Potensi nanopropolis lebah madu trigona spp asal pandeglang sebagai antibakteri

ABSTRAK
RIZKY PRASETYO. Potensi Nanopropolis Lebah Madu Trigona spp Asal
Pandeglang sebagai Antibakteri. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan A.
E. ZAINAL HASAN.
Propolis merupakan salah satu produk alami lebah madu yang banyak
manfaatnya, karena memiliki sifat antara lain sebagai antibakteri, antivirus, dan
antikanker. Penggunaan bentuk nanopropolis diharapkan memberikan aktivitas
antibakteri yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk propolis biasa. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan potensi nanopropolis lebah madu Trigona spp
asal Pandeglang sebagai antibakteri. Nanopropolis dibuat dengan teknik
homogenisasi kecepatan tinggi disertai penyalutan dengan maltodekstrin dan
teknik penguapan pelarut. Ukuran nanopropolis dianalisis dengan SEM. Uji
aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumur agar. Hasil SEM
menunjukkan nanopropolis berukuran 175/873 nm. Nanopropolis bersifat sebagai
antibakteri baik Gram positif maupun Gram negatif. Nanopropolis mempunyai
efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak propolis sebesar
208.86%, 211.83%, 227.01%, dan 230.29% masing/masing terhadap B. subtilis,
S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp. Efektivitas nanopropolis jika dibandingkan
dengan ampisilin 10 mg/ml sebesar 43.87%, 49.12%, 42.35%, dan 37.58%.
Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) sebesar 0.15%, 0.075%, 0.15%,
dan 0.313% terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp.

.

ABSTRACT
RIZKY PRASETYO. The Potency of Nanopropolis Honey Bee Trigona spp from
Pandeglang as Antibacterial Agent. Under the direction of LAKSMI
AMBARSARI and A. E. ZAINAL HASAN.
Propolis is one of the natural produced by honey bee which have many
benefits, due to its properties as antibacterial, antivirus, and anticancer. Use the
form nanopropolis expected to provide a better antibacterial activity compared to
the usual form of propolis. The aim of this study is to determine potency of
nanopropolis honey bee from Pandeglang as antibacterial agent. Encapsulated
nanopropolis was prepared by high speed homogenization technique and solvent
evaporation. The size of nanopropolis was measured with SEM. The antibacterial
activity test was performed by agar well diffusion. The result of SEM show that
size of nanopropolis is 175/873 nm. Nanopropolis have activity as antibacterial
agent for Gram positive dan Gram negative bacteria. The nanopropolis showed
higher bacterial activity than extract propolis were 208.86% for B. subtilis,
211.83% for S. aureus, 227.01% for E. coli, and 230.29% for Salmonella sp.
While compared to amphicillin 10 mg/ml equel to 43.87%, 49.12%, 42.35%, and
37.58%. Minimum Inhibitory Concentrartion (MIC) of nanopropolis were 0.15%,

0.075%, 0.15%, and 0.313% for B. subtilis, S. aureus, E. coli, and Salmonella sp.

1

PE DAHULUA
Masyarakat umumnya memilih antibiotik
alami dibandingkan dengan antibiotik sintetik
atau obat untuk meminimalkan timbulnya efek
samping.
Penggunaan antibiotik yang
berlebihan dapat menimbulkan resistensi.
Oleh karena itu, dipilih alternatif pengobatan
dari produk alami yang jarang menimbulkan
resistensi dan efek samping lainnya.
Pengujian aktivitas antibakteri pada
penelitian ini menggunakan bakteri Gram
positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus
subtilis) dan Gram negatif (Escherichia coli
dan Salmonella sp) dengan teknik difusi
sumur agar. Keempat bakteri ini dapat

mewakili bakteri/bakteri lain penyebab
penyakit. Bakteri/bakteri tersebut juga sebagai
penghuni saluran pencernaan manusia, apabila
dalam
jumlah
yang
berlebih
akan
mengganggu kesehatan manusia. Selain itu,
bakteri tersebut mudah tumbuh, mudah
diperoleh, dan merupakan bakteri yang umum
terdapat di lingkungan.
Indonesia merupakan negara beriklim
tropis yang memiliki tingkat flora dan fauna
yang sangat beragam. Kekayaan hayati yang
dapat dimanfaatkan salah satunya adalah
lebah madu. Selain menghasilkan madu, lebah
juga menghasilkan produk lain yang dapat
dimanfaatkan, berupa propolis. Selama ini
peternak lebah jarang memberdayakan sarang

lebah untuk diolah. Padahal propolis pada
sarang lebah bisa diekstraksi menjadi produk
farmasi, kosmetika, dan pangan fungsional.
Propolis dapat berfungsi sebagai antibiotik
alami karena kemampuan antimikrobnya
dengan kelebihan lebih aman, tidak
menimbulkan resistensi, dan efek samping
yang kecil serta memiliki selektifitas yang
tinggi (Winingsih 2004). Selain sebagai bahan
obat, propolis juga dapat menyeimbangkan
populasi mikroflora saluran pencernaan yang
dapat
memacu
pertumbuhan
ternak.
Umumnya lebah madu yang diternakkan
adalah jenis Apis spp karena menghasilkan
madu lebih banyak dibandingkan Trigona spp.
Trigona spp menghasilkan madu yang sedikit
dan susah diekstrak, tetapi menghasilkan

propolis lebih banyak daripada Apis spp
(Singh 1962).
Propolis adalah bahan perekat dari resin
yang dikumpulkan lebah pekerja dari kuncup,
kulit kayu, dan bagian tumbuhan lainnya
(Gojmerac 1983). Resin/resin yang terkumpul
dicampur dengan enzim lebah sehingga
berbeda dengan resin tumbuhan asalnya.
Propolis berwarna kuning sampai coklat tua,

bahkan ada yang transparan. Komponen
penting dalam propolis berupa resin (turunan
asam benzoat dan flavonoid), wax dan asam
lemak, minyak esensial, polen, dan mineral/
mineral. Flavonoid yang dikandung dalam
propolis memberikan respon terhadap
aktivitas antibakteri serta antikanker dan
berperan dalam imunomodulasi (Burdock
1998; Sforcin 2007).
Penelitian/penelitian sebelumnya banyak

memberikan informasi bahwa propolis
memiliki potensi yang sangat menguntungkan.
Saputra (2009) dan Suseno (2009) telah
melakukan penelitian yang menunjukkan
bahwa mikrokapsulasi propolis Trigona spp
memiliki aktivitas antibakteri terhadap cairan
rumen sapi. Fahri (2009) menyatakan bahwa
nanopropolis 2% memberikan efek positif
terhadap pertumbuhan tikus putih (Spraque%
Dawley). Propolis Trigona spp memiliki
aktivitas terhadap penghambatan pertumbuhan
Enterobacter sakazakii (Fitriannur 2009).
Penelitian yang dilakukan Anggraini (2006)
memberikan penjelasan bahwa propolis hasil
ekstrak etanol 70% efektif menghambat
pertumbuhan bakteri baik Gram positif
maupun Gram negatif. Lasmayanti (2007)
memperlihatkan propolis Trigona spp dapat
digunakan sebagai antikaries alternatif dalam
pasta gigi karena mampu menekan

pertumbuhan dan jumlah bakteri kariogenik
(Streptococcus mutans), suatu bakteri
penyebab karies gigi. Bagjavicenna (2008)
mampu menunjukkan propolis dengan
konsentrasi 6.25% dapat dijadikan dosis
bahan alternatif antiketombe pada sampo. Saat
ini, pemanfaatan nanopropolis sebagai zat
antibakteri belum pernah dikaji lebih lanjut
secara ilmiah.
Perkembangan teknologi dewasa ini
menunjukkan kecenderungan yang mengarah
pada ilmu dan teknologi nano. Teknologi nano
dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang,
antara lain: energi, industri (nanokomposit,
nanotubes), kesehatan (pembuatan obat),
informatika dan komunikasi, serta pangan
(pembuatan nano vitamin A) yang dibutuhkan
masyarakat luas. Keuntungan menggunakan
nanopartikel pada obat, antara lain: ukuran
partikel dan karakteristik permukaannya

memudahkan untuk dimanipulasi agar
mencapai efek pasif dan aktif terhadap
targetnya; meningkatkan efek terapi dari obat;
dapat menggunakan berbagai saluran seperti
oral, nasal, parenteral, maupun intraokular;
kontrol pengeluaran dan degradasi permukaan
dapat diatur dari komposisi matriksnya; dan
target spesifiknya dapat menempel melalui

