Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.

(1)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Balikpapan, Kalimantan Timur, merupakan kota pesisir berupa teluk yang memiliki banyak muara sungai dan arus serta gelombang yang relatif tenang (Yani, 2003). Potensi sumberdaya pesisir yang tinggi telah mendapat perhatian Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangannya. Salah satu kegiatan pengembangan sumberdaya ini berada di sekitar Sungai Somber, sungai yang tergolong sungai kecil yang bermuara ke Teluk Balikpapan (BPMPPT, 2011). Bagian hilir Sungai Somber terdapat beragam aktifitas manusia, seperti

perkapalan, industri, pemukiman dan pertanian (Yani, 2003). Namun demikian, berbagai aktifitas tersebut dapat mempengaruhi kualitas perairan sungai karena potensi masukan antropogenik (senyawa organik maupun non-organik) dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai menuju estuari (BPMPPT, 2011).

Hidrokarbon merupakan salah satu komponen bahan organik yang sangat potensial menurunkan kualitas perairan di sekitar Sungai Somber. Secara umum keberadaan hidrokarbon di suatu perairan dapat berasal dari buangan di daratan, buangan lepas pantai yang tidak disengaja, deposit atmosfer (Marsaoli, 2004), aliran sungai, buangan kapal dan lalu lintas kapal (Mille et al., 2006). Buangan limbah mengandung hidrokarbon dapat terjadi di wilayah Sungai Somber karena adanya berbagai kegiatan pelayaran dan pelabuhan. Kontaminan hidrokarbon dalam perairan secara perlahan akan mengendap dan terakumulasi dalam sedimen. Namun, tingginya konsentrasi hidrokarbon dalam sedimen tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kontaminasi minyak, melainkan dipengaruhi oleh


(2)

2

sumber alami (Mille et al., 2006). Sumber alami hidrokarbon di perairan dapat berasal dari tanaman tingkat tinggi di daratan (nC23-35) dan plankton (nC15-21).

Nilai carbon preference index (CPI) juga dapat digunakan untuk mengindikasi bahwa keberadaan hidrokarbon dapat dipengaruhi oleh minyak jika nilai CPI kurang dari atau mendekati 1.

Penelitian mengenai senyawa hidrokarbon khususnya senyawa alifatik dan aromatik di perairan estuari dan laut telah banyak dilakukan baik pada sedimen maupun air. Hal tersebut mencakup sumber-sumber hidrokarbon dan bagaimana pola penyebarannya pada sedimen di perairan (Mille et al., 2006; Peng et al., 2008; Martins et al., 2010; Maioli et al., 2011; Martins et al., 2011). Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) digunakan untuk mengevaluasi sumber polusi di perairan estuari (Maioli et al.,2010) dan PAH juga menjadi salah satu kontaminan pencemaran laut yang dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem laut (Elias et al., 2007). Memperhatikan potensi buangan hidrokarbon yang dapat mencemari lingkungan perairan dan kemungkinan pengembangan aktifitas Sungai Somber, penelitian tentang karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik

aromatik hidrokarbon perlu dilakukan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) pada sedimen di perairan muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur.


(3)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Sungai Somber merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Empat Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Balikpapan, yaitu Sub DAS Wain, Sub DAS Semoi, Sub DAS Sepaku dan Sub DAS Riko. Areal Sub DAS Somber tergolong tidak lebar serta berupa dataran rendah di sepanjang kiri dan kanan Sungai Somber serta berbukit di bagian hulu dan di sisi tenggara. Akan tetapi informasi tentang tingkat erosi bagian hulu Sub DAS Somber ini tergolong masih kurang (BPMPPT, 2011).

Sisi tenggara Sungai Somber terdapat kegiatan industri perkapalan dan pergudangan yang telah berkembang dengan baik. Disamping itu, sebagian lahan pada sisi tenggara Sungai Somber masih ditumbuhi pohon bakau. Sisi barat laut (kanan menuju hulu) Sungai Somber umumnya masih berupa hutan bakau dan belum ada kegiatan industri perkapalan. Kegiatan di tepi badan air hanya alat penangkap ikan statis berupa sero yang digunakan untuk menjebak ikan saat air surut (BPMPPT, 2011).

Sungai Somber bagian hilir digunakan sebagai pelabuhan kapal khusus ferry dan aktifitas dok kapal, industri kayu lapis, pertanian dan permukiman penduduk. Aktifitas-aktifitas yang terjadi di sekitar sungai menyebabkan

lingkungan alamiah seperti hutan bakau dan perairan serta organisme yang ada di dalamnya terganggu (Yani, 2003).


(4)

4

2.2. Hidrokarbon

Hidrokarbon merupakan senyawa organik paling sederhana yang terdiri dari karbon dan hidrogen yang berikatan pada kerangka dasarnya yaitu karbon. Hidrokarbon juga menjadi komponen materi organik yang masuk ke lingkungan perairan selain karbohidrat, protein, lignin dan tannin (Chester, 1990) yang termasuk ke dalam kelas senyawa lipid.

Hidrokarbon merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan sebagai penanda asal-usul sedimen pada suatu perairan. Komposisi hidrokarbon dapat ditemukan dalam sedimen yang menggambarkan peranan relatif dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu biogenik, diagenetik, petrogenik dan

pyrogenik (Lipiatou et al., 1997; Hostettler et al., 1999 in Mostafa et al., 2009).

n-alkana merupakan salah satu hidrokarbon yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi di daratan (nC23–nC35) maupun mikroorganisme di perairan seperti

plankton dan alga (nC15–nC21) (Chester, 1990).

2.2.1. Hidrokarbon alifatik

Senyawa alifatik tidak memiliki gugus fenil seperti pada aromatik. Senyawa alifatik dapat berupa asiklik dan siklik. Senyawa asiklik disebut alkana atau parafin dengan susunan rantai karbon lurus (linear arrangement) dan susunan rantai karbon bercabang disebut iso-alkana atau alkana bercabang. Senyawa siklik memiliki rantai karbon melingkar yang terdiri dari kombinasi lima atau enam karbon yang biasa ditemukan pada petroleum. Senyawa alkana siklik disebut juga naften. Senyawa alkana merupakan senyawa alifatik jenuh yang memiliki ikatan tunggal (single bond). Senyawa alifatik tak jenuh terdiri dari


(5)

5

alkena dan aromatik yang memiliki ikatan rangkap dua (double bond) (Peters and

Moldowan, 1993) dan alkuna yang memiliki ikatan rangkap tiga.

Hidrokarbon alifatik di perairan dapat terakumulasi dalam sedimen (Wakeham et al., 2004 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik berasal dari sumber alami termasuk biogenik dan dari sumber antropogenik (petrogenik). Hidrokarbon alifatik antropogenik dalam sedimen sebagian besar berasal dari sisa-sisa minyak dengan komponen n-alkana, alkana bercabang dan siklik (hopana dan sterana) (Gambar 1), dan biasanya mengandung komponen Unresolved Complex Mixture (UCM) (Doskey, 2001 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik dapat masuk dari atmosfir dan komponen lilin tanaman (vegetation waxes) yang terlepas ke udara melalui proses pelapukan (Azevedo et al., 1999;

Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010).

Gambar 1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik (n-alkana, alkana bercabang, hopane, sterana)

Rasio konsentrasi n-alkana bernomor ganjil dan genap, umumnya ditunjukkan sebagai Carbon Preference Index (CPI) yang digunakan untuk

Sterana

Alkana

Hopana n-alkana

n-Butana H C H C

C C

H

H

H H

H H


(6)

6

mengindikasikan sumber n-alkana (Azevedo et al., 1999; Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010). Ada beberapa nilai CPI yang menjadi indikasi dari mana hidrokarbon berasal (Mazurek et al., 1989; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010), yaitu:

 CPI 0.96-1.01 : sumber petrogenik  CPI 0.93-1.2 : buangan kendaraan  CPI 1.2-5 : pembakaran kayu  CPI > 4: sumber biogenik

 CPI 6-30 : lapisan lilin (wax) tanaman tingkat tinggi  CPI 10 : kebakaran hutan

2.2.2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) adalah senyawa yang terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik (benzene) yang memiliki enam atom karbon (C) (Neff, 1979). Contoh senyawa PAH diantaranya adalah phenanthrene,

fluoroanthene dan benz[a]anthracene yang masing-masing memiliki tiga sampai empat cincin aromatik (benzene), kecuali pada fluoroanthene yang juga berikatan dengan siklopentana (Gambar 2). PAH merupakan senyawa kimia karsinogenik yang terbentuk oleh pembakaran bahan organik yang tidak sempurna pada proses antropogenik seperti pembakaran fosil dan proses alami seperti kebakaran hutan (Harvey, 1998 in Orecchio et al., 2009; Pitts et al., 2000 in Itoh et al., 2008).


(7)

7

(a) (b) (c)

Gambar 2. Struktur senyawa aromatik (a) Phenanthrene, (b) Fluoranthene dan (c) Benz[a]anthracene

PAH secara umum dibentuk oleh berbagai macam proses, seperti biosintesis, diagenesis bahan organik yang memproduksi bahan bakar fosil dan pembakaran tidak sempurna dari bahan organik (Neff, 1979). Nikolaou et al.

(2009) in Nugraha (2011) membagi tiga kategori sumber PAH yaitu:

1. PAH petrogenik, yang terkait dengan petroleum (minyak), termasuk minyak mentah dan produk penyulingannya.

2. PAH biogenik, yang berasal dari proses biologi atau tahap awal dari diagenesis pada sedimen laut (misal: perylene).

3. PAH pyrogenik, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) dan material organik seperti kayu.

Kadar PAH yang relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Menurut Connel dan Miller (1981) in Marsaoli (2004) PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan atmosferik dari pembakaran bahan bakar fosil. Walaupun PAH bersifat toksik, keberadaan senyawa PAH di lingkungan perairan sulit untuk dideteksi (Neff, 1979).


