Variasi Genetik dan Morfologi serta Tingkat Kekerabatan Kelinci Laut (Phyllidiidae) antara Populasi Papua dan Australia

VARIASI GENETIK DAN MORFOLOGI SERTA TINGKAT
KEKERABATAN KELINCI LAUT (PHYLLIDIIDAE) ANTARA
POPULASI PAPUA DAN AUSTRALIA

WINDA MEILINDO

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Variasi Genetik dan
Morfologi serta Tingkat Kekerabatan Kelinci Laut (Phyllidiidae) antara Populasi
Papua dan Australia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014
Winda Meilindo
NIM C54100024

ABSTRAK
WINDA MEILINDO. Variasi Genetik dan Morfologi serta Tingkat Kekerabatan
Kelinci Laut (Phyllidiidae) antara Populasi Papua dan Australia. Dibimbing oleh
HAWIS MADDUPPA dan BEGINER SUBHAN.
Kelinci laut adalah moluska yang tidak bercangkang dengan ordo
Nudibranchia dan termasuk anggota dari subkelas Opisthobranchiata dan kelas
Gastropoda. Identifikasi kelinci laut cukup sulit karena spesies ini memiliki
hubungan genetik yang erat dan karakter morfologi yang hampir sama dari setiap
jenisnya. Nudibranchia memiliki diversitas yang tinggi di perairan Indonesia dan
Australia. Namun, kajian tentang kekerabatan jenis antara kedua daerah tersebut
masih jarang. Penelitian ini bertujuan : (1) mengidentifikasi kelinci laut di Papua
menggunakan karakterisasi morfologi dan molekuler, (2) mengidentifikasi
keragaman genetik dan filogenetik kelinci laut antara populasi Papua dan

Australia. Sampel kelinci laut yang dianalisis berjumlah 4 sampel yaitu 2 sampel
(Phyllidia ocellata dan Phyllidiella pustulosa) dari Papua dan 2 sampel (Phyllidia
ocellata dan Phyllidiella pustulosa) dari Australia yang diunduh dari Genbank.
Nilai homologi analisis BLAST sampel kelinci laut yang didapatkan dari Papua
berkisar antara 88-98 %. Pohon filogenetik yang terbentuk terbagi menjadi 2 clade
besar dengan jarak genetik berkisar 0,019-0,193. Rekonstruksi filogenetik mampu
mengelompokkan dan memperlihatkan kekerabatan yang erat pada dua populasi
antara Papua dan Australia.
Kata kunci : Filogenetik, kelinci laut, Phyllidia ocellata, Phyllidiella pustulosa

ABSTRACT
WINDA MEILINDO. Genetic and Morphological Variation and Genetic
Relationship of Sea Slugs (Phyllidiidae) between Papua and Australia Population.
Supervised by HAWIS MADDUPPA and BEGINER SUBHAN.
Sea slugs are shell-less marine molluscs which is classified in the order
Nudibranchia within the gastropod group and subclass Opisthobranchiata. The
identification process of sea slugs is barely difficult, since they are genetically
close-related and morphologically similar among their groups. Nudibranch has a
high biodiversity in the Indonesia and Australia waters. However, the study of
kinship between the two types are still rare. Therefore, The study was conducted :

(1) to identify sea slugs in Papua using morphological and molecular
characterization, (2) to identify genetic variation and to reconstruct phylogenetic
tree of sea slugs from Papua and Australia population. A total of 4 samples were
analyzed : 2 samples (Phyllidia ocellata and Phyllidiella pustulosa) from Papua
and 2 samples (Phyllidia ocellata and Phyllidiella pustulosa) from Australia
downloaded from Genbank. Homology results from BLAST analysis for Papua’s
sea slug samples ranges between 88-98%. Genetic distance were formed ranged
from 0.019 to 0.193. Phylogenetic reconstruction was able to classify and show
the close relationship of sea slugs population in Papua and Australia.
Keywords : Phyllidia ocellata, Phyllidiella pustulosa, phylogenetic, sea slugs

VARIASI GENETIK DAN MORFOLOGI SERTA TINGKAT
KEKERABATAN KELINCI LAUT (PHYLLIDIIDAE) ANTARA
POPULASI PAPUA DAN AUSTRALIA

WINDA MEILINDO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan

pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Variasi Genetik dan Morfologi serta Tingkat Kekerabatan Kelinci
Laut (Phyllidiidae) antara Populasi Papua dan Australia
Nama
: Winda Meilindo
NIM
: C54100024

Disetujui oleh

Dr Hawis Madduppa, SPi MSi
Pembimbing I


Beginer Subhan, SPi MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Variasi Genetik dan Morfologi serta Tingkat Kekerabatan Kelinci Laut
(Phyllidiidae) antara Populasi Papua dan Australia”. Penelitian ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini terutama

kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang diberikan kepada penulis
hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Hawis Madduppa, SPi, MSi dan Bapak Beginer Subhan, SPi MSi
selaku pembimbing, yang telah banyak memberi segala saran, bimbingan, dan
nasihat selama penelitian berlangsung hingga karya ilmiah ini selesai.
3. Laboratorium Indonesia Biodiversity Research Center (IBRC) dan Marine
Biodiversity and Biosystematics Laboratory (MBB), atas proses pengolahaan
data dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Majariana Krisanti, SPi, MSi atas peminjaman alat dan segala fasilitas
yang diberikan selama penenelitian di Labotarium Biologi Mikro 1.
5. Keluarga besar di Pagar Alam, Rahmad Hidayat dan Wisna Hartati, orang tua
tercinta dan Widia Yulindo serta Wilda Destrilindo, saudara kandung tercinta
atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis hingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Nurlita Putri Anggraini, I Gede Wahyu Dani Dharmawan, Yuliyana
Mubarokah, dan Abudi atas ketersediaannya dalam membantu proses
pengolahan data.
7. Keluarga besar Ilmu dan Teknologi Kelautan, ITK 47 Inspiration, Coraux,
B19 family, beserta IKAMUSI Institut Pertanian Bogor atas dukungan dan

semangat yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Winda Meilindo

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN


xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Lokasi Penelitian


2

Bahan

3

Alat

3

Prosedur Penelitian

3

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN


7

Karakterisasi Morfologi

7

Keragaman Genetik

8

Tingkat Kekerabatan

11

SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan


13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Perbedaan morfologi eksternal dari famili Phyllidiidae
2 Hasil pengukuran morfologi individu kelinci laut di Suaka Alam
Perikanan Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja
Ampat, Provinsi Papua Barat
3 Hasil identifikasi kelinci laut di Suaka Alam Perikanan Kepulauan Raja
Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat
menggunakan BLAST
4 Komposisi basa nukleotida kelinci laut di Papua dan Australia
5 Matriks probabilitas substitusi nukleotida kelinci laut di Papua dan
Australia
6 Matriks jarak genetik spesies kelinci laut di Papua dan Australia

4

7

9
10
10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian
2 Karakter morfologi yang menjadi dasar pengukuran
3 A. Spesies Phyllidia ocellata (perbesaran 29,1x); dan B. Spesies
Phyllidiella pustulosa (perbesaran 22,2x)
4 Pohon Filogenetik kelinci laut di Papua, Australia, dan USA

