Potensi antibakteri propolis lebah Trigona spp asal Bogor

ABSTRAK
ADE JAMALUDIN SUNNY. Potensi Antibakteri Propolis Trigona spp asal
Bogor. Dibimbing oleh A.E. ZAINAL HASAN dan I MADE ARTIKA.
Propolis merupakan resin yang dikumpulkan lebah madu dari berbagai bagian
tumbuhan. Penelitian terhadap contoh propolis dari berbagai tempat menunjukan
keanekaragaman dalam komposisi kimiawinya. Komposisi kimiawi propolis ini
bergantung kepada jenis flora yang terdapat pada tempat pengambilannya. Hal ini
memberikan kemungkinan adanya perbedaan aktivitas antibakteri dari masingmasing contoh.
Penelitian ini menggunakan propolis Trigona spp dari Bogor, Indonesia.
Ekstrak etanol dari propolis ini diuji menggunakan metode difusi agar untuk
mengetahui potensi antibakterinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa propolis
mempunyai aktvitas antibakteri yang lebih baik terhadap bakteri gram positif,
Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus daripada terhadap bakteri Gram
negatif, E. coli and Pseudomonas aeruginosa. Konsentrasi hambat tumbuh
minimum propolis terhadap bakteri Gram positif adalah 1.563%, sedangkan
terhadap bakteri Gram negatif 3.125%.

ABSTRACT
ADE JAMALUDIN SUNNY. Potency of Bogor Trigona spp Propolis as an
Antibacterial Subtance. Under direction A.E. ZAINAL HASAN and I MADE
ARTIKA.

Propolis contains resinous substances collected by honey bees from various
plant sources. Analysis of numerous samples from different geographic regions
led to the disclosure that the chemical composition of propolis is highly variable
depends on the specificity of the local flora at the site of collection and thus on the
geographic and climatic characteristics of this site. This fact results in the striking
diversity of propolis chemical composition, especially of propolis originating
from tropical regions.
The ethanol extract of Trigona spp propolis collected in Bogor, Indonesia was
prepared an assayed to get information about it’s potential ability as antimicrobial
substance. Antimicrobial activity was determined by disk diffusion assay. The
result of this study shows that the propolis more effective against Gram positive
bacterias, Bacillus subtilis and Staphylococcus aureus than Gram negative, E. coli
and Pseudomonas aeruginosa. Minimum inhibitory concentration of extract were
up to 1.563% against the Gram positive bacterias, and 3.125% against the Gram
negative bacterias.

PENDAHULUAN
Propolis merupakan produk dari sarang
lebah yang sudah sejak lama digunakan
sebagai antiseptik dan obat luka. Hasil

penelitian modern menunjukkan bahwa
propolis dapat berfungsi sebagai antiimflamasi, pengobatan serangan jantung,
diabetes, kanker, antifungal, antibakteri, dan
antioksidan (Hegazi & El Hady 2001).
Perkembangan penelitian terhadap propolis ini
menarik untuk dicermati karena kandungan
kimiawi propolis berbeda-beda antara suatu
daerah dengan daerah lain.
Perbedaan vegetasi lingkungan tempat
hidup lebah madu sangat berpengaruh terhadap
kandungan kimiawi propolis. Walaupun
demikian ternyata kandungan kimiawi yang
berbeda-beda
ini
tidak
serta-merta
memberikan perbedaan terhadap aktivitas
biologisnya (Bankova 2005). Sebagai contoh,
hasil analisis tentang aktivitas antibakteri
terhadap propolis yang berasal Eropa, Brazil,

dan Amerika tengah yang dilakukan oleh
Povova et al. (2004). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kemiripan
aktivitas antibakteri dari semua contoh yang
diuji kecuali yang berasal dari Amerika
Selatan yang aktivitasnya lebih rendah.
Kemiripan
aktivitas
antibakteri
cukup
mengherankan mengingat kimiawi propolis
dari Brazil dan Eropa sangatlah berbeda.
Penelitian lain yang dikerjakan oleh Banksota
et al. (2000) terhadap 4 contoh propolis yang
berasal dari Brazil, Peru, Belanda, dan China
menunjukkan bahwa semua propolis tersebut
memiliki aktivitas antiradikal bebas yang
relatif sama, kecuali yang berasal dari Peru
yang aktivitasnya lebih kecil.
Kemiripan aktivitas biologis dari propolis

yang berbeda kandungan kimiawinya ini
merupakan hal yang menakjubkan. Penelitian
terhadap propolis ini sangat penting untuk
terus dilanjutkan untuk memberikan informasi
yang detail tentang aktivitas biologis yang
dimiliki propolis dalam hubungannya dengan
kandungan kimiawinya yang beragam. Salah
satu aktivitas biologis yang perlu mendapat
perhatian adalah aktivitas antibakterinya.
Penentuan senyawa antibakteri dari alam ini
setidaknya dapat memberikan sebuah solusi
terhadap kekhawatiran terhadap efek samping
dari senyawa antibakteri sintetik.
Indonesia sebagai negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
Keanekaragaman ini memberikan tempat
hidup yang berbeda-beda bagi lebah Trigona
spp, yang secara tidak langsung membuat

kandungan kimiawi propolis di suatu daerah

dengan daerah lain tidak sama. Perbedaan
inilah yang kemudian menjadi dasar penelitian
untuk mempelajari aktivitas biologis dari
propolis yang berasal dari Bogor, terutama
aktivitas antibakterinya.
Penelitian bertujuan untuk memberikan
informasi tentang aktivitas antibakteri dari
propolis yang berasal dari daerah Bogor.
Hipotesis penelitian adalah propolis yang
berasal dari Bogor mempunyai aktivitas
antibakteri dan berpotensi sebagai zat
antibakteri alternatif. Manfaat penelitian ini
adalah
memberikan
pengetahuan
dan
penjelasan propolis yang berasal daerah Bogor
dapat dimanfaatkan sebagai zat antibakteri.

TINJAUAN PUSTAKA

Lebah madu Trigona spp
Lebah madu Trigona spp (Gambar 1), yang
dalam bahasa daerah sering disebut klanceng,
lanceng (Jawa), teweul
(sunda) (Perum
Perhutani 1986), merupakan salah satu
serangga sosial yang hidup berkelompok
membentuk koloni. Satu koloni lebah ini
berjumlah 300-80.000 lebah. Trigona spp
banyak hidup di daerah tropis dan subtropis,
antara lain seperti di Amerika Selatan,
setengah Afrika bagian selatan, dan Asia
Selatan dan Asia Tenggara (Free 1982).
Trigona spp diklasifikasikan dalam divisi
Animalia, filum Arthropoda kelas Insecta,
ordo Hymenoptera, famili Apidae, genus
Trigona, dan spesies Trigona spp (Sihombing
1997).
Lebah Trigona spp merupakan salah satu
stingless bee atau lebah yang tidak memiliki

sengat. Trigona spp memiliki sengat sisa,
namun tidak digunakan sebagai alat
pertahanan. Lebah ini akan menggigit
musuhnya atau membakar kulit musuhnya
dengan larutan basa. Organ vital (mata,
hidung, dan telinga) musuh akan dikelilingi
oleh lebah lain dalam satu koloninya. Lebah
ini juga dilengkapi sistem kekebalan untuk
menyerang serangga pengganggun lain (Free
1982).
Lebah Trigona spp lebih banyak mencari
makan di pagi hari dibandingkan dengan di
sore hari. Trigona spp dengan ukuran tubuh 5
mm mempunyai jarak terbang sekitar 600 m.
Jarak terbang ini dipengaruhi oleh ukuran
tubuh lebah, lebah yang lebih besar daripada
Trigona mempunyai jarak terbang yang relatif
lebih jauh (Amano et al. 2000, diacu dalam
Nelli 2004). Lebah pekerja mencari bunga


