Penapisan Hepadnavirus Secara Serologik Dan Molekuler Pada Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Di Habitat Ex-Situ

PENAPISAN HEPADNAVIRUS SECARA SEROLOGIK DAN
MOLEKULER PADA MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI HABITAT EX-SITU

INTAN CITRANINGPUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penapisan Hepadnavirus
secara Serologik dan Molekuler pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Habitat Ex-situ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Intan Citraningputri
NIM P053120031

RINGKASAN
INTAN CITRANINGPUTRI. Penapisan Hepadnavirus secara Serologik dan
Molekuler pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Habitat Ex-situ.
Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS, DIAH ISKANDRIATI dan RADEN
PUTRATAMA AGUS LELANA.
Penemuan infeksi virus hepatitis B (VHB) monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) di Pulau Mauritius pada tahun 2013 merupakan temuan baru yang
menunjukan bahwa penyakit ini dapat menginfeksi jenis satwa primata dari famili
Cercopithecidae. Temuan tersebut hanya dilaporkan pada M. fascicularis yang
berada di benua Afrika, sehingga menjadi alasan dilakukannya investigasi pada
M. fascicularis asal Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran keadaan tersebut,
sampel darah M. fascicularis diambil dari berbagai lokasi habitat ex-situ.
Uji penapisan terhadap antigen permukaan virus hepatitis B (Hepatitis B
surface antigen, HBsAg) dilakukan pada 95 sampel plasma dan serum
M. fascicularis yang berasal dari penangkaran, pusat penyelamatan satwa, dan

topeng monyet. Upaya pemeriksaan DNA VHB dilakukan pada sampel yang
menunjukan hasil seropositif terhadap HBsAg. Uji penapisan menunjukan bahwa
sebanyak 11 dari 95 (11.6%) sampel reaktif terhadap HBsAg. Antigen permukaan
virus hepatitis B lebih banyak ditemukan pada monyet di pusat penyelamatan
satwa dan topeng monyet (55%) dibandingkan dengan satwa penangkaran (45%).
Hasil seropositif HBsAg pada sampel M. fascicularis yang diperiksa
dengan teknik ELISA menggunakan kit HBsAg manusia mengindikasikan adanya
kemiripan protein antigen permukaan VHB manusia dengan yang ditemukan pada
M. fascicularis, karena antibodi monoklonal yang digunakan dalam uji ELISA
pada penelitian ini bersifat spesifik mengikat HBsAg manusia. Meskipun uji PCR
terhadap sampel tersebut tidak menunjukkan adanya DNA VHB, hasil seropositif
HBsAg mengindikasikan bahwa M. fascicularis dapat terinfeksi VHB atau virus
yang mirip VHB secara alami.
Kata kunci: virus hepatitis B, monyet ekor panjang, habitat ex-situ

SUMMARY
INTAN CITRANINGPUTRI. Serologic and Molecular Screening for
Hepadnavirus among Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis) In Ex-Situ
Habitats. Supervised by JOKO PAMUNGKAS, DIAH ISKANDRIATI and
RADEN PUTRATAMA AGUS LELANA.


The report the hepatitis B virus (HBV) infection in long-tailed macaque
(Macaca fascicularis) from the Mauritius Island in 2013 is a new finding shows
that the virus can infect primate species of the family Cercopithecidae. The
findings were only reported in M. fascicularis located as part of African continent,
generating the rationale for an investigation on the virus from M. fascicularis in
Indonesia. To obtain general situation about HBV in M. fascicularis in Indonesia,
blood samples were taken from M. fascicularis several ex-situ habitat locations.
Screening test against hepatitis B virus surface antigen (HBsAg) was
performed on 95 plasma and serum samples of M. fascicularis obtained from
breeding facilities, wildlife rehabilitation centers, and performance monkeys.
Efforts to do HBV DNA examination were carried out on samples that showed
seropositive for HBsAg. The results showed that 11 of 95 (11.6%) samples were
reactive to HBsAg. Hepatitis B virus surface antigen is more prevalent in
monkeys from wildlife rescue center and performance monkeys (55%) compared
with M. fascicularis from breeding facilities (45%).
Seropositive results to HBsAg in samples from M. fascicularis tested by
ELISA kit of human HBsAg indicates similarities of HBsAg found in humans,
based on the fact that monoclonal antibodies used in ELISA assay in this study are
specific for human HBsAg. Although the PCR testing on these samples did not

indicate the presence of HBV DNA, HBsAg seropositivity results are strong
indication that M. fascicularis can be naturally infected by HBV or HBV-like
virus.

Keywords: hepatitis B virus, long-tailed macaques, ex-situ habitat

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENAPISAN HEPADNAVIRUS SECARA SEROLOGIK DAN
MOLEKULER PADA MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI HABITAT EX-SITU


INTAN CITRANINGPUTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Uus Saepuloh, SSi MBiomed

Judul Tesis : Penapisan Hepadnavirus Secara Serologik dan Molekuler pada
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Habitat Ex-Situ
Nama
: Intan Citraningputri
NIM

: P053120031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Joko Pamungkas, MSc
Ketua

Dr drh Diah Iskandriati
Anggota

Dr drh R P Agus Lelana, SpMP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof drh Dondin Sajuthi, MST, PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Juli 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang
berjudul Penapisan Hepadnavirus secara Serologik dan Molekuler pada Macaca
fascicularis di Habitat Ex-situ. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, Penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dr drh Joko Pamungkas, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Dr drh Diah
Iskandriati dan Dr drh R P Agus Lelana, SpMP MSi sebagai anggota komisi
pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan banyak waktu dalam memberikan

arahan dan masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr
Uus Saepuloh, SSi MBiomed sebagai penguji luar komisi atas masukan dan saran
yang diberikan. Terima kasih kepada Prof drh Dondin Sajuthi, MST PhD sebagai
Ketua Program Studi serta seluruh dosen maupun tenaga kependidikan program studi
Primatologi SPS IPB yang telah turut medukung studi penulis.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr Ir Entang Iskandar, MSi
sebagai pihak program studi Primatologi SPS IPB; Karmele Llano Sanchez, drh
Wendi Prameswari, dan drh Nur Purba Priambada sebagai pihak International Animal
Rescue Indonesia; Dr Uus Saepuloh, SSi MBiomed, Rachmitasari Noviana, SSi MSi,
rekan-rekan Laboratorium Mikrobiologi & Imunologi, dan Laboratorium
Bioteknologi PSSP LPPM-IPB yang telah memfasilitasi dan mendukung penelitian
yang penulis lakukan.
Terima kasih kepada ibu, bapak, suami, dan anak yang dengan tulus dan sabar
memberikan doa, motivasi maupun semangat dalam setiap aktivitas yang penulis
lakukan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada keluarga besar yang turut
memotivasi dan menginspirasi penulis selama menjalani perkuliahan. Terima kasih
kepada teman-teman Primatologi (2012/2013) (Ibu Yanti, Mas Yana, M Faisal RK,
SHut MSi, Indri Hapsari, SSi, Agus Pambudi Dharma, SSi MSi), dan kakak Pangudi
Citraningputra, SKomp MKomp yang selalu semangat dalam menempuh pendidikan
magister bersama-sama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Intan Citraningputri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Virus Hepatitis B
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Uji Serologi ELISA
Identifikasi Langsung Asam Nukleat Virus
Survei Cross sectional

