Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman

PERUBAHAN KELEMBAGAAN FORMAL
DALAM PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRI
DI TAHURA WAN ABDUL RACHMAN

TRI MAYASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Kelembagaan
Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Tri Mayasari
NIM. E151120241

RINGKASAN
TRI MAYASARI. Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan
Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman. Dibimbing oleh BRAMASTO
NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO.
Tahura WAR mengalami perubahan kelembagaan formal yang awalnya
berupa Hutan Lindung (sebelum tahun 1993), menjadi Tahura WAR (1993),
penetapan Hutan Kemasyarakatan (1998), dan Perda Kolaboratif (2012). Perubahan
kelembagaan ini menyebabkan perubahan property right dan perubahan perilaku.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan property right dan perilaku
Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan kelembagaan formal yang ada di
Tahura WAR. Perubahan pada property right dan perilaku ini berimplikasi terhadap
kelestarian fungsi kawasan dan pengelolaan Tahura WAR yang dapat dilihat
melalui komposisi jenis tanaman dan pendapatan petani pengelola lahan
agroforestri.
Analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan, vegetasi dan

pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan yang
dilakukan bersama masyarakat dalam bentuk program HKm lebih berpengaruh
positif terhadap keberlanjutan kelembagaan dibandingkan dengan tanpa HKm,
sehingga Hkm memiliki potensi aksi kolektif yang lebih besar daripada tanpa HKm.
HKm juga merupakan awal perubahan komposisi jenis dari sistem agroforestri yang
ditanam Masyarakat Sumber Agung yang berdampak pada penghasilan masyarakat,
sehingga kelembagaan ini memperbaiki hutan dengan adanya penanaman multi
strata dan mencegah terjadinya perambahan lebih lanjut.
Kata Kunci: perubahan kelembagaan formal, perubahan perilaku, property right,
Tahura WAR, HKm

SUMMARY
TRI MAYASARI. The Changing of Formal Institution in Management
Agroforestry Land at Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Supervised by
BRAMASTO NUGROHO and NURHENI WIJAYANTO
Tahura WAR has been changed formally from Protected Forest (before
1993) become Tahura WAR (in 1993), then become Community Forestry (in 1998),
and Collaborative Local Regulation (in 2012). These changing give impact to the
property right and changing of behavior. This research aim to know the changing
of property right and behaviour of Sumber Agung community against changing of

the formal institution in Tahura WAR. The changing on property right and
behaviour implicate to the sustainability of forest function and management of
Tahura WAR which could be seen by composition of plants and income of the
farmers who cultivate the agroforestri area.
This research analyze institution, vegetation, and income. The result show that
forest management by community in Community Forestry Programme gives
positive impact to the sustainability of institution rather than without it. Therefore
Community Forestry has more potency of collective action rather than without it.
HKm also the beginning of changing of plants composition from agroforestry
system by Sumber Agung Community which bring impact to community income,
so that, this institution improve the forest by multi-strata planting and prevent
further encroachment.

Keywords: Formal institutional changing, changing of behaviour, property right,
Tahura WAR, Community Forestry

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERUBAHAN KELEMBAGAAN FORMAL
DALAM PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRI
DI TAHURA WAN ABDUL RACHMAN

TRI MAYASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS

Judul Tesis : Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan
Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman
Nama
: Tri Mayasari
NIM
: E151120241

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS
Ketua

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Tatang Tiryana, S.Hut, MSc.

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 April 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan
kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Perubahan
Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul
Rachman. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar

Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho,
MS., dan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS., selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan dan saran. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Prof. Dr. Ir Didik Suharjito, MS selaku penguji luar dalam ujian tesis dan
Dr. Ir. Tatang Tiryana, M.Sc selaku ketua Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan
(IPH), yang sudah banyak memberikan saran. Disamping itu, penghargaan yang
sebesar-besarnya juga diberikan kepada teman-teman IPH yang sudah banyak
memberikan dukungan moril dan saran yang membangun kepada penulis. Ucapan
terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak dan
seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangannya, baik dari segi penulisan maupun dari sumber pustakanya. Mudahmudahan tesis ini bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bogor, Mei 2015
Tri Mayasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber data
Data primer
Data sekunder
Metode Penelitian
Populasi dan Contoh

Pengukuran lapangan
Prosedur Analisis Data
Analisis deskriptif
Analisis vegetasi
Analisis pendapatan
3 GAMBARAN UMUM TAHURA WAR DAN PERUBAHAN
KELEMBAGAAN
Tahura WAR
Hutan Kemasyarakatan
Pengelolaan Kolaboratif
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Property Right
Perubahan Perilaku
Komposisi Jenis dan Insentif Ekonomi dari Sistem Agroforestri
Sebagai Bentuk Pengelolaan Tahura WAR
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1
1
3
5
5
5
6
6
6
6
6
6
7
9
10
10
11
11

12
12
14
15
16
16
23
31
35
35
35
36
39
42

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Variabel, indikator dan metode analisis data
Data jumlah kepala keluarga dan luas garapan KPPH
Jumlah contoh
Luasan blok pengelolaan Tahura WAR
Property right Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan
kelembagaan formal di Tahura WAR
Perubahan property right Masyarakat Sumber Agung
Properti right dan status kepemilikan lahan Masyarakat Sumber
Agung terhadap kawasan hutan secara de jure dan de facto
Pengetahuan, persuasi, keputusan dan implementasi Masyarakat
Sumber Agung terhadap peraturan di Tahura WAR
Pemenuhan prinsip desain Ostrom pada setiap perubahan aturan
di Tahura WAR
Pembagian strata penguasaan lahan dan jumlah plot pengamatan
Jenis dan jumlah individu pada tiap strata dan tingkatan tajuk
Pendapatan petani tertinggi dan terendah dari tiap strata

