Para Kartini Kendeng Masih Menangisi Ibu
Eka Yohan Setiawan, S.Si.
Para Kartini Kendeng Masih Menangisi “Ibu’-nya:
Kajian Ekofeminisme terhadap Peran Perempuan dalam Melawan
Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng, Rembang
Pembangunan Telah Gagal(-kah?)
Pembangunan telah gagal menunaikan tujuannya untuk menyejahterakan rakyatnya. Setidaknya
demikianlah pembahasan awal Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (-KTT Bumi) di Rio de Janeiro.1
Masa setelah Perang Dunia II berakhir, dunia berupaya untuk memulihkan kembali perekonomian
dunia dengan gagasan pembangunan menuju kemakmuran dan keamanan global. Namun
praktiknya, pembangunan telah membuat banyak negara terpuruk, khususnya negara-negara di
Selatan. Maka ketika ukuran suatu pembangunan negara diukur berdasarkan produktivitas,
kemudian yang muncul adalah sebutan negara “berkembang” dan negara “terbelakang” sehingga
dibutuhkan perencanaan lebih matang untuk meningkatkan derajat ekonomi negara-negara
“terbelakang” dengan penanaman modal dari negara-negara yang lebih maju. Namun hal ini
menjadi suatu kritik tersendiri karena keuntungan paling besar hanya akan diperoleh negara-negara
yang menanam modal meski derajat perekonomian suatu negara dapat meningkat, tetap akhirnya
dampak pembangunan yang dilakukan di negara yang ditanami modal meninggalkan kerusakan
lingkungan yang cukup besar untuk dapat ditangani.
Pada KTT Bumi pula membahas persoalan andaikata semua negara diarahkan untuk terus
berkembang berdasarkan ukuran ideal dari negara-negara yang telah berkembang terlebih dulu,
hasilnya adalah kerusakan bumi yang lebih parah karena pembangunan akan terus membutuhkan
bahan-bahan dasar yang asalnya dari dalam bumi.2 Herman Daly menyebutkan bahwa gagasan
pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan telah salah arah karena yang dilakukan dalam
pembangunan itu tidak melihat pembangunan secara teliti hingga ke suatu sub-sistem yang
membentuk kehidupan ekonomi, melainkan semua aras pembangunan dilakukan secara merata
berdasarkan sistem yang lebih umum saja. Makanya bisa jadi, Daly menambahkan, bahwa dalam
1
2
Wesley Granberg-Michaelson. Menebus Ciptaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 6
Ibid., hlm. 9
1
era pembangunan suatu negara, pendapatan per kapita penduduknya secara bertahap meningkat,
namun kesejahteraan penduduknya malah semakin menurun.3 Jika begitu, makanya pembangunan
yang dilakukan itu bisa jadi hanya memiliki visi jangka pendek untuk kepentingan kehidupan masa
kini saja dan belum berpikir terlalu jauh untuk keberlangsungan kehidupan yang akan datang;
akibat pembangunan masa kini yang merusak lingkungan, maka kehidupan masa datang tidak
semakin terjamin kesejahteraannya.
Konferensi yang dilangsungkan sejak konferensi Stockholm pada 1972 hingga konferensi Rio de
Janeiro 1992 setidaknya membuka kesadaran para pemimpin bangsa, utamanya mereka yang ada
di Amerika Serikat tentang perubahan iklim secara global. Akibat produk-produk pembangunan
yang diaplikasikan pada ranah domestik di Amerika Serikat telah mencemari banyak kehidupan
yang berujung pada kematian, makanya muncul kesadaran bahwa sumber pencemaran yang
sifatnya lokal itu telah berdampak secara global dan siapa pun di dunia harus turut prihatin
mengenai hal ini.4 Kemudian dalam dua dekade sehabis konferensi Stockholm, muncul banyak
sekali lembaga swadaya masyarakat di negara-negara bagian Selatan yang menyuarakan
keprihatinannya hingga terdengar di konferensi Rio de Janeiro. Pemerintah-pemerintah lalu
mendengar suara-suara mereka dan menganalisis dengan begitu dalam permasalahan
permasalahan yang terjadi. Organisasi-organisasi internasional kemudian dalam setiap pertemuan
menghasilkan keputusan-keputusan untuk mengatasi dampak kerusakan alam itu dan banyak
ditandatangani oleh para pemimpin negara.5 Pun begitu tentu kita dapat menilai apakah
persetujuan para pemimpin atau wakil setiap negara terwujud dalam kebijakan-kebijakan
negaranya; utamanya Indonesia yang juga termasuk dalam konferensi tersebut.
Pembangunan di Indonesia Bermuka Dua
Pada 1994, sekira 179 negara bertemu di Kairo dalam sebuah konferensi internasional yang
membahas aksi untuk populasi dan pembangunan.6 Konferensi ini dilangsungkan berdasarkan
3
Ibid., hlm. 10
Ibid., hlm. 17
5
Ibid., hlm. 21
6
Konferensi itu bernama International Conference for Population and Development. Dewi Candraningrum, “Politik
Rahim Perempuan Kendeng: Kajian SRHR & Perubahan Iklim”, dalam Dewi Candraningrum dan Arianti I.R.
Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015),
hlm. 1
4
2
pada dampak pembangunan yang korbannya kebanyakan adalah mereka yang lebih lemah, yakni
perempuan dan anak-anak, serta alam sekitar mereka bertempat tinggal. Di Indonesia sendiri pada
era Orde Baru, pemerintah mulai gencar melakukan pembangunan ketika perekonomian bangsa
mulai menggeliat naik pada 1980-an. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kala
itu tak ubahnya aturan yang tak dapat dilawan sehingga rakyat harus ikut serta dalam program
pemerintahan. Segala sesuatu diatur oleh pemerintah dan rakyat harus ikut. Di bidang agraria,
pemerintah menentukan jenis padi yang harus ditanam dan dikonsumsi oleh rakyat. Namun
produk-produk yang digunakan nyatanya mengandung banyak bahan kimia yang tak memberi
manfaat untuk tanah; malah pelan-pelan membuat tanah kering, tandus, dan sulit untuk diolah lagi.
Kebijakan pemerintah kemudian berimbas pada kesehatan rakyatnya yang kian memburuk; yang
paling dirugikan tentunya adalah para perempuan dan anak-anak; muncul jenis-jenis penyakit baru
hingga tingkat kecerdasan rakyat yang sangat kurang karena asupan gizi yang buruk. Parahnya
rezim Soeharto tentu sangat menyumbang besar sekali sebab krisis ekologi di Indonesia dengan
banyak memberikan izin perusahaan asing mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia,
sedangkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh negara asing; sementara lokasi eksploitasi
alam dengan cara penambangan biasanya dibiarkan terlantar. Penduduk di sekitar lokasi
pertambangan dibiarkan begitu saja menikmati alam yang telah dikeruk begitu rupa. Lahan-lahan
yang tadinya masih subur dan alami dialihfungsikan menjadi menjadi pabrik-pabrik atau lokasilokasi pertambangan; dengan berbekal izin baik dari pemerintah daerah hingga pemerintahan
pusat.
Fakta yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (-WALHI) menemukan bahwa
rakyat hanya memiliki 0,17 hektar lahan pribadi sedangkan sisanya dimiliki oleh perusahaan dan
pemerintah.7 Lalu 85% dari keseluruhan petani di Indonesia nyatanya tidak memiliki lahan sendiri
dan perempuan merupakan korban paling rentan dari segala krisis ekologi yang terjadi. Wawasan
perempuan Indonesia, khususnya di Jawa, yang masih lekat dengan penghormatan kepada alam
kemudian digantikan dengan sistem kapitalisme yang urung sampai dicerna oleh pengetahuan para
Khalisah Wahid, “Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”, dalam Dewi
Candraningrum (Ed.). Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah. (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm.