2

ligannya atau dengan bantuan magnetik
(Mohanraj & Chen 2006).
Nanopropolis selanjutnya akan disalut
dengan teknik mikroenkapsulasi yang
merupakan teknik untuk menyalut suatu
senyawa (dapat berupa, padatan, cairan, dan
gas) dengan suatu polimer penyalut yang
berukuran sangat kecil (mikron) (Yoshizawa
2004).

Keuntungan
menggunakan
mikroenkapsulasi adalah melindungi suatu
senyawa
aktif
dari
penguraian
dan
mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif
sehingga mampu mencegah peningkatan
konsentrasi obat dalam saluran pencernaan
secara mendadak. Menurut Sutriyo et al.
(2004), pelepasan obat yang terkendali
menjadikan penggunaan obat lebih efisien,
memperkecil efek samping, serta mengurangi
frekuensi penggunaan obat.
Propolis memiliki kelarutan yang kecil
dalam air. Pembuatan sediaan propolis dalam
bentuk nano yang akan meningkatkan luas
permukaanya sehingga kemampuan untuk

melarutnya semakin baik. Propolis yang
berukuran nano dapat melewati membran luar
bakteri sehingga senyawa/senyawa aktif
antibakterinya dapat merusak dinding sel
bakteri. Penggunaan bentuk nanopropolis
diharapkan memberikan aktivitas antibakteri
yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk
propolis biasa.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
aktivitas
antibakteri
dan
menentukan
konsentrasi hambat tumbuh minimum
nanopropolis lebah madu Trigona spp asal
Pandeglang sebagai bahan antibakteri.
Hipotesis penelitian ini adalah nanopropolis
lebah madu Trigona spp asal Pandeglang
berperan
sebagai

antibakteri
terhadap
beberapa bakteri uji yang dapat dilihat dari
konsentrasi hambat tumbuh minimumnya.
Penelitian ini diharapkan memberikan
informasi ilmiah mengenai konsentrasi
hambat tumbuh minimum nanopropolis lebah
madu Trigona spp asal Pandeglang sebagai
bahan antibakteri.
TI JAUA PUSTAKA
Lebah Madu
spp
Lebah madu Trigona spp merupakan
serangga sosial yang hidup berkelompok
membentuk suatu koloni. Koloninya dapat
mencapai 300/800.000 ekor lebah. Lebah ini
banyak dijumpai di daerah beriklim tropis dan
subtropis di Amerika Selatan, setengah bagian
Afrika Selatan, dan Asia Tenggara (Free
1982). Lebah Trigona spp diklasifikasikan

dalam divisi Animalia, filum Arthropoda,
kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili
Apidae, genus Trigona, dan spesies Trigona
spp (Sihombing 1997). Koloni lebah madu
terdiri atas dua golongan, yaitu golongan
reproduktif (lebah jantan dan ratu) dan
golongan nonreproduktif (lebah pekerja).
Keduanya dapat dibedakan dari bentuk, rupa,
warna, dan tingkah laku. Setiap koloni lebah
hanya memiliki satu ekor ratu, ratusan ekor
lebah jantan, dan ribuan ekor lebah pekerja
(Sumoprastowo 1980). Trigona spp lebih
banyak mencari makan pada pagi hari karena
aktivitasnya dipengaruhi oleh intensitas
cahaya matahari. Ukuran tubuh juga
mempengaruhi jarak terbang lebah mencari
makan. Semakin besar tubuh lebah, maka
semakin jauh jarak terbangnya. Trigona spp
dengan ukuran tubuh 5 mm mampu terbang
sejauh 600 m (Nelli 2004).
Menurut Singh (1962), madu yang
dihasilkan lebah Trigona spp lebih sedikit
dibandingkan lebah lokal seperti Apis spp.
Sarang lebah Trigona spp menghasilkan madu
kurang lebih 1 kg/tahun, sedangkan Apis spp
menghasilkan madu mencapai 75 kg/tahun.
Madu yang dihasilkan Trigona spp
mempunyai aroma khas, campuran rasa manis
dan asam seperti lemon. Aroma madu tersebut
berasal dari resin tumbuhan dan bunga yang
dihinggapi lebah (Fatoni 2008). Madu dari
Trigona juga sulit diekstrak, namun
kandungan propolisnya lebih banyak daripada
golongan Apis.
Sarang lebah Trigona spp dibuat dengan
campuran lilin dan resin propolis dari
tanaman. Sarang tersusun atas sel anakan yang
dikelilingi dengan pelepah lembut yang
disebut involucrum dan sel besar yang terdiri
atas madu serta cadangan polen (Free 1982).
Sarang lebah terdiri atas sekitar 50% senyawa
resin (flavonoid dan asam fenolat), 30% lilin
lebah, 105 minyak aromatik, 5% polen, dan
5% berbagai senyawa aromatik. Trigona spp
memiliki sengat sisa, namun tidak digunakan
sebagai alat pertahanan. Lebah akan
menggigit atau membakar kulit musuhnya
dengan larutan basa. Lebah ini juga dilengkapi
dengan sistem kekebalan untuk menyerang
serangga penggangu (Free 1982).
Propolis
Propolis adalah bahan perekat dari resin
yang dikumpulkan lebah pekerja dari kuncup,
kulit kayu, dan bagian tumbuhan lainnya
(Gojmerac 1983). Resin/resin yang terkumpul
dicampur dengan enzim lebah sehingga
berbeda dengan resin tumbuhan asalnya.