7
8
9
14
18
19
21
25
27
32
33
34

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perubahan kelembagaan formal di Tahura WAR
Plot lingkaran
Peta Tahura WAR
Susunan tajuk pohon: A. strata tajuk atas; B. strata tajuk tengah
Analisis vegetasi
Pembuatan plot lingkaran
Tajuk tengah
Tajuk atas
Wawancara
Pengisian data responden

3
9
13
33
39
39
39
39
39
39

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi pada saat pengambilan data di lapangan
2 Data analisis vegetasi
3 Data pendapatan petani dari hasil agroforestri

39
40
41

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 hutan dibagi menjadi
tiga fungsi pokok yaitu hutan sebagai fungsi konservasi, hutan sebagai fungsi
lindung dan hutan sebagai fungsi produksi. Hutan konservasi terdiri dari Kawasan
Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru (Kemenhut
1999). Kawasan Hutan Pelestarian Alam yang memiliki luas sekitar 26 juta hektar
(Statistik Kehutanan Indonesia 2011) salah satunya terdiri dari kawasan Taman
Hutan Raya (Tahura) yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Ditjen PHKA 2006).
Indonesia memiliki dua puluh dua Tahura yang tersebar hampir di seluruh
kepulauan kecuali Papua. Salah satu Tahura terdapat di Provinsi Lampung yaitu
Tahura Wan Abdul Rachman (WAR) dengan luas 22,249.31 ha (UPTD Tahura
WAR 2012). Kawasan ini ditetapkan sebagai Tahura Wan Abdul Rachman
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 742/Kpts-II/1992 tanggal 21
Juli 1992 (Kemenhut 2007) yang kemudian diperbaharui melalui Keputusan
Menteri Kehutanan No. 408/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993.
Keputusan Residen Lampung pada tanggal 31 Maret 1941 Besluit No. 307
menghasilkan bahwa wilayah hutan Gunung Betung (Register 19) ditetapkan
sebagai kawasan hutan yang dilindungi (UPTD Tahura WAR 2012). Secara
administratif kawasan ini terletak di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten
Lampung Selatan. Masyarakat mulai memasuki Kawasan hutan yang dilindungi ini
sejak tahun 1941, kemudian disusul pada tahun 1962 penduduk etnis Jawa, Sunda,
Banten, Semendo (Sumatera Selatan) yang memenuhi Kawasan Hutan Lindung
Register 19 Gunung Betung (Juansyah dan Kurniadi 2011). Tuntutan pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat mengakibatkan dikeluarkan pengumuman Kepala
Kanwil Kehutanan Lampung Nomor 250/V/5 Tahun 1968 tentang izin tumpang sari.
Kebutuhan ekonomi yang tinggi dan akibat dari reformasi, maka pada tahun 1998
Kementerian Kehutanan memberikan akses legal pengelolaan Tahura WAR dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998 yang
mengeluarkan izin sementara Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama lima tahun
kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber
Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi
2011).
Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat
untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui
pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat (Permenhut No 37 Tahun 2007). Pada tahun
2001 akses legal pemanfaatan Kawasan Konservasi Tahura WAR dalam program
HKm dicabut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dan meningkatnya kebutuhan ekonomi
beberapa GKPPH masih bertahan yang salah satunya terdapat di Sumber Agung.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjadi dasar
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mendorong Pemerintah
Daerah Provinsi Lampung agar segera menerbitkan peraturan tentang pengelolaan
kolaboratif Tahura WAR. Sehingga pada tahun 2012 Pemerintah Daerah Provinsi
Lampung mengeluarkan Perda Nomor 3 tentang Kolaborasi Pengelolaan Taman
Hutan Raya Wan Abdul Rahcman Provinsi Lampung.
Pengelolaan Tahura WAR yang dilakukan oleh GKPPH Sumber Agung
menggunakan sistem agroforestri. Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan
yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan
lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan,
kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga
terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar tanaman berkayu dan komponen
lainnya (Huxley 1999). Pengelolaan hutan dengan sistem angroforestri ini tidak
akan menyebabkan kerusakan pada penutup tanah apabila dapat dikelola dengan
baik dan benar melalui pemberdayaan sumber daya manusia dan mengembangkan
sistem kelembagaan yang sesuai (Suraji 2003).
Kelembagaan adalah aturan main yang mengatur hubungan antar manusia
untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan,
sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya
lebih dapat diprediksi (Kasper dan Streit 1998). Menurut Syahyuti (2006)
kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok
orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk
tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial,
tradisional, modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern serta berfungsi
mengefisienkan kehidupan sosial. Menurut Ostrom (1990) kelembagaan adalah
aturan dan rambu-rambu yang digunakan sebagai panduan yang dipakai oleh para
anggota dari suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling
mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Tujuan kelembagaan menurut
Ostrom (1990) adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang
diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan
keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.
Proses pembentukan kelembagaan merupakan sesuatu yang kompleks yang
melibatkan seperangkat peraturan, norma, property right dan peraturan yang
mengontrol perilaku sistem sosial (Gatzweiler dan Hagedorn 2001). Kelembagaan
tidak statis, namun bersifat dinamis. Menurut Williamson (2000) lembaga/aturan
akan terus berubah dinamis sebagai upaya meminimumkan biaya transaksi. Seiring
dengan pernyataan North (1990) bahwa perubahan biaya informasi, penegakan
hukum, perubahan harga, teknologi mempengaruhi insentif/motivasi seseorang
dalam berinteraksi dengan pihak lain. Salah satu indikasi perubahan kelembagaan
dapat dilihat dari aspek property right. Seperti yang diungkapkan oleh Posner
(1992) bahwa perubahan kelembagaan disebabkan karena adanya upaya
melindungi property right dan juga seperti yang diungkapkan oleh Gatzweiler dan
Hagedorn (2001) bahwa property right merupakan salah satu yang faktor yang
membangun kelembagaan. Perubahan kelembagaan ini juga dapat menyebabkan

3
perubahan perilaku masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Notoatmodjo
(2010) bahwa perubahan perilaku masyarakat dapat
melalui peraturan,
perundangan, atau peraturan tertulis.