3
5
8
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Prosedur kerja Dino-Lite (Digital Microscope) Pro 2
Komposisi Master Mix (MM) pada PCR (Hotstart)
Komposisi Master Mix (MM) pada PCR (Gold)
Hasil pengurutan basa nukleotida (sequencing) pada sampel kelinci laut
yang didapatkan di Papua, Australia, dan USA melalui BLAST

15
16
16
16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelinci Laut (Nudibranchia) merupakan moluska yang tidak bercangkang
dengan ordo Nudibranchia dan anggota dari Subkelas Opisthobranchiata dan
Kelas Gastropoda. (Dayrat 2006) terdiri dari 3000 spesies yang telah
teridentifikasi di dunia. Ordo Nudibranchia terdiri dari 4 subordo, 66 famili, dan
116 genera. Keempat subordo tersebut adalah Dendronotacea (10 famili, 14
genus), Doridacea (26 famili, 56 genus), Aeolidacea (21 famili, 35 genus), dan
Arminacea (9 famili, 11 genus). Famili Phyllidiidae termasuk ke dalam subordo
Doridacea dan terdiri dari enam genus, yaitu Ceratophyllidia, Phyllidiopsis,
Phyllidiella, Reticulidia, Fryeria, dan Phyllidia (Brunckhorst 1993). Nudibranchia
telah teridentifikasi di Indonesia sebanyak 59 spesies yang terdiri dari 15 famili.
Nudibranchia adalah salah satu kelompok hewan moluska laut yang menarik
untuk diamati karena mempunyai warna yang mencolok dan bentuk yang
bervariasi (Wagele & Klussmann – Kolb 2005).
Keanekaragaman Nudibranchia dapat diketahui dengan melihat faktorfaktor yang mempengaruhi keberadaannya di lautan antara lain perbedaan habitat,
seperti tutupan karang, ketersediaan dan jenis makanan. Ketiga hal ini berkaitan
karena diketahui bahwa banyak Nudibranchia makan dan hidup dalam asosiasi
yang dekat dengan spesies karang (Godfrey 2001). Nudibranchia pada umumnya
memakan algae, sponge, karang keras dan lunak, bryozoans dan hydroids (Allen
dan Steene 1999). Jenis makanan Nudibranchia ini biasanya tersedia di daerah
yang memiliki terumbu karang. Nudibranchia yang didapat di Papua yaitu
provinsi bagian barat negara Indonesia terdapat di habitat terumbu karang, dan
Nudibranchia yang didapat di negara Australia juga terdapat pada habitat yang
sama yaitu terumbu karang.
Kelinci laut (Nudibranchia) memiliki organ respirasi yaitu insang yang
muncul seperti jambul pada bagian punggung agak ke belakang (Holland 2008).
Nudibranchia juga memiliki organ seperti mata yang mungil hanya mampu
membedakan antara terang dan gelap sebagai gantinya Nudibranchia
menggunakan tonjolan sensor di kepala (rinophore) dan tentakelnya untuk
mencium, mengecap dan merasakan lingkungan. Kurangnya pengetahuan tentang
kelinci laut masih sangat banyak sehingga sulit untuk diidentifikasi secara
konvensional dan beberapa spesies nudibranchia memiliki kemiripan morfologi
yang dapat menimbulkan kesalahan identifikasi secara visual sehingga
diperlukannya juga adanya kajian molekuler dengan menggunakan teknik DNA
Barcoding agar dapat membantu proses identifikasi karena hanya membutuhkan
sedikit jaringan tubuh dari kelinci laut tersebut.
Deoxyribose Nukleid Acid (DNA) merupakan unit terkecil di dalam sel yang
berisi sifat keturunan suatu makhluk hidup dan dapat ditemukan pada nukleus
(DNA inti) dan organel-organel dalam sitoplasma (DNA mitokondria) (Schwagele
2005). Penggunaan DNA sebagai ciri suatu spesies yang memiliki beberapa
kelebihan, yaitu lebih termostabil dari pada protein, lebih sensitif, tidak
dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor pertumbuhan serta hampir semua jaringan
dapat digunakan sebagai sumber material genetik (Teletchea et al. 2005).

2
Nudibranchia memiliki diversitas yang cukup tinggi di perairan Indonesia
dengan diversitas yang ada dengan menggabungkan teknik identifikasi morfologi
dan molekuler dengan pendekatan DNA Barcoding semua organisme akan dapat
diidentifikasi dan dikuantifikasi. Struktur genetik DNA pada suatu organisme
dibentuk oleh basa nukleotida DNA yaitu adenin, guanin, tinin dan sitosin.
Filogenetik merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat dan
memodelkan kedekatan suatu spesies dengan spesies lainnya. Analisis filogenetik
digunakan untuk mengkontruksi dengan tepat hubungan antara organisme dan
mengestimasi perbedaan yang terjadi dari satu nenek moyang kepada
keturunannya (Li et al. 1999). Nudibranchia juga memiliki potensi sebagai
antivirus dan antikanker. Hal ini telah menarik para peneliti untuk
mengeksplorasinya (Murniasih 2005). Saat ini di Indonesia, belum ada data pasti
mengenai keanekaragaman Nudibranchia dan penelitian mengenai Nudibranchia
belum banyak dilakukan. maka penelitian mengenai Nudibranchia perlu lebih
banyak lagi dilakukan, supaya pengetahuan mengenai invertebrata laut ini
menjadi lebih baik (Ampou 2006).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies kelinci laut di Papua
menggunakan karakterisasi morfologi dan molekuler; merekonstruksi keragaman
genetik dan filogenetik antar spesies kelinci laut antara Populasi Papua dan
Australia.

METODE
Waktu dan Lokasi Peneltian
Sampel kelinci laut dari Papua diambil pada bulan Oktober 2013 di Suaka
Alam Perikanan Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat,
Provinsi Papua Barat (Gambar 1). Analisis laboratorium genetika dilaksanakan
pada bulan Januari-Februari 2014 di Laboratorium Biodiversitas Indonesian
Biodiversity Research Center (IBRC) Bali dan Laboratorium Biodiversitas dan
Biosistematika Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikananan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi
karakterisasi morfologi termasuk didalamnya pengolahan data dilakukan pada
bulan Agustus 2014 di Laboratorium Biologi Mikro I, Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer (sampel kelinci
laut dari Papua), data sekunder (sekuen DNA Australia kelinci laut yang diunduh
pada genbank (http://blast.ncbi.nlm.nih.-gov)), etanol, chelex 10 %, ddH2O,
larutan buffer, dNTP, loading dye, low mass ladder, enzim taq polymerase,
MgCl2 , primer (JGHCO dan JGLCO), agarosa, dan EtBr.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu alat tulis, gunting, cutter, tube
(2 ml, 0.6 ml, 0.3 ml, dan 0.2 ml), cawan petri, gloves, bunsen, vortex,
microsentrifuges, heating block, forceps, pippettemen (10, 20, 200 μl), pippet tips,
tabung erlenmeyer, gelas ukur, parafilm, microwave, mesin elektroforesis, mesin
UV, komputer, kamera, perangkat Lunak Mega 5.05, Dino-Lite Digital
Microscope dilengkapi dengan perangkat lunak Dino-Lite Capture 2.0.
Prosedur Penelitian
Preparasi Pengambilan Contoh
Kelinci laut yang ditemukan di Suaka Alam Perikanan Kepulauan Raja
Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat di
dokumentasikan dan diambil serta dimasukkan kedalam tube yang berisi alkohol
70 %. Hal tersebut dilakukan untuk ketahanan dan mencegah kerusakan pada
sampel.