2

ligannya atau dengan bantuan magnetik
(Mohanraj & Chen 2006).
Nanopropolis selanjutnya akan disalut
dengan teknik mikroenkapsulasi yang
merupakan teknik untuk menyalut suatu
senyawa (dapat berupa, padatan, cairan, dan
gas) dengan suatu polimer penyalut yang
berukuran sangat kecil (mikron) (Yoshizawa
2004).
Keuntungan
menggunakan
mikroenkapsulasi adalah melindungi suatu
senyawa
aktif
dari
penguraian
dan
mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif
sehingga mampu mencegah peningkatan
konsentrasi obat dalam saluran pencernaan
secara mendadak. Menurut Sutriyo et al.
(2004), pelepasan obat yang terkendali
menjadikan penggunaan obat lebih efisien,
memperkecil efek samping, serta mengurangi
frekuensi penggunaan obat.
Propolis memiliki kelarutan yang kecil
dalam air. Pembuatan sediaan propolis dalam
bentuk nano yang akan meningkatkan luas
permukaanya sehingga kemampuan untuk
melarutnya semakin baik. Propolis yang
berukuran nano dapat melewati membran luar
bakteri sehingga senyawa/senyawa aktif
antibakterinya dapat merusak dinding sel
bakteri. Penggunaan bentuk nanopropolis
diharapkan memberikan aktivitas antibakteri
yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk
propolis biasa.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
aktivitas
antibakteri
dan
menentukan
konsentrasi hambat tumbuh minimum
nanopropolis lebah madu Trigona spp asal
Pandeglang sebagai bahan antibakteri.
Hipotesis penelitian ini adalah nanopropolis
lebah madu Trigona spp asal Pandeglang
berperan
sebagai
antibakteri
terhadap
beberapa bakteri uji yang dapat dilihat dari
konsentrasi hambat tumbuh minimumnya.
Penelitian ini diharapkan memberikan
informasi ilmiah mengenai konsentrasi
hambat tumbuh minimum nanopropolis lebah
madu Trigona spp asal Pandeglang sebagai
bahan antibakteri.
TI JAUA PUSTAKA
Lebah Madu
spp
Lebah madu Trigona spp merupakan
serangga sosial yang hidup berkelompok
membentuk suatu koloni. Koloninya dapat
mencapai 300/800.000 ekor lebah. Lebah ini
banyak dijumpai di daerah beriklim tropis dan
subtropis di Amerika Selatan, setengah bagian
Afrika Selatan, dan Asia Tenggara (Free
1982). Lebah Trigona spp diklasifikasikan

dalam divisi Animalia, filum Arthropoda,
kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili
Apidae, genus Trigona, dan spesies Trigona
spp (Sihombing 1997). Koloni lebah madu
terdiri atas dua golongan, yaitu golongan
reproduktif (lebah jantan dan ratu) dan
golongan nonreproduktif (lebah pekerja).
Keduanya dapat dibedakan dari bentuk, rupa,
warna, dan tingkah laku. Setiap koloni lebah
hanya memiliki satu ekor ratu, ratusan ekor
lebah jantan, dan ribuan ekor lebah pekerja
(Sumoprastowo 1980). Trigona spp lebih
banyak mencari makan pada pagi hari karena
aktivitasnya dipengaruhi oleh intensitas
cahaya matahari. Ukuran tubuh juga
mempengaruhi jarak terbang lebah mencari
makan. Semakin besar tubuh lebah, maka
semakin jauh jarak terbangnya. Trigona spp
dengan ukuran tubuh 5 mm mampu terbang
sejauh 600 m (Nelli 2004).
Menurut Singh (1962), madu yang
dihasilkan lebah Trigona spp lebih sedikit
dibandingkan lebah lokal seperti Apis spp.
Sarang lebah Trigona spp menghasilkan madu
kurang lebih 1 kg/tahun, sedangkan Apis spp
menghasilkan madu mencapai 75 kg/tahun.
Madu yang dihasilkan Trigona spp
mempunyai aroma khas, campuran rasa manis
dan asam seperti lemon. Aroma madu tersebut
berasal dari resin tumbuhan dan bunga yang
dihinggapi lebah (Fatoni 2008). Madu dari
Trigona juga sulit diekstrak, namun
kandungan propolisnya lebih banyak daripada
golongan Apis.
Sarang lebah Trigona spp dibuat dengan
campuran lilin dan resin propolis dari
tanaman. Sarang tersusun atas sel anakan yang
dikelilingi dengan pelepah lembut yang
disebut involucrum dan sel besar yang terdiri
atas madu serta cadangan polen (Free 1982).
Sarang lebah terdiri atas sekitar 50% senyawa
resin (flavonoid dan asam fenolat), 30% lilin
lebah, 105 minyak aromatik, 5% polen, dan
5% berbagai senyawa aromatik. Trigona spp
memiliki sengat sisa, namun tidak digunakan
sebagai alat pertahanan. Lebah akan
menggigit atau membakar kulit musuhnya
dengan larutan basa. Lebah ini juga dilengkapi
dengan sistem kekebalan untuk menyerang
serangga penggangu (Free 1982).
Propolis
Propolis adalah bahan perekat dari resin
yang dikumpulkan lebah pekerja dari kuncup,
kulit kayu, dan bagian tumbuhan lainnya
(Gojmerac 1983). Resin/resin yang terkumpul
dicampur dengan enzim lebah sehingga
berbeda dengan resin tumbuhan asalnya.

3

Propolis berwarna kuning sampai coklat tua,
bahkan ada yang transparan. Perbedaan warna
tersebut
dipengaruhi
oleh
kandungan
flavonoidnya. Telah diperkirakan bahwa
200.000 lebah madu menghasilkan 20 gram
kandungan propolis setiap tahunnya. Propolis
berwujud keras dan rapuh pada suhu di bawah
15oC, tetapi kembali lebih lengket pada suhu
24/25oC. Propolis umumnya dapat meleleh
pada suhu 60/69oC, namun ada pula yang titik
lelehnya di atas 100oC (Woo 2004).
Senyawa kimia utama dalam propolis
terdiri atas senyawa golongan flavonoid,
fenolik, dan berbagai senyawa aromatik.
Senyawa/senyawa tersebut sukar larut dalam
air, sebagian besar mudah larut dalam alkohol,
dan kadang sulit larut dalam pelarut
hidrokarbon (Pietta et al. 2002 dalam Fatoni
2008). Lasmayanty (2007) menunjukkan hasil
uji fitokimia terhadap propolis lebah Trigona
spp asal Pandeglang mengandung senyawa
alkaloid,
flavonoid,
minyak
atsiri,
triterpenoid, saponin, dan tanin.
Propolis dapat berfungsi sebagai antibiotik
alami karena kemampuan antimikrobnya.
Senyawa aktif yang memberikan efek
antibakteri adalah pinocembrin, galangin,
asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa
antifunginya yaitu pinocembrin, pinobaksin,
asam kafeat, benzil ester, sukaranetin, dan
pterostilnena. Senyewa antiviralnya adalah
asam kafeat, lutseolin, dan quersetin. Zat aktif
yang diketahui bersifat antibiotik adalah asam
ferulat. Zat tersebut efektif terhadap bakteri
Gram positif dan Gram negatif (Winingsih
2004).
Lebah madu memerlukan propolis karena
lebah madu rentan terhadap infeksi bakteri
dan virus (Chinthalapally et al. 1993) dan
untuk mengisi celah maupun retakan serta
menghaluskan permukaan yang kasar pada
sarangnya (Gojmerac 1983).

