Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone

! "# $

!

! "

"# %

!& $

%

#&'

!

" # $%%&

&

$


'# !%()%*%)$)

(
) *
& !
0

+

, ( ""&

"!
.

+.
%

.


% + !
&
&' / % #
) 1

"' -

*

)

!
"
# !$"
!%"
!&"

'
!("
!)"

!*"
!+"
'

#
&!
"

- .

!&" ,
$ !
!$"
!&" 1

"

!$" ,

"

0

" !%" - .
!
!
, ''
,

!
"
!%" 0
,

2
!$"

!&"
!("
! "
3 ! "

4
-

#

!

" /

%+*

!%"

''

+'
!
,

#

'

,

#

,

-

!
,
'./ " # + 0 0 - #/ "

'

!
'

'


10,0

0

,
,

"

,

"

!

2 3)4
" 3$4
5


"
" 3*4

" 364
" 374
5

" 3(4

" 384
"
"

"

!
*3

,
",

*3 4

4

"
!

5

,

2 3)4 ,

!

" 3
!

5


-

3

4" 3$4 ,
3*4 ,

4

#

*

" 3

"

,
!
4 !

$8(

2

"
3)4

9 3$4 !
"

5

"

"

"
3*4

5

364
23 4

5
9 3 4
:
;

5

"

5
"

,

2 !

"

5

"

4)

)

20 +' "!
. *&
0 + ' % ! %& $
% $3 % $
!
$ " $& ' # $
& !& &*
' " + &"
&"
#& &"#
)
$& ' *
& &
'
$
' %%
.' !
. ' &!
' &&
! '
. ' &!
5 &
& &" ! *
#)
$& '
% " &$
'
- 5
!
$ " $&"&"
% " "' #
& !& &*
&! % ! " # & ' '&

&!

!" *.
&
$
# $
' 6

$

# $
'

"

! *
"&

&
%

& & " "'
' %
$ "# $

! *$ !

!

2

!

2)
$

'

"#
' <

+

"#
"# "!

1

2 !
!

#
!

#

2
2 ! %()%*%)$)
2'
!

!

,
#

,

,

!

!

,

3!! 4

!

'

"#
,

!

.+ #

,
'

!
!

'

"#

!

3+

4

'

" ,#

!

'!

!

"#
2 %$

!
$%%&

' ,
-

"#
2

!

=

#
2>
!& $

5
%

! "# $

!

# %

%

%

?

#&'
!
#

! "

/ "

3+ 4
"

'

'
!

" ,# "

" # "
"

. + #
"

!

'!

!

"#
'
'

!

<

"

!
+

" #

"

# "!
#
.

"

"

'

!

!
'

!

!

"

,
'

-

"

5

,

"

" .
,
" ##"

+

"
!

,

"

"

,
,
,

"
#

,
!

.

!
,

"

",

,

"

@

"

'

.

'
"# "

",
"

"

.
5

+

.
+

!
-

#

'
"# "

.
"

.

!
5

"

=

#

/
"

# $%%&

7
!

,
)A(6

)6 0
.
B

+

0
#

" ,
.

#

!

"

'
)A&A ,

'

!

:

!

.

3

4"
$ 3 $4
)AA6 !

!

'

"

$%%*
!

'
3'! 4

!

!

2 3)4 ,
6
1
,
!
1

,

!

5
)AA(

$%%%
!

!

"
#

9
!

#

374

!
#

!

"
)AA6
#

'

,
!
!! ;
#

;
)AA7

4
!! ;
C !

!

,
0
2
0
9 3$4 7
,
0
0
" 1
9 3*4 !
/:
' 1
9 364 !
$%%$ '
+
$%%7 '
'/5=! !
!
)AA%
1
"
# "
,
!
!
3#
:
'
3 ' 5- 4 1
"

'1
:
)AA&

.
+ D
+' ,
B +
/B +
# +
B + - #!'+
!/
. #
!
!
,
!
'
F
' 1

!

0
0
,

,
#
#

!
,
!

!
!
1
#

!

,

, !/#','+
!
,
!
,
!
#
!
,

.'!0 / '

#
!
-

,
!

.
#/ 0 / !/ /-' '
!
!
!
!
0
!
'
'

E
E:
E:
)
)
8
A
)%
)%
)$
)$
)6
)&
$$
$6
$&
$&
*$
*(
*(
6)
68
7)

-

!
,

,/+

FFFFFFFFFFF

,
!
,
!

#
,

!
,

:

!

G

#
,

#

7*
7*
7*
7(
78
7A
($
(*
(*
(6
(7
(7
(7
(&
8$
8*
8*
86

G
+

.

'-

86
87
8(
!/#
,

,
!

.

FFFFFFFFFFFFFFFFF

+
#
,
#

!
,
,
!
!
#

,
#

#
!
"

"!

,

"

B

#

!

- #!'+

,

#
#

#
!

)$*
)$7

,

)*%
)6%
)6*

#

)7*

#
,

#

,

!

#
!

-

!

#

,

!

+!

,

,

!

,/ '#! ,

"
))6

#
,

#
!
,
#

-

!

1
,

!
AA

+
,

!

8&
8&
&7
A6

!

+

, FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF
FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF

)7&
)(&
)(&
)8%
)8)
)&%

.
)

,

$

!

*

!

6

.

$%
55!

7

,
G

+

,

+

5

*)

=

(%

'

!

&(

!

(
.
,
& !
#
A !
#
)% .

,

,

8

'

A(

:

!
A$

!