123-124
7
3
perempuan di pedesaan. Sistem ekonomi kapitalis mengabaikan keberlangsungan kehidupan
ekologi secara menyeluruh dan para perempuan.8
Para Kartini Kendeng Masih Berjuang
Kasus nyata yang sedang terjadi adalah perlawanan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di
sekitar Pegunungan Kendeng, Rembang untuk menolak pembangunan pabrik semen PT. Semen
Indonesia karena mengubah sama sekali kehidupan warga di sekitar pegunungan karst di
Kendeng.9 Para pelaku utama perlawanan itu adalah korban-korban yang paling dirugikan, yakni
para perempuan. Pada 13 April 2016 lalu ada sembilan perempuan yang juga merupakan petani
dari tiga kota di sekitar pegunungan Kendeng melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka
untuk memprotes pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia di Rembang dengan cara
mengecor kaki mereka dengan semen.10 Unjuk rasa dilakukan oleh para perempuan itu sebagai
bentuk perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah serta sikap pemerintah yang abai
dengan nasib hidup mereka kelak. Beberapa kali mereka menyuarakan protes, baik itu kepada
pemerintah daerah hingga pemerintah pusat namun tidak pernah didengar. Mulanya sejak 16 Juni
2014 para perempuan warga pegunungan karst Kendeng itu melakukan protes terhadap perusahaan
terkait dengan mendirikan tenda-tenda di jalan setapak pabrik. Setelahnya mereka melayangkan
gugatan terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah untuk pendirian
dan penambangan pabrik semen pada April 2015 namun ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang karena dianggap waktu untuk mengajukan gugatan sudah melewati
tenggat waktu. Pun selama para perempuan itu bergantian tinggal di tenda-tenda “perjuangan”,
tidak jarang berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh aparat kepolisian
namun tidak ada tindak lanjut secara hukum.11 Sebagaimana konferensi di Kairo telah membuat
8
Ibid., hlm 123
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Dewi Candraningrum terhadap Ibu Sukinah, penggerak para perempuan
untuk menolak pembangunan pabrik semen, menyatakan bahwa tadinya warga pedesaan di sekitar pegunungan
Kendeng hidup guyub dan salib berbagi; apa pun hasil alam untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka telah
tersedia begitu rupa; jika ada yang membutuhkan sayuran jenis tertentu mereka bisa minta kepada warga desa lain.
Namun sejak 1998 keadaan berubah. Ibu Sukinah menyebut keadaan ini “Biyen guyub. Saiki crah” (Dulu rukun,
kini pecah).
10
BBC Indonesia. Tolak Pembangunan Pabrik Semen, Sembilan Perempuan Cor Kaki.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160413_indonesia_protes_semen_istana diakses pada 4
Juni 2016
11
Tommy Apriando, “Perempuang Rembang Merawat Mata Air Kendeng: Kajian Dampak Tambang pada SRHR
(Sexual and Reproductive Health and Rights)”, dalam Candraningrum dan Hunga (Eds.), Ekofeminisme III, hlm.
351-352
9
4
program aksi promosi kesehatan seksual dan reproduksi yang disebutnya Sexual and Reproduction
Health and Rights (-SRHR), maka dalam praktiknya apa dialami oleh para perempuan Kendeng
tidak lagi mendapatkan SRHR yang sudah seharusnya menjadi hak mereka. Hak reproduksi
mereka terabaikan oleh karena kehadiran pabrik semen. Kerukunan antara tetangga dan antar
warga desa terpecah menjadi pihak yang mendukung dan yang menolak.12
Teologi Eko-Feminis yang Berpihak untuk Alam dan Perempuan
Para kaum feminis telah lama mengambil peran yang memelopori kegiatan-kegiatan aktif yang
berfokus pada isu-isu ekologi. Mereka memahami bahwa secara historis perempuan tidak hanya
berkaitan erat dengan alam, namun juga tekanan budaya baru telah menghimpit keberadaan
perempuan dan alam sekitarnya. Celia Deane-Drummond menyebutkan bahwa sebagian kaum
feminis sangat yakin mengenai pentingnya hubungan yang telah mereka namakan eco-feminism (ekofeminisme) sebagai ‘gerakan ketiga’ dari feminisme.13 Para kaum feminis menempatkan
gerakan ekofeminisme ini setara pada teologi pembebasan yang menekankan pada praksis yang
tidak hanya berkutat pada konsep teoretis, namun konsep-konsep teori itu pula dikembang-lakukan
pada praktik. Jika disinggungkan pada posisi berpolitik dalam ekofeminisme, maka yang muncul
adalah sikap konservatif yang hanya berfokus melulu untuk kepentingan alam dan perempuan saja,
hingga yang lebih radikal pada sikap-sikap yang mendambakan sikap politik yang universal dan
revolusioner.
Drummond mengatakan bahwa gerakan ekofeminis tidak selalu didasarkan pada nilai-nilai
keagamaan, namun di dalam teologi ekofeminis muncul perdebatan tentang bagaimana
merumuskan pemahaman mengenai Allah.14 Para feminis dikatakan telah begitu jengah
mengetahui banyak contoh kisah di Alkitab yang menggambarkan secara negatif para perempuan,
makanya tak jarang para feminis tidak selalu mendasarkan teologinya pertama-tama dari Alkitab.
Keadaan ini kemudian yang para teolog feminis upayakan untuk membarui tradisi Kekristenan
dari berbagai segi.15 Menurut Drummond, Alkitab telah ditulis oleh laki-laki yang hidup dalam
budaya patriarki yang cenderung lebih meninggikan derajat laki-laki, sedang perempuan
12
Ibid., hlm. 352
Celia Deane-Drummond. Eco-Theology. (London: Darton, Longman, and Todd Ltd, 2008), hlm. 146
14
Ibid.
15
Celia Deane-Drummond. Teologi dan Ekologi: Buku Pegangan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 59
13
5
dipandang sangat rendah. Budaya patriarkis itu kemudian terwujud ke dalam aspek hubunganhubungan sesama manusia yang bersifat hierarkis: laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Pula
penyebutan istilah-istilah yang diberikan untuk Allah selalu menggunakan sifat dan dari dunia
laki-laki, sebutlah: raja, gembala, bapa, dan kata ganti maskulin. Drummond menambahkan bahwa
pembacaan Alkitab menggunakan lensa feminis harus membongkar tradisi yang lama lekat dalam
Kekristenan.16 Ia menjelaskan bahwa teologi yang dirancang oleh perempuan haruslah
berdasarkan dari pengalaman perempuan dalam kerangka kesetaraan sosial. Makanya, upaya ini
bukan saja mengganti tradisi warisan patriarkis menjadi matriarkis, namun mengubah hierarki
dengan egalitarianisme, yakni paham yang menyatakan susunan masyarakat berdasarkan
kesetaraan. Pernyataan Drummond dalam menjelaskan tantangan teolog feminis terhadap teologi
tradisional tentu merupakan langkah yang sangat maju. Zaman post-modern pula membawa
dampak yang begitu besar terhadap pola pikir manusia dalam menyikapi segala sesuatu yang
tradisional. Zaman ini telah mengarahkan manusia pada penghargaan setiap individu; tak
memandang apakah ia laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin. Pemahaman
tradisional tak selalu dapat diterima lagi seutuhnya karena cara manusia kini mengekspresikan
dirinya sudah melampaui batas-batas tradisional itu. Manusia tentu masih dapat melihat yang
lampau itu sebagai kerangka evaluasi untuk kebutuhan masa kini dan masa depan. Makanya
teologi tradisional pun tidak dapat sepenuhnya dihapuskan karena itu akan mengkhianati
perjuangan para pemikir Kekristenan lampau. Kini, manusia dalam upaya untuk terus
menyesuaikan teologi pun harus sungguh-sungguh mengada dalam konteks perubahan sosial dan
zaman.
Pembangunan itu Maskulin
Bercermin dari konteks perubahan sosial yang mulai sadar dengan krisis ekologi, maka teologi
feminis pun bergerak untuk ‘menyelamatkan’ para perempuan dalam konteks krisis ekologi.