Perumusan Masalah
Kelembagaan menurut North (1990) terbagi menjadi dua, yaitu kelembagaan
formal dan informal. Perubahan kelembagaan yang terjadi di Tahura WAR adalah
perubahan kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah kelembagaan yang
kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-undangan
(konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah yang dapat berlangsung
dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun (Williamson 2000). Gambaran perubahan
yang terjadi di Tahura WAR dapat dilihat pada Gambar 1.
Tahura
1993

HKm

Non HKm

Pengelolaan Kolaboratif

1998
2001
2012
Gambar 1 Perubahan kelembagaan formal di Tahura WAR

Perubahan kelembagaan formal dapat mengalami inersia kelembagaan
informal (Kant dan Berry 2005). Inersia kelembagaan adalah kecenderungan
penolakan perubahan yang terjadi yang dikarenakan adanya efek ketergantungan
pada kelembagaan pada masa lalu. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 2001
ketika program HKm dicabut, namun GKPPH Sumber Agung tetap melakukan
aktifitasnya dalam pemanfaatan hasil Tahura WAR. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah aktifitas masyarakat yang memanfaatkan Tahura WAR
merupakan inersia kelembagaan atau masyarakat yang tidak mengetahui perubahan
kelembagaan yang terjadi pada Tahura WAR?
Perubahan kelembagaan terdiri dari adanya penetapan kebijakan baru dan
perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang merupakan karakteristik
kelembagaan (Peters 2000). Pada perumusan kebijakan baru dapat dilihat yaitu
perubahan peraturan tentang pengelolaan Tahura WAR dari HKm (1998), non
HKm (2001) dan Pengelolaan Kolaboratif (2012) yang nantinya diharapkan adanya
perubahan di lapangan sesuai dengan yang diharapkan. Perubahan ini dapat dilihat
dari aspek property right seperti yang diungkapkan oleh Posner (1992) bahwa
perubahan kelembagaan disebabkan karena adanya upaya melindungi property
right. Property right adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas
suatu sumber daya untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan
atau untuk merusaknya. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak kepemilikan
memiliki ciri-ciri hak operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama
(management, exclusions, transfer). Pertanyaanya apakah perubahan kelembagaan
formal yang terjadi di Tahura WAR merubah aspek property right masyarakat di
Sumber Agung?
Pada perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur adalah mengubah nilainilai dan aturan main untuk memperbaiki apa yang akan dihasilkan oleh berjalannya
kelembagaan tersebut (Kartodihardjo 2006). Salah satu pendekatan yang digunakan
untuk menilai perubahan kelembagaan adalah pendekatan empiris (Peters 2000)

4
yaitu kelembagaan yang mengendalikan perilaku individu-individu dalam
masyarakat dimana perubahan yang dimaksud lebih dipentingkan terhadap hasil
akhir yang diakibatkannya (Kartodihardjo 2006). Misalnya perubahan kelembagaan
dapat digambarkan oleh perubahan perilaku masyarakat yang menaati peraturan
yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Perubahan perilaku
masyarakat merupakan respon dari suatu rangsangan. Menurut WHO dalam
Notoatmodjo (2010) satu strategi yang dapat merubah suatu perilaku masyarakat
adalah melalui peraturan, perundangan atau peraturan tertulis (law enforcement).
Artinya Masyarakat Sumber Agung diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam pengelolaan Tahura WAR. Namun apakah
perubahan peraturan yang terjadi di Tahura WAR ini merubah perilaku
masyarakat?. Perubahan perilaku ini dapat dilihat dalam tiga indikator yaitu
pengetahuan, sikap, praktik dan tindakan (Notoatmodjo 2007). Sedangkan menurut
Rogers (2003) proses adopsi inovasi (adopsi pada perubahan kelembagaan Tahura)
memiliki lima tahap, yaitu: knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi),
decision (keputusan), implementation (penerapan) dan confirmation
(penegasan/pengesahan).
Tujuan pengelolaan hutan di Tahura yang dilakukan oleh GKPPH di Sumber
Agung adalah mengembangkan sistem pengelolaan yang bertujuan pada kelestarian
fungsi kawasan hutan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Hasil akhir dari
perubahan kelembagaan dan kinerja GKPPH Sumber Agung sebagai perwujudan
dari kelestarian fungsi kawasan dan pengelolaan yang berkelanjutan dapat dilihat
dengan menggunakan salah satu pendekatan yaitu performance yang diadaptasi dari
Muslim et al. (2008). Performance merupakan wujud yang sudah dikerjakan
kelembagaan yang melibatkan partisipasi kelompok tani. Tampilan performance
dapat menunjukkan tampilan kegiatan, output, manfaat yang diperoleh. Hal ini
dapat dilihat dari aspek komposisi jenis dan pendapatan petani. Pendapatan petani
ini digambarkan dalam keuntungan yang diperoleh dari memanfaatkan agroforestri.
Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah komposisi agroforestri dan pendapatan
petani dari hasil agroforestri sebagai bentuk performance dari kelembagaan yang
berlaku di masyarakat?
Dengan demikian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1 Apakah aktifitas masyarakat yang memanfaatkan Tahura WAR merupakan
inersia kelembagaan atau masyarakat yang tidak mengetahui perubahan
kelembagaan yang terjadi pada Tahura WAR?
2 Apakah perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR merubah
aspek property right masyarakat di Sumber Agung?
3 Apakah perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR merubah
perilaku masyarakat?
4 Bagaimanakah komposisi agroforestri dan pendapatan petani dari hasil
agroforestri sebagai bentuk performance dari kelembagaan yang berlaku di
masyarakat?