PENDAHULUAN
Propolis merupakan produk dari sarang
lebah yang sudah sejak lama digunakan
sebagai antiseptik dan obat luka. Hasil
penelitian modern menunjukkan bahwa
propolis dapat berfungsi sebagai antiimflamasi, pengobatan serangan jantung,
diabetes, kanker, antifungal, antibakteri, dan
antioksidan (Hegazi & El Hady 2001).
Perkembangan penelitian terhadap propolis ini
menarik untuk dicermati karena kandungan
kimiawi propolis berbeda-beda antara suatu
daerah dengan daerah lain.
Perbedaan vegetasi lingkungan tempat
hidup lebah madu sangat berpengaruh terhadap
kandungan kimiawi propolis. Walaupun
demikian ternyata kandungan kimiawi yang
berbeda-beda
ini
tidak
serta-merta

memberikan perbedaan terhadap aktivitas
biologisnya (Bankova 2005). Sebagai contoh,
hasil analisis tentang aktivitas antibakteri
terhadap propolis yang berasal Eropa, Brazil,
dan Amerika tengah yang dilakukan oleh
Povova et al. (2004). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kemiripan
aktivitas antibakteri dari semua contoh yang
diuji kecuali yang berasal dari Amerika
Selatan yang aktivitasnya lebih rendah.
Kemiripan
aktivitas
antibakteri
cukup
mengherankan mengingat kimiawi propolis
dari Brazil dan Eropa sangatlah berbeda.
Penelitian lain yang dikerjakan oleh Banksota
et al. (2000) terhadap 4 contoh propolis yang
berasal dari Brazil, Peru, Belanda, dan China
menunjukkan bahwa semua propolis tersebut

memiliki aktivitas antiradikal bebas yang
relatif sama, kecuali yang berasal dari Peru
yang aktivitasnya lebih kecil.
Kemiripan aktivitas biologis dari propolis
yang berbeda kandungan kimiawinya ini
merupakan hal yang menakjubkan. Penelitian
terhadap propolis ini sangat penting untuk
terus dilanjutkan untuk memberikan informasi
yang detail tentang aktivitas biologis yang
dimiliki propolis dalam hubungannya dengan
kandungan kimiawinya yang beragam. Salah
satu aktivitas biologis yang perlu mendapat
perhatian adalah aktivitas antibakterinya.
Penentuan senyawa antibakteri dari alam ini
setidaknya dapat memberikan sebuah solusi
terhadap kekhawatiran terhadap efek samping
dari senyawa antibakteri sintetik.
Indonesia sebagai negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
Keanekaragaman ini memberikan tempat

hidup yang berbeda-beda bagi lebah Trigona
spp, yang secara tidak langsung membuat

kandungan kimiawi propolis di suatu daerah
dengan daerah lain tidak sama. Perbedaan
inilah yang kemudian menjadi dasar penelitian
untuk mempelajari aktivitas biologis dari
propolis yang berasal dari Bogor, terutama
aktivitas antibakterinya.
Penelitian bertujuan untuk memberikan
informasi tentang aktivitas antibakteri dari
propolis yang berasal dari daerah Bogor.
Hipotesis penelitian adalah propolis yang
berasal dari Bogor mempunyai aktivitas
antibakteri dan berpotensi sebagai zat
antibakteri alternatif. Manfaat penelitian ini
adalah
memberikan
pengetahuan
dan
penjelasan propolis yang berasal daerah Bogor
dapat dimanfaatkan sebagai zat antibakteri.

TINJAUAN PUSTAKA
Lebah madu Trigona spp
Lebah madu Trigona spp (Gambar 1), yang
dalam bahasa daerah sering disebut klanceng,
lanceng (Jawa), teweul
(sunda) (Perum
Perhutani 1986), merupakan salah satu
serangga sosial yang hidup berkelompok
membentuk koloni. Satu koloni lebah ini
berjumlah 300-80.000 lebah. Trigona spp
banyak hidup di daerah tropis dan subtropis,
antara lain seperti di Amerika Selatan,
setengah Afrika bagian selatan, dan Asia
Selatan dan Asia Tenggara (Free 1982).
Trigona spp diklasifikasikan dalam divisi
Animalia, filum Arthropoda kelas Insecta,
ordo Hymenoptera, famili Apidae, genus
Trigona, dan spesies Trigona spp (Sihombing
1997).
Lebah Trigona spp merupakan salah satu
stingless bee atau lebah yang tidak memiliki
sengat. Trigona spp memiliki sengat sisa,
namun tidak digunakan sebagai alat
pertahanan. Lebah ini akan menggigit
musuhnya atau membakar kulit musuhnya
dengan larutan basa. Organ vital (mata,
hidung, dan telinga) musuh akan dikelilingi
oleh lebah lain dalam satu koloninya. Lebah
ini juga dilengkapi sistem kekebalan untuk
menyerang serangga pengganggun lain (Free
1982).
Lebah Trigona spp lebih banyak mencari
makan di pagi hari dibandingkan dengan di
sore hari. Trigona spp dengan ukuran tubuh 5
mm mempunyai jarak terbang sekitar 600 m.
Jarak terbang ini dipengaruhi oleh ukuran
tubuh lebah, lebah yang lebih besar daripada
Trigona mempunyai jarak terbang yang relatif
lebih jauh (Amano et al. 2000, diacu dalam
Nelli 2004). Lebah pekerja mencari bunga

yang memiliki nektar dengan kandungan gula
yang tinggi. Lebah ini akan memberitahukan
keberadaan sumber nektar pada lebah lain
dalam koloninya dengan menggunakan suatu
tarian. Jenis lebah Trigona yang lain ada yang
menandai sumber makanannya dengan
menggunakan
feromon
dari
kelenjar
mandibular yang dikenali oleh lebah lain
dalam satu koloni (Free 1982).

Gambar 1 Lebah madu Trigona spp (Brisbane
Insects 2010).
Koloni lebah madu terdiri atas kasta
reproduktif (lebah ratu dan lebah jantan) dan
kasta nonreproduktif (lebah pekerja). Setiap
kasta atau golongan memiliki keunikan
anatomis, fisiologis dan dan fungsi biologis
yang berbeda-beda (sifat polimorfisme). Di
dalam satu koloni lebah hanya terdapat satu
ekor ratu yang berukuran paling besar dan
bertugas hanya menghasilkan telur, beberapa
ratus lebah jantan (drone) yang berfungsi
mengawini lebah ratu perawan, dan beberapa
puluh ribu lebah pekerja, serta ditambah telur,
larva, dan pupa (Sihombing 1997). Semua
pekerjaan di dalam koloni dilakukan oleh
lebah
pekerja.
Berdasarkan
tempat
berlangsungnya tempat pekerjaan, tugas lebah
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu tugas di
dalam sarang dan di luar sarang serta
pembagian tugasnya berdasarkan umur.
Propolis
Propolis merupakan resin lengket yang
terdapat pada sarang lebah (Hegazi & El Hady
2001). Resin ini dikumpulkan oleh lebah
pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau
bagian-bagian lain dari tumbuhan. Resin-resin
yang diperoleh dari bermacam-macam
tumbuhan ini dicampur dengan saliva dan
enzim lebah sehingga berbeda dari resin
asalnya lebah menggunakan resin ini untuk
berbagai keperluan (Gojmerac 1993).
Propolis ini telah digunakan dalam jangka
waktu yang lama dalam pengobatan tradisional
di berbagai negara tidak kurang sejak 3000
tahun sebelum Masehi. Beberapa peneliti telah
mengonfirmasi tentang kegunaan propolis ini.
Propolis dapat berfungsi sebagai anti-

