Uji Aktivitas Antiinflamasi pada Daun Kelor (Moringa oleifera L.) dengan Metode Stabilisasi Membran Sel Darah Merah

(1)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK DAUN

KELOR (Moringa oleifera Lam.) DENGAN METODE

STABILISASI MEMBRAN SEL DARAH MERAH SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

LUTFIANA

NIM : 109102000053

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2013


(2)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK DAUN

KELOR (Moringa oleifera Lam.) DENGAN METODE

STABILISASI MEMBRAN SEL DARAH MERAH SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

LUTFIANA

NIM : 109102000053

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2013


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Lutfiana Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Antiinflamasi pada Daun Kelor (Moringa oleifera L.) dengan Metode Stabilisasi Membran Sel Darah Merah.

Kelor (Moringa oleifera L.) merupakan tanaman yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Analisis fitokimia ekstrak tanaman kelor mengungkapkan adanya kandungan senyawa flavonoid dan senyawa polifenol lain yang diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etanol 70%, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi etanol 50% dari daun kelor menggunakan metode stabilisasi membran sel darah merah. Penghambatan lisis sel darah merah akibat induksi larutan hipotonis digunakan sebagai ukuran aktivitas antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dari ekstrak dan fraksi daun kelor tersebut kemudian dibandingkan dengan standar natriun diklofenak. Hasil uji aktivitas antiinflamasi menggunakan metode stabilisasi membran sel darah manusia berdasarkan perhitungan % stabilitas menunjukkan bahwa fraksi yang mempunyai aktivitas tertinggi adalah fraksi etil asetat. Kemudian fraksi etil asetat tersebut dibuat beberapa seri konsentrasi (50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm dan 800 ppm dan 1000 ppm) dan dibandingkan dengan kontrol positif berupa Na diklofenak pada konsentrasi yang sama. Diperoleh perlindungan paling efektif dari semua konsentrasi padakonsentrasi 1000 ppm yaitu sebesar 90,575%, sehingga dengan demikian konsentrasi tersebut dikatakan yang paling tinggi/efektif memberikan perlindungan membran sel darah merah yang diinduksi larutan hipotonik. Semakin tinggi konsentrasi stabilisasi yang digunakan maka kemampuan dalam menstabilkan membran sel darah merah yang induksi larutan hipotonik akan semakin meningkat, sehingga dengan demikian aktivitas menstabilkan membran sel darah merah dapat dikaitkan dengan konsentrasi. Hasil ini ditunjang dengan uji statistik ANOVA, yang menyatakan bahwa (P≤0,05) yang artinya terdapat perbedaan yang nyata pada setiap konsentrasi dengan perlakuan.

Kata kunci: Antiinflamasi, Moringa oleifera, Na diklofenak, membran sel darah merah, stabilisasi membran.


(7)

Program Study : Pharmachy

Tittle :Evaluation of Anti-inflammatory Activity of Leaf Extracts of Moringa oleifera L. By Human Red Blood Cell Membrane Stabilisation

Method.

Moringa oleifera L. is widely used in traditional medicine. Pytochemical analysis of M.oleifera plant extracts revealed the presence of various biochemical compounds such as flavonoid anh other poly phenol group which heve remarkable as antiinflamatory. So this study aimed at evaluating in the in vitro anti-inflammatory activity of the ethanol70% extract, n-hexane, ethyl acetate and ethanol 50% fraction from the leaves of M. oleifera by red blood cell membrane stabilization method. The Inhibition of hypotonicity induced Red Blood Cell (RBC) membrane lysis was taken as a measure of the anti inflammatory activity. The potency of the extract was compared with standard diclofenac sodium. Among the three fractions tested, ethyl acetate fraction provided highest stabilization. Then ethyl acetate fraction was made a series of concentrations (50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm and 1000 ppm) and compared with the positive control of diclofenac sodium at the same concentration. The maximum membrane stabilization of ethyl acetat fraction was found to be 90.575% at dose of 1000 ppm ,thus the concentration is in the most high / effective protection of red blood cell membranes induced hypotonic solution. The higher the concentration stabilization used the ability to stabilize the membranes of red blood cells induced hypotonic solution will increase, thus stabilizing the activity of red blood cell membranes can be attributed to the concentration. This result is supported by statistical ANOVA, which states that (P≤ 0.05) which means that there are significant differences in any concentration with treatment.

Keywords: Anti-inflammatory, Moringa oleifera, diclofenac sodium, Human Red Blood Cell (HRBC), membrane stabilization.


(8)

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya, yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada Rosulullah SAW, sosok yang selama ini penulis teladani.

Skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Antiinflamasi pada Daun Kelor (Moringa oleifera L.) dengan Metode Stabilisasi Membran Sel Darah Merah” ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Chairul,Apt sebagai Pembimbing I dan Eka Putri, M.Si, Apt sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya serta memberikan nasehat, arahan dan ilmu terbaik yang mereka miliki.

2. Departemen Agama RI yang telah membiayai penulis selama menjalani pendidikan di jenjang S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah ini..

3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Umar Mansyur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu/Bapak Dosen dan Staff Akademika Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.


(9)

terhingga yang tak akan pernah mampu penulis membalas semua itu. Adik-adik penulis, Nadia Soba dan Muhammad Akbar yang sangat penulis cintai.

7. Laboran yang telah membantu keseharian penulis selama penelitian di laboraturium, teh Ana, teh Lina, ka Lisna dan ka Liken.

8. Teman-teman farmasi angkatan 2009 khususnya teman-teman Edta-C. Terima kasih atas kesempatan mengenal kalian semua.

9. Teman-teman penelitian di LIPI Cibinong, Leliana Nurul Wachidah, Nurul Fithriyah dan Muhammad Arif yang telah berjuang bersama.

10.Teman-teman CSSMoRA 2009, PIM Lovers, Butet, Nuyung, Leli, Omi, Dhea, Dhila, Wali, Lulu, Ziza, Cime, Dyah, Ainul, Nurul, Cucut, Neneng, Cucut, Zaky, Ferry, terima kasih telah menjadi keluarga kedua bagi penulis. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, Kritik dan saran pembaca diharapkan penulis guna perbaikan dimasa mendatang. Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini berguna bagi kita semua, Amin.

Jakarta, 20 September 2013


(10)

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……….. iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iv

ABSTRAK ……… v

ABSTRACT ………. vi

KATA PENGANTAR ………. vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……… ix

DAFTAR ISI ……….… x

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……….... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ……….... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ……….…. 2

1.3. Tujuan Penelitian ………... 3

1.4. Manfaat Hasil Penelitian ……….…... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA……….…… 4

2.1. Moringa oleifera L. ………... 4

2.1.1. Klasifikasi spesies Moringa Oleifera L. ………. 4

2.1.2. Sinonim ……….….. 4

2.1.3. Nama daerah ……….…….. 5

2.1.4. Deskripsi ………. 5

2.1.5. Penyebaran ……….. 6

2.1.6 Kandungan kimia ………. 7

2.1.7. Khasiat ……… 8

2.2. Ekstraksi dan Fraksinasi ………..……… 10

2.2.1. Ekstraksi ………..….….. 10

2.2.2. Fraksinasi Partisi ………...…… 11

2.3. Skrining Fitokimia ………..…..….. 12

2.3.1. Alkaloid ……….…………. 12

2.3.2. Flavonoid ……….………..…. 13

2.3.3. Saponin ……….………….. 13

2.3.4. Tanin ……….………….. 14


(12)

2.2.2. Mekanisme inflamasi ………. 16

2.2.3. Penyebab Inflamasi ……… 18

2.2.4. Tipe inflamasi ………... 19

2.2.5. Mediator inflamasi ……… 20

2.4. Obat Antiinflamasi ……….. 23

2.4.1. Obat antiinflamasi Steroid ………. 23

2.4.2. Obat antiinflamasi Non steroid ……….. 24

2.5. Uji Aktivitas Antiinflamasi ……… 25

2.5.1. Metode stabilisasi membran sel darah merah manusia 25

2.6. Spektrofotometer UV-VIS………... 26

BAB 3. METODE PENELITIAN………... 29

3.1. Lokasi dan Waktu ………... 29

3.2. Bahan ……….. 29

3.2.1. Bahan uji ……….. 29

3.2.2. Bahan kimia ………. 29

3.3. Alat ………. 30

3.4. Prosedur Kerja ……… 30

3.4.1. Penyiapan simplisia ………... 30

3.4.2. Ekstraksi ……… 30

3.4.3. Fraksinasi bertingkat denan metode partisi cair-cair …… 31

3.4.5 Uji aktivitas anti inflamasi metode stabilisasi membran eritrosit 32 3.4.4. Skrining fitokimia ……….…... 35

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 37

4.1. Hasil ……….………. 37

4.1.1. Hasil Determinasi Tanaman ……….………….. 37

4.1.2. Hasil Penyerbukkan simplisia ……….…………... 37

4.1.3. Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi ……….…………... 37

4.1.5. Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi ……… 39

4.1.4. Hasil Skirining Fitokimia ……… 44

4.2. Pembahasan ……… 45

BAB V PENUTUP ... 54

5.1. Kesimpulan ………. 54

5.2. Saran ……….. 54

DAFTAR PUSTAKA……… 55


(13)

Halaman Tabel 1. Kandungan Kimia Daun Kelor (Moringa oleifera L.) ……….... 8 Tabel 2. Hasil Rendemen Ekstrak dan Fraksi Daun Kelor ……… 38 Tabel 3. Stabilisasi Membran Eritrosit dari Ekstrak Uji dan Kontrol

Positif pada Konsentrasi 1000 ppm ……….. 39 Tabel 4. Stabilisasi Fraksi Etil Asetat Daun Kelor terhadap Membran

Eritrosit Akibat Induksi Larutan Hipotonik dengan Beberapa

Variasi Konsentrasi ………... 41 Tabel 5. Hubungan antara % Stabilitas dan Log Konsentrasi

untuk Menentukan Nilai IC50 dengan Metode Analisis Probit 43


(14)