(8)

8

2.3. Sedimen

Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sedimen terdiri dari beberapa komponen yang bervariasi, tergantung dari lokasi,

kedalaman, dan geologi dasar (Forstner dan Witman, 1983 in Mulyawan, 2005). Sedimen di dasar laut berasal dari berbagai sumber materi (Wibisono, 2005; Sanusi, 2006), yaitu:

1. Sedimen Lithogenous, berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai (fluvial transport) dan angin (aeolian

transport) yang masuk ke lingkungan laut.

2. Sedimen Hydrogenous, terbentuk akibat proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia yang terlarut dalam laut.

3. Sedimen Biogenous, berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah cangkang (shell) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous).

4. Sedimen Cosmogenous, berasal dari luar angkasa yang ditemukan di dasar laut.

Sanusi (2006) menyatakan bahwa terbentuknya senyawa kimia dalam sedimen disebabkan oleh reaksi oksidasi-reduksi dan akan mempengaruhi habitat serta kehidupan organisme bentik. Selain itu, proses-proses fisika kimia lainnya yang terjadi dalam sedimen adalah adsorpsi-desorpsi dan solidifikasi-disolusi yang akan mempengaruhi komposisi spesiasi kimia sedimen dan lapisan air di permukaan sedimen (sediment-water interface) melalui interaksi air sedimen.


(9)

9

Proses lain yang terjadi pada sedimen adalah diagenesis. Menurut Peters dan Moldowan (1993), diagenesis merupakan perubahan yang terjadi secara biologi, fisika dan kimia pada bahan organik dalam sedimen khususnya perubahan signifikan akibat bahang (heat). Beberapa faktor yang berperan terhadap

diagenesa sedimen adalah perubahan fisik lingkungan (peningkatan penimbunan, suhu dan tekanan), kimiawi (kandungan oksigen, mineral dan potensi redoks) dan biologi (aktifitas bakteri, jenis bakteri).

Umumnya daerah aliran sungai (DAS) selalu membawa endapan lumpur akibat erosi yang terjadi secara alami dari pinggiran sungai dan hampir seluruh kandungan sedimen akan meningkat terus akibat erosi dari tanah pertanian kehutanan, konstruksi, dan pertambangan (Darmono, 2001). Sedimen yang terbawa oleh sungai tentu membawa bahan organik dan anorganik yang akan mempengaruhi kondisi perairan.

Bahan organik pada sedimen berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan liat (Keller dan Wibel, 1991 in Mulyawan, 2005).

Sedimen muara (estuari) merupakan tempat mengendap dan

terakumulasinya berbagai jenis bahan organik dan anorganik yang terbawa oleh aliran sungai dari daratan atau berasal dari limbah yang dihasilkan oleh beragam aktifitas manusia yang terjadi di sekitar muara. Sedimen di muara biasanya memiliki ukuran partikel yang lebih halus. Terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik


(10)

10

pada sedimen halus lebih tinggi jika dibandingkan dengan sedimen yang kasar karena pada sedimen kasar partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral (Boehm, 1987

in Mulyawan, 2005). Tabel 1 merupakan klasifikasi sedimen berdasarkan ukurannya (Wibisono, 2005).

Tabel 1. Ukuran besar butir sedimen menurut Skala Wentworth

Nama Partikel Ukuran (mm)

Batu (Stone) Bongkah (Boulder) >256

Krakal (Coble) 64 - 256

Kerikil (Peble) 4 - 64

Butiran (Granule) 2 - 4

Pasir (Sand) Pasir sangat kasar (very coarse sand)

1 - 2 Pasir kasar (coarse sand) ½ - 1 Pasir sedang (medium sand) ¼ - ½ Pasir halus (fine sand) 1/8 – ¼ Pasir sangat halus (very fine

sand)

1/16 – 1/8 Lanau (Silt) Lanau kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16 Lanau sedang (medium silt) 1/64 – 1/32 Lanau halus (fine silt) 1/128 – 1/64 Lanau sangat halus (very fine

silt)

1/256 – 1/128 Lempung (Clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256

Lempung sedang (medium clay)

1/1024 – 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024 Lempung sangat halus (very

fine clay)


(11)

11

2.4. Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GC-MS)

Kromatografi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menguraikan suatu campuran. Komponen-komponen dalam kromatografi akan terdistribusi ke dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase bergerak (Khopkar, 2003).

GC–MS merupakan singkatan dari Gas Chromatography - Mass

Spectrometry. Kromatografi gas merupakan metode analisis senyawa pada suatu sampel yang dipisahkan secara fisik sebelum pengukuran, sedangkan spektrometri massa adalah suatu metode analisis dimana sampel dikonversi menjadi ion-ion gas dan kemudian dilakukan pengukuran terhadap massa ion-ion tersebut. GC

berfungsi sebagai inlet sampel bagi MS dan MS berfungsi sebagi detektor GC (Shimadzu, 2002).

Data yang dihasilkan oleh GC – MS akan ditampilkan dengan

kromatogram (GC) dan spektrum massa (MS) dimana sumbu x menunjukkan waktu penyimpanan (retention time) dan sumbu y menunjukkan intensitas. Masing-masing puncak (peak) pada kromatogram menunjukkan satu senyawa. Spektrum massa memiliki base peak (m/z) dan dapat memberikan informasi tentang berat molekul dan struktur kimia (Shimadzu, 2002)

GC-MS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, dan sakarosa bersifat tidak menguap,

sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat MS. Kriteria menguap pada GC-MS adalah:

1. Pada kondisi vakum tinggi, tekanan rendah. 2. Dapat dipanaskan.


(12)

12

Gambar 3. Diagram alir prosedur kerja GC-MS Gas Chromatography –

Mass Spectrometry

Mass Spectrometer Gas Chromatograph

Pemisahan >> Kolom GC

Fase diam dan bergerak (dorongan gas He) Sampel (senyawa)

Ionisasi

Senyawa akan terpisah injeksi

Pemisahan ion sesuai dengan m/z masing-masing ion

Pengukuran

kelimpahan/intensitas

Penurunan suhu dan tekanan MS

Mass analyzer

Detector


(13)

13

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang meliputi analisis laboratorium dan analisis data dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011. Cuplik sedimen yang dianalisis di laboratorium merupakan cuplik sedimen yang diambil di sekitar muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Selanjutnya, cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer di Laboratorium Pilot Plan PAU-IPB. Analisis hidrokarbon dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan cuplik sedimen di Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur


(14)

14

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Cuplik sedimen

Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari muara Sungai Somber yang telah dikeringkan dan dihomogenkan.

3.2.2. Peralatan laboratorium

Peralatan penelitian berupa soxhlet, round bottle glass, gelas beaker, gelas erlenmeyer, gelas ukur, kolom pemisah (funnel glass), kolom kromatografi, pipet tetes, gelas vialyang telah dicuci dengan sabun teepol dan dibilas dengan air. Peralatan kemudian dikeringkan dengan oven (800C) selama 24 jam dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah kering, alat yang akan digunakan dibilas dengan methanol (MeOH), diklorometana (DCM) dan n-

heksana secara berurutan (Prartono, 1995). Selain peralatan tersebut juga digunakan peralatan lain sepertti Rotary Evaporator (untuk penguapan), stirrer (untuk hidrolisis) dan GC – MS (untuk identifikasi) (Lampiran 1).

3.2.3. Pelarut organik

Pelarut organik yang digunakan adalah methanol (MeOH; Merck;

LiChrosolv), diklorometana (DCM; Merck; Pro Analysis), n-heksana (Merck; Pro Analysis) dan etil asetat (Merck; Pro Analysis) yang telah didestilasi untuk mengurangi kontaminan yang terkandung dalam pelarut (Prartono, 1995).


(15)

15

3.2.4. Pereaksi

1) Anhydrous Sodium Sulfat

Anhydrous sodium sulfat dibilas dengan diklorometana (DCM), kemudian diaktivasi (500ºC; 4 jam) menggunakan oven. Selanjutnya, didinginkan pada desikator dan disimpan hingga akan digunakan (Prartono, 1995).

2) Bubuk Tembaga Aktif

Tembaga aktif disiapkan menurut prosedur dari Blumer (1957) in Prartono (1995). Tembaga (II) sulfat ditimbang 45 g , kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades dan ditambahkan Hydrochloric Acid (2 M; 20 ml). Bubuk seng ditimbang 15 g dan dilarutkan dalam 25 ml akuades. Kemudian larutan seng dimasukkan dalam larutan tembaga (II) sulfat secara perlahan dan diaduk. Pengadukan terus dilakukan hingga terbentuk endapan tembaga dari warna merah hingga merah kecokelatan. Cairan

dipermukaan kemudian dibuang. Endapan tembaga dibilas dengan DCM dan n-heksana.

3.2.5. Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040 – 0.063 mm)

Silika gel yang digunakan pada kolom kromatografi (0.040 – 0.063 mm; Merck, Jerman) dideaktivasi dengan 5% akuades. Tahap awal deaktivasi, silika gel (8 g) dimurnikan melalui ekstraksi menggunakan alat soxhlet (6 jam) dengan campuran n-heksana - methanol (1:1) sebanyak 120 ml. Silika yang telah

diekstraksi kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil.

Aluminium foil yang berisi silika dipanaskan dalam oven (500ºC; 1 jam). Setelah itu, suhu diturunkan secara bertahap menjadi 150ºC hingga 120ºC, kemudian


(16)

16

disimpan dalam desikator selama 30 menit. Deaktivasi silika gel dilakukan dengan menambah akuades 5% (0.4 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi silika 95% (7.6 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang. Secara umum, jumlah akuades (5%) yang ditambahkan berdasarkan persamaan (1) dan (2) (Prartono, 1995).

Wt =

Ws

0.95 Wh = Wt - Ws dimana :

Wt = total (berat SiO2 + H2O) Ws = berat SiO2

Wh = berat H2O yang ditambahkan

3.3. Pengambilan Cuplik Sedimen 3.3.1. Waktu dan tempat

Pengambilan cuplik sedimen dilaksanakan pada 27 Januari 2011 di Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur. Secara geografi lokasi penelitian berada pada 1º12’30”LS-1º13’30”LS dan 116º49’30”BT-116º51’00”BT. Pengambilan cuplik sedimen dilakukan pada enam titik. Namun, untuk penelitian ini hanya menggunakan cuplik sedimen yang diambil pada dua titik, yaitu bagian hulu dan muara yang berjarak ± 2.14 kilometer.