4
Identifikasi Morfologi
Karakteristik morfologi kelinci laut diamati dan dicocokkan dengan
karakteristik yang terdapat pada jurnal kelinci laut (Brunckhorst 1993).
Karakteristik yang dicocokkan berupa perbedaan morfologi eksternal. Identifikasi
secara morfologi mencakup karakteristik dari famili Phyllidiidae yang meliputi
parameter panjang total (mm), jumlah tuberkel, warna mantel, rinotuberkel,
rinofor bergelambir, warna rinofor, dan lokasi anusnya. Terdapat enam genus dari
famili Phyllidiidae yang dapat dibedakan melalui morfologi ekternalnya, yaitu
tentakel oral, warna rinofor, keberadaan rinotuberkel, lokasi anus, warna mantel,
dan ornamentasi notum (permukaan dorsal dari mantel) (Brunckhorst 1993).
Tabel 1 menunjukkan perbedaan morfologi eksternal genus-genus tersebut.
Tabel 1 Perbedaan morfologi eksternal dari famili Phyllidiidae
Genus

Tentakel oral

Warna rinofor

Rinotuberkel

Lokasi anus

Phyllidia

Terpisah

Krem-kuning

Ada

Dorsal

Fryeria

Terpisah

Krem-kuning

Ada

Postero-ventral

Phyllidiella

Terpisah

Hitam

Tidak ada

Dorsal

Phyllidiopsis

Menyatu

bi/multi-warna

Tidak ada

Dorsal

Putih-krem

Tidak ada

Dorsal

Jingga

Tidak ada

Dorsal

Ceratophyllidia Sebagian menyatu
Reticulidia

Terpisah

Genus

Warna Mantel

Ornamentasi notum

Phyllidia

Biru keabuan, kuning-jingga, hitam

Bertuberkel (dapat membentuk
punggungan)

Fryeria

Biru keabuan, kuning-jingga, hitam

Bertuberkel

Phyllidiella

Merah muda, hijau, hitam, putih-krem

Bertuberkel

Phyllidiopsis

Merah muda, hitam, biru, putih-krem

Bertuberkel

Ceratophyllidia

Kuning agak krem, krem, hitam

Papila bertangkai (tanpa tuberkel)

Reticulidia

Jingga, putih, hitam

Punggungan halus (tanpa
tuberkel)

[Brunckhorst 1993]
Siput Phyllidiidae umumnya berukuran kecil (0,5-8,6 cm) dan dapat
dikenali dari tubuhnya yang keras, berbentuk oval, datar di bagian dorso ventral,
mantelnya kasar bergranul, memiliki rinofor bergelambir, serta tidak memiliki
insang dorsal. Insang siput Phyllidiidae merupakan insang ventro lateral,
membedakannya dari famili anggota Nudibranchia lainnya. Siput Phyllidiidae
memiliki warna dasar hitam atau putih dan warna biru pucat atau hijau pucat
(Brunckhorst 1993). Gambar 2 menunjukkan bagian-bagian tubuh siput
Phyllidiidae secara umum.

5

Gambar 2 Karakter morfologi yang menjadi dasar pengukuran
Keterangan a. Tuberkel; b. Notum (mantel dasar); c. Rinotuberkel; d.Rinofor
bergelambir; e. Kaki; f. Insang ventrolateral; g. Tepi mantel. [Dominguez et al.
2007]
Proses pengukuran karakter morfologi pada penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan alat Dino-Lite (Digital Microscope) Pro 2 dengan
perangkat lunak Dino-Lite Capture 2.0 yang dihubungkan pada laptop atau PC
(Lampiran 1).
Koleksi Sampel
Koleksi sampel adalah tahapan awal dalam analisis DNA dengan cara
mengambil dan memotong sedikit bagian tubuh kelinci laut. Bagian tubuh yang
didapatkan disimpan dalam microtube berukuran 0.5 ml yang berisikan ethanol
96% dan diberi label pada masing-masing tube untuk identitas sampel. Jumlah
sampel yang didapatkan sebanyak 2 sampel.
Ekstraksi dan Amplifikasi DNA Mitokondria
Ekstraksi DNA bertujuan untuk menghancurkan sel dan memisahkan
DNA pada sampel. Metode yang digunakan pada ekstraksi ini yaitu metode chelex
(Walsh et al. 1991). Pengekstraksian dilakukan dengan cara pemanasan 105°C
selama 60 menit. Tahapan ini harus dalam keadaan steril untuk mencegah
kontaminasi pada sampel.
Amplifikasi DNA menggunakan metode Polymerize Chain Reaction
(PCR) Hotstart merupakan reaksi untuk memperbanyak (replikasi) DNA secara
enzimatik pada suhu 80°C (Lampiran 2) dan PCR Gold yang dapat
mempertahankan reaksi enzim sampai suhu reaksi (Lampiran 3).
Komponen dalam PCR adalah ddH2O, 10 X PCR Buffer, 10 X PCR Gold
Buffer, dNTPs, MgCl2, primer, DNA template, dan enzim polimerase. Primer
yang digunakan yaitu JGHCO (5’ -tab acy tcb ggr tgb ccr aar aay ca-3’) dan
primer JGLCO (5’ -tbt cba cba ayc aya arg aya ttgg-3’). Proses PCR dilakukan
sebanyak 35 siklus yang setiap siklusnya terdiri dari proses pemisahan DNA utas
ganda (pre denaturation) pada suhu 95°C selama 3 menit, denaturasi pada suhu
94°C selama 45 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu 45°C selama 45
detik, pemanjangan segmen DNA (extention) pada suhu 72°C selama 2 menit, dan
tahap akhir (final extention) pada suhu 72°C selama 10 menit.

6
Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik untuk memisahkan molekul bermuatan
yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hasil amplifikasi DNA dari produk
PCR. Tahap awal elektroforesis adalah pembuatan gel agarosa 1% dengan
pewarna Etidium Bromida (4 µL) yang digunakan untuk media elektroforesis.
Hasil PCR dicampurkan dengan loading dye kemudian disisipkan dalam sumuran
agarosa. Elektroforesis menggunakan mesin elektroforesis tegangan 100 V dan
arus 400 mA dengan waktu 30 menit. Hasil elektroforesis dilihat dan difoto pada
mesin ultraviolet.
Siklus Pengurutan Nukleotida
Siklus pengurutan nukleotida (DNA sequencing) merupakan metode untuk
menentukan urutan basa nukleotida dalam DNA. DNA yang akan ditentukan
urutan basa ACGT-nya dijadikan sebagai cetakan yang kemudian akan
diamplifikasikan menggunakan enzim dan bahan-bahan reaksi PCR (Lampiran 4).
Produk PCR yang berupa DNA positif di pindahkan dalam plate PCR dan dikirim
ke Sequencing Facility UC Berkeley, California USA untuk pengurutan
nukleotida (Zein dan Prawiradilaga 2013).