Gambar 1 Propolis kasar.
anopartikel
Teknologi nano merupakan teknik
memanipulasi materi menjadi berskala
nanometer dari sekumpulan atomnya melalui

pemurnian bentuk serbuknya. Sebuah ukuran
nanometer adalah 1 x 10/9 m atau 1/1000 mm
seukuran dengan 50.000 kali lebih kecil dari
diameter rambut manusia. Teknologi nano
merupakan pengembangan mutidisiplin ilmu
fisika, kimia, biologi, teknik, elektronika,
proses, materi, aplikasi, dan konsep (Aitken et
al. 2004).
Nanopartikel termasuk golongan sistem
penghantaran obat koloid padat, dan
merupakan dasar dari sistem penghantaran
obat yang bersifat dapat diuraikan tubuh dan
tidak toksik. Nanopartikel adalah suatu
preparat parenteral dan dapat disimpan dalam
bentuk padat. Sediaan nanopartikel setelah
penyimpanan setahun masih dapat diencerkan
kembali menjadi larutan koloid yang baik dan
masih mempunyai sifat/sifat in vivo dan in
vitro yang tidak berubah (Wiraatmadja 1984).
Pembentukan nanopartikel bertujuan untuk
pendistribusian materi yang bergantung pada
ukuran partikel, permukaan partikel, dan
pelepasan agen aktif farmakologi dengan
harapan memberikan efek terapi sesuai dosis
dan tingkat optimalnya (Mohanraj & Chen
2006). Syarat/syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu nanopartikel ideal, antara lain : harus
berakumulasi atau tetap tinggal pada daerah
yang dikehendaki; harus melepaskan obatnya
pada kecepatan dan tempat yang dikehendaki;
memiliki stabilitas yang cukup baik dan
dengan cara pemakaian yang mudah; harus
dapat disterilkan; dan bahan pembawanya
(carrier) tidak toksik dan bersifat dapat
terdegradasi secara alami (Wiraatmadja 1984).
Tipe/tipe nanopartikel yang dikenal, antara
lain: partikel yang tidak dapat terdegradasi
secara alami; polimer yang dapat terdegradasi
secara alami; sistem campuran polimer dan
makromolekul; dan sistem yang menggunakan
makromolekul alam. Partikel yang tidak
dapat terdegradasi secara alami dibuat dari
monomer seperti metimetakrilat disolubilisasi
dalam larutan heksana. Polimerisasi diinduksi
oleh radiasi sinar gamma atau sinar UV.
Hasilnya berupa partikel berukuran 80/250
mm yang dapat disimpan setelah diproses
dengan freeze dried. Polimer yang dapat
terdegradasi secara alami merupakan hasil
polimerisasi dari suatu alkisianoakrilat di
dalam medium air yang bersifat asam dan
ditambah
surfaktan.
Partikel
tersebut
diuraikan oleh hidrolisis rantai karbon
membentuk
formaldehida
dan
suatu
alkisianoasetat. Sistem campuran polimer dan
makromolekul merupakan kombinasi antara
polimer
dengan
makromolekul
untuk
memudahkan didegradasi secara alami dari

4

sistem polimernya. Pembuatannya diawali
dengan memasukkan dekstran ke dalam rantai
hidrokarbon
dalam poliakrilamit
agar
polimernya lebih mudah dimetabolisasi.
Sistem yang menggunakan makromolekul
alam biasa menggunakan protein dan selulosa
sebagai bahan nanopartikel yang dapat
didegradasi secara alami (Wiraatmadja 1984).
Keuntungan menggunakan nanopartikel
pada obat, antara lain: ukuran partikel dan
karakteristiknya permukaannya memudahkan
untuk dimanipulasi agar mencapai efek pasif
dan aktif terhadap targetnya; meningkatkan
efek terapi dari obat; dapat menggunakan
berbagai saluran seperti oral, nasal, parenteral,
maupun intraokular; kontrol pengeluaran dan
degradasi permukaan dapat diatur dari
komposisi matriksnya; dan target spesifiknya
dapat menempel melalui ligannya atau dengan
bantuan magnetik.
Nanopartikel dapat dibentuk dari protein,
polisakarida,
dan
sintesis
polimer.
Nanopartikel dapat dibentuk menggunakan
tiga metode, antara lain: dispersi polimer,
polimerasi monomer, dan gelatinasi ion
(Mohanraj & Chen 2006). Faktor keterbatasan
kelarutan obat yang digunakan secara oral
menjadi pendekatan utama untuk meningkat
kemampuannya menyerap sehingga dapat
terurai menjadi cairan di dalam usus (Hue et
al. 2004). Pengurangan atau pengecilan
ukuran partikel yang memiliki kelarutan yang
kecil akan akan meningkatkan luas permukaan
sehingga akan meningkatkan penguraian
partikel yang menyebabkan kelarutannya
meningkat (Dressman et al. 1998; Horter dan
Dressman 2001).
Bakteri Uji
Bakteri merupakan protista prokariot
bersel tunggal yang sangat beragam. Bakteri
berukuran
mikroskopis
dalam
satuan
mikrometer. Sel/sel individu bakteri memiliki
bentuk bola (kokus), batang (basilus), dan
spiral (spirilium). Pola penataan sel berbentuk
tunggal, berpasangan, bergerombol, rantai
atau filamen (Pelczar & Chan 1988).
Reproduksi bakteri dilakukan secara
pembelahan biner melintang. Namun,
beberapa spesies bereproduksi dengan proses
tambahan berupa spora reproduktif dan
fermentasi. Waktu regenerasi masing/masing
spesies tidak sama bergantung kondisi dan
nutrisi (Pelczar & Chan 1988).
Bakteri dapat dibedakan berdasarkan
komposisi dan struktur dinding selnya, yaitu
bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Perbedaan tersebut dilihat menggunakan

metode pewarnaan Gram. Bakteri Gram
positif memberikan warna ungu atau biru,
sedangkan bakteri Gram negatif berwarna
merah (Pelczar & Chan 1988).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri
Gram positif
yang termasuk famili
Micrococaceae. Berbentuk kokus dengan
diameter 0.5/1.5 µm dan penataan selnya
tunggal, berpasangan, atau bergerombol
seperti anggur. Bersifat patogen, nonmotil,
tidak berspora, tidak berkapsul, anaerob
fakultatif, tetapi tumbuh lebih cepat pada
keadaan
aerob.
Suhu
optimum
pertumbuhannya 30/37oC. Koloni bakteri ini
menghasilkan pigmen putih, kuning, atau
kuning oranye (Lay & Hastowo 1992; Pelczar
& Chan 1988) .
S. aureus terdapat pada rambut, selaput
hidung, mulut, kelenjar keringat, saluran usus,
pori/pori dan permukaan kulit, kelenjar susu,
serta makanan yang berprotein tinggi (Fardiaz
1983; Pelczar & Chan 1988). Bakteri ini
tumbuh optimum pada pH 7/7.5. S. aureus
tumbuh baik di dalam medium yang
mengandung NaCl 10%, menyebabkan
intoksikasi,
dan
infeksi.
S.
aureus
menghasilkan
enterotoksin
penyebab
keracunan yang bersifat tahan panas dan
masih aktif setelah dipanasi pada suhu 100oC
selama 30 menit (Fardiaz 1983).
B. subtilis merupakan bakteri Gram positif
berbentuk
batang,
berpasangan
atau
membentuk rantai, motil dengan flagela
peritrik, berspora tahan panas kering dan
desinfektan kimia tertentu selama waktu lama,
dan bersifat aerob maupun anaerob fakultatif.
B. subtilis suhu optimum 25/37oC. Bakteri ini
menggunakan sumber nitrogen dan karbon
untuk pertumbuhan. B. subtilis banyak
ditemukan di tanah, air, udara, saluran
pencernaan serta bahan pangan tertentu (Holt
et al. 1994)
Salmonella sp termasuk Gram negatif,
berbentuk batang, tidak membentuk spora,
hidup secara aerobik dan anaerobik fakultatif,
umumnya motil dengan flagelum peritrikus.
Bakteri ini tergolong keluarga enteril atau
Enterobacteriae dengan karakteristik mirip
proteobakteri
E.
coli.
Bakteri
ini
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon,
tidak memfermentasi laktosa, sukrosa, dan
salisin. Sebagian strain ini dapat membentuk
gas H2S. Salmonella typhi adalah contoh
strain yang dapat membentuk gas H2S.
Salmonella sp menyebabkan penyakit
demam tifoid (salmonelosis) yang bersifat
menular dan eksplosif. Hal ini diakibatkan
oleh endotoksin dan bersifat panas. Demam