3.3.2. Perlakuan cuplik sedimen

Pengumpulan cuplik sedimen dilakukan pada bagian hulu dan muara Sungai Somber. Titik pengambilan cuplik sedimen dilihat posisinya (lintang dan bujur) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Cuplik

... (1) ... (2)


(17)

17

sedimen permukaan dikoleksi dengan menggunakan alat Van Veen grab dengan hanya satu kali pengambilan (tanpa pengulangan). Cuplik sedimen kemudian disimpan pada wadah botol. Selanjutnya, disimpan dalam kotak es yang telah diberi es batu. Cuplik sedimen dibekukan dengan freezer untuk analisis lebih lanjut di laboratorium.

3.4. Prosedur analisis hidrokarbon 1) Ekstraksi

Cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer (24 jam), kemudian dihomogenkan menggunakan saringan dengan mesh size 250 µm. Cuplik sedimen yang telah dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Selanjutnya cuplik sedimen diekstraksi dengan 120 mL pelarut campuran (1:1) diklorometana (DCM) dan methanol (MeOH) menggunakan soxhlet selama 24 jam.

Hasil ekstraksi diuapkan dengan rotary evaporator hingga tersisa ekstrak kurang lebih 2 ml. Ekstrak dihidrolisis dengan 6% KOH dalam MeOH (30 ml; 12 jam) (Prartono, 1995). Setelah hidrolisis dilakukan pemisahan antara fraksi netral dan fraksi asam lemak. Fraksi netral didapat melalui ekstraksi dengan n-heksana (3x30 ml) dan sisanya adalah fraksi asam lemak.

2) Fraksinasi

Fraksinasi dimulai dengan memasukkan fraksi netral ke kolom kromatografi yang telah terisi silika gel (5% dideaktivasi silika; 8 g). Fraksi yang diperoleh adalah : (I) fraksi alifatik diperoleh dengan


(18)

18

mengelut kolom dengan 50 ml n-heksana, (II) fraksi aromatik diperoleh dengan mengelut campuran 20 ml dari n-heksana : diklorometana (9 : 1) diikuti oleh 60 ml campuran n-heksana : diklorometana (1 : 1) dan (III) fraksi polar diperoleh dengan mengelut campuran 25 ml dari 25% etil asetat dalam n-heksana.

Selanjutnya, hasil tiap fraksi diuapkan (tanpa nitrogen) hingga diperoleh kurang lebih 2 ml dan dimasukkan ke dalam gelas vial. Sampel yang telah dimasukkan dalam gelas vial kemudian diuapkan dengan nitrogen hingga kering. Pelarut n-heksana ditambahkan sebanyak 0.5 ml ke dalam gelas vial bila akan dianalisis dengan GC-MS (Prartono, 1995).

3) Analisis kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS)

Analisis kromatografi gas–spektrometri massa (Gas Chromatography–Mass Spectrometry/ GC-MS) menggunakan

kromatografi gas Shimadzu QP2010 yang dilengkapi dengan kolom silika DB-5 ms (panjang 30 m; 0.32 mm diameter dalam; dan 0.25 µm ketebalan lapis film) serta helium sebagai gas pendorong. Kromatografi gas

memiliki batas deteksi 0.001 ppb. Kromatografi gas menggunakan mode injeksi split dengan rasio 1 : 2. Suhu oven kromatografi gas diprogram dari 40ºC sampai 300ºC pada laju 6ºC/ menit setelah satu menit dan dibiarkan konstan pada 3000C selama 20 menit. Kondisi GC-MS adalah ionisasi potensial/ electron energy 70eV, ion source temperature 230ºC dan interface temperature 250ºC. Full mass data dicatat antara 45–600 Dalton setiap detik. Data dicatat dan diproses/ analisis dengan perangkat lunak GCMS Real Time Analysis dan GCMS Postrun Analysis.


(19)

19

4) Identifikasi hidrokarbon

Hidrokarbon diidentifikasi dan menggunakan kromatografi gas dan kromatografi gas–spektrometri massa. Identifikasi hidrokarbon dilakukan dengan membandingkan indeks relative retention dan mass spectra

dengan data literatur.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Perhitungan parameter molekuler

Nilai Carbon Preference Index (CPI) untuk n-alkana/ HC dihitung dengan persamaan (3) dan (4) berikut (Prartono, 1995; Silva et al., 2008) :

n-alkana=

Keterangan:

n-alkana ganjil Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon ganjil

m sampai n

n-alkana genap Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon genap

m sampai n

Untuk menginterpretasikan dominasi terestrial versus akuatik digunakan terestrial to aquatic ratio (TAR) (Meyers, 1997; Lu and Meyers, 2009) dengan persamaan (5) berikut:


(20)

20

TAR HC =

C27 + C29 + C31

C15 + C17 + C19

3.5.2. Penentuan nomor karbon

Penentuan nomor karbon pada senyawa n-alkana adalah dengan menghitung bobot molekul yang muncul pada spektra massa (Lampiran 3). Bentuk fragmentasi ion dicirikan oleh kelompok peak dimana penghubung peak

pada setiap kelompok bernilai 14 (CH2) satuan massa. Peak terluas pada tiap

kelompok merepresentasikan fragmen CnH2n+1 dan m/z = 14n+1, dan disertai

dengan fragmen CnH2n dan CnH2n-1 (Silverstein et al., 1991). Secara sederhana

dituliskan dengan persamaan:

dimana:

x = nomor karbon (n-alkana)

m = bobot molekul yang muncul pada peak spektra massa 14 = berat molekul CH2

... (5)

………(6)

14 2

m nCx


(21)

21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana)

4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik

Identifikasi hidrokarbon alifatik (n-alkana) dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa alifatik yang telah direkam selama 50 menit. Karakteristik

n-alkana yang muncul pada spektra massa dicirikan dengan mass to charge ratio

(m/z) 57. Selain itu juga dilihat berdasarkan molecular peak yang menunjukkan nilai bobot molekul senyawa n-alkana untuk menentukan nomor karbon pada senyawa n-alkana.

4.1.2. Hasil analisis

Karakteristik sebaran n-alkana pada sedimen di hulu dan hilir (muara) Sungai Somber yang terdeteksi berkisar antara nC13 sampai nC33 (Gambar 5 dan

6). Sebaran juga menunjukkan kecenderungan monomodal dengan Cmax pada

bagian hulu dan muara berturut-turut terdapat pada nomor karbon nC29 dan nC27 .

Nilai Carbon Preference Index (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah

1.00 dan 1.17, sedangkan pada muara nilai CPI15-21dan CPI21-31adalah 1.22 dan

1.14. Nilai CPI > 1menunjukkan rantai karbon ganjil lebih dominan daripada rantai karbon genap dan sebaliknya nilai CPI < 1 menunjukkan rantai karbon genap lebih dominan. Nilai CPI pada hulu dan muara berkisar antara 1.00-1.22 yang menunjukkan bahwa sebaran n-alkana pada sedimen lebih didominasi oleh rantai karbon ganjil.


(22)

22 Gambar 5. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik(n-alkana) pada sedimen di bagian hulu Sungai Somber, Balikpapan,

Kalimantan Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.00

CPI21-31= 1.17

TARHC = 1.63

C17

Pristana

C18 Phytana

C31 C21

C23

C25 C27

C29

C33 C13

C15

C17

C19

UCM

Waktu (menit)


(23)

23 Gambar 6. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan

Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.22

CPI21-31= 1.14

TARHC = 4.40

C17 C18

Pristana

Phytana

UCM

Waktu (menit)

C13 C15

C19

C17 C33

C29

C31 C27

C25 C23

C21


(24)

24

Kisaran nilai CPI tersebut dapat mengindikasikan bahwa terdapat

kontaminasi antropogenik pada sedimen perairan yang disebabkan oleh masukan limbah yang berasal dari aktifitas manusia dan industri yang berada di sekitar sungai dari hulu hingga ke muara. Nilai CPI15-21 pada bagian hulu berada pada

kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan hidrokarbon berasal dari sumber petrogenik (minyak mentah dan hasil penyulingannya, tidak termasuk minyak nabati).

Indikasi lain yang juga digunakan untuk menunjukkan kontribusi minyak adalah adanya Unresolved Complex Mixture (UCM) yang merupakan bagian hidrokarbon yang mengalami degradasi. UCM dapat diketahui dengan naiknya satu atau dua baseline yang membentuk punggung bukit (hump) pada

kromatogram gas (Gao et al., 2007). Kontaminasi petroleum (minyak) di hulu dan muara Sungai Somber, Balikpapan diduga berasal dari aktifitas pelabuhan, perkapalan, industri pertanian, pemukiman dan kegiatan masyarakat lainnya yang terjadi di bagian hilir hingga muara Sungai Somber, Balikpapan (Yani, 2003). Hal ini tentunya akan berdampak pada lingkungan sekitar, khususnya hutan bakau dan lingkungan perairan serta biota yang ada di dalamnya.

Sebaran biomarkern-alkana pada rantai pendek C<20 berasal dari organisme laut seperti alga, sedangkan biomarker dengan rantai panjang C>20 menunjukkan bahwa n-alkana berasal dari tanaman tingkat tinggi (Killops and

Killops, 1993). Oleh karena itu, perbedaan rasio antara C>20 dan C<20

digunakan untuk menduga kontribusi allotonus dan autotonus dengan menghitung nilai TARHC (Gao et al., 2007). Nilai dari TARHC pada sedimen Muara Sungai


(25)

25

bahwa masukan hidrokarbon yang berasal dari masukan terestrial (alotonus) (Meyers, 1997 in Nugraha, 2011) lebih besar jika dibandingkan dengan hidrokarbon yang berasal dari perairan (Gao et al., 2007) sehingga memiliki peranan yang lebih besar.