Halaman

Gambar 1. Akar, Daun dan Pohon Kelor ………..…. 6

Gambar 2. Struktur Kimia Golongan Flavonoid ……… 13

Gambar 3. Struktur Kimia dari Beberapa Steroid Sapogenin ……… 14

Gambar 4. Skema Mekanisme Radang ……….. 18

Gambar 5. Mediator Inlamasi ………. 21

Gambar 6. Asam Arakhidonat dan Mediator Peradangan ………. 23

Gambar 7. Mekanisme Kerja Obat Antiinflamasi Steroid & Nonsteroid terhadap Prostaglandin ……….. 24

Gambar 8. Skema Spektrofotometer UV-VIS ……….… 27

Gambar 9. Serbuk Daun Kelor (Moringa oleifera L.) ……… 37

Gambar 10. Ekstrak Etanol 70%, Fraksi n-heksan, Etil Asetat dan Etanol 50% 38 Gambar 11. Stabilisasi Membran Eritrosit dari Ekstrak Uji dan Kontrol Positif Terhadap Induksi Larutan Hipotonik ………. 40

Gambar 12.Kurva Stabilisasi Kerusakan Membran Eritrosit Akibat Induksi Larutan Hipotonik dengan Beberapa Variasi Konsentrasi 42

Gambar 13.Kurva antara Probit dan Log Konsentrasi Fraksi Etil Asetat Daun Kelor pada Berbagai Varian Konsentrasi …………... 44

Gambar 14.Reaksi Pembentukan Garam Flavilium ... 48


(15)

Halaman

Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman ……….... 61

Lampiran 2. Alur Penelitian ……….... 62

Lampiran 3. Skema Pengujian Fitokimia ... 63

Lampiran 4. Pembuatan Larutan Ekstrak Uji ……….... 64

Lampiran 5. Pembuatan Larutan Na Diklofenak ………... 65

Lampiran 6. Hasil Rendemen Ekstrak Etanol 96% dan masing-masing Fraksi Daun Kelor ……….. 66

Lampiran 7. Penentuan Stabilisasi Membran Eritosit terhadap Ekstrak Etanol 70%, Fraksi n-heksan, Etil Asetat dan Fraksi Etanol 50% Daun Kelor (Moringa oleifera L.) pada konsentrasi 1000 ppm .... 67

Lampiran 8. Penentuan Stabilisasi Membran Eritosit terhadap Fraksi Etil Asetat Daun Kelor (Moringa oleifera L.) ………. 68

Lampiran 9. Penentuan Stabilisasi Membran Eritosit terhadap Kontrol Positif (Na Diklofenak) ………. 70

Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Persen Stabilitas Ekstrak Etanol 70%, Fraksi n-heksan, Fraksi Etil Asetat, Fraksi Etanol 50% dan Na diklofenak pada Konsentrasi 1000 ppm………... 72

Lampiran 11. Hasil Uji Statistika Persen Stabilitas Fraksi Etil Asetat dan Na Diklofenak pada Konsentrasi 50, 100, 200, 400 dan 800 ppm 78

Lampiran 12. Perhitungan Nilai IC50 Fraksi Etil Asetat dan Na Diklofenak dengan Metode Analisa Probit ... 86

Lampiran 13 Foto-foto Alat Penelitian dan Proses Uji Aktivitas ……… 89

Lampiran 14. Gambar Penapisan Fitoimia ... 91


(16)

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar (mega biodiversitas) di dunia setelah Brasil. Tercatat di hutan tropis Indonesia ditemukan kurang lebih 30.000 dari 40.000 jenis tumbuhan di dunia (Wulandari, 2001). Sekitar 9.600 jenis telah diketahui berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut tercatat 283 jenis merupakan tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional. Dewasa ini penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik di dalam maupun di luar negeri berkembang dengan pesat, terutama dalam bidang khasiat farmakologisnya salah satunya sebagai antiinflamasi (Kusuma et al., 2005).

Peradangan (inflamasi) adalah respon protektif normal untuk cedera jaringan dan melibatkan berbagai proses fisiologis di dalam tubuh seperti aktivasi enzim, pelepasan mediator, diapedesis atau pergerakan sel darah putih melalui kapiler ke daerah peradangan, migrasi sel, kerusakan dan perbaikan jaringan (Kumar et al., 2012). Inflamasi adalah proses yang kompleks, yang sering dikaitkan dengan rasa sakit dan melibatkan kejadian seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan denaturasi protein dan perubahan membran (Leelaprakash & Mohan, 2011). Faktor yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh inflamasi adalah patogen, iritan kimia (asam dan basa kuat,fenol, racun) dan iritan fisika (trauma,benda asing ,dingin, arus listrik, radiasi). Inflamasi adalah upaya perlindungan tubuh untuk menghilangkan rangsangan merugikan serta memulai proses penyembuhan untuk jaringan. Namun, jika peradangan (inflamasi) tidak diobati menyebabkan timbulnya penyakit seperti rinitis vasomotor, rematoid artritis dan aterosklerosis (R Ilakkiya et al., 2013).

Pada umumnya pengobatan yang dipakai untuk mengatasi terjadinya inflamasi adalah obat modern dari golongan Obat Anti Inflamasi Non Steroid


(17)

(OAINS) dan steroid yang berguna untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit peradangan. Tetapi obat-obatan ini membawa risiko toksisitas gastrointestinal, toksisitas jantung dan lainnya untuk penggunaan yang berkepanjangan. Untuk alasan ini, ada kebutuhan untuk memiliki obat antiinflamasi dengan efek samping yang lebih ringan saat digunakan untuk penyakit inflamasi kronis. Oleh karena itu, tumbuhan lebih banyak dipilih sebagai obat alternatif dan alami untuk pengobatan berbagai penyakit, tetapi masih kurangnya bukti ilmiah untuk khasiat tersebut (Madhavi et al., 2012).

Salah satu tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan adalah Moringa oleifera Lam. (Syn. Moringa pterygosperma Gaertn.) atau pohon kelor. Khasiatnya sebagai obat telah lama dikenal dalam sistem obat tradisional. Beberapa bagian berbeda dari digunakan dalam pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit seperti rematik, kelumpuhan dan epilepsi.Selain itu ekstrak daun, biji, dan akar dari pohon kelor telah dipelajari secara ekstensif untuk berbagai potensi penggunaan termasuk antiinflamasi, antitumor, antihepatotoksik dan analgesik (Sashidhara et al., 2009). Kandungan fitokimia dalam daun kelor yaitu tanin, steroid dan triterpenoid, flavanoid, saponin, antraquinon, dan alkaloid. Flavonoid inilah yang mempengaruhi berbagai macam aktivitas biologi atau farmakologi, diantaranya antioksidan, antitumor, antiangiogenik, antiinflamasi, antialergik dan antiviral (Kasolo et al., 2010).

Pada penelitian terdahulu ekstrak etanol daun kelor (M. oleifera) telah dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi pada dosis 500mg/ kgBB tikus putih jantan dengan metode induksi karagenan (Singh et al., 2012), oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang akan memperkuat potensi dari tumbuhan tersebut sebagai sumber senyawa antiinflamasi dengan menguji aktivitas stabilisasi atau perlindungan membran eritrosit dari induksi larutan hipotonis.


(18)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah ekstrak daun kelor memiliki aktivitas anti-inflamasi secara in-vitro ditinjau dari kemampuannya untuk menstabilisasi membran sel darah merah?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui aktivitas ekstrak daun kelor (Moringa oleifera L.) terhadap stabilisasi membran sel darah merah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai pengetahuan dasar bagi peneliti lanjutan tentang aktivitas antiinflamasi yang terdapat pada daun kelor.

2. Sebagai informasi ilmiah dasar pada bidang kimia bahan alam dan bidang farmasi dalam upaya pengembangan senyawa aktif antiinflamasi pada tanaman kelor.

3. Untuk memberikan latar belakang ilmiah (scientivic background) dari khasiat tanaman kelor.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KELOR (Moringa oleifera L.) 2.1.1 Klasifikasi (USDA, 2013 )

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lam 2.1.2 Sinonim

Anoma moringa (L.) Lour., Guilandina moringa L., Hyperanthera decandra Willd., Hyperanthera moringa (L.) Vahl, Hyperanthera pterygosperma Oken, Moringa edulis Medic., Moringa erecta Salisb., Moringa moringa (L.) Small, Moringa myrepsica Thell., Moringa nux-eben Desf., Moringa octogona Stokes, Moringa oleifera Lour., Moringa parvifora Noronha, Moringa polygona DC., Moringa pterygosperma Gaertn., Moringa zeylanica Pers., Copaiba langsdorfi (Desf.) Kuntze, Copaifera nitida Hayne. (Navie & Steve , 2010).


(20)

2.1.3 Nama Daerah

Tanaman kelor memiliki banyak sebutan, diantaranya imaran, kelintang (Jawa), murong (Sumatera), wona marungga, kelohe, parangge, kewona (Nusa tenggara), rowe, kelo, wori (Sulawesi), kanele, oewa herelo (Maluku). Diluar negeri dikenal dengan nama drumstick tree, horseradish tree (Inggris), nugge (Kannada), la ken (Cina), mungna, saijna, shajna (Hindi) (DepKes RI,1989 & Rollof, 2009).

2.1.4 Deskripsi

Kelor (Moringa oleifera L.) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang (perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 - 2 cm, lebar 1 - 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus. Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak krem, menebar aroma khas. Buah kelor berbentuk panjang bersegi tiga, panjang 20 - 60 cm, buah muda berwarna hijau setelah tua menjadi cokelat, bentuk biji bulat berwarna coklat kehitaman, berbuah setelah berumur 12 - 18 bulan. Akar tunggang, berwarna putih, membesar seperti lobak. Perbanyakan bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang). Tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m dpl (Anonym, 2005).


(21)

Gambar 1. Akar, Daun dan Pohon Kelor [Navie, 2010]

2.1.5 Penyebaran

Asal tepat spesies ini tidak diketahui secara pasti karena telah dibudidayakan secara luas sejak zaman dahulu. Tumbuhan ini dimanfaatkan oleh Roma, Yunani dan Mesir kuno dan kini banyak dibudidayakan di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia (Fahey, 2005).

