Karakteristik Fenotipe Dan Jarak Genetik Domba Donggala Di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah

(1)

DI SULAWESI TENGAH

AMIRUDIN DG MALEWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Amirudin Dg Malewa NIM. D051040031


(3)

ABSTRACT

AMIRUDIN DG MALEWA. Fenotype characteristics and genetic distance of sheep from three different location at Donggala regency, Central Sulawesi. Supervised by SRI SUPRAPTINI MANSJOER and CECE SUMANTRI.

Sheeps is one of preeminent commodities of Central Sulawesi in term of natural/pastural resources, climatic and cultural social condition. All varieties of sheep in Central Sulawesi were results of cross-breeding between Fat-tail sheep (FTS) and Merbas sheep. This research was aimed to identify the potential of pasture, population dynamic, reproduction, quantitative and qualitative traits as well as their genetic distance as criteria for sheep selection. The study carried out in Palu City, Subdistrict Biromaru, Central Sulawesi in November 2005, from Februari up to May and from November up to December 2006. Data were collected from different location and all of sheep. A total of 412 sheep were used and selected randomly. Adult sheep were observed 102 heads (24%) from East Palu, 122 heads (10%), from South Palu, and 56 heads (28%) from Biromaru. Sheep kids 28 heads from east and 64 heads from south of Palu, respectively. Baby sheep were 15 heads from East Palu and 25 heads from South Palu and 17 heads from Biromaru.

Results showed that sheep population tended to decrease every year and only 3 270 remains. Between three locations, the highest body weight of sheep were found in Biromaru. The average of birth weight, weaning, adult males and females body were 3.25±0.53 kgs, 11.25±3.33 kgs, 42.00±6.245 kgs, and 30.14±6.28 kgs, respectively. Body size of sheep 18-24 months from Biromaru were also higher compared to the other location, while from age of groups 36 at months, sheep from East Palu and Biromaru were higher than from South Palu. Principal Component Analysis (PCA) showed that the best characters of sheep for selection were breast diameter, body lenght, height of hip, and wide of tail. Qualitative characters of sheep from Donggala regency at 3 reserach locations were varies on head and ear colour and type wool and tails. Dominant colour wool of sheep and colour patterns were white 60-80% and solid FTS in South Palu dominated by male sheep (94.59%) while Medium tail sheep (MTS) were dominant in Biromaru (67.50%). The genetic distance of sheep from East Palu and South Palu were closer than the sheep from higher Biromaru.


(4)

ABSTRAK

AMIRUDIN DG MALEWA. Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah. Dibimbing olehSRI SUPRAPTINI MANSJOER dan CECE SUMANTRI

Domba merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) kemudian disilangkan dengan domba Merbas. Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk digunakan sebagai kriteria seleksi. Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kec. Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005, Februari-Mei dan Nov-Des 2006. Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kec. Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, dimana domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor di Biromaru.

Populasi domba Donggala cenderung menurun dari tahun ke tahun dan kini tinggal 3 270 ekor. Domba di Biromaru memiliki rerata bobot badan yang tertinggi dibanding lokasi lainnya yakni bobot lahir (3.25±0.53) kg, bobot sapih (11.25±3.33) kg. Demikian pula rerata bobot dewasa domba jantan umur 36 bulan (42.00 ±6.245) kg dan domba betina (30.14 ± 6.28) kg). Secara umum ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan domba pada umur 18-24 bulan di Biromaru lebih besar dibandingkan di lokasi lainnya. Hasil analisis AKU menunjukkan bahwa penciri ukuran dan bentuk tubuh yang juga dapat dijadikan kriteria seleksi domba Donggala jantan dan betina adalah lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar ekor di tiga lokasi. Sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian beragam pada warna kepala, warna telinga, bentuk bulu dan bentuk ekor. Warna bulu domba di tiga lokasi umumnya berwarna putih 60-80% dengan pola warna polos. Di Palu Selatan domba ekor gemuk dengan persentase terbanyak (94.59%) adalah pada domba jantan, sedangkan persentase domba ekor sedang terbanyak di Biromaru (67.50%). Domba Palu Timur dan Palu Selatan memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan domba di Biromaru.


(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(6)

KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN JARAK GENETIK

DOMBA DONGGALA DI TIGA LOKASI

DI SULAWESI TENGAH

AMIRUDIN DG MALEWA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Judul Tesis : Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah

Nama : Amirudin Dg Malewa, SPt NIM : D051040031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia dan pertolongan yang diberikan Tesis dengan judul “Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui pengukuran

dilapangan (data primer) maupun data yang diperoleh dari peneliti lain (data sekunder). Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dasar mengenai karakteristik fenotipe domba yang ada di Indonesia, sehingga akan mempermudah dalam penyusunan program pemuliaan.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibunda Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

rekan-rekan Program Studi Ilmu Ternak angkatan 2004 Syahrir Akil, Fitri Nova Lubis, Moh Rusdin, Dian Agustina, Desy Berliana, Merry, Linda, Nursanti Asminaya, Yusmadi, Jhon Bestari dan Janetty. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Harimurti Martojo, Zakaria, Toto Toharmat, Jerry F. Salamena, Feri Munier, Harun dan rekan-rekan HIMPAST (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah) dan teman-teman komunitas Nurul Falah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda Johareng atas segala doa dan kasih sayangnya dan ayahanda Abdul Karim almarhum yang meninggal saat penulis masih menempuh S2 semoga almarhum mendapat tempat yang terindah disisi-Nya.

Penulis sangat menyadari Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solonsa Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1969 dari ayah Abdul Karim (almarhum) dan ibu Johareng. Penulis merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Kolonodale Kab. Morowali dan pada tahun yang sama lulus seleksi bebas tes masuk Universitas Tadulako. Penulis memilih Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Universitas Tadulako Jurusan Peternakan sejak tahun 2000 melalui jalur beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Departemen Pendidikan Nasional. Sebelum menjadi staf di UNTAD, penulis pernah menjadi dosen di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Penulis telah menikah dengan Sitti Radhiah SKM tahun 2002 dan telah dikaruniai dua anak yaitu Tsabita Mardatillah dan Fatih Abdurrahman.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Permasalahan ... Kerangka Fikir ... Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Domba ...………. Domba Ekor Gemuk ……….. Dinamika Populasi ... Sifat Reproduksi Ternak Domba ... . Sifat Kuantitatif ... .. Analisis Komponen Utama (AKU) ... Penentuan Umur Domba ... Peningkatan Mutu Genetik Domba Ekor Gemuk ... Sifat Kualitatif ……….. Jarak Genetik ... MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian ... Peubah yang Diamati ... Analisis Data ... HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... Keadaan Umum Peternak ... Populasi dan Kepemilikan Domba... Sifat Kuantitatif ... Bobot Badan ... Tubuh Bagian Kepala ... Tubuh Bagian Depan ... Tubuh Bagian Tengah ... Tubuh Bagian Belakang ... Perbandingan Ukuran dan Bentuk Domba di Lokasi Penelitian ... Sifat Kualitatif ... Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram... Program Pemuliaan Secara Umum ... SIMPULAN ... DAFTAR PUSTAKA ...

i iv vi 1 3 3 4 5 5 7 9 11 15 15 16 16 19 21 22 26 29 33 36 40 40 48 54 58 63 72 90 97 99 101 102


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di

Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep ... 11

2. Standar mutu bibit domba lokal, garut dan ekor gemuk ... 14

3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap ... 15

4. Gambaran umum keadaan lokasi penelitian ... 30

5. Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian ... 31

6. Tingkat pendidikan menurut kelurahan/desa ... 33

7. Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian ... 36

8. Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 ... 37

9. Beberapa sifat reproduksi domba Donggala ... 38

10. Rataan bobot badan domba jantan umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ... 40

11. Rataan bobot badan domba betina umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ... 40

12. Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitan ... 42

13. Rataan dan simpangan baku bobot badan (kg) domba dari umur 6-36 bulan di lokasi penelitian . ... 46

14. Rataan ukuran tengkorak domba Donggala di lokasi penelitian ... 49

15. Rataan ukuran tanduk domba Donggala di lokasi penelitian ... 51

16. Rataan ukuran telinga domba Donggala di lokasi penelitian ... 53

17. Rataan ukuran leher domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian ... 55

18. Rataan ukuran tubuh bagian depan domba Donggala ... 56

19. Rataan ukuran bagian tengah domba Donggala ... 59

20. Rataan ukuran dada jantan dan betina domba Donggala dari umur 12-36 bulan di lokasi penelitian ... 61

21. Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian... 64

22. Rataan ukuran kaki belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian ... 66

23. Rataan ukuran ekor domba Donggala di lokasi penelitian ... 68


(12)

25. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina umur 18 bulan di lokasi penelitian ... 72 26. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina di lokasi penelitian umur 24 bulan ... 78 27. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina di lokasi penelitian Umur 36 Bulan ... 83 28. Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba jantan di tiga

lokasi penelitian ... 88 29 Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba betina di tiga

lokasi penelitian ... 89 30. Sifat-sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian ... 91 31. Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka fikir penelitian ... 2. Peta lokasi penelitian ... 3. Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba ... 4. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna ... 5. Kandang domba Donggala di lokasi penelitian ... 6. Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0 - 8 minggu di tiga lokasi penelitian ... 7. Pertumbuhan domba Donggala jantan dan betina dari

umur 0-36 bulan di lokasi penelitian ... 8. Grafik pertumbuhan domba jantan dan betina masing-masing

lokasi sejak lahir sampai umur 36 bulan ... 9. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 18 bulan ... 10. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan ... 11. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 24 bulan ... 12. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan ... 13. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan ... 14. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 36 bulan ... 15. Variasi warna kepala domba Donggala ... 16. Variasi warna bulu domba Donggala ... 17. Variasi pola warna bulu domba Donggala ... 18. Variasi bentuk bulu/wol domba Donggala ... 19. Variasi bentuk ekor domba Donggala ... 20. Pohon fenogram subpopulasi domba Donggala ...

3 21 28 32 35

41

45

47

74 77 80 82

85 87 90 92

94 95 96 98


(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Domba merupakan salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi. Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil sebagai sumber protein hewani di pedesaan. Domba yang berkembang di Indonesia adalah domba Priangan, domba ekor gemuk dan domba-domba lokal. Domba Priangan banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk berkembang di daerah Jawa Timur, Madura, Nusatenggara dan Sulawesi.