Tingginya intensitas nilai C>20 ini dapat dipahami karena di sekitar Sungai Somber banyak ditemukan daerah yang ditumbuhi oleh vegetasi

mangrove. Intensitas atau kelimpahan hidrokarbon berdasarkan luas area lebih tinggi pada bagian muara. Namun demikian, intensitas di mulut estuari adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah hulu estuari. Hal ini dapat

menunjukkan tingkat perbedaan proses akumulasi materi. Pada Sungai (estuari) Somber, rendahnya akumulasi materi diduga berkaitan dengan proses

hidrodinamika estuari, dimana pada daerah hulu estuari menunjukkan kondisi yang relatif tenang dibandingkan dengan daerah mulut estuari.

Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa

n-alkana pada sedimen, tetapi juga terdapat senyawa hopana dan isoprenoid (Pristana dan Phytana). Karakteristik hopana pada cuplik sedimen dideteksi berdasarkan base peak ( m/z) 191 (Gambar 7), selanjutnya diidentifikasi spektra massanya. Spektra massa merupakan kumpulan dari beberapa satuan massa ion yang terfragmentasi. Spektra massa pada biomarker biasanya menunjukkan massa molekul dan karakteristik bentuk fragmentasidapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa. Setiap senyawa memiliki spektra massa yan dapat digunakan untuk identifikasi (Peters and Moldowan, 1993).


(26)

26

100 200 300 400 500

0 50 100 % 83 55 191 68

71 95 149 123

290

93 164 206 263 377

58 442

Gambar 7. Spektra massa senyawa hopana di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Hopana merupakan sikloalkana bercabang yang terdiri dari lima atau enam cincin karbon yang menggambarkan biomarker dengan karakteristik sebaran struktur dan sterokimia isomer yang tinggi pada minyak dan sedimen (Peters and

Modolwan, 1993). Hopana yang terdapat pada sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur berasal dari fitoplankton dan bakteri.

Senyawa hopana (m/z 191) pada sedimen dapat dijadikan indikator tingkat kematangan termal sedimen. Kebanyakan senyawa hopana berasal dari hasil reduksi bakteri hopanotetrol. Senyawa ini berada dalam bentuk tidak stabil pada proses diagenesis sehingga dipakai untuk mengindikasikan tingkat kematangan termal rendah (Ourrisson et al., 1979 in Yuanita, 2007).

4.2. Isoprenoid

Identifikasi senyawa isoprenoid pada dasarnya sama dengan identifikasi senyawa n-alkana. Umumnya senyawa isoprenoid terdiri dari 20 atom karbon atau kurang (Peters and Moldowan, 1993). Senyawa isoprenoid yang

teridentifikasi pada sedimen adalah senyawa isoprenoid yang memiliki ciri m/z 57 yaitu pristana (C19) dan phytana (C20). Umumnya senyawa pristana muncul

setelah n-alkana C17 dan phytana setelah n-alkana C18 (Gambar 8 dan 9).

m/z X

148+X 191


(27)

27

100 200 300 400 500 600

0 50 100 % 57 71 113 85

70 127 183

Gambar 8. Spektra massa isoprenoid pristana (Pr) di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur

100 200 300 400 500

0 100 200 % 57 71 85 99

69 155 197221 264

Gambar 9. Spektra massa isoprenoid phytana (Ph) di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur

Pada dasarnya analisis fingerprint senyawa isoprenoid hampir sama

dengan senyawa n-alkana. Namun pada analisis senyawa isoprenoid (pristana dan phytana) tidak dilakukan perhitungan bobot molekul untuk menentukan nomor karbon karena pristana (Pr) memiliki nomor karbon C18 dan phytana (Ph) dengan

nomor karbon C20. Analisis fingerprint dengan kromatografi gas memiliki

beberapa keterbatasan. Tingginya konsentrasi senyawa n-parafin (n-alkana)dan senyawa asiklik isoprenoid dibandingkan dengan senyawa lain menyebabkan senyawa n-alkana dan isoprenoid muncul bersamaan pada kromatogram (Peters

and Moldowan, 1993).

Senyawa isoprenoid pristana (Pr) dan phytana (Ph) pada sedimen Muara Sungai Somber dideteksi berdasarkan intensitas spektra utama (base peak) m/z 57. Keberadaan senyawa isoprenoid pristana dan phytana diduga berasal dari

183

197 [M].+= 268

[M].+= 282

m/z


(28)

28

plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Kondisi lingkungan sekitar Muara Sungai Somber dan iklim akan mempengaruhi kelimpahan plankton di perairan, sehingga akan mempengaruhi keberadaan senyawa isoprenoid pristana dan phytana.

Pristana (C19) dan phytana (C20) merupakan senyawa isoprenoid yang

paling melimpah pada minyak mentah (Wang et al.,2006). Pristana diidentifikasi sebagai produk dari klorofil-a melalui proses pencernaan kopepoda (Blumer et al., 1971 in Prartono, 1995). Pristana dan phytana juga ditemukan pada jaringan tumbuhan vascular (Picea glauca) (Meyer et al., 1995 in Prartono, 1995). Namun, pristana juga dapat bersumber dari zooplankton (Blumer et al.,1963 in Medeiros

et al.,2005). Hidrokarbon isoprenoid pristana dan phytana adalah hasil

perubahan fitol pada lapisan sedimen dan yang lainnya merupakan hasil alami isoprenoidil dan bukan unsur utama dari kebanyakan biota teresterial (Peters and Moldowan, 1993).

4.3. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Senyawa PAH pada sedimen di bagian hulu dan muara tidak terdeteksi. Hal ini diduga karena konsentrasi senyawa PAH pada sedimen yang dianalisis sangat kecil sehingga tidak dapat dideteksi.

PAH merupakan pencampuran kompleks yang terdiri dari dua atau lebih ikatan cincin benzene. Sebanyak 16 susunan individual PAH ditetapkan sebagai bahan pencemar atau polutan utama oleh United States Environmental Protection Agency (USEPA) dalam kaitannya dengan karakteristik PAH yang bersifat toksik, mutagenik dan karsinogenik (Manoli, et al. 2000 in Maioli, 2010) (Tabel 2).


(29)

29

Tabel 2. PAH yang menjadi polutan utama menurut EPA 1997 (Wang dan Fingas 2003)

Senyawa Kode Nomor Cincin Ion Target

Biphenyl Bph 2 154

Acynaphtylene Acl 3 152

Acenapthene Ace 3 153

Anthracene An 3 178

Fluoroanthene Fl 4 202

Pyrene Py 4 202

Benz[a]anthracene BaA 4 228

Benzo[b]fluoranthene BbF 5 252

Benzo[k]fluoranthene BkF 5 252

Benzo[e]pyrene BeP 5 252

Benzo[a]pyrene BaP 5 252

Perylene Pe 5 252

Indeno[1,2,3-cd]pyrene IP 6 276

Dibenz[a,h]anthracene DA 5 278


(30)

30

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik hidrokarbon di sedimen Muara Sungai Somber memiliki kisaran rantai karbon alifatik nomor karbon C13-33 dengan monomodal di Cmax berturut-turut nC29 dan nC27. Hal ini

mengindikasikan masukan komponen allocththonous lebih dominan. Komposisi sumber hidrokarbon ini menunjukkan indikasi campuran biogenik dan petrogenik berdasarkan nilai CPI 1.00-1.22. Indikasi petrogenik juga ditunjukkan oleh keberadaan UCM (unresolved complex mixture-hidrokarbon terdegradasi) pristana, phytana dan hopana. Dalam penelitian ini komponen PAH belum terdeteksi baik di hulu maupun di muara Sungai Somber.

5.2. Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah:

1. Analisis lebih lanjut mengenai komponen lipid biomarker lainnya pada sedimen perairan muara Sungai Somber.

2. Penambahan titik pengambilan sampel di Teluk Balikpapan dengan karakteristik yang berbeda, seperti pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.


(31)

KARAKTERISTIK

ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON

DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER,

TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(32)

RINGKASAN

RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN. Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber, Teluk

Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh TRI PRARTONO.

Sungai Somber adalah salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Aktifitas perkapalan dan pelabuhan yang terjadi di sekitar sungai berpotensi menghasilkan buangan limbah yang mengandung hidrokarbon. Keberadaan hidrokarbon di lingkungan perairan dapat menjadi kontaminan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Dalam hal ini diperlukan informasi

mengenai karakteristik hidrokarbon di muara Sungai Somber, khususnya pada sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) di sedimen Muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.

Analisis laboratorium hidrokarbon alifatik dan PAH dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011 di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang. Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari Muara Sungai Somber. Analisis hidrokarbon pada cuplik sedimen diawali dengan

ekstraksi dengan pelarut campuran methanol (MeOH) dan diklorometana (DCM). Ekstrak selanjutnya difraksinasi dengan pelarut n-heksana (hidrokarbon alifatik) dan pelarut campuran DCM : n-heksana (PAH).

Hidrokarbon (alifatik dan PAH) dideteksi dan diidentifikasi spektra massanya dengan kromatografi gas – spektrometri massa (GC-MS). Perhitungan numerik yang dilakukan adalah perhitungan nilai carbon preference index (CPI) dan

teresterial to aquatic ratio (TARHC). Nilai CPI digunakan untuk melihat ada atau

tidaknya dominasi karbon ganjil atau genap pada kisaran nomor karbon tertentu, sedangkan nilai TARHC digunakan untuk menentukan apakah masukan

hidrokarbon lebih dipengaruhi oleh autohtonus atau alohtonus.

Senyawa hidrokarbon yang ditemukan memiliki kisaran nomor karbon C13-33

pada bagian hulu dan muara. Berdasarkan kisaran nomor karbon diperoleh nilai CPI (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah 1.00 dan 1.17, sedangkan pada

muara adalah 1.22 dan 1.14. Nilai CPI (C15-21) pada bagian hulu yang berada pada

kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan adanya kontribusi dari sumber petrogenik (petroleum). Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa n-alkana pada sedimen, tetapi juga terdapat senyawa hopana dan isoprenoid (Pristana dan Phytana) serta UCM (Unresolved Complex Mixture -hidrokarbon terdegradasi). Nilai TARHC yang diperoleh pada hulu dan muara

berturut-turut adalah 1.63 dan 4.40 yang menunjukkan bahwa masukan

hidrokarbon dari teresterial (alohtonus) lebih besar dibandingkan masukan dari perairan (autohtonus).