Namun, M. oleifera dianggap tumbuhan asli untuk sub-wilayah Himalaya India Utara. Hal ini juga umum ditemukan di seluruh bagian lain di India serta di dataran Punjab, Sind, Baluchistan, dan di daerah North West Frontier Province Pakistan, meskipun populasi ini mungkin dihasilkan dari budidaya awal. Beberapa penulis juga menganggapnya sebagai bagian asli dari Asia Barat (yaitu Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yaman) dan bahkan Afrika Utara. Moringa oleifera L. juga banyak naturalisasi di daerah tropis lainnya di dunia. Telah dilaporkan di sebagian besar selatan dan timur Asia termasuk Afganistan, Israel, Iran, Nepal, Banglades, Cina, Taiwan, Sri Lanka, Myanmar, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Indonesia dan Papua New Guinea. Tumbuhan ini juga banyak naturalisasi di sub-Sahara Afrika, termasuk di Zimbabwe, Madagaskar, Zanzibar, Afrika Selatan, Tanzania, Malawi, Benin,


(22)

Burkina Faso, Kamerun, Chad, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Liberia, Mali, Mauritania, Nigeria, Sierra Leone, Sudan, Ethiopia, Somalia, Zaire, Togo, Uganda dan Senegal. Di Amerika tropis, kelor dinaturalisasi di wilayah selatan-timur Amerika Serikat (yaitu Florida), Karibia (yaitu Kuba, Haiti, Republik Dominika, Bahama, Jamaika, Puerto Rico dan Kepulauan Virgin), Meksiko, Amerika Tengah (yaitu Belize, Kosta Rika, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nikaragua dan Panama) dan Amerika Selatan (yaitu Colombia, Guyana, Venezuela,Brazil dan Paraguay). Kelor juga dinaturalisasi di pulau-pulau Pasifik, termasuk Kiribati, Guam, Kepulauan Marshall, Kepulauan Mariana Utara, Kepulauan Solomon dan Amerika Federasi Mikronesia (Navie & Steve, 2010).

2.1.6 Kandungan Kimia

Daun kelor kaya asam askorbat, asam amino, sterol, glukosida isoquarsetin, karoten, ramentin, kaemperol dan kaemferitin. Hasil analisis nutrien juga melaporkan adanya kandungan senyawa-senywa berikut: 6,7 mg protein, 1,7 mg lemak (ekstrak eter), 13,4 mg karbohidrat, 0,9 mg serat dan 2,3% bahan mineral: 440 mg kalsium, 70 mg fosfor, dan besi 7,0 mg/100 g daun. Daun kelor juga mengandung 11.300 IU karoten (prekursor vitamin A), vitamin B, 220 mg vitamin C dan 7,4 mg tokoferol /100g daun. Daun kelor juga mengandung substansi estrogenik dan esterase pektin. Asam amino esensial yang terdapat dalam protein daun adalah (/16g daun): 6,0 mg arginin, 2,0 mg metionin, 4,9 mg treonin, 9,3 mg leusin, 6,3 mg isoleusin dan7,1 mg valin (Singh et al., 2012).


(23)

Tabel 1. Kandungan kimia yang diisolasi dari Moringa oleifera L.

Bagian Kandungan Kimia

Akar 4-(α-L-rhamnopiranoksiloksi)-benzilglukosinolat dan benzilglukosinolat

Batang 4-hidroksimellein, vanillin, β-sitosteron, asam oktacosanik dan β-sitosterol

Kulit kayu 4-(α-L-rhamnopiranosiloksi)-benzilglukosinolat

Eksudat gum L-arabinosa, D-galaktosa,asam D-glukuronat, L-rhamnosa, D-mannosa, D-xylosa dan leukoantosianin

Daun Glikosida niazirin, niazirinin dan three mustard oil glycosides, 4-[4’-O-asetil- α -L-rhamnosiloksi) benzil] isothiosianat, niaziminin A dan B

Bunga yang matang D-mannosa, D-glukosa, protein, asam askorbat, polisakarida

Keseluruhan biji Nitril, isotiosianat, tiokarbanat, 0-[2’-hidroksi-3’-(2’’ -hepteniloksi)]-propilundekanoat, 0-etil-4-[( α

-1-ramnosiloksi)-benzil] karbamat, metil-p-hidroksibenzoat dan β-sitosterol

Biji yang tua Crude protein, Crude fat, karbohidrat, metionin, sistein,

4-(α-L-ramnopiranosiloksi)-benzilglukosinolat,

benzilglukosinolat, moringin, mono-palmitat and di-oleic trigliserida

Minyak biji Vitamin A, beta karoten, prekursor Vitamin A

Sumber : [Singh et al., 2012]

2.1.7 Khasiat

Selain digunakan untuk bahan makanan, daun kelor telah dilaporkan menjadi sumber yang kaya akan makronutrien maupun mikronutrien yang juga mengandung β-karoten, protein, vitamin C, kalsium, dan kalium dan bertindak sebagai sumber antioksidan alami.


(24)

Buah dan daun telah digunakan untuk mengatasi malnutrisi, terutama di kalangan bayi dan ibu menyusui untuk meningkatkan produksi susu dan juga mengatur ketidakseimbangan hormon tiroid (Luqman et al., 2012).

Sejumlah khasiat obat dihubungkan dengan berbagai bagian dari M.oleifera telah diakui oleh sistem pengobatan Ayurveda dan Unani. penerapan tanaman ini telah ditemukan secara luas dalam pengobatan penyakit kardiovaskular antara lain dalam akar, daun, gum, bunga, dan infus biji mengandung glikosida nitril, mustard oil, dan glikosida tiokarbamat sebagai kandungan kimia yang dianggap bertanggung jawab untuk aktivitas diuretik, menurunkan kolesterol, antiulser, hepatoprotektif, dan sebagai pelindung kardiovaskular. Tanaman ini juga memiliki aktivitas antimikroba karena mengandung pterigospermin sebagai komponen utama. Ekstrak daun segar diketahui menghambat pertumbuhan patogen pada manusia (Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa). Kandungan kimia dari berbagai bagian pohon seperti; niazimin, niaiminin, berbagai karbamat dan tiokarbamat telah menunjukkan aktivitas antitumor in vitro. Bagian bunga menunjukkan aktivitas hepatoprotektif yang efektif. Karena adanya efek kuarsetin. Biji dapat digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan kadmium dari medium cair dan merupakan salah satu koagulan alami. Kelor juga dianggap sebagai antipiretik, dan dilaporkan menunjukkan aktivitas antimikroba (Luqman et al., 2012).

Materia medika Indonesia menjelaskan penggunaan akar kelor (M.oleifera) dalam pengobatan sejumlah penyakit, termasuk asma, asam urat, sakit pinggang, rematik, pembesaran limpa atau hati, radang internal yang terdapat dalam inflamasi dan adanya batu pada kantung empedu atau ginjal. Ekstrak akar kelor telah dipelajari


(25)

sebagai diuretik dan aktivitas antiinflamasi akut (Sashidhara et al., 2009)

Semua bagian dari pohon dianggap berkhasiat obat dan digunakan dalam pengobatan asites, rematik, dan gigitan hewan berbisa serta sebagai stimulan jantung dan peredaran darah. Daun kelor kaya Vit. A dan C dan dianggap berguna untuk sariawan dan kataral, mereka juga digunakan sebagai emetik. Sebuah pasta dari daun digunakan secara eksternal untuk luka. Bunga digunakan sebagai tonik dan anti diuretik. Biji kelor sebagai antipiretik. Minyak biji digunakan sebagai antiinflamasi dalam rematik dan asam urat. Bunga-bunga, daun, dan akar yang digunakan dalam obat tradisional untuk tumor serta biji untuk tumor abdominal. Rebusan akar digunakan di Nikaragua untuk mengobati edema (pembengkakan). Sari dari akar diterapkan secara eksternal sebagai obat gosok. Daun juga bisa digunakan untuk sakit kepala, dan dikatakan memiliki sifat pencahar alami. Kulit, daun dan akar yang pedas dan berbau tajam, dan diambil untuk meningkatkan proses pencernaan. Minyak agak berbahaya jika diminum, namun dapat diterapkan secara eksternal untuk penyakit kulit. Kulit kayu dianggap sebagai antiskorbut, dan mengeluarkan gum kemerahan dengan sifat seperti tragakan dan kadang-kadang digunakan untuk diare. Akar yang pahit, sebagai tonik bagi tubuh dan paru-paru, dan juga berguna sebagai pemicu menstruasi (emmenagogue) dan ekspektoran (Kumar et al., 2012).

2.2. EKSTRAKSI DAN FRAKSINASI 2.2.1. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu cara untuk mengambil atau menarik komponen kimia yang terkandung dalam sampel menggunakan pelarut


(26)

yang sesuai. Ekstraksi yang benar dan tepat tergantung dari jenis senyawa, tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang akan diekstraksi. Dalam mengekstraksi suatu tumbuhan sebaiknya menggunakan jaringan tumbuhan yang masih segar, namun kadang-kadang tumbuhan yang akan dianalisis tidak tersedia di tempat sehingga untuk itu jaringan tumbuhan yang akan diekstraksi dapat dikeringkan terlebih dahulu (Kristanti, 2008).

Ektraksi serbuk kering jaringan tumbuhan dapat dilakukan secara maserasi, perkolasi, refluks atau sokhletasi dengan menggunakan pelarut yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Teknik ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik maserasi (Kristanti et al., 2008).

Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk menarik komponen yang kita inginkan, dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungan dari maserasi adalah lebih praktis, pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan perkolasi dan tidak memerlukan pemanasan, sedangkan kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut diuapkan dengan alat penguap putar vakum (vacuum rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Kristanti et al., 2008).

2.2.2. Fraksinasi (Partisi Cair-Cair)

Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari kandungan yang lain. Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa non polar akan masuk ke pelarut non polar. Bila kita menelaah profil fitokimia lengkap dari suatu jenis tumbuhan, maka sebelum dikromatografi, ekstrak kasar perlu difraksinasi untuk


(27)

memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama yang lainnya (Harborne, 1987).