3
3
10
14

15
16

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Tahapan Pemeriksaan Sampel
Pengumpulan dam Pemrosesan Sampel
Uji Serologi terhadap HBsAg
Isolasi DNA dan Amplifikasi
Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Elektroforesis
Analisis Data

17
17
17
17
18
18
18
19
19
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deteksi Antigen Hepatitis B secara Serologis dengan ELISA
Deteksi Hepatitis B dengan PCR

21
21
23

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

255
255
255

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1 Pasangan primer untuk mendeteksi gen core dan surface HBV pada
satwa primata
2 Campuran reaksi PCR
3 Primer oligonukleotida yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah
gen pre-S1
4 Prevalensi infeksi Hepatitis B pada sampel yang dikoleksi dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM-IPB dan Pusat Penyelamatan Satwa
pada Juni 2014 hingga Februari 2015
5 Hasil pengujian ELISA antigen Hepatitis B (HBsAg) yang reaktif

15
20
20

21
22

DAFTAR GAMBAR
1. Gambaran skematik organisasi genom VHB (Zhang 2011)
2. Siklus hidup virus Hepatitis B (Lu dan Block 2004)
3. Pola penanda serologik pada infeksi akut dan kronis (Dienstag dan
Isselbacher 1998)
4. Kedekatan antara monyet ekor panjang dengan pemiliknya (a), kontak
langsung dengan mukosa tubuh (b), saling berbagi makanan (c).
5. Desain Penelitian
6. Hasil amplifikasi PCR virus hepatitis B Regio Pre-S1 pada sampel
seropositif HBsAg. (1) individu T3336, (2) T3199, (3) T3331, (4)
J190111B, (5) J300511C, (6) Nala, (7) Matu, (8) Pandu, (9) Brahma,
(10) Awi, (11) TM SL3, (12) kontol postitif VHBHu, (13) kontrol
positif VHBGi, (14) kontrol positif VHBOu, (15) kontrol negatif.

4
8
9
12
18

23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data hasil uji penapisan serum dan plasma Macaca fascicularis
terhadap antigen hepatitis B (HBsAg) di habitat ex-situ.

31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada organ hati yang umumnya
disebabkan oleh infeksi virus (WHO 2002). Penyakit viral hepatitis merupakan
penyebab utama sirosis dan kanker hati (CDC 2010). Salah satu virus penyebab
hepatitis pada manusia yang menimbulkan dampak global yang besar ialah virus
hepatitis B (VHB) (WHO 2002). Virus hepatitis B yang berasal dari keluarga
hepadnavirus. Hepadnavirus dapat ditemukan pada unggas (avihepadnavirus) dan
mamalia (orthohepadnavirus) terutama primata (Glebe 2007). Infeksi hepatitis B
memiliki tingkat endemisitas yang tinggi di Indonesia, dengan prevalensi HBsAg
positif 9.4% dari 10391 sampel serum, menunjukan bahwa diantara 10 penduduk
di Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus (Dirjen PP & PL
Kemenkes RI 2012). Diantara negara-negara anggota WHO SEAR (World Health
Organization South East Asian Region) Indonesia merupakan negara dengan
kasus Hepatitis B nomor 2 terbesar setelah Myanmar (Dirjen PP & PL Kemenkes
RI 2012).
Walaupun umumnya VHB diketahui sebagai penyakit pada populasi
manusia, namun beberapa penelitian telah mempublikasikan prevalensi VHB pada
satwa primata, terutama yang berada di penangkaran dan satwa primata yang
tertular VHB dari manusia (Heckel et al. 2001; Bancroft et al. 1977). Di habitat
alam, infeksi VHB satwa primata telah diidentifikasi pada jenis owa (GiHBV),
orangutan (OuHV), simpanse (ChHBV), gorilla (GoHBV), dan woolly monkey
(WMHBV) (Warren et al.1999; Mason et al. 2006). Berbagai studi menyebutkan
bahwa hepadnavirus pada satwa primata secara genetik berbeda dari VHB
manusia (Warren et al. 1999; Hu et al. 2000).
Diantara tingginya prevalensi infeksi hepatitis B pada jenis kera dan
Atelidae (woolly monkey), belum ada infeksi VHB yang dilaporkan terjadi pada
jenis primata kecil Cercopithecidae. Hingga pada tahun 2013, dilaporkan adanya
temuan baru hepadnavirus yang secara genetik dekat dengan VHB manusia pada
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari Pulau Mauritius (Dupinay et al.
2013). Baru-baru ini, Lelana et al. (2014) melakukan penelitian dan survei
berbagai agen penyakit patogen, salah satunya penyakit Hepatitis B pada topeng
monyet di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukan bahwa antibodi terhadap Hepatitis B terdeteksi sebanyak 8.9% (4/45),
namun dari semua sampel seropositif, DNA virus hepatitis B tidak terdeteksi.
Selain hidup di dalam hutan primer dan sekunder, monyet ekor panjang
dapat dijumpai hidup berdampingan dengan manusia di banyak habitat, seperti di
daerah pertanian, lokasi wisata, situs religius, dijadikan hewan peliharaan, dan
komoditi hiburan topeng monyet (Kyes et al. 2011; Schillaci et al. 2005). Monyet
ekor panjang diketahui hidup simpatrik dengan primata lain seperti owa,
orangutan, dan surili (Ungar 1994). Kemungkinan kontak fisik antara monyet ekor
panjang dengan manusia dan satwa primata lain memungkinkan transmisi
berbagai agen penyakit, termasuk virus hepatitis B. Virus hepatitis B dapat
menular melalui kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh yang
terkontaminasi VHB (WHO 2002, Irwin et al. 1975).

