Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong pada Peternakan Rakyat di Sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat

(1)

MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI POTONG

PADA PETERNAKAN RAKYAT DI SEKITAR

KEBUN PERCOBAAN RAMBATAN BPTP

SUMATERA BARAT

SKRIPSI ANGGA PRASETYA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

i

RINGKASAN

Angga Prasetya. D14070232. 2011. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong pada Peternakan Rakyat di Sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc

Usaha peternakan menjadi modal penting bagi terwujudnya program pemerintah yaitu swasembada daging tahun 2014. Para peternak sebagai pemegang peranan penting dalam usaha ini haruslah mampu bersikap bijak dan terampil dalam memelihara ternak mereka. Di dalam menghasilkan produktivitas yang tinggi maka banyak hal yang harus dilakukan diantaranya manajemen pemeliharaan yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengevaluasi manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar Kebun Percobaan Rambatan Kabupaten Tanah Datar. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah agar peternak mengetahui manajemen pemeliharaan yang baik untuk meningkatkan produktivitas peternakan yang mereka kelola dan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi serta seluruh pihak terkait guna memperbaiki permasalahan peternakan di daerah penelitian.

Penelitian ini dilakukan di sekitar Kebun Percobaan Rambatan, Jorong Rambatan, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2011. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peternak sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan dengan jumlah sampel 40 orang peternak. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data dianalisis secara deskriptif.

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan semuanya adalah semi intensif. Kawasan di sekitar Kebun Percobaan Rambatan ini merupakan lahan yang sangat potensial dalam mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Hijauan makanan ternak berupa limbah pertanian yang dihasilkan dari Kebun Percobaan Rambatan ini dapat dijadikan sebagai pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan harian ternak.

Manajemen pemeliharaan sapi potong meliputi pakan yang diberikan, pe-nanganan kesehatan, perkandangan dan perkawinan. Jenis sapi yang dipelihara oleh peternak yaitu sapi Simmental, sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 70% peternak memberikan pakan dengan kombinasi antara rumput budidaya (rumput gajah) dan rumput lapang. Sebanyak 90% peternak memiliki kandang yang berjarak lebih dari lima meter dari pemukiman mereka. Terdapat sebanyak 95% peternak menggunakan sistem Inseminasi Buatan (IB) dan sisanya sebanyak 5% peternak menggunakan sistem perkawinan secara alami.

Berdasarkan analisis yang dibandingkan dengan standar Good Farming Practices (Direktorat Jenderal Budidaya Peternakan, 2000) menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan dapat dikatakan kurang baik. Bangunan kandang terbuat dari bahan yang kurang bermutu, tidak memiliki ventilasi yang baik, sehingga belum memenuhi persyaratan yang


(3)

ii dibutuhkan. Salah satu unsur terpenting dalam manajemen pemeliharaan sapi potong yaitu faktor manusia. Pemeliharaan sapi potong oleh masyarakat dilakukan dengan kurang baik, karena performa tubuh sapi terlihat kurang baik dan pertumbuhan yang kurang. Penanganan kesehatan juga telah dilakukan dengan baik, terlihat saat pengamatan tidak terdapat sapi yang mengalami sakit yang serius ataupun sapi yang mati.


(4)

iii

ABSTRACT

Management of Beef Cattles in BPTP Rambatan, West Sumatera

Prasetya, A., L.Cyrilla, dan M. Baihaqi

This study aimed to evaluate beef cattle management in farms around BPTP in West Sumatera. West Sumatra is an agrarian territory and has a potency to increase beef cattle’s productivity. In the regency of Tanah Datar, more than 70% of the citizens work in agriculture sector (food crops, plantation, fishery, and livestock farming). The Problem in livestock farming was people has a lack of knowledge about management breeding which causing non optimum production. Good farming practices such as breeding, feeding, health management, and waste management will leads to be high productivity. There were 70% farmers feed their cattle with combination of cultivated grass and weeds. There were 90% farmers have their farm for more than 5 meters away from their houses. There were 95% farmers using Artificial Insemination (AI) and the other (5%) using natural insemination. A good management was expect to increase a biosafety and bio-security in this area.


(5)

iv

MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI POTONG

PADA PETERNAKAN RAKYAT DI SEKITAR

KEBUN PERCOBAAN RAMBATAN BPTP

SUMATERA BARAT

SKRIPSI ANGGA PRASETYA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

v

Judul : Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong pada Peternakan Rakyat di Sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat

Nama : Angga Prasetya NIM : D14070232

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si) (Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc) NIP: 19630705 198803 2 001 NIP:19800129 200501 1 005

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1001


(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Angga Prasetya. Penulis dilahirkan pada tanggal 19 September 1989 di Batusangkar, Sumatra Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Nofiardi dan Ibu Syafni Nengsih. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 05 Pabalutan, Kabupaten Tanah Datar dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Rambatan, Kabupaten Tanah Datar dan pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 3 Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Status mahasiswa pada Jurusan Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor diperoleh melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2007. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif pada Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) IPB pada tahun 2009 dan Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan (BEM-D) Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2010. Penulis merupakan lulusan dari Building Enterpreneurship Student (BEST) Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2010. Penulis juga pernah terlibat pada Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) pada tahun 2010. Tahun 2010 penulis berkesempatan memperoleh juara I beregu dalam Kontes Penjurian Sapi Perah tingkat nasional dalam rangka memperingati Hari Susu Nusantara di Cikole, Lembang serta meraih juara I dalam Lomba Essay yang diadakan oleh BEM Fakultas Peternakan dalam rangka Gebyar Politik Ceria pada tahun yang sama. Pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 penulis berkesempatan memperoleh Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM/PPA).


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas besarnya limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar dan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi yang berjudul “Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong pada Peternakan Rakyat di Sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi penulis dalam dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberi informasi atau gambaran mengenai aspek teknis manajemen pemeliharaan sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan dan menjadi bahan pertimbangan dalam perbaikan manajemen pemeliharaan sapi potong sehingga mampu meningkatkan produksi sapi potong di peternakan rakyat serta dapat meningkatkan pemeliharaan yang baik untuk para peternak.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata semoga karya ini bermanfaat dalam bidang pendidikan umumnya dan peternakan khususnya.

Bogor, September 2011


(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Bangsa-bangsa Sapi ... 3

Sapi Peranakan Ongole (PO) ... 4

Sapi Simmental ... 4

Sistem Pemeliharaan ... 5

Perkandangan ... 5

Pakan ... 6

Perkawinan ... 8

Limbah Peternakan ... 9

MATERI DAN METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Prosedur ... 10

Rancangan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 13

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) ... 15

Karakteristik Peternak ... 16

Aspek Manajemen Pemeliharaan ... 21

Pakan ... 23

Perkandangan ... 30

Kesehatan Ternak ... 34


(10)

ix

Penanganan Limbah ... 40

Pemasaran ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

UCAPAN TERIMA KASIH ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(11)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik Peternak Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan ... 17

2. Kandungan Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering ... 22

3. Analisa Bahan Kering dan Kecernaan Setaria splendida ... 24

4. Aspek Pakan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan ... 25

5. Kandungan Nutrien Jerami Padi Berdasarkan Bahan Kering ... 26

6. Komposisi Nutrien Klobot Jagung Berdasarkan Bahan Kering ... 27

7. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam ... 28

8. Aspek Perkandangan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan ... 32

9. Aspek Kesehatan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan ... 35

10.Aspek Perkawinan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan ... 37


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kebun Percobaan Rambatan ... 15

2. Status Kepemilikan Ternak ... 20

3. Rumput Gajah sebagai Pakan Hijauan ... 21

4. Pakan Hijauan (Setaria splendida) ... 29

5. Kandang Sapi sebagai Tempat Beraktivitas Ternak ... 31

6. Peternak Memperbaiki Kandang ... 33

7. POS Pelayanan Program Inseminasi Buatan ... 38

8. Proses Inseminasi Buatan ... 39


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 51

2. Foto-foto Kegiatan Penelitian ... 63

3. Daftar Identitas Responden ... 65


(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 2008 tercatat populasi sapi potong sebanyak 11.869.000 ekor. Jumlah tersebut naik sebesar 7,82% dari tahun 2001. Khusus untuk daging sapi dengan kontribusi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk, perbaikan ekonomi masyarakat serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani (Badan Pusat Statistik, 2009). Ditambah lagi dengan daya beli dan perbaikan ekonomi masyarakat sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan konsumsi protein hewani.

Salah satu penyedia daging untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia adalah dari para peternak yang memelihara bangsa sapi lokal dan sapi hasil persilangan sapi lokal dengan sapi impor. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengembangkan dan meningkatkan produktivitas sapi-sapi lokal dan sapi impor tersebut seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Peningkatan populasi sapi potong disebabkan oleh perkembangan dan kemajuan informasi mengenai dunia peternakan, sementara peningkatan populasi penduduk juga semakin meningkat sebagai pangsa pasar bagi peternak sehingga peternak bergairah dalam memelihara sapi potong sebagai mata pencaharian mereka.

Pemeliharaan sapi tidak hanya bagaimana sapi-sapi yang dipelihara bisa makan dan tumbuh besar begitu saja. Peternak harus memperhatikan aspek-aspek terkait dalam hal pemeliharaan sapi. Aspek-aspek tersebut meliputi pakan yang diberikan, perkandangan, penanganan kesehatan, perkawinan, pengelolaan limbah, serta aspek terkait lainnya diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Kendala yang terdapat di dalam pemeliharaan sapi potong diantaranya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap Good Farming Practices dan penerapannyayang menyebabkan pemeliharaan sapi-sapi tersebut kurang maksimal.

Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang potensial untuk membangun usaha peternakan sapi terutama sapi potong, salah satunya adalah di Kecamatan Rambatan yang memiliki potensi besar dalam pemeliharaan sapi potong karena didukung oleh sumberdaya lahan yang cukup memadai dan penduduk yang berpengalaman dalam usaha budidaya sapi potong serta tersedianya banyak hijauan


(15)

2 makanan ternak. Selain itu, sisa produk hasil pertanian juga menjadi pakan alternatif bagi masyarakat sekitar seperti jerami padi dan singkong.

Ada beberapa penyebab yang membuat Kabupaten Tanah Datar belum optimal dan maksimal sebagai sentra produksi sapi potong diantaranya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat dalam manajemen pemeliharaan sapi potong, sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat dan pemeliharaan sapi secara konvensional (pemeliharaan sapi secara tradisional dengan manajemen pemeliharaan yang masih sederhana).

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengevaluasi manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar Kebun Percobaan BPTP Sumatera Barat.


(16)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Bangsa-Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama, karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Setiap bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang bisa membawa risiko yang kurang menguntungkan.

Menurut Blakely dan Bade (1991), secara zoologis sapi termasuk dalam filum Chordata (yaitu hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodaktil (berkuku atau berteracak genap), sub ordo Ruminansia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduknya berongga), genus Bos (pemamah biak berkaki empat). Spesiesnya terbagi dua, yaitu Bos Taurus (sebagian besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki punuk). Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menambahkan, spesies sapi terdiri dari : Bos taurus (sapi-sapi Eropa), Bos indicus (sapi-sapi bergumba atau Zebu asal India dan Afrika), dan Bos sondaicus (sapi-sapi lokal Indonesia).

Masing-masing jenis ternak terdiri atas berbagai bangsa, yaitu sekelompok ternak yang memiliki kesamaan sifat yang dapat diturunkan. Beberapa contoh bangsa sapi yang termasuk Bos taurus misalnya sapi Friesian Holstein (FH), Jersey, Shorthorn, Angus, dan lain-lain. Sedangkan bangsa sapi yang termasuk Bos indicus misalnya sapi Ongole, Brahman, Angkole, Boran, dan lain-lain. Contoh Bos sondaicus yang terkenal adalah Banteng dan sapi bali (Natasasmita dan Mudikdjo, 1985).

Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menjelaskan bahwa bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), serta peranakan Ongole (PO), sapi madura, sapi jawa, sapi Sumatera (sapi pesisir), dan sapi Aceh yang kesemuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus. Diantara bangsa sapi yang besar populasinya adalah sapi bali, sapi Ongole, serta Peranakan Ongole (PO) dan sapi madura.


(17)

4

Sapi Peranakan Ongole

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah sapi hasil persilangan antara sapi Ongole dengan sapi lokal di pulau Jawa secara grading up. Ciri khas sapi tersebut berpunuk besar, bergelambir longgar dan berleher pendek. Kulit berwarna kuning dengan bulu putih atau putih kehitam-hitaman. Kulit di sekeliling mata, bulu mata, moncong, kuku, dan bulu cambuk pada ujung ekor berwarna hitam. Kepala pendek dengan profil melengkung. Mata besar dengan sorot yang tenang. Tanduk pendek dan tanduk pada sapi betina berukuran lebih panjang dibandingkan dengan sapi jantan. Telinganya panjang dan menggantung (Sarwono dan Arianto, 2003).

Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1985) ciri-ciri sapi PO diantaranya bertubuh besar, bergumba besar, dan bergelambir lebar; bobot hidup jantan dewasa (350-450kg), betina dewasa (300-400kg); kebanyakan warna rambutnya putih abu-abu dengan campuran rambut hitam dan merah, sedangkan waktu lahir berwarna kecoklatan; panjang badan (jantan 133 cm; betina 132 cm), lingkar dada (jantan 172 cm; betina 163 cm); dan produksi karkas 45% (jantan dan betina).

Sapi Simmental

Sapi Simmental adalah bangsa Bos taurus, berasal dari daerah Simme di negara Switzerland tetapi sekarang berkembang lebih cepat di benua Eropa dan Amerika, merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata), dibagian muka dan lutut kebawah serta ujung ekor berwarna putih, sapi jantan dewasanya mampu mencapai berat badan 1.150 kg sedang betina dewasanya 800 kg. Bentuk tubuhnya kekar dan berotot, sapi jenis ini sangat cocok dipelihara di tempat yang iklimnya sedang. Persentase karkas sapi jenis ini tinggi, mengandung sedikit lemak. Sapi Simmental dapat difungsikan sebagai sapi perah dan potong (Sugeng, 2006).

Secara genetik, sapi Simmental adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah konsumsi di luar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.


(18)

5

Sistem Pemeliharaan

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan mempercepat penyebaran ternak besar oleh peternak adalah dengan cara pemeliharaan ternak tersebut. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak (Hernowo, 2006).

Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu : pengawasan lingkungan, pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan ternak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Sistem pemeliharaan sapi potong dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif yaitu ternak dikandangkan, sistem pemeliharaan semi intensif yaitu tenak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di ladang penggembalaan pada pagi hari dan sistem pemeliharaan ekstensif yaitu ternak dilepas di padang penggembalaan (Hernowo, 2006).

Perkandangan

Kandang memiliki beberapa fungsi penting dalam suatu usaha sapi potong yaitu : (1) melindungi sapi potong dari gangguan cuaca, (2) tempat sapi beristirahat dengan nyaman, (3) mengontrol sapi agar tidak merusak tanaman di sekitar lokasi peternakan, (4) tempat pengumpulan kotoran sapi, (5) melindungi sapi dari hewan pengganggu, (6) memudahkan pemeliharaan, terutama dalam pemberian pakan, minum dan mempermudah pengawasan kesehatan (Abidin, 2002).

Menurut Abidin (2002), pembuatan kandang harus memperhatikan syarat-syarat teknis antara lain : (1) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (2) kandang terbuat dari bahan-bahan berkualitas sehingga tahan lama, (3) kandang menghadap ke timur sehingga matahari pagi dapat masuk secara langsung, (4) sistem ventilasi kandang harus baik, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan dan bagian muka sapi tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup. Kandang yang akan dibangun harus kuat, memenuhi syarat kesehatan, mudah dibersihkan, mempunyai drainase yang baik, sikulasi udara yang bebas dan dilengkapi tempat makan dan minum sapi serta bak desinfektan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).


(19)

6 Secara umum terdapat dua tipe kandang yaitu kandang individual dan kandang koloni. Kandang individu digunakan bagi satu ekor sapi dengan ukuran 2,5x1,5m. Tujuan dibuatnya kandang individu adalah memacu pertumbuhan sapi potong lebih pesat dimana ruang gerak sapi terbatas. Kondisi sapi di kandang individual lebih tenang dan tidak mudah stres. Kandang koloni dipergunakan bagi sapi bakalan dalam satu periode penggemukan yang ditempatkan dalam satu kandang dengan luas minimum 6m2. Model kandang koloni memungkinkan terjadinya persaingan antar sapi dalam memperebutkan pakan, akibatnya sapi yang menang akan memilki pertumbuhan yang cepat. Dibandingkan dengan tipe kandang individual, pertumbuhan sapi di kandang koloni relatif lebih lambat karena ada energi yang terbuang akibat gerakan sapi yang lebih leluasa. Kebersihan kandang juga harus diperhatikan karena kotoran dan urin sapi akan segera terinjak-injak oleh sapi (Abidin, 2002).

Pakan

Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong bertujuan untuk kebutuhan pokok hidup dan perawaan tubuh dan keperluan berproduksi (Sugeng, 2005).

Selanjutnya Sugeng (2005), menyatakan bahwa pemberian zat-zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing. Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis.

Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), bahan pakan dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Menurut asalnya pakan terdiri dari : (1) hijauan alami (rumput lapangan), (2) hijauan tanaman (rumput gajah), (3) hasil limbah pertanian (jerami), (4) hasil limbah industri (bungkil), (5) hasil pengawetan (silase, selai).


(20)

7 2. Menurut kandungan zat makanan dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan ternak terdiri dari : (1) hijauan kering, (2) hijauan segar, (3) silase, (4) sumber energi, (5) sumber protein, (6) sumber mineral, (7) sumber vitamin, dan (8) makanan tambahan.

Pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan sapi. Oleh karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami. Ketersediaan padang penggembalaan pada pemeliharaan ternak sapi diperlukan sekali sebagai sumber pakan hijauan. Pemberian pakannya dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan pada ternak sapi yang ada di dalam kandang. Pemberian pakan seperti ini disebut cut and carry. Selain itu, rumput juga dapat dikonsumsi langsung oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada stocking rate (daya tampung) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT (Unit Ternak) (Santosa, 2005). Ketersediaan pakan harus mencukupi kebutuhan ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang dibuat sendiri atau berasal dari pabrik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

Menurut Santosa (2005) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya yaitu :

1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya;

2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah yang mencukupi keperluan;

3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;

4. Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan tersebut maka usahakanlah agar digunakan satu macam saja;

5. Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara;

6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakkan perbedaaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.