imflamasi, antibakteri, antikanker, antifungi
antivirus, dan antioksidan (Hegazi & El Hady
2001).
Gojmerac (1983) menyatakan bahwa
propolis mengandung bahan campuran
kompleks malam, resin, balsam, minyak, dan
sedikit pollen. Komposisinya bervariasi
tergantung dari tumbuhan asal. Propolis juga
mengandung zat aromatik, zat wangi, dan
berbagai mineral. Propolis dan jumlah
senyawa-senyawanya menunjukkan bermacam-macam efek biologis dan aktivitas
farmakologis. Lebih dari 200 senyawa yang
terkandung di dalam propolis sudah diketahui
(Khismatullina 2005).
Banyak peneliti yang percaya bahwa
senyawa-senyawa kimia yang bertanggung
jawab besar terhadap aktivitas biologis
propolis adalah asam kafeat, flavonoid, dan
ester fenolat (Katircioglu & Mercan 2006).
Flavonoid
berperan
dalam
pewarnaan
tumbuhan. Sekurang-kurangnya ada 38 jenis
flavonoid yang termasuk flavonol (galanin,
kaemferol,
quersetin),
dan
flavonon
(pinobanksin), serta flavon (chrysin, acacetin,
apigenin, ermanin). beberapa senyawa fenolat
yang terkandung di dalam propolis adalah
hidroksisinamat, asam sinamat, vanilin, benzin
alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta
asam ferulat. Nilai nutrisi propolis sangat
kecil, yaitu berasal dari protein, asam amino,
mineral, dan gula, serta vitamin dalam jumlah
kecil seperti vitamin A, B1, B2, B6, C, dan E
(Khismatullina 2005).
Kemampuannya sebagai antibakteri tidak
terlepas dari senyawa-senyawa aktif yang
terdapat di dalamnya. Senyawa aktif yang
memberikan
efek
antibakteri
adalah
pinochebrin, pinobanksin, asam kafeat, dan
asam ferulat. Senyawa antifunginya adalah
pinochebrin, pinobanksin, asam kafeat,
lutseolin, dan quersetin. Zat aktif yang
diketahui bersifat antibiotik adalah asam
ferulat. Zat ini efektif terhadap bakteri Gram
positif dan bakteri Gram negatif. Asam ferulat
juga berperan dalam pembekuan darah
sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengobati
luka dan diberikan dalam bentuk salep
(Winingsih 2004 diacu dalam Lasmayanty
2008).
Mekanisme antibakteri propolis sendiri
sudah diteliti oleh beberapa peneliti, antara
lain Yang et al. (2007), yang menyelidiki
pengaruh propolis asal Taiwan terhadap
pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans.
Hasilnya, propolis membuat bakteri menjadi
kekurangan material asam nukleat. Kikuni, dan
Schilcher (1994) melaporkan bahwa propolis
menghambat pertumbuhan Streptococcus

agalactiae dengan menghambat pembelahan
sel. Mereka juga melihat indikasi bahwa
propolis mengganggu organisasi sel dan
membran sel.
Kondisi Geografis Asal Propolis
Propolis dikumpulkan lebah dari berbagai
macam bagian tanaman. Oleh karena itu
komposisi kimiawi resin ini sangat bergantung
kepada jenis tanaman yang dijadikan asal resin
tersebut. Lingkungan yang berbeda dengan
jenis vegetasi yang berbeda akan secara tidak
langsung memberikan kandungan kimiawi
propolis yang berbeda pula (Bankova &
Marcucci, 2000). Pebedaan musim pada suatu
tempat
umumnya
tidak
menyebabkan
perbedaan kandungan kimiawi propolis.
Musim yang berbeda hanya menyebabkan
perbedaan kuantitas zat kimia yang ada dalam
propolis (Bankova et al. 1998).
Propolis yang dipakai dalam penelitian
berasal dari Kota Bogor. Kota Bogor terletak
pada ketinggian 190 sampai 330 meter dari
permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan
suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah
26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih
70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor adalah
21.8°C, paling sering terjadi pada bulan
Desember dan Januari. Arah mata angin
dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei
sampai Maret dipengaruhi angin muson barat
(Pemerintahan Kota Bogor 2009)
Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 015% dan sebagian kecil daerahnya mempunyai
kemiringan antara 15–30%. Jenis tanah hampir
di seluruh wilayah adalah latosol coklat
kemerahan dengan kedalaman efektif tanah
lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus
serta bersifat agak peka terhadap erosi. Bogor
terletak pada kaki Gunung Salak dan Gunung
Gede, sehingga sangat kaya akan hujan
orografi. Angin laut dari Laut Jawa yang
membawa banyak uap air masuk ke pedalaman
dan naik secara mendadak di wilayah Bogor
sehingga uap air langsung terkondensasi dan
menjadi hujan. Hampir setiap hari turun hujan
di kota ini dalam setahun (70%) sehingga
dijuluki "Kota Hujan". Keunikan iklim lokal
ini dimanfaatkan oleh para perencana kolonial
Belanda dengan menjadikan Bogor sebagai
pusat penelitian botani dan pertanian, yang
diteruskan hingga sekarang (Pemerintahan
Kota Bogor 2009).
Iklim basah Bogor ini memungkinkan
berbagai macam tumbuhan dapat hidup di
dalamnya. Hal ini yang kemudian menjadi
awal pembentukan vegetasi yang unik bagi
lebah.
Vegetasi
seperti
inilah
yang

menyediakan bahan-bahan untuk pembentukan
propolis sarang lebah.
Bakteri Uji
Bakteri merupakan protista prokariot bersel
tunggal yang sangat beragam dan terdapat di
mana-mana. Dinding sel merupakan salah satu
komponen utama sel yang memberikan bentuk
serta kekuatan pada sel prokariot. Berdasarkan
komposisi dan struktur dinding selnya, bakteri
dibagi ke menjadi 2 golongan, yaitu bakteri
Gram negatif dan bakteri Gram positif.
Perbedaan keduanya dapat dilihat dengan
menggunakan pewarnaan Gram. Bakteri Gram
positif memberikan warna ungu atau biru,
sedangkan bakteri Gram negatif berwarna
merah (Pelczar & Chan 1988).
Bacillus subtilis
Bakteri yang Gram positif ini berbentuk
batang besar dengan flagel peritrik. Bakteri ini
bersifat anaerob dan anaerob fakultatif. Bakteri
yang hidup dengan menggunakan sumber C
dan N sebagai sumber pertumbuhan ini,
berukuran 0.5 -2.5 x 1.2-2.0 μm dengan suhu
optimum 25-37°C. bakteri ini sering
ditemukan di tanah, air, dan udara (Gambar
2).
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri
Gram
positif
dan
termasuk
famili
Micrococaceae. Bentuknya kokus dengan
diameter 0.5-1.5 µm. bakteri ini ditemukan
dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau
bergerombol seperti anggur. Bakteri ini
bersifat patogen, nonmotil, tidak berspora,
tidak berkapsul, hidup secara anaerob
fakultatif, tetapi tumbuh cepat pada keadaan
aerob. Suhu optimum pertumbuhanya adalah
30-37°C. koloni bakteri ini menghasilkan
warna putih, kuning, atau kuning orange
(Pelczar & Chan 1988; Lay & Hastowo 1992).
Eschericia coli
Eschericia coli merupakan penghuni
normal saluran pencernaan manusia dan hewan
berdarah panas. Biasanya tidak patogenik,
tetapi dapat menimbulkan infeksi. Bila
memasuki
kandung
kemih,
dapat
menyebabkan sistisis. Bakteri ini sering
digunakan sebagai indikator kualitas air.
Beberapa galur tertentu dapat menyebabkan
gastroentritis, disentri pada manusia, dan diare
(Pelczar & Chan 1988).
Bakteri E. coli termasuk ke dalam famili
Enterobactericeae. Bentuknya batang atau
koma, berukuran 1.1-1.5 x 2.0-6.0 µm,
terdapat bentuk tunggal, berpasangan dan
dalam rantai pendek (Gambar 3) . Bakteri ini