2.3. Skrining Fitokimia

Metode identifikasi dilakukan berdasarkan metode penapisan fitokimia (phytochemical screening). Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terkandung disimplisia tersebut. Pengujian ini merupakan pengujian pendahuluan yang biasa dilakukan sebelum dilakukan pengujian-pengujian lanjutan. Adanya pengetahuan mengenai kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam suatu ekstrak, akan memudahkan dalam identifikasi kemungkinan aktivitas dari ekstrak tumbuhan yang digunakan, seperti flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, dan antrakuinon (Putra, 2007).

2.3.1 Alkaloid

Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Putra, 2007). Banyak tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan yang setelah diisolasi berupa senyawa nitrogen heterosiklik (Fessenden, 1982b). Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan (Putra, 2007).

Ada sekitar 5500 macam alkaloid yang telah diketahui. Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang terbesar. Alkaloid bersifat racun bagi manusia namun banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Uji organoleptik sering dilakukan untuk menguji adanya kandungan alkaloid dalam daun atau buah segar yang dideteksi dengan adanya rasa pahit (Harborne, 1987).


(28)

2.3.2 Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru dan kuning yang ditemukan dalam tumbuhan. (Lenny, 2006).

Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang mungkin terdapat dalam satu tumbuhan dalam bentuk kombinasi glikosida (Harbone, 1987). Aglikon flavonoid (yaitu flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur (Markham, 1988).

Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu tanaman, yang bisa dijumpai pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Secara kimia, flavonoid mengandung cincin aromatik tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar tersusun dalam konjugasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik terhubung dengan 3 atom karbon yang merupakan rantai alifatik) (Lenny, 2006), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 : Struktur Umum Flavonoid 2.3.3 Saponin

Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun yaitu ketika menimbulkan busa bila dikocok dalam air. Senyawa saponin merupakan senyawa golongan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan didapatkan gula dan satu fraksi non gula yang disebut sapogenin atau genin. Pengujian senyawa


(29)

ini secara sederhana dapat dilakukan dengan pengocokan, busa stabil setinggi satu sampai sepuluh sentimeter dalam sepuluh menit menandakan hasil positif dari senyawa saponin (Harborne, 1987).

Gambar 3. Struktur Kimia dari Beberapa Steroid Sapogenin. 2.3.4 Tanin

Tanin terdapat luas dalam tanaman berpembuluh. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit hewan yang siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein (Harbone, 1987).

Tanin merupakan senyawa polifenol yang berarti termasuk dalam senyawa fenolik. Terdapat 2 jenis utama tanin yaitu, tanin terkondensasi yang tersebar pada paku-pakuan, angiosperma, dan gymnospermai. Dan tanin terhidrolisis yang terdapat pada tumbuhan berkeping dua (Harbone, 1987).

2.3.5. Antrakuinon

Antrakuinon merupakan golongan kuinon (3 cincin benzena berdampingan) yang terbanyak tersebar di alam. Beberapa antrakuinon merupakan zat warna dan pencahar. Kebanyakan antrakuinon dari

O O CH3 H CH3 H H H H HO H CH3 H

CH3 Smilagenin O O CH3 H CH3 H H H H HO H CH3 H

CH3 Tigogenin O O CH3 H CH3 H H H H HO

CH3 H CH3

Diosgenin

H H HO

CH3 H CH3 Dihydrokryptogenin OH CH3 O OH CH3


(30)

tumbuhan tinggi dihidroksilasi pada atom C-1 dan antrakuinon terhidroksilasi jarang terdapat dalam tumbuhan secara bebas tetapi sebagai glikosida. Dalam banyak kasus tampaknya aglikon dari glikosidanya berbentuk antrakuinon tereduksi dikenal sebagai antron (Guevara & Recio, 1985).

Turunan antrakuinon biasanya merupakan senyawa berwarna merah jingga yang larut dalam air panas dan alkohol encer, memberikan warna yang spesifik dengan basa (LOH) seperti, merah, violet dan hijau. Secara spektrofotometri antrakuinon memberikan pita resapan yang berbeda dengan senyawa kuinon lainnya, dimana memberikan 4 atau 5 pita resapannya pada daerah UV dan sinar tampak (Guevara & Recio, 1985).

2.4 INFLAMASI 2.4.1 Definisi

Inflamasi adalah reaksi jaringan tubuh tehadap luka, seperti trauma fisik, benda asing, zat kimia, pembedahan, radiasi, atau arus listrik. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar keduanya dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan antigen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Robbins, 2007).

Gejala-gejala klinis dari inflamasi adalah rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri) dan functio laesa (kehilangan fungsi). Kemerahan dan rasa panas disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah arteriol dengan demikian darah lebih banyak mengalir kedalam mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan gejala kemerahan, daerah peradangan menjadi lebih panas dari


(31)

sekelilingnya sebab darah disalurkan lebih banyak ke daerah tersebut dibandingkan dengan daerah tubuh normal lainnya. Tumor atau pembengkakan disebabkan oleh air, protein dan zat-zat lain dari darah bergerak ke jaringan yang mengalami inflamasi. Rasa sakit terjadi karena ujung sel saraf terstimulasi oleh kerusakan langsung jaringan (terjadi perubahan pH dan konsentrasi lokal ion-ion tertentu) dan beberapa mediator inflamasi untuk menghasilkan sensasi rasa sakit. Di samping itu, peningkatan tekanan di jaringan yang disebabkan oleh udem dan akumulasi nanah, juga dapat menyebabkan rasa sakit. Terbatasnya pergerakan oleh karena udem, rasa sakit dan destruksi jaringan menyebabkan gangguan fungsi (Price & Lorraine, 2006). 2.3.2. Mekanisme Inflamasi Akut

Terdapat dua stadium pada reaksi inflamasi akut, yaitu vaskular dan selular. Stadium vaskular pada respon inflamasi dimulai segera setelah jaringan mengalami cedera. Arteriol di daerah tersebut berdilatasi, sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera. Hal ini menyebabkan timbulnya gejala rubor (kemerahan) dan kalor (panas). Vasodilatasi ini terutama akibat pelepasan bahan kimia dari degranulasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator kimia lain selama inflamasi. Peningkatan aliran darah lokal tersebut menyebabkan lebih banyak leukosit fagositik dan protein plasma yang tiba di tempat cedera. Pada waktu yang bersamaan, histamin dan mediator kimia yang dibebaskan selama inflamasi menyebabkan membesarnya pori-pori kapiler (ruang antar sel endotel), sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Protein plasma yang dalam keadaan normal tidak dapat keluar dari pembuluh darah dapat lolos ke ruang interstisium. Peningkatan tekanan osmotik koloid di ruang interstisium yang disebabkan oleh kebocoran protein plasma dan peningkatan tekanan darah kapiler akibat peningkatan aliran darah lokal dapat menimbulkan


(32)

udem lokal yang disebut juga turgor (pembengkakan) (Corwin & Elizabeth, 2008).

Stadium selular dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang mengalami cedera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah tersebut karena bahan kimia yang dilepaskan oleh sel yang cedera, sel mast dan produksi sitokin. Penarikan leukosit yang meliputi nuetrofil dan monosit ke daerah cedera disebut kemotaksis. Satu jam setelah cedera, daerah yang cedera sudah dipadati oleh leukosit yang keluar dari pembuluh darah. Neutrofil adalah sel yang pertama kali tiba kemudian diikuti oleh monosit yang dapat membesar dan berubah menjadi makrofag dalam periode delapan sampai dua belas jam berikutnya. Emigrasi leukosit dari darah ke jaringan melibatkan proses marginasi, diapedesis dan gerakan amuboid. Marginasi adalah melekatnya leukosit darah, terutama neutrofil dan monosit ke bagian dalam lapisan endotel kapiler pada jaringan yang cedera. Leukosit segera keluar dari darah ke dalam jaringan dengan berprilaku seperti amuba dan menyelinap melalui pori-pori kapiler yang disebut diapadesis. Gerakan leukosit ini juga dibantu oleh adanya kemokin, yaitu suatu mediator kimiawi yang bersifat kemotaksis yang dapat menarik leukosit ke daerah inflamasi. Neutrofil dan makrofag membersihkan daerah yang meradang dari zat toksik dan debris jaringan dengan cara fagositosis. Setelah sel-sel fagositik memasukkan benda sasaran, terjadi fusi lisosom dengan membran yang membungkus benda tersebut dan lisosom mengeluarkan enzim hidrolitiknya ke dalam vesikel dalam membrane tersebut, sehingga benda yang terperangkap dapat diuraikan. Trombosit yang masuk ke daerah cedera merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol pendarahan. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan penyembuhan (Corwin & Elizabeth , 2008).


(33)

Gambar 4. Skema Mekanisme Radang (Pringgoutomo, 2002). 2.3.3. Penyebab Inflamasi

Inflamasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1) Mikroorganisme (infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa dan ragi) 2) Iritan kimia (asam dan basa kuat, fenol, racun)

3) Iritan fisika (trauma, benda asing, dingin, arus listrik, radiasi) 4) Jaringan nekrosis

5) Semua jenis reaksi imunologis : hipersensitifitas, kompleks imun, autoimun (Rubbin, 1988).

Statis Stimulasi Saraf Mediator

Luka (jejas)

Dilatasi pembuluh

↑ permeabilitas

eksudasi ekstraseluler (leukosit&fibrinogen) Koloid osmotik diluar pembuluh darah

Retardasi marginisasi

Trombosis

Emigrasi leukosit Enzim proteolitik

Kemotaksis


(34)

2.3.4. Tipe Inflamasi

Secara umum inflamasi dibagi menjadi:

1) Inflamasi akut, yaitu inlamasi dengan durasi relatif lebih singkat bertahan untuk beberapa jam atau satu sampai dua hari. Karakteristik utamanya berupa adanya cairan eksudat dari protein plasma (udem) dan migrasi dari leukosit, terutama neutrofil.

2) Inflamasi kronis, yaitu inflamasi dengan durasi lebih lama. Secara histologi dihubungkan dengan adanya limfosit dan makrofag, serta poliferasi pembuluh darah dan jaringan ikat (Pringgoutomo, 2002). Berdasarkan pada karakteristik utama inflamasi kronik dan akut, dapat dibedakan menurut jenis eksudat dan variabel morfologi :

1) Inflamasi serosa, yaitu inflamasi yang ditandai dengan melimpahnya cairan encer, tergantung dari daerah luka dapat berasal dari serum darah atau sekresi sel mesotel yang terhubung dengan peritoneum, pleura dan perikardium.