Komposisi sumber hidrokarbon menunjukkan campuran biogenik dan

petrogenik berdasarkan nilai CPI 1.00-1.22 yang lebih dominan dipengaruhi oleh masukan alohtonus. Keberadaan senyawa hopana dan UCM mengindikasikan hidrokarbon berasal dari sumber petrogenik. Polisiklik aromatik hidrokarbon pada sedimen baik di bagian hulu maupun muara belum terdeteksi.


(33)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

KARAKTERISTIK ALIFATIK DAN POLISIKLIK

AROMATIK HIDROKARBON DI SEDIMEN MUARA SUNGAI

SOMBER, TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN C54070002


(34)

© Hak cipta milik Rizki Fitri Andriyana Pohan, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(35)

KARAKTERISTIK

ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON

DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER,

TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(36)

Judul : KARAKTERISTIK ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER, TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

Nama : Rizki Fitri Andriyana Pohan NRP : C54070002

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc NIP. 19600727 198601 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(37)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber,

Balikpapan, Kalimantan Timur”dapat terselesaikan.

Hidrokarbon merupakan hal menarik untuk diteliti karena merupakan kontaminan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan. Analisis terhadap karakteristik hidrokarbon pada sedimen muara diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai hidrokarbon serta peranannya di lingkungan perairan laut. Skripsi ini memberikan informasi tentang karakteristik hidrokarbon pada sedimen, khususnya hidrokarbon alifatik dan polisiklik aromatik

hidrokarbon di muara Sungai Somber.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Namun demikian, informasi yang sedikit ini akan sangat bermanfaat.

Bogor, Maret 2012


(38)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, 3 Mei 1989 dari ayah Muhammad Anwar Toba dan ibu Derlina Harahap. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Padangsidimpuan pada tahun 2007. Tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa mata kuliah Ekologi Perairan (2009), Asisten mata kuliah Sosiologi Umum (2009) dan Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia (2010). Selain itu penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB (2008-2009) sebagai Wakil Ketua II dan Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK (2009-2010) sebagai Ketua Komisi Administrasi dan Keuangan.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi yang berjudul

“Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara


(39)

UCAPAN TERIMAKASIH

Atas terselesaikannya skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. 2. Papa dan Mama beserta adik-adik penulis atas kasih sayang, dukungan

semangat dan doanya.

3. Dr. Ir. Tri Prartono, M. Sc. selaku dosen pembimbing skripsi atas saran, kritik, bimbingan dan kesabarannya dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Mohammad Agung Nugraha, S. Pi, M. Si. atas waktu dan tenaga serta dampingannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah khususnya Mbak Pipit atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M. Sc. selaku dosen Pembimbing Akademik yang

telah banyak memberikan arahan dalam hal akademik selama penulis menempuh studi di Departemen ITK.

7. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M, Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran yang bermanfaat.

8. Dr. Henry M. Manik, S. Pi, M. T. selaku Komisi Pendidikan Departemen ITK. 9. Warga ITK, khususnya teman-teman ITK’44 atas dukungan semangat dan

doanya.

10.Staf Departemen ITK yang telah membantu dalam hal administrasi selama penulis menempuh studi di Departemen ITK.


(40)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 3 2.2. Hidrokarbon ... 4

2.2.1. Hidrokarbon alifatik ... 4 2.2.2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) ... 6 2.3. Sedimen ... 8 2.4. Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS) ... 11

3. METODE PENELITIAN ... 13 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13 3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 14 3.2.1. Cuplik sedimen ... 14 3.2.2. Peralatan laboratorium ... 14 3.2.3. Pelarut organik ... 14 3.2.4. Pereaksi ... 15 3.2.5. Silika gel 60 ... 15 3.3. Pengambilan Cuplik Sedimen ... 16 3.3.1. Waktu dan tempat ... 16 3.3.2. Perlakuan cuplik sedimen ... 16 3.4. Prosedur Analisis Hidrokarbon ... 17 3.5. Analisis Data ... 19 3.5.1. Perhitungan parameter molekul ... 19 3.5.2. Penentuan nomor karbon ... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21 4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana) ... 21 4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik ... 21 4.1.2. Hasil analisis ... 20 4.2. Isoprenoid ... 26 4.3. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) ... 28

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 30 5.1. Kesimpulan ... 30 5.2. Saran ... 30


(41)

x

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(42)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Ukuran besar butir sedimen menurut Skala Wentworth ... 10 2. PAH yang menjadi polutan utama menurut EPA 1997 ... 29


(43)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik ... 5 2. Struktur senyawa aromatik ... 7 3. Diagram alir prosedur kerja GC – MS ... 12 4. Peta lokasi pengambilan cuplik sedimen di Muara Sungai Somber,

Balikpapan, Kalimantan Timur ... 13 5. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada

sedimen di bagian hulu Sungai Somber, Kalimantan Timur ... 22 6. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada

sedimen di muara Sungai Somber, Kalimantan Timur ... 23 7. Spektra massa senyawa hopana di sedimen Muara Sungai

Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 26 8. Spektra massa isoprenoid pristana (Pr) di sedimen Muara Sungai

Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 27 9. Spektra massa isoprenoid phytana (Ph) di sedimen Muara Sungai


(44)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat yang digunakan pada analisis hidrokarbon ... 35 2. Karakteristik hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di

Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 36 3. Beberapa spektra massa n-alkana pada sedimen di Muara


(45)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Balikpapan, Kalimantan Timur, merupakan kota pesisir berupa teluk yang memiliki banyak muara sungai dan arus serta gelombang yang relatif tenang (Yani, 2003). Potensi sumberdaya pesisir yang tinggi telah mendapat perhatian Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangannya. Salah satu kegiatan pengembangan sumberdaya ini berada di sekitar Sungai Somber, sungai yang tergolong sungai kecil yang bermuara ke Teluk Balikpapan (BPMPPT, 2011). Bagian hilir Sungai Somber terdapat beragam aktifitas manusia, seperti

perkapalan, industri, pemukiman dan pertanian (Yani, 2003). Namun demikian, berbagai aktifitas tersebut dapat mempengaruhi kualitas perairan sungai karena potensi masukan antropogenik (senyawa organik maupun non-organik) dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai menuju estuari (BPMPPT, 2011).

Hidrokarbon merupakan salah satu komponen bahan organik yang sangat potensial menurunkan kualitas perairan di sekitar Sungai Somber. Secara umum keberadaan hidrokarbon di suatu perairan dapat berasal dari buangan di daratan, buangan lepas pantai yang tidak disengaja, deposit atmosfer (Marsaoli, 2004), aliran sungai, buangan kapal dan lalu lintas kapal (Mille et al., 2006). Buangan limbah mengandung hidrokarbon dapat terjadi di wilayah Sungai Somber karena adanya berbagai kegiatan pelayaran dan pelabuhan. Kontaminan hidrokarbon dalam perairan secara perlahan akan mengendap dan terakumulasi dalam sedimen. Namun, tingginya konsentrasi hidrokarbon dalam sedimen tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kontaminasi minyak, melainkan dipengaruhi oleh


(46)

2

sumber alami (Mille et al., 2006). Sumber alami hidrokarbon di perairan dapat berasal dari tanaman tingkat tinggi di daratan (nC23-35) dan plankton (nC15-21).

Nilai carbon preference index (CPI) juga dapat digunakan untuk mengindikasi bahwa keberadaan hidrokarbon dapat dipengaruhi oleh minyak jika nilai CPI kurang dari atau mendekati 1.

Penelitian mengenai senyawa hidrokarbon khususnya senyawa alifatik dan aromatik di perairan estuari dan laut telah banyak dilakukan baik pada sedimen maupun air. Hal tersebut mencakup sumber-sumber hidrokarbon dan bagaimana pola penyebarannya pada sedimen di perairan (Mille et al., 2006; Peng et al., 2008; Martins et al., 2010; Maioli et al., 2011; Martins et al., 2011). Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) digunakan untuk mengevaluasi sumber polusi di perairan estuari (Maioli et al.,2010) dan PAH juga menjadi salah satu kontaminan pencemaran laut yang dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem laut (Elias et al., 2007). Memperhatikan potensi buangan hidrokarbon yang dapat mencemari lingkungan perairan dan kemungkinan pengembangan aktifitas Sungai Somber, penelitian tentang karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik

aromatik hidrokarbon perlu dilakukan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) pada sedimen di perairan muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur.


(47)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Sungai Somber merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Empat Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Balikpapan, yaitu Sub DAS Wain, Sub DAS Semoi, Sub DAS Sepaku dan Sub DAS Riko. Areal Sub DAS Somber tergolong tidak lebar serta berupa dataran rendah di sepanjang kiri dan kanan Sungai Somber serta berbukit di bagian hulu dan di sisi tenggara. Akan tetapi informasi tentang tingkat erosi bagian hulu Sub DAS Somber ini tergolong masih kurang (BPMPPT, 2011).

Sisi tenggara Sungai Somber terdapat kegiatan industri perkapalan dan pergudangan yang telah berkembang dengan baik. Disamping itu, sebagian lahan pada sisi tenggara Sungai Somber masih ditumbuhi pohon bakau. Sisi barat laut (kanan menuju hulu) Sungai Somber umumnya masih berupa hutan bakau dan belum ada kegiatan industri perkapalan. Kegiatan di tepi badan air hanya alat penangkap ikan statis berupa sero yang digunakan untuk menjebak ikan saat air surut (BPMPPT, 2011).

Sungai Somber bagian hilir digunakan sebagai pelabuhan kapal khusus ferry dan aktifitas dok kapal, industri kayu lapis, pertanian dan permukiman penduduk. Aktifitas-aktifitas yang terjadi di sekitar sungai menyebabkan

lingkungan alamiah seperti hutan bakau dan perairan serta organisme yang ada di dalamnya terganggu (Yani, 2003).