-

0

,

,

!

,
)%*
,

)) .
!

)$
,

!
!

)*
,

!
!
!
!

)6
)7
,
)( .

+

!

!

-

))%
))6

+

!

0

,

))(

+
!
+
0
+

#
#
,
#

!
;

))&
!
))&
!

!

!

0

+

#

"
!

)$%

!

1

,
,

,

,
1

#
#

B
#

,
,

)$)

!

!
,
,

,
,
$) !
,

FF
FFFFFF

)8 .
!
)&

$%

-

1

!

)A

FFFFFFF 8(

B

)$&
)**
)6%

5B
5B

#

,

)67
)6&

#
!

!
-

#
#

!
,

#
#

)77

.
)

,

$
*
6
7
(
8

#
#

&

#

()
&&
&&
A$
)*)
)6(
)6A
3
4

A
)%

)(%

#
#

3
4

)(*
)(7

)
$
*

!

,

)&)
,

!

,

;

!

)&$
)&*

Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah “rasa tidak berdaya
secara individu maupun kelompok bila berhadapan dengan penyakit atau
kematian, kebingungan dan ketidaktahuan pada saat orang terbata bata

dan

meraba raba untuk memahami perubahan, penyerahan nasib kepada manusia
manusia lain yang keputusannya menentukan apa yang bakal terjadi, ketidak
berdayaan menghadapi kelaparan dan bencana alam”. Goulet (Chamber 1987)
mengemukakan kemiskinan kronis adalah neraka yang kejam, dan orang tidak
dapat mengetahui

betapa kejamnya neraka,

semata mata dengan menatap

kemiskinan sebagai obyek belaka”. Keterbelakangan merupakan musuh seluruh
komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dan harus diperangi
dengan meningkatkan harkat sosial ekonomi dan kultur masyarakat.
Upaya pemerintah memerangi kemiskinan terus menerus dilakukan. Pada
tahun 1976 jumlah penduduk miskin sebesar 54,2 juta jiwa , atau 40,1 persen dari
total jumlah penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 1981 angka tersebut
turun menjadi 40,6 juta atau 26, 9 persen, pada tahun 1990 jumlah Penduduk
miskin menurun menjadi 27 juta atau 15, 1 persen, dan terakhir pada tahun 1996
kembali mengalami penurunan menjadi 22,5 juta jiwa atau 11, 3 persen. Namun
demikian pada tahun 1997 penduduk miskin mengalami kenaikan yang sangat
luar biasa. Bappenas (2003) mencatat bahwa seiring dengan krisis ekonomi yang
mulai melanda Indonesia 1997, jumlah penduduk miskin kembali meningkat.
Pada rentang 1997 – 2002, jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi pada tahun

2

1998, yakni 49,5 juta jiwa atau 24, 2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Namun demikian, dengan kecenderungan semakin membaiknya perekonomian
Indonesia, maka tingkat kemiskinan terus menerus mengalami penurunan secara
bertahap. Bappenas (2005), menemukan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk
miskin sekitar 36,1 juta jiwa atau 16, 6 persen dari total jumlah penduduk.
Kemiskinan tersebut tersebar di perkotaan dan dengan rincian: (a) jumlah
penduduk miskin di perkotaan 11,5 juta jiwa (12,6 persen) ; (b) jumlah penduduk
miskin dipedesaan 24, 6 juta jiwa (19,5 persen).
Kemudian untuk memerangi kemiskinan,
yang dilakukan secara terencana
miskin.

dibutuhkan suatu perubahan

menuju suatu arah masyarakat yang tidak

Upaya ke arah perubahan yang lebih baik tersebut disebut sebagai

pembangunan. Menurut Todaro (1977) menyatakan bahwa pembangunan adalah
proses multi dimensi yang mencakup perubahan perubahan

penting dalam

struktur sosial, sikap sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan

), dan pemberantasan

kemiskinan absolut. Sedangkan Bryant & White (1989) menyatakan bahwa
Pembangunan

sebagai peningkatan

kemampuan orang untuk mempengaruhi

masa depannya. Oleh karena itu, pembangunan dapat dipandang sebagai upaya
pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan ketidakberdayaan
dalam menghadapi permasalahan hidup, yang diawali dengan peningkatan
kapasitas manusia dengan mendayagunakan seluruh potensi dan kemampuan
sumber daya yang terbatas untuk membuat pilihan pilihan masa depan yang lebih
baik tanpa merusak lingkungan hidup.

3

Proses penyadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pembangunan
dalam menjaga proses kelangsungan hidup individu dan masyarakat itu sendiri
perlu ditingkatkan.

Kemudian siapa yang harus melakukan proses penyadaran

masyarakat tersebut juga adalah masyarakat itu sendiri, yang telah memiliki
kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam mendorong masyarakat lain yang
buta pembangunan ke arah melek pembangunan “

”. Upaya

tersebut dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) agar tujuan
pembangunan, sesuai dengan harapan masyarakat dapat diwujudkan.
Pencapaian tujuan pembangunan sebagai harapan kolektif masyarakat,
membutuhkan kerja sama produktif antar individu dalam menggerakkan aktivitas
sosial, ekonomi di kota dan desa yang lahir dan berkembang melalui proses
prakarsa yang ada di lingkungan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, peran
individu sebagai mahluk sosial dibutuhkan proses saling interaksi dalam upaya
untuk menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Upaya menggerakkan aktivitas dalam melakukan perubahan ke arah yang
lebih baik membutuhkan proses penyadaran untuk melakukan perubahan
terencana terhadap masyarakat. Proses penyadaran tersebut tentunya tidak dapat
dilakukan secara invidu, melainkan secara kolektif masyarakat dengan
mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang tersedia untuk digunakan
yang juga demi kepentingan kolektif. Upaya kolektif tersebut dilakukan agar lebih
efisien dan efektif dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Mengantisipasi proses penyadaran secara cepat dan tepat, maka
dibutuhkan organisasi untuk berkumpul dalam membangun kebersamaan dalam
melakukan perubahan. Dalam konteks ini, untuk melakukan perubahan di