Analisis Data
Identifikasi Spesies
Identifikasi spesies dilakukan dengan proses BLAST (Basic Local
Alignment Search Tool) pada program MEGA 5.05 (Molecular Evolutionary
Genetic Analysis) (Tamura et al. 2011). Data yang digunakan dalam proses
BLAST yaitu hasil pembacaan urutan basa nukleotida. Data tersebut disejajarkan
menggunakan CustalW pada program MEGA 5.05 untuk melihat keragaman basa
nukleotida. Dalam menentukan hasil spesiesnya dilakukan perbandingan dengan
database sekuen DNA pada genbank yang terhubung dengan genbank
(http://blast.ncbi.nlm.nih.-gov). Sebagai ingroup, sekuen yang digunakan dari
famili yang sama yaitu Phyllidiidae dengan spesies Phyllidia ocellata dan
Phyllidiella pustulosa dari Papua dan Australia. Sebagai outgroup, sekuen yang
digunakan dari Famili yang berbeda yaitu Acanthochitonidae dengan spesies
Cryptochiton stelleri yang diunduh dari data genbank dengan taksa yang tidak
jauh atau dekat yang difungsikan sebagai pembanding dalam menentukan spesies
yang berada dalam ingroup sehingga dapat membentuk filogenetik yang kuat dan
jelas untuk diklasifikasi kekerabatannya.
Struktur Genetik
Hasil sekuen DNA yang telah dianalisis dan diketahui spesiesnya akan
diolah kembali dengan program MEGA 5.05 untuk mengetahui hasil komposisi
basa nukleotidanya (Tamura et al. 2011). Pembuatan model komposisi dan
perbedaan basa nukleotida spesies kelinci laut menggunakan model compute
nucleotide composition.

7
Analisis Filogenetik
Analisis filogenetik digunakan untuk mengetahui kekerabatan dan jarak
genetik spesies kelinci laut. Sedangkan jarak genetik digunakan untuk mengetahui
ukuran perbedaan genetik antar populasi karena mutasi, seleksi, persilangan acak
dan penghanyutan gen yang akan menyebabkan terjadinya evolusi. Pembuatan
pohon filogenetik yang digunakan yaitu menggunakan metode Neighbor Joining
tree dengan nilai bootstrap 100 dan model p – distance. Data sekuens spesies
outgrup yang digunakan pada data pohon filogenetik diunduh dari genbank pada
website www.ncbi.com. Sedangkan Pembuatan jarak genetik spesies dihitung dan
dimodelkan dengan menggunakan model p – distance.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Morfologi
Berdasarkan hasil dari pengukuran morfologi individu kelinci laut
(Nudibranchia) dari Papua diperoleh 1 famili yaitu Phyllidiidae dan 2 spesies yang
telah diidentifikasi yaitu Phyllidia ocellata dan Phyllidiella pustulosa. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa ukuran kelinci laut Phyllidiella pustulosa lebih
besar dibandingkan dengan Phyllidia ocellata. Hasil morfologi pada setiap
individu kelinci laut dapat dilihat pada Tabel 2. Perbedaan morfologi dari kedua
spesies tersebut yaitu warna mantel, warna rinofor, keberadaan rinotuberkel, dan
jumlah tuberkel.
Tabel 2 Hasil pengukuran morfologi individu kelinci laut di Suaka Alam
Perikanan Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja
Ampat, Provinsi Papua Barat
Keterangan
Panjang Total
Jumlah Tuberkel
Warna Mantel
Rinotuberkel
Rinofor Bergelambir
Warna Rinofor

Individu 1
16,030 mm
28
Hitam, abu-abu
Ada
Ada
Krem-kuning

Individu 2
23,451 mm
28 (menumpuk)
Hitam
Tidak ada
Ada
Hitam

Lokasi Anus

Dorsal

Dorsal

Spesies

Phyllidia ocellata

Phyllidiella pustulosa

Hasil dari identifikasi menggunakan karakter morfologi dari 2 sampel yang
diidentifikasi terdapat 1 famili kelinci laut yaitu dengan kode sampel
MBB06.04.068 dan MBB06.04.070 yang berlokasi di Papua. Secara morfologi
kelinci laut dari famili Phyllidiidae dengan kedua spesies yang berbeda dapat
dilihat pada Gambar 3.

8

(A)

(B)
Gambar 3 A. Spesies Phyllidia ocellata (perbesaran 29,1x); dan B. Spesies
Phyllidiella pustulosa (perbesaran 22,2x)
Kedua gambar diatas diidentifikasi berdasarkan tampak dorsal. Perbedaan
dari kedua gambar tersebut yaitu Pada Gambar 3A dengan Spesies Phyllidia
ocellata dengan perbesaran 29,1x memiliki tuberkel, mantel, rinotuberkel, dan
rinofor bergelambir. Sedangkan pada Gambar 3B dengan Spesies Phyllidiella
pustulosa dengan perbesaran 22,2x hanya memiliki tuberkel, mantel, dan rinofor
bergelambir.

Keragaman Genetik
Hasil Pengurutan Basa Nukleotida dan Identifikasi Spesies
Hasil sampel kelinci laut dari papua yang dianalisis DNA mitokondrianya
berjumlah 3 sampel, 2 yang teramplifikasi dengan baik, dan 1 sampel yang kurang
baik. Hal ini dikarenakan kurang sempurnanya dalam proses amplifikasi DNA
pada PCR atau terkontaminasinya sampel sebelum di sekuensi. Tingkat kesamaan
(homologi) yang diperoleh dari analisis BLAST (Basic Local Alignment Search
Tool) sebesar 88-99 % yang merupakan spesies identik dengan memiliki
kesamaan yang tinggi pada data genbank (Lampiran 1).