2
Deteksi infeksi VHB dapat dilakukan melalui pemeriksaan secara serologis
terhadap antigen permukaan dan antibodi terhadap VHB dengan ELISA, selain itu
DNA viral VHB dapat dideteksi melalui uji polimerase chain reaction (PCR)
(Heckel et al. 2001, Dupinay et al. 2013). Penanganan penyakit kronik Hepatitis
B umumnya lama, mahal, hanya efektif sebagian dan sering menyebabkan
munculnya varian resisten (Tillmann 2007). Saat ini pendekatan imunoterapi
diharapkan mampu mengembalikan respon imun humoral dan spesifik untuk
kasus ini, namun dari segi penelitian biomedis, belum ditemukan satwa primata
kecil yang cocok sebagai hewan model virus Hepatitis B (Gheit et al. 2002;
Dupinay et al. 2013).
Perumusan Masalah
Dalam penelitian Dupinay et al. (2013) dan Lelana et al. (2014) telah
dilaporkan infeksi VHB pada monyet ekor panjang. Namun, masih diperlukan
banyak data dan informasi untuk mengidentifikasi dan membuktikan bahwa
monyet ekor panjang di Indonesia dapat terinfeksi VHB. Mengingat monyet ekor
panjang terdistribusi di dalam habitat in-situ maupun di lingkungan sekitar
masyarakat, maka penelitian mengenai keberadaan VHB pada monyet ekor
panjang sangat diperlukan. Dengan alasan tersebut, sampel pada penelitian ini
diambil dari berbagai lembaga ex-situ yang menangani monyet ekor panjang, baik
di fasilitas penangkaran dan pusat penyelamatan satwa.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk melakukan investigasi dan mengetahui
angka prevalensi Hepadnavirus pada Macaca fascicularis.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran untuk:
1. Bidang biomedis: penemuan Hepadnavirus pada Macaca fascicularis dapat
mempresentasikan hewan model baru untuk pendekatan pengembangan terapi
anti-VHB.
2. Bidang biosafety: informasi hasil penelitian dapat menjadi pertimbangan
biosafety, program vaksinasi personel yang menangani satwa atau sampel
asal M.fascicularis.
3. Bidang konservasi: memberikan informasi penyakit baru yang berasal dari M.
fascicularis pada masyarakat luas sehingga dapat menjadi public awareness,
pertimbangan, dan dukungan terhadap kesejahteraan hewan apabila
menjadikan M. fascicularis sebagai hewan peliharaan.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Virus Hepatitis B
Klasifikasi Taksonomi
Berdasarkan ICTV (International Committee on Taxonomy of Viruses),
virus Hepatitis B (VHB) merupakan spesies virus prototype dari famili
Hepadnaviridae. Famili virus ini terdiri dari dua genus, yaitu Avihepadnavirus
yang menyebabkan Hepatitis B pada unggas, dan Orthohepadnavirus yang
menyebabkan Hepatitis B pada mamalia, khususnya primata. Dalam genus
Orthohepadnavirus, terdapat virus penyebab hepatitis untuk spesies lain, seperti
Ground squirrel hepatitis virus, Woodchuck hepatitis virus, dan Woolly monkey
hepatitis B virus (Mason et al. 2006).
Virus hepatitis B bersifat hepatotrofik, bereplikasi di dalam organ hati
namun dapat juga bertahan diluar hati, dan hal ini berkaitan dengan derajat
penyakit hepatitis akut dan kronis. VHB berupa virus dengan material genetik
DNA untai ganda sebagian, memiliki strategi replikasi yang unik sebagai virus
DNA pada hewan (Seeger 1991). Virus ini menggunakan RNA intermediet dan
cara reverse transcription, sehingga dalam klasifikasi Baltimore, virus Hepatitis B
digolongkan pada grup VII, dimana Hepadnaviridae memiliki DNA untai ganda
dengan RNA Intermediate (dsDNA-RT).
Virologi Virus Hepatitis B
Virus Hepatitis B ditemukan oleh Blumberg pada tahun 1965 sebagai
antigen Australia, karena antigen ini didapatkan dari bangsa Aborigin Australia.
Dane et al. melakukan pemeriksaan dengan miskroskop imunoelektron dan
menemukan partikel virus yang memiliki antigen di permukaannya. Bentuk
partikel VHB antara lain bulat dan berupa filamen panjang. Partikel VHB bulat
berdiameter 42 nm dengan nukleocapsid (inti) yang dikelilingi lapisan luar berupa
lipid bilayer dengan kompleks glikoprotein (Seeger dan Mason 2000).
Lapisan pertama permukaan VHB merupakan lapisan selubung luar
(envelope) dengan ketebalan 7 nm, berisi antigen surface Hepatitis B (HBsAg).
Selubung luar virion terdiri atas 3 jenis protein yang disebut protein major, sedang,
dan besar yang ketiganya disandi oleh gen yang berbeda. Sintesis major protein
diatur oleh regio gen-S, protein sedang diatur oleh pre-S2 + S, dan protein besar
diatur oleh pre-S1 + pre-S2 + S. Dalam rantai asam amino yang sintesisnya diatur
oleh gen pre-S, terdapat reseptor dari polimer albumin serum manusia pHSA
(polymerized Human serum albumin) reseptor, dimana pada hepatosit inang juga
memiliki reseptor sejenis. Sehingga, diperkirakan bahwa partikel VHB
berinteraksi dengan hepatosit inang melalui anti-reseptor di permukaan VHB
dengan perantara pHSA (Hendrarahardja 1990).
Lapisan inti merupakan nukleokapsid berbentuk icosahedral berdiameter 27
nm, berisi antigen core Hepatitis B (HBcAg). Di dalam nukleokapsid terdapat
molekul DNA untai ganda yang sirkuler dan DNA polymerase yang mempunyai
aktivitas protein-kinase. Partikel inti dibentuk oleh nukleus hepatosit, dan partikel
tubulus diproduksi oleh sitoplasma (Hendrarahardja 1990).

4
Organisasi Genom Virus Hepatitis B
Virus famili Hepadnaviridae merupakan virus dengan genom sirkular yang
kompak dengan panjang ± 3,2 kb. Kedua untai ganda ini tidak sama panjang,
untai panjang dikenal sebagai untai negatif, dan untai lainnya dikenal sebagai
untai positif. Virus ini memiliki 4 open reading frame (ORF) yang menyimpan
semua informasi genetik (Gambar 1). ORF ini terdapat pada untai negatif yang
terdiri dari 3200 nukleotida. Keempat ORF ini ialah gen S, gen C, gen P, dan gen
X yang masing-masing memiliki fungsi tertentu dan saling tumpang tindih (KiddLjunggren et al. 2002, Seeger dan Mason 1988).

Gambar 1 Gambaran skematik organisasi genom VHB (Zhang 2011)
Gen S
Produk protein dari gen S adalah HBsAg (protein permukaan utama). Gen
S terletak pada nukleotida 2848 hingga nukleotida 835. Daerah ini menyandi
glikoprotein permukaan berupa envelope dan mempunyai 3 lokasi inisiasi
transkripsi yaitu regio gen preS1, preS2, dan small S. Regio gen small S terletak
pada nukleotida 155 hingga nukleotida 835, regio gen pre-S2 terletak pada
nukleotida 3205 hingga nukleotida 155, dan regio gen pre-S1 terletak pada
nukleotida 2848 hingga nukleotida 3205 (Zhang 2011).
Gen S merupakan gen yang mentranslasikan protein kecil. Bila transkripsi
dimulai pada regio gen S, maka dibentuk protein kecil tersebut yang merupakan
protein utama lapisan selubung luar (envelope) virus yang terdiri dari 226 asam
amino dengan berat molekul 24 kD. Partikel HBsAg permukaan memiliki sifat
antigenik yang kompleks, yaitu memiliki determinan-determinan antigenik.
Determinan antigenik utama, yang disebut determinan ‘a’ terletak pada asam
amino 124-149. Struktur determinan ‘a’ berbentuk lengkung ganda (double helix),
merupakan daerah hidrofilik, conserved dan bersifat imunogenik, sehingga respon
imun inang akan membentuk anti-HBs terhadap determinan ‘a’. Anti HBs yang
terbentuk akibat paparan maupun vaksinasi bersifat imunoprotektif sehingga