5
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui kebijakan apa
yang diinginkan masyarakat dalam pengelolaan Tahura WAR yang diakibatkan
oleh adanya perubahan peraturan yang terjadi, sehingga tujuan khusus dari
penelitian ini adalah:
1 Menganalisis perubahan pada property right yang ditimbulkan akibat adanya
perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR.
2 Menganalisis perubahan perilaku Masyarakat Sumber Agung ditimbulkan
akibat adanya perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR .
3 Mengetahui komposisi jenis dan insentif ekonomi dari sistem Agroforestri
sebagai bentuk pengelolaan sumber daya di Tahura WAR.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memahami perubahan perilaku dan
perubahan property right akibat dari perubahan peraturan yang terjadi. Hasil dari
penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi masyarakat dan
Pemerintah Daerah Provinsi Lampung khususnya Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung sebagai bahan pembuatan kebijakan dengan pendekatan kelembagaan
yang berguna dalam pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat di
Tahura WAR.

Ruang Lingkup Penelitian
1
2

3

4

5
6

Penelitian dilakukan pada GKPPH di Sumber Agung.
Kelembagaan yang dimaksud adalah aturan, norma, nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat yang berfungsi dalam pengelolaan agroforestri di Tahura
WAR.
Kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan,
kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan
lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang berlaku baik pada level internasional,
nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan ini (North
1990).
Perubahan perilaku dilihat dari proses adopsi inovasi (adopsi pada perubahan
kelembagaan Tahura) yang terdiri dari: knowledge (pengetahuan), persuasion
(persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan) dan confirmation
(penegasan/pengesahan).
Perubahan property right dilihat dari hak operasional (acces, withdrawal) dan
tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer).
Komposisi agroforestri Tahura WAR dapat dilihat dengan cara pengambilan
contoh pada plot pengamatan.

6

2 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling,
Provinsi Lampung pada Maret – April 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data primer
Data primer diperoleh dengan pengambilan data langsung di lapangan.
Pengambilan data perubahan property right dan perubahan perilaku dilakukan
dengan wawancara terhadap GKPPH Sumber Agung, Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung, UPTD Tahura. Sedangkan untuk data tentang komposisi jenis didapat
dengan analisis vegetasi di lapangan. Data primer yang dibutuhkan adalah data
tentang:
1 Perubahan pada property right yang ditimbulkan dari perubahan kelembagaan
formal yang terjadi di Tahura WAR.
2 Perubahan perilaku yang terjadi di GKPPH Sumber Agung sejak terjadinya
perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR.
3 Komposisi jenis dan insentif ekonomi dari sistem agroforestri sebagai bentuk
pengelolaan sumber daya hutan Tahura WAR.

Data

sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, seperti jurnal, buku, data
base, internet, penelitian terdahulu dan data lain yang dibutuhkan dalam penelitian.
Data sekunder yang dibutuhkan berupa:
1 Sejarah pengelolaan Tahura WAR
2 Sejarah perkembangan kawasan dan kondisi fisik Tahura WAR
3 Sejarah perkembangan, asal usul dan kondisi sosial Masyarakat Sumber Agung
4 Peraturan pengelolaan Tahura WAR.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif.
Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk
membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (Rianse dan
Abdi 2009) baik yang sedang terjadi maupun yang telah berlalu. Pengambilan data
dan informasi digunakan metode wawancara. Wawancara merupakan cara yang
digunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara
bertanya langsung secara bertatap muka (face to face), telpon maupun internet
(Suyanto dan Sutinah 2011).

7
Wawancara yang digunakan untuk menggali informasi memiliki tujuan
untuk menemukan masalah secara lebih terbuka (Sugiono 2010). Wawancara
menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berisi daftar pertanyaan
yang bersifat terbuka atau jawaban bebas agar memperoleh jawaban yang lebih luas
dan mendalam (Suyanto dan Sutinah 2011). Seiring yang diungkapkan oleh
Notoatmodjo (2007) bahwa pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak
langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah lalu
maupun sekarang. Variabel, indikator dan metode analisis data disajikan pada Tabel
1
Tabel 1 Variabel, indikator dan metode analisis data
Variabel

Indikator Pemecahan Masalah

Perubahan pada
property right yang
ditimbulkan sejak
perubahan
peraturan tentang
pengelolaan Tahura
WAR dari HKm
(1998), non HKm
(2001) dan
Pengelolaan
Kolaboratif (2012)
Perubahan perilaku
Masyarakat
Sumber Agung
sejak terjadinya
perubahan
peraturan tentang
pengelolaan Tahura
WAR dari HKm
(1998), non HKm
(2001) dan
Pengelolaan
Kolaboratif (2012)