9
Tabel 3 Hasil identifikasi kelinci laut di Suaka Alam Perikanan Kepulauan Raja
Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat
menggunakan BLAST
Kode

Famili

Analisis BLAST

MBB0604068

Phyllidiidae

Phyllidia ocellata

Maksimal
BLAST
88 %

MBB0604070

Phyllidiidae

Phyllidiella pustulosa

98 %

Tabel 3 merupakan hasil BLAST kelinci laut di Suaka Alam Perikanan
Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat, Provinsi Papua
Barat. Hasil menunjukkan terdapat 2 spesies kelinci laut yang teridentifikasi dan
tergolong dalam satu famili yaitu Phyllidiidae yang dianalisis DNA mitokondria
berjumlah 2 individu yaitu yang pertama kode MBB0604068 dengan spesies
Phyllidia ocellata sebanyak 1 individu dan tingkat kemiripan mencapai 88 %,
yang kedua kode MBB0604070 dengan Phyllidiella pustulosa sebanyak 1
individu dan tingkat kemiripan mencapai 98 %.
Spesies Phyllidia ocellata hidup berkisar panjang 16-17 mm dan rata-rata
panjang 39 mm. Warna utama dari spesies ini adalah hitam, putih, dan emas.
Permukaan ventral berwarna abu-abu. Rinophore berwarna emas dan organ
reproduksi umumnya berwarna krim pucat. Phyllidia ocellata memiliki khas yaitu
pola dorsal yang terdiri dari 4-10 cincin hitam yang berbatasan dengan warna
putih, memiliki tuberkel berwarna emas atau putih (Brunckhorst 1993). Distribusi
spesies ini umumnya diseluruh daerah tropis Samudera Indo-Pasifik Barat,
termasuk juga laut merah. Spesies ini juga cenderung memangsa spons Acanthella
cavernosa (Fusetani dkk, 1992).
Spesies Phyllidiella pustulosa merupakan salah satu spesies yang paling
umum di seluruh Indo-Pasifik Barat. Spesies ini hidup berkisar panjang 8-69 mm
dan rata-rata ukuran adalah 30 mm. Phyllidiella pustulosa memiliki ciri-ciri dorsal
dengan latar belakang sebagian besar hitam dan memiliki tuberkel berwarna
merah muda dan putih (Rudman WB 1999). Spesies ini cenderung memangsa
spons Halcandria sp dan Acanthella cavernosa (Cimino dan Ghiselin 1999).
Struktur Genetik Kelinci Laut
Urutan nukleotida dalam proses alignment menghasilkan urutan yang
bervariasi yaitu pada spesies Phyllidia ocellata dan Phyllidiella pustulosa yang
masing-masing sampel kelinci laut dari Papua dan Australia.
Pada tabel 4 dapat dilihat dari persentase komposisi nukleotida dari masingmasing sampel yaitu spesies Phyllidia ocellata dari Australia, spesies Phyllidiella
pustulosa dari Australia, spesies Phyllidia ocellata dari Papua, dan spesies
Phyllidiella pustulosa dari Papua didapatkan bahwa nilai basa nukleotida pada
masing-masing spesies tidak memiliki perbedaan yang besar.

10
Tabel 4 Komposisi basa nukleotida kelinci laut di Papua dan Australia.
Komposisi Nukleotida (%)
Jumlah
Nukleotida

Sampel

Phyllidia ocellata KJ001307.1
Australia
Phyllidiella pustulosa KJ001310.1
Australia
Phyllidia ocellata MBB0604068
Papua
Phyllidiella pustulosa MBB0604070
Papua

T (U)

C

A

G

40,0

16,1

24,9

19,0

658,0

39,2

16,7

25,5

18,5

658,0

41,2

17,0

23,0

18,8

522,0

39,5

17,2

26,1

17,2

522,0

Hasil analisis komposisi nukleotida DNA mitokondria diperoleh rata-rata
frekuensi spesies Phyllidia ocellata dari Australia yaitu A=24,9%; T/U=40,0%;
C=16,1% dan G=19,0%, komposisi nukleotida spesies Phyllidiella pustulosa dari
Australia yaitu A=25,5%; T/U=39,2%; C=16,7% dan G=18,5%, komposisi
nukleotida spesies Phyllidia ocellata dari Papua yaitu A=23,0%; T/U=41,2%;
C=17,0% dan G=18,8%, sedangkan komposisi nukleotida spesies Phyllidiella
pustulosa dari Papua yaitu A=26,1%; T/U=39,5%; C=17,2% dan G=17,2%.

Tabel 5 Matriks probabilitas substitusi nukleotida kelinci laut di Papua dan
Australia.
A
T
C
G

A
1.83*
1.83*
32.96^

T
2.93*
19.72^
2.93*

C
1.23*
8.28^
1.23*

G
24.37^
1.35*
1.35*
-

Keterangan : ^ Transisi
*Transversi
Keanekaragaman dalam kehidupan dapat timbul karena faktor mutasi gen
yang menimbulkan keanekaragaman genetik. Mutasi gen disebut juga mutasi titik.
Mutasi ini terjadi karena adanya perubahan struktur gen atau DNA (Lehninger,
1982). Adapun yang disampaikan oleh Graur & Hsiung Li ada beberapa tipe
mutasi yaitu : (1) Mutasi substitusi merupakan penggantian sebuah nukleotida
dengan yang lainnya, (2) Rekombinasi merupakan sebuah nukleotida dengan yang
lainnya, (3) Delesi merupakan pergerakan satu atau lebih nukleotida pada DNA
delesi. Mutasi substitusi penting karena pada dasarnya proses evolusi dan urutan
DNA (urutan nukleotida) adalah substitusi dari sebuah nukleotida dengan yang
lainnya selama waktu evolusi (Graur & Hsiung Li, 2000 ; Puterbaugh & Burleugh,
2001). Mutasi substitusi dibagi kedalam dua jenis yaitu transisi dan transversi.
Transisi adalah pengubahan antara A dan G (purin) atau antara C dan T
(pirimidin). Transversi adalah pengubahan antara purin dan pirimidin.

11
Hasil analisis matriks probabilitas substitusi nukleotida yaitu angka yang
bercetak tebal disebut substitusi transisi sedangkan angka yang bercetak miring
disebut substitusi transversi (Tabel 5). Mutasi substitusi transversi lebih kecil dan
lebih jarang terjadi dibandingkan substitusi transisi. Nilai mutasi substitusi paling
tinggi ditemukan pada basa A, diikuti oleh basa G, T dan C. Hal ini berkaitan erat
dengan frekuensi masing-masing nukleotida.
Tingkat Kekerabatan
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan spesies
Nudibranchia antara populasi Papua dan Australia. Matriks perbedaan jarak
genetik terdiri dari 2 spesies dari Papua dan 2 spesies dari Australia yang dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks jarak genetik spesies kelinci laut di Papua dan Australia.
Phyllidia
ocellata
Australia

Phyllidiella
pustulosa
Australia

Phyllidia
ocellata
Papua

Phyllidiella
pustulosa
Papua

Phyllidia ocellata Australia
Phyllidiella pustulosa Australia

0,190

Phyllidia ocellata Papua

0,125

0,190

Phyllidiella pustulosa Papua

0,182

0,019

0,193

Nilai jarak genetik pada tabel 6 diatas yaitu berkisar antara 0,019-0,193.
Jarak genetik menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesies. Data dari
matriks tersebut digunakan untuk analisis hubungan kekerabatan berdasarkan
pohon filogeni. Perbedaan jarak genetik terendah dimiliki oleh spesies Phyllidiella
pustulosa Papua dengan spesies Phyllidiella pustulosa Australia yaitu sebesar
0,019. Hal ini menunjukkan bahwa spesies Phyllidiella pustulosa Papua dengan
spesies Phyllidiella pustulosa Australia memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat. Sedangkan jarak genetik terbesar dimiliki oleh spesies Phyllidia ocellata
Papua dengan spesies Phyllidiella pustulosa Papua yang menunjukkan bahwa
kedua spesies tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang jauh. Semakin besar
jarak genetik, semakin jauh hubungan kekerabatan dan perbedaan basa nukleotida.
Semakin rendah nilai dari jarak genetik menandakan adanya hubungan genetik
yang sangat dekat (Nei 1972).
Rekonstruksi filogenetik merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat
evolusi dan kekerabatan suatu spesies melalui dendogram berdasarkan data
sekuens mitokondria yang didapatkan. Rekonstruksi filogenetik (Gambar 4)
menunjukkan hasil analisis BLAST sesuai dengan karakteristik cabang yang
dibentuk oleh pohon itu sendiri. Spesies yang memiliki rantai DNA yang mirip
akan membentuk suatu cabang yang berdekatan dan akan membentuk satu
kelompok yang besar (clade). Dalam merekonstruksi filogenetik ini digunakan
metode Neighbor-Joining karena metode ini efektif untuk melakukan perhitungan
tingkat kesamaan dalam mengidentifikasi spesies melalui kekerabatan.