(48)

4

2.2. Hidrokarbon

Hidrokarbon merupakan senyawa organik paling sederhana yang terdiri dari karbon dan hidrogen yang berikatan pada kerangka dasarnya yaitu karbon. Hidrokarbon juga menjadi komponen materi organik yang masuk ke lingkungan perairan selain karbohidrat, protein, lignin dan tannin (Chester, 1990) yang termasuk ke dalam kelas senyawa lipid.

Hidrokarbon merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan sebagai penanda asal-usul sedimen pada suatu perairan. Komposisi hidrokarbon dapat ditemukan dalam sedimen yang menggambarkan peranan relatif dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu biogenik, diagenetik, petrogenik dan

pyrogenik (Lipiatou et al., 1997; Hostettler et al., 1999 in Mostafa et al., 2009).

n-alkana merupakan salah satu hidrokarbon yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi di daratan (nC23–nC35) maupun mikroorganisme di perairan seperti

plankton dan alga (nC15–nC21) (Chester, 1990).

2.2.1. Hidrokarbon alifatik

Senyawa alifatik tidak memiliki gugus fenil seperti pada aromatik. Senyawa alifatik dapat berupa asiklik dan siklik. Senyawa asiklik disebut alkana atau parafin dengan susunan rantai karbon lurus (linear arrangement) dan susunan rantai karbon bercabang disebut iso-alkana atau alkana bercabang. Senyawa siklik memiliki rantai karbon melingkar yang terdiri dari kombinasi lima atau enam karbon yang biasa ditemukan pada petroleum. Senyawa alkana siklik disebut juga naften. Senyawa alkana merupakan senyawa alifatik jenuh yang memiliki ikatan tunggal (single bond). Senyawa alifatik tak jenuh terdiri dari


(49)

5

alkena dan aromatik yang memiliki ikatan rangkap dua (double bond) (Peters and

Moldowan, 1993) dan alkuna yang memiliki ikatan rangkap tiga.

Hidrokarbon alifatik di perairan dapat terakumulasi dalam sedimen (Wakeham et al., 2004 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik berasal dari sumber alami termasuk biogenik dan dari sumber antropogenik (petrogenik). Hidrokarbon alifatik antropogenik dalam sedimen sebagian besar berasal dari sisa-sisa minyak dengan komponen n-alkana, alkana bercabang dan siklik (hopana dan sterana) (Gambar 1), dan biasanya mengandung komponen Unresolved Complex Mixture (UCM) (Doskey, 2001 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik dapat masuk dari atmosfir dan komponen lilin tanaman (vegetation waxes) yang terlepas ke udara melalui proses pelapukan (Azevedo et al., 1999;

Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010).

Gambar 1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik (n-alkana, alkana bercabang, hopane, sterana)

Rasio konsentrasi n-alkana bernomor ganjil dan genap, umumnya ditunjukkan sebagai Carbon Preference Index (CPI) yang digunakan untuk

Sterana

Alkana

Hopana n-alkana

n-Butana H C H C

C C

H

H

H H

H H


(50)

6

mengindikasikan sumber n-alkana (Azevedo et al., 1999; Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010). Ada beberapa nilai CPI yang menjadi indikasi dari mana hidrokarbon berasal (Mazurek et al., 1989; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010), yaitu:

 CPI 0.96-1.01 : sumber petrogenik  CPI 0.93-1.2 : buangan kendaraan  CPI 1.2-5 : pembakaran kayu  CPI > 4: sumber biogenik

 CPI 6-30 : lapisan lilin (wax) tanaman tingkat tinggi  CPI 10 : kebakaran hutan

2.2.2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) adalah senyawa yang terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik (benzene) yang memiliki enam atom karbon (C) (Neff, 1979). Contoh senyawa PAH diantaranya adalah phenanthrene,

fluoroanthene dan benz[a]anthracene yang masing-masing memiliki tiga sampai empat cincin aromatik (benzene), kecuali pada fluoroanthene yang juga berikatan dengan siklopentana (Gambar 2). PAH merupakan senyawa kimia karsinogenik yang terbentuk oleh pembakaran bahan organik yang tidak sempurna pada proses antropogenik seperti pembakaran fosil dan proses alami seperti kebakaran hutan (Harvey, 1998 in Orecchio et al., 2009; Pitts et al., 2000 in Itoh et al., 2008).


(51)

7

(a) (b) (c)

Gambar 2. Struktur senyawa aromatik (a) Phenanthrene, (b) Fluoranthene dan (c) Benz[a]anthracene

PAH secara umum dibentuk oleh berbagai macam proses, seperti biosintesis, diagenesis bahan organik yang memproduksi bahan bakar fosil dan pembakaran tidak sempurna dari bahan organik (Neff, 1979). Nikolaou et al.

(2009) in Nugraha (2011) membagi tiga kategori sumber PAH yaitu:

1. PAH petrogenik, yang terkait dengan petroleum (minyak), termasuk minyak mentah dan produk penyulingannya.

2. PAH biogenik, yang berasal dari proses biologi atau tahap awal dari diagenesis pada sedimen laut (misal: perylene).

3. PAH pyrogenik, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) dan material organik seperti kayu.

Kadar PAH yang relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Menurut Connel dan Miller (1981) in Marsaoli (2004) PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan atmosferik dari pembakaran bahan bakar fosil. Walaupun PAH bersifat toksik, keberadaan senyawa PAH di lingkungan perairan sulit untuk dideteksi (Neff, 1979).


(52)

8

2.3. Sedimen

Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sedimen terdiri dari beberapa komponen yang bervariasi, tergantung dari lokasi,

kedalaman, dan geologi dasar (Forstner dan Witman, 1983 in Mulyawan, 2005). Sedimen di dasar laut berasal dari berbagai sumber materi (Wibisono, 2005; Sanusi, 2006), yaitu:

1. Sedimen Lithogenous, berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai (fluvial transport) dan angin (aeolian

transport) yang masuk ke lingkungan laut.

2. Sedimen Hydrogenous, terbentuk akibat proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia yang terlarut dalam laut.

3. Sedimen Biogenous, berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah cangkang (shell) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous).

4. Sedimen Cosmogenous, berasal dari luar angkasa yang ditemukan di dasar laut.

Sanusi (2006) menyatakan bahwa terbentuknya senyawa kimia dalam sedimen disebabkan oleh reaksi oksidasi-reduksi dan akan mempengaruhi habitat serta kehidupan organisme bentik. Selain itu, proses-proses fisika kimia lainnya yang terjadi dalam sedimen adalah adsorpsi-desorpsi dan solidifikasi-disolusi yang akan mempengaruhi komposisi spesiasi kimia sedimen dan lapisan air di permukaan sedimen (sediment-water interface) melalui interaksi air sedimen.


(53)

9

Proses lain yang terjadi pada sedimen adalah diagenesis. Menurut Peters dan Moldowan (1993), diagenesis merupakan perubahan yang terjadi secara biologi, fisika dan kimia pada bahan organik dalam sedimen khususnya perubahan signifikan akibat bahang (heat). Beberapa faktor yang berperan terhadap

diagenesa sedimen adalah perubahan fisik lingkungan (peningkatan penimbunan, suhu dan tekanan), kimiawi (kandungan oksigen, mineral dan potensi redoks) dan biologi (aktifitas bakteri, jenis bakteri).

Umumnya daerah aliran sungai (DAS) selalu membawa endapan lumpur akibat erosi yang terjadi secara alami dari pinggiran sungai dan hampir seluruh kandungan sedimen akan meningkat terus akibat erosi dari tanah pertanian kehutanan, konstruksi, dan pertambangan (Darmono, 2001). Sedimen yang terbawa oleh sungai tentu membawa bahan organik dan anorganik yang akan mempengaruhi kondisi perairan.

Bahan organik pada sedimen berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan liat (Keller dan Wibel, 1991 in Mulyawan, 2005).

Sedimen muara (estuari) merupakan tempat mengendap dan

terakumulasinya berbagai jenis bahan organik dan anorganik yang terbawa oleh aliran sungai dari daratan atau berasal dari limbah yang dihasilkan oleh beragam aktifitas manusia yang terjadi di sekitar muara. Sedimen di muara biasanya memiliki ukuran partikel yang lebih halus. Terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik


(54)

10

pada sedimen halus lebih tinggi jika dibandingkan dengan sedimen yang kasar karena pada sedimen kasar partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral (Boehm, 1987

in Mulyawan, 2005). Tabel 1 merupakan klasifikasi sedimen berdasarkan ukurannya (Wibisono, 2005).

Tabel 1. Ukuran besar butir sedimen menurut Skala Wentworth

Nama Partikel Ukuran (mm)

Batu (Stone) Bongkah (Boulder) >256

Krakal (Coble) 64 - 256

Kerikil (Peble) 4 - 64

Butiran (Granule) 2 - 4

Pasir (Sand) Pasir sangat kasar (very coarse sand)

1 - 2 Pasir kasar (coarse sand) ½ - 1 Pasir sedang (medium sand) ¼ - ½ Pasir halus (fine sand) 1/8 – ¼ Pasir sangat halus (very fine

sand)

1/16 – 1/8 Lanau (Silt) Lanau kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16 Lanau sedang (medium silt) 1/64 – 1/32 Lanau halus (fine silt) 1/128 – 1/64 Lanau sangat halus (very fine

silt)

1/256 – 1/128 Lempung (Clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256

Lempung sedang (medium clay)

1/1024 – 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024 Lempung sangat halus (very

fine clay)


(55)

11

2.4. Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GC-MS)

Kromatografi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menguraikan suatu campuran. Komponen-komponen dalam kromatografi akan terdistribusi ke dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase bergerak (Khopkar, 2003).

GC–MS merupakan singkatan dari Gas Chromatography - Mass

Spectrometry. Kromatografi gas merupakan metode analisis senyawa pada suatu sampel yang dipisahkan secara fisik sebelum pengukuran, sedangkan spektrometri massa adalah suatu metode analisis dimana sampel dikonversi menjadi ion-ion gas dan kemudian dilakukan pengukuran terhadap massa ion-ion tersebut. GC

berfungsi sebagai inlet sampel bagi MS dan MS berfungsi sebagi detektor GC (Shimadzu, 2002).