Contoh : luka bakar dan efusi pleura

2) Inflamasi kataral, yaitu inflamasi permukaan ditandai dengan meningkatnya sekresi mukus, pada mukosa terutama pada saluran pernafasan. Inflamasi ini terlihat pada penyakit flu dan berbagai bentuk kolitis.

3) Inflamasi fibrinosa, yaitu inflamasi yang menghasilkan eksudat protein plasma dalam jumlah besar, termasuk fibrinogen dan endapan fibrin. Karakteristik utama, respon inflamasi melibatkan rongga-rongga tubuh seperti pleura, perikardium dan peritoneum. Contoh : pneumonia, karditis rheumatika.

4) Inlamasi supuratif / purulenta, yaitu inflamasi yang ditandai oleh adanya produksi nanah dalam jumlah besar atau eksudat purulen, biasanya terjadi pada infeksi bakteri piogenik.


(35)

5) Ulser, yaitu defek lokal pada permukaan organ atau jaringan, yang dihasilkan oleh terkelupasnya jaringan nekrotik terinflamasi (Robbins et al., 2007).

2.3.5. Mediator Inflamasi

Sejak penemuan Lewis mengenai histamin, banyak penelitian lain yang dilakukan terhadap zat-zat yang berperan dalam proses inflamasi. Mediator inlamasi dapat berasal dari plasma, sel atau jaringan yang rusak. Mediator inflamasi dibagi dalam beberapa kelompok :

1) Vasoaktif amin : histamin dan serotonin 2) Konstituen lisosomal : protease

3) Metabolit asam arakidonat

a. Melalui sikolooksigenase : prostaglandin, endoperoksida, tromboksan A2

b. Melalui lipooksigenase : leukotrin, 5-HPETE, 5-HETE 4) Platelet activating factor (PAF)

5) Sitokin dan radikal bebas derivat oksigen 6) Plasma protease

- Sistem kinin : bradikinin dan kalikrein - Sistem komplemen : C3a, C5a, C5b-C9

- Sistem koagulasi : fibrino-peptida, produk degradasi fibrin - Faktor pertumbuhan (Rubbin, 1988).


(36)

Gambar 5. Mediator Inlamasi (Cotran, 1992) Beberapa mediator inlamasi yang penting :

1) Histamin dan serotonin

Berperan pada pertengahan fase aktif dalam peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Pada manusia, histamin disimpan dan tersedia dalam jumlah besar pada granul sel mast dan basofil serta platelet. Golongan amin menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas venula. Histamin bekerja pada mikrosirkulasi terutama melalui reseptor jenis H1 dengan durasi selama 60 menit.

Banyak faktor yang menyebabkan pelepasan amin dari sel mast, antara lain :

a) Faktor fisik (trauma atau dingin)

b) Reaksi imunologis melalui mekanisme yang melibatkan ikatan pada permukaan sel mast dengan IgE.

c) C3a dan C5a, yaitu fragmen dari komplemen yang menginduksi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

d) Histamine-releasing factors dari neutrofil, monosit dan platelet

Newly Synthesized

MEDIATOR INFLAMASI

Sel Plasma

Preformed - Histamin - Setrotonin - Enzim lisosom

- Prostaglandin - leukotrin

- Platelet activating factor - Sitokin

-Radikal bebas derivat oksigen

Aktifasi Faktor XII - Sistem Kinin - Sistem koagulasi

Aktifasi komplemen - C3a, C5a


(37)

e) Interleukin-1 2) C3a dan C5a

Disebut juga sebagai anafilatoksin, komplemen-komplemen yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. C3a dapat secara langsung mengalami cleaving oleh plasmin, bakterial protease dan enzim C3-cleaving yang tersebar di berbagai jaringan. C5a merupakan zat kemotaksis tinggi terhadap netrofil, eosinofil, basofil dan monosit yang dilepaskan oleh aktivasi komplemen melalui tripsin, bakteri protease dan enzim pada netrofil serta makrofag.

3) Bradikinin

Zat yang sangat poten meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, juga menyebabkan kontraksi otot polos, dilatasi pembuluh darah dan rasa sakit ketika diinjeksikan pada kulit. Bradikinin bukan merupakan zat kemotaksis, diaktivasi oleh faktor XII sistem pembekuan darah intrinsik, melalui kontak permukaaan bahan aktif seperti kolagen, membran basal dan endokrin.

4) Prostaglandin

Merupakan suatu zat autokoid, dibentuk dengan cepat dan bekerja secara lokal, hilang secara spontan atau melalui proses enzimatis. Prostaglandin berasal dari biosintesis asam arakidonat jalur siklooksigenase membentuk prostaglandin endoperoksida PGG2

selanjutnya diubah secara enzimatis menjadi PGH2. Dari PGH2

diubah lagi secara enzimatis menjadi : a) Tromboksan A2 (TXA2)

Ditemukan pada platelet dan sel lainnya, memiliki masa hidup yang singkat (waktu paruh dalam detik), poten sebagai penghambat agregator platelet dan konstriktor pembuluh darah.


(38)

b) Prostasilkin (PGI2)

Ditemukan pada dinding pembuluh darah, poten sebagai penghambat agregasi platelet dan vasodilator.

c) PGE2, PGF2 dan PGD2

Memiliki kerja yang bervariasi terhadap permeabiltas pembuluh darah.

Gambar 6. Metabolisme Asam Arakhidonat dan Mediator Peradangan

[Price & Lorraine, 2006].

2.4. OBAT ANTIINFLAMASI

2.4.1. Obat antiinflamasi steroid

Kortikosteroid disintesis secara alami di korteks adrenal dan merupakan hasil biosintesis dari kolesterol, dengan contoh hidrokortison dan kortison, yang banyak digunakan untuk pengobatan inflamasi karena dapat menghambat fase-fase dalam proses inflamasi.

Fosfolipid pada membran sel Distimulasi oleh fosfolipid

(aktivasi fosfolipase A2)

Dikurangi oleh kortikosteriod Asam arakidonat Lipoksigenase Leukotrin (vasokontriksi, bronkokontriksi, ↑permeabilitas vaskular) Siklooksigenase Prostasiklin sintetase Prostasiklin (PgI2) (vasodilatasi vaskular, menghambat agregasi platelet, udem) Tromboksan sintetase Tromboksan (TXA2) (vasokontriksi, agregasi platelet, kontraksi otot bronkial)


(39)

Bentuk-bentuk semi sintesis dari hormon ini lebih banyak digunakan antara lain deksametason dan prednison. Mekanisme kerja antiinflamasi steroid adalah menghambat pelepasan prostaglandin dari membran sel dengan cara membatasi ketersediaan substrat asam arakidonat.

Antiinflamasi ini juga mengurangi ketersediaan substrat untuk enzim lain yang memetabolisir asam arakidonat seperti lipoksigenase yang tidak terhambat oleh aspirin dan obat jenis lainnya. (Gilman et al., 1985).

2.4.2. Obat Antiinflammasi Non-steroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah asam salisilat, indometasin, asam mefenamat, fenilbutason dan diklofenak. Mekanisme kerja obat ini adalah menahan migrasi dari mediator-mediator inflamasi, menghambat pembentukan mediator-mediator inflamasi dan mengurangi aktivitas protease inflamasi. Obat-obat tersebut juga diyakini menghambat fosfolirasi oksidatif yang meniadakan energi metabolisme yang diperlukan oleh jaringan inflamasi. (Gilman et al., 1985).

Gambar 7. Mekanisme Kerja Obat Antiinflamasi Steroid dan Nonsteroid terhadap Prostaglandin

Prostaglandin

Inflamasi

OBAT ANTIINLAMASI NONSTEROID:

Menghambat biosintesis prostaglandin pada tahap siklooksigenase, sehingga PGG,PGH2,TXA2 dan

prostaglandin lainnya tidak terbentuk

OBAT ANTIINLAMASI STEROID:

1) Menghambat pelepasan (tidak sintesis) prostaglandin dengan cara membatasi ketersediaan substrat asam arakidonat

2) Mengurangi ketersediaan substrat lainnya untuk enzim yang

memetabolisir asam arakidonat (jalur lipoksigenase)


(40)

2.5. UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

Terdapat berbagai metode yang digunakan dalam studi obat, kandungan kimia dan preparasi herbal untuk menunjukkan adanya aktivitas atau potensi anti-inflamasi. Tekhnik- tekhnik tersebut termasuk pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan respirasi), penghambatan denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi trombosit (Oyedapo et al., 2010). 2.5.1. Metode Stabilisasi Membran Sel Darah Merah Manusia

Membran sel darah merah manusia atau eritrosit adalah analog dengan membran lisosomal dan stabilisasi nya menunjukkan bahwa ekstrak dapat juga menstabilkan membran lisosomal. Stabilisasi membran lisosomal penting dalam membatasi respon inflamasi dengan menghambat pelepasan konstituen lisosomal dari neutrofil aktif seperti enzim bakterisida dan protease, yang menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan lebih lanjut atas extra cellular release (Kumar et al., 2012). Enzim lisosomal dilepaskan selama peradangan yang akan menghasilkan berbagai gangguan yang mengarah ke cedera jaringan dengan merusak makromolekul dan peroksidasi lipid membran yang dianggap bertanggung jawab untuk kondisi patologis tertentu seperti serangan jantung, syok septik dan rheumatoid arthritis dll. Kegiatan enzim ekstra selular ini dikatakan berhubungan dengan peradangan akut atau kronis (Chippada et al., 2011).

Luka pada membran lisosom biasanya memicu pelepasan fosfolipase A2 yang menjadi perantara hidrolisis fosfolipid untuk menghasilkan mediator inflamasi. Stabilisasi membran sel-sel ini menghambat lisis sel dan pelepasan isi sitoplasma yang akhirnya membatasi kerusakan jaringan dan memperburuk respon inflamasi. Oleh karena itu diharapkan bahwa senyawa dengan aktivitas stabilisasi


(41)

membran harus memberikan perlindungan yang signifikan dari membran sel terhadap pelepasan zat merugikan.(Karunanithi et al., 2012).