Belum banyak pembahasan krisis ekologi yang merefleksikan sumbangan perempuan, padahal
perempuanlah yang berperan lebih aktif untuk merawat bumi, namun perempuan jugalah korban
paling dirugikan dari pembangunan. Ide pembangunan bersamaan dengan penerapan ekonomi
kapitalis secara nyata telah menghilangkan sumber-sumber kehidupan perempuan karena alamnya
dirusak, pula ide pembangunan itu malah tidak menghargai wawasan perempuan terhadap
16
Ibid.
6
alamnya. Perempuan urung menjangkau perkembangan yang sedang terjadi namun mereka telah
dulu terus digerus oleh kekuasaan yang maskulin. Akibat ide pembangunan dan penerapan
ekonomi kapitalis yang bisa jadi bersifat maskulin itu, mengakibatkan perempuan akan terus
bergantung pada laki-laki. Bagaimana tidak? Perempuan masih belum banyak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan dalam mengelola sumber daya alam. Contoh kasus di atas telah
menjelaskan maskulinitas pembangunan pabrik semen. Ibu Sukinah yang tak kenal lelah berjuang
itu menjelaskan bahwa para petani perempuan di sekitar pegunungan karst Kendeng belum ada
satu pun yang dilibatkan oleh pemerintah maupun perusahaan terkait untuk membicarakan izin
penambangan hingga pembangunan pabrik semen di sana. Keadaan yang terjadi itu kemudian
dapat kita nilai bahwa para pemangku kepentingan saling berkelindan untuk memanfaatkan situasi
di Indonesia yang masih belum menjunjung tinggi keadilan dalam setiap aspek bermasyarakat dan
bernegaranya.
Titik berangkat berteologi ekofeminis haruslah berdasarkan pada pendekatan earth-centered
ketimbang analisis terhadap tradisi Kekristenan17 untuk membaca permasalahan yang menyangkut
ekologi. Pembacaan dengan menggunakan analisis terhadap tradisi Kekristenan bisa jadi tidak
akan menyelesaikan permasalahan karena lekat dengan paham dualitas yang memisahkan antara
manusia dengan alamnya. Situasi pemisahan itu tentunya melihat alam sebagai entitas lain di luar
diri manusia dan manusia boleh punya sikap apapun terhadap entitas di luar dirinya. Maka
pemisahan ini tak akan menghasilkan pembaruan untuk alam. Pendekatan yang melihat secara
nyata keadaan bumi saat ini akan sangat membantu bagaimana teologi feminis menentukan sikap
terhadap permasalahan kita hadapi bersama ini.
Ibu-Ibu Menangisi “Ibu”-nya
Di desa-desa biasanya kita mendapati bahwa perempuan lebih banyak bertanggung jawab untuk
urusan domestik: mengambil air untuk kebutuhan keluarga, semisal air minum, memasak, hingga
memberi makan binatang ternak mereka. Jalan yang harus mereka tempuh untuk mengambil air
bisa jadi dekat, namun tak jarang juga cukup jauh. Pada kasus perempuan Kendeng18, para
perempuan harus berjalan berkilo-kilo jauhnya untuk mengambil air yang ada di Cekungan Air
17
18
Drummond, Eco-Theology, hlm. 147
Berdasarkan pada hasil wawancara Dewi Candraningrum, Ekofeminisme III, hlm. 13
7
Tanah (-CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng, Rembang. CAT Watu Putih itu juga dipakai oleh
PDAM Rembang dan Blora untuk menyuplai air di daerah itu. Para perempuan hanya perlu
mengebor tanah beberapa meter dan air jernih akan keluar begitu melimpah. Makanya di sana, ada
belasan air sungai mampu mengaliri sawah-sawah dan tanaman palawija di daerahnya, sehingga
kesuburan itu tidak akan dapat digantikan dengan nominal uang berapapun. Dulunya, warga desa
biasa saling membagi sayur sehingga tidak perlu membeli karena segala sesuatu bagi mereka telah
tersedia dengan cukup.
Keadaan itu semua kemudian perlahan sirna dengan hadirnya banyak penambangan di
Pegunungan Kendeng. Mulai dari tambang galian pasir, tambang semen, dan penebangan liar
pohon-pohon Jati untuk kebutuhan industri mebel. Lalu, sejak tahun 2000 kelangkaan air mulai
terjadi di sana. Makanya sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini bahwa para perempuan
melakukan perlawanan begitu rupa. Namun yang menjadi menarik untuk dicermati adalah bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh Sukinah dan para petani perempuan lainnya adalah bukan dengan
jalan kekerasan.
Bentuk perlawanan Sukinah dan para Kartini Kendeng, sebutan untuk sembilan perempuan yang
melawan pembangunan pabrik semen di Kendeng, ini dilakukan dengan metafora-metafora yang
menjadi simbol Ibu mereka. Pemasungan kaki mereka menggunakan semen menjadi simbol bahwa
Ibu mereka tengah dikepung oleh metarial keras yang membuat Ibu bumi mereka kesulitan untuk
“bernafas”; pula menjadi simbol bahwa kehidupan para Kartini Kendeng dan warga tempat mereka
akan semakin kering dan tak sesubur dulu. Mereka menjadikan diri mereka sebagai simbol anakanak yang berjuang dengan kasih untuk menyelamatkan Ibu mereka yang sedang menderita atas
serangan penghancuran oleh tambang-tambang dan ditambah pembalakan pohon-pohon di hutan
sekitarnya. Sumber-sumber air di Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah
tanah lainnya diledakkan satu per satu. Suara dinamit selama empat hingga lima kali dalam satu
hari akrab terdengar dari tenda-tenda perjuangan yang didirikan oleh 85 ibu-ibu ketika tambang
semen pertama kali membuka tapaknya.19 Sukinah disaksikan oleh para ibu lain menceritakan
perasaannya melihat kenyataan yang ada di depan mereka; dengan mata berkaca-kaca mengatakan,
“Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Rasanya seperti melahirkan bayi secara sungsang .”
19
Candraningrum, Ekofeminisme III, hlm. 15
8
Kedekatan alam dengan manusia dan secara khusus dengan perempuan inilah yang menjadi upaya
untuk berteologi ekofeminis. Pada kasus Kartini Kendeng, wawasan mereka untuk mengelola
sumber daya alam telah dihancurkan oleh sebuah sistem ekonomi dan politik yang berjubah
pembangunan-kapitalis. Pembangunan bangsa yang di dalamnya membutuhkan semen yang rakus
kemudian menyertakan industri pertambangan. Namun jika menggunakan lensa ekofeminis, maka
industri tambang merupakan industri maskulin karena dalam praktiknya alat-alat yang digunakan
untuk menambang dan mengeruk bumi adalah alat-alat berat yang kokoh dan fungsinya
menghancurkan. Sifat-sifat itu melekat sekali pada sifat maskulin. Makanya dapat dikatakan
bahwa pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam itu bersifat maskulin. Jika begitu,
sudah berapa banyak kekuasaan maskulinitas telah terjadi dan akan terus terjadi di sekitar kita?
Seberapa pun banyaknya itu, perempuan pada akhirnya menjadi korban paling sengsara dari itu
semua.
Pada kasus Kendeng, sekiranya bukanya hanya alam rusak dan perempuan menjadi korban, namun
lebih luas dari itu, pembangunan yang telah bersifat maskulin itu perlahan-lahan akan
menghancurkan suatu tatanan sosial budaya lokal di sekitar pegunungan karst Kendeng.