4

lingkungan di butuhkan organisasi lokal yang lahir dan berkembang di lingkungan
itu sendiri. Organisasi lokal di maksudkan disini selain organisasi pemerintah,
dalam hal ini pemerintah desa, juga organisai non pemerintah yang lahir dan
tumbuh di lingkungan. Organisasi lokal ini daharapkan mampu menjadi penyuluh,
dalam memfasilitasi dan menggerakkan masyarakat. Di samping itu organisasi
lokal

tersebut,

diharapkan mampu membangun pemahaman akan betapa

pentingnya suatu pembangunan, dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan,
khususnya masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di desa.
Sebagai langkah awal, organisasi lokal perlu merumuskan secara tepat
mengenai rencana pembangunan yang bagaimana agar dapat mendorong proses
pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk merumuskan apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan sumber daya manusia yang memiliki
perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) pembangunan.
Dalam upaya merumuskan rencana pembangunan pedesaan, maka setidak
tidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu:
, siapa yang menjadi kelompok kelompok sasaran (golongan miskin di
desa, atau petani kecil, nelayan, buruh tani tidak bertanah, berkebun, dan
sebagainya).

,

harus

mampu

memperkirakan

besarnya

masyarakat menurut batasan masyarakat yang bersangkutan.
prasarana harus dirumuskan sedemikian rupa, untuk

kebutuhan
, sarana dan

mendapatkan gambaran

kebutuhan pokok minimum.
Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan organisasi lokal ini
diharapkan dapat mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik yaitu
perubahan

dari

perilaku

masyarakat

tradisional

menjadi

masyarakat

5

pembangunan, di lingkungan. Proses perubahan tersebut dilakukan dengan
melalui pemberdayaan masyarakat.
Perubahan perilaku masyarakat pedesaan dapat dilakukan melalui proses
pemberdayaan, sangat erat kaitannya dengan sejauh mana peran kelembagaan
lokal di

itu sendiri dalam mendorong proses pembangunan. Demikian pula

kelembagaan lokal di pedesaan dapat memberikan fasilitas agar perilaku
pembangunan di lingkungan masyarakat miskin dapat tumbuh dan berkembang.
Fasilitas yang dimaksud untuk memberdayakan kegiatan produktif
masyarakat miskin dan meningkatkan posisi

mereka terhadap semua

bentuk eksploitasi dan superordinasi adalah kemudahan ekonomi (
) yang benar benar nyata dan peluang peluang sosial (

)

yang memihak kepada masyarakat miskin (Bagong, 2003).
Upaya upaya mendapatkan kemudahan tersebut, yang dilakukan oleh
masyarakat miskin seringkali mengalami kegagalan. Salah satu hal yang menjadi
faktor kegagalan lebih disebabkan mental dan kinerja birokrasi yang kurang
maksimal dalam mendorong proses pemberdayaan masyarakat.
Terdapat fakta dalam menjalani kehidupan sehari hari. kelompok miskin
disinyalir tidak banyak memiliki keterkaitan, atau tidak terjadi proses interaksi
dengan organisasi sosial yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri.
Akibatnya seluruh akses dan kontrol atas seluruh potensi sumber daya yang
mestinya menjadi hak mereka sering kali tidak tersampaikan. Beberapa indikator
mengenai hal tersebut

antara lain; Pertama, fasilitas kemudahan bagi petani

miskin dari pemerintah seperti kredit, bantuan, ternyata cenderung lebih banyak
dinikmati oleh mereka dengan penguasaan tanah yang luas. Oleh karena itu,

6

masyarakat miskin lebih banyak terjebak oleh usaha usaha komersial baik yang
dilakukan oleh lembaga lembaga swasta, maupun para lintah darat

untuk

mendapatkan kredit dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, baik untuk
kebutuhan produksi maupun konsumsi.
Kedua, aspek distribusi informasi bila dilihat dalam konteks kemiskinan
struktural ini bahwa bimbingan dan informasi yang relevan hanya berhenti sampai
kepada kalangan terbatas. Sebagaimana diungkapkan Sumardjo (1999), selama ini
pendekatan program lebih bersifat “

” sehingga seluruh program beserta

dengan perangkatnya telah disediakan dari atas. Gejala demikian berdampak pada
tingkat partisipasi yang rendah. Demikian kompleksnya sebab kemiskinan, baik
kemiskinan alamiah, kemiskinan kultural, maupun struktural, menjadikan
kelompok miskin tak berdaya dalam mengatasi kondisi yang dihadapi.
Bebagai latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka penting dan perlu
untuk dipikirkan suatu upaya memampukan
ada

di dalam

mengintegrasikan

lingkungan

kelompok miskin yang

masyarakat dengan

melakukan

upaya upaya

ke dalam organsiasi lokal yang memiliki misi dan visi

perubahan melalui pemberdayaan masyarakat. Upaya berkelompok pada satuan
individu miskin diduga lebih mengutamakan bagaimana hanya bisa bertahan
untuk hidup tanpa memikirkan masa depannya. Oleh karena itu, perlu ada kearifan
yang dapat melihat potensi serta faktor faktor yang berpengaruh, mampu
mendorong, memfasilitasi kesadaran
dirinya sendiri, untuk mengatasi ketidakberdayaan.