5
determinan ‘a’ merupakan target diagnostik (Weinberger et al. 2000, Chiou et al.
1997). Sifat conserved dan struktur lengkung ganda dipertahankan dengan ikatan
disulfida yang terletak pada posisi asam amino 121, 124, 137, 138, 139, 147, dan
149. Lengkung pertama terletak pada asam amino 124 hingga 137, sedangkan
lengkung kedua terletak pada asam amino 139 hingga 147. Lengkung kedua
merupakan struktur yang paling conserved diantara daerah lainnya (Tedja 2002).
Apabila inisiasi transkripsi dimulai pada regio gen pre-S2 hingga S maka
dibentuk protein sedang dengan panjang 281 asam amino. Protein ini bersifat
hidrofilik dan berisi satu epitop. Pada lokasi ini juga terdapat tempat pengikatan
pHSA yang mempermudah virus masuk ke dalam hepatosit (Tedja 2002).
Apabila inisiasi transkripsi dimulai dari gen pre-S1 hingga S, maka akan
dibentuk protein besar dengan panjang asam amino yang bervariasi, yaitu antara
389 hingga 400. Chisari et al. (1989) melaporkan bahwa protein besar dapat
menghambat sekresi HBsAg. Selain itu, apabila produksi protein besar berlebihan
akan menyebabkan nekrosis hepatoseluler yang mengarah pada karsinoma
hepatoseluler. Pada daerah pre-S1 terdapat daerah pengikatan virus ke hepatosit
pada asam amino 21-47 sehingga diperkirakan daerah pre-S1 dan Pre-S2
memegang peranan penting pada replikasi virus dan patogenesis penyakit hepatitis
B (Lok et al. 2001).
Gen Core
Gen Core terletak pada posisi nukleotida 1814-2450 (Zhang 2011). Gen ini
menyandi antigen Core Hepatitis B (HBcAg) yang merpakan polipeptida
komponen utama nukleokapsid. Apabila inisiasi transkripsi dimulai dari kodon
pre-C hingga C, maka akan dibentuk molekul peptida besar dengan panjang 214
asam amino dengan berat molekul 19 kD, yang dikenal dengan antigen e Hepatitis
B (HBeAg). Antigen ini disekresikan saat inang dalam keadaan infeksius (Tedja
2002).
Apabila inisiasi transkripsi dimulai dari daerah C, tanpa melibatkan pre-C,
yaitu pada nukleotida 1901-2450, maka akan dibentuk protein HBcAg dengan
panjang 183 asam amino. Partikel HBcAg ini merupakan target penting dalam
pengenalan respon imun terhadap infeksi VHB. Antibodi terhadap HBcAg (antiHBc) merupakan satu-satunya indikasi bahwa inang pernah atau sedang terinfeksi
VHB (Tedja 2002, Feitelson 1994).
Gen P
Gen P (polymerase) terletak pada nukleotida 2307-1620 dan merupakan
daerah ORF yang terbesar. Gen P berfungsi dalam menyandi DNA polimerase.
Enzim ini memiliki 2 aktivitas, yaitu sebagai DNA-dependent DNA polymerase
dan RNA-dependent reverse transcriptase (Zhang 2011, Dienstag dan Isselbacher
1998).
Gen X
Gen X terletak pada nukleotida 1374-1835 yang merupakan daerah gen
terkecil. Gen ini menyandi antigen x Hepatitis B (HBxAg) yang terdiri dari 145154 asam amino. Gen X berfungsi sebagai transaktivasi transkripsi, baik pada gen
viral maupun sel. Ekspresi HBxAg dan anti-HBxAg pada inang berkaitan dengan
hepatitis kronis yang parah dan hepatocellular carcinoma. Gen X dan protein

6
produknya tidak terdapat pada non-mamalia hepadnavirus (Dienstag dan
Isselbacher 1998).
Epidemiologi Hepatitis B
Pada Manusia
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang paling umum dan
serius di dunia. Diperkirakan lebih dari sepertiga penduduk dunia terinfeksi virus
Hepatitis B. Infeksi ini menyebar pada individu lain serta dapat menyebabkan
adanya reservoir yaitu penderita hepatitis B kronik (kronik karier). Sekitar lebih
dari 200 juta orang ialah kronik karier VHB. Hampir 25% penderita karier
mengalami penyakit hati yang serius seperti kronik hepatitis, sirosis, dan
hepatocellular carcinoma. Infeksi VHB menyebabkan kematian pada lebih dari 1
juta orang per tahun (Soemohardjo 1990, Dienstag dan Isselbacher 1998,
Hollinger dan Liang 2001).
Hingga saat ini belum ditemukan vektor yang berpotensi sebagai pembawa
virus hepatitis B. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahitoe (1995),
HBsAg dapat bertahan dalam tubuh nyamuk A.aegypti selama 3 hari, dan
kemudian levelnya menurun, sehingga belum dapat dikatakan nyamuk A.aegypti
sebagai vektor penyakit hepatitis B.
Subtipe dari strain VHB digunakan untuk tujuan epidemiologi, pelacakan
rantai infeksi nosokomial, dan untuk menemukan hubungan antara penyakit dan
subtipe tertentu. Ada 4 subtipe utama HBsAg yaitu adw, adr, ayw, dan ayr.
Subtipe juga berhubungan dengan faktor etnik dan genetik, terutama pada kasus
hepatitis kronik. Namun, pada dekade terakhir, pembagian subtipe secara bertahap
telah digantikan dengan genotipe (Kidd-Ljunggren 2002).
Genotipe VHB A dapat ditemukan di Baratlaut Eropa, Amerika Utara,
Filipina, Hongkong, Afrika Selatan, dan Afrika Timur. Genotipe VHB B dan C
merupakan indigenous pada populasi penduduk di Asia tenggara. Genotipe C juga
ditemukan di Jepang dan kepulauan selatan di Lautan Pasifik. Genotipe D
merupakan yang paling banyak tersebar di dunia, prevalensi tertinggi terdapat
pada Eropa Selatan dan Afrika Utara. Genotipe E ditemukan di Afrika Barat dan
Selatan. Genotipe F ditemukan di Amerika selatan dan Tengah. Genotipe G
ditemukan di Perancis dan Amerika Serikat. Epidemiologi infeksi VHB di
Indonesia bedasarkan prevalensi HBs antigenemia berkisar antara 3 - 20%.
Subtipe HBsAg utama di Indonesia adalah adw, adr, dan ayw. (Soemohardjo
1990).
Pada Satwa Primata
Infeksi virus Hepatitis B selain strain yang berbeda dari genotipe VHB
manusia, telah teridentifikasi terdapat pada owa (Hylobates sp., Nomascus sp.)
(GiHBV), orangutan (Pongo pygmaeus) (OuHBV), simpanse (Pan troglodytes)
(ChHBV) gorila (Gorilla gorilla) (GoHBV), dan woolly monkey (Lagothrix
lagotricha) (WMHBV) (Warren et al.1999, Mason et al. 2006).
Virus Hepatitis B pada satwa primata sempat dipertanyakan apakah infeksi
berasal dari manusia atau indigenous pada masing-masing spesies kera, namun
Grethe et al. (2000) telah melakukan studi epidemiologi molekular VHB yang
menunjukan bahwa infeksi VHB pada jenis kera bersifat endogenous.