Eritrosit telah digunakan sebagai sistem model untuk beberapa studi interaksi obat dengan membran. Obat seperti anestesi, tranquilizer dan antiinflamasi steroid menstabilkan membran eritrosit terhadap induksi hipotonik pemicu hemolisis sehingga dapat mencegah pelepasan hemoglobin. Aktivitas menstabilkan membran sel darah merah yang diperlihatkan oleh beberapa obat, berfungsi sebagai metode in vitro untuk menilai aktivitas antiinflamasi dari berbagai senyawa (Awe et al., 2009).

Sebuah penjelasan yang mungkin bisa dihubungkan dengan kaitan membran eritrosit dengan perubahan muatan permukaan sel yang mungkin telah mencegah interaksi fisik dengan agen agregasi atau mendorong penyebaran dengan adanya gaya tolakan menolak seperti yang terlibat dalam hemolisis sel darah merah (Oyedapo et al., 2010). 2.6. SPEKTROFOTOMETER UV-VIS

Spektrofotometer telah digunakan pada 35 tahun terakhir dan menjadi yang paling instrumen analitis yang cukup penting di laboratorium kimia modern (Greenlief, 2004). Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia (Sastroamidjojo, 1985). Metode pengukuran dengan spektrofotometri ini mudah dilakukan, murah, terandalkan dan memberikan presisi yang baik untuk melakukan pengukuran kuantitatif obat-obatan dan formulasi di bidang farmasi (Watson, 2009).


(42)

Spektrum absorpsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Visible bagian sinar tampak (380-780 nm).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap (Sastroamidjojo, 1985). Hubungan antara intensitas, tebal medium dan konsentrasi zat digambarkan dengan persamaan yang sesuai dengan Hukum Lambert-Beers, yakni :

Keterangan : A : Serapan a : Daya serap b : Tebal kuvet

c : Konsentrasi larutan

Instrument dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Gambar 8. Skema Spektrofotometer UV-VIS

1. Suatu sumber cahaya polikromatis di daerah panjang gelombang yang di kehendaki.

2. Suatu monokromator merupakan sebuah alat untuk menguraikan berkas radiasi dari sumber yang polikromatis menjadi sinar yang monokhromatis (panjang gelombang tunggal).

A = a . b . c

Monokromator Kuvet Detektor Amplifier

Rekorder Sumber


(43)

3. Kuvet merupakan suatu wadah untuk menempatkan sampel

4. Detektor, berupa transduser berfungsi untuk menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik.

5. Amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat arus listrik itu memadai untuk dibaca. Berguna untuk menangkap isyarat arus listrik yang masuk (imput) dari rangkaian detektor dan melalui beberapa proses elektronik tertentu kemudian menghasilkan suatu arus listrik keluar (output) yang beberapa kali lebih besar dari imput.

6. Rekorder merupakan sistem baca yang menagkap besarnya arus listrik yang telah diamplifikasi.


(44)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari-Juli 2013 di Laboratorium Produk Alam, Bidang Botani dan Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berada di Jalan Raya Jakarta–Bogor Km 46, Cibinong serta di Laboratorium Pharmacy Medicinal Chemistry (PMC) dan Pharmacy Sterile Technology (PST), FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat.

3.2. Bahan

3.2.1 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun kelor (Moringa oleifera L.)dikumpulkan dari kota Cilegon, Banten pada bulan Januari-Februari 2013. Tanaman sebelumnya dideterminasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat.

3.2.2 Bahan Kimia

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekstrosa, Na sitrat, asam sitrat, NaCl, dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), Na diklofenak, DMSO (Dimethyl Sulfoxide), serbuk magnesium, HCl Pekat, amil alkohol, HCl (2N), FeCl3 (1%), kloroform, NH4OH, H2SO4 (1M),

pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorff, pereaksi Lieberman-Bourchard, etanol 70%, etanol 50%, n-heksan, etil asetatdan aquades.


(45)

3.3. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan bahan, labu erlenmeyer, labu ukur, corong pisah, corong, alat destilasi, perkolator, grinder, botol kaca, botol vial, batang pengaduk, spatula, pipet tetes besar, pipet volume 5 & 10 ml, mikropipet (Effendorf Reference) 200µL, Autoclave, oven, centrifuge (Hettich EBA 85), rotary evaporator (Eyela N-1000), ultrasonic cleaner (WT-600-40), water bath (Eyela SB-1000).

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1 Penyiapan Simplisia

Penyiapan simplisia daun kelor dilakukan sortasi kering, kemudian dicuci dengan air mengalir, lalu di lanjutkan dengan sortasi basah untuk membersihkannya dari kotoran. Selanjutnya daun kelor dikering-anginkan sampai didapat sampel kering, kemudian dibubukkan dengan menggunakan grinder dan siap digunakan untuk pekerjaan selanjutnya.

3.4.2.Ekstraksi

3. 4.2.1 Maserasi dengan Pelarut Etanol 70%

Serbuk daun kelor sebanyak 700 gr dimasukkan ke dalam alat perkolator, dimana bagian bawah alat ini telah dialasi dengan kapas. Kemudian dimasukkan pelarut etanol 70% untuk kali pertama menggunakan etanol panas (70OC) guna mematikan aktivitas enzim tanaman yang akan mengganggu proses berikutnya (Harbone,1987). Selanjutnya proses maserasi dilakukan berulangkali hingga pelarut mendekati tidak berwarna.

Total hasil maserasi yang keluar digabung dan selanjutnya dikentalkan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 50oC, dan dihasilkan residu berupa ekstrak padat. Ekstrak yang diperoleh ditimbang dan dicatat beratnya. Rendemen dari etanol 70% tersebut,


(46)

kemudian dihitung dengan membandingkan berat awal simplisia dan berat akhir ekstrak yang dihasilkan, dengan rumus:

Berat ekstrak yang diperoleh

Rendemen ekstrak total = x 100% Berat simplisia awal

3.4.3. Fraksinasi Bertingkat dengan Metode Partisi Cair-cair a. Fraksi n-Heksan

150 mg ekstrak etanol yang didapat dari hasil maserasi dilarutkan dalam etanol 50% secukupnya lalu dimasukkan kedalam corong pisah. Selanjutnya dipartisi dengan menambahkan n-heksan, dikocok dalam corong pemisah dan didiamkan hingga terdapat dua lapisan (lapisan etanol 50% di bagian bawah dan lapisan n-heksan di bagian atas). Kedua lapisan yang terbentuk kemudian dipisahkan. Lapisan n-heksan (atas) dikumpulkan, sedangkan lapisan etanol 50% (bawah) ditambahkan n-heksan dan dipartisi kembali sampai lapisan n-n-heksan mendekati tidak berwarna. Total lapisan n-heksan dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator kemudian ditimbang untuk diperoleh fraksi n-heksan.

b. Fraksi Etil Asetat

Lapisan etanol 50% yang telah dipisahkan dari fraksi n-heksan dimasukan kembali ke corong pemisah. Selanjutnya dilakukan pemisahan fraksi etil asetat dengan menambahkan sejumlah volume tertentu etil asetat kedalam corong pisah kemudian dikocok dan didiamkan hingga terdapat dua lapisan (lapisan etanol 50% di bagian bawah dan lapisan etil asetat di bagian atas). Kedua lapisan yang terbentuk kemudian dipisahkan. Lapisan etil asetat (atas) dikumpulkan, sedangkan lapisan etanol 50% (bawah) ditambahkan etil asetat dan dipartisi kembali sampai lapisan etil asetat mendekati tidak berwarna. Total lapisan etil asetat yang


(47)

didapat selama fraksinasi digabungkan menjadi satu dan dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator kemudian ditimbang untuk diperoleh fraksi etil asetat

c. Fraksi Etanol 50%

Lapisan etanol 50% yang telah dipisahkan dari fraksi etil asetat dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator kemudian dipekatkan dengan penanggas air. Ekstrak yang didapatkan kemudian ditimbang untuk mendapatkan fraksi etanol 50%.

3.4.5. Uji Aktivitas Antiinflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit 3.4.5.1 Pembuatan Larutan yang dibutuhkan

a. Pembuatan Larutan Alsever Steril

2 g dekstrosa, 0,8 g natrium sitrat, 0,05 g asam sitrat dan 0,42 g NaCl dilarutkan dalam aquades sampai 100 mL pada suhu ruang. Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 115oC selama 30 menit (Kumar et al., 2012).

b. Pembuatan dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M)

Sebanyak 2,671 g dinatrium hidrogen fosfat (Na2HPO4. 2H2O) dilarutkan

dalam aquades sampai 100 ml (0,15 M). 2,070 g natrium dihidrogen fosfat (NaH2PO4 . H2O) dilarutkan dalam aquades sampai 100 mL (0,15 M).

Kemudian 81 mL larutan Na2HPO4. 2H2O (0,15 M) dicampurkan dengan

19 mL larutan NaH2PO4 . H2O (0,15 M) pada suhu ruang (Ruzin, 1999).

Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 115oC. c. Pembuatan isosalin

0,85 gram NaCl dilarutkan dalam dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M) sampai volume 100 mL pada suhu ruang (Oyedapo et al., 2010). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 115oC.


(48)

d. Pembuatan Hiposalin

0,25 gram NaCl dilarutkan dalam dapar fosfat pH.7,4 (0,15 M) sampai volume 100 mL pada suhu ruang (Oyedapo et al., 2010). Kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 115oC.

e. Penyiapan konsentrasi ekstrak dan Na diklofenak

50 mg ekstrak dari setiap fraksi dilarutkan dalam isosalin sampai 50 mL (1000 ppm) pada suhu ruang. Begitu juga dengan Na diklofenak, sebanyak 50 mg Na diklofenak dilarutkan dalam 50 mL isosalin (1000 ppm) pada suhu ruang. Kemudian kedua larutan tersebut diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi (50, 100, 200, 400 dan 800 ppm).