Pemaparan Sukinah dan para ibu lain telah mengungkapkan situasi sosial mereka telah berubah
sama sekali. Situasi guyub itu telah dipecahkan oleh dominansi maskulinitas. Maka sejatinya,
persoalan yang lebih dalam adalah nilai-nilai spiritualitas masyarakat lokal telah dikoyak begitu
rupa. Perpecahan masyarakat antara yang menolak dan yang mendukung pembangunan pabrik
semen itu setidaknya menjelaskan bahwa ada sebagian dari masyarakat yang telah menghancurkan
nilai-nilai spiritualitas yang telah lama dipegangnya. Masyarakat yang pernah dekat dengan alam,
kini membiarkannya saja diatur oleh mereka yang dianggap dapat lebih menyejahterakan
kehidupan mereka melalui pembangunan tersebut. Namun bagi mereka yang melawan
pembangunan itu tentu masih menghidupkan nilai-nilai spiritualitas mereka sehingga betapa pun
usaha mereka, mereka tak akan berhenti melawan karena itulah identitas diri mereka.
Tugas Allah Genap Atas Para Kartini Kendeng, Lainnya???
Penciptaan manusia dengan karakter Imago Dei itu kemudian mengandaikan sebuah peran khusus
yang perlu dijelaskan secara konstruktif dengan perspektif ekofeminis. Allah memberikan mandat
9
kepada manusia agar mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, binatang
ternak, dan binatang melata dan mandat itu menjadi sesuatu yang khusus sampai Allah harus
menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah sendiri (Imago Dei). Borrong
mengungkapkan bahwa tafsiran mengenai imago Dei ini sendiri sangat berpengaruh terhadap
manusia dalam memahami dirinya sendiri.20 Makanya, jika penafsiran atas Imago Dei itu
melupakan bahwa ada perempuan di sana, maka penafsirannya akan jadi tetap maskulin.
Kenyatannya Imago Dei mencakup di dalamnya laki-laki dan perempuan. Konsep ini menjadi
segitiga yang berhubungan bahwa dalam diri Allah ada karakter laki-laki dan perempuan yang di
kemudian hari kita membagi gendernya atas maskulin dan feminin. Demikian pula pada diri lakilaki dan perempuan sejatinya mengandung unsur ilahi yang butuh diwujudkan ke dalam kasih
terhadap entitas di luar diri mereka; pun begitu selain unsur ilahi pada diri manusia, nyatanya baik
laki-laki dan perempuan akan selalu memiliki dua aspek gender: maskulin dan feminin. Laki-laki
tak baik jika terlalu dominan atas maskulinitasnya karena akan menghancurkan, sehingga butuh
aspek feminin yang memulihkan. Begitu pula pada diri perempuan tidak baik jika terlalu feminin
karena mereka tidak akan sanggup melawan ketertindasan mereka, sehingga butuhlah unsur
maskulin dalam diri mereka untuk mampu berjuang menyetarakan diri.
Para perempuan Kendeng setidaknya menerapkan tugas Allah sendiri untuk menguasai dan
menaklukkan bumi dengan tindakan keibuan mereka. Mereka telah dan terus berupaya untuk
menyetarakan derajat manusia dengan alamnya. Para petani Kendeng telah hidup lekat dengan
alam; di sana mereka membentuk peradaban, membentuk budaya, kehidupan, dan melahirkan
nilai-nilai spiritualitas yang mengasihi alam. Pun begitu, para perempuan Kendeng yang merawat
alam sekitarnya dan memperjuangkan kehidupan alamnya itu sejatinya telah memenuhi tanggung
jawab kepada Allah sendiri.21 Mereka berbeda dari para pelaku eksploitasi yang telah keliru dalam
keputusan dan tindakan mereka untuk menjalankan tugas yang harus diemban dari Allah.
Nyatanya dunia kita sedang mengalami disharmoni pada dirinya. Krisis ekologi telah, sedang, dan
akan terus terjadi. Namun pembangunan berkelanjutan akan melanggengkan krisis ekologi itu.
20
21
Robert P. Borrong. Etika Bumi Baru. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 220
Emanuel Gerrit Singgih. Dari Eden ke Babel. (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 64.
10
Pengembangan serta kreativitas untuk menciptakan barang terus dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan dan gaya hidup manusia yang semakin modern. Hanya saja, hal ini kemudian menjadi
salah karena manusia tidak memberi kesempatan bumi ini untuk merekonstruksi dirinya sebelum
siap untuk digunakan. Demi mendapatkan bahan baku untuk membuat barang-barang produksi,
manusia menekan bumi, tempat mereka berada, secara paksa sehingga terjadi dekonstruksi secara
terus-menerus. Banyak persoalan lingkungan hidup yang muncul dalam pemberitaan-pemberitaan
di media-media. Dunia telah menjadi begitu destruktif karena sistem ekonominya yang bertumbuh
secara eksponensial terus menguras sumber-sumber alam di dalamnya sehingga tidak memberikan
kesempatan alam untuk mendaur ulang dan memulihkan dirinya. Sementara jika mengamati situasi
kini, sistem ekonomi harusnya menggandeng erat norma-norma ekofeminis. Alam lebih dari
sekadar bernilai ekonomis, karena alam adalah oikos bagi semua ciptaan yang termasuk di
dalamnya para perempuan, anak-anak, dan mereka yang selalu dipinggirkan. Namun jika alam
tetap diperlakukan eksploitatif, permasalahannya bukan pada ekonomi atau ekologinya, melainkan
pelaku penataan rumah tangganya, yakni manusia.22 Maka, akibat pelestarian dominansi
maskulinitas ini terhadap alam yang berdampak parah kepada perempuan, tentu dituntut sebuah
pertanggungjawaban besar.
Dalam diamnya alam itu pun, alam membiarkan dirinya menjadi sebagaimana adanya alam. Jika
alam diam, bisa jadi itulah alasan manusia bebas bertindak apa saja kepada alam. Hanya saja,
manusia perlu memahami bahwa menggunakan apa yang alam miliki secara berlebihan justru akan
berdampak buruk bagi alam semesta itu sendiri. Bukan hanya berdampak buruk bagi alam semesta,
namun juga berdampak bagi manusia. Di dalam segala keteraturan dan harmoni yang tercipta
antara makrokosmos dan mikrokosmos, akan terjalin suatu kehidupan yang baik. Sebaliknya,
ketika harmoni alam diusik; ketika alam tidak lagi dibiarkan berlaku sebagaimana adanya alam
itu, maka jalinan kehidupan tersebut akan berbalik menentang yang satunya. Makrokosmos akan
menentang mikrokosmos sehingga menyebabkan ketidakteraturan. Maka baiklah manusia sebagai
mikrokosmos memandang alam semesta, yang merupakan makrokosmos tersebut sebagai bagian
integral dari kehidupannya karena keduanya akan terus saling melengkapi.
22
Borrong. Op.cit., hlm. 149
11
DAFTAR PUSTAKA
Apriando, Tommy, “Perempuang Rembang Merawat Mata Air Kendeng: Kajian Dampak
Tambang pada SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights)”,
dalam Dewi
Candraningrum dan Arianti I.R. Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan
Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015)
Borrong, Robert P. Etika Bumi Baru. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999)
Candraningrum, Dewi, “Politik Rahim Perempuan Kendeng: Kajian SRHR & Perubahan Iklim”,
dalam Dewi Candraningrum dan Arianti I.R. Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang,
Perubahan Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015)
Drummond, Celia Deane. Eco-Theology. (London: Darton, Longman, and Todd Ltd, 2008)
Drummond, Celia Deane. Teologi dan Ekologi: Buku Pegangan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012)
Michaelson, Wesley Granberg. Menebus Ciptaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Singgih, Emanuel Gerrit. Dari Eden ke Babel. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)
Wahid, Khalisah, “Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”,
dalam Dewi Candraningrum (Ed.). Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah.
(Yogyakarta: Jalasutra, 2014)
SUMBER INTERNET
BBC Indonesia. Tolak Pembangunan Pabrik Semen, Sembilan Perempuan Cor Kaki.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160413_indonesia_protes_semen
_istana diakses pada 4 Juni 2016
12
Para Kartini Kendeng Masih Menangisi “Ibu’-nya:
Kajian Ekofeminisme terhadap Peran Perempuan dalam Melawan
Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng, Rembang
Pembangunan Telah Gagal(-kah?)