7
Berdasarkan analisis filogenetik menunjukan bahwa terdapat perbedaan cabang
filogenetik antara VHB manusia genotype A-E, VHB kera, VHB manusia
genotype F, dan VHB monyet dunia baru Woolly monkey (WMVHB). Dupinay et
al. (2013) melaporkan bahwa di alam, ditemukan infeksi virus hepatitis B pada
monyet ekor panjang yang berada di Pulau Mauritius. Temuan ini merupakan
laporan pertama adanya infeksi kronik virus hepatitis B pada cercopithecine yang
secara imunologi dekat dengan manusia.
Patogenesis Virus Hepatitis B
Penyakit hepatitis B pada manusia memiliki masa inkubasi infeksi sekitar
45-120 hari, dengan rata-rata 60-90 hari. Variasi tersebut tergantung jumlah virus
yang menginfeksi, cara penularan, dan faktor host (WHO 2002). Patogenesa
penyakit hepatitis B dimulai saat dimulainya replikasi virus di dalam tubuh inang.
Replikasi virus sebagian besar terjadi di sel hati. Proses replikasi virus secara
umum terjadi dalam beberapa tahap, yaitu perlekatan (attachment), penetrasi,
uncoating, ekspresi gen, replikasi genom, perakitan (assembling), dan pelepasan
(release).
Mekanisme replikasi VHB pada manusia, dimulai dengan perlekatan
protein permukaan virion pada reseptor spesifik di membran sel hati inang yang
dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, melalui reseptor spesifik pada
permukaan hepatosit yang mengenali dan mengikat daerah pre-S1 LHBs. Cara
kedua, melalui reseptor p-HSA (polymerized human serum albumin) yang
terdapat pada daerah gen pre-S2 (Tedja 2002). Setelah terjadinya fusi membran,
partikel core kemudian ditransfer ke sitoplasma dan selanjutnya dilepaskan ke
dalam nukleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk ke dalam
nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian
akan terjadi proses DNA repair berupa pemanjangan rantai DNA yang pendek
sehingga menjadi dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle
DNA (cccDNA) (Hardjoeno 2007).
Covalently closed circle DNA (cccDNA) merupakan cetakan (template)
untuk propagasi RNA pre-genom selanjutnya (tahap transkripsi). RNA pre-genom
mempunyai peranan penting sebagai cetakan pada translasi protein core dan
polymerase virus, dan sebagai cetakan untuk sintesis DNA untai negatif melalui
proses transkripsi balik yang terjadi di dalam nukleus. Setelah untai negatif di
bentuk, maka untai positif akan dibentuk dari DR2 (Direct Repeat 2) pada ujung 5’
untai negatif. Pada proses ini terjadi template transfer yang menyebabkan
terbentuknya genom VHB yang sirkuler/rc DNA. Bentuk RNA yang lain akan
mengalami proses translasi menjadi protein masing-masing sesuai mRNA nya di
ribosom (Lu dan Block 2004, Lok et al. 2001).
Partikel core VHB di rakit dalam sitosol, mengalami enkapsidasi RNA pregenom oleh protein HBsAg, yang kemudian terdegradasi selama transkripsi balik,
RNA pre-genom menjadi untaian DNA komplementer. Protein permukaan VHB
awalnya disintesis dan di polimeriasi dalam retikulum endoplasma kasar (RER).
Protein ini di angkut ke retikulum endoplasma dan pre-Golgi, tempat
pembentukan nukleokapsid. Virion VHB yang telah di rakit dan partikel sub-virus
diangkut ke badan golgi untuk modifikasi glycans protein permukaan, dan
kemudian disekresikan keluar dari sel inang (Gambar 2) (Lu dan Block 2004).

8

Gambar 2 Siklus hidup virus Hepatitis B (Lu dan Block 2004).
Virus Hepatitis B tidak secara langsung bersifat cytopathic terhadap sel
organ hati inang. Masa inkubasi terjadi 3 – 6 bulan. Manifestasi klinis dan
kerusakan hati pada infeksi hepatitis B akut ditentukan oleh respon imunologi
inang untuk mengeliminasi dan menekan agen infeksi. Pada infeksi hepatitis akut,
sel mononuklear infiltrasi ke jaringan hati, terutama sel T sitotoksik. Sel T
sitotoksik secara sensitif-spesifik mengenali antigen virus hepatitis B, yaitu
HBsAg pada permukaan sel hati. Selain HBsAg, protein nukleokapsid (HBcAg
dan HBeAg) yang muncul pada membran sel juga mengundang sel T sitotoksik
untuk menghancurkan sel hati yang terinfeksi. (Dienstag dan Isselbacher 1998,
Taylor dan Thomas 1984).
Diagnosis Hepatitis B
Secara umum, tidak ada pemeriksaan yang spesifik terhadap Hepatitis B
pada satwa primata, deteksi VHB untuk spesies ini menggunakan uji serologi
yang di desain untuk mendeteksi marker dari VHB manusia. Heckel et al.(2001)
melakukan uji tapis terhadap Anti-HBc, Anti-HBc IgM, Anti-HBs, HBsAg, AntiHBe, dan HBeAg dengan menggunakan ELISA (Enzym-linked immunosorbent
assay) kit komersial yang didesain untuk VHB manusia pada 454 sampel individu
monyet yang meliputi Lemuridae, Cercopithecidae, Cebidae, Callimiconidae; dan
262 sampel yang berasal dari kera. Penambahan pemeriksaan terhadap antigen
dan antibodi hepatitis B e (HBeAg dan Anti-HBe) digunakan untuk menentukan

9
status infeksi kronis pada spesies owa dan simpanse (Noppornpanth et al. 2003,
Payne 2004).
Penelusuran VHB DNA dilakukan dengan metode PCR, dan dilakukan
sekuens pada regio pre-S, regio envelope dan core telah dilakukan oleh banyak
peneliti pada isolat asal woolly monkey, owa, simpanse, gorila, dan orangutan.
Analisis filogenetik dilakukan pada hasil sekuens untuk menentukan hubungan
genetik virus antara isolat tersebut dengan spesies lain maupun VHB manusia
(Grethe et al. 2000, Sa-nguanmoo et al. 2008, Payne 2004).
Diagnosis infeksi virus hepatitis B pada manusia mengacu pada deteksi
penanda serologik dan dilihat juga gejala klinis yang muncul. Pada beberapa
kasus infeksi asimptomatik, diagnosis hanya dapat diketahui oleh penanda
serologik. Pada Gambar 3 digambarkan hubungan antara munculnya penanda
serologik dan gelaja klinis selama infeksi hepatitis B akut.