(21)

8

Perkawinan

Sapi dapat dikembangbiakan dengan dua metode yang umum dikenal, yaitu : 1) metode alamiah yaitu sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina yang sedang birahi, sperma sapi jantan pemacek untuk perkawinan alamiah hanya mampu melayani 120 ekor sapi betina/tahun, dan 2) metode inseminasi buatan (IB), metode ini lebih populer dikenal dengan kawin suntik. Perkawinan dilakukan dengan bantuan peralatan khusus dan manusia (inseminator), seekor sapi jantan pemacek sebagai sumber sperma dapat dipergunakan untuk mengawini sapi betina sampai 20.000 ekor/tahun (Hernowo, 2006).

Perkawinan keluarga merupakan perkawinan antara individu yang mempunyai hubungan keluarga yang dekat, misalnya antara anak dengan bapak. Tujuan sistem perkawinan yang demikian adalah :

1. Meningkatkan kemurnian, sehingga daya menurunkan sifat bertambah.

2. Memungkinkan timbulnya sifat jelek, sehingga segera dapat dilakukan penyisihan. Ternak yang sifatnya jelek tidak dikembangbiakkan (Hernowo, 2006).

Menurut Santosa (2005) keterampilan dalam melihat tanda-tanda berahi ternak sapi betina sangat menentukan keberhasilan perkawinan ternak sapi. Tanda-tanda yang lazim nampak pada ternak sapi adalah : sapi betina tidak tenang (gelisah), nafsu makan berkurang, sering melenguh dan mendekati pejantan dan sering menaiki sapi lain dan jika dinaiki akan diam.

Selain itu Santosa (2005) menyatakan tanda khusus dari vulva adalah keadaannya yang tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening. Bila sudah terlihat tanda-tanda berahi, secepatnya sapi betina tersebut dikawinkan. Perkawinan akan berhasil apabila dilakukan terutama pada 15-18 jam setelah tanda-tanda berahi mulai tampak. Apabila perkawinan dilakukan sebelum mencapai 6 jam setelah tanda berahi tampak maka perkawinan kurang berhasil. Namun apabila perkawinan dilakukan setelah 28 jam setelah tanda-tanda berahi tampak maka perkawinan akan mengalami kegagalan.


(22)

9

Limbah Peternakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, limbah peternakan dibedakan menjadi dua yaitu limbah ternak dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, limbah ternak adalah feses dan urin sedangkan dalam arti luas ialah sisa dari produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya. Berdasarkan pengertian tersebut, yang dimaksud dengan limbah peternakan adalah kulit, tanduk, bulu, tulang, dan isi rumen (Wiryosuharto, 1985). Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang.

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urin, air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas. Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat unit pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

Limbah peternakan yang berupa kotoran dan sisa pakan dapat menurunkan mutu lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Kotoran ternak yang tercecer akan terbawa oleh aliran air hujan ke daerah-daerah yang lebih rendah dan selanjutnya akan menyebabkan penyakit (Setiawan, 1996). Penanganan limbah yang biasa dilakukan peternak adalah dengan menampung di kolam terbuka sehingga fermentasi aerob dan degradasi senyawa organik berlangsung sangat lambat (Widarto dan Suryana, 1995).


(23)

10

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di sekitar (dalam radius ±3 km2) Kebun Percobaan Rambatan Komplek Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011.

Materi

Bahan yang digunakan yaitu kuesioner kepada 40 peternak yang digunakan untuk mengetahui dan mengevaluasi manajemen pemeliharaan sapi potong dan sapi potong sebanyak 169 ekor yang terdiri dari sapi Pesisir, sapi Simmental dan sapi Peranakan Ongole (PO). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya wearpack, alat tulis, kamera digital dan meteran.

Prosedur

Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan pengambilan data melalui survei terhadap peternak sampel dan peternak di sekitar Kebun Percobaan Rambatan Komplek Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Data sekunder diperoleh dari kelompok tani ternak setempat (karakteristik peternak), Kantor Kecamatan (data demografi wilayah Kecamatan Rambatan) dan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Datar (data populasi ternak dan informasi perkawinan ternak). Data yang diolah meliputi manajemen pemeliharaan seperti perkandangan, pakan (hijauan makanan ternak), perkawinan, kesehatan, pengelolaan limbah peternakan dan pemasaran. Adapun data primer yang dikumpulkan adalah :

1. Identitas peternak meliputi nama, umur, latar belakang pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pekerjaan.

2. Identitas sapi, meliputi jumlah sapi, jenis kelamin sapi, umur sapi, dan jenis sapi.

3. Jumlah pakan dan air minum yang diberikan, meliputi sistem pemberian air minum, jenis pakan (hijauan maupun konsentrat), perbandingan antara pemberian hijauan dan konsentrat, frekuensi pemberian, dan jumlah yang diberikan per hari.


(24)

11 4. Sistem perkandangan, meliputi bentuk kandang (individu atau kelompok), ukuran kandang, keadaan sekitar kandang, jenis bahan bedding, volume bedding, frekuensi penambahan dan penggantian bedding, jarak kandang dari pemukiman penduduk dan peralatan yang tersedia di kandang.

5. Pengelolaan limbah, meliputi cara pembersihannya, waktu pembersihan, frekuensi pembersihan, dan jumlah rata-rata feses. Hal tersebut akan dikait-kan dengan proses pengolahan feses selanjutnya.

6. Proses pengolahan feses yang meliputi produksi (berkaitan dengan pembersi-han kandang), pengumpulan feses, pengangkutan feses, pengolapembersi-han feses, pe-nyimpanan, dan penggunaannya.

7. Kebersihan lingkungan sekitar, meliputi kebersihan di sekitar kandang. 8. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data secara analisis deskriptif.

Rancangan

Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei adalah metode pengumpulan informasi (data) dari sampel untuk mewakili seluruh populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Teknik observasi yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui fenomena atau gejala yang ada pada objek-objek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yaitu pengambilan sampel dilakukan kepada peternak yang tinggal pada radius ±3 km2 di sekitar Kebun Percobaan Rambatan. Ukuran sampel atau jumlah peternak responden yang diambil dalam penelitian sebanyak 12,5% (40 peternak dari keseluruhan peternak yang ada di desa Rambatan yaitu ±320 orang). Peternak bersifat homogen. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur. Data sekunder diperoleh dari kelompok ternak setempat, Kantor Desa, Kantor Kecamatan dan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Datar.

Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah Rambatan dan sekitarnya, karakteristik peternak responden sebagai tenaga kerja, jumlah sapi yang dipelihara, pakan ternak, dan sisem pemeliharaan yang meliputi perkandangan, pakan, perkawinan, serta kesehatan ternak. Analisis deskiptif digunakan untuk


(25)

12 mendeskripsikan karakteristik peternak responden. Karakteristik peternak yang diamati meliputi umur, pendidikan dan kepemilikan ternak.


(26)

13

HASIL DAN PEMBAHSAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sebagai wilayah agraris memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan produksi peternakan, terutama ternak sapi. Pada satu sisi, produksi peternakan di Sumatera Barat telah mencukupi kebutuhan lokal dan mampu menutupi sebagian kebutuhan daging dari provinsi terdekat seperti Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Utara. Namun di sisi lain, potensi sumberdaya alam Sumbar masih cukup besar untuk meningkatkan produksi peternakan dan memberi sumbangan pada upaya mencukupi kebutuhan daging nasional. Hal ini juga didukung oleh budaya masyarakatnya yang sudah terbiasa beternak sapi semenjak dahulu.

Wilayah kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu pada 00º17" LS - 00º39" LS dan 100º19" BT – 100º51" BT. Ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu dari tujuh kabupaten terbaik di Indonesia dari 400 kabupaten yang ada. Penghargaan ini diberikan pada tahun 2003 oleh Lembaga International Partnership dan Kedutaan Inggris. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menobatkan Kabupaten Tanah Datar sebagai satu dari empat daerah paling berprestasi dan berhasil melaksanakan otonomi daerah.

Kabupaten Tanah Datar berbatasan dengan empat kabupaten di Sumatera Barat. Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kota Lima Puluh. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Sawahlunto dan Kabupaten Solok. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang kaya dengan sumber air. Selain Danau Singkarak, di Kabupaten Tanah Datar terdapat lebih dari 25 buah sungai.

Kabupaten Tanah Datar adalah daerah agraris, lebih dari 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Begitu juga dengan usaha masyarakat pada sektor lain juga berbasis pertanian seperti pariwisata dan industri kecil atau agro industri. Pontensi ekonomi Kabupaten Tanah Datar dapat dikategorikan atas tiga kategori yaitu sangat potensial, potensial dan tidak potensial. Sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah ubi kayu, kubis, karet, tebu, peternakan sapi


(27)

14 potong, peternakan kuda, peternakan kambing potong, budidaya ayam ras pedaging, ayam bukan ras, budidaya itik dan budidaya ikan air tawar. Sektor lain yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah industri konstruksi bangunan sipil, pedagang eceran makanan olahan hasil bumi, usaha warung telekomunikasi, pedagang cinderamata dan wisata sejarah. Potensi ekonomi Kabupaten Tanah Datar yang tergolong potensial untuk sektor pertanian hampir semua potensial kecuali cengkeh, tembakau, bayam dan merica. Sedangkan untuk sektor pertambangan yang potensial dikembangkan adalah galian kapur dan sirtu (pasir batu).

Umumnya kegiatan usahatani dilakukan dalam suatu sistem yang terdiri dari beberapa tipe usahatani. Namun terdapat satu atau lebih komoditas yang mendominasi suatu daerah. Hal ini dapat terjadi karena kondisi agro-ekosistemnya mendukung untuk berkembangnya jenis komoditas tertentu, dan juga sifat sosial budaya masyarakat yang menyebabkan komoditas tersebut terus menerus berkembang. Komoditas unggulan dan andalan untuk tanaman pangan adalah padi sawah, jagung, kedelai, kentang, kubis, pisang, jeruk siam, markisa dan manggis. Komoditas perkebunan yang diunggulkan adalah kakao, gambir, kelapa sawit, karet, kelapa dan kayu manis. Sedangkan komoditas peternakan yang potensial untuk dikembangkan adalah ternak sapi potong, ayam buras dan itik.