Data yang dihasilkan oleh GC – MS akan ditampilkan dengan

kromatogram (GC) dan spektrum massa (MS) dimana sumbu x menunjukkan waktu penyimpanan (retention time) dan sumbu y menunjukkan intensitas. Masing-masing puncak (peak) pada kromatogram menunjukkan satu senyawa. Spektrum massa memiliki base peak (m/z) dan dapat memberikan informasi tentang berat molekul dan struktur kimia (Shimadzu, 2002)

GC-MS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, dan sakarosa bersifat tidak menguap,

sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat MS. Kriteria menguap pada GC-MS adalah:

1. Pada kondisi vakum tinggi, tekanan rendah. 2. Dapat dipanaskan.


(56)

12

Gambar 3. Diagram alir prosedur kerja GC-MS Gas Chromatography –

Mass Spectrometry

Mass Spectrometer Gas Chromatograph

Pemisahan >> Kolom GC

Fase diam dan bergerak (dorongan gas He) Sampel (senyawa)

Ionisasi

Senyawa akan terpisah injeksi

Pemisahan ion sesuai dengan m/z masing-masing ion

Pengukuran

kelimpahan/intensitas

Penurunan suhu dan tekanan MS

Mass analyzer

Detector


(57)

13

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang meliputi analisis laboratorium dan analisis data dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011. Cuplik sedimen yang dianalisis di laboratorium merupakan cuplik sedimen yang diambil di sekitar muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Selanjutnya, cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer di Laboratorium Pilot Plan PAU-IPB. Analisis hidrokarbon dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan cuplik sedimen di Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur


(58)

14

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Cuplik sedimen

Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari muara Sungai Somber yang telah dikeringkan dan dihomogenkan.

3.2.2. Peralatan laboratorium

Peralatan penelitian berupa soxhlet, round bottle glass, gelas beaker, gelas erlenmeyer, gelas ukur, kolom pemisah (funnel glass), kolom kromatografi, pipet tetes, gelas vialyang telah dicuci dengan sabun teepol dan dibilas dengan air. Peralatan kemudian dikeringkan dengan oven (800C) selama 24 jam dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah kering, alat yang akan digunakan dibilas dengan methanol (MeOH), diklorometana (DCM) dan n-

heksana secara berurutan (Prartono, 1995). Selain peralatan tersebut juga digunakan peralatan lain sepertti Rotary Evaporator (untuk penguapan), stirrer (untuk hidrolisis) dan GC – MS (untuk identifikasi) (Lampiran 1).

3.2.3. Pelarut organik

Pelarut organik yang digunakan adalah methanol (MeOH; Merck;

LiChrosolv), diklorometana (DCM; Merck; Pro Analysis), n-heksana (Merck; Pro Analysis) dan etil asetat (Merck; Pro Analysis) yang telah didestilasi untuk mengurangi kontaminan yang terkandung dalam pelarut (Prartono, 1995).


(59)

15

3.2.4. Pereaksi

1) Anhydrous Sodium Sulfat

Anhydrous sodium sulfat dibilas dengan diklorometana (DCM), kemudian diaktivasi (500ºC; 4 jam) menggunakan oven. Selanjutnya, didinginkan pada desikator dan disimpan hingga akan digunakan (Prartono, 1995).

2) Bubuk Tembaga Aktif

Tembaga aktif disiapkan menurut prosedur dari Blumer (1957) in Prartono (1995). Tembaga (II) sulfat ditimbang 45 g , kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades dan ditambahkan Hydrochloric Acid (2 M; 20 ml). Bubuk seng ditimbang 15 g dan dilarutkan dalam 25 ml akuades. Kemudian larutan seng dimasukkan dalam larutan tembaga (II) sulfat secara perlahan dan diaduk. Pengadukan terus dilakukan hingga terbentuk endapan tembaga dari warna merah hingga merah kecokelatan. Cairan

dipermukaan kemudian dibuang. Endapan tembaga dibilas dengan DCM dan n-heksana.

3.2.5. Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040 – 0.063 mm)

Silika gel yang digunakan pada kolom kromatografi (0.040 – 0.063 mm; Merck, Jerman) dideaktivasi dengan 5% akuades. Tahap awal deaktivasi, silika gel (8 g) dimurnikan melalui ekstraksi menggunakan alat soxhlet (6 jam) dengan campuran n-heksana - methanol (1:1) sebanyak 120 ml. Silika yang telah

diekstraksi kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil.

Aluminium foil yang berisi silika dipanaskan dalam oven (500ºC; 1 jam). Setelah itu, suhu diturunkan secara bertahap menjadi 150ºC hingga 120ºC, kemudian


(60)

16

disimpan dalam desikator selama 30 menit. Deaktivasi silika gel dilakukan dengan menambah akuades 5% (0.4 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi silika 95% (7.6 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang. Secara umum, jumlah akuades (5%) yang ditambahkan berdasarkan persamaan (1) dan (2) (Prartono, 1995).

Wt =

Ws

0.95 Wh = Wt - Ws dimana :

Wt = total (berat SiO2 + H2O) Ws = berat SiO2

Wh = berat H2O yang ditambahkan

3.3. Pengambilan Cuplik Sedimen 3.3.1. Waktu dan tempat

Pengambilan cuplik sedimen dilaksanakan pada 27 Januari 2011 di Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur. Secara geografi lokasi penelitian berada

pada 1º12’30”LS-1º13’30”LS dan 116º49’30”BT-116º51’00”BT. Pengambilan cuplik sedimen dilakukan pada enam titik. Namun, untuk penelitian ini hanya menggunakan cuplik sedimen yang diambil pada dua titik, yaitu bagian hulu dan muara yang berjarak ± 2.14 kilometer.

3.3.2. Perlakuan cuplik sedimen

Pengumpulan cuplik sedimen dilakukan pada bagian hulu dan muara Sungai Somber. Titik pengambilan cuplik sedimen dilihat posisinya (lintang dan bujur) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Cuplik

... (1) ... (2)


(61)

17

sedimen permukaan dikoleksi dengan menggunakan alat Van Veen grab dengan hanya satu kali pengambilan (tanpa pengulangan). Cuplik sedimen kemudian disimpan pada wadah botol. Selanjutnya, disimpan dalam kotak es yang telah diberi es batu. Cuplik sedimen dibekukan dengan freezer untuk analisis lebih lanjut di laboratorium.

3.4. Prosedur analisis hidrokarbon 1) Ekstraksi

Cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer (24 jam), kemudian dihomogenkan menggunakan saringan dengan mesh size 250 µm. Cuplik sedimen yang telah dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Selanjutnya cuplik sedimen diekstraksi dengan 120 mL pelarut campuran (1:1) diklorometana (DCM) dan methanol (MeOH) menggunakan soxhlet selama 24 jam.

Hasil ekstraksi diuapkan dengan rotary evaporator hingga tersisa ekstrak kurang lebih 2 ml. Ekstrak dihidrolisis dengan 6% KOH dalam MeOH (30 ml; 12 jam) (Prartono, 1995). Setelah hidrolisis dilakukan pemisahan antara fraksi netral dan fraksi asam lemak. Fraksi netral didapat melalui ekstraksi dengan n-heksana (3x30 ml) dan sisanya adalah fraksi asam lemak.

2) Fraksinasi

Fraksinasi dimulai dengan memasukkan fraksi netral ke kolom kromatografi yang telah terisi silika gel (5% dideaktivasi silika; 8 g). Fraksi yang diperoleh adalah : (I) fraksi alifatik diperoleh dengan


(62)

18

mengelut kolom dengan 50 ml n-heksana, (II) fraksi aromatik diperoleh dengan mengelut campuran 20 ml dari n-heksana : diklorometana (9 : 1) diikuti oleh 60 ml campuran n-heksana : diklorometana (1 : 1) dan (III) fraksi polar diperoleh dengan mengelut campuran 25 ml dari 25% etil asetat dalam n-heksana.

Selanjutnya, hasil tiap fraksi diuapkan (tanpa nitrogen) hingga diperoleh kurang lebih 2 ml dan dimasukkan ke dalam gelas vial. Sampel yang telah dimasukkan dalam gelas vial kemudian diuapkan dengan nitrogen hingga kering. Pelarut n-heksana ditambahkan sebanyak 0.5 ml ke dalam gelas vial bila akan dianalisis dengan GC-MS (Prartono, 1995).

3) Analisis kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS)

Analisis kromatografi gas–spektrometri massa (Gas Chromatography–Mass Spectrometry/ GC-MS) menggunakan

kromatografi gas Shimadzu QP2010 yang dilengkapi dengan kolom silika DB-5 ms (panjang 30 m; 0.32 mm diameter dalam; dan 0.25 µm ketebalan lapis film) serta helium sebagai gas pendorong. Kromatografi gas

memiliki batas deteksi 0.001 ppb. Kromatografi gas menggunakan mode injeksi split dengan rasio 1 : 2. Suhu oven kromatografi gas diprogram dari 40ºC sampai 300ºC pada laju 6ºC/ menit setelah satu menit dan dibiarkan konstan pada 3000C selama 20 menit. Kondisi GC-MS adalah ionisasi potensial/ electron energy 70eV, ion source temperature 230ºC dan interface temperature 250ºC. Full mass data dicatat antara 45–600 Dalton setiap detik. Data dicatat dan diproses/ analisis dengan perangkat lunak GCMS Real Time Analysis dan GCMS Postrun Analysis.