Gambar 3 Pola penanda serologik pada infeksi akut dan kronis (Dienstag dan
Isselbacher 1998)
Status hepatitis B individual dapat ditentukan dengan pemeriksaan
penanda serologik sebagai berikut (Adams et al. 1995) :
 HBsAg: antigen permukaan virus hepatitis B yang hanya muncul pada
infeksi akut atau kronis.
 Anti-HBs: antibodi terhadap HBsAg yang ditemukan pada pasien yang
telah pulih dari hepatitis B atau yang telah diimunisasi hepatitis B. Vaksin
hanya mentriger anti-HBs karena tidak terjadi replikasi virus pada individu
yang diberi vaksin hepatitis B.
 Anti-HBc: antibodi terhadap antigen core hepatitis B yang
mengindikasikan replikasi virus dan muncul pada fase infeksi akut setelah
HBsAg. Anti-HBc persisten dengan HBsAg pada individu kronik karier
dan dengan individu yang telah pulih dan memiliki anti-HBs. Jika anti-

10
HBc muncul tanpa HBsAg atau anti-HBs, individu pasien dikategorikan
sebagai karier.
Manifestasi Klinis Hepatitis B Pada Satwa Primata
Manifestasi klinis penyakit hepatitis B pada satwa primata berbeda dengan
manusia. Penyakit hepatitis B akut pada manusia dapat terlihat dari beberapa
gejala seperti mual, muntah, diare, anoreksia, sakit kepala, kekuningan, demam
ringan, dan hilang nafsu makan. Terkadang infeksi VHB tidak memunculkan gejala
kekuningan (jaundice). Gejala yang nyata yang dapat diidentifikasi dengan deteksi
biokimia atau serologi virus spesifik pada darah penderita (WHO, 2002). Pada
manusia dewasa, infeksi VHB dapat pulih secara komplit, namun 5-10% tidak dapat
tereliminasi total dari virus akibat kegagalan tanggapan imun yang adekuat sehingga
terjadi infeksi hepatitis B perisiten, jika hal ini terus berlangsung dapat bersifat karier
inaktif atau hepatitis kronis yang tidak menunjukkan gejala, tapi infeksi ini tetap
menjadi sangat serius dan dapat mengakibatkan kerusakan hati atau sirosis, kanker
hati dan kematian (WHO 2002).
Pada beberapa penelitian yang mendeteksi keberadaan hepatitis B pada satwa
primata seperti simpase, McDonald et al. (2000) melaporkan bahwa gejala klinis
hepatitis tidak ditemukan pada simpanse. Penelitian hepatitis B pada gorilla,
orangutan, owa dan woolly monkey juga tidak melaporkan adanya gejala klinis yang
timbul pada satwa yang terinfeksi VHB. Temuan profil kimia darah untuk kasus
hepatitis B pada satwa primata telah dilaporkan Gheit et al. (2002) pada Macaca
sylvanus di Morocco yang menginokulasikan virus hepatitis B manusia pada hati M.
sylvanus. HBsAg dapat terdeteksi bersamaan dengan kenaikan ALT (Alanine
Transferase), namun anti-HBs dan anti-HBc tidak terdeteksi dalam serum. Lanford et
al. (2003) yang menginfeksilkan sipder-monkey (Ateles geoffroyi) dengan VHB dari
clone infeksius VHB Woolly-monkey (WMHBV) melaporkan bahwa spider-monkey
hanya dapat bertahan hidup selama 6 minggu, namun infeksi tidak mentriger gejala
klinis atau kenaikan enzim hati.

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Taksonomi
Macaca fascicularis atau yang dikenal sebagai monyet ekor panjang,
cynomolgus monkey, atau crab-eating macaques terdistribusi secara luas pada
daratan tropis dan habitatnya berdampingan dengan manusia di kepulauan Asia
Tenggara (Eudey 2008, Gumert et al. 2011). Secara taksonomi, monyet ekor
panjang diklasifikasikan dalam (Brandon-Jones et al. 2004):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Subordo
: Anthropoidea
Infraordo
: Catarrhini
Famili
: Cercopithecidae (Gray 1821)
Genus
: Macaca (Lacépède 1799)
Spesies
: Macaca fascicularis (Raffles 1821)

11
Morfologi
Monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang menggunakan
keempat tungkai nya untuk berjalan (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih
panjang dari kepala dan badan, dan memiliki bantalan duduk (ischial callosity)
yang melekat pada tulang duduk (ischium) (Napier & Napier 1985). Satwa
primata ini memiliki variasi warna rambut coklat kekuningan atau abu-abu sampai
coklat gelap. Warna rambut di bagian ventral tubuh lebih pucat. Rambut di atas
mahkota kepala tumbuh kearah belakang yang sering berbentuk mahkota (crest)
yang runcing (Groves 2001). Kulit wajah berwarna abu-abu gelap dengan kulit
kelopak mata bagian medial lebih pucat (Rowe 1996).
Monyet ekor panjang menunjukkan perbedaan ukuran antara jantan dan
betina (sexual dimorphism). Bobot tubuh monyet ekor panjang jantan 4.7-8.3 kg
dan betina 2.5-5.7 kg. Panjang kepala dan badan jantan berkisar antara 412 – 648
mm dan betina 385 - 503 mm. Panjang ekor monyet jantan 435 – 655 mm dan
betina 400 – 550 mm. Jumlah gigi jenis ini berjumlah 32 buah dengan rumus gigi
(2I- 1C- 2PM-3M/2I-1C-2PM-3M) (Rowe 1996).
Kematangan seksual individu jantan untuk bereproduksi secara baik
dimulai pada umur 51,6 bulan, sedangkan monyet betina mengalami pubertas
pada umur 2-3 tahun. Pubertas ditandai oleh kejadian menstruasi pertama
(menarche). Siklus menstruasi berkisar antara 28-32 hari dan ovulasi terjadi pada
hari ke 12 sampai hari ke 15. Kematangan seksual monyet ekor panjang betina
pada umur 50,4 bulan, dan lama kebuntingan berkisar antara 160-170 hari. Umur
melahirkan pertama umumnya 46 bulan, dan interval kelahiran antara 12-24 bulan.
Secara umum, monyet ini melahirkan satu anak. Penyapihan anak dilakukan pada
umur 12-18 bulan (Hendrickx & Dukelow 1995).
Status Konservasi
Monyet ekor panjang termasuk satwa liar yang statusnya diatur oleh
undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
hayati dan Ekosistemnya, dan PP No. 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa Macaca
fascicularis merupakan jenis satwa yang tidak dilindungi, serta masuk kategori
satwa dalam Apendiks II CITES. lembaga dunia yang mengurus perlindungan
alam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources) memasukkan beberapa spesies ini dalam kategori beresiko rendah
(Least concern).
Monyet ekor panjang dapat hidup di berbagai pulau dan habitat di Indonesia.
Satwa ini ditemukan di Pulau Sumatera, kepulauan Lingga, Riau, Bangka,
Belitung, kepulauan Tambelan, kepulauan Natuna, Nias, Jawa, Bali, Mantasari,
Bawean, Maratua, Lombok, Sumba, dan Sumbawa (Santosa 1996, Suaryana et al.
2000). Kemampuan monyet ekor panjang dapat hidup di habitat asli dan habitathabitat lainnya terkait dengan sifat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan
iklim yang berbeda (Napier & Napier 1985).
Kemampuan adaptasi dalam berbagai lingkungan menjadikan monyet ekor
panjang dapat hidup berdampingan dengan manusia di banyak habitat di
Indonesia. Bersamaan dengan berkurangnya sumber pakan di habitat alaminya,
dilaporkan oleh Kyes et al.(2011) bahwa sebanyak 20 dari 22 lokasi yang