Pembangunan telah gagal menunaikan tujuannya untuk menyejahterakan rakyatnya. Setidaknya
demikianlah pembahasan awal Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (-KTT Bumi) di Rio de Janeiro.1
Masa setelah Perang Dunia II berakhir, dunia berupaya untuk memulihkan kembali perekonomian
dunia dengan gagasan pembangunan menuju kemakmuran dan keamanan global. Namun
praktiknya, pembangunan telah membuat banyak negara terpuruk, khususnya negara-negara di
Selatan. Maka ketika ukuran suatu pembangunan negara diukur berdasarkan produktivitas,
kemudian yang muncul adalah sebutan negara “berkembang” dan negara “terbelakang” sehingga
dibutuhkan perencanaan lebih matang untuk meningkatkan derajat ekonomi negara-negara
“terbelakang” dengan penanaman modal dari negara-negara yang lebih maju. Namun hal ini
menjadi suatu kritik tersendiri karena keuntungan paling besar hanya akan diperoleh negara-negara
yang menanam modal meski derajat perekonomian suatu negara dapat meningkat, tetap akhirnya
dampak pembangunan yang dilakukan di negara yang ditanami modal meninggalkan kerusakan
lingkungan yang cukup besar untuk dapat ditangani.
Pada KTT Bumi pula membahas persoalan andaikata semua negara diarahkan untuk terus
berkembang berdasarkan ukuran ideal dari negara-negara yang telah berkembang terlebih dulu,
hasilnya adalah kerusakan bumi yang lebih parah karena pembangunan akan terus membutuhkan
bahan-bahan dasar yang asalnya dari dalam bumi.2 Herman Daly menyebutkan bahwa gagasan
pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan telah salah arah karena yang dilakukan dalam
pembangunan itu tidak melihat pembangunan secara teliti hingga ke suatu sub-sistem yang
membentuk kehidupan ekonomi, melainkan semua aras pembangunan dilakukan secara merata
berdasarkan sistem yang lebih umum saja. Makanya bisa jadi, Daly menambahkan, bahwa dalam
1
2
Wesley Granberg-Michaelson. Menebus Ciptaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 6
Ibid., hlm. 9
1
era pembangunan suatu negara, pendapatan per kapita penduduknya secara bertahap meningkat,
namun kesejahteraan penduduknya malah semakin menurun.3 Jika begitu, makanya pembangunan
yang dilakukan itu bisa jadi hanya memiliki visi jangka pendek untuk kepentingan kehidupan masa
kini saja dan belum berpikir terlalu jauh untuk keberlangsungan kehidupan yang akan datang;
akibat pembangunan masa kini yang merusak lingkungan, maka kehidupan masa datang tidak
semakin terjamin kesejahteraannya.
Konferensi yang dilangsungkan sejak konferensi Stockholm pada 1972 hingga konferensi Rio de
Janeiro 1992 setidaknya membuka kesadaran para pemimpin bangsa, utamanya mereka yang ada
di Amerika Serikat tentang perubahan iklim secara global. Akibat produk-produk pembangunan
yang diaplikasikan pada ranah domestik di Amerika Serikat telah mencemari banyak kehidupan
yang berujung pada kematian, makanya muncul kesadaran bahwa sumber pencemaran yang
sifatnya lokal itu telah berdampak secara global dan siapa pun di dunia harus turut prihatin
mengenai hal ini.4 Kemudian dalam dua dekade sehabis konferensi Stockholm, muncul banyak
sekali lembaga swadaya masyarakat di negara-negara bagian Selatan yang menyuarakan
keprihatinannya hingga terdengar di konferensi Rio de Janeiro. Pemerintah-pemerintah lalu
mendengar suara-suara mereka dan menganalisis dengan begitu dalam permasalahan
permasalahan yang terjadi. Organisasi-organisasi internasional kemudian dalam setiap pertemuan
menghasilkan keputusan-keputusan untuk mengatasi dampak kerusakan alam itu dan banyak
ditandatangani oleh para pemimpin negara.5 Pun begitu tentu kita dapat menilai apakah
persetujuan para pemimpin atau wakil setiap negara terwujud dalam kebijakan-kebijakan
negaranya; utamanya Indonesia yang juga termasuk dalam konferensi tersebut.
Pembangunan di Indonesia Bermuka Dua
Pada 1994, sekira 179 negara bertemu di Kairo dalam sebuah konferensi internasional yang
membahas aksi untuk populasi dan pembangunan.6 Konferensi ini dilangsungkan berdasarkan
3
Ibid., hlm. 10
Ibid., hlm. 17
5
Ibid., hlm. 21
6
Konferensi itu bernama International Conference for Population and Development. Dewi Candraningrum, “Politik
Rahim Perempuan Kendeng: Kajian SRHR & Perubahan Iklim”, dalam Dewi Candraningrum dan Arianti I.R.
Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015),
hlm. 1
4
2
pada dampak pembangunan yang korbannya kebanyakan adalah mereka yang lebih lemah, yakni
perempuan dan anak-anak, serta alam sekitar mereka bertempat tinggal. Di Indonesia sendiri pada
era Orde Baru, pemerintah mulai gencar melakukan pembangunan ketika perekonomian bangsa
mulai menggeliat naik pada 1980-an. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kala
itu tak ubahnya aturan yang tak dapat dilawan sehingga rakyat harus ikut serta dalam program
pemerintahan. Segala sesuatu diatur oleh pemerintah dan rakyat harus ikut. Di bidang agraria,
pemerintah menentukan jenis padi yang harus ditanam dan dikonsumsi oleh rakyat. Namun
produk-produk yang digunakan nyatanya mengandung banyak bahan kimia yang tak memberi
manfaat untuk tanah; malah pelan-pelan membuat tanah kering, tandus, dan sulit untuk diolah lagi.
Kebijakan pemerintah kemudian berimbas pada kesehatan rakyatnya yang kian memburuk; yang
paling dirugikan tentunya adalah para perempuan dan anak-anak; muncul jenis-jenis penyakit baru
hingga tingkat kecerdasan rakyat yang sangat kurang karena asupan gizi yang buruk. Parahnya
rezim Soeharto tentu sangat menyumbang besar sekali sebab krisis ekologi di Indonesia dengan
banyak memberikan izin perusahaan asing mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia,
sedangkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh negara asing; sementara lokasi eksploitasi
alam dengan cara penambangan biasanya dibiarkan terlantar. Penduduk di sekitar lokasi
pertambangan dibiarkan begitu saja menikmati alam yang telah dikeruk begitu rupa. Lahan-lahan
yang tadinya masih subur dan alami dialihfungsikan menjadi menjadi pabrik-pabrik atau lokasilokasi pertambangan; dengan berbekal izin baik dari pemerintah daerah hingga pemerintahan
pusat.
Fakta yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (-WALHI) menemukan bahwa
rakyat hanya memiliki 0,17 hektar lahan pribadi sedangkan sisanya dimiliki oleh perusahaan dan
pemerintah.7 Lalu 85% dari keseluruhan petani di Indonesia nyatanya tidak memiliki lahan sendiri
dan perempuan merupakan korban paling rentan dari segala krisis ekologi yang terjadi. Wawasan
perempuan Indonesia, khususnya di Jawa, yang masih lekat dengan penghormatan kepada alam
kemudian digantikan dengan sistem kapitalisme yang urung sampai dicerna oleh pengetahuan para
Khalisah Wahid, “Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”, dalam Dewi
Candraningrum (Ed.). Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah. (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm.