Sistem pemeliharaan ternak sapi masih tradisional dengan manajemen yang minim terutama dalam penyediaan pakan yang kurang memadai sepanjang tahun dan penggunaan pejantan yang layak agar membuahkan turunan yang produktif. Usaha peternakan di Sumbar belum begitu berkembang jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sebagaimana pada jenis ternak pada umumnya, kunci keberhasilan pe-ngembangan industri peternakan pada dasarnya berpangkal pada tiga unsur utama : (1) ketersediaan bibit unggul; (2) ketersediaan dan jaminan mutu pakan; (3) dukungan kelembagaan dengan perangkat lunak yang menunjang, termasuk kebijakan daerah, infrastruktur dan pemasaran.

Usaha peternakan tradisional dalam skala kecil hanya merupakan penunjang kegiatan agribisnis, sebab kemampuannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan belum sepenuhnya berorientasi pasar. Usaha peternakan di Sumbar didominasi oleh pelaku tradisional yang belum mampu untuk menjadi salah satu andalan pertumbuhan peternakan. Walaupun demikian, potensi yang ada


(28)

15 memberikan peluang besar bagi pengembangan ternak sapi di Sumbar. Usaha peternakan sapi yang terdapat di Sumatera Barat umumnya didominasi oleh sapi lokal dan sapi persilangan unggul seperti Simmental, Limousine, Brahman, Angus dan jenis lainnya.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumbar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang penelitian dan pengembangan pertanian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), ditetapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 16/Permentan/OT.140/2006 tanggal 1 Maret 2006 dengan wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat. Denah lokasi Kebun Percobaan Rambatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber:http://www.google.cm/imgres?imgurl=http://geospasial.bnpb.go.id/wpcontent/uploads/2009 /10/2009-10-12_peta_administrasi_tanah_datar

Gambar 1. Kebun Percobaan Rambatan

BPTP Sumatera Barat telah mengalami beberapa kali perubahan sebelumnya bernama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sukarami dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.798/KPTS/OT.210/12/94 tanggal 4 November 1994 yang merupakan penggabungan Balai Penelitian Tanaman Pangan


(29)

16 (Balittan) Sukarami dengan Balai Informasi Pertanian (BIP) Sumbar, BIP Bengkulu, Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan (Balitro) Laing dan Laboratorium Bukittinggi dengan wilayah kerja mencakup Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu.

Sehubungan dengan tuntutan percepatan pembangunan pertanian maka pada tahun 2001 Badan Litbang Pertanian melakukan lagi reorganisasi dengan membentuk BPTP disetiap Propinsi. Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.350/Kpts/OT.210/6/ 2001 tanggal 14 Juni 2001, BPTP Sukarami menjadi BPTP Sumatera Barat dengan wilayah kerja hanya untuk Propinsi Sumbar. Dalam Keputusan ini, BPTP Sumbar memiliki satu Laboratorium Diseminasi di Padang serta tiga kebun percobaan yaitu : Bandar Buat di Padang, Sitiung di Kabupaten Darmasraya, dan Rambatan di Kabupaten Tanah Datar serta satu Laboratorium Tanah di Kota Bukittinggi.

Kebun Percobaan Rambatan sebagai Laboratorium Lapang memiliki tujuan yaitu tempat dilakukannya berbagai macam penelitian dan percobaan berbagai macam tanaman pangan. Hasil dari percobaan ini nantinya akan dibawa ke Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Karakteristik Peternak

Karakteristik peternak merupakan salah satu aspek yang dapat mendukung keberhasilan usaha peternakan sapi pedaging. Aspek tersebut terdiri atas umur, pendidikan formal, pekerjaan utama, jumlah tanggungan, anggota dari kelompok ternak setempat, pengalaman beternak, serta motivasi (alasan) beternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peternak berumur antara 17-55 tahun (90%) dan sisanya yaitu sebanyak 10% berumur di atas 55 tahun. Kelompok usia produktif tersebut menunjukkan bahwa regenerasi bagi petani-peternak tidak terhambat. Peternak usia produktif tersebut memilih beternak sebagai usaha sampingan disamping meneruskan usaha ternak orang tua mereka.

Pendidikan berhubungan dengan ilmu pengetahuan peternak khususnya pengetahuan mengenai budidaya ternak serta cara pengelolaan yang baik. Pendidikan peternak umumnya digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pendidikan formal serta pendidikan non formal. Pendidikan formal peternak cukup beragam mulai dari SD, SMP, serta SMA, ada pula peternak yang tidak bersekolah. Pendidikan formal


(30)

17 peternak sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 72,5%. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua mereka pada saat itu. Mereka lebih memilih membantu orang tua bekerja untuk menghasilkan uang dibandingkan dengan melanjutkan sekolah. Selain itu, pendidikan pada waktu itu belum menjadi prioritas kepentingan masyarakat di tempat penelitian. Karakteristik peternak yang diperoleh dalam penelitian (hasil wawancara) disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Peternak Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan.

No. Uraian

Jumlah

Peternak (orang) Persentase (%)

1. Umur (tahun)

a) 17-55 36 90,00

b) >55 4 10,00

2. Pendidikan Formal

a) SD 29 72,50

b) SMA 11 27,50

3. Pekerjaan Utama

a) Petani 17 42,50

b) Pedagang 4 10,00

c) Pengrajin batako 19 47,50

4. Jumlah Tanggungan (orang)

a) 1-3 11 27,50

b) 4-5 22 55,00

c) > 5 7 17,50

5. Pengalaman Beternak (tahun)

a) ≤ 5 7 17,50

b) > 5 33 82,50

6. Tergabung dalam kelompok ternak

a) Ya 8 20,00

b) Tidak 32 80,00

7. Motivasi (alasan) beternak

a) Hobi 3 7,50

b) Menambah pendapatan 29 72,50

c) Mengisi waktu luang 8 20,00

8. Jumlah tenaga kerja

a) Ada 1 2,5,00

b) Tidak ada 39 97,50

9. Jumlah ternak yang dimiliki

a) 1-5 ekor 31 77,50

b) 5-10 ekor 7 17,50

c) ≥ 10 ekor 2 5,00

Keterangan : n = 40

Pendidikan non formal yang diperoleh peternak di tempat penelitian berasal dari penyuluhan. Penyuluhan tersebut diperoleh oleh peternak yang tergabung dalam


(31)

18 kelompok tani (peternak) di daerah penelitian. Kelompok tani (peternak) di tempat penelitian bernama Talago Dalimo yang telah berdiri semenjak tahun 2009. Kelompok Tani Talago Dalimo memiliki pengurus harian seperti ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Semua anggota yang tergabung ke dalam kelompok tani sudah berperan aktif. Setiap dua minggu sekali, dilakukan evaluasi dan musyawarah mufakat antara pengurus dan anggota kelompok. Peternak yang tergabung dalam kelompok ini berjumlah 30 orang sedangkan responden yang tergabung ke dalam kelompok tani ternak ini hanya delapan orang (20%) dari 40 orang total responden yang ada. Sebagian besar peternak yang tergabung ke dalam kelompok tani ini pernah mengikuti kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar. Penyuluhan yang diberikan berupa pengetahuan dasar pemeliharaan ternak, pengendalian penyakit serta cara pengobatannya secara sederhana. Peternak yang tergabung dalam kelompok ternak lebih mudah dalam mendapatkan informasi di bidang peternakan. Hal tersebut karena adanya pertemuan kelompok ternak secara rutin. Pertemuan tersebut membahas permasalahan yang sering timbul serta mencari solusinya. Peternak-peternak tersebut juga dapat saling bertukar informasi dan pengalaman. Namun, kegiatan rutin tersebut kini semakin jarang dilakukan karena kesibukan dari masing-masing anggota kelompok.

Para peternak telah memiliki pengalaman beternak selama bertahun-tahun. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 82,5% responden memiliki pengalaman beternak di atas lima tahun. Peternak telah memiliki bekal pengetahuan mengenai cara beternak dari keluarga secara turun-temurun maupun telah berpengalaman merawat ternak sejak mereka kecil. Pengalaman tersebut menjadi guru yang tak ternilai dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan tersebut. Pengalaman beternak yang lebih dari lima tahun tersebut dianggap sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha peternakan sapi potong. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar peternak memulai usaha ternak sapi potong sejak mereka masih kecil.

Peternak pemula (beternak kurang dari lima tahun) baru memulai beternak semenjak tiga tahun yang lalu karena mereka beranggapan bahwa beternak merupakan sesuatu yang menyenangkan dan membawa keuntungan bagi mereka. Ternak sapi dipelihara terutama sebagai salah satu sumber pendapatan dan tabungan. Sebagian besar peternak di Sumatera Barat sudah berpengalaman dan terampil dalam


(32)

19 membudidayakan sapi potong. Walaupun demikian, usaha peternakan ini umumnya berupa usaha peternakan rakyat dengan jumlah sapi yang dipelihara berkisar antara 1-5 ekor/ kepala keluarga (KK) (Sabirin, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan beberapa jenis sapi potong yang dipelihara oleh peternak diantaranya sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Simmental, dan sapi Pesisir yang terdapat di lokasi penelitian. Mayoritas peternak memelihara sapi Simmental dengan alasan bobot lahir yang tinggi, sesuai dengan pakan yang sederhana dan harga jual yang tinggi. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi Simmental terkenal karena kemampuannya menyusui anak yang baik serta pertumbuhannya juga cepat, badannya panjang dan padat. Sapi ini termasuk yang berukuran berat baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa. Selain sapi Simmental, peternak juga memelihara sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO memiliki keunggulan diantaranya kuat, tahan panas, tahan lapar dan haus, serta dapat menyesuaikan dengan pakan yang sederhana (Basuki, 1991). Keunggulan tersebut membuat sapi-sapi Simmental dan PO ini dapat beradaptasi, bertahan dan tumbuh dengan baik di sekitar Kebun Percobaan Rambatan.