dan memunculkan kekuatan

7

Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki
permasalahan dengan penduduk miskin yang tinggal di wilayah. 10 persen dari
total 186.211 penduduk miskin di provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah
Kabupaten Bone, tepatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bone adalah
92.360 jiwa. Hal ini mendudukkan Kabupaten Bone pada peringkat teratas dalam
jumlah penduduk miskinnya setelah Kabupaten Tana Toraja. (Depsos, 2007).
Pemerintah Kabupaten Bone memerlukan usaha keras untuk memberdayakan
masyarakat miskin agar terlepas dari jerat kemiskinan.
Kemiskinan dan batasan kemiskinan menyangkut indikator fisik dan
nonfisik yang sudah berkembang harus dipahami dalam kerangka operasionalisasi
identifikasi kemiskinan baik terhadap kelompok (menyangkut siapa?) maupun
identifikasi terhadap tipologi (menyangkut daerah mana?). Dalam konteks
kemiskinan kelompok masyarakat di tempat penelitian ini dilakukan, maka
operasionalisasi

batasan

kemiskinan

menyangkut

identifikasi

kelompok

(menjawab siapa?). Dengan demikian batasan fisik dan nonfisik kemiskinan
menyangkut ukuran terhadap pemakaian garis kemiskinan

,

sedangkan yang kedua menyangkut kemampuan buruh tani untuk akses dan
kontrol terhadap sumber daya. Spektrum ukuran yang kedua (non fisik) lebih luas
karena menyangkut antara lain tingkat integrasi dalam sistem sosial,
terhadap program oleh pemerintah, motivasi dan tingkat kepercayaan diri,
interaksi sosial yang terwujud dalam tingkat pengaruh kelembagaan formal
maupun informal di mana buruh tani berada.

8

Selanjutnya batasan kemiskinan normatif maupun absolut yang dibawa
individu dari luar kelompok miskin dan lingkungannya, harus dan senantiasa
dikomparasikan dengan batasan kemiskinan menurut kelompok miskin dan
masyarakat dimana kelompok ini berada. Karena bisa jadi kategori kemiskinan
absolut menurut orang luar, bukan merupakan bentuk kemiskinan menurut
masyarakat setempat. Dalam hal ini maka penetapan batasan absolut kemiskinan
harus dipadukan dengan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat.
Dengan demikian pengertian kemiskinan bergerak dari cerita penderitaan
masyarakat masa lalu ke pengertian kondisi kekinian yang dihadapi oleh sebagian
masyarakat yang hidup dalam keadaan miskin.
Kemiskinan

seharusnya

didefinisikan

sendiri

oleh

masyarakat.

Pendefinisian dan pembatasan kemiskinan oleh masyarakat sangat penting artinya
untuk membangun suatu kerangka solusi upaya memampukan
kelompok tidak berdaya. Dengan demikian untuk mengubah kondisi masyarakat
miskin di Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan dari ketidakberdayaan
menjadi berdaya, maka penelitian ini penting dan perlu menjawab beberapa
rumusan permasalahan berikut ini:
1.

Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan?

2.

Bagaimana peran

kelembagaan lokal, khususnya pada organisasi

kemasyarakatan dan pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin?
3.

Bagaimana tingkat aktualisasi tanggung jawab masyarakat dalam membantu
keluarga atau kelompok miskin?

4.

Bagaimana hubungan karakteristik responden, persepsi terhadap peran
kelembagaan lokal, dan pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi

9

perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok
masyarakat miskin?
5.

Apa potensi potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam
upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin?

6.

Bagaimana tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin?

7.

Bagaimana model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan?

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan
penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan.
2. Mengkaji peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin.
3. Menguraikan tingkat aktualisasi tanggung jawab sosial masyarakat dalam
membantu keluarga atau kelompok miskin.
4. Menganalisis hubungan karakteristik responden, peran kelembagaan lokal, dan
pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung
jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin.
5. Mengidentifikasi potensi potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih
lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin.
6. Menjelaskan tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin.
7. Menyusun model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan.

10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penyuluhan dan manfaat
praktis dalam mengembangkan alternatif upaya upaya menyelesaikan masalah
kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dan digunakan:
(1)

Secara akademik memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu
penyuluhan yang berkaitan dengan mengembangkan dan memberdayakan
potensi potensi

masyarakat

iuntuk

menyelesaikan

masalah masalah

kemiskinan.
(2)

Sebagai dasar bagi peneliti atau kelembagaan yang berminat untuk
mengembangkan potensi masyarakat terkait peran kelembagaan lokal
dalam pemberdayaan keluarga miskin di.

Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Kabupaten Bone

dengan

penekanan pada potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam upaya
pemberdayaan terhadap keluarga miskin. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
diperlukan defenisi istilah yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari
pemahaman yang berbeda dan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Potensi adalah kemampuan yang meliputi kekuatan, kesanggupan, dan daya
seseorang maupun

kelompok

dikembangkan lebih baik.

yang

mempunyai kemungkinan

untuk

11

(2) Masyarakat adalah kelompok manusia yang lebih besar yang tinggal disatu
wlayah mempunyai kebiasaan, tradisi, perilaku di bawah suatu seperangkat
kepercayaan, ideal dan tujuan yang kemudian disatukan dalam suatu
rangkaian kehidupan bersama.
(3) Kelembagaan Lokal adalah kelompok ataupun organisasi pada level pedesaan
yang memiliki doktrin, tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu
dalam organisasi atau kelompok tersebut, meliputi organisasi atau kelompok
kemasyarakatan dan organisasi pemerintahan pada desa setempat.
(4) Pemberdayaan adalah pemberian kemudahan akses yang meliputi pemahaman
akan masalah serta kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk
mendayagunakan sumber daya yang dimilki terarah untuk pebaikan nasib.
(5) Keluarga miskin adalah unit terkecil dari kelompok sosial yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang tinggal dan hidup bersama dalam kondisi tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum hidup yang meliputi: (a)
sandang pangan, (b) layanan kesehatan, (c) layanan pendidikan, (d)
perumahan, (e) air bersih, aman, dan sanitasi yang baik.

12

!
Manusia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial
dalam upaya menjalin proses interaksi. Mutahhari (1986) menyatakan bahwa
masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki serangkaian
kebutuhan, kepercayaan, ideologi dan tujuan yang tersatukan dan terlebur dalam
suatu rangkaian kehidupan bersama. Ciri ciri masyarakat dalam suatu bentuk
kehidupan bersama menurut Soekanto (1982) adalah sebagai berikut: (a) manusia
yang hidup bersama; (b) bercampur untuk waktu yang cukup lama; (c) mereka
sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; (d) mereka merupakan suatu
sistem hidup bersama.
Sementara itu Bertrand (dalam Syani, 1995) menyebutkan ada tiga ciri
masyarakat yaitu:

, pada masyarakat mesti terdapat sekumpulan individu

yang jumlahnya cukup besar;

individu individu tersebut harus mempunyai

hubungan yang melahirkan kerjasama diantara mereka, minimal pada satu
tingkatan interaksi;

hubungan individu individu itu sedikit banyak harus

permanen sifatnya. Masyarakat ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin
yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat
yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian
yang tidak dipisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dicintainya serta
mempunyai perasaan bersedia berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau
anggota anggota masyarakatnya yang saling mencintai dan saling menghormati,
mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan
kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.

13

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka ciri ciri masyarakat antara
lain:
1. Setiap warganya mempunyai hubungan yang mendalam dan

erat bila

dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
2. Sistem kehidupan mereka pada umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan.
3. Sebagian besar sumber penghidupan mereka dari sektor pertanian
4. Cenderung homogen dalam pekerjaan, agama, adat istiadat dan lainnya.
Keseluruhan nilai dan kelembagaan masyarakat, memiliki kemanfaatan
bagi setiap anggota masyarakat tersebut. Setiap anggota dapat mempertahankan
diri dan mempertahankan eksistensinya melalui mekanisme adaptasi terhadap
kelembagaan yang telah terbangun. Pada sisi lain, setiap individu dalam prosesnya
memiliki andil dan pengaruh dalam dinamika kelembagaan masyarakat.
Dengan demikian setiap individu memiliki potensi sendiri yang dapat
menjadi model dalam upaya keberlangsungan hidupnya, baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai mahluk sosial. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia
(2005), potensi

adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk

dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; dan daya. Oleh karena itu potensi
sebenarnya melekat pada setiap individu

dalam upaya mempertahankan dan

meningkatkan kualitas hidup sebagai individu maupun makhluk sosial.
Kelembagaan dan mekanisme yang telah terbangun dalam upaya
mempertahankan diri pada akhirnya dapat menjadi dan sekaligus potensi itu
sendiri dalam memberdayakan anggota masyarakat. Pada akhirnya kelembagaan

14

masyarakat memberikan ruang bagi anggotanya untuk berkreasi dalam
mempertahankan eksistensinya.
"#

!
Lembaga berasal dari kata institute lebih menunjuk kepada suatu

“badan”

seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai bentuk

organisasi yang memiliki beragam tujuan (Tonny, 2003). Kelembagaan menunjuk
pada segi doktrin, tata nilai, norma, aturan

yang mengikat

setiap individu

anggotanya dalam berprilaku. Suatu lembaga hanya akan dapat menjalankan
fungsinya dengan baik apabila didukung oleh kelembagaan yang benar dan
dipatuhi serta mengingat bagi setiap anggotanya.
Kelembagaan sosial

merupakan terjemahan dari istilah

. Koentjaraningrat (1964) menyebut kelembagaan sosial sebagai pranata
sosial, yaitu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas
aktivitas untuk memenuhi kompleks kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan
sosial atau sosial institution adalah ”suatu kompleks atau sistem peraturan
peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai nilai yang penting”.
Kelembagaan memiliki tujuan untuk mengatur antarhubungan yang diadakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966).
Fungsi kelembagaan sosial Doorn dan Lammers dalam Tonny (2003):
a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah masalah
dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan kebutuhan;

15

b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka
kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara;
c. Memberi pegangan kepada asyarakat mengadakan kontrol sosial: artinya
system pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya;
d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Berbagai kelembagaan lokal dibentuk untuk memberikan layanan kepada
anggota khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Kelembagaan sosial
bertujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia, yang dikategorikan berdasarkan
jenis jenis

kebutuhan

pokok

tersebut.