yang termasuk bakteri Gram negatif yang tidak
berspora ini tumbuh baik pada pH 7.0-7.5,
dengan suhu optimum 37ºC. Koloni E. coli
menghasilkan warna putih kekuningan, dan
permukaan bergelombang di atas agar (Fardiaz
1983). Bakteri ini bersifat nonmotil dan hidup
secara anaerob fakultatif (Holt et al. 1994).
Pseudomonas aeruginosa
Bakteri ini merupakan bakteri Gram
negatif. Bakteri ini berbentuk lurus
melengkung, berukuran 0.5-1.0 x 1.5-5.0 µm
(Gambar 4). Bakteri ini hidup secara aerob,
motil dengan flagel polar, tidak berspora,
koloninya tidak teratur, serta suhu optimum
pertumbuhannya 37ºC.
Bakteri ini dapat tumbuh pada media
umum, dapat hidup di dalam air suling dan
tumbuh baik pada media Nitrogen dengan
bermacam-macam
senyawa
karbon.
Habitatnya di air dan tanah, terdapat pada
kulit, membran mukosa, dan tinja. Pada
manusia yang sehat, bakteri ini ditemukan
dalam usus halus 10-15%. Bakteri ini juga
sering kali merupakan pencemar dan penyebab
terjadinya infeksi (Felczar & Chan 1988;
Fardiaz 1989; Holt et al.. 1994).
Antibakteri
Bahan antimikrob merupakan bahan kimia
yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme mikrob. Berdasarkan kelompok
metabolismenya, antimikrob meliputi antibakteri, antifungi, antivirus, dan antiprotozoa
(Koolman 1997). Antibakteri adalah zat yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan
digunakan secara khusus untuk mengobati
infeksi (Pelczar & Chan 1988).
Berdasarkan cara kerjanya, antibakteri
dibedakan
menjadi
bakterisidal
dan
bakteriostatik. Antibakteri yang bersifat
bakterisidal adalah zat yang bekerja untuk
mematikan bakteri, sedangkan bakteriostatik
bekerja untuk menghambat pertumbuhannya.
Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik
pada konsentrasi rendah, dan bersifat
bakterisidal pada konsentrasi tinggi (Koolman
1997).

Gambar 2 Hasil pewarnaan Gram terhadap
Bacillus subtilis (Todar 2008).

Gambar 3 Bentuk kapsul E. coli (Stirm &
Molbert 1970).
Menurut Koolman (1997), berdasarkan
selektifitas dan pengaruh penghambatan
terhadap bakteri, antibakteri terbagi menjadi
antibakteri berspetrum sempit dan antibakteri
berspektrum luas. Antibakteri berspektrum
sempit mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri Gram
tertentu, sedangkan yang berspektrum luas
dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik
Gram positif maupun Gram negatif.
Mekanisme kerja antibakteri dapat
terjadi melalui beberapa cara, yaitu : 1)
kerusakan pada dinding sel, 2) perubahan
permeabilitas sel, dan 3 menghambat sintesis
protein dan asam nukleat (Koolman 1997).
Banyak faktor dan keadaan yang dapat
mempengaruhi kerja antibakteri, antara lain
konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, spesies
bakteri, adanya bahan organik, suhu, dan pH
(Pelczaar & Chan 1988). Antibiotik adalah
senyawa khas yang dihasilkan oleh organisme
atau
merupakan
turunannya
termasuk
analognya yang dibuat secara sintetik, yang
dalam kadar rendah mampu menghambat
proses penting dalam kehidupan satu spesies
atau lebih mikroorganisme (Siswandono &
Soekardjo 1995).
Salah satu jenis antibiotik adalah ampisilin.
Ampisilin merupakan jenis antibiotik turunan
penisilin dan merupakan senyawa antibakteri
berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Ampisilin tahan terhadap asam, tetapi tidak
tahan terhadap penisilinase (Gambar 5).

Gambar 4 Hasil foto Pseudomonas aeruginosa
oleh mikroskop elektron (Health
Protection Agency 2009).

Gambar 5 Struktur kimia Ampisilin.
Mekanisme kerja ampisilin di dalam sel
bakteri adalah menghambat pembentukan
dinding
sel
dengan
cara
mencegah
bergambungnya
asam
N-asetilmuramat.
Ampisilin digunakan untuk pengobatan infeksi
saluran nafas dan saluran seni, gonorhoe,
gastrosentritis, meningitis, dan infeksi tipoid
(Siswandono & Soekardjo 1995).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah 140
gram propolis kasar Trigona spp yang berasal
dari Bogor, Jawa Barat, bakteri Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, E. coli,
Pseudomonas aeruginosa, NaCl teknis,
pepton, ekstrak yeast, glukosa, agar bakto,
etanol 70%, propilen glikol teknis, akuades
dan pereaksi-pereaksi dalam uji fitokimia.
Alat-alat yang digunakan adalah laminar
air flow cabinet, inkubator, autoklaf, autopipet,
alumunium foil, kapas, cawan Petri, vortex,
alat-alat gelas, dan rotavapor.

METODE PENELITIAN
Ekstraksi Propolis
Propolis diekstraksi dengan metode
Matienzo dan Lamorena (2004). Ekstraksi
dilakukan dengan maserasi menggunakan
etanol 70% sebagai pelarutnya. Sejumlah
140,58 gram propolis kasar Trigona spp
direndam dalam 500 mL etanol 70%. Suspensi
tersebut ditutup dan dikocok dengan shaker
selama 1 minggu dalam ruang gelap. Setelah 1
minggu filtrat disaring, lalu residunya
dimaserasi kembali. Selanjutnya, fitrat diambil
setiap hari selama 1 minggu atau sampai filtrat
terakhir jernih.
Seluruh filtrat yang diperoleh dipekatkan
menggunakan rotavapor pada suhu 45ºC.
Setelah itu, ekstrak pekat yang dilarutkan
dalam propilen glikol sebanyak 1 kali
volumenya, sehingga konsentrasi murni
propolis sebesar 50% dari total ekstrak
propolis.

Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan untuk
mengetahui golongan senyawa aktif pada
ekstrak propolis secara kualitatif. Analisis
fitokimia ini dilakukan berdasarkan metode
Harborne (1987). Identifikasi yang dilakukan
adalah uji flavonoid dan senyawa fenolik, uji
tanin, uji minyak atsiri, uji steroid/triterpenoid,
uji saponin, uji alkaloid, uji glikosida, uji gula
pereduksi. Contoh propolis yang digunakan
ialah ekstrak propolis yang telah diencerkan
dengan akuades.
Uji flavonoid dan senyawa fenolik.
Contoh propolis dengan pengenceran 1:2
dilarutkan dalam metanol lalu dipanaskan pada
suhu 50°C. Filtrat ditambah larutan NaOH atau
asam sulfat pekat. Warna merah atau jingga
yang terbentuk akibat penambahan NaOH
menunjukkan
adanya
senyawafenolik
hidrokuinon dan merah akibat penambahan
asam sulfat pekat menunjukkan adanya
flavonoid. Pembanding yang digunakan ialah
buah pinang.
Uji tanin. Contoh propolis dengan
pengenceran 1:10 ditambah 1:2 mL FeCl3
10%. Jika terbentuk warna biru atau hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin.
Pembanding adalah daun teh.
Uji minyak atsiri. Contoh propolis
dilarutkan dengan alkohol lalu diuapkan
hingga kering. Jika berbau aromatis spesifik,
maka contoh mengandung minyak atsri.
Uji triterpenoid dan steroid. Contoh
propolis dengan pengenceran 1:10 dipanaskan
dengan etanol. Filtratnya diuapkan alu
ditambah eter. Lapisan eter ditambah dengan
pereaksi Liebermann Burchard (3 tetes asam
asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat).
Terbentuk warna hijau atau biru menunjukkan
adanya steroid warna merah atau ungu
menunjukkan adanya senyawa triterpenoid.
Pembanding yang digunakan adalah kuning
telus.
Uji saponin. Contoh propolis dengan
pengeceran 1:10 dikocok selama 5 menit. Busa
yang terbentuk setinggi tidak kurang dari 1 cm
dan tetap stabil setelah didiamkan selama 15
menit
menunjukkan
adanya
saponin.
Pembanding yang digunakan adalah buah
klerak.
Uji alkaloid. Contoh propolis dengan
pengenceran 1:2 dilarutkan dalam kloroform
dan 5 tetes amonia. Fraksi kloroform
diasamkan dengan asam sulfat. Bagian
asamnya diambil dan ditambahkan pereaksi
Dragendrof, Mayer, dan Wagner. Adanya
alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan
merah dengan pereaksi Dragendrof, endapan
putih dengan endapan pereaksi Mayer,

Gambar 5 Struktur kimia Ampisilin.
Mekanisme kerja ampisilin di dalam sel
bakteri adalah menghambat pembentukan
dinding
sel
dengan
cara
mencegah
bergambungnya
asam
N-asetilmuramat.
Ampisilin digunakan untuk pengobatan infeksi
saluran nafas dan saluran seni, gonorhoe,
gastrosentritis, meningitis, dan infeksi tipoid
(Siswandono & Soekardjo 1995).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah 140
gram propolis kasar Trigona spp yang berasal
dari Bogor, Jawa Barat, bakteri Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, E. coli,
Pseudomonas aeruginosa, NaCl teknis,
pepton, ekstrak yeast, glukosa, agar bakto,
etanol 70%, propilen glikol teknis, akuades
dan pereaksi-pereaksi dalam uji fitokimia.
Alat-alat yang digunakan adalah laminar
air flow cabinet, inkubator, autoklaf, autopipet,
alumunium foil, kapas, cawan Petri, vortex,
alat-alat gelas, dan rotavapor.

METODE PENELITIAN
Ekstraksi Propolis
Propolis diekstraksi dengan metode
Matienzo dan Lamorena (2004). Ekstraksi
dilakukan dengan maserasi menggunakan
etanol 70% sebagai pelarutnya. Sejumlah
140,58 gram propolis kasar Trigona spp
direndam dalam 500 mL etanol 70%. Suspensi
tersebut ditutup dan dikocok dengan shaker
selama 1 minggu dalam ruang gelap. Setelah 1
minggu filtrat disaring, lalu residunya
dimaserasi kembali. Selanjutnya, fitrat diambil
setiap hari selama 1 minggu atau sampai filtrat
terakhir jernih.
Seluruh filtrat yang diperoleh dipekatkan
menggunakan rotavapor pada suhu 45ºC.
Setelah itu, ekstrak pekat yang dilarutkan
dalam propilen glikol sebanyak 1 kali
volumenya, sehingga konsentrasi murni
propolis sebesar 50% dari total ekstrak
propolis.

Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan untuk
mengetahui golongan senyawa aktif pada
ekstrak propolis secara kualitatif. Analisis
fitokimia ini dilakukan berdasarkan metode
Harborne (1987). Identifikasi yang dilakukan
adalah uji flavonoid dan senyawa fenolik, uji
tanin, uji minyak atsiri, uji steroid/triterpenoid,
uji saponin, uji alkaloid, uji glikosida, uji gula
pereduksi. Contoh propolis yang digunakan
ialah ekstrak propolis yang telah diencerkan
dengan akuades.
Uji flavonoid dan senyawa fenolik.
Contoh propolis dengan pengenceran 1:2
dilarutkan dalam metanol lalu dipanaskan pada
suhu 50°C. Filtrat ditambah larutan NaOH atau
asam sulfat pekat. Warna merah atau jingga
yang terbentuk akibat penambahan NaOH
menunjukkan
adanya
senyawafenolik
hidrokuinon dan merah akibat penambahan
asam sulfat pekat menunjukkan adanya
flavonoid. Pembanding yang digunakan ialah
buah pinang.
Uji tanin. Contoh propolis dengan
pengenceran 1:10 ditambah 1:2 mL FeCl3
10%. Jika terbentuk warna biru atau hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin.
Pembanding adalah daun teh.
Uji minyak atsiri. Contoh propolis
dilarutkan dengan alkohol lalu diuapkan
hingga kering. Jika berbau aromatis spesifik,
maka contoh mengandung minyak atsri.
Uji triterpenoid dan steroid. Contoh
propolis dengan pengenceran 1:10 dipanaskan
dengan etanol. Filtratnya diuapkan alu
ditambah eter. Lapisan eter ditambah dengan
pereaksi Liebermann Burchard (3 tetes asam
asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat).
Terbentuk warna hijau atau biru menunjukkan
adanya steroid warna merah atau ungu
menunjukkan adanya senyawa triterpenoid.
Pembanding yang digunakan adalah kuning
telus.
Uji saponin. Contoh propolis dengan
pengeceran 1:10 dikocok selama 5 menit. Busa
yang terbentuk setinggi tidak kurang dari 1 cm
dan tetap stabil setelah didiamkan selama 15
menit
menunjukkan
adanya
saponin.
Pembanding yang digunakan adalah buah
klerak.
Uji alkaloid. Contoh propolis dengan
pengenceran 1:2 dilarutkan dalam kloroform
dan 5 tetes amonia. Fraksi kloroform
diasamkan dengan asam sulfat. Bagian
asamnya diambil dan ditambahkan pereaksi
Dragendrof, Mayer, dan Wagner. Adanya
alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan
merah dengan pereaksi Dragendrof, endapan
putih dengan endapan pereaksi Mayer,