Alasan (motivasi) peternak mengawali usaha beternak sapi potong cukup beragam. Sebanyak 72,5% peternak memutuskan untuk beternak dengan alasan agar dapat menambah pendapatan dan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga peternak. Beternak sapi pedaging juga dapat dijadikan sebagai tabungan jangka panjang karena ternak tesebut dapat dijual sewaktu-waktu pada saat kebutuhan mendesak. Motivasi lainnya adalah sebagai hobi sebanyak 7,5% dan sisanya sebanyak 20% yaitu untuk mengisi waktu luang.

Semua responden adalah peternak, akan tetapi mereka mempunyai sumber pendapatan lain dengan siklus usaha lebih cepat dari usaha peternakan adalah sebanyak 47,5% berprofesi sebagai pengrajin batako, sebanyak 42,5% petani dan sisanya sebanyak 10% persen adalah pedagang. Tidak ada satupun peternak yang merupakan peternak murni yang hanya bergantung dari hasil peternakan. Bagi peternak, memelihara ternak merupakan usaha sambilan. Saragih (1997), merumuskan pergeseran usaha peternakan rakyat menuju industri yaitu : a) peternakan sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak kurang dari 30%, b) peternakan sebagai cabang


(33)

20 usaha dalam pertanian campuran dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70%, c) peternakan sebagai usaha pokok dengan komoditi lain sebagai sampingan dan pendapatan dari usaha ternak sebesar 70-100%, d) industri peternakan yaitu mengusahakan ternak secara khusus dengan tingkat pendapatan usaha ternak sebesar 100%.

Dalam satu tahun terakhir tidak ada peternak yang menjual ternak yang dipelihara. Dari sini terlihat bahwa fungsi usaha peternakan lebih banyak ditujukan sebagai tabungan dan akan digunakan untuk kebutuhan mendesak dengan jumlah yang cukup besar. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dipenuhi dengan usaha selain peternakan seperti usaha tanaman pangan, pedagang dan pengrajin batako.

Hal mendasar yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan ternak lokal adalah keterbatasan modal peternak untuk memiliki ternak besar. Sebanyak 17,5% dari responden yang memiliki ternak sendiri sedangkan sebanyak 82,5% dari responden merupakan peternak yang memelihara ternak orang lain dengan sistem gaduhan. Status kepemilikan ternak dapat dilihat pada Gambar 2.

m ilik sendiri 17%

m ilik orang

lain 83%

Gambar 2. Status Kepemilikan Ternak

Pola gaduhan bersifat perorangan. Pola ini didasarkan atas saling percaya antara penggaduh dengan pemilik ternak, tanpa disertai surat-surat resmi. Walaupun demikian sangat jarang terjadi sengketa antara pemilik ternak dan penggaduh. Bahkan bila ada ternak yang mati atau dicuri selalu dapat diselesaikan dengan baik antara kedua belah pihak dengan kekeluargaan. Sistem gaduhan yang berkembang umumnya adalah sistem bagi hasil saat ternak dijual dengan komposisi 50% penggaduh dan 50% pemilik.


(34)

21 Pelaku utama dalam sistem gaduhan sapi potong di Sumatera Barat adalah : (1) pemasok (pemilik) sapi, (2) penggaduh (pemelihara sapi atau produsen), (3) pembeli (blantik/ pedagang pengumpul) atau konsumen sapi potong di dalam maupun luar daerah. Pada umumnya penggaduh dapat berupa petani perorangan atau kelompok yang sebagian besar mempunyai keterbatasan dana, keterbatasan mengakses pasar dan keterbatasan kepemilikan lahan (Prasetyo, 2004).

Aspek Manajemen Pemeliharaan

Menurut Prawiradiputra dan Bambang (2005), beberapa faktor yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan ternak sapi, baik yang dipelihara secara intensif maupun semi-intensif antara lain : (1) pemberian pakan yang cukup dan bergizi; (2) tersedianya ternak bibit yang berkualitas; dan (3) pengendalian penyakit. Pemberian pakan yang baik dan mencukupi kebutuhan ternak yang dipelihara merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memperoleh produksi ternak sapi yang memuaskan.

Gambar 3. Rumput Gajah sebagai Pakan Hijauan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 90% peternak menerapkan sistem pemeliharaan secara semi intensif yaitu pada siang hari ternak yang mereka miliki dilepas di padang penggembalaan hingga sore hari sedangkan pada malam harinya ternak dikandangkan. Menurut Ayuni (2005), sistem pemeliharaan semi intensif yang ada di Kecamatan IV Angkat dilakukan dengan mengandangkan sapi pada malam hari, sedangkan pada pagi sampai siang hari, ternak sapi dibawa ke sawah sebagai tenaga kerja pada lahan pertanian atau hanya digembalakan saja. Setelah ternak dikandangkan maka peternak memberikan hijauan makanan ternak yang sudah dicari dan dipersiapkan untuk kebutuhan ternak di malam hari. Dalam hal


(35)

22 pemberian hijauan makanan ternak (HMT), sebanyak 95% peternak menerapkan kombinasi dimana ternak digembalakan dan juga diberikan hijauan berupa rumput potongan. Selain rumput lapang dan budidaya (rumput gajah dan setaria), peternak juga memberikan leguminosa berupa gamal dan lamtoro untuk ternak mereka.

Rumput lapang merupakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar. Rumput ini mudah diperoleh, murah dan mudah dikelola karena tumbuh liar tanpa dibudidayakan karena itu rumput lapang memiliki kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Menurut Wiradarya (1989), rumput lapang merupakan campuran dari berbagai rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Komposisi zat makanan rumput lapang berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Komposisi* Komposisi** Komposisi*** %

Bahan Kering 22,97 - -

Abu 9,12 8,23 8,48

Protein Kasar 10,21 7,75 8,59

Lemak Kasar 1,23 1,34 6,93

Serat Kasar 32,09 31,46 36,38

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

47,35 50,93 48,31

Total Digetible Nutrient

- 52,37 57,31

Kalsium 0,17 - 0,30

Posfor 0,17 - 0,12

Sumber : *Batubara (1992), **Furqaanida (2004), ***Wahyuni (2008)

Pemeliharaan ternak ruminansia telah biasa dilakukan masyarakat. Ternak tersebut merupakan sumber komoditi, sumber tabungan serta memiliki fungsi sosial. Perawatan dan pemeliharaan ternak sapi yang baik dapat menjaga kelansungan hidup ternak sapi yang sehat serta memiliki pertumbuhan yang baik pula. Sistem pemeliharaan sapi pedaging dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dikandangkan sepanjang hari. Sistem pemeliharaan semi intensif, ternak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di tempat penggembalaan


(36)

23 pada pagi atau siang hari. Sistem pemeliharaan ekstensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dilepas di ladang penggembalaan sepanjang hari (Hernowo, 2006).

Pakan

Hijauan merupakan sumber pakan yang sangat penting bagi ruminansia. Hijauan mengandung hampir semua zat yang dibutuhkan oleh ternak selain sebagai bulk (pengenyang) (Awabien, 2007). Pakan dalam usaha peternakan merupakan bagian yang penting dan menentukan tinggi rendahnya produksi, pertumbuhan dan besar kecilnya keuntungan peternakan. Dengan demikian maka harus selalu diupayakan penggunaannya baik pakan hijauan maupun penguat pada tingkat yang optimum (Siregar, 1999).

Menurut Mulyono (1999), pakan hijauan mengandung zat gizi yang dapat menentukan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ternak. Pakan hijauan segar yang baik adalah bila komposisinya diatur antara yang mengandung protein rendah dan protein tinggi. Hijauan merupakan sumber serat kasar yang tinggi bagi ruminan. Hijauan yang dimaksud biasanya berupa rumput-rumputan. Secara tradisional, sapi potong hanya diberi hijauan sebagai pakan. Namun untuk program penggemukan yang berorientasi pada keuntungan finansial perlu dipertimbangkan penggunaan pakan berupa konsentrat sehingga dicapai efisiensi waktu yang akan meningkatkan keuntungan (Abidin, 2002).

Sebanyak 70% peternak (28 orang) memberikan pakan hijauan untuk ternak mereka yaitu kombinasi antara rumput budidaya (rumput gajah dan Setaria splendida) serta rumput lapang sedangkan air minum diberikan ad libitum. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia. Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 sampai 63 ton ha-1 tahun-1 (Siregar, 1989), dengan rata-rata kandungan zat-zat gizi yaitu : protein kasar 9,66%, BETN 41,34%, serat kasar 30,86%, lemak 2,24%, abu 15,96%, dan TDN 51% (Hartadi et al., 1986 dan Lubis, 1992). Analisa bahan kering dan kecernaan rumput Setaria splendida dapat dilihat pada Tabel 3.