(63)

19

4) Identifikasi hidrokarbon

Hidrokarbon diidentifikasi dan menggunakan kromatografi gas dan kromatografi gas–spektrometri massa. Identifikasi hidrokarbon dilakukan dengan membandingkan indeks relative retention dan mass spectra

dengan data literatur.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Perhitungan parameter molekuler

Nilai Carbon Preference Index (CPI) untuk n-alkana/ HC dihitung dengan persamaan (3) dan (4) berikut (Prartono, 1995; Silva et al., 2008) :

n-alkana=

Keterangan:

n-alkana ganjil Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon ganjil

m sampai n

n-alkana genap Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon genap

m sampai n

Untuk menginterpretasikan dominasi terestrial versus akuatik digunakan terestrial to aquatic ratio (TAR) (Meyers, 1997; Lu and Meyers, 2009) dengan persamaan (5) berikut:


(64)

20

TAR HC =

C27 + C29 + C31

C15 + C17 + C19

3.5.2. Penentuan nomor karbon

Penentuan nomor karbon pada senyawa n-alkana adalah dengan menghitung bobot molekul yang muncul pada spektra massa (Lampiran 3). Bentuk fragmentasi ion dicirikan oleh kelompok peak dimana penghubung peak

pada setiap kelompok bernilai 14 (CH2) satuan massa. Peak terluas pada tiap

kelompok merepresentasikan fragmen CnH2n+1 dan m/z = 14n+1, dan disertai

dengan fragmen CnH2n dan CnH2n-1 (Silverstein et al., 1991). Secara sederhana

dituliskan dengan persamaan:

dimana:

x = nomor karbon (n-alkana)

m = bobot molekul yang muncul pada peak spektra massa 14 = berat molekul CH2

... (5)

………(6)

14 2

m nCx


(1)

Mille, G., Guiliano, M., Asia, L., Malleret, L., and Jalaludin, N. 2006. Sources of Hydrocarbon in Sediments of The Bay of Fort de France (Martinique). Chemosphere 64 (7): 1062-1073.

Mostafa, A.R., Wade, T.L., Sweet, S.T., Al-Alimi, A.K.A., and Barakat, A.O. 2009. Distribution and Characteristics of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Sediment of Hadhramout coastal area, Gulf of Aden, Yemen. Mar Syst 78 (1): 1-8.

Mulyawan, I. 2005. Korelasi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd, dan Cr pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Neff, J.M. 1979. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon in The Aquatic Environment : Sources, Fates and Biological Effects. Applied Science Publishers Ltd. London.

Nugraha, M.A. 2011. Karakteristik Lipid Biomarker pada Sedimen Estuari : Studi Kasus Muara Angke – Teluk Jakarta, Cimandiri – Pelabuhan Ratu dan

Cilintang – Ujung Kulon. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Orecchio, S., Ciotti, V.P., and Culotta, L. 2009. Polycyclic Aromatic

Hydrocarbons (PAHs) in Coffee Brew Samples: Analytical Method by GC– MS, Profile, Levels and Sources. Food Chem Toxicol 47 (4): 819-826. Peng, X., Wang, Z., Yu, Y., Tang, C., Lu, H., Xu, S., Chen, F., Mai, B., Chen, S.,

Li, K., and Yang, C. 2008. Temporal Trends of Hydrocarbons in Sediment Cores from The Pearl River Estuary and The Northern South China Sea. Environ Poll 156 (2): 442-448.

Peters, K.E. and Moldowan, J.M. 1993. The Biomarker Guide: Interpreting Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments. Englewood Cliffs, Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

Prartono, T. 1995. Organic Geochemistry of Lacustrine Sediment: A Case Study of The Eutrophic Rostherne Mere, Chesire. UK. Disertasi. Department of Earth Sciences. University of Liverpool. Liverpool.

Sanusi, H.S. 2006. Kimia Laut : Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Silva, L.S.V. da., Piovano, E.L., Azevedo, D.A., and Neto, F.R.D.A. 2008. Quantitative Evaluation of Sedimentary Organic Matter from Laguna Mar Chiquita, Argentina. Org Geochem 39 (4): 450 – 464.


(2)

34

Silverstein, R.M., Bassler, G.C., and Morrill, T.C. 1991. Spectrometric Identification of Organic Compounds Fifth Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York, NY.

Yani, A. 2003. Hubungan Kualitas Air dengan Kegiatan Penduduk di Sungai Somber (Studi Kasus: Penurunan Kualitas Air Sungai Somber Bagian Hilir di Teluk Balikpapan). Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan. Program

Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.

Yuanita, E., Burhan, R.Y.P., and Wahyudi. 2007. Biomarka Hidrokarbon Alifatik Sedimen Laut Arafura Core MD 05-2969. Akta Kimindo 2 (2): 99 – 102. Wang, Z. and Fingas, M.F. 2003. Development of Oil Hydrocarbon

Fingerprinting and Identification Techniques. Mar Poll Bull 47 (9-12): 423 – 452.


(3)

35

Lampiran 1. Alat yang digunakan pada analisis hidrokarbon

No. Alat Kegunaan

1

Soxhlet

Mengekstraksi cuplik sedimen dalam pelarut campuran MeOH : DCM.

2

Rotary Evaporator

Menguapkan ekstrak sedimen.

3

Kolom Kromatografi

Fraksinasi hidrokarbon menjadi fraksi alifatik,

aromatik dan polar.

4

GC-MS Shimadzu QP2010

Identifikasi hidrokarbon alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon


(4)

36

Lampiran 2. Karakteristik hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur

No. Senyawa Ion Target (m/z) LH* LM**

1 n-tridekana (nC13) 57 232433 719258 2 n-tetradekana (nC14) 57 342256 1520782 3 n-pentadekana (nC15) 57 326823 1893234 4 n-heksadekana (nC16) 57 317116 2732409 5 n-heptadekana (nC17) 57 285068 2868832 6 n-octadekana (nC18) 57 402605 4570184 7 n-nonadekana (nC19) 57 540614 8609743 8 n-eicosana (nC20) 57 583933 8700259 9 n-heneicosana (nC21) 57 758174 14221897 10 n-docosana (nC22) 57 1035688 14076901 11 n-tricosana (nC23) 57 1368119 18058126 12 n-tetracosana (nC24) 57 1048814 9875807 13 n-pentacosana (nC25) 57 1162831 8925448 14 n-heksacosana (nC26) 57 1593204 25215061 15 n-heptacosana (nC27) 57 1472014 27784870 16 n-octacosana (nC28) 57 1226795 10723181 17 n-nonacosana (nC29) 57 997091 23882753 18 n-triacontana (nC30) 57 284969 18521562 19 n-hentriacontana (nC31) 57 1060906 7105910 20 n-dotriacontana (nC32) 57 727383 2007857 21 n-tritriacontana (nC33) 57 675464 9116858

CPI15-21 1.00 1.22

CPI21-31 1.17 1.14

Cmax nC29 nC27

TARHC 1.63 4.40

*

= luas area di bawah peak kromatogram bagian hulu estuari; ** = luas area di bawah peak kromatogram bagian mulut estuari.


(5)

Lampiran 3. Beberapa spektra massa (m/z) n-alkana pada sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur

n-pentadekana (nC15) (ion target = 57; Berat molekul = 210)

100 200 300 400 500

0 50 100

%

57

71 85

99

58 86 155 212

n-heptadekana (nC17) (ion target = 57; Berat molekul = 238)

100 200 300 400 500

0 50 100 %

57

7185 99

69 86 126 169 191 240

n-heptacosana (nC27) (ion target = 57; Berat molekul = 378)

100 200 300 400 500

0 50 100 %

57

71 85

99 69

253 281 323 380400

57

57

57

[M].+

[M].+

[M].+

m/z

m/z


(6)

RINGKASAN

RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN. Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber, Teluk

Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh TRI PRARTONO.

Sungai Somber adalah salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Aktifitas perkapalan dan pelabuhan yang terjadi di sekitar sungai berpotensi menghasilkan buangan limbah yang mengandung hidrokarbon. Keberadaan hidrokarbon di lingkungan perairan dapat menjadi kontaminan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Dalam hal ini diperlukan informasi

mengenai karakteristik hidrokarbon di muara Sungai Somber, khususnya pada sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) di sedimen Muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.

Analisis laboratorium hidrokarbon alifatik dan PAH dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011 di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang. Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari Muara Sungai Somber. Analisis hidrokarbon pada cuplik sedimen diawali dengan

ekstraksi dengan pelarut campuran methanol (MeOH) dan diklorometana (DCM). Ekstrak selanjutnya difraksinasi dengan pelarut n-heksana (hidrokarbon alifatik) dan pelarut campuran DCM : n-heksana (PAH).

Hidrokarbon (alifatik dan PAH) dideteksi dan diidentifikasi spektra massanya dengan kromatografi gas – spektrometri massa (GC-MS). Perhitungan numerik yang dilakukan adalah perhitungan nilai carbon preference index (CPI) dan teresterial to aquatic ratio (TARHC). Nilai CPI digunakan untuk melihat ada atau tidaknya dominasi karbon ganjil atau genap pada kisaran nomor karbon tertentu, sedangkan nilai TARHC digunakan untuk menentukan apakah masukan

hidrokarbon lebih dipengaruhi oleh autohtonus atau alohtonus.

Senyawa hidrokarbon yang ditemukan memiliki kisaran nomor karbon C13-33 pada bagian hulu dan muara. Berdasarkan kisaran nomor karbon diperoleh nilai CPI (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah 1.00 dan 1.17, sedangkan pada muara adalah 1.22 dan 1.14. Nilai CPI (C15-21) pada bagian hulu yang berada pada kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan adanya kontribusi dari sumber petrogenik (petroleum). Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa n-alkana pada sedimen, tetapi juga terdapat senyawa hopana dan isoprenoid (Pristana dan Phytana) serta UCM (Unresolved Complex Mixture-hidrokarbon terdegradasi). Nilai TARHC yang diperoleh pada hulu dan muara berturut-turut adalah 1.63 dan 4.40 yang menunjukkan bahwa masukan

hidrokarbon dari teresterial (alohtonus) lebih besar dibandingkan masukan dari perairan (autohtonus).

Komposisi sumber hidrokarbon menunjukkan campuran biogenik dan

petrogenik berdasarkan nilai CPI 1.00-1.22 yang lebih dominan dipengaruhi oleh masukan alohtonus. Keberadaan senyawa hopana dan UCM mengindikasikan hidrokarbon berasal dari sumber petrogenik. Polisiklik aromatik hidrokarbon pada sedimen baik di bagian hulu maupun muara belum terdeteksi.