12

Gambar 4 Pohon Filogenetik kelinci laut di Papua, Australia, dan USA.
Hasil analisis Gambar 4 menggambarkan hubungan kekerabatan spesies
kelinci laut di Papua, Australia, dan USA. Hasil analisis juga digunakan untuk
mengidentifikasi spesies yang terdapat dua kelas besar yaitu kelas besar pertama
yang terdiri dari Phyllidia ocellata Australia dan Phyllidia ocellata Papua,
sedangkan kelas besar kedua terdiri dari Phyllidiella pustulosa Australia dan
Phyllidiella pustulosa Papua serta terdapat 1 spesies outgroup Cryptochiton
stelleri USA. Pohon filogeni yang dibangun didukung oleh nilai bootstraps yang
tinggi pada setiap cabang pada kelompok populasi diatas. Hal ini menunjukkan
bahwa konstruksi pohon kekerabatan yang dibangun memiliki tingkat keakuratan
yang tinggi. Sehingga dapat menjelaskan bahwa meskipun setiap populasi terpisah
antara satu dengan yang lain tetapi perbedaan populasi ini (setiap clade)
menjelaskan berasal dari satu nenek moyang asal.
Rekonstruksi pohon filogenetik didukung hasil analisis nilai jarak genetik
antara kedua populasi (Tabel 6) dan kekerabatan dari masing-masing kedua clade
tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi oseanografi khususnya arus
karena arus yang terbentuk akibat tiupan angin secara global membantu dalam
membawa organisme kecil yang belum memiliki kemampuan berenang.
Organisme kecil yang terbawa arus yaitu larva nudibranchia yang terbawa oleh
arus menuju ke perairan Australia. Secara geografis Papua dan Australia terletak
dibagian timur Indonesia yang dibatasi oleh Samudera Pasifik, Laut Seram, Laut
Banda, dan Laut Halmahera. Kedudukan ini menyebabkan massa air perairan
dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arus ini mengalir dari
Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melintasi Perairan Papua, Laut
Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, dan menuju ke Australia. Molcard et al
(2001) menjelaskan Arlindo merupakan aliran arus antara samudera yang
melewati Indonesia dan memiliki peranan yang penting dalam sistem sirkulasi
massa air yaitu mensuplai massa air ke Samudera Hindia. Selain itu kemungkinan
juga dikarenakan terjadinya perubahan lempeng dari Papua dan Australia yang
terjadi jutaan tahun yang lalu. Menurut (Hall 1995) perubahan lempeng Papua dan
Australia terjadi sekitar 30 dan 25 juta tahun yang lalu.

13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil identifikasi kelinci laut menggunakan karakterisasi morfologi dan
molekuler yaitu 2 sampel yang diperoleh dari Suaka Alam Perikanan Kepulauan
Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat dapat
mencapai tingkat spesies yaitu Phyllidia ocellata dan Phyllidiella pustulosa
(famili : Phyllidiidae). Komposisi nilai basa nukleotida masing-masing spesies
tidak memiliki perbedaan yang besar. Jarak genetik yang terbentuk berkisar antara
0,019-0,193. Rekonstruksi filogenetik mampu mengelompokkan berdasarkan
hubungan kekerabatan sehingga dapat diketahui spesies kelinci laut yang di
analisis dan memperlihatkan kekerabatan yang erat pada dua populasi antara
Papua dan Australia.
Saran
Sangat minimnya penelitian Nudibranchia terutama di Indonesia sehingga
diperlukan adanya penelitian lanjutan yang berhubungan dengan genetika dan
identifikasi morfologi yang masih segar dan utuh, sehingga lebih mudah
melakukan pengukuran dan hasil yang didapatkan akan lebih baik. Diperlukan
juga penelitian lanjutan dengan lokasi yang berbeda dan spesies yang berbeda
agar lebih banyak informasi dan pengetahuan yang didapat.

DAFTAR PUSTAKA
Allen GR, Steene R. 1999. Indo-Pacific Coral Reef Guide. Singapore : Tropical
Reef Research.
Ampou, E.E. 2006. Similarity Distribution of Nudibranch (Chromodorididae,
Phyllidiidae, Facelinidae) in Siladen Island North Sulawesi-Indonesia.
Unsrat Online, Manado.
Brunckhorst DJ. 1993. The systematic and phylogeny of phyllidiid nudibranchs
(Doridoidea). Record of the Australian Museum Supplement. 16(1):1-107.
Cimino G, Ghiselin MT. 1999. Chemical defense and evolutionary trends in
biosynthetic capacity among dorid nudibranch (Mollusca: Gastropoda:
Opistobranchia). Chemoecology. 9:187-207.
Dayrat B. 2006. A Taxonomic Revision Of Paradoris Sea Slugs (Mollusca:
Gastropoda: Nudibranchia: Doridina). Zoological journal of the linnaean
society. 147:125-238.
Dominguez MP, Quintas, Troncoso JS. 2007. Phyllidiidae (Opisthobranchia:
Nudibranchia) from Papua New Guinea with the description of a new
species of Phyllidiella. American Malacological Bulletin. 22(1):89-117.
Fusetani N, Wolstenholme HJ, Shinoda K, Asai N, Matsunaga S. 1992. Two
sesquiterpene isocyanides and a sesquiterpene thiocyanate from the marine
sponge Acanthella cf, cavernosa and the nudibranch Phylldia ocellata.
Tertahedron Letters. 33(45):6823-6826.