(37)

24 Tabel 3. Analisa Bahan Kering dan Kecernaan Setaria splendida.

Bahan Kering

PK SK Abu EE NFE

%

Segar, 120 cm, Tanzania 11,3 39,2 15,8 3,6 30,2 Segar, 25 hari tumbuh, Zaire 11,4 27,8 12,1 3,0 45,7 Sumber : Gohl, 1975

Setaria splendida merupakan hijauan pakan ternak yang produktif dan musah cara penanamannya. Penanamannya bisa dengan menggunakan potongan rhizom, pols atau biji, tetapi lebih disukai bila ditanam dengan vegetatif karena viabilitas benihnya rendah (Infoternak, 2005). Rumput ini termasuk hijauan pakan ternak yang mempunyai daya cerna tinggi (70-80%), namun diikuti oleh laju penurunan kecernaan yang tinggi pula dengan semakin meningkatnya umur tanaman. Komposisi nutrisi dari hijauan pakan ternak ini yaitu : serat kasar 31,7%, protein kasar 9,5%. Produksi berat kering 20 ton/ha/tahun (Hasnudi, 2004).

Pemberian pakan hijauan yang dilakukan peternak belum memenuhi kebutuhan ternak yang mereka miliki. Ini dapat dilihat dari penampilan tubuh ternak yang masih kurang baik. Ternak masih terlihat kurus. Biasanya para peternak melakukan pemotongan rumput pada pagi hari dan sore hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari dan sesuai dengan standar menurut Direktorat Jenderal Budidaya Peternakan (2000). Peternak memberikan hijauan ±25-30 kg/ekor/hari kepada ternak mereka. Hal ini belum sesuai dengan kebutuhan ternak yang mereka miliki. Terdapat beberapa peternak yang memiliki bobot ternak yang cukup besar, akan tetapi pemberian pakan yang dilakukan tidak sesuai dengan kriteria pemberian pakan yang seharusnya yaitu 10% dari berat badan. Peternak menggunakan karung bekas dan juga gerobak dorong guna memudahkan dalam membawa hijauan yang sudah diambil di lahan pertanian yang mereka miliki. Peternak tidak pernah menghitung kebutuhan nutrisi ternaknya tetapi hal terpenting adalah agar ternak mereka tenang dan tidak berteriak-teriak karena sudah kenyang. Hijauan makanan ternak sifatnya fluktuasi. Sebanyak 75% peternak mengatakan bahwa hijauan


(38)

25 makanan ternak tidak bisa mencukupi kebutuhan ternak sepanjang tahun. Penerapan aspek pakan sapi potong di sekitar KP Rambatan dapat dilihat pada Tabel 4.

.

Tabel 4. Penerapan Aspek Pakan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan.

No. Uraian

Jumlah

Peternak (orang) Persentase (%)

1. Metode pemeliharaan ternak

a) Dilepas berkeliaran sepanjang hari

4 10

b) Dilepas siang hari dan

dikandangkan pada malam hari

36 90

2. Sistem pemberian pakan ternak

a) Diberikan rumput potongan 2 5

b) Kombinasi (digembalakan dan diberi rumput potongan)

38 95

3. Waktu penggembalaan ternak

a) Pagi hari 23 57,5

b) Siang hari 8 20

c) Sore hari 9 22,5

4. Hijauan (rumput) yang diberikan

a) Rumput lapang 7 17,5

b) Rumput budidaya (rumput gajah dan Setaria)

5 12,5

c) Kombinasi rumput lapang dan rumput budidaya

28 70

5. Ketersediaan hijauan sepanjang tahun

a) Selalu tersedia 3 7,5

b) Musiman (fluktuasi) 30 75

c) Kurang 7 17,5

6. Limbah pertanian yang diberikan

a) Jerami padi 29 72,5

b) Jerami jagung 9 22,5

c) Singkong 2 5

7. Pakan tambahan

a) Dedak padi 12 30

b) Garam/ mineral 28 70

Keterangan : n = 40

Pada musim hujan, hijauan pakan ternak berlimpah sedangkan pada musim kemarau hijauan pakan ternak terbatas. Para peternak hanya bisa mengandalkan hijauan yang ada namun tidak mencukupi kebutuhan ternak. Oleh karena itu peternak menggunakan jerami padi sebagai pengganti hijauan. Terdapat sebanyak 72,5% peternak yang memberikan jerami padi untuk makanan ternak mereka. Jika jerami padi yang diberikan kepada ternak masih bersisa maka para peternak memberikan


(39)

26 campuran garam dan mineral (ditambah air) untuk meningkatkan palatibilitas jerami padi agar habis dikonsumsi oleh ternak. Sebanyak 70% peternak menerapkan cara seperti ini agar jerami padi yang diberikan tidak terbuang sia-sia. Ketersediaan hijauan pakan di Indonesia dipengaruhi oleh iklim, sehingga pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan sebaliknya pada musim hujan jumlahnya melimpah. Pemanfaatan limbah pertanian merupakan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan hijauan pakan ternak (Syamsu, et al., 2003). Kandungan nutrien jerami padi berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrien Jerami Padi Berdasarkan Bahan Kering

Sumber : Sutardi (1980)

Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat potensial sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia. Jerami padi merupakan bahan pakan herbivora yang tergolong bahan pakan yang berkualitas rendah antara lain karena dinding selnya tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Budiman, 2007). Penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak mengalami kendala terutama disebabkan faktor pembatas dengan nilai nutrisi yang rendah yaitu kandungan protein rendah, serat kasar tinggi, serta kecernaan rendah (Syamsu, 2007).

Menurut Suminar (2005), lignin merupakan faktor yang lebih banyak mempengaruhi rendahnya daya cerna dari jerami tanaman pada umumnya,

Zat Makanan Kadar (%)

Bahan Kering 37,99

Abu 17,40

Protein Kasar 4,21

Lemak Kasar 1,44

Serat Kasar 32,50

Beta-N 44,45

Calcium 0,42


(40)

27 sedangkan pada jerami padi rendahnya daya cerna disebabkan oleh tingginya kandungan silika. Lignifikasi dan silifikasi bersama-sama mempengaruhi rendahnya daya cerna jerami. Jerami padi dalam keadaan segar relatif lebih hijau, mempunyai kadar air, palatabilitas dan kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah kering dan bertumpuk (Suminar, 2005).

Selain jerami padi, para peternak juga memberikan jerami jagung dan singkong untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Jerami jagung biasanya diperoleh dari hasil panen yang ada di Kebun Percobaan Rambatan dan sekitarnya. Jerami jagung sebagai pakan ternak ruminansia digunakan terutama sebagai pengganti sumber serat atau menggantikan 50% dari rumput atau hijauan. Daun jagung mempunyai palatabilitas yang tinggi. Nilai palatabilitas tersebut diukur secara kualitatif dalam penelitian Wilson et al., (2004). Komposisi nutrien klobot jagung berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Nutrien Klobot Jagung Berdasarkan Bahan Kering

Zat Makanan Kadar (%)

Abu 3,23

Protein Kasar 7,84

Lemak Kasar 0,65

Serat Kasar 32,25

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen 56,03

Total Digestible Nutrien 54,29

Calcium 0,21

Phospor 0,44

Sumber : Furqaanida (2004)

Selain buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun, tongkol dan kulit jagung (Umiyasih dan Wina, 2008). Klobot jagung adalah kulit buah jagung yang biasa dibuang (Umiyasih dan Wina, 2008). Selain berfungsi sebagai pakan ternak, klobot jagung juga berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol untuk


(41)

28 mempertahankan kesegaran biji dan tongkol sehingga tidak akan terlampau keras untuk dikunyah oleh ternak. Menurut Wilson et al., (2004) secara kualitatif, klobot jagung mempunyai nilai palatabilitas yang tinggi. Umiyasih dan Wina (2008) juga menyebutkan bahwa kadar air klobot jagung lebih rendah dibanding kadar air limbah tanaman jagung yang lain seperti tongkol dan batang, yaitu berkisar antara 45-50%.

Selain jerami padi dan jerami jagung, peternak juga memberikan singkong sebagai pakan untuk ternak mereka. Jumlah dan pemberiannya tidak menentu. Apabila di sekitar pemukiman mereka terdapat petani yang sedang melakukan panen singkong maka peternak bisa mendapatkan singkong-singkong yang terbuang yang nantinya digunakan sebagai pakan ternak mereka. Kandungan nutrisi kulit singkong bagian dalam dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam

Bahan Bahan Kering (%)

Bahan Kering 86,50

Protein Kasar 10,64

Lemak Kasar 5,24

Serat Kasar 9,48

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen 71,43

Total Digestible Nutrien 79,87

Abu 3,21

Keterangan : Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB (2004)

Singkong sebagai bahan makanan mempunyai beberapa kelemahan antara lain palatabilitas rendah dan adanya kandungan asam sianida (HCN) sehingga merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya. Pemberian kulit singkong dalam jumlah besar dapat menimbulkan keracunan akibat adanya sianida yang dapat menyebabkan kematian (Darmawan, 2003).

Umumnya petani sudah cukup lama memelihara sapi potong, baik secara tradisional maupun secara intensif (komersial). Pada tingkat peternak, sistem pemeliharaan dilakukan dengan digembalakan penuh dan dikandangkan. Di lain


(42)

29 pihak pada kondisi peternakan individu, usaha yang dilakukan bersifat model penggemukan yang sudah mengarah pada tingkat usaha komersial dengan skala pemeliharaan sampai 10 ekor/ KK. Pola ini didukung antara lain oleh : (1) ketersediaan pakan berupa hijauan makanan ternak (baik unggul maupun rumput lapang), di samping sumber pakan lain seperti sagu, ampas tahu dan batang pisang yang mudah diperoleh, (2) sumberdaya manusia peternak yang sudah menyadari manfaat yang dapat diperoleh dari pemeliharaan ternak dan (3) akses pasar yang cukup besar, di samping untuk memenuhi kebutuhan daging di daerah Sumbar sendiri, masih terbuka peluang mensuplai ternak ke provinsi tetangga.