123-124
7
3
perempuan di pedesaan. Sistem ekonomi kapitalis mengabaikan keberlangsungan kehidupan
ekologi secara menyeluruh dan para perempuan.8
Para Kartini Kendeng Masih Berjuang
Kasus nyata yang sedang terjadi adalah perlawanan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di
sekitar Pegunungan Kendeng, Rembang untuk menolak pembangunan pabrik semen PT. Semen
Indonesia karena mengubah sama sekali kehidupan warga di sekitar pegunungan karst di
Kendeng.9 Para pelaku utama perlawanan itu adalah korban-korban yang paling dirugikan, yakni
para perempuan. Pada 13 April 2016 lalu ada sembilan perempuan yang juga merupakan petani
dari tiga kota di sekitar pegunungan Kendeng melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka
untuk memprotes pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia di Rembang dengan cara
mengecor kaki mereka dengan semen.10 Unjuk rasa dilakukan oleh para perempuan itu sebagai
bentuk perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah serta sikap pemerintah yang abai
dengan nasib hidup mereka kelak. Beberapa kali mereka menyuarakan protes, baik itu kepada
pemerintah daerah hingga pemerintah pusat namun tidak pernah didengar. Mulanya sejak 16 Juni
2014 para perempuan warga pegunungan karst Kendeng itu melakukan protes terhadap perusahaan
terkait dengan mendirikan tenda-tenda di jalan setapak pabrik. Setelahnya mereka melayangkan
gugatan terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah untuk pendirian
dan penambangan pabrik semen pada April 2015 namun ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang karena dianggap waktu untuk mengajukan gugatan sudah melewati
tenggat waktu. Pun selama para perempuan itu bergantian tinggal di tenda-tenda “perjuangan”,
tidak jarang berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh aparat kepolisian
namun tidak ada tindak lanjut secara hukum.11 Sebagaimana konferensi di Kairo telah membuat
8
Ibid., hlm 123
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Dewi Candraningrum terhadap Ibu Sukinah, penggerak para perempuan
untuk menolak pembangunan pabrik semen, menyatakan bahwa tadinya warga pedesaan di sekitar pegunungan
Kendeng hidup guyub dan salib berbagi; apa pun hasil alam untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka telah
tersedia begitu rupa; jika ada yang membutuhkan sayuran jenis tertentu mereka bisa minta kepada warga desa lain.
Namun sejak 1998 keadaan berubah. Ibu Sukinah menyebut keadaan ini “Biyen guyub. Saiki crah” (Dulu rukun,
kini pecah).
10
BBC Indonesia. Tolak Pembangunan Pabrik Semen, Sembilan Perempuan Cor Kaki.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160413_indonesia_protes_semen_istana diakses pada 4
Juni 2016
11
Tommy Apriando, “Perempuang Rembang Merawat Mata Air Kendeng: Kajian Dampak Tambang pada SRHR
(Sexual and Reproductive Health and Rights)”, dalam Candraningrum dan Hunga (Eds.), Ekofeminisme III, hlm.
351-352
9
4
program aksi promosi kesehatan seksual dan reproduksi yang disebutnya Sexual and Reproduction
Health and Rights (-SRHR), maka dalam praktiknya apa dialami oleh para perempuan Kendeng
tidak lagi mendapatkan SRHR yang sudah seharusnya menjadi hak mereka. Hak reproduksi
mereka terabaikan oleh karena kehadiran pabrik semen. Kerukunan antara tetangga dan antar
warga desa terpecah menjadi pihak yang mendukung dan yang menolak.12
Teologi Eko-Feminis yang Berpihak untuk Alam dan Perempuan
Para kaum feminis telah lama mengambil peran yang memelopori kegiatan-kegiatan aktif yang
berfokus pada isu-isu ekologi. Mereka memahami bahwa secara historis perempuan tidak hanya
berkaitan erat dengan alam, namun juga tekanan budaya baru telah menghimpit keberadaan
perempuan dan alam sekitarnya. Celia Deane-Drummond menyebutkan bahwa sebagian kaum
feminis sangat yakin mengenai pentingnya hubungan yang telah mereka namakan eco-feminism (ekofeminisme) sebagai ‘gerakan ketiga’ dari feminisme.13 Para kaum feminis menempatkan
gerakan ekofeminisme ini setara pada teologi pembebasan yang menekankan pada praksis yang
tidak hanya berkutat pada konsep teoretis, namun konsep-konsep teori itu pula dikembang-lakukan
pada praktik. Jika disinggungkan pada posisi berpolitik dalam ekofeminisme, maka yang muncul
adalah sikap konservatif yang hanya berfokus melulu untuk kepentingan alam dan perempuan saja,
hingga yang lebih radikal pada sikap-sikap yang mendambakan sikap politik yang universal dan
revolusioner.
Drummond mengatakan bahwa gerakan ekofeminis tidak selalu didasarkan pada nilai-nilai
keagamaan, namun di dalam teologi ekofeminis muncul perdebatan tentang bagaimana
merumuskan pemahaman mengenai Allah.14 Para feminis dikatakan telah begitu jengah
mengetahui banyak contoh kisah di Alkitab yang menggambarkan secara negatif para perempuan,
makanya tak jarang para feminis tidak selalu mendasarkan teologinya pertama-tama dari Alkitab.
Keadaan ini kemudian yang para teolog feminis upayakan untuk membarui tradisi Kekristenan
dari berbagai segi.15 Menurut Drummond, Alkitab telah ditulis oleh laki-laki yang hidup dalam
budaya patriarki yang cenderung lebih meninggikan derajat laki-laki, sedang perempuan
12
Ibid., hlm. 352
Celia Deane-Drummond. Eco-Theology. (London: Darton, Longman, and Todd Ltd, 2008), hlm. 146
14
Ibid.
15
Celia Deane-Drummond. Teologi dan Ekologi: Buku Pegangan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 59
13
5
dipandang sangat rendah. Budaya patriarkis itu kemudian terwujud ke dalam aspek hubunganhubungan sesama manusia yang bersifat hierarkis: laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Pula
penyebutan istilah-istilah yang diberikan untuk Allah selalu menggunakan sifat dan dari dunia
laki-laki, sebutlah: raja, gembala, bapa, dan kata ganti maskulin. Drummond menambahkan bahwa
pembacaan Alkitab menggunakan lensa feminis harus membongkar tradisi yang lama lekat dalam
Kekristenan.16 Ia menjelaskan bahwa teologi yang dirancang oleh perempuan haruslah
berdasarkan dari pengalaman perempuan dalam kerangka kesetaraan sosial. Makanya, upaya ini
bukan saja mengganti tradisi warisan patriarkis menjadi matriarkis, namun mengubah hierarki
dengan egalitarianisme, yakni paham yang menyatakan susunan masyarakat berdasarkan
kesetaraan. Pernyataan Drummond dalam menjelaskan tantangan teolog feminis terhadap teologi
tradisional tentu merupakan langkah yang sangat maju. Zaman post-modern pula membawa
dampak yang begitu besar terhadap pola pikir manusia dalam menyikapi segala sesuatu yang
tradisional. Zaman ini telah mengarahkan manusia pada penghargaan setiap individu; tak
memandang apakah ia laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin. Pemahaman
tradisional tak selalu dapat diterima lagi seutuhnya karena cara manusia kini mengekspresikan
dirinya sudah melampaui batas-batas tradisional itu. Manusia tentu masih dapat melihat yang
lampau itu sebagai kerangka evaluasi untuk kebutuhan masa kini dan masa depan. Makanya
teologi tradisional pun tidak dapat sepenuhnya dihapuskan karena itu akan mengkhianati
perjuangan para pemikir Kekristenan lampau. Kini, manusia dalam upaya untuk terus
menyesuaikan teologi pun harus sungguh-sungguh mengada dalam konteks perubahan sosial dan
zaman.
Pembangunan itu Maskulin
Bercermin dari konteks perubahan sosial yang mulai sadar dengan krisis ekologi, maka teologi
feminis pun bergerak untuk ‘menyelamatkan’ para perempuan dalam konteks krisis ekologi.