Perubahan pada property right
yang ditimbulkan sejak perubahan
peraturan tentang pengelolaan
Tahura WAR dari HKm (1998),
non HKm (2001) dan Pengelolaan
Kolaboratif (2012) dapat
dijelaskan dalam bentuk hak
operasional (acces, withdrawal)
maupun tingkat pilihan bersama
(management, exclusions, transfer)

Komposisi jenis
dan insentif
ekonomi dari
sistem agroforestri
sebagai bentuk
pengelolaan
sumber daya hutan
Tahura WAR

Perubahan perilaku yang terjadi di
GKPPH Sumber Agung sejak
terjadinya perubahan peraturan
tentang pengelolaan Tahura WAR
dari HKm (1998), non HKm
(2001) dan Pengelolaan
Kolaboratif (2012) dapat
dijelaskan dalam bentuk
knowledge (pengetahuan),
persuasion (persuasi), decision
(keputusan), implementation
(penerapan) dan confirmation
(penegasan/pengesahan)
- Komposisi jenis dari sistem
agroforestri digambarkan
melalui tingkat keanekaragaman
hayati
- Insentif ekonomi digambarkan
melalui analisis pendapatan dari
hasil agroforestri

Metode
Perolehan Data
Wawancara
dengan
kelompok tani
dan Dinas
Kehutanan
Provinsi
Lampung

Metode
Analisis
Analisis
deskriptif
menurut teori
Schlager dan
Ostrom (1992)

Wawancara
dengan
kelompok tani

Analisis
deskriptif
menurut teori
Rogers (2003).

- Pengukuran
lapangan:
pembuatan
plot
- Wawancara

- Analisis
vegetasi
(Indriyanto
2008)
- Analisis
pendapatan

Populasi dan Contoh
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa GKPPH Sumber Agung merupakan salah satu GKPPH yang
mengelola agroforestri di Tahura WAR yang pernah diberikan izin HKm pada tahun
1998. GKPPH Sumber Agung terdiri dari enam KPPH, yaitu: Tanjung Manis,

8
Sukawera, Umbul Kadu, Pemancar, Mata Air, Cirate. Jumlah populasi sebanyak
499 kepala keluarga dengan luas seluruh garapan 523 hektar, dengan rincian pada
Tabel 2.
Tabel 2 Data jumlah kepala keluarga dan luas garapan KPPH
No Nama KPPH
Jumlah kepala keluarga Luas garapan (ha)
1
Tanjung Manis
133
152
2
Sukawera
88
103
3
Umbul Kadu
103
97
4
Pemancar
64
74
5
Mata Air
52
52
6
Cirate
59
45
Jumlah
499
523
Sumber: Data GKPPH 2010
Jumlah contoh dihitung berdasarkan rumus Slovin (1960) sebagai berikut:
n=
� =
Keterangan:
n
N
E (10%)

N
1+Ne2
499

1+499 (10%)2
n = 83 KK

= ukuran contoh
= ukuran populasi
= nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan

Setiap populasi dari KPPH memiliki jumlah yang berbeda, sehingga
diperlukan penarikan contoh dari sub populasi dengan menggunakan rumus
Walpole (1993) sebagai berikut:
ni =

Ni x n
N

Keterangan:
n
= banyaknya contoh keseluruhan
ni
= banyaknya contoh ke-i
N
= banyaknya populasi keseluruhan
Ni
= banyaknya populasi ke-i
Jumlah seluruh contoh yang didapatkan dengan menggunakan rumus Slovin
(1960) sebanyak 83 kepala keluarga, kemudian ditentukan kembali proporsi contoh
sesuai dengan populasi tiap KPPH dengan menggunakan rumus Walpole (1993)
Jumlah contoh di setiap KPPH dapat dilihat pada Tabel 3.

9
Tabel 3 Jumlah contoh
No Nama KPPH
1
Tanjung Manis
2
Sukawera
3
Umbul Kadu
4
Pemancar
5
Mata Air
6
Cirate
Jumlah

Populasi
133
88
103
64
52
59
499

Contoh
22
14
17
11
9
10
83

Pengukuran Lapangan
Pengukuran lapangan digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dari
agroforestri dalam Kawasan Tahura. Pengukuran ini dilakukan dengan pembuatan
plot lingkaran. Plot lingkaran dalam pengamatan fase pohon dibuat dengan jari-jari
17.85 m, fase tiang 11.28, fase pancang 7.94 dan fase semai 2.82 m (Permenhut No
33 Tahun 2009). Luasan yang tercakup dalam satu buah plot lingkaran adalah
seluas 1000.47 m2 . Pengambilan contoh dilakukan dengan membagi menjadi tiga
strata berdasarkan luas kepemilikan lahan yang menurut Sajogyo (1978) strata
pertama adalah petani yang memiliki luasan lahan yang paling luas. Intensitas
sampling yang digunakan adalah 2.5%. Strata kepemilikan lahan dibagi menjadi:
1 Strata I adalah petani yang memiliki lahan 2.67 – 4 ha.
2 Stata II adalah petani yang memiliki lahan 1.34 – 2.66 ha.
3 Strata III adalah petani yang memiliki lahan < 1.33 ha.

Plot pengamatan fase
pohon (17.85 m)
Plot pengamatan
fase tiang (11.28 m)

Plot pengamatan fase
pancang (7.94 m)

.