Makanan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Tillman et al., (1998). Kualitas pakan yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti pertambahan bobot badan yang semakin tinggi.

Gambar 4. Pakan Hijauan (Setaria splendida)

Konsumsi diperhitungkan dengan jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untk keperluan produksi hewan tersebut (Tillman et al., 1998). Faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya yaitu suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan kurangnya konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi berakibat pada penurunan konsumsi energi (Siregar, 1984). Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan.

Peternak tidak banyak yang menggunakan formulasi ransum untuk makanan ternak mereka. Hanya beberapa peternak saja yang memanfaatkan formulasi ransum


(43)

30 seperti campuran ampas tahu dan dedak padi. Alasan mereka adalah karena biaya yang dikeluarkan untuk membeli ampas tahu dan dedak padi sangat besar dan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju tempat penjualan ampas tahu dan dedak padi karena jaraknya yang cukup jauh. Ampas tahu yang dihasilkan oleh perusahaan digunakan sepenuhnya oleh peternakan yang skalanya lebih besar. Peternak (dalam hal ini responden) hanya bisa memanfaatkan ampas tahu apabila masih ada sisa dari perusahaan. Beberapa jenis pakan harus diformulasikan untuk mendapatkan ransum yang lengkap. Kegunaan dari formulasi ransum adalah untuk menuangkan pengetahuan tentang zat atau beberapa zat makanan, bahan atau beberapa bahan makanan menjadi suatu bahan makanan (ransum) yang dapat memenuhi kebutuhan ternak yang mempunyai tingkatan produksi tertentu yang dikehendaki oleh peternak (Parakkasi, 1995).

Perkandangan

Pemilihan kondisi kandang yang sesuai diantaranya dengan mempertimbangkan letak yang strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim untuk jenis ternak sapi (Sarwono dan Arianto, 2003). Kandang milik peternak terletak di samping atau di belakang rumah peternak. Jarak dari rumah peternak serta luasan kandang tergantung luasan tanah yang dimiliki peternak. Luasan kandang ternak yang dimiliki peternak sangat bervariasi. Ukuran kandang diantaranya berkisar antara 3,5x1,7m untuk 2 ekor sapi hingga 21x2,5m untuk 18 ekor sapi. Ukuran kandang sapi yang dimiliki peternak pada umumnya masih belum memenuhi standar. Luas kandang individu disesuaikan dengan ukuran tubuh sapi yaitu 2,5 x 1,5 meter (Rasyid dan Hartati, 2007).

Umumnya kandang berbentuk kandang koloni dimana sapi ditempatkan pada satu kandang saja secara berkelompok namun ada juga peternak yang memelihara sapi dalam kandang individu. Tatalaksana pemeliharaan sapi pedaging salah satunya melalui tatalaksana perkandangan. Kandang diperlukan untuk melindungi ternak dari perubahan cuaca dan iklim yang ekstrim, mencegah dan melindungi ternak dari penyakit, menjaga keamanan ternak dari pencurian, memudahkan pengelolaan ternak, serta meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja (Rasyid dan Hartadi, 2007).


(44)

31 Letak bangunan kandang tidak berdekatan dengan bangunan umum atau perumahan, minimal 10 meter (Rasyid dan Hartati, 2007). Terdapat sebanyak 90% peternak memiliki kandang yang berjarak lebih dari lima meter dari pemukiman mereka. Hal ini masih belum baik karena jarak kandang dan perumahan sebaiknya minimal 10 meter (Rasyid dan Hartadi, 2007). Jarak terdekat antara kandang dengan bangunan lain bukan kandang minimal 25 m (Direktorat Jenderal Budidaya Peternakan, 2000). Hanya 10% saja dari peternak yang memiliki kandang berjarak satu hingga empat meter dari rumah mereka. Kandang tersebut bahkan berhimpitan dengan rumah peternak. Kondisi ini memudahkan peternak dalam memelihara serta melakukan pengawasan pada ternaknya.

Gambar 5. Kandang Sapi sebagai Tempat Beraktivitas Ternak

Menurut Anitasari (2008) bahwa peternak sapi di desa pada umumnya membangun kandang sapinya dekat dengan rumah (<10 m) atau di dalam rumah dengan alasan faktor keamanan dan mempermudah pemeliharaan. Kelemahan dari pembangunan kandang yang dekat dengan rumah adalah bau serta kebisingan (suara) dari sapi tersebut.

Dalam hal kebersihan kandang, sebanyak 80% peternak memiliki kandang yang bersih karena setiap pagi para peternak membersihkan kandang setelah ternak-ternak tersebut dikeluarkan dari kandangnya. Alasan peternak-ternak membangun kandang adalah agar pengawasan dan pemeliharaan ternak sapi mudah dilakukan pada waktu yang tepat. Penerapan aspek perkandangan sapi potong di sekitar KP Rambatan dapat dilihat pada Tabel 8.


(45)

32 Tabel 8. Aspek Perkandangan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan.

No. Uraian

Jumlah

Peternak (orang) Persentase (%) 1. Lokasi kandang

a) Terpisah dari rumah dengan jarak ≥5 m

36 90

b) Terpisah dekat dengan rumah dengan jarak 1-4 m

4 10

2. Konstruksi kandang

a) Baik 3 7,5

b) Sedang 6 15

c) Kurang 31 77,5

3. Kebersihan kandang

a) Baik 32 80

b) Sedang 5 12,5

c) Kurang 3 7,5

4. Peralatan kandang

a) Ada 35 87,5

b) Tidak ada 5 12,5

5. Bahan yang digunakan

a) Bambu 6 15

b) Kayu 32 80

c) Semen 2 5

6. Luas kandang

a) 5-10 m2 38 95

b) ≥ 10 m2 2 5

Keterangan : n = 40

Selain itu, hal tersebut dikarenakan agar memudahkan dalam pengambilan kotoran serta ternak aman dari ancaman pencurian. Bangunan kandang yang ada di sekitar KP Rambatan cukup bervariasi dari non permanen dan semi permanen. Kandang non permanen yang terdapat di sekitar KP Rambatan biasanya terbuat dari bahan papan bekas, kayu serta bambu. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari hutan yang ada di lahan pertanian yang dimiliki oleh para peternak. Hal tersebut dilakukan untuk menekan biaya pembuatan kandang serta memudahkan dalam pengerjaannya sehingga dalam pembangunan kandang dapat menghemat biaya karena dapat dikerjakan sendiri serta tidak membutuhkan waktu yang lama. Kelemahan dari kandang tipe ini adalah kurang kokoh sehingga apabila sapi mengamuk kemungkinan sapi dapat lepas serta dapat merusak lahan. Kandang ini biasanya


(46)

33 beralaskan tanah langsung. Bangunan kandang semi permanen merupakan perpaduan antara permanen dan non permanen. Bangunan ini biasanya terbuat dari kayu atau bambu tetapi alasnya telah berlapis semen.

Gambar 6. Peternak Memperbaiki Kandang.

Ventilasi kandang yang sempurna menguntungkan peternak di dalam kandang karena ventilasi bermanfaat untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar dari luar kandang. Letak kandang sebagian besar menghadap ke arah sinar matahari. Sinar matahari pagi banyak mengandung sinar ultraviolet. Sinar matahari sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak karena dapat membantu proses pembentukan vitamin D, membunuh bibit penyakit dan dapat mempercepat pengeringan kandang yang basah akibat air kencing dan lainnya. Kandang yang basah menyebabkan kelembaban. Kelembaban kandang berpengaruh terhadap kesehatan ternak, pertumbuhan dan perkembangan bibit penyakit. Kelembaban kandang disebabkan oleh beberapa hal yaitu berasal dari tubuh ternak itu sendiri, kotoran dan air kencing serta percikan air minum.

Bangunan dan konstruksi kandang yang terdapat di lokasi penelitian belum memenuhi standar. Konstruksi kandang para peternak terlihat kurang baik karena terbuat dari bahan kayu yang sudah tidak dimanfaatkan. Bahan yang digunakan oleh peternak tidak menjamin ketahanan konstruksi bangunannya karena terbuat dari bahan kayu dan bambu yang di dapat dari hutan dan lahan pertanian yang mereka miliki. Peternak menggunakan serbuk gergaji, sekam padi dan abu pembakaran sisa pencetakan batako sebagai bedding dengan tujuan agar ternak tidak kontak langsung dengan kotorannya sehingga mendapatkan alas yang nyaman untuk tidur. Banyaknya


(47)

34 jumlah bedding yang diberikan peternak tidak ditentukan. Pemberian bedding tidak selalu digunakan oleh peternak karena bedding yang dihasilkan dari proses pembuatannya tidak begitu banyak.

Kesehatan Ternak

Para peternak sejak jaman dahulu pada awal mereka mulai beternak sudah mengenal berbagai macam penyakit dan telah melakukan pula berbagai usaha yang menurut anggapan mereka dapat menyembuhkannya (Blakely dan Bade, 1991). Kasus yang sering melanda peternakan sapi di lokasi penelitian adalah penyakit kembung (bloat). Namun selama penelitian berlangsung, penyakit kembung (bloat) tidak ditemukan.