Koentjaraningrat

(1993)

mengkategorikannya ke dalam delapan golongan sebagai berikut.
1. Kelembagaan kekerabatan (
kebutuhan

kehidupan

kekerabatan.

); bertujuan memenuhi
Contohnya;

pelamaran,

poligami,

pengasuhan anak, perceraian dsb.
2. Kelembagaan ekonomi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
pencaharian hidup, memproduksi, menimbun

dan mendistribusikan harta

benda. Contoh; pertanian, peternakan, industri, koperasi, perdagangan dsb.
3. Kelembagaan pendidikan, bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan
(pencerahan) dan pendidikan manusia agar menajdi anggota masyarakat yang
berguna. Contoh; pendidikan dasar, menengah dan tinggi, pers dll.
4. Kelembagaan ilmiah, bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah dan menyelami
alam semesta. Contoh: pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah.
5. Kelembagaan estetika dan rekreasi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia
menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi. Contoh; seni rupa, seni
suara, seni gerak, kesusasteraan dsb.

16

6. Kelembagaan keagamaan, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh; doa, kenduri, upacara
penyiaran agama, pantangan dll.
7. Kelembagaan politik, bertujuan memenuhi kebutuhan untuk mengatur
kehidupan berkelompok

secara besar besaran

atau kehidupan bernegara.

Contoh; pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dll.
8. Kelembagaan somatik, bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani manusia.
Contoh; pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dll.
Di

samping

penggolongan

di

atas,

Uphoff

(1986)

melakukan

penggolongan kelembagaan berdasarkan sektor sektor sosial di tingkat lokalitas,
yaitu sektor publik (
sektor swasta (

), sektor partisipatori (
). Kelembagaan sektor publik

dan
di tingkat lokal

mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi
politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Sedangkan kelembagaan sektor
partisipatori merupakan kelembagaan

yang tumbuh dan dikembangkan oleh

masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi non pemerintah (NGO atau
LSM). Terakhir adalah kelembagaan sektor swasta, yang berorientasi kepada
upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang perdagangan, industri dan jasa.
Interaksi yang terdapat dalam kelembagaan atau dalam hal ini organisasi
kemasyarakatan memiliki kekhasan. Menurut Becker dalam Hayami dan Kikuchi
(1987), adat kebiasaan dan prinsip prinsip moral dijalankan melalui interaksi
sosial dalam komunitas desa. Interaksi sosial adalah fungsi kegunaan seseorang
untuk melibatkan reaksi orang lain ke dalam tindakannya. Jadi tradisi,
kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk

17

bekerja sama demi keamanan dan daya tahan minimum, suatu interksi sosial yang
akrab yang merupakan ciri ciri masyarakat desa. Selanjutnya berdasarkan teori
interaksi sosial dapat diramalkan bahwa pranata desa dapat lebih mudah
dilaksanakan apabila komunitasnya lebih terpadu dan bersifat lebih ketat.
Pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul
dan melakukan interaksi sosial. Selanjutnya interaksi ini membentuk suatu
jaringan sosial. Jaringan sosial yang terbentuk telah melalui proses panjang dan
didalmnya telah terakumulasi nilai, norma, dan kebiasaan kebiasan yang
disepakati. Kesemuanya ini kemudian dapat digolongkan sebagai bagian dari
modal sosial. Dengan demikian modal sosial
bentuk bentuk kepercayaan

dapat merupakan

, kemauan dan kemampuan untuk melakukan

kerjasama dan berkoordinasi yang pada akhirnya merupakan energi penggerak
produktivitas kolektif (Solow

, 2000).

Fukuyama (2000) menyatakan bahwa modal sosial dapat diartikan sebagai
sekumpulan nilai nilai, norma yang terbagikan

dalam dan antar anggota

suatu komunitas yang menjalin dan terjalin kerjasama
tersebut menyangkut kepercayaan

! Nilai nilai

maupun kejujuran. Pada akhirnya

kepercayaan dan kejujuran yang terlembagakan dalam komunitas akan menjadi
bahan pelumas yang menggerakkan kelompok menjadi lebih efisien.
Institusi masyarakat merupakan modal dasar

yang dapat

dipandang sebagai aset produktif. Institusi masyarakat dapat mendorong individu
individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang
disetujui bersama dalam rangka meningkatkan produktivitas anggotanya secara
individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Rusaknya ikatan institusi

18

masyarakat secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat sehingga
akan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di mana
masyarakat tersebut berada (Kartodiharjo, 2000).
Modal sosial berupa nilai, norma, kelembagaan kelembagaan pada
komunitas yang memiliki energi agregat yang besar bagi anggota komunitas untuk
melakukan kerjasama. Sebagaimana ditemukan oleh Sukesi, (1982), bahwa dalam
rangka menyambung hidup, ternyata pranata sosial di pedesaan sangat membantu
buruh tani dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan peranan
lembaga formal di desa yang tidak banyak menjangkau buruh tani. Pada sisi lain
adanya kelembagaan lokal yang tidak berdaya terkadang justru karena adanya
beberapa campur tangan pemerintah lokal (Surayana, 1998).
Dengan demikian, secara konseptual kelembagaan sosial menunjuk kepada
seperangkat norma, peraturan peraturan dan tata nilai yang dibentuk untuk
memberikan layanan kepada anggota khususnya dan kepada masyarakat pada
umumnya melalui interaksi sosial dalam suatu komunitas untuk mengatur perilaku
dalam memenuhi kebutuhannya. Kelembagaan sosial di tingkat lokal

dalam

konteks penelitian ini mengacu pada Uphoff (1992) yang terdiri dari kelembagaan
sosial dalam bentuk: (1) sektor publik yaitu pemerintah lokal / pemerintah desa,
(2) sektor partisipatori yaitu organisasi kemasyarakatan, dan (3) sektor swasta
atau sektor private/pribadi.