12
dilakukan survei, ditemukan adanya konflik antara manusia dengan monyet ekor
panjang, umumnya terjadi pada daerah pertanian, lokasi wisata, dan situs religius.
Pada budaya asia telah lama monyet ekor panjang digunakan dalam hiburan
masyarakat, salah satunya topeng monyet di negara Indonesia, dimana monyet
dihabituasi dan dilatih untuk dapat melakukan pertunjukan diiringi musik dengan
menggunakan kostum selayaknya manusia (Schillaci et al. 2005). Monyet ekor
panjang juga banyak dipelihara oleh masyarakat selayaknya hewan domestik,
satwa dapat dibeli dari pasar hewan, seperti Pasar Pramuka Jakarta. Satwa yang
berada di pasar hewan umumnya ditempatkan dalam populasi yang padat dan
kondisi yang buruk, dimana kondisi tersebut dapat menekan sistem imunitas dan
memfasilitasi penularan berbagai penyakit (Karesh et al 2005, Malone et al. 2002).
Dalam lingkungan pemeliharaan, kontak antara manusia dengan monyet
ekor panjang sangat dekat, mereka tinggal dengan keluarga pemilik, saling
berbagi makanan dan sumber air (Schillaci et al. 2005). Berbagai bentuk
kedekatan monyet ekor panjang dengan pemiliknya tanpa alat pelinding diri
digambarkan pada Gambar 4.
Selain itu, monyet ekor panjang telah dimanfaatkan secara luas oleh
manusia antara lain dalam bidang ekowisata, dan ilmu biomedis. Kemiripan
anatomi dan fisiologi, serta filogenetik antara monyet ekor panjang dengan
manusia menyebabkan satwa ini suseptibel atau peka terhadap berbagai penyakit
manusia, sehingga monyet ekor panjang dapat dimanfaatkan dalam penelitian
biomedis (Sajuhti dan Lelana 1993, Bennett 1995).

(b)
b)

(a)
(c)
c)
a)
Gambar 4. Kedekatan antara monyet ekor panjang dengan pemiliknya (a), kontak
langsung dengan mukosa tubuh (b), saling berbagi makanan (c).
(dok.Citraningputri)
Penyakit Hepatitis B pada Monyet Ekor Panjang
Beberapa penelitian untuk menguji keberadaan hepatitis B pada jenis
monyet Cercopithecidae telah banyak dilakukan. Heckel et al. (2001) telah
melakukan uji penapisan terhadap anti-HBc, HBsAg, anti-HBs, HBeAg, anti-HBe,
anti-HBc IgM dengan menggunakan ELISA komersial untuk mendeteksi hepatitis

13
B manusia, dan nested PCR pada 386 ekor jenis Cercopithecidae. Namun, hanya
1 sampel Cercopithecus aethiops terdeteksi positif anti-HBc dan DNA VHB
dalam serum.
Makuwa et al (2003) melakukan survei hepatitis B pada jenis monyet
Cercopithecidae di pusat primata CIRMF Gabon-Afrika Tengah. Penanda
serologi anti-HBc, HbsAg, anti-HBs digunakan untuk mendeteksi VHB dengan
ELISA komersial, dan nested PCR. Primer yang digunakan dipilih dari regio
genom yang conserved yang mengkode antigen S-surface dan C-core. Jenis
Cercopithecidae yang dilakukan survei diantaranya 143 ekor Macaca sp., 125
ekor Cercopithecus sp., dan 72 ekor Macaca fascicularis. Namun, tidak ada
satupun Cercopithecidae yang menunjukan hasil positif penanda serologi hepatitis
B maupun nested PCR.
Starkman et al. (2003) melakukan investigasi terhadap distribusi infeksi
alami hepatitis B pada 93 ekor Cercopithecidae asal Afrika, diantaranya Papio
spp., Cercopithecus sp., Cebus sp., dan Mandrillus sp. Pada uji penapisan, semua
sampel diuji terhadap keberadaan HBsAg dengan menggunakan ELISA komersial,
namun tidak ada sampel yang menunjukan hasil positif. Untuk menelaah
kemungkinan bahwa varian VHB pada Cercopithecidae yang secara evolusi
merupakan spesies yang jauh berbeda dari spesies primata lainnya, sehingga
kemungkinan VHB yang juga sangat berbeda untuk dapat terdeteksi dengan
primer VHB konvensional, maka Starkman et al. mengembangkan pasangan
primer yang berbeda. Primer ini dikembangkan dari regio gen yang sangat
conserved dari gen permukaan, yang tidak hanya dapat mengamplifikasi VHB
semua genotipe manusia dan satwa primata, namun juga VHB dari rodensia.
Namun, primer ini tetap tidak dapat mendeteksi adanya infeksi VHB pada sampel
Cercopithecidae tersebut.
Makuwa et al. (2006) melakukan studi epidemiologi kembali pada 405
ekor Cercopithecidae, 72 diantaranya Macaca fascicularis di Gabon-Afrika
Tengah. Uji serologi dilakukan terhadap anti-HBc, HBsAg, anti-HBs, HBeAg,
dan anti-HBe. Uji PCR dilakukan dengan primer yang sama pada penelitian
Makuwa et al. (2003). Hasil menunjukan VHB tidak terdeteksi pada 405 sampel
Cercopithecidae baik secara serologi maupun molekular.
Dupinay et al. (2013) melakukan investigasi pada 260 ekor Macaca
fascicularis yang berasal dari Morocco, Pulau Mauritius, dan Asia. Uji
penanpisan dilakukan untuk mendeteksi HBsAg (VIDAS HBsAg Ultradetection)
dan anti-HBs dengan ELISA komersial. Hasil menunjukan 4 sampel positif
HBsAg. Pengujian dilanjutkan dengan kuantifikasi viral-load dengan real-time
PCR, kuantifikasi cccDNA pada organ hati dengan real-time PCR, dan
Immunofluorescence pada organ hati untuk mendeteksi HBsAg dan HBcAg. VHB
DNA terdeteksi pada 31 dari 120 sampel serum, dan 21 dari 50 sampel hati.
Semua sampel positif hanya berasal dari M.fascicularis yang berasal dari Pulau
Mauritius. Hasil sekuens genom menunjukan bahwa VHB yang menginfeksi ialah
VHB genotipe D subtype ayw3. VHB ini berelasi dekat dengan VHB manusia,
dan dimungkinkan ditransmisikan dari manusia, karena koloni M.fascicularis di
Pulau Mauritius berasal dari 300 tahun yang lalu dibawa oleh bangsa Portugis dari
Jawa ke Pulau Mauritius.
Lelana et al. (2014) melakukan survei berbagai agen penyakit patogen
pada M.fascicularis yang diperagakan dalam atraksi topeng monyet, salah satunya