14
Godfrey S. 2001. Factors Affecting Nudibranch Diversity in The Wakatobi
Marine National Park,. Diakses pada tanggal 24 September
2014, pukul 21.00 WIB.
Graur D, Hsiung Li. 2000. Fundamentals of Molecular Evolution. Sunder-land,
MA, USA : Sinauer Associates.
Hall R. 1995. Plate Tectonic Reconstruction of the Indonesian Region :
Proceeding 24th Indonesian Petroleum Association.
Holland JS. 2008. Warna Warni Kehidupan. NG. Indonesia edisi Juni 2008: 8083.
Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid 3. Tenawijaya M, penerjemah.
Jakarta (ID): Erlangga.
Li S, Pearl DK, Doss H. 1999. Phylogenetic tree construction using Markov Chain
Monte Carlo. Fred Huntchinson Cancer Research Center Washington. Fred
Hutchinson Cancer Research Center Washington. 29 pp.
Molcard R. Feux M. Syamsudin F. 2011, The Indonesian Throughflow Within
Ombai Strait. J. Deepsea. Res. 48:1237-1253.
Murniasih T. 2005. “Substansi Kimia untuk Pertahanan Diri dari Hewan Laut Tak
Bertulang Belakang”. Oseana, Volume XXX, Nomor 2 : 19-27.
Nei M. 1972. Genetic Distance Between Population. American Nature, 106 : 283–
292.
Puterbaugh MN, Burleugh JG. 2001. Investigating Evolutionary Question Using
Online Molecular Databases. American Biology Teacher. 63(6):422-431.
Rudman WB. 1999. Phyllidiella pustulosa Cuvier 1804. [internet]. [diunduh 2014
Sep 12]. Tersedia pada: http://www.seaslugforum.net/factsheet/phylpust.
Schwagele F. 2005. Traceability from a European perpective. Meat Science
71(1):164-173.
Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. Mega 5:
Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using Maximum Likelihood,
Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Molecular
Biological Evolution. 28(2).doi:10.1093/molbev/msr121.
Teletchea F, Celia M, Catherine H. 2005. Food and forensic molecular
identification : update and challenges. Trends in Biotecnology. 23(7):359366.
Wagele H. Klussmann-Kolb AK. 2005. Opistobranchia (Mollusca: Gastropoda) –
More Than Just Slimy Slugs. Shell Reduction And Its Implications On
Defence And Foraging Frontiers In Zoology. 2(3):1-18.
Walsh PS, DA Metzger, R Higuchi. 1991. Chelex 100 as a medium for simple
extraction of DNA for PCR-Based Typing from Forensic material.
Biotechnique. 10(4): 506-513.
Zein MSA, Prawiradilaga DM. 2013. DNA Barcoding Fauna Indonesia. Jakarta
(ID): Kencana.

15
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur kerja Dino-Lite (Digital Microscope) Pro 2
Sebelum melakukan pengukuran dengan menggunakan Dino-Lite Pro2,
terlebih dahulu dilakukan pengkalibrasi pada alat ini. Tujuannya adalah untuk
menyesuaikan nilai kebenaran pada alat dengan ukuran standar agar
meminimalisir error saat melakukan pengukuran.Adapun langkah-langkah untuk
melakukan kalibrasi sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah pasang Dino-Lite Calibration Sampel untuk
mulai melakukan kalibrasi, kemudian atur perbesarannya sampai
mendapatkan fokus yang sesuai. Seperti contoh gambar dibawah ini :
2. Klik icon
(calibration) kemudian pilih New Calibration Profile
3. Ketik “nama” pada Profile Name , selanjutnya klik Continue Calibration.
4. Ketik angka sesuai dengan perbesaran yang digunakan misalnya “35”
kemudian tekan Enter.
5. Pada layout Dino-Lite akan muncul tanda garis putus-putus.
6. Sesuaikan garis tersebut dengan angka 0 dan 5.
7. Pada ”please enter to known distance” ketik angka 5 dan pada unit pilih
mm.
8. Kemudian klik Finish dan kalibarasi pun selesai.
Selanjutnya untuk langkah-langkah pengukuran morfologi sebagai berikut :
1. Sebelum menggunakan Dino-Lite Pro 2, terlebih dahulu lakukan
penginstalan perangkat lunak Dino Caputer 2.0 pada laptop atau PC,
kemudian sambungkan Dino-Lite Pro 2 pada laptop atau PC.
2. Jalankan perangkat lunak Dino-Lite Pro 2 pada laptop atau PC, kemudian
lampu akan menyala pada Dino-Lite Pro 2 yang menandakan alat tersebut
siap digunakan.
3. Setelah itu, kalibrasi Dino-Lite Pro 2 menggunakan calibration sampel
agar ukurannya sesuai. Simpan kalibrasi yang telah dilakukan sesuai
dengan nama yang diinginkan.
4. Ambil objek yang akan diamati dan letakkan pada alas yang akan menjadi
background pada hasil foto, atur fokusnya sesuai keinginan. Apabila sudah
mendapatkan fokus pada objek yang akan diambil gambarnya tekan
tombol snapshot pada Dino-Lite.
5. Sebelum pengukuran dimulai, pada icon
tulis angka sesuai dengan
perbesaran yang dipakai saat pengambilan gambar di Dino-Lite misalnya
50.
6. Untuk menganalisis panjang total kita klik icon
Kemudian beri
keterangan dengan mengklik icon

16
Lampiran 2 Komposisi Master Mix (MM) pada PCR (Hotstart)
Master mix ..... tabung
STANDAR PROTOCOL ( 1μL DNA template)

ddH2O
10x PCR Buffer (PE-II)
dNTPs (8 mM)
MgCl2 (25 mM)
Primer 1 (10 µM)
Primer 2 (10 µM)
Amplitaq polymerase ( 5 unit/ µL)
Total

MM 1

MM 2

5,5
1,5
2,5
2
1,25
1,25
....
14

9
1
....
....
....
....
0,125
10,125

Lampiran 3 Komposisi Master Mix (MM) pada PCR (Gold)
STANDAR PROTOCOL
( 1μL DNA template)

ddH2O
10x PCRBuffer (Gold)
dNTPs (8 mM)
MgCl2 (25 mM)
Primer 1 (10 mM)
Primer 2 (10 mM)
Amplitaq polymerase ( 5 unit/ µL)
Total

n=1

14,5
2,5
2,5
2
1,25
1,25
0,125
24

n = ....

....
....
....
....
....
....
....

Lampiran 4 Hasil pengurutan basa nukleotida (sequencing) pada sampel kelinci
laut yang didapatkan di Papua, Australia, dan USA melalui BLAST
#MBB0604068 Phyllidia ocellata Papua
TTTTTGGGGGACGACCATTTTTATAATGTTATTGTAACGGCTCATGCTT
TCGTAATAATTTTTTTTCTGGTTATACCTTTAATAATTGGTGGGTTCGG
AAATTGAATGGTTCCTTTACTAATCGGGGCTCCAGATATAAGTTTCCCT
CGAATAAATAATATAAGTTTTTGGTTACTTCCTCCATCTTTTATTTTATT
ACTGTGTTCAACTCTAATAGAGGGAGGGGCTGGAACCGGGTGGACTGT
TTACCCTCCACTGTCAGGGCCAATAGGCCATGGTGGTACATCTGTTGA
CCTGGTAATTTTCTCTTTACATTTAGCAGGAGCTTCTTCTCTTTTAGGTG
CAATTAATTTTATTACTACTATTTTTAACATACGTTCCCCTGCTATAAC
AATGGAACGTTTAAGATTATTTGTTTGGTCTGTTTTGGTAACGGCGTTT
CTTTTACTTCTTTCTTTACCAGTATTAGCAGGGGCTATTACTATGCTTTT
AACTGATCGAAACTTTAATACTAGTTTTTTT-----------------------------------