Salah satu domba–domba lokal yang berada di kawasan timur Indonesia dikenal dengan nama domba Donggala atau domba lokal Palu yang berada di lembah Palu dan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) yang kemudian disilangkan dengan domba pejantan Merbas (Doho dan Tantu 1997), sehingga kini cenderung terdapat dua jenis domba di Palu yaitu domba ekor gemuk dan domba hasil silangan. Domba lokal ini telah berkembang puluhan generasi, sehingga membentuk karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak tersebut.

Ternak ini memiliki daya adaptasi yang tinggi, dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi padang penggembalaan lembah Palu yang kering dan panas dengan kualitas dan kuantitas pakan yang rendah. Sulawesi Tengah memiliki temperatur rata-rata 34,5oC, namun ketika diukur 30 cm di atas permukaan tanah untuk areal penggembalaan temperatur lingkungan mencapai 41-45oC (Husain 2002) dengan jumlah bulan hujan hanya 3-4 bulan pertahun. Hasil evaluasi yang telah dilakukan, kapasitas tampung padang penggembalaan di lembah Palu 14,2 ha/unit ternak/tahun (Amar 1989). Rendahnya kualitas habitat tersebut sangat berpengaruh besar terhadap penampilan produksi dan reproduksi domba Donggala, namun domba Donggala mempunyai beberapa keunggulan antara lain dapat bertahan hidup dengan pakan berkualitas rendah, mampu bertahan hidup pada tekanan iklim setempat, daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan parasit. Keunggulan ini merupakan karakteristik yang khas untuk


(15)

digunakan sebagai sumber genetik dalam perbaikan domba Donggala melalui seleksi dan persilangan. Dengan demikian domba Donggala merupakan sumberdaya genetik (plasma nutfah) ternak yang dapat dikembangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu genetik bangsa domba secara nasional dengan tetap menjaga kemurnian dan kelestariannya. Apalagi domba Donggala termasuk ternak spesifik lokasi yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan masyarakat, sehingga sangat mendesak untuk ditangani secara serius.

Populasi domba Donggala masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor tahun 1987 kemudian menjadi 7.408 ekor tahun 2003 bahkan populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat penurunan populasi tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap mutu genetik domba Donggala. Hal ini kemungkinan disebabkan penjualan/pemotongan atau kematian domba yang tidak terkontrol, artinya ternak-ternak besar yang memiliki harga tinggi dijual atau dipotong. Sebagai akibatnya ternak yang tertinggal di kandang mutu genetiknya dapat menjadi lebih rendah, dan jika hal ini terus berlangsung, maka akan terjadi pengurasan sumber daya genetik, sehingga yang tersisa adalah domba yang memiliki produktivitas rendah. Apalagi Domba Donggala sudah tercemar dengan darah domba Merbas (Duma dan Rusdi 2001). Sehingga sangat ironis jika kualitas ternak seperti ini yang akan menjadi bibit generasi domba masa mendatang.

Rataan bobot badan domba jantan Donggala umur 1 tahun 16 kg (Abdullah 2001), domba betina umur 1-1,5 tahun ±20 kg (Munier et al. 2002) Munir et al. (2004) menyatakan bahwa rataan bobot badan domba di Sulawesi Tengah umur 1-1,5 tahun masih rendah hanya mencapai 18-20 kg/ekor untuk betina dan 18-22 kg/ekor untuk jantan dengan sistem penggembalaan di padang rumput alam. Salah satu upaya peningkatan populasi dan produktivitas domba Donggala dengan menekan terjadinya seleksi negatif dan seleksi diarahkan untuk pengembangan domba Donggala yang berkelanjutan terutama untuk mempertahankan mutu genetiknya, agar tersedia bibit unggul yang telah sesuai dengan kondisi iklim setempat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang


(16)

Dukungan Kebijakan PEMDA SULTENG berkaitan dengan status populasi, sifat reproduksi dan inventarisasi sifat kuantitatif, sifat kualitatif dan jarak genetiknya.

Permasalahan

1. Domba Donggala mengalami penurunan populasi dan dikhawatirkan terjadi penurunan mutu genetiknya.

2. Karakterisasi fenotipik domba Donggala belum memadai, padahal informasi ini penting dalam penyusunan kebijakan pemuliaan untuk perbaikan mutu genetiknya dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan regional, khususnya protein hewani.

Kerangka Fikir

Pengembangan Domba Donggala sbg Penghasil Daging

™ Peningkatan jumlah populasi,

™ Seleksi & pemurnian, persilangan

™ Konservasi dan pelestarian Keunggulan :

¾ Daya adaptasi tinggi

¾ Dpt bertahan hidup dgn pakan kualitas rendah dan tekanan iklim setempat (suhu34,5 oC)

Masalah :

¾ Terjadi penurunan populasi

¾ Karakteristik fenotipik & status populasi belum diketahui

PENELITIAN

Keragaman sifat reproduksi

sifat kuantitatif & kualitatif, Dinamika populasi

REKOMENDASI

¾ Kriteria seleksi


(17)

Gambar 1 Kerangka fikir penelitian. TUJUAN

Melakukan identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk kriteria seleksi.

MANFAAT

Hasil penelitian dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dalam upaya pengembangan domba Donggala di Sulawesi Tengah.


(18)

PUSTAKA Klasifikasi Domba

Domba termasuk dalam filum Chordata, klas mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, Sub-famili Caprinae, genus Ovis dan dalam spesies Ovis aries (Banerjee 1982). Domba-domba domestik umumnya memiliki komposisi genetik dari berbagai jenis domba lainnya seperti domba argali, Ovis ammon, yang hidup di Asia tengah, domba Urial, Ovis vignei, juga hidup di Asia dan domba Moufflon, Ovis musimon, yang hidup di Asia Kecil dan Eropa.

Pada umumnya domba di Indonesia berekor tipis (thin-thailed) seperti domba Garut, tetapi ada pula yang berekor gemuk (fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy 1992). Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba lokal, domba kampung atau domba kacang yang disebut demikian, karena bertubuh kecil. Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy 1992).

Domba Ekor Gemuk

Diperkirakan domba ekor gemuk yang hidup di Indonesia berasal dari Asia Barat Daya atau Afrika Timur lewat jalur pedagang-pedagang Arab (Devendra dan McLeroy 1982). Pada awalnya pulau Madura memiliki populasi domba ekor gemuk terbanyak, kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur. Akhirnya domba ekor gemuk (DEG) menjadi domba khas daerah Jawa Timur (Edey 1983). Di Sulawesi ada domba peranakan disebut domba Donggala mempunyai ekor tidak terlalu gemuk, dan termasuk tipe ekor gemuk sedang (Devendra dan McLeroy 1992).

Ciri-ciri khusus domba ekor gemuk adalah berbulu kasar, tidak bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Mason 1980). Panjang ekor normal 15-18 cm, berbentuk hurup S atau sigmoid dan menyimpan lemak dalam jumlah besar (Devendra dan McLeroy 1982). Domba ekor gemuk jantan kadang-kadang


(19)

bertanduk tetapi ukuran tanduknya kecil (Edey 1983). Biasanya terdapat sedikit wol di bagian belakang dan sisi tengah badan, dan ukuran tubuhnya relatif besar (Smith 1979). Bobot badan domba ekor gemuk jantan unggul dapat mencapai 43 kg, betina unggul mencapai 40 kg, dan rataan bobot potong mencapai 24 kg (Devendra dan McLeroy 1982).

Menurut Kasim (1996) bahwa pertambahan bobot badan anak prasapih domba Donggala sebesar 38,57 g/ekor/hari lebih rendah dibandingkan domba daerah tropik 45-64 g/ekor/hari. Selanjutnya menurut (Amar et al. 2005) bahwa rataan pertambahan bobot badan pascasapih tanpa pakan tambahan adalah 65,07 g/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badan domba Donggala yang diberi pakan tambahan adalah 82,84 g/ekor/hari. Hal ini berarti pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan domba Donggala.

Domba Donggala dengan bobot potong 20 kg mempunyai bobot karkas 8 kg atau 40% pada domba ekor gemuk dan pada domba persilangan, bobot karkasnya lebih tinggi yakni 9 kg atau 45% dari bobot potong. Hal tersebut menurut (Kasim 1996) bahwa introduksi pejantan Merbas kedalam populasi ternak domba lokal (DEG) mempunyai efek positif terhadap peningkatan produktivitas karkas meskipun tidak berbeda nyata karena kondisi pemeliharaan yang masih tradisional. Hal ini berarti ada potensi untuk meningkatkan bobot potong dan bobot karkas jika ada pemberian pakan yang berkualitas. Menurut Herman (2005) domba ekor gemuk dengan bobot potong 25,0 kg mempunyai bobot karkas 13,04 kg atau 52,16%. Dengan demikian bobot karkas domba Donggala masih lebih rendah dibanding bobot karkas domba ekor gemuk di Jawa.

Banyak domba ekor gemuk betina bunting dan mempunyai anak di bawah umur satu tahun, berarti domba ini masak dini (Fakultas Peternakan IPB 1985), sangat prolifik dengan (lambing) interval beranak hanya 8-9 bulan, lamb crop 23,4%, dan pertama kali beranak pada umur 11-17 bulan (Devendra dan McLeroy 1982). Nurjadi (1982) dalan rangkaian penelitiannya melaporkan bahwa hasil pengamatan dari 263 ekor domba ekor betina yang memperlihatkan ovulasi tunggal, dua, tiga dan empat masing-masing sebesar 12,55; 50,95; 25,86 dan 8,75%. Dilaporkan pula bahwa domba betina yang mempunyai dua embrio


(20)

dalam uterusnya sebesar 59%. Beberapa induk domba ekor gemuk dapat melahirkan anak kembar tiga dan kadang-kadang empat (Junus 1984).

Seleksi umumnya dilakukan pada sifat kualitatif dan kuantitatif. Seleksi yang dilakukan oleh masyarakat umumnya berdasarkan sifat kualitatif ternak. Sifat kualitatif ternak yang banyak diperhatikan oleh petani peternak adalah bangsa, warna bulu dan bentuk tanduk. Diantara kriteria yang digunakan tersebut lebih banyak mengarah pada penampilan ternak, dari pada produktivitasnya. Ciri-ciri fisik yang terdapat pada domba, diyakini dapat menentukan status sosial dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari unsur seni, budaya (Sutisna 2001).