$

"
Secara sederhana Sutarto (2002) merumuskan: Organisasi adalah sistem

saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai
tujuan tertentu. Slamet (2003) menyatakan bahwa organisasi

terbentuk atau

19

terdiri atas beberapa kelompok, di mana terjadi proses interaksi di atara mereka
yang mengikuti suatu struktur tertentu dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Soedijanto (1980) menyatakan organisasi adalah suatu sistem sosial terdiri dari
dua kelompok atau lebih saling berhubungan, memiliki sistem control tertentu,
memiliki identitas bersama dan memiliki kegiatan bersama untuk mencapai tujuan
(organisasi dibentuk oleh kelompok, dan kelompok dibentuk oleh individu).
Berdasarkan berbagai pengertian organisasi tersebut di atas, maka dapat
ditemukan beberapa faktor dasar yang yang merupakan prasyarat terbentuknya
suatu organisasi, yaitu : sejumlah orang, kerjasama, dan tujuan tertentu. Ketiga
faktor tersebut tidak dapat saling lepas dan berdiri sendiri melainkan saling
berkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan.
Bentuk organisasi berkembang sedemikian rupa, sesuai dengan dinamika
kebutuhan manusia yang semakin berkembang. Menurut Slamet (2004) terdapat
lima ciri utama organisasi yaitu: (1) adanya kesatuan sosial yang berinteraksi satu
sama lainnya; (2) adanya koordinasi secara sadar (ada rencana, ada aturan, bias
diperbaiki, kejelasan tujuan); (3) adanya batas tertentu (dibedakan antara anggota
dan bukan anggota); (4) adanya kesinambungan (dibentuk untuk waktu yang tidak
terbatas); (5) adanya tujuan bersama (tujuan tidak bisa dicapai secara individu).
Hicks (1996) membagi organisasi dengan tiga cara pandang, yaitu menurut
strukturnya, menurut keterlibatan emosi anggotanya dan menurut tujuan dasar
organisasi tersebut. Lebih jauh klasifikasi organisasi dapat di lihat pada Tabel 1.
Hayes (1947) menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan berarti
tindakan kolektif untuk mencapai sejumlah tujuan atau maksud yang dianggap
bermanfaat. Kemudian masyarakat menunjuk orang orang setempat

yang

20

berkenaan pada wilayah setempat

dan dengan maksud dan tujuan serta

mengembangkan kehidupan dan kepentingan secara bersama. Dengan demikian
masyarakat harus mengetahui sendiri nilai nilai dan kepentingan kepentingannya
kalau hal tersebut dapat menghasilkan kondisi kondisi kehidupan yang
memuaskan dan seimbang.
Tabel 1: Kategori Pembagian Organisasi (Hicks 1996)
Berdasarkan Struktur
• Ada
dua
macam
organisasi;
yaitu
organisasi formal dan
organisasi
informal
yang membentuk satu
garis conti nuum
• Organisasi
yang
mengarah ke formal
bilamana struktur nya
relative
kaku,
terdefenisi dengan jelas
dan berlangsung lama,
sedang kan
sesuatu
organisasi informal jika
strukturnya
relative
longgal, fleksibel, tidak
terdefenisi
dengan
jelas, dan tumbuh
secara spontan.

Berdasarkan Keterlibatan
Emosi
• Ada dua jenis organi
sasi yaitu organisasi
primer dan organisasi
sekunder, di mana
masing masing juga
membentuk
garis
continuum.
• Organisasi
primer
adalah jika terdapat
keterlibatan emosio
nal yang menyeluruh,
sedangkan organisasi
sekunder adalah jika
pola hubungan hanya
terbatas kontrak atau
tergantung perjanjian.

Ross (1967) memberi pengertian
suatu proses

Berdasarkan Tujuan Utama
• Setiap organisasi dibentuk
tidak lain adalah untuk
mencapai tujuan tertentu,
yang lebih dikenal secara
umum
disebut
untuk
memuaskan
keinginan,
kebutuhan, harapan dan
tujuan anggotanya.
• Terdapat beberapa jenis
organisasi yang didasarkan
atas tujuan yaitu:
1. Organisasi pelayanan.
2. Orgnisasi ekonomi.
3. Organisasi keagamaan.
4. Organisasi
pengayom
masyarakat.
5. Organisasi pemerintah.
6. Organisasi sosial

organisasi kemasyarakatan

sebagai

dimana masyarakat mengidentifikasi kenutuhan kebutuhan atau

tujuan tujuannya, mengatur (atau menyusun) kebutuhan kebutuhan dan tujuan
tujuan tersebut, mengembangkan kepercayaan dan kehendak untuk mencapai
kebutuhan kebutuhan

dan tujuan tujuan tersebut, menemukan sumberdaya

(internal dan atau eksternal) dalam menghadapi kebutuhan kebutuhan dan tujuan
tujuan tersebut dan juga melakukan perluasan atau mengembangkan sikap sikap
kolaborasi dan kegiatan kegiatan kooperatif (kerjasama) dalam masyarakat.