17
#MBB0604070 Phyllidiella pustulosa Papua
TTTTTAGGAGACGATCATTTCTATAATGTAATTGTAACAGCTCATGCTT
TTGTTATAATTTTCTTTTTGGTAATACCTCTAATAATTGGAGGATTTGG
GAATTGAATAGTTCCTTTATTAATTGGAGCCCCTGACATGAGATTTCCA
CGAATAAACAATATAAGATTTTGACTATTGCCTCCTTCTTTTATTCTTTT
GCTTTGTTCAACACTAATAGAAGGAGGGGCAGGGACAGGATGAACAG
TTTACCCACCTTTATCGGGACCAATAGGTCACGGAGGTACTTCAGTTG
ATCTTGCTATTTTTTCACTGCATCTAGCAGGTGCTTCTTCTTTATTAGGG
GCAATTAATTTTATTACTACTATTTTTAACATACGGTCCCCTGCAATAA
CGATAGAGCGGTTAAGTTTATTCGTTTGGTCCGTTTTAGTCACTGCTTT
TTTATTACTTTTATCTCTCCCAGTTTTAGCTGGTGCAATTACTATACTAT
TAACAGATCGTAATTTTAATACAAGATTCTTT--------------------------------# Phyllidia ocellata Australia
GACATTATATATTGTTTTTGGTATGTGATGTGGTCTCCTAGGAACTGGT
TTAAGTCTCTTAATTCGGTTTGAGTTAGGGACGGCAGGGCCTTTTTTAG
GAGATGATCATTTTTATAATGTTATTGTAACAGCTCATGCTTTTGTAAT
AATTTTCTTTTTGGTAATACCTTTAATAATTGGGGGGTTCGGAAATTGA
ATGGTTCCATTACTAATTGGTGCTCCGGACATAAGATTTCCCCGAATA
AATAATATAAGTTTTTGGTTACTACCACCATCTTTTATTTTATTATTATG
CTCAACTTTAATAGAAGGTGGAGCTGGAACAGGGTGAACTGTTTATCC
CCCATTATCCGGACCAATAGGACATGGCGGAACTTCTGTTGATTTAGT
AATTTTTTCTTTACACTTAGCTGGAGCCTCTTCTCTTCTAGGGGCAATT
AATTTTATTACTACTATCTTCAATATACGTTCACCTGCCATAACAATGG
AACGTTTAAGATTATTTGTTTGGTCAGTTTTAGTGACAGCTTTTCTTTTA
CTTCTTTCTTTACCTGTTTTAGCAGGGGCTATTACTATACTTTTAACGG
ATCGAAATTTTAACACGAGTTTTTTTGATCCAGCTGGTGGTGGAGATCC
AATTTTATACCAACATCTGTTT------------------------------------------------------# Phyllidiella pustulosa Australia
AACACTTTATATTATTTTTGGAATATGATGTGGTCTTTTAGGAACAGGG
TTAAGTTTGTTGATTCGTTTTGAGTTAGGTGCTGCTGGTGCCTTTTTAG
GAGACGATCATTTCTATAATGTAATTGTAACAGCTCATGCTTTTGTTAT
AATTTTCTTTTTGGTAATACCTCTAATAATTGGAGGATTTGGGAATTGG
ATAGTTCCTTTATTAATTGGAGCCCCTGACATGAGATTTCCACGAATAA
ACAATATAAGATTTTGGCTATTGCCTCCTTCTTTCATTCTTTTGCTTTGT
TCAACACTAATAGAAGGAGGGGCAGGGACAGGATGAACAGTTTACCC
ACCTTTATCAGGACCAATAGGTCACGGAGGTACTTCAGTTGATCTTGC
TATTTTTTCACTGCATTTAGCAGGTGCTTCTTCTTTATTAGGAGCAATT
AATTTTATTACTACTATTTTTAACATACGGTCTCCTGCAATAACAATAG
AACGATTAAGTTTTTCGTTTGGTCCGTTTTAGTCACTGCTTTTTTATTAC
TTTTATCTCTCCCAGTTTTAGCTGGTGCAATTACTATACTATTAACAGA
TCGTAATTTTAATACAAGATTCTTTGATCCAGCCGGTGGAGGGGACCC
TATCTTGTATCAACATCTATTC-------------------------------------------------------

18
# Cryptochiton stelleri USA
CGTCCCGAAGAGCCTCCCATATCAACATCAGCAGCCTCTTCTTCCCTTT
TCTTTTCCCAACCTTGGCTGGGGCGGCAGCTTGACCAGCAGCTTGAGC
TGGAGCAGCGGCAACTAATTCAAACAGTTAAGATTTGACTGGTTAAAA
TGGGTTAACTTACCACCACCTGATGGAACGGAGGCGAGTTTCTTGGAA
CCGTCTCTAACCAATTCGTGCAATTTCTTTCCAGCGAGAGCCTTCATCA
TGGTGTCGAGATCTTCCTTAACTGGGGCAACACCGACTTCCTTCAAGA
GCTTTGAGACATCATCAGCAGCTAAATTATAGGTTAACATTCATATTCC
ATCAAAAGTTTGGTAATTTCACTTCAAAACTAATCAGCAACAGCTAAT
TGGGATCTTGAGAAATGGAAATACGAAGGGATGAGGAGGCTTACTTG
GGTTTTGTTTGCCTGCGAGGACGAGGAGACAGTAAGCGGCTAAATGTT
TCATTCTTCAATTTATAAACTTAAATAATGGAATATATTTAATATATTC
TTCTTTTATTAATACCTAACCCATTCACTAACGA-------------------------------

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Muara pinang, Palembang, Sumatera Selatan pada
tanggal 23 Mei 1993 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak
Rahmad Hidayat dan Ibunda Wisna Hartati. Pada tahun 2010 penulis lulus dari
SMA Negeri 1 Pagaralam, Sumatera Selatan dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Selam
Ilmiah pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014. Penulis melaksanakan
Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan Juli-Agustus 2013 di PPP Muncar,
Banyuwangi, Jawa Timur. Penulis aktif sebagai anggota Keluarga Mahasiswa
Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) IPB Tahun 2010/2011 hingga 2013/2014. Penulis
mengikuti pendidikan dan pelatihan selam sertifikasi A1 tahun 2012/2013 dan
Sertifikasi A2 tahun 2013/2014.
Penulis juga aktif dibeberapa organisasi/kelembagaan mahasiswa antara
lain Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM
FPIK) departemen Pengembangan Bakat Olaraga dan Seni (PBOS) tahun
2011/2012 dan sebagai pengurus Sekretaris Biro Corp tahun 2012/2013,
Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) tahun 20122013 sebagai anggota divisi Kaderisasi dan Kebijakan. Di luar bidang akademik
penulis berprestasi dalam kegiatan kompetisi di bidang olahraga dan seni seperti
Aerobik, Atletik lari, Voli, Bulutangkis, Tari tradisional dan alat musik Drum.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis
melakukan penelitian dengan judul Variasi Genetik dan Morfologi serta Tingkat
Kekerabatan Kelinci Laut (Phyllidiidae) antara Populasi Papua dan Australia di
bawah bimbingan Dr Hawis Madduppa Spi, MSi dan Beginer Subhan SPi, MSi.