Mempelajari komponen-komponen keragaman pada ternak sangat penting artinya, karena akan membantu dalam perencanaan pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik (Liu dan Makarechian 1990). Selanjutnya Lasley (1978) menjelaskan bahwa keragaman fenotipik total merupakan sumbangan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Keragaman fenotipik sifat-sifat yang dimiliki setiap individu dapat digunakan untuk membantu dalam mempelajari keragaman genetik suatu populasi ternak terutama bila dilakukan terhadap sifat-sifat yang sudah diketahui mempunyai nilai repitabilitas yang tinggi.

Keragaman fenotipik total dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik digunakan istilah heritabilitas (Warwick et al.1995). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan dugaan bagian aditif dari ragam keturunan yang sangat penting, karena dapat menunjukkan perubahan yang dicapai seleksi untuk suatu sifat dalam populasi (Johanson dan Randel 1966).

Heritabilitas dapat digunakan untuk menunjukkan keunggulan atau kelemahan individu yang diperkirakan akan diwariskan kepada keturunannya (Lasley 1978). Namun yang perlu diperhatikan dalam menghitung nilai heritabilitas adalah jumlah data harus cukup banyak, karena tidak jarang diperoleh angka heritabilitas yang berada di luar kisarannya, yaitu negatif atau lebih dari satu ( Hardjosubroto 1994).


(21)

Dinamika Populasi

Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor (Disnak Sulteng 1987), namun populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Populasi adalah suatu kelompok mahluk yang sama spesiesnya dan mendiami suatu ruang tertentu pada waktu tertentu (Tarumingkeng 1994). Populasi ternak selalu mengalami perubahan atau dinamika, dan dinamika ini dipengaruhi oleh adanya kelahiran, kematian, pemotongan ekspor/impor dan populasi awal (Soehadji 1991). Pengembangan domba sebagaimana ternak lainnya diperlukan ketersediaan data populasi dan dinamika populasi yang akurat dan handal. Disamping itu pengembangan domba pada suatu wilayah dan periode tertentu, akan sangat dipengaruhi oleh besarnya populasi, daya dukung wilayah dan jumlah peternak domba (Sumadi 2001).

Suatu cara untuk mempertahankan mutu genetik domba Donggala sebagai sumber bibit adalah dengan menghitung secara tepat jumlah yang dapat dikeluarkan seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang dipertahankan sebagai ternak pengganti (Sumadi 2001). Natural increase dihitung berdasarkan selisih tingkat kelahiran dengan tingkat kematian dalam kurun waktu satu tahun. (Hardjosubroto 1994). Banyaknya domba yang dapat dikeluarkan untuk dikirim ke daerah lain atau dipotong dari suatu daerah tertentu tanpa menggangu keseimbangan populasi ternak tersebut adalah merupakan out put domba di suatu daerah. Disamping itu pola pengembangbiakan ternak akan mempengaruhi komposisi dari ternak yang dipotong dari suatu wilayah, karena ternak yang disingkirkan dari pembiakan merupakan salah satu bagian dari jumlah ternak yang dapat dikeluarkan atau dipotong, sedangkan bagian lainnya adalah ternak muda yang jumlahnya sama dengan sisa natural increase (pertambahan alami) yang telah dikurangi dengan jumlah ternak yang dibutuhkan untuk mengganti ternak yang telah disingkirkan tadi (Hardjosubroto 1994). Berdasarkan pertimbangan kebutuhan ternak pengganti yang akan digunakan untuk perkembangan maka diharapkan populasinya tidak akan terkuras akibat pengeluaran atau pemotongan yang berlebihan (Sumadi 2001).


(22)

Produktivitas Ternak Domba

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh oleh seekor ternak pada kurun waktu tertentu dan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Hardjosubroto 1994), sehingga produktivitas ternak merupakan gabungan sifat-sifat produksi dan reproduksi (Lasley 1978). Produktivitas pada ternak dapat dilihat dari Service per Conception (S/C), jumlah anak sekelahiran (litter size), panen anak selama satu tahun (kid crop), interval kelahiran dan mortalitas (Hardjosubroto 1994).

Atkins (1980), menyatakan bahwa produktivitas induk domba berdasarkan bobot lahir, bobot sapih, bobot potong setelah dipuasakan 24 jam bobot karkas dan bagian-bagiannya. Edey et al. (1981), menyatakan bahwa bobot lahir anak domba ekor gemuk rataannya adalah 2,16 kg ±0,36 kg bagi yang lahir tunggal dan 1,48 ± 0,23 kg bagi yang lahir kembar dua; rataan pertambahan bobot hidup harian sebelum disapih pada jantan adalah 66,07 g dan betina 61,25 g bagi yang dilahirkan tunggal dan jantan 42,52 g, betina 53,70 g bagi anak lahir kembar.

Sifat Reproduksi Ternak Domba

Kegiatan reproduksi domba di negara beriklim panas tidak dipengaruhi oleh musim dan reproduksinya berlangsung sepanjang tahun. Penampilan reproduksi dapat diperkirakan sebagai petunjuk dari kemampuan produktivitas dari ternak domba, yang terutama dititik beratkan pada anak domba dan perlu diusahakan perbaikan faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi tersebut (Hafez 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi induk diantaranya sistem perkawinan, umur beranak pertama, jumlah anak yang dilahirkan (litter size), selang beranak dan laju mortalitas (Subandriyo et al. 1994).

Rataan Jumlah Anak Perkelahiran

Menurut Subandriyo et al. (1994) bahwa jumlah yang dilahirkan perkelahiran dipengaruhi faktor induk yang ditentukan oleh laju ovulasi, laju pembuahan dan kemampuan hidup prenatal serta nutrisi induk selama bunting. Hasil penelitian Sutama et al. (1991) menunjukkan bahwa rataan jumlah anak perkelahiran domba ekor gemuk sebesar 1,57 ekor. Subandriyo et al. (1994)


(23)

menyatakan bahwa jumlah anak perkelahiran domba ekor gemuk lebih rendah dari domba ekor tipis.

Selang Beranak

Selang beranak berhubungan dengan lama waktu dikawinkan seperti beranak, terjadinya pembuahan, laju mortalitas anak dan kualitas nutrisi yang dikonsumsi (Subandrio 1994). Rataan jarak beranak pada induk domba yang digembalakan lebih pendek dibandingkan dengan domba yang dikandangkan (249 hari dan 266 hari). Hal tersebut disebabkan kesempatan untuk kawin pada domba yang digembalakan lebih besar dibanding domba yang dikandangkan, karena perkawinan domba di pedesaan dilakukan secara alami tanpa bantuan petani peternak (Priyanto et al. 1992).

Mortalitas

Eleiser et al. (1994) menyatakan bahwa mortalitas anak disebabkan oleh persaingan untuk mendapatkan colustrum dan air susu induk, persaingan selama dalam kandungan dan sifat keindukan dalam menghadapi masing-masing anak dibandingkan kembar dua atau tunggal. Laju mortalitas ini menurut Subandrio et al. (1994) dapat ditekan dengan sedikit perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan. Menurut Eleiser et al. (1994) bahwa adanya hubungan antara mortalitas anak dengan tipe kelahiran, dan umumnya anak kembar mortalitasnya lebih besar dibandingkan dengan anak tunggal, karena vigoritas anak tunggal lebih tinggi dari pada dengan anak kembar, dimana zat makanan yang tersedia dalam uterus hanya dikonsumsi untuk satu ekor calon anak.

Sifat Reproduksi Jantan

Testis merupakan alat reproduksi jantan yang utama dan besar pengaruhnya terhadap produksi ternak, salah satu kriteria produksi ternak ditentukan oleh keberhasilan pejantan dalam membuahi induk untuk memperoleh keturunan. Performa reproduksi merupakan salah satu faktor yang menentukan


(24)

produktivitas, aplikasinya pada ternak untuk memperoleh daging, susu, kulit, wol atau rambut. Kegagalan reproduksi baik pada jantan ataupun betina, berarti pula kegagalan terhadap harapan produksi. Alat reproduksi yang berfungsi baik, merupakan hal utama dalam menentukan keberhasilan ternak. Aktivitas reproduksi ternak jantan dapat diukur melalui libido dan besarnya testes yang secara tidak lansung diukur berdasarkan skrotum, karena lingkaran skrotum mempunyai hubungan dekat dengan berat testes. Dengan mengetahui besarnya skrotum dapat diharapkan memiliki kuantitas dan kualitas sperma yang baik (Ismaya 1992).

Sifat Kuantitatif Bobot Badan dan Ukuran Tubuh

Rataan bobot badan domba ekor gemuk menurut Doho (1994) telah berada di atas rataan bobot potong (24 kg), namun masih jauh bila dibandingkan dengan bobot badan jantan unggul (43 kg) dan betina unggul (40 kg) yang dinyatakan Devendra dan McLeroy (1982). Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep

No. Ukuran-ukuran tubuh Lokasi

Bondowoso Sumenep 1. Bobot badan (kg) 27,63 26,75 2. Panjang badan (cm) 58,12 56,04 3. Tinggi pundak (cm) 59,16 59,58 4. Lingkar dada (cm) 68,92 66,94 5. Panjang ekor (cm) 26,66 26,28 6. Lebar ekor (cm) 10,12 10,28

Sumber : Doho (1994)

Mulliadi (1996) menyimpulkan bahwa pada domba Priangan, ukuran tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada merupakan ukuran utama yang dapat dijadikan patokan dalam seleksi domba. Menurut Fourie et al. (2002), bobot badan dan panjang badan merupakan faktor penting yang


(25)

mempengaruhi tinggi pundak. Tinggi pundak dianggap sebagai indikator yang baik untuk ukuran kerangka. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Diwyanto et al. (1984), bahwa peranan tinggi pundak dalam persamaan untuk menduga bobot badan tubuh domba jantan memberi petunjuk bahwa domba tersebut cenderung kearah tipe adu.

Menurut Fourie et al. (2002) yang mengamati domba Dorper, bobot badan dan panjang badan merupakan bagian yang paling penting. Dalam dada, tinggi pundak, lebar pundak dan umur mempunyai pengaruh pada bobot badan. Bobot badan, dalam dada dan lebar pundak memberikan konstribusi yang tinggi terhadap performa ternak. Menurut Diwyanto et al. (1984), lingkar kanon dan lebar panggul dapat digunakan untuk menduga bobot badan betina sesuai dengan penelitian sebelumnya. Secara umum menurut Fourie et al. (2002), lingkar dada, panjang badan, lebar dada, dalam dada dan lingkar tulang kanon berkorelasi posistif dengan pertumbuhan domba pada kondisi ekstensif. Ukuran tubuh dan penilaian visual selalu digabungkan dengan hasil uji performa dan nilai pemuliaan.

Keragaman fenotipik sifat kuantitatif yang dimiliki setiap individu ditentukan oleh banyak pasang gen dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keragaman fenotipik setiap individu ternak dapat berupa lingkungan internal (seks, umur, pengaruh maternal, kebuntingan), dan dapat pula berupa lingkungan eksternal (lokasi, musim, klimat, penyakit dan pakan) (Turner dan Young 1969). Selain itu ikut pula berperan faktor motivasi pemeliharaan ternak domba yang ternyata sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan seleksi dilapangan, baik dalam memilih domba jantan maupun betina (Diwyanto 1982).

Lasley (1978) menyatakan bahwa salah satu sifat kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi pada ternak domba adalah sifat bobot badan. Bobot badan pada semua struktur umur mempunyai nilai heritabilitas yang sedang sampai tinggi, sehingga seleksi berdasarkan sifat ini akan lebih efektif dan diinginkan. Nilai heritabilitas bobot badan domba dewasa mencapai 0,40- 0,45.


(26)

Ukuran-ukuran Tubuh

Pengukuran ukuran tubuh yang dilakukan pada kerbau oleh Amano et al. (1981), terdiri dari sepuluh macam pengukuran ukuran tubuh yaitu tinggi pundak, tinggi kelangkang (pinggul), panjang badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, lebar pangkal paha, panjang kelangkang, lingkar dada, lingkar pipa (kanon). Sedangkan pada domba selain beberapa ukuran tubuh tersebut, dilakukan pula terhadap ukuran panjang tanduk, lebar muka, lebar ekor, panjang ekor dan berat badan (Diwyanto 1982). Pada banteng selain ukuran tersebut dilakukan pula pengukuran terhadap bagian kepala (panjang, lebar, dan tinggi), bagian telinga (panjang dan lebar) serta bagian ekor yaitu panjang dan lebarnya (Mansjoer 1993).

Menurut Diwyanto (1982), penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda, karena pengaruh genetik maupun lingkungan. Ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sebagai sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi (Mulliadi 1996). Penggunaan ukuran tubuh yang meliputi tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar dada, lebar panggul dan lingkar kanon pada domba Priangan Diwyanto (1982).

Menurut Fourie et al. (2002), bentuk dan ukuran tubuh domba dapat dideskripsikan dengan menggunakan ukuran dan penilaian visual. Ukuran sering digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan, tetapi tidak dapat digunakan untuk mengindikasikan komposisi tubuh ternak. Menurut Diwyanto et al. (1984), semakin besar dan semakin panjang badan tubuh domba akan menyebabkan bobot meningkat. Domba dengan ukuran tulang besar berbobot berat. Ukuran tubuh yang mempunyai hubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan.


(27)

Menurut Jaya (1981) yang melakukan penelitian pada domba Garut melaporkan bahwa ukuran lingkar dada erat kaitannya dengan bobot badan dan lingkar dada adalah besar dan bernilai positif. Menurut Fourie et al. (2002), lingkar dada dan panjang badan mempunyai pengaruh besar pada bobot badan. Lingkar dada meningkat seiring dengan umur ternak. Korelasi positif antara lingkar dada dan tingkat pertumbuhan lepas sapih menandakan bahwa seleksi pada lingkar dada menjadi petunjuk kecepatan pertumbuhan ternak yang berakibat pula pada peningkatan tinggi pundak dan ukuran kerangka. Namun perlu diperhatikan bahwa daya adaptasi ternak dapat berkurang, karena adanya korelasi negatif antara ukuran kerangka dan daya adaptasi lingkungan. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk

Standar Khusus

Sifat Kuantitas Domba Lokal Domba Garut

Domba Ekor Gemuk Tinggi pundak (cm)

Jantan 45-55 75-80 60-65

Betina 40-50 62-65 52-60

Umur bibit (bulan)

Jantan 12−18 12−18 12−18

Betina 8−18 8−12 8−12

Bobot badan dewasa (kg)

Jantan 15−25 50-70 40-60

Betina 10−20 30-40 25-35

Standar Khusus Sifat Kualitas

Warna bulu bermacam- putih, hitam, putih dan kasar

macam putih dan hitam

Tanduk :

Jantan bertanduk kecil,

tanduk

melingkar tidak bertanduk

tidak melingkar dan besar;

pangkal tanduk kanan & kiri hampir bersatu

Betina tidak bertanduk tidak bertanduk tidak bertanduk

Bentuk badan kecil tubuh lebar, badan besar;

besar dan kekar; ekor besar, kaki kokoh;

telinga sedang; lebar dan bulu halus panjang


(28)

& panjang Sumber : Pangestu & Mansjoer (1996)

Analisis Komponen Utama (AKU)

Menurut Everitt dan Dunn (1998), metode multivariate yang paling tua dan paling banyak digunakan adalah Principle Componen Analysis (PCA). PCA yang diterjemahkan sebagai Analisis Komponen Utama (AKU) (Gaspersz, 1992) pada dasarnya bertujuan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linier dari peubah-peubah yang diamati. Menurut Everitt dan Dunn (1998), dasar metode ini untuk menggambarkan variasi dari rangkaian data multivariate yang berkenan dengan rangkaian peubah yang masing-masing tidak berhubungan dengan kombinasi linier khusus dari peubah yang asli.

Menurut Otsuka et al. (1982), AKU sudah sering digunakan untuk membedakan fenotipe antara populasi. Menurut Nishida et al. (1982), Everitt dan Dun (1998), AKU digunakan untuk membedakan ukuran-ukuran tubuh. Pada aplikasi morfometrik, komponen utama pertama dapat diterima sebagai vektor ukuran dan komponen utama kedua sebagai vektor bentuk. Hal tersebut menunjukkan tingkat variasi yang berbeda pada kondisi tubuh dari kelompok hewan.

Penentuan Umur Domba

Menurut Sumoprastowo, (1993) anak domba yang baru lahir telah mempunyai dua buah gigi seri sulung. Menginjak pada umur sekitar satu bulan semua gigi seri sulung telah lengkap. Penentuan umur domba berdasarkan pergantian gigi seri dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap

Umur (tahun) Gigi Seri Tetap Kode < 1,0 Belum ada gigi tetap (gigi susu) Io 1,0–1,5 Sepasang gigi tetap I1

1,5-2,0 Dua pasang gigi tetap I2

2,5-3,0 Tiga pasang gigi tetap I3

3,5-4,0 Empat pasang gigi tetap I4

> 4,0 Gigi tetap aus mulai lepas >I4


(29)

Peningkatan Mutu Genetik Domba Ekor Gemuk

Perbaikan mutu genetik ternak domba melalui pemuliaan yang lebih terarah dapat dilakukan dengan cara 1) seleksi antara dan dalam genotip lokal; 2) memasukkan domba-domba eksotik; dan 3) pemanfaatan heterosis (Sakul et al. 1994). Seleksi dapat dilakukan atas dasar satu sifat atau kombinasi dari beberapa sifat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Haley et al. 1987). Seleksi adalah suatu proses pemilihan individu yang lebih disukai di antara individu-individu lainnya dalam suatu kelompok untuk membentuk generasi yang akan datang (Lasley 1978). Pirchner (1969) menyatakan bahwa seleksi merupakan suatu cara memilih tetua untuk mendapat keturunan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Seleksi harus ditujukan untuk menentukan hewan-hewan yang kemungkinan paling besar mempunyai genotipe yang baik (Warwick et al. 1995).

Metode seleksi yang paling sederhana adalah pemilihan individu yang didasari pada fenotipe individu itu sendiri (Lasley 1978). Seleksi dapat pula dilakukan berdasarkan catatan produksi silsilah, catatan kerabat segenerasi (kolateral), catatan keturunan) progeni test maupun atas dasar kombinasi berbagai catatan (Warwick et al. 1995). Peningkatan mutu genetik domba ekor gemuk melalui seleksi masih kurang dilakukan, padahal ini penting untuk meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu Subandriyo (1993) menganjurkan agar seleksi domba ekor gemuk sebaiknya diarahkan untuk peningkatan pertumbuhan dan bobot dewasa tubuh dan jarak beranak yang pendek.

Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif adalah suatu sifat mewaris yang diperoleh pada ternak, sifat ini menurut Warwick et al. (1995) dapat diklasifikasikan ke dalam sifat luar (seperti warna bulu), cacat genetik dan polimorfisme genetik. Ribuan sifat kualitatif pada hewan-hewan pertanian, banyak di antaranya yang ternyata diatur oleh satu atau beberapa pasang gen (rangkaian alel). Pada sifat kualitatif dapat dibedakan peran gen yang dominan dan resesif atau sifat interaksi lainnya seperti


(30)

epistasis dan hipostasis. Sifat-sifat ini dalam populasi secara statistik tidak berdistribusi normal, dan dapat dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda demikian pula sifat ini tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Warna

Peranan warna bulu dan warna kulit sangat penting artinya dalam kehidupan seekor ternak, karena berhubungan dengan daya tahan ternak bersangkutan dalam menghadapi cekaman radiasi matahari. Sifat kualitatif warna bulu, poliformisme protein darah dan golongan darah dapat digunakan untuk mengetahui latar belakang filogenetik ternak (Amano et al. 1981).

Sifat lain domba ekor gemuk tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung atau bagian lainnya hampir sama dengan domba lokal dengan kualitas wol dan kulit relatif baik ( Mason 1980). Disamping bentuk tubuh yang ramping, pola warna sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti 1992). Kualitas wol sangat rendah dan termasuk wol kasar (Mason 1980) yang biasanya wol ini dibuang tidak dimanfaatkan (Devendra dan McLeroy 1992).

Sifat kualitatif warna atau pigmentasi yang terjadi pada domba Merino (Turner dan Young 1969), berkisar dari warna terang, abu-abu kemudian bervariasi membayangi warna coklat dan hitam. Pemunculan warna ini tersebar dan aksi pigmentasinya ditentukan oleh satu gen resesif. Pada pewarisan ini dapat pula muncul bercak-bercak hitam selain putih, tetapi pemunculan sifat fenotipe yang berbeda masih belum jelas.

Kammlade (1955) melaporkan bahwa sifat warna bulu putih pada sebagian besar domba bersifat dominan terhadap hitam, akan tetapi perkawinan domba putih dengan domba hitam, ternyata pada keturunannya tidak semuanya murni putih, walaupun mungkin muncul putih. Searle (1967) warna putih merupakan warna umum, ditemukan pada bangsa domba yang didomestikasi dan telah dijadikan standar penilaian genetik. Warna putih domba disebabkan pengaruh dua jenis gen, yaitu gen bintik putih (White-spotting genes ) dan gen warna (White-W) tanpa efek pleiotropik. Bintik putih pada kepala serta ekor domba Karakul dan


(31)

bangsa domba lainnya yang berwarna atau coklat, mungkin disebabkan oleh aksi gen white-spotting yang bersifat dominan tidak lengkap.

Telinga

Bentuk telinga merupakan sifat kualitatif bentuknya mulai dari kecil, sedang dan lebar. Siregar (1981) menyatakan bahwa keadaan tipe telinga yang kecil dipengaruhi oleh sepasang gen resesif dalam keadaan homozigot, telinga sedang (medium) diakibatkan keadaan gen yang heterozigot dan dalam keadaan homozigot dominan akan menampakkan bantuk telinga yang panjang. keadaan ini berbeda dengan sifat yang tidak bertelinga. Diwyanto (1982) melaporkan bahwa telinga pendek dipengaruhi oleh sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), sedangkan telinga sedang atau medium dalam keadaan heterozigot (Tt), dan untuk telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT).

Tanduk

Menurut Diggins dan Bundy (1958) bila domba jantan murni tidak bertanduk dikawinkan dengan betina bertanduk, diperoleh keturunannya tidak bertanduk. Sifat tidak bertanduk diduga dominan dan yang lainnya resesif, tetapi pada generasi berikutnya tampak yang diperlihatkan resesif tetapi muncul tanduk. Sifat tidak bertanduk ini menurut beberapa peneliti (Johansson dan Rendel 1966; Turner dan Young 1969 dan Warwick et al. 1995) diketahui sebagai gen dominan, dan sifat bertanduk adalah resesif.

Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa sifat pertandukan domba Merino jantan dan betina dipengaruhi oleh gabungan dari tiga alel p, P dan P’, yang mempunyai enam kombinasi genotipe yaitu pp, pP, pP’, PP, PP’, dan P’P’. Genotipe PP pada jantan pertumbuhan tanduk mengalami hambatan, sedangkan pada betina pertumbuhan mengalami hambatan kadang-kadang dengan tonjolan tulang kecil. Genotipe pP’ dan pP akan mengakibatkan pertumbuhan tanduk mengalami hambatan pada jantan dan betina, biasanya pada jantan ada lapisan tanduk kecil atau mempunyai lapisan yang cukup panjang atau tanduk yang tumbuh tidak normal. Pada betina kadang-kadang mempunyai tonjolan kecil, atau bila PP’ dengan lapisan tanduk rendah. Kombinasi genotipe P’ dan pp jantan menunjukan pertandukan yang besar dan melingkar, sedangkan untuk betina pp menunjukkan tonjolan tulang atau dengan lapisan tanduk kecil. Selain


(32)

dipengaruhi faktor genetik pertumbuhan tanduk, juga dipengaruhi oleh aktivitas hormon testosteron. Hal ini menurut Turner dan Young (1969) bahwa anak domba jantan yang dikastrasi tampak pertumbuhan tanduk terhenti. Dari percobaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tanduk dipengaruhi pula oleh jenis kelamin. Lasley (1978) mendapatkan bahwa ekspresi dari sifat pertandukan pada domba dipengaruhi oleh jenis kelamin, walaupun sebenarnya gen sifat pertandukan terletak pada autosom tetapi dalam kondisi tertentu yang seharusnya menimbulkan tanduk (pada jantan), tetapi pada betina hal tersebut tidak muncul tanduk.

Ekor

Merkens dan Soemirat (1979) menjelaskan bahwa pada domba Garut bagian belakang ekornya mempunyai 5-6 ruas tulang, sedangkan domba ekor gemuk ruas tulang ekornya mencapai 14 ruas atau lebih. Pembentukan lemak pada domba Garut terdapat di dasar ekor tampak ekor lebar dan keujung lebih kecil, pada domba ekor gemuk terjadi bukan pada bagian dasar ekor melainkan di kedua sisi pinggang ekor, gemuknya terdapat ditengah dan bagian bawah ekor. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan domba ekor gemuk memiliki ujung ekor berbentuk lancip dan sigmoid dengan rataan panjang ekor ±10 cm dan lebar ekor sekitar 4-8 cm. Dugaan adanya korelasi positif antara ukuran ekor (panjang dan lebar) dan bobot badan domba ekor gemuk, karena ekor domba ekor gemuk menyimpan lemak dalam jumlah besar yang berfungsi sebagai sumber energi yang membuat mereka dapat bertahan hidup pada saat kekurangan pakan yang berkepanjangan dan sebagai stabilisator saat temperatur sangat tinggi/ekstrim.

Jarak Genetik

Pengertian pertalian jarak genetik secara luas adalah ukuran persamaan atau perbedaan struktur ukuran tubuh baik antar maupun inter populasi suatu rumpun domba yang dianalisis untuk mendapatkan suatu angka pendugaan. Angka tersebut dibuat dalam matriks yang kemudian digunakan untuk mengestimasi jarak pertalian genetik seperti yang dijelaskan oleh Kumar et al. (1993). Hasil estimasi jarak pertalian genetik tersebut akan sangat membantu bagi program persilangan rumpun antar daerah, rumpun domba yang memiliki jarak


(33)

pertalian genetik yang relatif dekat akan kurang memberikan laju pertumbuhan anaknya dengan baik.

Sifat morfolgis ternak seperti ukuran tubuh dan pola warna dapat digunakan untuk menganalisis estimasi jarak pertalian genetik rumpun domba antar daerah seperti yang dilakukan oleh Herera et al. (1996) dan Suparyanto et al. (1999). Hartl (1988) menyatakan bahwa pola perbedaan sifat fenotipik yang ada dalam setiap individu ternak dapat digunakan untuk menentukan asal rumpun ternak.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kecamatan Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005 dan selanjutnya dilakukan pada bulan Februari - Mei serta Nov-Des 2006.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian.

Poboya Kawatuna


(34)

Materi dan Peralatan

Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kecamatan Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak 412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor berasal dari Biromaru.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan berdiri kapasitas 100 kg, mistar ukur, kaliper, pita ukur, borang dan alat-alat tulis.

Peubah yang Diamati Dinamika Populasi

1. Jumlah jantan dan betina dewasa

2. Jumlah domba pada berbagai strata umur (anak, muda, dewasa), 3. Ternak masuk,

4. Ternak keluar/ pemotongan 5. Mortalitas .

6. Jumlah pemilikan ternak domba/KK, 7. Jumlah peternak,

8. Pekerjaan peternak,

9. Pendidikan peternak dan pengalaman peternak Sifat Reproduksi

1. Jumlah anak sepelahiran (tunggal, kembar dua, kembar tiga,) 2. Jarak beranak antara dua partus

3. Jumlah anak sapihan (disusui – sapih - hidup) 4. Jumlah jantan dan betina dewasa perkelompok 5. Umur jantan afkir dan umur betina afkir.


(35)

Sifat Kuantitatif

Penentuan umur dilakukan terlebih sebelum pengamatan dengan melihat pergantian gigi seri dan berdasarkan informasi dari peternak. Peubah yang berkaitan dengan ukuran-ukuran tubuh yang diukur pada domba jantan dan betina dewasa (gigi genap/12-36 bulan).

Bobot Badan

Bobot badan (BB) pada domba dewasa, bobot lahir-12 minggu, sapih dan muda pada jantan dan betina(6 bulan), ditimbang pada pagi hari sebelum domba diberi makan/digembalakan dengan timbangan gantung kapasitas 50 kg (satuan dalam kg).

Tubuh Bagian Kepala

1. Panjang tengkorak (PTR) diukur jarak antara titik yang anterior kepala sampai titik posterior tengkorak, dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

2. Lebar Tengkorak (LTR), diukur jarak antara titik penonjolan tengkorak paling luar kiri dan kanan menggunakan kaliper (satuan dalam cm).

3. Tinggi tengkorak (TKR), diukur jarak antara titik dorsal tengkorak sampai titik lateral rahang terendah dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Panjang tanduk (PTD), diukur dari pangkal tanduk sampai ujung tanduk mengikuti alur putaran tanduk sebelah luar dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

5. Lingkar pangkal tanduk (LPT), diukur melingkar pada pangkal tanduk dengan pita ukur (satuan dalam cm).

6. Jarak antar tanduk (JAT), diukur dari jarak antar pangkal tanduk sebelah kiri dan kanan dengan pita ukur (satuan dalam cm).

7. Panjang telinga (PTl), diukur jarak antara pangkal daun telinga sampai titik ujung telinga dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

8. Lebar telinga (LTl), diukur jarak antara dua titik terluar tengah daun telinga secara tegak lurus terhadap panjang telinga dengan pita ukur (satuan dalam cm).


(36)

Tubuh Bagian Depan

1. Panjang leher (tulang leher) (PL), diukur dari pangkal leher sampai pangkal punggung dengan pita ukur (satuan dalam cm).

2. Lingkar leher (LkH), diukur melingkar leher bagian tengah dengan pita ukur (satuan dalam cm).

3. Tinggi pundak (TPd), jarak tertinggi pundak sampai tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

4. Panjang humerus (PH) diukur dari ujung head humerus sampai ujung bagian bawah humerus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 5. Panjang radius- ulna (PRU) diukur dari olecranon sampai stiloid process

of ulna dekat carpus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

6. Panjang metacarpus (PM) diukur dari carpus sampai prox sesamoids diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

7. Lingkar kanon (LkK)/ tulang pipa (metacarpus), diukur melingkar di tengah-tengah tulang pipa kaki depan sebelah kiri dengan pita ukur (satuan dalam cm).

Tubuh Bagian Tengah

1. Tinggi punggung (TPg), jarak bagian punggung paling atas sampai ke tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

2. Panjang badan (PB), jarak garis lurus dari tepi depan luar tulang Scapula sampai benjolan tulang tapis (tulang duduk/os ischium), diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

3. Lebar dada (LD), jarak antara bagian tengah tulang dada kiri dan kanan diukur dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Dalam dada (DD), jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada bawah, diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

5. Lingkar dada (LD), diukur melingkar rongga dada di belakang sendi tulang bahu (os scapula) menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

Tubuh Bagian Belakang

1. Tinggi pinggul (TPgl), jarak antara titik tertinggi pinggul sampai tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).


(37)

2. Panjang dalam pinggul (PDPgl), jarak antara bagian anterior tulang pinggul sampai ujung benjolan tulang tapis (os ischium), diukur dengan menggunakan mistar (dalam cm).

3. Lebar antara tulang tapis (LATT) jarak antara dua os ischium sisi tulang tapis kiri dan kanan, diukur dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Panjang tulang paha (PTP) femur, jarak antara dua ujung tulang paha diukur dengan mistar (satuan dalam cm).

5. Panjang tibia (PT) diukur dari bagian atas sampai ujung bawah tibia diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

6. Panjang metetarsus (PMt) diukur dari jarak antara dua ujung metatarsus dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

Bagian Ekor

1. Panjang ekor (PEk), diukur jarak dari pangkal ekor sampai ujung ekor dengan pita ukur (dalam satuan cm).

2. Lebar pangkal ekor (LPEk), diukur jarak lebar antara titik sisi kiri dan kanan pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm).

3. Lingkar pangkal ekor(LkPEk), diukur dengan melingkarkan pita ukur ke pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm).

Bagian Scrotum

1. Panjang scrotum (PjS), diukur tegak lurus sepanjang scrotum menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

2. Lebar scrotum (LS), diukur jarak antara sisi kiri dan kanan bagian tengah scrotum menggunakan kaliper (satuan dalam cm).

3. Lingkar scrotum (LkS), diukur melingkar bagian tengah scrotum menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

Sifat Kualitatif

1. Garis muka, dilihat dari samping dan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu lurus dan cembung.

2. Mata, diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu menonjol keluar (cembung) dan normal.


(38)

3. Posisi telinga, diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu mengantung, tegak samping dan tegak atas.

4. Bentuk telinga diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu rumpung (sempit) daun hiris (medium) dan rubak (lebar). Telinga rumpung yaitu bila daun telinga menguncup (seperti kuncup bunga ros) atau menggulung dan lubang telinga tidak tampak jelas, berukuran pendek, kecil bahkan tampak seolah olah tidak berdaun telinga. Telinga berdaun hiris (medium) seolah–olah hampir menggulung, tetapi lubang telinga masih tampak jelas dan daun telinga meruncing ke ujung. Telinga rubak (lebar) daun telinga lebar dan panjang, ujung telinga tidak runcing (bulat), lubang telinga tampak jelas. Secara kuantitatif menurut Mulliadi (1996), telinga rumpung (sempit) bila ukuran panjang krang dari 4 cm, daun telinga hiris (medium) panjang daun telinga antara 4-8 cm dan daun telinga rubak (lebar) bila panjang daun telinga lebih dari 8 cm.

5. Ada tidaknya tanduk, baik pada jantan atau betina diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu tidak bertanduk, benjolan dan bertanduk.

6. Garis punggung, dilihat dari samping pada posisi berdiri normal, diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu cembung, lurus dan cekung. 7. Bentuk ekor, diklasifikasikan dalam tiga kelompok berdasarkan

pengukuran lebar pangkal ekor, yaitu gemuk bila pangkal ekor lebar lebih dari 9 cm, ekor sedang antara 5-8 cm dan ekor tipis (sempit) lebar kurang dari 4 cm.

8. Bentuk wol/bulu, diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yatiu lurus, berombak dan keriting.

9. Sebaran pola warna wol/bulu pada bagian badan yang diamati mulai dari leher dan badan tanpa kaki dan ekor. Sebaran pola warna dibagi dalam empat kelompok utama, yaitu putih, hitam coklat dan abu-abu atau kombinasi dari keempat warna tadi sesuai dengan sebaran dominasinya. Pola warna dikelompokkan dalam warna polos, bintik-bintik, bercak (belang kecil), bercak (belang besar) , strip sempit dan strip besar.


(39)

ANALISIS DATA Sifat Kuantitatif

Data sifat kuantitatif berupa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dihitung nilai rata-rata (X), simpangan baku (SB) dan koefisien keragaman (KK). Untuk mengetahui pengaruh lokasi, umur dalam lokasi dan jenis kelamin dalam umur dalam lokasi terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dilakukan analisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan General Linier Model (GLM).

Untuk memberikan diskriminasi terhadap ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala, data ukuran-ukuran tubuh dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU). Pengolahan data hasil penelitian dan pembuatan diagram menggunakan perangkat lunak statistik Minitab 14. Hasil AKU akan diperoleh persamaan ukuran dan bentuk diturunkan dari matriks kovarian.

Model matematika AKU menurut Gasperz (1992) sebagai berikut :

Yp = a1pX1 + a2pX2 + . . . + appXp

Keterangan :

Yp = komponen utama ke-p

a1p-app = vektor ciri atau vektor Eigen ke-p untuk p = 1,2,3,...,17.

Xp = peubah ke-p untuk p = 1,2,3,...,17

Dua komponen utama yang mempunyai nilai keragaman tertinggi digunakan sebagai persamaan ukuran dan bentuk. Korelasi antara ukuran dan bentuk dari masing-masing peubah dihitung berdasarkan rumus (Gaspersz 1992) .

rxiyj =

i j ij

S

a λ

Keterangan :

rxiyj = korelasi antara peubah-peubah xi dan komponen utama ke-j (j =1,2,3,...,17 )

ij

a = vektor Eigen/Vektor ciri ke-j ; λj = nilai Eigen /Akar ciri ke-j

i


(40)

Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif yang diamati. yaitu morfologi tubuh meliputi warna kepala, warna bulu tubuh, pola warna bulu, bentuk wol dan bentuk ekor dianalisis secara deskriptif. Analisis menggunakan Frekuensi Relatif (Mulliadi 1996) dengan formula sebagai berikut .

Frekuensi Relatif Sifat A = Σ Sifat A x 100%

Keterangan : A = salah satu sifat yang diamati N = total sampel yang diamati

Jarak Genetik

Fungsi diskriminan sederhana dilakukan untuk penentuan jarak genetik (Manly 1989). Pendugaan kesamaan genetik dan jarak genetik dihitung dengan menggunakan semua peubah morfometrik yang diamati. Analisis data menggunakan paket program SAS 6,12. Dari hasil matrik tersebut dilakukan analisis pohon fenogram dengan menggunakan soft ware aplikasi MEGA2 yang dibangun oleh Kumar at al. (1993).

Gambar 3 Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba; Sisson (1953).


(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kawasan lembah Palu meliputi wilayah Kota Palu dan sebagian wilayah Kabupaten Donggala. Wilayah Kota Palu yang termasuk kawasan Lembah Palu yaitu Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan, sedangkan Kabupaten Donggala yaitu Kecamatan Sigi-Biromaru, Kecamatan Dolo, Kecamatan Marawola, Kecamatan Tawaeli. Bagian tengah Lembah Palu dibelah oleh Sungai Palu yang membentang dari Timur ke Barat dan sungai ini bermuara di Teluk Palu. Perbatasan wilayah Lembah Palu yaitu sebelah timur berbatasan dengan gunung Lolo (wilayah Kecamatan Parigi, Kabupaten Parimou), sebelah Barat berbatasan dengan gunung Watu Ralele dan gunung Lebanu, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli Kota Palu dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala.

Iklim

Iklim merupakan komponen penting dan penentu dalam keberhasilan pengembangan suatu komoditas, sehingga penentuan suatu program pengembangan perlu ditunjang oleh ketersediaan data yang akurat dan rinci. Pengembangan komoditas pakan ternak tidak terlepas dari komponen iklim seperti curah hujan, kelembaban udara, penyinaran dan suhu. Iklim seperti curah hujan di Lembah Palu berada pada kisaran 450–1.000 mm/tahun dengan sebaran curah hujan tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Curah hujan yang sangat menentukan perkembangan suatu komoditas di suatu wilayah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia air, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai pelarut hara dalam tanah dan alat transportasi. Suhu udara pada tahun 2003-2004 berkisar antara 27,5-27,20C dengan kelembaban udara antara 72,8 - 74,8% (BPS Kota Palu 2004).

Lembah Palu termasuk wilayah bayangan hujan, sehingga jarang terjadi hujan tetapi persediaan air tanah cukup dan air yang berasal dari sungai-sungai yang ada di Lembah Palu. Potensi air tanah dan air sungai ini yang dimanfaatkan oleh petani di Lembah Palu untuk bertanam padi, palawija dan sayuran, akan tetapi kondisi hijauan pakan di padang penggembalaan tergantung


(42)

musim, saat musim hujan terjadi pertumbuhan vegetasi hijauan pakan yang tinggi namun saat musim kemarau hijauan pakan terbatas, dan kering serta terjadi pengayuan (lignification). Gambaran umum keadaan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Gambaran umum keadaan lokasi penelitian

Potensi Lokasi (Poboya) di (Kawatuna) di (Loru) di Palu Timur Palu Selatan Biromaru

Luas wilayah (km2) 63,41 20,67 57,68

Bentang lahan (%))

a. dataran 25 50 60

b. perbukitan 50 25 25

c. pegunungan 25 25 15

Curah hujan (mm/bln) 100 100 150

Ketinggian dpl (m) 100 250 500

Jumlah penduduk(jiwa) 1.287 2.666 1.906

Jumlah penduduk (KK) 601 613 496

Pertanian (ha)

- sawah 50 213 226

- ladang 150 378 286

- padang gembalaan 607 457 325

Populasi domba (ekor) 425 1.213 200

Jarak dr Palu Selatan(km) 5 0 10

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas dataran, persawahan dan ladang di tiga lokasi yang bervariasi, secara umum peternak di tiga lokasi melepaskan ternaknya merumput di padang penggembalaan. Sekilas tampak bahwa lokasi penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan lebih luas dibanding Biromaru, namun produksi hijauannya lebih rendah. Apalagi populasi ternak di Palu Timur dan Palu Selatan lebih banyak dibanding Biromaru. Disamping itu area penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan mulai bergeser kebukit akibat perkembangan pemukiman penduduk dan perumahan.

Amar (2002) menyimpulkan bahwa secara umum produksi hijauan lebih tinggi pada musim basah dibanding musim kering, akan tetapi produksi lahan tersebut tergolong sangat rendah sepanjang tahun dan merupakan faktor pembatas bagi produktivitas ternak yang digembalakan. Selanjutnya menurut Amar (2002)


(43)

bahwa dengan menggabungkan data produksi pada dua musim berbeda sebagai rata-rata daya tampung sepanjang tahun menunjukkan bahwa estimasi daya tampung lahan penggembalaan di Poboya sepanjang tahun sangat rendah. Seekor ternak domba dewasa membutuhkan 1,5 ha/tahun (1 ha domba dewasa hanya mampu menampung 0,67 ekor ternak domba, atau 14,4 ha/tahun untuk seekor sapi dewasa (1 ha hanya mampu menampung 0,07 ekor ternak sapi). Jika menggunakan patokan unit-ternak (UT) menurut Amar (2002), maka daya tampung lahan rata-rata hanya 0,06 UT/tahun (1 UT = 1 ekor sapi dewasa dengan bobot 500 kg). Dari patokan tersebut maka daya tampung padang rumput pada masing-masing lokasi adalah 36,79 UT di Palu Timur, 27, 70 UT di Palu Selatan dan 19,7 UT di Biromaru. Populasi ternak masing-masing lokasi di sajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian

Ternak Palu Timur Palu Selatan Biromaru

(ekor) (Poboya) (Kawatuna) (Loru)

Sapi 505 718 270

Kuda 42 48 −

Kambing 315 1829 295

Domba 425 1213 200

Jumlah 1287 3808 765

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Berdasarkan hasil perhitungan daya tampung padang penggembalaan dengan populasi ternak yang ada pada Tabel 5 menyebabkan ternak yang ada khususnya domba tidak mampu menampilkan potensi genetiknya secara optimal, Upaya-upaya alternatif terus dilakukan untuk mengatasi masalah misalnya penelitian pemberian pakan sebagaimana telah dilakukan oleh Munier et al. (sistem semi intensif (2002) maupun intensif (2004). Munier (2002) menyimpulkan bahwa pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan tanpa pemberian pakan tambahan. Jika sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif di tiga lokasi, maka di Loru berpotensi untuk pengembangan ternak karena didukung lokasi persawahan dan tanaman palawija desa sekitarnya.


(44)

Sumber Pakan

Hasil penelitian Hamsun dan Amar (2001) menyatakan bahwa rumput-rumputan memperlihatkan respon positif terhadap bulan basah dengan peningkatan produksi. Rumput merupakan kontributor dominan dalam mempersiapkan bahan kering. Proporsinya lebih tinggi pada bulan basah dari pada bulan kering. Di Kelurahan Kawatuna, rumput alam yang mendominasi adalah Cynodon sp dan Digitaria fuscescens dengan kapasitas tampung padang penggembalaan 0,5 ekor/ha/tahun untuk domba. Kandungan protein kasar Cynodon sp rendah hanya 11,16% sementara kebutuhan protein kasar saat tumbuh domba dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,80%. Dilaporkan juga bahwa beberapa jenis leguminosa yang tumbuh di padang penggembalaan Kelurahan Kawatuna seperti Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp dengan kandungan protein kasar 8,6−9,3%

Selanjutnya menurut Amar (2002) bahwa jenis rumput pakan ternak yang dominan di penggembalaan Poboya adalah Cynodon sp. dan Digitaria fuscescens, sedangkan jenis legume yang paling banyak adalah Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di lembah Palu disajikan pada Gambar 4.

a. Musim hujan (kiri) b. Musim kemarau (kanan) Gambar 4 Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna.


(45)

Keadaan Umum Peternak

Usaha utama peternak adalah bertanam padi sawah, palawija, buah-buahan, sayur-sayuran, kakao dan kelapa dalam sedangkan usaha ternak ruminansia kecil hanya bersifat penunjang. Meskipun beternak domba sebagai usaha sambilan, hasil penjualan ternaknya cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk menyekolahkan anak-anaknya, acara-acara keagamaan dan sosial. Hal ini didukung oleh Priyanti et al. (1989) bahwa meskipun usaha ternak ruminansia kecil sebagai usaha penunjang tetapi kenyataannya memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan peternak. Hasil penjualan produk-produk pertanian hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian dikonsumsi mereka. Keterlibatan wanita dalam usaha ternak domba memberikan andil yang cukup besar. Wanita menggantikan untuk menggembalakan ternak apabila suaminya melakukan kegiatan dilahan sawah atau kebunnya terutama saat pengolahan tanah, penanaman dan panen.

Menurut Munier (2003) bahwa jumlah peternak tertinggi di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan 50 kepala keluarga (KK), dan di Kelurahan Paboya Kecamatan Palu Timur 8 KK, di Kecamatan Biromaru 8 KK. Tingkat pendidikan peternak bervariasi dari yang terendah tamat SD dan tertinggi tamat SLTA. Pada umumnya peternak dapat membaca dan berhitung dengan baik. Kaitannya dengan umur peternak ditemukan di lapang juga bervariasi dengan kisaran 23–75 tahun. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat pendidikan peternak menurut kelurahan

Lokasi Penelitian

Tingkat pendidikan

(orang) Jumlah

SD SMP SLTA

Kelurahan Kawatuna (%) 12 3 3 18

Kelurahan Poboya (%) 2 4 2 8

Biromaru (%) 2 3 3 8

Jumlah (KK) 16 10 8 34

Persentase (%) 47,06 29,41 23,52

Sumber : Munier (2003)

Tingkat pendidikan peternak pada Tabel 6 didominasi oleh tamatan SD 47,06%, meskipun ada juga peternak yang tidak tamat SD, tetapi pengamatan di


(46)

lapang peternak masih mengandalkan pengalaman secara turun temurun dalam memanfatkan sumber pakan guna meningkatkan bobot badan. Kebiasaan menggembala ternak masih disukai oleh peternak karena dianggap lebih praktis dari pada mengambilkan rumput ternaknya sebagaimana umumnya petani di Jawa. Hal tersebut mungkin disebabkan selain hijauan yang kurang, domba yang digembala cukup banyak sekitar 50-100 ekor lebih setiap penggembala juga menurut Diwyanto et al. (2002) karena pengaruh faktor sosial dan budaya. Namun dari 23,53% lulusan SLTA tersebut diatas memiliki potensi dalam mengakses perkembangan inovasi-inovasi teknologi beternak yang semakin berkembang.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah setempat dan perguruan tinggi dalam meningkatkan produktivitas petani peternak adalah dengan membentuk wadah (kelompok) sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan atau pemberian bantuan. Disamping itu domba dilokasi penelitian sering dijadikan sebagai obyek penelitian sehingga dengan interaksi peternak dengan para peneliti memberikan tambahan pengetahuan bagi peternak untuk mengelola ternaknya.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan domba dilokasi penelitian umumnya digembalakan secara bebas dipadang penggembalaan yang berbukit-bukit dan di kandangkan kembali pada sore hari. Jarak lokasi penggembalaan dengan kandang ternak tergantung musim. Hijauan pakan yang dikonsumsi oleh domba di padang tersebut adalah rumput alam dengan ketersediaannya yang terbatas dan rendah kandungan nutrisinya, apalagi jika musim kemarau jarak penggembalaan makin jauh. Hal ini mengakibatkan rendahnya bobot hidup ternak dewasa, bobot lahir yang rendah, dan interval kelahiran anak panjang. Di padang penggembalaan ternak domba sering terjadi serangan parasit cacing terutama saat musim hujan. Akibat dari kekurangan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak dan tingginya angka serangan parasit sering mengakibatkan kematian. Untuk mengantisipasi serangan parasit dipadang penggembalaan, domba mulai digembalakan menjelang siang mulai jam 10,00/11,00–17,00, dimana pada waktu tersebut hijauan sudah


(1)

Everitt BS. Dunn G. 1998. Applied Multivariate Data Analysis. New York: John Wiley & Sons Inc.

[FAPET IPB] Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 1985. Konservasi Ternak Asli. Bogor: Fakultas Peternakan IPB-Direktorat Jenderal Peternakan.

Fida. 2006. Studi penampilan pertumbuhan anak prasapih. bobot badan dan dimensi tubuh domba ekor gemuk di Indramayu. Madura dan Palu. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Flury B. 1988. Common Principal Components and Related Multivariate Models. New York: John Wiley & Son’s Inc.

Fourie PJ, Neser FWC, Livier JJ, Westhuizen CV. 2002. Relationship betwen production performance, visual appraisal and body measurements of young Dorpers rams. South African Journal of Animal Science 32(4) 256-262

Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Bandung: Tarsito.

Griffiths AJF. Miller JH. Suzuki D. Lewontin RC. Gelbart WM. 1993. An Introduction to Genetics Analysis. New York: Freeman Company.

Haley CS, Cameron ND, Slee J, Land RB. 1987. Indirect selection. Di dalam: Marai IFM, Owen JW, editor. New Techniques in Sheep Production. London: Butterworth and Co. Publisher, Ltd.

Hamsun M, Amar AL. 2001. An overview range land productions at two location of communal grazing for the low income farmers in Palu valley. Central Sulawesi: Jurnal Agroland 8 (2):193–202.

Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliaabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hafez ESE. 1969. Prenatal Growth. Di dalam: Animal Growth and Nutrition. Philadelphia: Lea and Febiger.

Hafez ESE. 1996. Reproduction in Farma Animal. Ed ke-6. Piladelphia: Lea & Febiger.

Hartl DL. 1988. A Primer of Population Genetics. Ed ke-2. Sinauer: Associates Inc. Publisher.

Herera M, Rodero E, Gutierrez F, Peria Rodero JM. 1996. Application of multifactorial discriminant analysis in the morphostructural differentiation of Andalusian caprine breeds. Small Rum Res. 22: 39-47.

Hamsun M, Saloko F, Syukriah, Marini, Supunawa. 1998. Memperpendek jarak kelahiran domba di perusahaan peternakan domba ”Imam Kawatuna”. [laporan penelitian]. Palu: Lembaga Pengabdian Masyarakat, Untad.

Herman R. 2005. Produksi karkas dan non karkas domba priangan dan ekor gemuk pada bobot potong 17.5 dan 25.0 kg. Bogor : Media Peternakan 28(1):8-12.


(2)

Husain MH. 2002. Standar Mutu Bibit Ternak di Sulawesi Tengah. Palu: Pusat Penelitian Hewan Tropis, Universitas Tadulako.