5

ini terutama diakibatkan S. thypi dan S.
parathypi. Sejumlah 109 sel S. typhimurium
yang
diberikan
secara
oral
dapat
menyebabkan gejala infeksi toksik. Penular
utama Salmonella adalah feses manusia. Masa
inkubasi serangan demam ini 10/14 hari.
Mengonsumsi makanan dan minuman
tercemar Salmonella setelah 8/48 jam dapat
menyebabkan gejala dini sakit perut
mendadak disertai dengan feses yang encer
kadang dengan lendir dam darah, biasanya
diikuti mual, muntah, dan demam hingga suhu
38/39oC.
Escherichia coli adalah penghuni saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah
panas. Biasanya tidak patogenik, tetapi dapat
menyebabkan infeksi. Apabila memasuki
kandung kemih dapat menyebabkan sititis. E.
coli digunakan sebagai indikator pencemaran
air dan beberapa galur tertentu menyebabkan
gastroenteritis, disentri pada manusia serta
dapat menyebabkan diare (Fardiaz 1989;
Pelczar & Chan 1988).
Escherichia
coli
termasuk
famili
Enterobacteriaceae. Berbentuk batang atau
koma, berukuran 1.1/1.5 x 2.0/6.0 µm,
tunggal maupun berpasangan, dan dalam
rantai pendek serta merupakan bakteri Gram
negatif. Bakteri ini tidak berkapsul dan tidak
berspora, tumbuh baik pada pH optimum 7.0/
7.5 serta suhu optimum 37oC. E. coli
membentuk koloni berwarna putih hingga
kekuningan, dan memiliki permukaan yang
bergelombang di atas agar (Fardiaz 1983;
Pelczar & Chan 1988). Bakteri ini bersifat
nonmotil dan hidup secara anaerob fakultatif
(Holt et al. 1994).
Jumlah koloni dan pertumbuhan bakteri
dapat ditekan suatu senyawa yang dikenal
sebagai zat antibakteri. Berdasarkan toksisitas
selektif antibakteri dibedakan menjadi dua,
yaitu
bakterisidal
dan
bakteriostatik
(Ganiswara et al. 1995). Bakterisidal bersifat
mematikan bakteri, sedangkan bakteriostatik
bersifat menghambat pertumbuhan bakteri.
Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik
pada konsentrasi rendah dan bersifat
bakteriosidal
pada
konsentrasi
tinggi
(Wattimena et al. 1991). Mekanisme kerja
antibakteri secara umum dibedakan menjadi
empat, antara lain antibakteri yang
menghambat sintesis dinding sel, menghambat
keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri,
menghambat sintesis protein sel bakteri, dan
menghambat sintesis asam nukleat (Jawetz et
al. 1996).
Antibakteri yang menghambat sintesis
dinding sel bakteri bekerja dengan terikat

pada reseptor sel (beberapa diantaranya adalah
enzim transpeptidase), kemudian terjadi reaksi
transpeptidase sehingga sintesis peptidoglikan
terhambat. Mekanisme diakhiri dengan
penghentian aktivitas penghambat enzim
autolisis pada dinding sel.
Antibakteri yang menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri bekerja
dengan mengganggu membran sitoplasma
oleh zat yang bersifat surfaktan sehingga
menyebabkan permeabilitas dinding sel
berubah dan menjadi rusak. Komponen/
komponen penting yang berada di dalam sel
seperti protein, asam nukleat, nukleotida
keluar dari sel dan berangsur/angsur sel akan
mati.
Antibakteri yang menghambat sintesis
protein sel bakteri bekerja berdasarkan
kemampuannya mendenaturasi protein yang
merupakan
komponen
esensial
bagi
kehidupan sel. Senyawa penghambat sintesis
protein juga dapat menyebabkan kesalahan
dalam pembacaan kode pada mRNA sehingga
protein tidak terbentuk, dan sel akan mati.
Antibakteri yang menghambat sintesis
asam nukleat berikatan dengan enzim atau
komponen yang berperan dalam tahapan
sintesis asam nukleat, sehingga reaksi terhenti
karena substrat yang direaksikan dan asam
nukleat tidak terbentuk.
Berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap
mikroorganisme,
senyawa
antibakteri
dikelompokkan menjadi dua, yaitu antibakteri
berspektrum luas dan antibakteri berspektrum
sempit (Schunack et al. 1990). Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri,
diantaranya konsentrasi antibakteri, jumlah
bakteri, spesies bakteri, temperatur, dan
adanya bahan organik (Pelczar & Chan 1988).
Salah satu zat antibakteri adalah antibiotik.
Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang
dihasilkan atau diturunkan oleh organisme
hidup termasuk struktur analognya yang
dibuat secara sintetik, yang dalam kadar
rendah mampu menghambat proses penting
dalam kehidupan satu spesies atau lebih
(Siswandono & Soekardjo 1995).
BAHA DA METODE
Bahan dan Alat
Bahan/bahan yang digunakan adalah
propolis kasar Trigona spp asal Pandeglang,
bakteri Gram positif (S. aureus dan B.
subtilis), bakteri Gram negatif (Salmonella sp
dan E. coli), media padat )utrient Agar (NA),
media cair )utrient Broth (NB), media padat
Peptone Yeast Glucose (PYG), natrium

5

ini terutama diakibatkan S. thypi dan S.
parathypi. Sejumlah 109 sel S. typhimurium
yang
diberikan
secara
oral
dapat
menyebabkan gejala infeksi toksik. Penular
utama Salmonella adalah feses manusia. Masa
inkubasi serangan demam ini 10/14 hari.
Mengonsumsi makanan dan minuman
tercemar Salmonella setelah 8/48 jam dapat
menyebabkan gejala dini sakit perut
mendadak disertai dengan feses yang encer
kadang dengan lendir dam darah, biasanya
diikuti mual, muntah, dan demam hingga suhu
38/39oC.
Escherichia coli adalah penghuni saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah
panas. Biasanya tidak patogenik, tetapi dapat
menyebabkan infeksi. Apabila memasuki
kandung kemih dapat menyebabkan sititis. E.
coli digunakan sebagai indikator pencemaran
air dan beberapa galur tertentu menyebabkan
gastroenteritis, disentri pada manusia serta
dapat menyebabkan diare (Fardiaz 1989;
Pelczar & Chan 1988).
Escherichia
coli
termasuk
famili
Enterobacteriaceae. Berbentuk batang atau
koma, berukuran 1.1/1.5 x 2.0/6.0 µm,
tunggal maupun berpasangan, dan dalam
rantai pendek serta merupakan bakteri Gram
negatif. Bakteri ini tidak berkapsul dan tidak
berspora, tumbuh baik pada pH optimum 7.0/
7.5 serta suhu optimum 37oC. E. coli
membentuk koloni berwarna putih hingga
kekuningan, dan memiliki permukaan yang
bergelombang di atas agar (Fardiaz 1983;
Pelczar & Chan 1988). Bakteri ini bersifat
nonmotil dan hidup secara anaerob fakultatif
(Holt et al. 1994).
Jumlah koloni dan pertumbuhan bakteri
dapat ditekan suatu senyawa yang dikenal
sebagai zat antibakteri. Berdasarkan toksisitas
selektif antibakteri dibedakan menjadi dua,
yaitu
bakterisidal
dan
bakteriostatik
(Ganiswara et al. 1995). Bakterisidal bersifat
mematikan bakteri, sedangkan bakteriostatik
bersifat menghambat pertumbuhan bakteri.
Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik
pada konsentrasi rendah dan bersifat
bakteriosidal
pada
konsentrasi
tinggi
(Wattimena et al. 1991). Mekanisme kerja
antibakteri secara umum dibedakan menjadi
empat, antara lain antibakteri yang
menghambat sintesis dinding sel, menghambat
keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri,
menghambat sintesis protein sel bakteri, dan
menghambat sintesis asam nukleat (Jawetz et
al. 1996).
Antibakteri yang menghambat sintesis
dinding sel bakteri bekerja dengan terikat