Berdasarkan hasil wawancara, peternak menyatakan bahwa penyakit ini pernah menyerang ternak yang dipelihara. Penyakit ini (kembung) disebabkan oleh rumput yang dipanen pada pagi hari masih banyak mengandung embun. Sebaiknya hijauan ini dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi. Selain itu jenis leguminosa (kacang-kacangan) tertentu yang mengandung protein tinggi juga diduga dapat memicu terjadinya kembung bila diberikan dalam jumlah banyak. Penanganan yang dilakukan peternak untuk mengobati penyakit kembung yaitu pemberian minyak goreng (Rianto dan Endang, 2009).

Berbagai jenis penyakit sapi sering berjangkit di Indonesia, baik yang menular ataupun tidak menular. Penyakit yang sering menyerang sapi adalah penyakit radang limpa (anthraks), penyakit mulut dan kuku (PMK), surra dan sebagainya (Sugeng, 2003). Upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit adalah menggunakan kandang karantina, melarang impor sapi/ daging sapi dari negara yang tidak bebas PMK, vaksinasi berkala, menjaga kebersihan lingkungan dan pemberian obat cacing secara berkala (Soeprapto dan Abidin, 2006). Selain kembung (bloat), penyakit radang kuku atau kuku busuk (footrot) juga pernah menyerang ternak di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan oleh kondisi kandang yang lembab dan kotor sehingga penyakit ini mudah menyerang ternak. Pencegahan dan pengobatan yang dilakukan peternak yaitu dengan memotong kuku ternak dan bagian yang sakit direndam di dalam larutan formalin dan rifanol kemudian sapi ditempatkan pada kandang yang bersih dan kering.


(48)

35 Penerapan aspek kesehatan sapi potong di sekitar KP Rambatan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Aspek Kesehatan Sapi Potong di Sekitar KP Rambatan.

No. Uraian

Jumlah

Peternak (orang) Persentase (%)

1. Vaksinasi

a) Ada 7 17,5

b) Tidak ada 33 82,5

2. Ternak terjangkit penyakit

a) Ada 29 72,5

b) Tidak ada 11 27,5

3. Usaha dan Tanggapan terhadap sapi yang sakit

a) Melaporkan pada petugas 5 12,5

b) Berusaha mengatasi secara tradisional

30 75

c) Dibiarkan 3 7,5

d) Langsung di jual 2 5

4. Kematian ternak

a) ≤ 2 ekor 2 5

b) Tidak ada 38 95

5. Tindakan terhadap kematian

a) Melaporkan pada petugas 7 17,5

b) Dikubur 33 82,5

6. Penggunaan obat-obatan ringan

a) Ada 36 90

b) Tidak ada 4 10

Keterangan : n = 40

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa tindakan pencegahan dan pengobatan sudah dilakukan dengan baik. Apabila ada ternak yang mati maka peternak langsung menguburkannya tetapi peternak belum memiliki dan menjalankan program vaksinasi dengan baik. Peternak masih menangani secara tradisional jika terdapat ternak yang terserang penyakit.

Tinja dan urin dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthraks melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthraks dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthraks sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).


(1)

64

4. Pakan Ternak

5. Perkawinan Ternak


(2)

65 Lampiran 3. Daftar Identitas Responden

No Nama Usia

(tahun) Tingkat Pendidikan Beternak (tahun) Jumlah Ternak

1. Bu Dalima 33 SD >5 7

2. Bu Rosmanita 28 SMA ≤5 2

3. Bu Narti 39 SD > 5 3

4. Bu Jawarnis 42 SD > 5 4

5. Bu Linda 36 SD > 5 4

6. Bu Yosta Defina 29 SMA ≤ 5 3

7. Bu Arni 46 SD > 5 4

8. Bu Darmi 43 SD > 5 4

9. Bu Desmanita 32 SD > 5 3

10. Bu Seswenti 30 SMA ≤ 5 6

11. Bapak Umar 65 SD > 5 3

12. Bapak Muhammad

63 SD > 5 4

13. Bapak Yendri 33 SD > 5 2

14. Bapak Japri 40 SD > 5 4

15. Bapak Bakri 52 SD > 5 6

16. Bapak Nahar 46 SD > 5 4

17. Bapak Syahrial 43 SMA ≤ 5 4

18. Bapak Jayardi 49 SD > 5 7

19. Bapak Jalius 50 SD > 5 3

20. Bapak Nanda 39 SMA ≤ 5 4

21. Bapak Sudirman 52 SD > 5 3

22. Bapak Abdullah 59 SMA ≤ 5 12

23. Bapak Yurnalis 37 SD > 5 3

24. Bapak Ramli 39 SD > 5 4

25. Bapak Afrizal 48 SD ≤ 5 4

26. Bapak Sutikno 51 SD > 5 4

27. Bapak Zainatul 49 SD > 5 3

28. Bapak Manan 47 SD > 5 3

29. Bapak Zulkifli 58 SMA > 5 2

30. Bapak Afrizon 46 SMA > 5 2

31. Bapak Isman 46 SMA > 5 4

32. Bapak Subono 52 SMA > 5 6

33. Bapak Syafril 51 SD > 5 6

34. Bapak Kardinal 49 SD > 5 4

35. Bapak Azis 53 SD > 5 4

36. Bapak Nofiardi 49 SMA > 5 18

37. Bapak Syaipul 37 SD > 5 3

38. Bapak Syamsubir 49 SD > 5 6

39. Bapak Suradi 51 SD > 5 3


(3)

66 Lampiran 4. Data Statistik Peternakan Kabupaten Tanah Datar


(4)

i RINGKASAN

Angga Prasetya. D14070232. 2011. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong pada Peternakan Rakyat di Sekitar Kebun Percobaan Rambatan BPTP Sumatera Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc

Usaha peternakan menjadi modal penting bagi terwujudnya program pemerintah yaitu swasembada daging tahun 2014. Para peternak sebagai pemegang peranan penting dalam usaha ini haruslah mampu bersikap bijak dan terampil dalam memelihara ternak mereka. Di dalam menghasilkan produktivitas yang tinggi maka banyak hal yang harus dilakukan diantaranya manajemen pemeliharaan yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengevaluasi manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar Kebun Percobaan Rambatan Kabupaten Tanah Datar. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah agar peternak mengetahui manajemen pemeliharaan yang baik untuk meningkatkan produktivitas peternakan yang mereka kelola dan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi serta seluruh pihak terkait guna memperbaiki permasalahan peternakan di daerah penelitian.

Penelitian ini dilakukan di sekitar Kebun Percobaan Rambatan, Jorong Rambatan, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2011. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peternak sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan dengan jumlah sampel 40 orang peternak. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data dianalisis secara deskriptif.

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan semuanya adalah semi intensif. Kawasan di sekitar Kebun Percobaan Rambatan ini merupakan lahan yang sangat potensial dalam mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Hijauan makanan ternak berupa limbah pertanian yang dihasilkan dari Kebun Percobaan Rambatan ini dapat dijadikan sebagai pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan harian ternak.

Manajemen pemeliharaan sapi potong meliputi pakan yang diberikan, pe-nanganan kesehatan, perkandangan dan perkawinan. Jenis sapi yang dipelihara oleh peternak yaitu sapi Simmental, sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 70% peternak memberikan pakan dengan kombinasi antara rumput budidaya (rumput gajah) dan rumput lapang. Sebanyak 90% peternak memiliki kandang yang berjarak lebih dari lima meter dari pemukiman mereka. Terdapat sebanyak 95% peternak menggunakan sistem Inseminasi Buatan (IB) dan sisanya sebanyak 5% peternak menggunakan sistem perkawinan secara alami.

Berdasarkan analisis yang dibandingkan dengan standar Good Farming

Practices (Direktorat Jenderal Budidaya Peternakan, 2000) menunjukkan bahwa

pemeliharaan sapi potong di sekitar Kebun Percobaan Rambatan dapat dikatakan kurang baik. Bangunan kandang terbuat dari bahan yang kurang bermutu, tidak memiliki ventilasi yang baik, sehingga belum memenuhi persyaratan yang


(5)

ii dibutuhkan. Salah satu unsur terpenting dalam manajemen pemeliharaan sapi potong yaitu faktor manusia. Pemeliharaan sapi potong oleh masyarakat dilakukan dengan kurang baik, karena performa tubuh sapi terlihat kurang baik dan pertumbuhan yang kurang. Penanganan kesehatan juga telah dilakukan dengan baik, terlihat saat pengamatan tidak terdapat sapi yang mengalami sakit yang serius ataupun sapi yang mati.


(6)

iii ABSTRACT

Management of Beef Cattles in BPTP Rambatan, West Sumatera Prasetya, A., L.Cyrilla, dan M. Baihaqi

This study aimed to evaluate beef cattle management in farms around BPTP in West Sumatera. West Sumatra is an agrarian territory and has a potency to increase beef cattle’s productivity. In the regency of Tanah Datar, more than 70% of the citizens work in agriculture sector (food crops, plantation, fishery, and livestock farming). The Problem in livestock farming was people has a lack of knowledge about management breeding which causing non optimum production. Good farming practices such as breeding, feeding, health management, and waste management will leads to be high productivity. There were 70% farmers feed their cattle with combination of cultivated grass and weeds. There were 90% farmers have their farm for more than 5 meters away from their houses. There were 95% farmers using Artificial Insemination (AI) and the other (5%) using natural insemination. A good management was expect to increase a biosafety and bio-security in this area.