Belum banyak pembahasan krisis ekologi yang merefleksikan sumbangan perempuan, padahal
perempuanlah yang berperan lebih aktif untuk merawat bumi, namun perempuan jugalah korban
paling dirugikan dari pembangunan. Ide pembangunan bersamaan dengan penerapan ekonomi
kapitalis secara nyata telah menghilangkan sumber-sumber kehidupan perempuan karena alamnya
dirusak, pula ide pembangunan itu malah tidak menghargai wawasan perempuan terhadap
16
Ibid.
6
alamnya. Perempuan urung menjangkau perkembangan yang sedang terjadi namun mereka telah
dulu terus digerus oleh kekuasaan yang maskulin. Akibat ide pembangunan dan penerapan
ekonomi kapitalis yang bisa jadi bersifat maskulin itu, mengakibatkan perempuan akan terus
bergantung pada laki-laki. Bagaimana tidak? Perempuan masih belum banyak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan dalam mengelola sumber daya alam. Contoh kasus di atas telah
menjelaskan maskulinitas pembangunan pabrik semen. Ibu Sukinah yang tak kenal lelah berjuang
itu menjelaskan bahwa para petani perempuan di sekitar pegunungan karst Kendeng belum ada
satu pun yang dilibatkan oleh pemerintah maupun perusahaan terkait untuk membicarakan izin
penambangan hingga pembangunan pabrik semen di sana. Keadaan yang terjadi itu kemudian
dapat kita nilai bahwa para pemangku kepentingan saling berkelindan untuk memanfaatkan situasi
di Indonesia yang masih belum menjunjung tinggi keadilan dalam setiap aspek bermasyarakat dan
bernegaranya.
Titik berangkat berteologi ekofeminis haruslah berdasarkan pada pendekatan earth-centered
ketimbang analisis terhadap tradisi Kekristenan17 untuk membaca permasalahan yang menyangkut
ekologi. Pembacaan dengan menggunakan analisis terhadap tradisi Kekristenan bisa jadi tidak
akan menyelesaikan permasalahan karena lekat dengan paham dualitas yang memisahkan antara
manusia dengan alamnya. Situasi pemisahan itu tentunya melihat alam sebagai entitas lain di luar
diri manusia dan manusia boleh punya sikap apapun terhadap entitas di luar dirinya. Maka
pemisahan ini tak akan menghasilkan pembaruan untuk alam. Pendekatan yang melihat secara
nyata keadaan bumi saat ini akan sangat membantu bagaimana teologi feminis menentukan sikap
terhadap permasalahan kita hadapi bersama ini.
Ibu-Ibu Menangisi “Ibu”-nya
Di desa-desa biasanya kita mendapati bahwa perempuan lebih banyak bertanggung jawab untuk
urusan domestik: mengambil air untuk kebutuhan keluarga, semisal air minum, memasak, hingga
memberi makan binatang ternak mereka. Jalan yang harus mereka tempuh untuk mengambil air
bisa jadi dekat, namun tak jarang juga cukup jauh. Pada kasus perempuan Kendeng18, para
perempuan harus berjalan berkilo-kilo jauhnya untuk mengambil air yang ada di Cekungan Air
17
18
Drummond, Eco-Theology, hlm. 147
Berdasarkan pada hasil wawancara Dewi Candraningrum, Ekofeminisme III, hlm. 13
7
Tanah (-CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng, Rembang. CAT Watu Putih itu juga dipakai oleh
PDAM Rembang dan Blora untuk menyuplai air di daerah itu. Para perempuan hanya perlu
mengebor tanah beberapa meter dan air jernih akan keluar begitu melimpah. Makanya di sana, ada
belasan air sungai mampu mengaliri sawah-sawah dan tanaman palawija di daerahnya, sehingga
kesuburan itu tidak akan dapat digantikan dengan nominal uang berapapun. Dulunya, warga desa
biasa saling membagi sayur sehingga tidak perlu membeli karena segala sesuatu bagi mereka telah
tersedia dengan cukup.
Keadaan itu semua kemudian perlahan sirna dengan hadirnya banyak penambangan di
Pegunungan Kendeng. Mulai dari tambang galian pasir, tambang semen, dan penebangan liar
pohon-pohon Jati untuk kebutuhan industri mebel. Lalu, sejak tahun 2000 kelangkaan air mulai
terjadi di sana. Makanya sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini bahwa para perempuan
melakukan perlawanan begitu rupa. Namun yang menjadi menarik untuk dicermati adalah bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh Sukinah dan para petani perempuan lainnya adalah bukan dengan
jalan kekerasan.
Bentuk perlawanan Sukinah dan para Kartini Kendeng, sebutan untuk sembilan perempuan yang
melawan pembangunan pabrik semen di Kendeng, ini dilakukan dengan metafora-metafora yang
menjadi simbol Ibu mereka. Pemasungan kaki mereka menggunakan semen menjadi simbol bahwa
Ibu mereka tengah dikepung oleh metarial keras yang membuat Ibu bumi mereka kesulitan untuk
“bernafas”; pula menjadi simbol bahwa kehidupan para Kartini Kendeng dan warga tempat mereka
akan semakin kering dan tak sesubur dulu. Mereka menjadikan diri mereka sebagai simbol anakanak yang berjuang dengan kasih untuk menyelamatkan Ibu mereka yang sedang menderita atas
serangan penghancuran oleh tambang-tambang dan ditambah pembalakan pohon-pohon di hutan
sekitarnya. Sumber-sumber air di Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah
tanah lainnya diledakkan satu per satu. Suara dinamit selama empat hingga lima kali dalam satu
hari akrab terdengar dari tenda-tenda perjuangan yang didirikan oleh 85 ibu-ibu ketika tambang
semen pertama kali membuka tapaknya.19 Sukinah disaksikan oleh para ibu lain menceritakan
perasaannya melihat kenyataan yang ada di depan mereka; dengan mata berkaca-kaca mengatakan,
“Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Rasanya seperti melahirkan bayi secara sungsang .”
19
Candraningrum, Ekofeminisme III, hlm. 15
8
Kedekatan alam dengan manusia dan secara khusus dengan perempuan inilah yang menjadi upaya
untuk berteologi ekofeminis. Pada kasus Kartini Kendeng, wawasan mereka untuk mengelola
sumber daya alam telah dihancurkan oleh sebuah sistem ekonomi dan politik yang berjubah
pembangunan-kapitalis. Pembangunan bangsa yang di dalamnya membutuhkan semen yang rakus
kemudian menyertakan industri pertambangan. Namun jika menggunakan lensa ekofeminis, maka
industri tambang merupakan industri maskulin karena dalam praktiknya alat-alat yang digunakan
untuk menambang dan mengeruk bumi adalah alat-alat berat yang kokoh dan fungsinya
menghancurkan. Sifat-sifat itu melekat sekali pada sifat maskulin. Makanya dapat dikatakan
bahwa pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam itu bersifat maskulin. Jika begitu,
sudah berapa banyak kekuasaan maskulinitas telah terjadi dan akan terus terjadi di sekitar kita?
Seberapa pun banyaknya itu, perempuan pada akhirnya menjadi korban paling sengsara dari itu
semua.
Pada kasus Kendeng, sekiranya bukanya hanya alam rusak dan perempuan menjadi korban, namun
lebih luas dari itu, pembangunan yang telah bersifat maskulin itu perlahan-lahan akan
menghancurkan suatu tatanan sosial budaya lokal di sekitar pegunungan karst Kendeng.