Titik pusat plot
lingkaran

Gambar 2 Plot Lingkaran

Plot pengamatan fase
semai (2.82 m)

10
Prosedur Analisis Data
Analisis data yang dilakukan pertama kali adalah analisis data sebelum
memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau
data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian (Sugiyono
2010). Kemudian menyusun pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam
menggali informasi di lapangan.
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan pada hasil wawancara GKPPH Sumber Agung
yaitu meliputi perubahan property right dan perilaku. Perubahan pada property
right dianalisis menurut Schlager dan Ostrom (1992) yaitu perubahan pada hak
operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama (management,
exclusions, transfer).
1 Acces merupakan hak untuk memasuki suatu sumber daya, biasanya hak ini
dimiliki oleh masyarakat yang berada di dekat sumber daya.
2 Withdrawal merupakan hak untuk mengambil sumber daya untuk dimanfaatkan
bagi kebutuhan.
3 Management merupakan hak untuk membuat keputusan untuk menggunakan
sumber daya, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat
komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif yang terdapat dua model
pengaturan sumber daya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah
dan manajemen masyarakat lokal.
4 Exclusion merupakan hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke
sumber daya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Hak ini biasanya juga dimiliki
oleh masyarakat lokal di sekitar sumber daya berada, namun lebih baik jika ada
otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap
pengguna.
5 Transfers merupakan hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan
sumber daya kepada pihak lain yang memerlukannya.
Perubahan perilaku dianalisis berdasarkan teori Rogers (2003) yaitu tentang
proses keputusan adopsi inovasi. Adopsi adalah perilaku baru seseorang sesuai
dengan latar belakang pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap
rangsangan/stimulus (Rogers 2003). Inovasi yang dimaksud adalah peraturan yang
ada di Tahura WAR. Proses adopsi inovasi menurut Rogers (2003) terdiri dari lima
tahap, yaitu knowledge stage (tahap pengetahuan), persuasion stage (tahap
persuasi), decision stage (tahap keputusan), implementation stage (tahap
penerapan) dan confirmation stage (tahap penegasan/pengesahan), yang terjadi
ketika adanya perubahan kelembagaan pada Tahura WAR:
1 Knowledge stage (tahap pengetahuan)
Pada tahap ini seseorang belajar tentang keberadaan suatu inovasi (peraturan
yang ada di Tahura WAR) dan mencari informasi tentang inovasi tersebut.
Tahapan ini terjadi pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi.
Pengertian menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri
untuk mengetahui inovasi.
2 Persuasion Stage (tahap persuasi).

11

3

4

5

Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif
terhadap inovasi (peraturan yang ada di Tahura WAR). Tetapi sikap ini tidak
secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima
atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah
dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage
dalam proses keputusan inovasi. Knowledge stage lebih bersifat kognitif
(tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena
menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat
lebih jauh lagi.
Decision stage (tahap keputusan).
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak
suatu inovasi (peraturan yang ada di Tahura WAR). Menerima inovasi berarti
sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Penolakan terhadap inovasi berarti tidak
akan menerapkan inovasi.
Implementation stage (tahap implementasi)
Pada tahap ini sebuah inovasi (aturan yang ada di Tahura WAR) dicoba untuk
dipraktekkan. Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila
seseorang menerapkan inovasi. Keputusan penerima gagasan atau ide baru
dibuktikan dalam praktek. Pada umumnya impelementasi tentu mengikuti hasil
keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah
memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini
terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Confirmation stage (tahap konfirmasi)
Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka pengguna akan mencari dukungan
atas keputusannya ini. Pengguna dapat menarik kembali keputusannya jika
memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula.
Dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan
penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu.

Analisis vegetasi
Analisis vegetasi digunakan dalam menggambarkan komposisi jenis tanaman
yang dikelola dengan sistem agroforestri yang disajikan secara deskripsi.
Komposisi jenis dapat dilihat dari jumlah setiap jenis yang ada pada plot
pengamatan dalam bentuk kualitatif secara stratifikasi. Stratifikasi adalah distribusi
tetumbuhan dalam ruangan vertikal (Indriyanto 2006).

Analisis pendapatan
Analisis pendapatan petani agroforestri di Tahura WAR diasumsikan dengan
pengurangan hasil penjualan agroforestri dengan biaya pengelolaan. Pendapatan
petani dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang diadaptasi berdasarkan
Rahardja dan Manurung (2008) sebagai berikut:

12
TR = P x Q

Keterangan:
TR = Pendapatan total
P = Harga jual
Q = Jumlah barang
Pd = TR – TC
Keterangan:
Pd = Pendapatan bersih
TR = Pendapatan total
TC = Total biaya

3 GAMBARAN UMUM TAHURA WAR DAN PERUBAHAN
KELEMBAGAAN
Tahura WAR
Pada tahun 1991, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana Penatagunaan Hutan
Provinsi Lampung, kawasan hutan Register 19 Gunung Betung ditetapkan sebagai
kawasan Hutan Lindung (UPTD Tahura WAR). Seiring dengan hal tersebut pada
tahun 1993, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung No. 10 tahun 1993 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) menetapkan kawasan hutan
Register 19 Gunung Betung dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap dengan
fungsi Hutan Lindung (UPTD Tahura 2012). Hutan Lindung adalah kawasan yang
ditetapkan pemerintah sebagai Hutan Lindung yang memiliki fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjaga sistem tata air, mencegah
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun
1999). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 67/Kpts-II/1991
tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana Penatagunaan Hutan Provinsi Lampung,
Kawasan Hutan Register 19 Gunung Betung ditetapkan sebagai kawasan Hutan
Lindung.
Pada bulan Agustus tahun 1993, Menteri Kehutanan meningkatkan status
Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung menjadi hutan konservasi berupa
Taman Hutan Raya dengan nama Tahura Wan Abdul Rachman dengan luas
22,249.31 ha, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/Kpts-II/1993 tanggal
10 Agustus 1993 (UPTD Tahura WAR 2012). Kawasan hutan Tahura adalah salah
satu Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki fungsi Konservasi dengan kegiatan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya (UU No 5 Tahun 1990). Apabila diperinci,
suatu wilayah kawasan Tahura memiliki fungsi sebagai berikut (UPTD Tahura
WAR 2012):

13
1.
2.
3.
4.