14
penyakit hepatitis B. Uji penapisan dilakukan terhadap anti-HBs dengan ELISA
komersial (HBsAg™, Human®, Human Gesellschaft fȕr Biochemica und
Diagnostica mbH). Uji PCR dilakukan dengan menggunakan primer yang
mengamplifikasi hepatitis B pada orangutan, owa, dan manusia. Hasil
menunjukkan bahwa 4 dari 45 ekor M. fascicularis terdeteksi memiliki anti-HBs,
namun DNA VHB tidak ditemukan dengan pasangan primer tersebut. Hal ini
merupakan temuan pertama yang menunjukan hasil serologi positif terhadap antiHBs pada M. fascicularis di Indonesia.
Uji Serologi ELISA
Uji serologis ELISA (Enzym-linked immunosorbent assay) diperkenalkan
oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall pada tahun 1971 untuk menganalisis adanya
interaksi antigen dengan antibodi di dalam sampel dengan menggunakan enzim
sebagai pengenal (Leguin 2005). Prinsip enzim immunoassay menggunakan
enzim yang melekat pada salah satu reagen untuk menunjukan kuantifikasi
melalui pengembangan warna setelah penambahan substrat atau kromogen yang
cocok (Crowther 2001). ELISA terdiri dari 3 tipe metode utama, yaitu ELISA tipe
langsung, ELISA tipe tidak langsung, dan Sandwich ELISA. Masing-masing
metode digunakan tergantung dari tujuan uji yang dilakukan. Untuk mendeteksi
antibodi, tipe yang biasa digunakan ialah ELISA tidak langsung.
Protokol ELISA langsung ialah (i) antigen dilarutkan dalam larutan
penyangga,
umumnya
penyangga
yang
digunakan
ialah
larutan
karbonat/bikarbonat pH tinggi (9,6) atau netral phosphate-buffered saline (PBS).
Tujuannya agar larutan penyangga tidak mengandung protein yang dapat
berkompetisi dengan target antigen untuk melekat pada sumur plate polystirene.
Antigen akan melekat pada sumur plate selama inkubasi. Suhu optimum yang
digunakan untuk masa inkubasi ialah 37oC. Tahap (ii) dilakukan pencucian untuk
menghilangkan antigen yang tidak melekat menggunakan larutan penyangga
netral (seperti PBS). Tahap (iii) antibodi yang telah dikonjugasikan dengan enzim
ditambahkan ke dalam sumur, dan jika sampel mengandung antigen maka terjadi
ikatan antigen-antibodi. Tahap (iv) diikuti inkubasi dan pencucian. Tahap (v)
konjugat ditambahkan dan dilakukan inkubasi. Umumnya, konjugat merupakan
antibodi yang di label dengan enzim, fluorochrome, atau reagen lainnya yang jika
bereaksi akan menghasilkan warna. Antibodi pada konjugat berupa antibodi
antispesies tertentu, dan enzim yang umum digunakan ialah Alkaline phosphatase
+ p-Nitrophenylphosphate atau Horseradish peroxidase + hydrogen peroxide
substrate. (vi) Dilakukan pencucian. (vii) Substrat/chromophore kemudian
ditambahkan untuk mengikat konjugat. Substrat bersifat peka terhadap cahaya,
sehingga inkubasi dilakukan pada kondisi gelap dalam suhu ruang. Apabila
konjugat bereaksi dengan ikatan antigen-antibodi, enzim dalam konjugat membuat
kromogen pada substrat menghasilkan warna. (viii) Langkah terakhir, larutan stop
ditambahkan dalam sumur. Kemudian dilakukan pembacaan (Crowther 2001).
Pembacaan uji ELISA berdasarkan pada optical density (OD) yang di ukur
pada panjang gelombang tertentu. Interpretasi hasil uji didasarkan pada nilai OD
kontrol positif, kontrol negatif dan sampel. Titer antibodi sebanding dengan
aktivitas enzim, semakin kuat warna yang dihasilkan, maka semakin besar titer
antibodi sampel (Levinson dan Jawetz 2000).

15
Identifikasi Langsung Asam Nukleat Virus
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu
metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen
nukleotida tertentu dengan cara in vitro (Yuwono 2006). Prinsip teknik ini ialah
penggandaan satu molekul DNA yang dilakukan oleh protein spesifik yang
dikenal sebagai polymerase. Polyerase merupakan enzim yang dapat menyusun
untaian basa nukleotida menjadi bentuk untaian molekul panjang. Basa nukleotida
tersebut ialah Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C), dan Guanine (G) (Joshi et
al. 2011)
Tabel 1 Pasangan primer untuk mendeteksi gen core dan surface HBV pada satwa
primata
Target
Primer
Urutan basa (5’ ke 3’)
Orangutan (Warren et al. 1999, Verschoor et al. 2001)
Gen Pre-S
SF1
TGYGGGTCACCWTATTCTTGGG
SRout
CACTGTTCCTGAACTGGAGC
Cercopithecidae (Heckel et al. 2001)
Primer 2820-26f
GGGTCACCATATTCTTGGGAACAAGA
Primer 191-24r
GCAGGGGTCCTAGGARTC-CTGATA
Nested PCR primer :
TTGGGGTGGAGC-CCTCAGGCTCAG
Primer 3076-24f
TTCRGYGCAGGGTCCCCARTCCTCG
Primer 153-25r
Macaca sylvanus (Gheit et al. 2002)
Gen S
Forward
GGAGTGGGCCTCAGCCCGTTTCTC
Reverse
GCCCCCAATACCACATCATCCATA
Gen Core
Forward
TCGGAGTGTGGATTCGCACTCCTC
Reverse
GATTGAGACCTTCCTCCTCTGCGAGGA
Cercopithecidae (Makuwa et al. 2003)
Regio S-surface:
HBV2853P
TCACCATATTCTTGGGAACA
HBV409N
AGATGAGGCATAGCAGCAGGATG
Regio C-core:
HBV2440P
GCCGCGTCGCAGAAGATCCTCAA
HBV58N
GAACTGGAGCCACCAGCAGG
Nested PCR primer:
Regio S-surface:
HBV409N &
CCTGCTGGTGGCTCCATTC
HBV58P:
Regio C-core:
HBV2440P &
TGTTCCCAAGAATATGGTGA
HBV2853N:
Cercopithecidae Afrika, kera, dan Monyet Dunia Baru (Starkman et al. 2003)
Gen S
Set Primer S3:
Primer 21
GACTTCTCTCARTTTTCYAGGGG
Primer 22
GATGTRTCTGCGGCGTTTTATCAT
Primer 23
GATACCCTCACCCGGARTCRGGCA
Primer 24
GGCAAAGAGRACCGAGTYAAATGA
Macaca fascicularis (Dupinay et al. 2013)
Kuantitatif
Forward
GCTGACGCAACCCCCACT
real-time PCR
Reverse
AGGAGTTCCGCAGTATGG

Metode ini bergantung pada siklus termal, yang terdiri dari siklus reaksi
pemanasan dan pendinginan yang berulang-ulang untuk memcah DNA dan
mereplikasi DNA secara enzimatik. Primer yang berupa fragmen pendek DNA
merupakan sekuens yang akan menyempurnakan regio target dengan DNA

16
polymerase. Pada akhir reaksi, sekuens spesifik akan terakumulasi dalam jutaan
salinan, yang disebut amplikon. Amplikon divisualisasikan sebagai pita DNA
pada agar agarose melalui teknik elektrofo