3.4.5.2 Pembuatan suspensi sel darah merah

Metode ini dijelaskan oleh Gandhisan, 1991 dalam Kumar et al., 2012 dan dimodifikasi dengan metode Sadique et al., 1989 dalam Oyedapo et al., 2010. Darah diambil dari sukarelawan sehat sebanyak 10 mL lalu dimasukkan kedalam tabung centrifuge yang telah berisi larutan alsever steril sebanyak 10 mL. Campuran darah dan larutan alsever steril tersebut kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 27oC. Supernatan yang terbentuk dipisahkan menggunakan pipet steril. Endapan sel-sel darah yang tersisa kemudian dicuci dengan larutan isosalin dan disentrifugasi kembali. Proses tersebut diulang 4 kali sampai isosalin jernih. Volume sel darah diukur dan diresuspensi dengan isosalin sehingga didapatkan suspensi sel darah merah dengan konsentrasi 10% v/v. Suspensi sel darah tersebut disimpan pada suhu 4oC jika belum digunakan (Oyedapo et al., 2010)

3.4.5.3 Pengujian Aktivitas Ekstrak Terhadap Stabilisasi Membran Eritrosit. Untuk menentukan aktivitas ekstrak terhadap stabilisasi membran eritrosit, larutan yang digunakan sebagai berikut:


(49)

a. Pembuatan Larutan uji

Larutan uji (4,5 mL) terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 2 mL hiposalin, 0,5 mL suspensi sel darah merah dan 1 mL larutan sampel. b. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Larutan kontrol positif terdiri dari 1mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 2 mL hiposalin, 0,5 mL suspensi sel darah merah dan 1 mL larutan Na diklofenak.

c. Pembuatan Larutan Kontrol Larutan Uji

Larutan kontrol larutan uji terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 2 mL hiposalin, 0,5 mL larutan isosalin sebagai pengganti suspensi sel darah merah dan 1 mL larutan sampel.

d. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Larutan kontrol negatif terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 2 mL hiposalin, 0,5 mL suspensi sel darah merah dan 1 mL larutan isosalin sebagai pengganti larutan sampel.

Setiap larutan di atas kemudian diinkubasi pada 37ºC selama 30 menit dan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit. Cairan supernantan yang didapat diambil dan kandungan hemoglobinnya diperhitungkan dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 560 nm. Persen stabilitas membran sel darah merah dapat dihitung dengan rumus, sebagai berikut:

% Stabilitas =


(50)

3.4.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. Jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan uji Analisis of Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. Jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan metode LSD (Santoso, 2008).

3.4.7. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia meliputi flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan antrakuinon (Guevara & Recio, 1985) dilakukan terhadap fraksi etil asetat daun kelor.

3.4.7.1 Alkaloid

Fraksi Etil asetat sebanyak 10 mg ditimbang, lalu ditambahkan 10 mL kloroform diaduk rata. Campuran disaring kedalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 0,5 mL H2SO4 1 M dan dikocok

baik-baik, dibiarkan beberapa saat. Lapisan atas yang jernih dipipet kedalam 2 tabung reaksi kecil. Salah satunya diberikan pereaksi Dragendorff dan tabung lainnya pereaksi Mayer 2-3 tetes. Reaksi positif apabila menunjukkan endapan kuning jingga (orange) dengan pereaksi Drogendorff dan endapan putih dengan pereaksi Mayer (Guevara & Recio, 1985).

3.4.7.2 Flavonoid

Metode Wilstatter Cyanidin

Fraksi etil asetat sebanyak 10 mg ditimbang. Setelah itu ditambahkan 20 mL etanol 70% dan dipipet 10 mL larutan ke dalam


(51)

tabung reaksi lain. Campuran ditambahkan 0,5 mL HCl pekat, 3-4 butir Mg dan ditambahkan 1 mL amil alkohol. Kocok kuat-kuat dan biarkan beberapa saat kemudian amati perubahan warna pada masing-masing lapisan pelarut. Apabila terjadi pembentukan atau perubahan warna menunjukkan reaksi positif terhadap flavonoida (Guevara & Recio, 1985).

3.4.7.3 Saponin Uji Forth

Fraksi etil asetat sebanyak 10 mg ditimbang, lalu ditambahkan 10 mL air panas. Selanjutnya dikocok kuat selama 10 detik, akan terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 1 tetes HCl 2 N dan diamati (Guevara & Recio, 1985).

3.4.7.4 Tanin

Metode Feri Klorida

Fraksi etil asetat sebanyak 10 mg ditimbang, kemudian ditambahkan 20 mL air panas dan 5 tetes larutan NaCl 10%. Campuran dibagi menjadi 2 tabung reaksi, salah satunya sebagai kontrol negatif dan yang lainnya ditambahkan larutan FeCl3 1% sebanyak 3 tetes.

Perubahan warna diamati, dimana tanin terhidrolisa memberikan warna biru atau biru-hitam, sedangkan tanin terkondensasi memberikan warna biru-hijau dan dibandingkan dengan kontrol (Guevara & Recio, 1985). 3.4.7.5 Antrakuinon

Metode Borntrager’s

Masing-masing ekstrak sebanyak 10 mg ditimbang, lalu ditambahkan 5 mL benzen. Campuran dibagi menjadi 2 tabung reaksi,


(52)

salah satunya sebagai kontrol negatif dan yang lainnya ditambahkan 5 mL amoniak 25%. Apabila terjadi warna merah muda seulas pada lapisan larutan amonia menunjukkan positif adanya senyawa antrakuinon (Guevara & Recio, 1985).


(53)

4.1. Hasil

4.1.1. Hasil Determinasi

Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel merupakan spesies Moringa oleifera L.. Sertifikat hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.1.2. Pembuatan Serbuk Simplisia

Daun kelor segar yang digunakan sebanyak 1,5 kg, setelah melalui serangkaian proses pembuatan simplisia seperti pengeringan, penyerbukan dan pengayakan diperoleh serbuk daun kelor sebanyak 800 gram. Serbuk simplisia yang dihasilkan halus dan berwarna hijau. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Gambar 9 .


(54)

4.3. Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi

Proses ekstraksi daun kelor dilakukan menggunakan metode maserasi pelarut etanol 70% dan dilanjutkan dengan fraksinasi bertingkat sehingga didapat fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol 50%. Persen perolehan (rendemen) ekstrak merupakan perbandingan antara bobot ekstrak yang dihasilkan dengan bobot awal yang digunakan. Rendemen ekstrak daun kelor diperoleh dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Tabel 2 dan perhitungan hasil rendemen dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 2. Hasil Rendemen Ekstrak dan Fraksi Daun Kelor

N0. Tahapan Bobot awal

yang ditimbang

Bobot ekstrak dan fraksi yang didapat

Rendemen

1. Ekstrak etanol 70% 700 g 258,620 g 36,953%

2. Fase n-heksan 150 g

(diambil dari ekstrak etanol

70%)

8,001 g 5,334%

3. Fase etil asetat 20,64 g 13,760%

4. Fase etanol 50% 89,468 g 59,645%

Berdasarkan hasil tabel di atas, menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut mempengaruhi jumlah ekstrak yang dihasilkan, pelarut etanol memiliki rendemen paling tinggi, diikuti rendemen ekstrak etil asetat dan rendemen ekstrak n-heksan secara berturut-turut. Gambar ekstrak dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.


(55)

Gambar 10: A; ekstrak etanol 70%, B; fraksi n-heksan, C; etil asetat dan D; etanol 50%

Fraksi kental dari masing-masing pelarut yang diperoleh akan digunakan dalam tahap uji selanjutnya, yaitu uji aktivitas pendahuluan fraksi terhadap stabilisasi membran sel darah merah yang diinduksi larutan hipotonik pada konsentrasi 1000 ppm.

4.4. Hasil Uji Stabilisasi Membran Eritrosit Ekstrak etanol 70%, Fase n-heksan, Etil Asetat dan fraksi Etanol 50% pada konsentrasi 1000 ppm

Stabilisasi membran eritrosit telah digunakan sebagai metode untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi secara in vitro. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh presentase stabilisasi membran eritrosit yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan perhitungannya pada Lampiran 7. Serta histogramnya pada Gambar 11.


(56)

Tabel 3. Stabilisasi membran eritrosit dari ekstrak uji dan kontrol positif terhadap induksi larutan hipotonik pada konsentrasi 1000 ppm.

Larutan Absorbansi Larutan Absorbansi %

Stabilitas

Rata- rata % Stabilitas

Uji I

(ekstrak etanol 70%)

0,119

Kontrol Lar.Uji I

0,021 86,483

87,632

0,113 0,029 88,414

0,114 0,027 88,000

Uji II (fraksi n-heksan )

0,137

Kontrol Lar.Uji II

0,036 86,069

86,483

0,136 0,037 86,345

0,132 0,038 87,035

Uji III (fraksi etil asetat)

0,109

Kontrol Lar.Uji III

0,039 90,345

90,575

0,110 0,044 90,897

0,111 0,042 90,483

Uji IV (fraksi etanol 50%)

0,128

Kontrol Lar.Uji IV

0,027 86,069

86,943

0,123 0,035 87,862

0,127 0,032 89.897

Uji V (Na diklofenak)

0,062

Kontrol Lar. Uji V

0,009 92,690

92,138

0,065 0,005 91,724


(57)

Gambar 11. Stabilisasi membran eritrosit dari ekstrak uji dan kontrol positif terhadap induksi larutan hipotonik. Hasil uji aktivitas antiinflamasi menggunakan metode stabilisasi membran sel darah manusia berdasarkan perhitungan % stabilitas menunjukkan bahwa fraksi yang mempunyai aktivitas tertinggi adalah fraksi etil asetat. Hal ini juga ditunjang dengan hasil analisis secara statistik, yang menunjukkan bahwa kemampuan stabilitas fraksi etil asetat berbeda secara bermakna terhadap ekstrak dan fraksi daun kelor yang lain namun identik terhadap Na diklofenak sebagai kontrol positif. Oleh karena itu, fraksi etil asetat lah yang kemudian dilanjutkan untuk skrining fitokimia dan diuji stabilitas membran sel darah merah kembali dengan beberapa seri konsentrasi (50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm dan 800 ppm) dan dibandingkan dengan kontrol positif berupa Na diklofenak. Hasil stabilisasi dapat dilihat pada Tabel 4.