Mempertahankan contoh keterwakilan ekosistem dalam kondisi alami.
Mempertahankan keanekaragaman ekologi (ekosistem) flora dan fauna.
Melestarikan kondisi kawasan tangkap air (catchment area).
Mengendalikan erosi, sedimentesi, pencegahan banjir, tanah longsor dan
pengawetan kesuburan tanah.
5. Menjaga kestabilan iklim mikro dan lingkungan kawasan hilir.
6. Menyediakan penelitian, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
pemanfaatan lingkungan.
7. Menunjang pengembangan budidaya tanaman pangan, obat-obatan, tanaman
hias, hasil hutan bukan kayu.
8. Menyediakan pariwisata dan rekreasi alam.
9. Mendorong pemanfaatan nasional dan berkelanjutan dari kawasan regional dan
pembangunan kelurahanan.
Berdasarkan administrasi pemerintahan kawasan ini berada di wilayah Kota
Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Peta Tahura WAR dapat dilihat pada
Gambar 3

Gambar 3 Peta Tahura WAR
Pengelolaan Tahura WAR dilakukan dengan membagi blok pengelolaan.
Luasan blok-blok pengelolaan Tahura WAR disajikan pada Tabel 4.

14
Tabel 4 Luasan blok pengelolaan Tahura WAR
Blok pengelolaan
Luas (ha)
Blok pemanfaatan/wisata alam
1,073.61
Blok koleksi
841.56
Blok perlindungan
13,049.01
Blok lainnya:
a. Blok pendidikan dan penelitian
549.76
b. Blok sosial forestry
6,735.37
jumlah
22,249.31
Sumber: UPTD Tahura WAR (2012)

Persentase (%)
4.83
3.78
58.65
2.47
30.27
100.00

Vegetasi kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman dibedakan
berdasarkan kondisi penutupan lahan yang ada, terdiri dari (UPTD Tahura 2012) :
1. Vegetasi hutan primer
Vegetasi hutan primer di kawasan ini pada umumnya terdapat di daerah-daerah
perbukitan dan pegunungan, yaitu daerah sekitar puncak Gunung Betung,
Gunung Tangkit Ulu Padang Ratu dan Gunung Pesawaran, mencakup bagian
kawasan seluas ± 8,200 ha (37 %)
2. Vegetasi hutan sekunder
Vegetasi hutan sekunder terdapat pada bagian kawasan yang telah mengalami
gangguan, terutama akibat pencurian kayu dan penebangan liar, kemudian
berangsur mengalami suksesi alam menjadi hutan sekunder. Bagian kawasan
Tahura yang ditutupi vegetasi hutan sekunder ini seluas ± 4,200 ha (19%)
3. Semak belukar dan alang-alang
Semak belukar dan alang-alang merupakan bagian kawasan hutan bekas areal
perambahan yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat penggarap. Vegertasi
semak belukar ini pada umumnya dijumpai pada daerah kawasan yang
bergelombang dan lereng perbukitan di bagian selatan dan utara kawasan.
Vegetasi semak belukar bagian seluas ± 4,000 ha (18 %).
4. Kebun dan tanaman pertanian
Kebun dan tanaman pertanian di dalam kawasan Tahura merupakan areal
kawasan yang dirambah oleh masyarakat dan dijadikan lahan usaha pertanian,
tanaman semusim dan pemeliharaan tanaman komoditas perkebunan seperti ;
kopi, cokelat dan tanaman buah-buahan. Bagian kawasan yang dijadikan lahan
usaha pertanian ini mencakup kawasan ± 5,200 ha (24 %).

Hutan Kemasyarakatan
Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat yaitu upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk mendapatkan
manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat (Permenhut No 37 Tahun 2007). HKm diberlakukan di hutan Negara.
Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah. Menurut Permenhut No 37 Tahun 2007, masyarakat setempat adalah
kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di

15
dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian
yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap
ekosistem hutan. Prinsip-prinsip HKm adalah (Permenhut No 37 Tahun 2007):
1. Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan.
2. Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan
penanaman.
3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya.
4. Membangun dan mengembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa.
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
6. Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama.
7. Adanya kepastian hukum.
8. Transparansi dan akuntabilitas publik.
9. Partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Tahuran WAR merupakan salah satu kawasan yang berfungsi sebagai
penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis masyarakat. Banyaknya
penduduk yang begantung pada kawasan ini menyebabkan pada tahun 1998,
Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara Hutan
Kemasyarakatan (HKm) selama lima tahun kepada kelompok HKm Talang Mulya
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan, dan kelompok HKm
Sumber Agung Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung (Juansyah dan
Kurniadi 2011). Namun pada tahun 2001 akses legal pemanfaatan Kawasan
Konservasi Tahura WAR dalam program HKm ini dicabut karena dinilai
bertentangan dengan undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pengelolaan Kolaboratif
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (UU
Nomor 5 tahun 1990). Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (UU Nomor 5
tahun 1990). Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu
masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para
pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Para pihak adalah semua pihak yang memiliki
minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi KPA dan KSA,
antara lain lembaga pemerintah pusat, lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan
legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional, perorangan
maupun masyarakat internasional, Perguruan Tinggi/Universitas/Lembaga