endapan coklat dengan pereaksi Wagner.
Pembanding yang digunakan adalah tapak dara
berbunga putih.
Uji glikosida. Untuk menunjukkan adanya
glikosida digunakan pereaksi Molisch.
Sebanyak 2 mL ekstrak propolis dengan
pengenceran 1:2 ditambah dengan 2-3 tetes
asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 3
menit lalu ditambah dengan pereaksi Molisch.
Warna ungu kemerahan yang terbentuk
menunjukkan adanya glikosida.
Uji gula pereduksi. Contoh propolis
dengan pengenceran 1:2 dipanaskan sampai
mendidih di dalam larutan 1 mL fehling A dan
1 mL Fehling B lalu didinginkan. Endapan
merah bata menunjukkan adanya gula
pereduksi.
Uji Aktivitas Antibakteri
Propolis yang diperoleh dari tahap
sebelumnya digunakan dalam pengujian
antibakteri. Bakteri yang digunakan adalah,
Bacillus subtilis, E. coli, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus. Sebelum
dipakai, bakteri tersebut dikulturkan terlebih
dahulu dalam media cair PYG selama sekitar
24 jam jam (media cair PYG mengandung 1%
(b/v) pepton, 1% yeast extract, dan 2%
glukosa dalam pelarut air).
Pengujian kemampuan antibakteri bakteri
ini dimulai dengan uji pendahuluan
menggunakan metode difusi sumur. Sebanyak
50µL dimasukkan ke dalam sumur yang telah
dibuat sebelumnya pada media agar PYG yang
telah diebar dengan bakteri uji. Media agar
PYG mengandung 1% (b/v) pepton, 1% yeast
extract, 2% glukosa, dan 2% agar bakto dalam
pelarut air. Setelah itu, semua contoh
diinkubasi di bawah suhu 37ºC selama sekitar
24 jam. Adanya zona bening menunjukan
adanya aktivitas antibakteri.
Pengujian kemampuan antibakteri ini
dilanjutkan dengan pencarian nilai konsentrasi
hambat tumbuh minimum (KHTM). Metode
sumur digunakan kembali untuk mencari nilai
KHTM ini. Propolis 100% diencerkan menjadi
beberapa konsentrasi yang lebih rendah sampai
konsentrasi 0,783%. Setelah itu, propolis
dalam berbagai konsentrasi ini dimasukan ke
dalam sumur-sumur dalam media agar PYG
yang telah disebar bakteri uji. Media dan
contoh ini lalu diinkubasi dalam suhu 37ºC
selama sekitar 24 jam. Konsentrasi terkecil
yang menghasilkan zona bening ditetapkan
sebagai KHTM.
Kemampuan propolis sebagai antibakteri
kemudian dibandingkan dengan beberapa
contoh lain. Contoh yang dimaksud adalah
ampisilin 10 mg/mL sebagai kontrol positif

yang mempunyai kemampuan antibakteri dan
air sebagai kontrol negatif yang tidak
mempunyai
kemampuan
antibakteri.
Pengujiannya sendiri dikerjakan menggunakan
metode sumur. Pengerjaan metode sumur yang
digunakan tidak jauh berbeda dengan
pengerjaan sebelumnya untuk pencarian
KHTM. Sebanyak 50 µL contoh dimasukan ke
dalam sumur-sumur yang telah disediakan
dalam media agar yang telah disebar bakteri
uji. Perbandingan kemampuan antibakteri
antarcontoh ditunjukkan dari zona bening yang
dihasilkan masing-masing contoh tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Ekstrak Propolis
Ekstraksi propolis asal Bogor ini dilakukan
dengan teknik maserasi, yaitu merendam
propolis selama 2 minggu dalam pelarut etanol
70%. Teknik ini tepat digunakan untuk
mengekstrak
propolis
karena
tidak
menggunakan suhu tinggi, mengingat propolis
bersifat termostabil dengan titik didih 60-69oC
(Woo 2004).
Etanol 70% digunakan sebagai pelarut
karena dianggap mampu mengekstrak banyak
senyawa aktif yang terdapat dalam propolis.
Hal ini karena sifat etanol yang semipolar
(nilai kepolaran 0,68), sehingga zat-zat yang
terdapat dalam propolis yang memiliki nilai
kepolaran yang beragam dapat terekstraksi
dengan
baik.
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa etanol 70% memberikan
hasil terbaik terhadapi sifat antimikrob
propolis (Woo 2004). Flavonoid merupakan
senyawa aktif yang terbanyak dalam propolis
(Chinthapally 1993 diacu dalam Anggraini
2007) terekstrak dengan baik menggunakan
etanol 70% (Harborne 1987). selain itu,
penggunaan
etanol
juga
menghindari
terlarutnya zat yang tidak diperlukan seperti
lilin lebah. Lilin lebah yang terutama terdiri
atas ester dari asam lemak dan alkohol dengan
rantai karbon yang panjang tidak larut dalam
etanol (Fearnley 2005). Titik didih etanol
yang rendah, sehingga memudahkan dalam
proses menguapkan (evaporasi) menjadi alasan
lain penggunaan etanol ini.
Adapun rendemen yang diperoleh dari
hasil ekstraksi ini adalah 10.344% (b/b).
Besarnya rendemen juga dipengaruhi oleh
warna propolis, dan komposisi zat aktif dalam
propolis kasar. Propolis dengan warna yang
lebih gelap menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi karena kandungan flavonoidnya lebih
banyak (Woo 2004). Rendemen propolis yang

endapan coklat dengan pereaksi Wagner.
Pembanding yang digunakan adalah tapak dara
berbunga putih.
Uji glikosida. Untuk menunjukkan adanya
glikosida digunakan pereaksi Molisch.
Sebanyak 2 mL ekstrak propolis dengan
pengenceran 1:2 ditambah dengan 2-3 tetes
asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 3
menit lalu ditambah dengan pereaksi Molisch.
Warna ungu kemerahan yang terbentuk
menunjukkan adanya glikosida.
Uji gula pereduksi. Contoh propolis
dengan pengenceran 1:2 dipanaskan sampai
mendidih di dalam larutan 1 mL fehling A dan
1 mL Fehling B lalu didinginkan. Endapan
merah bata menunjukkan adanya gula
pereduksi.
Uji Aktivitas Antibakteri
Propolis yang diperoleh dari tahap
sebelumnya digunakan dalam pengujian
antibakteri. Bakteri yang digunakan adalah,
Bacillus subtilis, E. coli, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus. Sebelum
dipakai, bakteri tersebut dikulturkan terlebih
dahulu dalam media cair PYG selama sekitar
24 jam jam (media cair PYG mengandung 1%
(b/v) pepton, 1% yeast extract, dan 2%
glukosa dalam pelarut air).
Pengujian kemampuan antibakteri bakteri
ini dimulai dengan uji pendahuluan
menggunakan metode difusi sumur. Sebanyak
50µL dimasukkan ke dalam sumur yang telah
dibuat sebelumnya pada media agar PYG yang
telah diebar dengan bakteri uji. Media agar
PYG mengandung 1% (b/v) pepton, 1% yeast
extract, 2% glukosa, dan 2% agar bakto dalam
pelarut air. Setelah itu, semua contoh
diinkubasi di bawah suhu 37ºC selama sekitar
24 jam. Adanya zona bening menunjukan
adanya aktivitas antibakteri.
Pengujian kemampuan antibakteri ini
dilanjutkan dengan pencarian nilai konsentrasi
hambat tumbuh minimum (KHTM). Metode
sumur digunakan kembali untuk mencari nilai
KHTM ini. Propolis 100% diencerkan menjadi
beberapa konsentrasi yang lebih rendah sampai
konsentrasi 0,783%. Setelah itu, propolis
dalam berbagai konsentrasi ini dimasukan ke
dalam sumur-sumur dalam media agar PYG
yang telah disebar bakteri uji. Media dan
contoh ini lalu diinkubasi dalam suhu 37ºC
selama sekitar 24 jam. Konsentrasi terkecil
yang menghasilkan zona bening ditetapkan
sebagai KHTM.
Kemampuan propolis sebagai antibakteri
kemudian dibandingkan dengan beberapa
contoh lain. Contoh yang dimaksud adalah
ampisilin 10 mg/mL sebagai kontrol positif

yang mempunyai kemampuan antibakteri dan
air sebagai kontrol negatif yang tidak
mempunyai
kemampuan
antibakteri.
Pengujiannya sendiri dikerjakan menggunakan
metode sumur. Pengerjaan metode sumur yang
digunakan tidak jauh berbeda dengan
pengerjaan sebelumnya untuk pencarian
KHTM. Sebanyak 50 µL contoh dimasukan ke
dalam sumur-sumur yang telah disediakan
dalam media agar yang telah disebar bakteri
uji. Perbandingan kemampuan antibakteri
antarcontoh ditunjukkan dari zona bening yang
dihasilkan masing-masing contoh tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Ekstrak Propolis
Ekstraksi propolis asal Bogor ini dilakukan
dengan teknik maserasi, yaitu merendam
propolis selama 2 minggu dalam pelarut etanol
70%. Teknik ini tepat digunakan untuk
mengekstrak
propolis
karena
tidak
menggunakan suhu tinggi, mengingat propolis
bersifat termostabil dengan titik didih 60-69oC
(Woo 2004).
Etanol 70% digunakan sebagai pelarut
karena dianggap mampu mengekstrak banyak
senyawa aktif yang terdapat dalam propolis.
Hal ini karena sifat etanol yang semipolar
(nilai kepolaran 0,68), sehingga zat-zat yang
terdapat dalam propolis yang memiliki nilai
kepolaran yang beragam dapat terekstraksi
dengan
baik.
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa etanol 70% memberikan
hasil terbaik terhadapi sifat antimikrob
propolis (Woo 2004). Flavonoid merupakan
senyawa aktif yang terbanyak dalam propolis
(Chinthapally 1993 diacu dalam Anggraini
2007) terekstrak dengan baik menggunakan
etanol 70% (Harborne 1987). selain itu,
penggunaan
etanol
juga
menghindari
terlarutnya zat yang tidak diperlukan seperti
lilin lebah. Lilin lebah yang terutama terdiri
atas ester dari asam lemak dan alkohol dengan
rantai karbon yang panjang tidak larut dalam
etanol (Fearnley 2005). Titik didih etanol
yang rendah, sehingga memudahkan dalam
proses menguapkan (evaporasi) menjadi alasan
lain penggunaan etanol ini.
Adapun rendemen yang diperoleh dari
hasil ekstraksi ini adalah 10.344% (b/b).
Besarnya rendemen juga dipengaruhi oleh
warna propolis, dan komposisi zat aktif dalam
propolis kasar. Propolis dengan warna yang
lebih gelap menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi karena kandungan flavonoidnya lebih
banyak (Woo 2004). Rendemen propolis yang

dihasilkan pada penelitian ini berwarna coklat
tua kehitaman.

penelitian yang dilakukan oleh Rita (2006)
(diacu dalam Lasmayanty 2007).

Analisis Fitokimia
Komposisi kimiawi propolis sangat
dipengaruhi oleh berbagai vegetasi pada
lingkungan tempat hidup lebah (Bankova
2005). Hal ini dapat menjelaskan tentang
beragamnya komposisi kimiawi propolis.
Pengujian yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi
keberagaman
senyawasenyawa aktif dalam propolis secara kualitatif
ini adalah analisis fitokimia.
Berdasarkan hasil analisis fitokimia,
propolis contoh mengandung golongan
senyawa flavonoid, steroid /triterpenoid, tanin,
alkaloid, dan saponin (Tabel 1). Komposisi
kimiawi seperti ini juga dilaporkan oleh
Lasmayanti (2007) untuk propolis yang berasal
dari daerah Banten. Anggraini (2006)
melaporkan hal yang sama untuk propolis dari
Banten kecuali dalam propolis tidak terdapat
senyawa alkaloid. Tidak terdeteksinya
senyawa alkaloid dapat disebabkan oleh
perbedaan musim tempat pengoleksian
propolis (Teixeira 2008), sehingga kandungan
senyawa ini terlalu kecil untuk terdeteksi oleh
uji fitokimia.
Tabel 1 Hasil analisis fitokimia ekstrak
propolis
Senyawa
Hasil uji fitokimia
Alkaloid
+
Flavonoid
+
Minyak Atsiri
+
Steroid/triterpenoid
+
Saponin
+
Tanin
+
Ket: (+) = ada; (-) = tidak ada
Senyawa kimia dalam propolis yang
berperan dalam aktivitas antibakteri, menurut
Bankova (2005) adalah senyawa fenol
flavonoid dan tanin. Selain menunjukkan
aktivitas antibakteri, senyawa fenol ini
menunjukkan aktivitas
antiradang, dan
antioksidan. Aktivitas antibakteri flavonoid
secara umum disebabkan senyawa ini
mempunyai kemampuan mengikat protein
ekstraseluler dan protein integral yang
bergabung dinding sel bakteri (Murphy 1999).
Akibat mekanisme tersebut, per-meabilitas
dinding sel terganggu sehingga dinding sel
pecah karena tidak mampu menahan tekanan
sitoplasma. Adapun senyawa tanin dalam
ekstrak propolis, diduga memiliki sifat
antimikrob karena kemampuannya dalam
menginaktif protein enzim, dan lapisan protein
transport (Murphy 1999). Sifat antibakteri dari
senyawa tanin didukung dengan hasil

Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dimaksudkan untuk
melihat aktivitas antibakteri propolis contoh
secara umum. Hasill uji menunjukkan aktivitas
yang hampir serupa antarbakteri Gram positif
dan antarbakteri Gram negatif. Pengujian ini
juga menunjukkan bahwa zona bening yang
dihasilkan pada koloni Gram positif lebih
besar dibandingkan pada bakteri Gram negatif
(Tabel 2).
Tabel 2 Hasil uji pendahuluan terhadap
propolis 50%
Jenis bakteri
Zona bening (cm)
B. subtilis
2.37
S. aureus
2.44
E. coli
1.56
P. aeruginosa
1.43
Penentuan KHTM
Konsentrasi hambat tumbuh minimum atau
KHTM merupakan konsentrasi terkecil suatu
bahan zat yang masih menunjukkan aktivitas
antibakteri. Penentuan nilai KHTM untuk
setiap bakteri dilakukan menggunakan metode
difusi sumur. Hal tersebut dilakukan dengan
cara menguji propolis dari konsentrasi terbesar
sampai dengan konsentrasi terkecil propolis
pada kolini bakteri uji. Konsentrasi terkecil
yang masih menunjukkan adanya zona bening
ditentukan sebagai KHTM.
Berdasarkan hasil uji, diameter zona
bening untuk semua jenis bakteri semakin
berkurang dengan berkurangnya konsentrasi
propolis yang digunakan. Sebagai pembanding
digunakan air atau propolis dengan konsentrasi
0%. Zona bening tidak terlihat sama sekali
pada konsentrasi ini. Zona bening yang
dihasilkan pada koloni Bacillus subtilis
semakin mengecil dengan berkurangnya
konsentrasi propolis yang digunakan, dan tidak
menunjukkan zona bening lagi pada
konsentrasi yang lebih kecil daripada 3.125%
(Gambar 6). Hasil yang sama ditunjukkan pada
koloni
Staphylococcus
aureus,
yang
memperlihatkan konsentrasi terakhir yang
masih menghasilkan zona bening adalah pada
1.563% (Gambar 7). Penurunan diameter zona
bening juga terjadi pada koloni E. coli dan
Pseudomonas aeruginosa. Hanya saja, zona
bening tidak terlihat lagi setelah konsentrasi
3.125% (Gambar 8 & 9). Hal ini memperlihatkan bahwa aktivitas antibakteri propolis
terhadap bakteri gram positif lebih baik
dibandingkan terhadap bakteri Gram negatif
(Tabel 3).

Dianmeter zona
bening (µm)

1200
1000
800
600
400
200
0

1200
1000
800
600
400
200
0
1

2

3

4

Gambar 8 Zona bening pada koloni E. coli
karena pengaruh pemberian propolis
pada berbagai konsentrasi (1 =
25%; 2 = 12.5 %; 3 = 6.25 %; 4 =
3.125 %).

Gambar 9 Zona
bening
pada
koloni
Pseudomonas aeruginosa karena
pengaruh pemberian propolis pada
berbagai konsentrasi (1 = 25%; 2 =
12.5 %; 3 = 6.25 %; 4 = 3.125 %).
1

2

3

4

5

Gambar 6 Zona bening pada koloni Bacillus
subtilis karena pengaruh pemberian
propolis pada berbagai konsentrasi
(1 = 25%; 2 = 12.5 %; 3 = 6.25 %;
4 = 3.125 %; 5 = 1.563%).
Dianmeter zona
bening (µm)

Dianmeter zona bening
(µm)

Rendahnya aktivitas antibakteri propolis
terhadap
bakteri Gram negatif juga
dikonfirmasi oleh Muli (2007), El Fadaly, dan
El badrawy (2001). Walaupun demikian, hasil
yang berbeda diperoleh Fuentes dan
Hernandez (1990) seperti yang dilaporkan oleh
Marcucci (1995). Fuentes dan Hernandez
melaporkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap sejumlah bakeri, antara lain Bacillus
subtilis, E. coli, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa. Perbedaan aktivitas
ini
disinyalir
oleh
Bankova
(2005)
berhubungan erat dengan fungsi propolis
dalam menjaga kondisi steril lingkungan
dalam sarang terhadap lingkungan biotik di
luar sarang. Perbedaan tempat hidup
memberikan tantangan kondisi biotik yang
berbeda untuk setiap tempat. Oleh karena itu,
maka jenis atau fungsi antibiotik yang terdapat
dalam propolis dapat berbeda satu sama lain.
Walaupun demikian, ketersediaan bahanbahan tersebut juga dipengaruhi oleh jenis
vegetasi yang terdapat dalam lingkungan
tempat hidup lebah.

Tabel 3 Konsentrasi
hambat
tumbuh
minimum (KHTM) untuk keempat
bakteri uji
Bakteri
KHTM
Bacillus subtilis

1.563%

Staphylococcus aureus

1.563%

2000

Pseudomonas aeruginosa

3.125%

1500

E. coli

3.125%

1000
500
0
1

2

3

4

5

Gambar 7 Zona
bening
pada
koloni
Staphylococcus
aureus
karena
pengaruh pemberian propolis pada
berbagai konsentrasi (1 = 25%; 2 =
12.5 %; 3 = 6.25 %; 4 = 3.125 %;
5 = 1.563%).

Efektifitas Propolis Terhadap Ampisilin
Ampisilin telah terbukti memiliki aktivitas
antibakteri dalam spektrum yang luas, yaitu
dapat menghambat bakteri Gram positif
maupun Gram negatif (Siswandono &
Soekardjo 1995). Oleh karena itu, ampisilin
digunakan sebagai kontrol positif. Walaupun
demikian aktivitas antibakteri ampisilin
terhadap setiap bakteri tidaklah sama.
Aktivitas terhadap E. coli cukup berbeda
nyata, yaitu lebih kecil jika dibandingkan
terhadap bakteri lainnya (Tabel 4).

Tabel 4 Efektivitas propolis pada KHTM
terhadap ampisilin (Amp) 10 mg/mL
Jenis bakteri Zona bening (cm)
Efektifitas
(%)
Prop. Amp. Air
B. subtilis

1.42

4.16

-

35.1

S. aureus

1.11

4.20

-

26.4

E. coli

0.76

1.22

-

62.3

P. aeruginosa

0.85

3.58

-

23.2

Ket: Propolis yang digunakan diekstrak pada
waktu yang berbeda dengan propolis
yang digunakan pada uji pendahuluan
Prop. = konsentrasi propolis pada KHTM
Amp = ampisilin 10 mg/mL
Efektivitas propolis terhadap ampisilin
untuk
bakteri
Bacillus
subtilis,
Staphylococcus aureus, E .coli, Pseudomonas
aeruginosa, masing-masing sebesar 35.11%,
26.43%, 62.30%, 23.22%. Walaupun efektivitas propolis terhadap ampisilin paling
besar, nilai ini tidak cukup menunjang untuk
menyatakan bahwa propolis memiliki potensi
paling baik pada E. coli, karena kecilnya
aktivitas antibakteri ampisilin dalam terhadap
E. coli. Perbandingan efektivitas propolis
terhadap ampisilin untuk bakteri yang lain
menunjukkan bahwa efektivitas pada Bacillus
subtilis paling baik dibandingkan terhadap
Staphylococcus
aureus,
Pseudomonas
aeruginosa.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rendemen ekstrak propolis etanol 70%
yang dihasilkan sebesar 10.344%. Ekstrak ini,
terutama, dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Gram positif Bacillus subtilis dan
Staphylococcus aureus dengan Konsentrasi
Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) sebesar
1.563%. Ekstrak ini juga dapat menghambat
pertumbuhan Gram negatif E. coli dan
Pseudomonas aeruginosa dalam skala yang
lebih kecil, dengan nilai KHTM sebesar
3.125%.
Saran
Perlu
dilakukan
penelitian
yang
berkelanjutan untuk mengeksplorasi potensi
antibakteri propolis yang berasal dari berbagai
tempat, terutama di Indonesia. Lebih dari itu,
perlu terus dikaji pemanfaatan propolis
menjadi produk-produk yang lebih aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA
Angraini AD. 2006. Potensi propolis lebah
madu Trigona spp sebagai bahan
antibakteri [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Bankova V. 2005. Recent trends and important
developments in propolis research. eCAM
2: 29–32.
Banksota AH et al. Cytotoxic, hepatoprotective and free radical scavenging
effects of propolis from Brazil, Peru, the
Netherlands and China. J Ethnopharmacol
72: 239–46.
Brisbane Insects. 2010. http://www.brisbane
insects.com/brisbane_wasps/html.
[3
Desember 2010]
El Fadaly H & El Badrawi EEY. 2001.
Flavonoids of propolis and their
antibacterial activities. Pakistan Journal 4:
204-207.
Free J. 2001. Bee and Mindkind. London:
George Allen & Unkwin.
Fardiaz S. 1983. Mikrobiologi keamanan
Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Gojmerac WL. 1983. Bee, Beekeeping, Honey
ada Polination. Westport: Avi.
Harborne HB. 1987. Metode Fitokimia I. Ed
ke-2.
Padwadinata
K,
penerjemah.
Bandung.
ITB.
Terjemahan
dari:
Phytochemical Method.
Hegazi AG & El Hady FKA. 2001.
Antimicrobial Activities and Chemical
composition and antimicrobial activity of
European propolis. Z. Naturforsch 57c:
395-402.
Holt JG et al. 1994. Begey Manual of
Determinative
Biology.
Ed
ke-9.
Baltimore: Williams & Wilkins.
Katircioglu H & Mercan N. 2006.
Antimicrobial activity and chemical
compositions of Turkish propolis from
different region. African Journal of
Biotechnology 5: 1151-1153.
Khismatullina N. 2005. Apitherapy. Moskwa:
Mobile