pada reseptor sel (beberapa diantaranya adalah
enzim transpeptidase), kemudian terjadi reaksi
transpeptidase sehingga sintesis peptidoglikan
terhambat. Mekanisme diakhiri dengan
penghentian aktivitas penghambat enzim
autolisis pada dinding sel.
Antibakteri yang menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri bekerja
dengan mengganggu membran sitoplasma
oleh zat yang bersifat surfaktan sehingga
menyebabkan permeabilitas dinding sel
berubah dan menjadi rusak. Komponen/
komponen penting yang berada di dalam sel
seperti protein, asam nukleat, nukleotida
keluar dari sel dan berangsur/angsur sel akan
mati.
Antibakteri yang menghambat sintesis
protein sel bakteri bekerja berdasarkan
kemampuannya mendenaturasi protein yang
merupakan
komponen
esensial
bagi
kehidupan sel. Senyawa penghambat sintesis
protein juga dapat menyebabkan kesalahan
dalam pembacaan kode pada mRNA sehingga
protein tidak terbentuk, dan sel akan mati.
Antibakteri yang menghambat sintesis
asam nukleat berikatan dengan enzim atau
komponen yang berperan dalam tahapan
sintesis asam nukleat, sehingga reaksi terhenti
karena substrat yang direaksikan dan asam
nukleat tidak terbentuk.
Berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap
mikroorganisme,
senyawa
antibakteri
dikelompokkan menjadi dua, yaitu antibakteri
berspektrum luas dan antibakteri berspektrum
sempit (Schunack et al. 1990). Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri,
diantaranya konsentrasi antibakteri, jumlah
bakteri, spesies bakteri, temperatur, dan
adanya bahan organik (Pelczar & Chan 1988).
Salah satu zat antibakteri adalah antibiotik.
Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang
dihasilkan atau diturunkan oleh organisme
hidup termasuk struktur analognya yang
dibuat secara sintetik, yang dalam kadar
rendah mampu menghambat proses penting
dalam kehidupan satu spesies atau lebih
(Siswandono & Soekardjo 1995).
BAHA DA METODE
Bahan dan Alat
Bahan/bahan yang digunakan adalah
propolis kasar Trigona spp asal Pandeglang,
bakteri Gram positif (S. aureus dan B.
subtilis), bakteri Gram negatif (Salmonella sp
dan E. coli), media padat )utrient Agar (NA),
media cair )utrient Broth (NB), media padat
Peptone Yeast Glucose (PYG), natrium

6

klorida,
etanol 70%, maltodekstrin,
magnesium stearat, KBr, akuades, dan
ampisilin.
Alat/alat yang digunakan adalah autoklaf,
shaker orbital, rotavapor, pengering vakum,
magnetic stirer, laminar air flow cabinet,
wrap, cawan petri, jarum ose, penangas air
bergoyang, neraca analitik, vortex, kertas
saring, spektrofotometer UV, homogenizer
Janke and Kunkel IKA®, High Energy Milling
(HEM), Scanning Electron Microscopy
(SEM), mikropipet, jangka sorong, dan alat/
alat gelas lainnya.
Metode
Ektraksi Propolis
Propolis diekstraksi dengan metode
Harbone (1987) serta Matienzo dan Lamonera
(2004). Ekstraksi dilakukan secara maserasi
dengan pelarut etanol 70%. Sebanyak 150
gram propolis yang diperoleh dari sarang
lebah madu Trigona spp asal Pandeglang
direndam dengan etanol 70%, ditutup lalu
disimpan dalam ruangan gelap selama 1
minggu. Setiap hari dilakukan pengocokan.
Setelah satu minggu, filtrat diambil dan
disaring serta sisanya dilakukan ekstraksi
kembali. Selanjutnya filtrat diambil setiap hari
selama satu minggu hingga pelarut jernih.
Setelah filtrat ekstrak propolis diperoleh,
dilakukan pemekatan dengan menggunakan
rotavapor pada suhu 40oC. Ekstrak pekatnya
ditimbang sehingga dihasilkan nilai rendemen.
Ekstrak ini dilarutkan dalam etanol 70%
sebanyak satu kali volumenya yang disebut
ekstrak etanol propolis (EEP).
Pembuatan anopropolis 5%
Nanopropolis
dibuat
menggunakan
penggabungan metode modifikasi Bhaskar et
al. (2009) dengan Sutriyo et al. (2004).
Sebanyak 20 gram ekstrak etanol propolis
ditambahkan 120 ml etanol 70%. Bahan
penyalut maltodekstrin sebanyak 85 gram
dilarutkan dalam akuades 80 ml dan
ditambahkan 5 gram Mg/stearat lalu diaduk
dengan stirer sampai tercampur rata.
Campuran maltodekstrin dihomogenisasi pada
kecepatan 22000 rpm selama 30 menit.
Propolis yang terlarut dengan etanol 70%
dicampurkan dengan campuran penyalut dan
dihomogenisasi kembali pada kecepatan
22000 rpm selama 30 menit. Larutan
dikeringkan dengan pengering vakum pada
suhu 40°C. Serbuk yang terbentuk kemudian
dihaluskan dan disamaratakan dengan High
Energy Milling (HEM) dengan kecepatan 915
rpm dan frekuensi 28,8 Hz selama 15 menit.

Hasil
nanopropolis
diidentifikasi
menggunakan Scanning Electron Microscopy
(SEM). Penggunaan HEM dan SEM
dilakukan
di
Laboratorium
BATAN,
Puspiptek, Serpong.
Karakterisasi SEM anopropolis
Nanopropolis dikarakterisasi dengan alat
JSM/6510LA Analytical Scanning Electron
Microscope (Jeol) di BATAN, Puspiptek,
Serpong. Sebanyak 0.3 gram serbuk
nanopropolis dimasukkan ke dalam plat
platinum, kemudian permukaannya dilapisi
(coating) dengan emas. Plat platinum yang
berisi nanopropolis dimasukkan ke dalam alat
SEM S500 coating unit selama 15 menit.
Selanjutnya, nanopropolis diamati dengan
SEM yang telah terhubung dengan komputer.
SEM diatur dalam keadaan vakum dengan
tegangan 20 kV. Perbesaran diatur
berdasarkan visualisasi terbaiknya.
Profil Spektrum FTIR anopropolis
Serbuk nanopropolis ditimbang sebanyak
1.5 gram dan dicampur dengan 300 gram KBr.
Campuran ini kemudian dihaluskan dengan
mortar sampai tercampur rata. Selanjutnya
bahan yang telah tercampur dimasukkan ke
dalam cetakan dan ditutup rapat. Cetakan
sampel dimasukkan ke dalam alat pres yang
tersambung dengan pompa tekan. Penakanan
sampel menggunakan pompa tekan dilakukan
selama 15 menit sampai terbentuk pelet. Pelet
yang
terbentuk
selanjutnya
dianalisis
menggunakan FTIR di Laboratorium Pusat
Studi Biofarmaka, Bogor.
Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri menggunakan
metode difusi sumur agar (Hadioetomo 1990).
Kontrol positif yang digunakan yaitu
ampisilin tablet 500 mg dengan konsentrasi 10
mg/ml dan kontrol negatifnya digunakan
akuades.
Regenerasi Bakteri Uji. Sebelum digunakan,
bakteri
yang
akan
dipakai
harus
diregenerasikan terlebih dahulu. Bakteri yang
berasal dari kultur primer mula/mula
dibiakkan ke dalam agar miring NA.
Sebanyak satu ose bakteri digoreskan ke agar
miring NA lalu diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Biakan ini merupakan
aktivitas awal stok bakteri yang disimpan
pada suhu 4/5oC.
Uji Pendahuluan Aktivitas Antibakteri.
Sebanyak satu ose bakteri dari stok biakan
diambil lalu diinkubasi ke dalam 10 ml NB
selama 18/24 jam pada penangas air