83% 85% 87% 89% 91% 93%

E. EtOH 70%

F. heksan F. EA F. EtOH 50%

Na diklo

Stabilitas 87.63% 86.48% 90.58% 86.94% 92.14%

%

S

tabi

li

tas

E. EtOH 70%

F. heksan

F. EA

F. EtOH 50%


(58)

Tabel 4. Stabilisasi fraksi etil asetat daun kelor terhadap membran eritrosit akibat induksi larutan hipotonik dengan beberapa variasi konsentrasi.

Sampel Konsentrasi (µ g/ml)

Absorbansi

Lar. Uji % Stabilisasi

Rata-rata stabilisasi (%)

Fraksi etil asetat daun kelor (Moringa oleifera L.)

50

0,232 69,104

69,333 0,229 69,517

0,230 69,380

100

0,182 77,380

77,334 0,183 77,242

0,182 77,380

200

0,173 79,600

79,862 0,172 79,862

0,171 80,000

400

0,160 81,931

82,069 0,159 82,069

0,158 82,207

800

0,125 87,448

87,448 0,125 87,448

0,125 87,448

1000

0,109 90,345

90,575 0,110 90,897

0,111 90,483

Na diklofenak (kontrol positif)

50

0,123 83,586

84,138 0,116 84,552

0,117 84,276

100

0,105 86,345

86,299 0,106 86,069

0,103 86,483

200

0,084 89,269

87,678 0,094 87,917

0,109 85,848

400

0,089 88,690

88,828 0,090 88,828

0,089 88,966

800

0,076 90,897

91,173 0,072 91,449

0,074 90,173

1000

0,062 92,690

92,138 0,065 91,724


(59)

Gambar 12. Kurva stabilisasi membran eritrosit akibat induksi larutan hipotonik dengan beberapa variasi konsentrasi.

60 65 70 75 80 85 90 95

0 200 400 600 800 1000

%

S

tabi

li

tas

Konsentrasi (ppm)

Stabilitas Fraksi Etil Asetat

Frak.EA


(60)

Tabel 5. Hubungan antara % Stabilitas / % Inhibisi Hemolisis dan Log Konsentrasi untuk Menentukan nilai IC50 dengan

Metode Analisis Probit

Sampel Konsentrasi (ppm)

Log konsentrasi

% Stabilitas

rata-rata Probit

IC50

(ppm)

Fraksi etil asetat daun

kelor

50 1,699 69,333 5,50

3,753

100 2,000 77,334 5,74

200 2,301 79,862 5,84

400 2,602 82,069 5,92

800 2,903 87,448 6,13

1000 3,000 90,575 6,28

Na diklofenak

50 1,699 84,138 5,99

0,035

100 2,000 86,299 6,06

200 2,301 87,908 6,18

400 2,602 88,828 6,23

800 2,903 91,173 6,34


(61)

Gambar 13. Kurva antara Probit dan Log Konsentrasi Fraksi Etil Asetat Daun Kelor pada Berbagai Varian Konsentrasi

Untuk memperoleh nilai IC50 dibuat terlebih dahulu kurva persamaan

garis regresi linier (Gambar 13). Berdasarkan persamaan garis linier tersebut didapat nilai IC50 dari fraksi etil asetat daun kelor sebesar 3,753 ppm dan IC50

dari Na diklofenak sebesar 0,035 ppm. 4.5. Hasil Skrining Fitokimia

Dalam penelitian ini analisis fitokimia dilakukan terhadap fraksi etil asetat daun kelor. Senyawa-senyawa yang dianalisis meliputi senyawa flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan antrakuinon. Pengujian fitokimia dimaksudkan untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam daun tersebut setelah mengalami proses ekstraksi & fraksinasi. Hasil penelitian terhadap uji fitokimia fraksi etil asetat daun kelor dapat dilihat pada uraian Tabel 7.

y = 0.4784x + 4.7252 R² = 0.9639 y = 0.289x + 5.4949

R² = 0.9881

5.4 5.6 5.8 6 6.2 6.4 6.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

P

rob

it

Log Konsentrasi

IC

50

Frak. EA

Na diklofenak

Linear (Frak. EA)


(62)

Tabel 7. Hasil Skrining Fitokimia Sampel

Keterangan : A = flavonoid, B = saponin, C = tanin, D = alkaloid, E = antrakuinon.

+ = kurang kuat, ++= kuat, +++= sangat kuat Kontrol Positif : Alkaloid : Ekstrak Alstonia scholaris

Flavonoid : Rutin

Tanin : Ekstrak Areca catechu Saponin : Ekstrak Sapindus rarak Antrakuinon: Ekstrak Sterculia sp

4.6. Pembahasan 4.6.1. Ekstraksi

Proses ekstraksi daun kelor dilakukan menggunakan metode maserasi. Proses ekstraksi dengan cara maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang menguntungkan karena sel simplisia yang direndam di dalam pelarut akan mengalami pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Pelarut dapat melarutkan komponen dalam sel dengan melintasi membran sel ke dalam bagian sel, dengan mengalirnya bahan pelarut kedalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak, dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya. Bahan kandungan tersebut berpindah secara osmosis melalui ruang antar rongga sel, gaya yang bekerja adalah perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut yang mula-mula masih tanpa bahan aktif. Bahan kandungan sel akan mencapai ke dalam cairan disebelah luar selama osmosis melintasi membran sampai

Sampel

Golongan senyawa kimia

A B C D E


(63)

-terbentuknya suatu keseimbangan konsentrasi antara larutan di sebelah dalam dan di sebelah luar sel (Voight, 1994).

Menurut Filho (2006) ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol sangat efektif dalam mengisolasi senyawa-senyawa metabolit sekunder. Maserasi dengan menggunakan pelarut etanol dilakukan karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar, semi polar dan non polar serta kemampuannya untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga dapat terhindar proses hidrolisis dan oksidasi (Harborne, 1987). Senyawa-senyawa yang dapat diikat oleh pelarut etanol antara lain fixed oils, lemak, lilin, alkaloid, flavonoid, polifenol, tanin, saponin, steroid, terpenoid, fenolik, aglikon dan glikosida (Filho, 2006). Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air. Etanol (70%) sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan penganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan pengekstraksi (Voight, 1994).

Partisi pada ekstrak daun kelor bertujuan untuk memisahkan senyawa berdasarkan kelarutannya pada pelarut dengan tingkat kepolaraan yang berbeda. Partisi dilakukan dengan pelarut n-heksan dan etil asetat dan etanol 50 %. Rendemen ekstrak etanol 70 % daun kelor diperoleh, yaitu 36,953 % sedangkan pada fraksi n- heksan diperoleh sebesar 5,334 %, fraksi etil asetat diperoleh sebesar 13,760 % dan pada fraksi etanol 50 % diperoleh hasil 59,645 %. Hasil tersebut dapat terjadi karena etanol memiliki gugus polar yang lebih kuat daripada gugus non polar, hal ini dapat terlihat dari struktur kimia etanol yang mengandung gugus hidroksil (polar) dan gugus karbon (non polar). Rendemen pada pelarut etil asetat lebih kecil dibandingkan dengan pelarut etanol namun lebih besar dari pelarut n-heksan, hal ini dikarenakan adanya gugus etoksi yang terdapat pada struktur kimia etil asetat. Adanya gugus etoksi tersebut yang menyebabkan etil asetat dapat


(64)

membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa yang terdapat pada sampel. Ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut etil asetat lebih lemah dibandingkan dengan ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut etanol sehingga rendemen pada fraksi etil asetat lebih sedikit (Tursiman et al., 2012). Rendemen pada fraksi n-heksan paling sedikit karena sampel sedikit mengandung komponen non polar.

4.6.2. Skrining Fitokimia

Senyawa metabolik sekunder dalam daun kelor dapat diketahui dengan melakukan skrining fitokimia. Fitokimia merupakan bagian ilmu pengetahuan alam yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Dalam penelitian ini analisis fitokimia dilakukan terhadap fraksi etil asetat daun kelor menggunakan metode yang dikembangkan oleh Guevara & Recio (1985). Senyawa-senyawa yang dianalisis meliputi senyawa flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan antrakuinon. Dari hasil penapisan fitokimia fraksi etil asetat daun kelor mengandung flavonoid, saponin dan tanin.

6.2.1 Flavonoid

Fraksi etil asetat daun kelor menunjukan kandungan senyawa golongan flavonoid dengan terbentuknya warna merah seulas pada lapisan amil alkohol. Dalam Gambar 14 menjelaskan reaksi pembentukan warna pada flavonol. Menurut Guevara & Recio (1985), senyawa golongan flavonoid seperti flavonol, flavanon, dan xanton akan memberikan warna merah jika direduksi dengan logam magnesium dan asam klorida. Warna merah terbentuk merupakan senyawa kompleks garam flavilium. Garam tersebut dengan basa akan menghasilkan kembali flavonoid semula (Marliana et al., 2005). Digunakan senyawa murni rutin sebagai kontrol positif.


(65)

Gambar 14. Reaksi pembentukan garam flavilium.

6.2.3 Saponin

Pengujian pada saponin dalam fraksi etil asetat daun kelor digunakan uji Forth. Timbulnya busa pada uji saponin menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya (Guevara & Recio, 1985). Menurut Marlinda et al. (2012) senyawa yang memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif permukaan sehingga saat dikocok dengan air, saponin dapat membentuk misel. Pada struktur misel, gugus polar menghadap ke luar sedangkan gugus non polarnya menghadap ke dalam. Keadaan inilah yang tampak seperti busa. Reaksi pembentukan busa di tunjukkan pada Gambar 15.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 14. Hasil Skrining Fitokimia Alkaloid

Kontrol +. Fraksi Etil Asetat Flavonoid


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saponin

Kontrol + Fraksi Etil Asetat

Tanin


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Antrakuinon


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15. Struk Hasil Spektrofotomerti UV-VIS

a. Data Absorbansi Ekstrak Etanol 70%, Fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, fraksi etanol 50% dan Na diklofenak opada Konsentrasi 1000 ppm


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Data Absorbansi Frraksi Etil Asetat pada Konsentrasi 50, 100, 200, 400 dan 800


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta