Awal Kemenangan Rakyat Kendeng
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng
Penulis Hendra Try Ardianto - Rabu, 18 November 2015
Sejumlah warga berunjuk rasa di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah, Selasa (17/11).
Mereka menyerukan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen serta penambangan batu gamping dan batu lempung di
Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati karena dinilai merusak lingkungan dan sumber air setempat, serta mengurangi lahan
pertanian warga. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz/15.
Selasa, 17 November 2015, rasa lelah karena long march “Kendeng Menjemput Keadilan”
sejauh 122 kilometer akhirnya terbayar. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Semarang kali ini memutuskan untuk memenangkan gugatan warga dan membatalkan secara
hukum rencana pembangunan tambang semen oleh PT Sahabat Mulia Sakti (selanjutnya PT
SMS, anak perusahaan Indocement) di Pati, Jawa Tengah. Tak tanggungtanggung Majelis
Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruh gugatan warga dan menolak seluruh eksepsi
PT SMS dan Bupati Pati. Sebuah kemenangan awal yang patut diapresiasi dan dirayakan.
Tentu ini bukan kemenangan yang pertama. Di pertengahan 2009, warga Pati juga pernah
memenangkan gugatan serupa, kala PT Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia
atauPTSI) ingin menjamah kawasan kars di Kecamatan Sukolilo Pati. Sekarang, PT SMS juga
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
1/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
kembali dikalahkan dalam rencananya mengubah sekitar 2.000 hektare lebih kawasan yang
sebagiannya lahan produktif pertanian menjadi area pertambangan semen.
Bagi saya, ini kemenangan rakyat yang hakiki. Mengapa harus ditegaskan hakiki? Tidak lain
karena ini adalah perjuangan dan jerih payah rakyat dalam “menjemput keadilan” itu sendiri,
bukan karena kehendak siapa pun. Ini bukti pengorganisasian diri rakyat dan atas kepentingan
rakyat sendiri. Hal ini perlu saya tegaskan karena banyak sekali pengaburan yang terjadi, baik
di akar rumput, statement pejabat, bahkan ulah para jurnalis sendiri.
Dulu, Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, mantan Panglima Kodam IV/Diponegoro, pernah
marah besar akibat PTSI dinyatakan kalah di PTUN (2009). Kala itu, gubernur menyatakan jika
besok rakyat ada masalah diharapkan minta bantuan ke LSM saja, bukan ke pemerintah
lantaran rakyat lebih percaya ke LSM. Seolaholah penolakan warga atas rencana pertambangan
itu akibat provokasi LSM, bukan dari kesaradan rakyat yang tak ingin kehilangan tanah dan
alam sekitarnya.
Tak kalah jahilnya adalah para jurnalis, yang berkalikali menurunkan berita tentang PTUN
sebagai sengketa antara LSM tertentu melawan pemerintah. Saya yakin ini dilakukan secara
sadar untuk menciptakan kesan publik bahwa ini bukan masalah rakyat, tapi masalah LSM
versus pemerintah dan korporasi. Silakan cermati sendiri nanti, bahkan media besar dan
ternama sekalipun.
Atau pemberitaan yang seolaholah cover both side dengan menampilkan massa pendukung
korporasi tambang. Pertanyaan saya sederhana, tidakkah mereka dilatih ilmu jurnalistik yang
canggih agar bisa menemukan cerita berapa uang yang diberikan korporasi dalam demodemo
dukungan investasi tambang. Sungguh ironis, berkedok cover both side tetapi secara sadar
menggiring pembaca bahwa yang terjadi adalah konflik warga vs warga, bukan warga vs
koporasi. Ini adalah titik licin dari kebejatan media, terutama media yang mudah dibeli.
Kemenangan warga kemarin bukan lahir secara tibatiba, namun sebuah proses panjang dari
pengorganisasian satu ke pengorganisasian lainnya. Kata Dhandy Laksono, pembuat film
“Samin vs Semen” dalam status facebook, ini adalah bukti bersatupadunya kelompok Samin,
Santri, “Abangan”, Katolik, Tionghoa, dan mahasiswa dalam memperjuangkan keselamatan
alam.
Setting awal bersatupadunya berbagai kelompok dari berbagai daerah ini dimulai ketika PTUN
Semarang dalam kasus Rembang menghasilan keputusan sangat memalukan. Yakni, gugatan
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
2/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
warga ditolak karena sudah kadaluarsa (saat pengajuan), tanpa menyentuh satu pun
perdebatan soal ekologi dan faktafakta di lapangan.
Di tengah kekalahan gugatan warga Rembang dan dilecut oleh menjamurkan izin ekploitasi
tambang semen skala besar di Pegunungan Kendeng (yang merupakan kawasan karst
penyimpan air), yakni Pati, Rembang, Blora, Grobogan, dan Kudus, para petani Kendeng mulai
mengorganisir diri. Awal November lalu menjadi kulminasi mereka menginisiasi sebuah
kelompok yang diberi nama “Jaringan Masyarakat Peduli Penyelamatan Ibu Bumi”. Kelompok
inilah yang hendak meneriakkan kepentingan mereka tentang keselamatan Pegunungan
Kendeng, sekaligus menekankan kedaulatan pangan hanya bisa ditopang oleh petani, bukan
penambang.
Perjalanan pengorganisasian mereka bukan berarti tanpa kendala dan berjalan mulus begitu
saja. Saat pengusiran PTSI di Pati dulu, warga Pati ada yang dikriminalisasi hingga masuk bui.
Sedangkan ibuibu Rembang harus beberapa kali merasakan bogem mentah dari aparat negara
yang tinggigagah. Belum lagi terorancaman yang dulu mereka rasakan, termasuk embusan
isu sebagai kelompok komunis kepada ibuibu yang hafal shalawatan dan tahlilan tersebut.
Menurut teman saya, sungguh cengeng rasanya melihat sang Gubernur ‘Marhaen’ di Jawa
Tengah mengeluh dan mengadu kepada publik (melalui mediamedia massa) kalau dirinya
selalu dibully warga dan orangorang yang tak tahu apaapa tentang masalah Kendeng. Mas
Ganjar seharusnya tak selemah itu, seandainya Mas tahu bahwa rakyat njenengan bukan saja
kena bully, tapi sudah kena timpuk, bahkan tinjuan maut, sebagaimana dilakukan TNI kepada
Pak Sunu, Kepala Desa Wiromartan Kebumen, yang bersama rakyatnya hendak
mempertahankan tanah mereka.
Mungkin Mas Ganjar harus belajar banyak kepada Pak Sunu untuk menjadi pemimpin yang baik,
terutama tentang ketegaran dan keberpihakan. Tegar terhadap jenis cobaan/godaan dan
berpihak pada rakyat yang diwakilinya (kaum Marhaen).
Semoga tulisan ini bisa memberi sedikit pencerahan, khususnya “kelas menengah ngehek” yang
selalu nyinyir karena alergi protes dan kritik. Bahwa rakyat protes dan mengorganisir diri bukan
karena ada uang jatuh dari langit yang menyuruh mereka protes, tapi lantaran kehidupan
mereka diusik dengan ancaman kerusakan dan kehilangan ruang hidupnya. Plus yang harus
dicatat adalah akibat praktikpraktik represif itu sendiri.
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
3/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
Solidaritas menyelamatkan Kendeng ini semakin membesar dari hari ke hari. Ini menjadi
harapan agar anakanak generasi bangsa Indonesia bisa tetap terus berlanjut. Karena itu, kita
harus tinggal di alam yang asri, bukan yang rusak dan porakporanda. Biarlah cibiran kaum
ngehek terus bergema sampai mulut dan jemarinya keriting. Yang jelas, ikhtiar Kendeng Ora
Didol atau “Kendeng not for Sale” harus terus digelorakan, seiring dengan “Jogja Not for Sale”
atau “Bali not for Sale”, dan lain sejenisnya.
Menukil Soekarno, saatnya kita memiliki mental yang besar, bukan mental tempe yang
ngertinya hanya memintaminta tanpa mau mempertahankan hak yang menjadi milik kita
sendiri. Jadi, tak perlu lagi serius meyakinkan kaum ngehek bahwa ini soal mempertahankan
hak, soal kedaulatan pangan, dan soal kelestarian alam. Kita pasti akan capek untuk
menjelaskan bahwa ini adalah soal perjuangan, bukan sekadar asal njeplak. Cukup kita paham
saja bahwa kaum ngehek hanya ngerti soal mencemooh dan mencibir.
“Ini tulisan yang merusak sendi kehidupan bangsa dan memecah belah sesama”, demikian
biasa saya dengar cibiran mereka. Sungguh menyedihkan, bukan?
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologiagraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA).
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
4/4
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng
Penulis Hendra Try Ardianto - Rabu, 18 November 2015
Sejumlah warga berunjuk rasa di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah, Selasa (17/11).
Mereka menyerukan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen serta penambangan batu gamping dan batu lempung di
Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati karena dinilai merusak lingkungan dan sumber air setempat, serta mengurangi lahan
pertanian warga. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz/15.
Selasa, 17 November 2015, rasa lelah karena long march “Kendeng Menjemput Keadilan”
sejauh 122 kilometer akhirnya terbayar. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Semarang kali ini memutuskan untuk memenangkan gugatan warga dan membatalkan secara
hukum rencana pembangunan tambang semen oleh PT Sahabat Mulia Sakti (selanjutnya PT
SMS, anak perusahaan Indocement) di Pati, Jawa Tengah. Tak tanggungtanggung Majelis
Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruh gugatan warga dan menolak seluruh eksepsi
PT SMS dan Bupati Pati. Sebuah kemenangan awal yang patut diapresiasi dan dirayakan.
Tentu ini bukan kemenangan yang pertama. Di pertengahan 2009, warga Pati juga pernah
memenangkan gugatan serupa, kala PT Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia
atauPTSI) ingin menjamah kawasan kars di Kecamatan Sukolilo Pati. Sekarang, PT SMS juga
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
1/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
kembali dikalahkan dalam rencananya mengubah sekitar 2.000 hektare lebih kawasan yang
sebagiannya lahan produktif pertanian menjadi area pertambangan semen.
Bagi saya, ini kemenangan rakyat yang hakiki. Mengapa harus ditegaskan hakiki? Tidak lain
karena ini adalah perjuangan dan jerih payah rakyat dalam “menjemput keadilan” itu sendiri,
bukan karena kehendak siapa pun. Ini bukti pengorganisasian diri rakyat dan atas kepentingan
rakyat sendiri. Hal ini perlu saya tegaskan karena banyak sekali pengaburan yang terjadi, baik
di akar rumput, statement pejabat, bahkan ulah para jurnalis sendiri.
Dulu, Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, mantan Panglima Kodam IV/Diponegoro, pernah
marah besar akibat PTSI dinyatakan kalah di PTUN (2009). Kala itu, gubernur menyatakan jika
besok rakyat ada masalah diharapkan minta bantuan ke LSM saja, bukan ke pemerintah
lantaran rakyat lebih percaya ke LSM. Seolaholah penolakan warga atas rencana pertambangan
itu akibat provokasi LSM, bukan dari kesaradan rakyat yang tak ingin kehilangan tanah dan
alam sekitarnya.
Tak kalah jahilnya adalah para jurnalis, yang berkalikali menurunkan berita tentang PTUN
sebagai sengketa antara LSM tertentu melawan pemerintah. Saya yakin ini dilakukan secara
sadar untuk menciptakan kesan publik bahwa ini bukan masalah rakyat, tapi masalah LSM
versus pemerintah dan korporasi. Silakan cermati sendiri nanti, bahkan media besar dan
ternama sekalipun.
Atau pemberitaan yang seolaholah cover both side dengan menampilkan massa pendukung
korporasi tambang. Pertanyaan saya sederhana, tidakkah mereka dilatih ilmu jurnalistik yang
canggih agar bisa menemukan cerita berapa uang yang diberikan korporasi dalam demodemo
dukungan investasi tambang. Sungguh ironis, berkedok cover both side tetapi secara sadar
menggiring pembaca bahwa yang terjadi adalah konflik warga vs warga, bukan warga vs
koporasi. Ini adalah titik licin dari kebejatan media, terutama media yang mudah dibeli.
Kemenangan warga kemarin bukan lahir secara tibatiba, namun sebuah proses panjang dari
pengorganisasian satu ke pengorganisasian lainnya. Kata Dhandy Laksono, pembuat film
“Samin vs Semen” dalam status facebook, ini adalah bukti bersatupadunya kelompok Samin,
Santri, “Abangan”, Katolik, Tionghoa, dan mahasiswa dalam memperjuangkan keselamatan
alam.
Setting awal bersatupadunya berbagai kelompok dari berbagai daerah ini dimulai ketika PTUN
Semarang dalam kasus Rembang menghasilan keputusan sangat memalukan. Yakni, gugatan
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
2/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
warga ditolak karena sudah kadaluarsa (saat pengajuan), tanpa menyentuh satu pun
perdebatan soal ekologi dan faktafakta di lapangan.
Di tengah kekalahan gugatan warga Rembang dan dilecut oleh menjamurkan izin ekploitasi
tambang semen skala besar di Pegunungan Kendeng (yang merupakan kawasan karst
penyimpan air), yakni Pati, Rembang, Blora, Grobogan, dan Kudus, para petani Kendeng mulai
mengorganisir diri. Awal November lalu menjadi kulminasi mereka menginisiasi sebuah
kelompok yang diberi nama “Jaringan Masyarakat Peduli Penyelamatan Ibu Bumi”. Kelompok
inilah yang hendak meneriakkan kepentingan mereka tentang keselamatan Pegunungan
Kendeng, sekaligus menekankan kedaulatan pangan hanya bisa ditopang oleh petani, bukan
penambang.
Perjalanan pengorganisasian mereka bukan berarti tanpa kendala dan berjalan mulus begitu
saja. Saat pengusiran PTSI di Pati dulu, warga Pati ada yang dikriminalisasi hingga masuk bui.
Sedangkan ibuibu Rembang harus beberapa kali merasakan bogem mentah dari aparat negara
yang tinggigagah. Belum lagi terorancaman yang dulu mereka rasakan, termasuk embusan
isu sebagai kelompok komunis kepada ibuibu yang hafal shalawatan dan tahlilan tersebut.
Menurut teman saya, sungguh cengeng rasanya melihat sang Gubernur ‘Marhaen’ di Jawa
Tengah mengeluh dan mengadu kepada publik (melalui mediamedia massa) kalau dirinya
selalu dibully warga dan orangorang yang tak tahu apaapa tentang masalah Kendeng. Mas
Ganjar seharusnya tak selemah itu, seandainya Mas tahu bahwa rakyat njenengan bukan saja
kena bully, tapi sudah kena timpuk, bahkan tinjuan maut, sebagaimana dilakukan TNI kepada
Pak Sunu, Kepala Desa Wiromartan Kebumen, yang bersama rakyatnya hendak
mempertahankan tanah mereka.
Mungkin Mas Ganjar harus belajar banyak kepada Pak Sunu untuk menjadi pemimpin yang baik,
terutama tentang ketegaran dan keberpihakan. Tegar terhadap jenis cobaan/godaan dan
berpihak pada rakyat yang diwakilinya (kaum Marhaen).
Semoga tulisan ini bisa memberi sedikit pencerahan, khususnya “kelas menengah ngehek” yang
selalu nyinyir karena alergi protes dan kritik. Bahwa rakyat protes dan mengorganisir diri bukan
karena ada uang jatuh dari langit yang menyuruh mereka protes, tapi lantaran kehidupan
mereka diusik dengan ancaman kerusakan dan kehilangan ruang hidupnya. Plus yang harus
dicatat adalah akibat praktikpraktik represif itu sendiri.
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
3/4
26/10/2016
Awal Kemenangan Rakyat Kendeng | GEOTIMES
Solidaritas menyelamatkan Kendeng ini semakin membesar dari hari ke hari. Ini menjadi
harapan agar anakanak generasi bangsa Indonesia bisa tetap terus berlanjut. Karena itu, kita
harus tinggal di alam yang asri, bukan yang rusak dan porakporanda. Biarlah cibiran kaum
ngehek terus bergema sampai mulut dan jemarinya keriting. Yang jelas, ikhtiar Kendeng Ora
Didol atau “Kendeng not for Sale” harus terus digelorakan, seiring dengan “Jogja Not for Sale”
atau “Bali not for Sale”, dan lain sejenisnya.
Menukil Soekarno, saatnya kita memiliki mental yang besar, bukan mental tempe yang
ngertinya hanya memintaminta tanpa mau mempertahankan hak yang menjadi milik kita
sendiri. Jadi, tak perlu lagi serius meyakinkan kaum ngehek bahwa ini soal mempertahankan
hak, soal kedaulatan pangan, dan soal kelestarian alam. Kita pasti akan capek untuk
menjelaskan bahwa ini adalah soal perjuangan, bukan sekadar asal njeplak. Cukup kita paham
saja bahwa kaum ngehek hanya ngerti soal mencemooh dan mencibir.
“Ini tulisan yang merusak sendi kehidupan bangsa dan memecah belah sesama”, demikian
biasa saya dengar cibiran mereka. Sungguh menyedihkan, bukan?
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologiagraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA).
http://geotimes.co.id/awalkemenanganrakyatkendeng/
4/4