7

bergoyang dengan suhu 37oC. Setelah itu dari
biakan diambil sejumlah bakteri yang
disebarkan di dalam cawan petri, lalu
dituangkan 20 ml media PYG bersuhu ± 45oC,
lalu cawan digoyangkan agar bakteri tersebar
merata. Selanjutnya didiamkan pada suhu
kamar sampai media agar memadat. Setelah
padat, agar dilubangi dengan diameter ± 5
mm. Ke dalam lubang tersebut dimasukkan
ekstrak nanopropolis sebanyak 50 µl lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Daerah bening yang terlihat di sekeliling
lubang
menandakan
adanya
aktivitas
antibakteri pada sampel. Volume bakteri yang
diambil berdasarkan nilai absorban yang
terukur pada panjang gelombang 600 nm
sengan spektrofotometer UV. Jika nilai
absorban yang terukur kurang dari 1,000 maka
volume bakteri yang diambil sebanyak 100 µl.
Jika nilai absorban yang terukur lebih dari
1,000 maka volume yang diambil sebanyak 50
µl (Hadioetomo 1990).
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum
Penentuan KHTM dilakukan setelah
diketahui bahwa ekstrak propolis memiliki
aktivitas antibakteri. Tahap pertama yaitu
pengenceran nanopropolis dengan akuades
sehingga didapatkan 10 konsentrasi (0.009%
sampai 5% v/v). Setiap konsentrasi sebanyak
50 µl dimasukkan ke dalam lubang media
PYG padat yang mengandung bakteri uji, lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Aktivitas antibakteri diperoleh dengan
mengukur diamter zona bening di sekitar
lubang sampel menggunakan jangka sorong.
Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan dalam
pengolahan data adalah rancangan percobaan
dua faktor dalam rancangan acak lengkap.
Berikut ini merupakan model rancangannya
(Mattjik & Sumertajaya 2002)
Yij = + τi + εij
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke/I
dan ulangan ke/j
= Pengaruh rataan umum
τ = Pengaruh perlakuan ke/i
ε = Pengaruh acak pada perlakuan ke/i
ulangan ke j
Data yang diperoleh dianalisis dengan
ANOVA (Analysis of variance) pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji lanjut
yang digunakan adalah uji Duncan. Seluruh
data dianalisis dengan menggunakan program
SPSS 16.0.

HASIL DA PEMBAHASA
Rendemen Ekstrak Propolis
Propolis Trigona spp yang dihasilkan
berwarna coklat dengan rendemen sebesar
13,33% (Gambar 2). Ekstrak propolis yang
didapatkan Fitriannur (2009) sebesar 17,76%,
Saputra (2009) sebesar 8,81%, dan Suseno
(2009) sebesar 10,62%. Ketiga penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya
menggunakan teknik dan pelarut ekstraksi
yang sama, yaitu teknik maserasi dengan
pelarut etanol 70%. Perbedaan nilai rendemen
yang diperoleh dipengaruhi vegetasi tempat
lebah Trigona spp mendapatkan bahan baku
propolis, musim, dan lokasi geografi tempat
pengambilan propolis (Bankova & Popova
2007). Warna propolis bergantung pada
senyawa fenol yang terdapat dalam ekstrak,
yaitu senyawa flavonoid. Propolis yang
berwarna lebih gelap mengandung flavonoid
lebih banyak, sehingga memiliki rendemen
yang lebih banyak dibandingkan dengan
propolis berwarna lebih muda (Salomao et at.
2004).
Propolis mempunyai sifat keras, dan liat
pada suhu 15oC dengan titik didih 60/69oC
(Woo 2004). Propolis disimpan pada suhu
kurang dari 25oC dan ditempatkan pada
tempat gelap agar tidak terkena sinar matahari
langsung karena akan merusak senyawa aktif
dalam propolis (Krell 2004). Ekstrak lebah
madu Trigona spp asal Pandeglang diperoleh
menggunakan metode maserasi. Maserasi
merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan
untuk bahan yang tidak tahan panas dengan
cara perendaman di dalam pelarut tertentu
selama waktu tertentu (Angraini 2006).
Pemanasan pada suhu yang sangat tinggi
dimungkinkan akan merusak senyawa aktif di
dalam propolis.
Pelarut yang digunakan untuk maserasi
adalah etanol 70%. Etanol 70% bersifat
semipolar sehingga mampu mengekstrak
senyawa aktif dengan kepolaran yang berbeda
dalam propolis. Menurut Harborne (1987),
etanol 70% merupakan pelarut yang baik
untuk mengekstrak flavonoid. Etanol juga
memiliki titik didih yang rendah dan mudah
menguap, sehingga memperkecil jumlah yang
terbawa dalam ekstrak. Penggunaan etanol
70% juga memperkecil terekstraksinya lilin
lebah yang dianggap sebagai pengganggu
dalam ekstraksi propolis (Cunha et al. 2004).
Lilin lebah yang terdiri atas asam lemak dan
alkohol dengan rantai karbon panjang tidak
larut dalam etanol 70% (Fearnley 2005). Krell
(2004) menyatakan bahwa etanol 70%

7

bergoyang dengan suhu 37oC. Setelah itu dari
biakan diambil sejumlah bakteri yang
disebarkan di dalam cawan petri, lalu
dituangkan 20 ml media PYG bersuhu ± 45oC,
lalu cawan digoyangkan agar bakteri tersebar
merata. Selanjutnya didiamkan pada suhu
kamar sampai media agar memadat. Setelah
padat, agar dilubangi dengan diameter ± 5
mm. Ke dalam lubang tersebut dimasukkan
ekstrak nanopropolis sebanyak 50 µl lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Daerah bening yang terlihat di sekeliling
lubang
menandakan
adanya
aktivitas
antibakteri pada sampel. Volume bakteri yang
diambil berdasarkan nilai absorban yang
terukur pada panjang gelombang 600 nm
sengan spektrofotometer UV. Jika nilai
absorban yang terukur kurang dari 1,000 maka
volume bakteri yang diambil sebanyak 100 µl.
Jika nilai absorban yang terukur lebih dari
1,000 maka volume yang diambil sebanyak 50
µl (Hadioetomo 1990).
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum
Penentuan KHTM dilakukan setelah
diketahui bahwa ekstrak propolis memiliki
aktivitas antibakteri. Tahap pertama yaitu
pengenceran nanopropolis dengan akuades
sehingga didapatkan 10 konsentrasi (0.009%
sampai 5% v/v). Setiap konsentrasi sebanyak
50 µl dimasukkan ke dalam lubang media
PYG padat yang mengandung bakteri uji, lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Aktivitas antibakteri diperoleh dengan
mengukur diamter zona bening di sekitar
lubang sampel menggunakan jangka sorong.
Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan dalam
pengolahan data adalah rancangan percobaan
dua faktor dalam rancangan acak lengkap.
Berikut ini merupakan model rancangannya
(Mattjik & Sumertajaya 2002)
Yij = + τi + εij
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke/I
dan ulangan ke/j
= Pengaruh rataan umum
τ = Pengaruh perlakuan ke/i
ε = Pengaruh acak pada perlakuan ke/i
ulangan ke j
Data yang diperoleh dianalisis dengan
ANOVA (Analysis of variance) pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji lanjut
yang digunakan adalah uji Duncan. Seluruh
data dianalisis dengan menggunakan program
SPSS 16.0.