Iniguez L, Bradford GE, Kamarudin, Sutama K. 1991. The Javanese fat tail an Indonesia sheep population with potential to produce hair sheep. Di dalam: Stephan Wideus, editor. Proceedings Hair Sheep Symposium.. USA: Univ of Virgin Island. hlm 54-63.

Inounu I. 1991. Production performance of prolipic Javanese sheep [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Inounu I, Iniguez LC, Bradford GE, Subandriyo, Tiesnamurti B. 1993. Performance production of prolific Javanese ewes. Small Ruminant Res. 12: 243-257.

Inounu I, Diwyanto K. 1996. Pengembangan ternak domba di Indonesia. Journal litbang Pertanian 15(3):61-68.

Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. ANDI.

Ismaya. 1992. Hubungan antara berat testis dengan umur, berat tubuh dan besar scrotum domba lokal. Buletin Peternakan 16(4):18-22.

Jaya M. 1981. Hubungan antara lingkar dada dan panjang badan dengan berat badan domba Garut pada berbagai tingkat umur [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran.

Johansson I, Rendel J. 1966. Genetics and Animal Breeding. San Fransisco: WH. Freeman and Co. 171-220.

Junus M. 1984. Produktivitas ternak domba ekor gemuk pada berbagai ketinggian daerah di Jawa Timur [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

Kasim K. 1996. Evaluasi introduksi domba pejantan Merbas terhadap pertumbuhan komponen tubuh domba lokal (DEG) di padang penggembalaan alam lembah Palu. Jurnal Agroland 3(12):22-33.

Kammlade WG. 1955. Sheep Science. New York: Lippincott JB.Co. 364-372. Karson M. 1982. Multivariate Statistical Methods. an Introduction. USA: The

Iowa State University Press. Ames Iowa.

Kumar SK. Tamura. Nei M. 1993. [MEGA] Molecular Evolutionary Genetics Analysis. Version 1.01. USA: Institute of Molecular Evolution Genetic. The Pennsylvania University.

Lasley JF. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Ed ke-3. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited.

Liu MF, Makarechian M. 1990. Comparison of phenotypic variation within paternal half sib families for weaning wight in purebreed and sinthetic beef cattle population. Can. Jurnal Anim Sci 70:703-706.

Mansjoer SS. 1993. Identifikasi keragaman genetik banteng [laporan penelitian] Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.


(3)

Manly BFJ. 1989. Multivariat Statistical Method. A Primer. London : Chapman and Hall Ltd.

Mason IL. 1980. Prolific Tripocal Sheep. Animal Production and Health Paper. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations.17: 65-74. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Merkens J, Soemirat R. 1979. Sumbangan pengetahuan tentang ternak domba di Indonesia. Oetojo R, penerjemah. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terjemahan dari: Domba dan Kambing.

Mirajuddin, Duma Y. 2003. Meningkatkan efisiensi reproduksi domba lokal Palu melalui aplikasi flushing dan inseminasi buatan. Jurnal Agroland 10(4): 418-422.

Mulliadi D. 1996. Sifat Fenotipik domba Priangan di Kabupaten Padeglang dan Garut [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munier FF, Bulo D, Sammang Z, Kairupan AN, Ngatidjo P, Lasonggo A. 2002.

Pengkajian pola pemeliharaan semi intensif domba ekor gemuk (DEG) di Lembah Palu Sulawesi Tengah [laporan penelitian]. Palu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

Munier FF, Femmi NF, Purwaningsih H, Husain S. 2003. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk yang diberikan pakan tambahan leguminosa. Prosiding Seminar Nasional Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam mendukung Agribisnis. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Munier FF, Bulo D, Saidah, Syafruddin, Boy R, Femmi NF, Husain S. 2004. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk (DEG) yang dipelihara secara intensif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.

Nishida T, Hayashi Y, Hashiguchi T, Mansjoer SS, 1982. Distribution an identification of jungle fowl in Indonesia. The Origien and Phylogeny of Indonesian Navati Livestock. Report by The Research Group of Overseas Scientific Survey 3:85-95.

Noor RR. 1995. Genetika Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya.

Nurjadi. 1982. Angka kematian pra-lahir domba ekor gemuk sesuai dengan umur. jumlah dan posisi ovulasi dari induk [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nurjanah I. 1998. Studi penurunan sifat pola warna muka domba Garut di desa Sukawargi Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Otsuka J, Namikawa T, Nozawa K, Martojo H. 1992. Statistical analysis on the body measurements of East Asian native livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey.


(4)

Pangestu RB, Mansjoer SS. 1996. Pemuliaaan domba lokal. Di dalam: Materi Pelatihan Usaha Peternakan Ayam dan Domba lokal di Pedesaan. Bogor: Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Dinas Peternakan Kabupaten Bogor.

Praharani L, Subandriyo, Tiesnamurti B, Adiati U. 2000. Evaluasi lingkar scrotum dan libido pejantan muda rumpun domba Komposit dan Barbados Cross. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Balai Penelitian Ternak.

Pirchner F. 1969. Population Genetics in Animal Breeding. San Fransisco: Freeman and Company WH.

Priyanti A, Soedjana TD, Handayani SW, Ludgate PJ. 1989. Karakteristik peternak berpenampilan tatalaksana tinggi dan rendah dalam usaha ternak domba/kambing di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Kecil Kambing dan Domba. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Priyanto D, Setiadi B, Inounu I, Subandriyo. 1992. Produktivitas domba pedesaan pada kondisi pemeliharaan tradisional di Cirebon. Jurnal Ilmu dan Peternakan 5(1):15-19.

Salmin, Sonjaya HD, Rahardja P, Mustafa. 2004. Aktivitas ovarium domba betina lokal Palu pada kondisi lapangan. Jurnal Agroland 11(3):308-311. Sakul H, Bradford GE, Subandriyo. 1994. Prospects of genetic improvement of

small ruminants in Asia. Proceedings of a Symposium Held in Conjuction With 7th. Dempasar: Asian-Australian Association of Animal Production

Societes Congress. hlm 11-16.

Searle AG. (1967). Comparative Genetics of Coat Colour in Mammals. New York: Logos Press Academic.

Searle AG. 1968. Comparative Genetic of Coat Colour in Mammal. Ed ke-1. London: Logos Press Academic.

Setyowati F. 2002. Produktivitas induk domba Garut pada pemeliharaan intensif di Desa Surakarsa Kecamatan Parakan Salakan Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Siregar AR. 1981. Pendugaan parameter fenotip dan genotip sifat pertumbuhan serta pengamatan beberapa kuantitatif domba Priangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sisson SS. 1953. The Anatomy of the Domestic Animals. Ed ke-4. Revised. Philadelfhia and London: Saunders Company.

Smith ID. 1979. Sheep in South-East Asia. Di dalam: “ Sheep Breeding”. By. Jones GL, Robertson DE, Linghtfoot RJ. London: Butterworth & Co. Sponenberg DP. 1977. Genetics of colour and hair texture. Di dalam: Piper L

and Ruvinsky A (Eds). The Genetics of Sheep. Cambridge: CAB International Solidus. University Press.


(5)

Subandriyo. 1993. Strategi pemuliaan domba di Pusat Pembibitan dan Peternak. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJP II. Bogor: ISPI-HPDKI.

Subandriyo, Setiadi B, Soedjana TD, Sitorus P. 1994. Produktivitas usaha ternak domba di pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.

Subandriyo, Djajanegara A. 1995. Potensi produktivitas ternak domba di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan..

Subandriyo, Setiadi B, Rangkuti M, Diwyanto K, Handiwirawan E, Romjali E, Doloksaribu M, Elieser S, Batubara L. 1996. Pemuliaan bangsa domba sintetis hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba bulu [laporan penelitian]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.

Soehadji. 1991. Pembangunan dan Pengembangan Peternakan di Indonesia dari Sapi. Perbaikan Mutu Genetik Ternak. Jakarta: Dirjen Peternakan.

Sumadi. 2001. Estimasi dinamika populasi dan output kambing Peranakan Ettawah di Kabupaten Kulon Progo. Bulletin Peternakan 25(4):161-171

Sumoprastowo RM. 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wool. Jakarta: Bhatara.

Sutisna A. 2001. Pengembangan domba laga untuk menunjang agrowisata. agribisnis. pelestarian budaya dan penyelamatan plasma nutfah. Seminar Nasional Domba dan Kambing. Bogor: Puslitbang Peternakan, Balitbang Pertanian.

Suparyanto A, Purwadaria T, Subandrio. 1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4 (2): 80-87.

Suparyanto A, Subandriyo, Wiradarya TR, Martojo HH. 2001. Analisis pertumbuhan non-linier domba lokal Sumatera dan Persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(4):259-264.

Suparyanto. 2002. Penggunaan polimorfisme protein darah untuk penentuan jarak pertalian genetik antar populasi domba Indonesia, St. Croix dan Merino. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(1): 46-53.

Sutama IK, Uli AP, Djayanegara A, Sabrani M. 1991. Perbaikan Mutu Genetik dan Pengembangan Domba Ekor Gemuk. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Pusat penelitian dan Pengembangan peternakan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sutama IK. 1993. Evaluasi performans reproduksi dan produksi domba ekor gemuk yang diseleksi berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Bogor: ISPI HPDKI. hlm 92-95.


(6)

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana.

Tiesnamurti B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Prosiding Lokakarya Potensi Ruminansia Kecil di Indonesia Bagian Timur. Mataram, NTB. Bogor: Balai Penelitian Ternak. hlm 79-86.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Turner HN, Young SSY. 1969. Quantitatif Genetics in Sheep Breeding. Ed ke-1. New York: Cornel University Press, Ithaca.

Triwulaningsih, Sitorus P, Batubara LP, Suradisastra K. 1981. Performans domba Garut. Bulletin BPT 28:1-13

Warwick EW, Legates JE. 1983. Breeding and Improvement of Farm Animals. New York: McGraw-Hill.

Warwick EJ, Maria JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Williamson G, Payne WJA, 1978. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Ed ke-3. London: Longman Group Limited.

Wiradarya TR. 2005. Sistem 3 Strata sebagai strategi pemulihan dan peningkatan mutu genetik kambing dan domba di Indonesia (Ulasan). Media Peternakan 28(2):87-99.

Yeates NTM. 1965. Modern Aspect of Animal Production . Di dalam: Williamson. G. dan Payne WJA. 1978. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Ed ke-3. London: Longman Group Limited. Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Florida: Press. Boca Raton.