Pemaparan Sukinah dan para ibu lain telah mengungkapkan situasi sosial mereka telah berubah
sama sekali. Situasi guyub itu telah dipecahkan oleh dominansi maskulinitas. Maka sejatinya,
persoalan yang lebih dalam adalah nilai-nilai spiritualitas masyarakat lokal telah dikoyak begitu
rupa. Perpecahan masyarakat antara yang menolak dan yang mendukung pembangunan pabrik
semen itu setidaknya menjelaskan bahwa ada sebagian dari masyarakat yang telah menghancurkan
nilai-nilai spiritualitas yang telah lama dipegangnya. Masyarakat yang pernah dekat dengan alam,
kini membiarkannya saja diatur oleh mereka yang dianggap dapat lebih menyejahterakan
kehidupan mereka melalui pembangunan tersebut. Namun bagi mereka yang melawan
pembangunan itu tentu masih menghidupkan nilai-nilai spiritualitas mereka sehingga betapa pun
usaha mereka, mereka tak akan berhenti melawan karena itulah identitas diri mereka.
Tugas Allah Genap Atas Para Kartini Kendeng, Lainnya???
Penciptaan manusia dengan karakter Imago Dei itu kemudian mengandaikan sebuah peran khusus
yang perlu dijelaskan secara konstruktif dengan perspektif ekofeminis. Allah memberikan mandat
9
kepada manusia agar mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, binatang
ternak, dan binatang melata dan mandat itu menjadi sesuatu yang khusus sampai Allah harus
menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah sendiri (Imago Dei). Borrong
mengungkapkan bahwa tafsiran mengenai imago Dei ini sendiri sangat berpengaruh terhadap
manusia dalam memahami dirinya sendiri.20 Makanya, jika penafsiran atas Imago Dei itu
melupakan bahwa ada perempuan di sana, maka penafsirannya akan jadi tetap maskulin.
Kenyatannya Imago Dei mencakup di dalamnya laki-laki dan perempuan. Konsep ini menjadi
segitiga yang berhubungan bahwa dalam diri Allah ada karakter laki-laki dan perempuan yang di
kemudian hari kita membagi gendernya atas maskulin dan feminin. Demikian pula pada diri lakilaki dan perempuan sejatinya mengandung unsur ilahi yang butuh diwujudkan ke dalam kasih
terhadap entitas di luar diri mereka; pun begitu selain unsur ilahi pada diri manusia, nyatanya baik
laki-laki dan perempuan akan selalu memiliki dua aspek gender: maskulin dan feminin. Laki-laki
tak baik jika terlalu dominan atas maskulinitasnya karena akan menghancurkan, sehingga butuh
aspek feminin yang memulihkan. Begitu pula pada diri perempuan tidak baik jika terlalu feminin
karena mereka tidak akan sanggup melawan ketertindasan mereka, sehingga butuhlah unsur
maskulin dalam diri mereka untuk mampu berjuang menyetarakan diri.
Para perempuan Kendeng setidaknya menerapkan tugas Allah sendiri untuk menguasai dan
menaklukkan bumi dengan tindakan keibuan mereka. Mereka telah dan terus berupaya untuk
menyetarakan derajat manusia dengan alamnya. Para petani Kendeng telah hidup lekat dengan
alam; di sana mereka membentuk peradaban, membentuk budaya, kehidupan, dan melahirkan
nilai-nilai spiritualitas yang mengasihi alam. Pun begitu, para perempuan Kendeng yang merawat
alam sekitarnya dan memperjuangkan kehidupan alamnya itu sejatinya telah memenuhi tanggung
jawab kepada Allah sendiri.21 Mereka berbeda dari para pelaku eksploitasi yang telah keliru dalam
keputusan dan tindakan mereka untuk menjalankan tugas yang harus diemban dari Allah.
Nyatanya dunia kita sedang mengalami disharmoni pada dirinya. Krisis ekologi telah, sedang, dan
akan terus terjadi. Namun pembangunan berkelanjutan akan melanggengkan krisis ekologi itu.
20
21
Robert P. Borrong. Etika Bumi Baru. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 220
Emanuel Gerrit Singgih. Dari Eden ke Babel. (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 64.
10
Pengembangan serta kreativitas untuk menciptakan barang terus dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan dan gaya hidup manusia yang semakin modern. Hanya saja, hal ini kemudian menjadi
salah karena manusia tidak memberi kesempatan bumi ini untuk merekonstruksi dirinya sebelum
siap untuk digunakan. Demi mendapatkan bahan baku untuk membuat barang-barang produksi,
manusia menekan bumi, tempat mereka berada, secara paksa sehingga terjadi dekonstruksi secara
terus-menerus. Banyak persoalan lingkungan hidup yang muncul dalam pemberitaan-pemberitaan
di media-media. Dunia telah menjadi begitu destruktif karena sistem ekonominya yang bertumbuh
secara eksponensial terus menguras sumber-sumber alam di dalamnya sehingga tidak memberikan
kesempatan alam untuk mendaur ulang dan memulihkan dirinya. Sementara jika mengamati situasi
kini, sistem ekonomi harusnya menggandeng erat norma-norma ekofeminis. Alam lebih dari
sekadar bernilai ekonomis, karena alam adalah oikos bagi semua ciptaan yang termasuk di
dalamnya para perempuan, anak-anak, dan mereka yang selalu dipinggirkan. Namun jika alam
tetap diperlakukan eksploitatif, permasalahannya bukan pada ekonomi atau ekologinya, melainkan
pelaku penataan rumah tangganya, yakni manusia.22 Maka, akibat pelestarian dominansi
maskulinitas ini terhadap alam yang berdampak parah kepada perempuan, tentu dituntut sebuah
pertanggungjawaban besar.
Dalam diamnya alam itu pun, alam membiarkan dirinya menjadi sebagaimana adanya alam. Jika
alam diam, bisa jadi itulah alasan manusia bebas bertindak apa saja kepada alam. Hanya saja,
manusia perlu memahami bahwa menggunakan apa yang alam miliki secara berlebihan justru akan
berdampak buruk bagi alam semesta itu sendiri. Bukan hanya berdampak buruk bagi alam semesta,
namun juga berdampak bagi manusia. Di dalam segala keteraturan dan harmoni yang tercipta
antara makrokosmos dan mikrokosmos, akan terjalin suatu kehidupan yang baik. Sebaliknya,
ketika harmoni alam diusik; ketika alam tidak lagi dibiarkan berlaku sebagaimana adanya alam
itu, maka jalinan kehidupan tersebut akan berbalik menentang yang satunya. Makrokosmos akan
menentang mikrokosmos sehingga menyebabkan ketidakteraturan. Maka baiklah manusia sebagai
mikrokosmos memandang alam semesta, yang merupakan makrokosmos tersebut sebagai bagian
integral dari kehidupannya karena keduanya akan terus saling melengkapi.
22
Borrong. Op.cit., hlm. 149
11
DAFTAR PUSTAKA
Apriando, Tommy, “Perempuang Rembang Merawat Mata Air Kendeng: Kajian Dampak
Tambang pada SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights)”,
dalam Dewi
Candraningrum dan Arianti I.R. Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan
Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015)
Borrong, Robert P. Etika Bumi Baru. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999)
Candraningrum, Dewi, “Politik Rahim Perempuan Kendeng: Kajian SRHR & Perubahan Iklim”,
dalam Dewi Candraningrum dan Arianti I.R. Hunga (Eds.). Ekofeminisme III: Tambang,
Perubahan Iklim, dan Memori Rahim. (Yogyakarta: Jalasutra, 2015)
Drummond, Celia Deane. Eco-Theology. (London: Darton, Longman, and Todd Ltd, 2008)
Drummond, Celia Deane. Teologi dan Ekologi: Buku Pegangan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012)
Michaelson, Wesley Granberg. Menebus Ciptaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Singgih, Emanuel Gerrit. Dari Eden ke Babel. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)
Wahid, Khalisah, “Bagaimana Nasib Perempuan dan Alam dalam Paradigma Pembangunan?”,
dalam Dewi Candraningrum (Ed.). Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah.
(Yogyakarta: Jalasutra, 2014)
SUMBER INTERNET
BBC Indonesia. Tolak Pembangunan Pabrik Semen, Sembilan Perempuan Cor Kaki.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160413_indonesia_protes_semen
_istana diakses pada 4 Juni 2016
12