HASIL DA PEMBAHASA
Rendemen Ekstrak Propolis
Propolis Trigona spp yang dihasilkan
berwarna coklat dengan rendemen sebesar
13,33% (Gambar 2). Ekstrak propolis yang
didapatkan Fitriannur (2009) sebesar 17,76%,
Saputra (2009) sebesar 8,81%, dan Suseno
(2009) sebesar 10,62%. Ketiga penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya
menggunakan teknik dan pelarut ekstraksi
yang sama, yaitu teknik maserasi dengan
pelarut etanol 70%. Perbedaan nilai rendemen
yang diperoleh dipengaruhi vegetasi tempat
lebah Trigona spp mendapatkan bahan baku
propolis, musim, dan lokasi geografi tempat
pengambilan propolis (Bankova & Popova
2007). Warna propolis bergantung pada
senyawa fenol yang terdapat dalam ekstrak,
yaitu senyawa flavonoid. Propolis yang
berwarna lebih gelap mengandung flavonoid
lebih banyak, sehingga memiliki rendemen
yang lebih banyak dibandingkan dengan
propolis berwarna lebih muda (Salomao et at.
2004).
Propolis mempunyai sifat keras, dan liat
pada suhu 15oC dengan titik didih 60/69oC
(Woo 2004). Propolis disimpan pada suhu
kurang dari 25oC dan ditempatkan pada
tempat gelap agar tidak terkena sinar matahari
langsung karena akan merusak senyawa aktif
dalam propolis (Krell 2004). Ekstrak lebah
madu Trigona spp asal Pandeglang diperoleh
menggunakan metode maserasi. Maserasi
merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan
untuk bahan yang tidak tahan panas dengan
cara perendaman di dalam pelarut tertentu
selama waktu tertentu (Angraini 2006).
Pemanasan pada suhu yang sangat tinggi
dimungkinkan akan merusak senyawa aktif di
dalam propolis.
Pelarut yang digunakan untuk maserasi
adalah etanol 70%. Etanol 70% bersifat
semipolar sehingga mampu mengekstrak
senyawa aktif dengan kepolaran yang berbeda
dalam propolis. Menurut Harborne (1987),
etanol 70% merupakan pelarut yang baik
untuk mengekstrak flavonoid. Etanol juga
memiliki titik didih yang rendah dan mudah
menguap, sehingga memperkecil jumlah yang
terbawa dalam ekstrak. Penggunaan etanol
70% juga memperkecil terekstraksinya lilin
lebah yang dianggap sebagai pengganggu
dalam ekstraksi propolis (Cunha et al. 2004).
Lilin lebah yang terdiri atas asam lemak dan
alkohol dengan rantai karbon panjang tidak
larut dalam etanol 70% (Fearnley 2005). Krell
(2004) menyatakan bahwa etanol 70%

8

merupakan pelarut terbaik untuk propolis
sebagai bahan antibakteri.

Gambar 2 Ektrak pekat propolis.
anopropolis
Nanopropolis yang dihasilkan berbentuk
serbuk yang sangat kering, namun masih
sangat kasar dan bergerombol. Nanopropolis
dihaluskan dan disamaratakan kembali dengan
HEM (High Energy Milling). HEM akan
menghaluskan dan meratakan suatu partikel
dari 3 arah, yaitu vertikal, horisontal, dan
rotasi. Nanopropolis dihaluskan menggunakan
bola besi (ball mill) yang dimasukkan dalam
tabung HEM. Perangakat HEM akan memutar
tabung HEM secara vertikal, horisontal, dan
berotasi. Serbuk nanopropolis yang dihasilkan
berwarna putih agak kecoklatan dan sangat
halus (Gambar 3).
Pembentukan nanopropolis diawali dengan
pembuatan penyalut propolis menggunakan
teknik
mikroenkapsulasi.
Komponen
mikroenkapsulasi terdiri atas bahan inti dan
bahan penyalut. Bahan inti adalah bahan yang
diperangkap, sedangkan bahan penyalut
merupakan bahan yang dapat melindungi
bahan inti dalam proses mikroenkapsulasi.
Bahan penyalut yang digunakan adalah
maltodekstrin (MDE). Penggunaan MDE
dalam industri farmasi masih sangat terbatas
atau tidak populer dibandingkan dalam
industri makanan yang penggunaannya sudah
sangat luas. Maltodekstrin merupakan salah
satu produk turunan pati yang dihasilkan dari
proses hidrolisis parsial oleh enzim α/amilase
dengan nilai dextrose equivalent (DE) kurang
dari 20. DE menjelaskan persentase hidrolisis
ikatan glikosidik dan penurunan kekuatannya.
Maltodekstrin (C6H10O5).nH2O merupakan
polimer dari D/glukosa yang berikatan dengan
ikatan α/1,4 glikosidik. Ikatan yang terdapat
dalam maltodekstrin ini sangat lemah dan
mudah terputus (Moore et al 2005 dalam
Sukamdiyah 2009). Alasan pemilihan
maltodekstrin sebagai penyalut adalah larut
dalam air, tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak toksik (Sukamdiyah 2009). Anwar
(2004) menyatakan bahwa turunan pati seperti

maltodekstrin
bersifat
meningkatkan
viskositas membentuk matriks hidrogel, dan
memiliki daya rekat. Struktur MDE yang lebih
pendek dibandingkan pati sehingga saat
mikroenkapsulasi menghasilkan mikrokapsul
yang kering, berukuran seragam, dan tidak
lengket
(Suseno
2009).
Dalam
mikroenkapsulasi, struktur MDE yang
berongga akan diisi oleh propolis sebagai inti
sehingga senyawa aktif dalam propolis dapat
terlindungi oleh MDE.
Magnesium
stearat
(C36H70MgO4)
umumnya digunakan dalam dunia farmasi
sebagai pelicin dengan konsentrasi 0,25/5,0%
(Maziyyah
2010). Magnesium stearat
memiliki kemampuan mengurangi gesekan
antara tablet dengan dinding cetakan saat
dikeluarkan
dari
mesin.
Penggunaan
magnesium
stearat
yang
berlebih
menyebabkan penurunan kekerasan tablet dan
memperlambat waktu disintegrasi (Barra &
Somma 1996).
Penambahan magnesium stearat 5% dalam
penyalutan nanopropolis untuk mengurangi
penempelan granul pada wadah pencampur
dan vacuum dryer sehingga penyalutan lebih
sempurna dan memperbaiki penampilan
serbuk nanopropolis. Magnesium stearat
mengurangi serbuk nanopropolis teragregasi.
Pemilihan penggunaan magnesium stearat
dalam nanopropolis dikarenakan magnesium
stearat juga tidak berinteraksi dengan senyawa
aktif
pada
nanopropolis.
Penggunaan
magnesium stearat dalam jumlah yang sedikit
agar disintergras