16
Pendidikan /Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak adalah kegiatan-kegiatan yang
dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan
atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Permenhut
nomor 19 tahun 2004)
Kolaborasi pengelolaan Tahura adalah pelaksanaan kegiatan atau
penanganan suatu masalah dalam kawasan Tahura guna meningkatkan evektifitas
pengelolaan Tahura secara bersamaan dan bersinergis oleh para pihak atas dasar
kesepahaman dan kesepakatan bersama. Para pihak adalah semua pihak yang
mempunyai kewajiban, minat, kepedulian atau kepentingan dengan upaya
konservasi Tahura, antara lain terdiri dari Lembaga Pemerintah Pusat, Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) Provinsi Lampung, ataupun kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Lampung baik yang mempunyai tugas di bidang kehutanan serta SKPD
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kehutanan, DPRD Provinsi
Lampung, masyarakat sekitar Tahura maupun yang mengelola Tahura, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), BUMD, BUD, Swasta Nasional, perorangan maupun
masyarakat internasional, Perguruaan Tinggi, Lembaga Pendidikan maupun
lembaga ilmiah lainnya (Perda Provinsi Lampung nomor 3 Tahun 2012).
Tujuan kolaborasi pengelolaan Tahura adalah:
1 Sebagai dasar pengambilan kebijakan guna mengembalikan fungsi Tahura.
2 Sebagai dasar untuk melakukan proteksi (perlindungan, pengawasan dan
pengamanan) ancaman terhadap perambahan hutan dan pelibatan para pihak
dalam upaya pemulihan kawasan Tahura.
3 Sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang sering terjadi di kawasan
Tahura dan memberikan kepastian hukum terhadap hak kelola masyarakat
penggarap di kawasan Tahura.
Sasaran kolaborasi pengelolaan Tahura adalah:
1 Terjaganya keutuhan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta
mempercepat pemulihan tutupan lahan di kawasan Tahura.
2 Terwujudnya peningkatan manfaat ekonomi jangka panjang bagi masyarakat
sekitar Tahura.
3 Terwujudnya rencana dan kesepakatan multi pihak dalam pengelolaan Tahura.
4 Sebagai dasar pengelolaan yang efektif.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Property Right

Masyarakat Sumber Agung terdiri dari berbagai suku yang telah menetap
sejak tahun 1941 di Kawasan Tahura WAR yang pada saat itu statusnya masih
Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung (Juansyah dan Kurniadi 2011).
Masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Hutan Lindung Gunung
Betung sejak pertama kali menetap di kawasan tersebut. Pengelolaan hutan di
Kawasan Tahura WAR telah mengalami beberapa kali perubahan kelembagaan.

17
Menurut Ostrom (1990), kelembagaan diartikan sebagai aturan yang berlaku dalam
masyarakat yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat,
prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh
disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari
tindakan yang dilakukannya. Kelembagaan selalu berubah tergantung dari
perkembangan suatu masyarakat. North (1990) mengemukakan bahwa jika para
aktor merasakan kelembagaan yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan atau kondisi lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha
melakukan perubahan kelembagaan agar lebih akomodatif terhadap lingkungan
yang baru. Analisis perubahan kelembagaan menurut Schmid (2004) adalah
tentang suatu proses pembelajaran yang dikombinasikan dengan mengganti suatu
peraturan untuk membuat aturan yang baru.
Perubahan peraturan dalam pengelolaan Tahura WAR oleh pemerintah
merupakan perubahan kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah peraturan
tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan
bidang ekonomi, bisnis, politik, maupun kesepakatan yang berlaku baik pada level
internasional, nasional, regional maupun lokal (North 1990). Seperti yang terjadi
pada Tahura WAR, Hutan Lindung Gunung Betung mengalami perubahan status
menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman pada tahun 1993, kemudian
diberlakukannya kebijakan HKm pada tahun 1998, pencabutan HKm pada tahun
2001, dan adanya Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tentang Pengelolaan
Kolaboratif Tahura WAR.
Perubahan kelembagaan merubah aturan main. Seringkali upaya perubahan
kelembagaan yang berupa aturan main tidak diikuti oleh pembaharuan filosofi dan
kerangka pikir yang digunakan sehingga walaupun peraturan bertambah, lembaga
berubah, tapi tidak mengubah kinerja di lapangan (Kartodihardjo 2006). Perubahan
kelembagaan dapat dilihat dari aspek property right seperti yang diungkapkan oleh
Posner (1992) bahwa perubahan kelembagaan disebabkan karena adanya upaya
melindungi property right. Property right adalah hak yang dimiliki individu,
masyarakat, negara atas suatu sumber daya untuk mengelola, memperoleh manfaat,
memindah tangankan atau untuk merusaknya. Menurut Schlager dan Ostrom
(1992) hak kepemilikan memiliki ciri-ciri hak operasional (acces, withdrawal) dan
tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer).
Hak akses (acces) merupakan hak untuk memasuki suatu sumber daya,
biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang berada di dekat sumber daya
(Schlager dan Ostrom 1992). Masyarakat Sumber Agung adalah masyarakat yang
bermukim di wilayah sekitar Tahura WAR yang memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan memanfaatkan hasil hutan. Perubahan hak akses Masyarakat Sumber
Agung untuk memasuki Kawasan Tahura WAR dilihat dari sebelum tahun 1992
sampai dengan penelitian ini dilaksanakan yaitu pada tahun 2014. Pada saat status
kawasan masih Hutan Lindung, diketahui 69 % responden menggunakan hak akses
mereka untuk memasuki kawasan hutan, baik hanya sebagai pejalan kaki atau
mengambil hasil hutan (tanpa mengelola).
Akses Masyarakat Sumber Agung semakin besar