder 2361.40 0.17

2 Pasta 1956.50 0.81

3 Powder 1811.80 1.54

4 Powder 1297.60 1.92

5 Powder 987.60 1.13

6 Mulai menggumpal 336.50 0.96

7 Menggumpal dan

membentuk Gel

326.40 1.15


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 13 Foto tahapan koagulasi dengan metode jar test

Sampel air saat akan diaduk (masih keruh)

Sampel air dan koagulan aat diaduk dengan kecepatan tertentu

Sampel air setelah diaduk dan didiamkan selama satu jam (terpisah antara kotoran dan air bersih)


(5)

Lampiran 14 Foto Instalasi Pengolahan Air Minum( IPAM) PDAM Tirta Tangerang

Filter pengolahan air Situ Cipondoh

Tempat proses koagulasi

Bendungan Sungai Cisadane yang dimanfaatkan sebagaiir baku PDAM

Alat kontrol ultrafiltrasi PDAM Tirta Tangerang


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 15 Agustus 1972, dari pasangan H.Solihin Shaleh dan Hj. Siti Djubaedah. Penulis menikah dengan Herdiyanto Wibowo dan dikaruniai tiga orang putra/i, yaitu Hasna Meilia Herdanisa, Haiqal Herdiansyah Putera dan Humaira Maharani Herdarinda. Pendidikan sarjana ditempuh di Program studi Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidikan MIPA IKIP Semarang, sekarang UNNES, lulus pada tahun 1997. Pendidikan magister ditempuh penulis pada jurusan Kimia bidang ilmu hayati Fakultas MIPA Universitas Indonesia, setelah sebelumnya menjalani matrikulasi selama satu tahun. Gelar Magister of Sains (M.Si) didapat pada tahun 2003. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh pada tahun 2010-2013 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) KEMENDIKNAS Republik Indonesia.

Beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan hasil penelitian bagian dari disertasi telah dan akan dipublikasikan, adalah sebagai berikut.

 Karya Ilmiah yang berjudul “Characterization of Physico-Chemical Properties of Nano-Sized Moringa oleifera Seed Powder and Its Application as Natural Coagulant in Water Purification” telah diterbitkan pada Journal of Environment and Earth Science Volume 5 Nomor 21 tahun 2015.

 Laporan hasil penelitian berjudul “ The Use of Moringa oleifera Seed Powder as Coagulant to Improve The Quality of Wastewater and Groundwater”, telah dipresentasikan pada International Seminar on Science of Complex Natural Systems (ISS-CNS) di Bogor pada bulan Oktober 2015.

 Laporan hasil penelitian lain berjudul “Pretreatment of Waste from Bio-ethanol Plan (Thin Stillage) by Coagulation-Filtration Using Moringa oleifera Seeds Nano-powder” telah dipresentasikan dalam The 5th Annual Basic Science International Conference 2015 pada bulan February 2015 di Malang Indonesia.

 Laporan hasil penelitian dengan judul “Penggunaan Serbuk Biji Moringa oleifera Ukuran Nano Sebagai Koagulan Alami dalam Memperbaiki Kualitas Air” sedang dalam proses penerbitan pada jurnal Manusia dan Lingkungan. Penulis bekerja sebagai pengajar dan peneliti di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 2003. Selama mengikuti program S-3, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich Luar Negeri (Prosale 2013-2014) di University of Boras Swedia atas bantuan Kementerian Agama RI.