Saran Penanganan Khusus Terhadap Narapidana Penderita Hiv/Aids Di Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Di Negara Indonesia

Keterbatasan fasilitas kesehatan tersebut menyebabkan Lapas rutan harus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat. Dari beberapa hal di atas, faktor keterbatasan sumber daya, baik dalam hal sumber daya manusia, dan sarana prasarana kesehatan merupakan factor-faktor yang secara dominan mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan. Bila faktor-faktor yang menghambat tersebut tidak segera ditangani maka kebijakan penanggulangan HIV AIDS hanya akan bagus dalam teorinya saja. Keadaan yang demikian itu bila dibiarkan terus meneruskan akan membahayakan bagi kehidupan warga binaan di dalam Lapasrutan. Terlebih lagi keseriusan dalam menjalankan usaha-usaha atau kebijakan penanggulangan HIVAIDS di dalam Lapas rutan merupakan refleksi dari kesungguhan pemerintah dalam menjalankan dan memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Hak atas kesehatan juga merupakan salah satu yang asasi. Sebagai narapidanatahanan hak-hak kesehatan harus selalu dipenuhi.

B. Saran

Masih ada celah atau kelemahan-kelemahan dalam usaha-usaha dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIVAIDS di dalam Lapasrutan. Kelemahan-kelemahan itu disebutkan oleh berbagai faktor penghambat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan di bawah ini akan disampaikan beberapa saran, yakni: Masih ada celah atau kelemahan-kelemahan dalam usaha-usaha dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIVAIDS di dalam Lapasrutan. Kelemahan-kelemahan itu disebutkan oleh berbagai faktor penghambat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan di bawah ini akan disampaikan beberapa saran, yakni: 1. Perlunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan penerimaan lebih banyak pegawai pemasyarakatan yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai tenaga kesehatan. Kemudian setelah direkrut maka para pegawai tersebut harus ditempatkan pada Lapasrutan yang tengah mengalami kekurangan tenaga kesehatan. 2. Perlu adanya partisipasi aktif dari pihak lembaga pemasyarakatan untuk mengikutsertakan pegawainya pada pendidikan atau pelatihan tentang kesehatan, khusus mengenai penanggulangan HIVAIDS. 3. Untuk mengatasi over capacity yang yang dihadapi lembaga pemasyarakatan maka perlu dilakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menguranginya. Salah satu langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan jalan mempermudah pemberian pembebasan bersyarat PB, dan cuti menjelang bebas CMB. Dengan lancarnya pemberian PB dan CMB maka akan mempermudah asimilasi. 4. Pengawasan terhadap narapidana harus diperketat guna menghindari penyimpangan- penyimpangan yang dapat terjadi di dalam Lapas. minimal fasilitas kesehatan tingkat pertama setingkat Puskesmas. Serta perlu selalu untuk memastikan ketersediaan obatobatan untuk warga binaan yang mengidap HIVAIDS. 6. Perlunya peningkatan anggaran atau pendanaan pelayanan kesehatan yang mengacu pada standar WHO dalam rangka pelayanan kesehatan narapidana pada umumnya dan khususnya narapidana yang mengidap HIVAIDS. Anggaran harus dinaikkan sebab penanggulangan dan penanganan pasien pengidap HIVAIDS memerlukan perawatan khusus dengan biaya yang tidak sedikit. 7. Bila mana sarana dan prasarana di dalam lembaga pemasyarakatan belum memadai maka perlu dilakukan penggolongan narapidana berdasarkan keadaan kesehahatanya. Jadi tidak hanya penggolongan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan saja. 8. Perlunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, instansi pemerintah terkait dalam hal pelayanan kesehatan warga binaan pada umumnya dan khususnya warga binaan pengidap HIVAIDS. Dalam kenyataannya pihak Lapasrutan telah berinisiatif untuk melakukan kerja sama kesehatan dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian hubungan yang telah terjalin tersebut dijaga dan dilanjutkan dengan kerja sama yang lebih baik lagi. 9. Perlunya usaha-usaha untuk mempermudah akses kesehatan untuk narapidana. Selama ini narapidana khususnya yang berasal dari keluarga kelas bawah mengalami kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan lanjutan. Narapidana tersebut sulit mendapatkan Kartu Kesehatan Miskin. Hal ini menyebabkan mereka harus membayar biaya perawatan lebih besar dari kemampuan mereka. Anggapan bahwa narapidana adalah sampah masyarakat, membuat mereka sulit mendapatkan akses pada fasilitas kesehatan yang lebih baik. 10. Perlu adanya kebijakan hukum pidana yang berkeadilan dan lebih fleksibel. Selama ini kecenderungan menjatuhkan hukuman penjara sangat besar. Hal ini menyebabkan Lapasrutan menjadi penuh. Diperlukan kebijakan baru dalam menjatuhkan hukuman. Misalnya untuk terdakwa pengidap HIVAIDS tidak serta merta dijatuhi hukuman penjara. Namun perlu dilihat bagaimana keadaan terdakwa. Bila memang keadaannya telah masuk pada stadium yang parah maka bisa diberikan hukuman lain. Tentunya penilaian mengenai keadaan terdakwa harus melalui pemeriksaan dokter ahli. Kemudian dalam hal narapidana penderita HIVAIDS sudah masuk pada stadium yang tidak dapat ditolong, maka perlu ada kebijakan hukum dimana narapidana tersebut diberikan keringanan. 11. Perlu dilakukan peningkatan kesejahteraan petugas pemasyarakatan guna meningkatkan semangat kerja dari para petugas. Demikian beberapa saran yang dapat disampaikan. Semoga para pihak yang berkepentingan dengan usaha dan kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan dapat mengambil manfaatnya. Oleh karena itu di masa mendatang implementasi kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan diharapkan dapat berjalan dengan lebih baik. Serta pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIVAIDS berkembangnya pemahaman yang lebih komprehensif mengenai usaha dan kebijakan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan.

BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIVAIDS.

A. Keadaan Lapasrutan pada umumnya.