21

Secara

akademik

dalam

definisi

umumnya

Ruwiyanto

(2003)

mengemukakan bahwa organisasi kemasyarakatan dapat diartikan sebagai
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat

yang bebas dari kendali

lembaga negara dan dari kepentingan keuntungan ekonomi yang bertujuan untuk
membantu

meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat yang

dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara operasional dapat
diberi batasan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk
oleh beberapa orang warga masyarakat secara sukarela atas dasar tertentu bukan
untuk mencari keuntungan ekonomi melainkan untuk meningkatkan kemampuan
dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang menjadi sasaran (target) baik
secara langsung maupun tidak langsung serta bersifat independen.
Ciri dasar organisasi dinamis seperti organisasi sosial kemasyarakatan
menurut Ruwiyanto (2003) adalah meliputi: (1) lingkungan sosial budaya yang
volatile, (2) sifat organisasi yang proaktif, (3) rantai pengambilan keputusan
pendek, (4) cenderung desentralisasi, (5) interaksi internal tinggi, (6) mobilisasi
struktural tinggi, dan (7) mementingkan aspek material daripada formal.
Hagul (1985) menyebutkan bahwa yang menjadi ciri pembeda dengan
organisasi lainnya, meliputi: (1) menjangkau masyarakat miskin, (2) berstruktur
dinamis (tidak birokratis), (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas,
(4) mampu bereksperimen, dan (5) dana yang dibutuhkan relatif murah. Ditinjau
dari dimensi tujuan menurut Salusu (2000) Orkemas bercirikan: (1) syarat
kebebasan, (2) loyalitas masyarakat rendah karena bersifat sukarela, (3) struktur
organisasi relatif beragam/berbeda sesuai kebutuhan, (4) kebanyakan kurang

22

nampak professional kecuali bidang keagamaan, (5) keuntungan yang didapat
tidak dibagi kepada pemilik, (6) bersifat memampukan masyarakat, (7) melayani
kepentingan masyarakat, dan (8) sebagai fasilitator pembangunan.
Pendapat tentang ciri ciri organisasi kemasyarakatan yang dikemukakan di
atas paling tidak mempunyai dua variasi, yaitu ciri ciri yang bersifat umum dan
ciri ciri yang bersifat khusus yang membedakannya dengan organisasi pemerintah
yang bersifat formal dan organisasi ekonomi.
Trum dan Johnson (1989) menguraikan fungsi fungsi vital yang harus
dijalankan dalam organisasi kemasyarakatan yang meliputi:
1. Mengintegrasikan organisasi sebagai salah satu bagian dari masyarakat luas
2. Menjamin kemudahan memperoleh sumberdaya
3. Hubungan dengan klien (pemakai dan penerima jasa)
4.

Memantapkan misi organisasi

5. Perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, pengendalian dan evaluasi
6. Mengintegrasikan sub sistem social dan tugas tugas.

$

"
Organisasi pemerintah baik pada tingkat tertinggi sampai pada tingkat

terendah, yaitu mulai dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah propinsi,
kabupaten/kota sampai pada pemerintahan desa, dibentuk dalam rangka untuk
melaksanakan tugas tugas negara. Labolo ( 2006) “pemerintah adalah segenap
alat perlengkapan negara atau lembaga lembaga kenegaraan

yang berfungsi

sebagai alat untuk mencapai tujuan negara”.
Untuk melaksanakan tugas tugas tersebut di atas, Ndraha (2000)
“pemerintah memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder”.

23

Sedangkan menurut Rasyid (2001) fungsi fungsi pemerintahan adalah fungsi
pengaturan, pelayanan, pemberdayan, dan pembangunan. Fungsi pengaturan atau
lebih dikenal dengan fungsi regulasi, fungsi pelayanan akan meberikan pelayanan
dengan dasar keadilan, fungsi pemberdayaan untuk mendorong kemandirian dan
fungsi pembangunan untuk Menciptakan kemakmuran dalam masyarakat.
Dari fungsi fungsi tersebut di atas, maka Osborn dan Gaebler (1996)
bahwa pemerintah tidak bisa dijalankan seperti sebuah bisnis dengan alasan:
" pimpinan bisnis selalu didorong oleh motif laba, sedangkan pimpinan
pemerintahan didorong oleh keinginan untuk bisa dipilih kembali;

" bisnis

memperoleh sebagian besar uang dari pelanggannya, sedangkan pemerintah dari
membayar pajak;

, perusahaan biasanya di dorong oleh kompetisi,

sedangkan pemerintah menggunakan monopli;
penghasilannya

terutama

dari

pajak,

sedangkan

penghasilan bila pelanggan membeli produk atau jasa;

, pemerintah mendapat
perusahan

memperoleh

, pemerintah bersifat

demokratis dan terbuka sehingga terkesan lebih lamban, sedangkan bisnis biasa
mengambil keputusan yang lebih cepat. Namun demikian, Bertrand (dalam Syani,
1995) oganisasi pemerintah desa termasuk salah satu bentuk organisasi sosial.
Dalam kaitan dengan hal tersebut Schumacher (1979) menyebutkan bahwa
penyebab utama masalah struktural di ialah karena pemerintah desa sebagai
struktur perantara dan sekaligus agen pembaharuan ternyata semakin tindak
mampu menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan perkembangan
situasi dan kondisi masyarakat yang berubah dengan cepat. Artinya tingginya
kepercayaan pemerintah desa dari masyarakatternyata belum mampu berbuat
banyak demi kepentingan masyarakat. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan

24

organisasi pemerintah desa yang cenderung ambivalen. Pada satu sisi organisasi
terjebak dengan struktur formalistik sesuai dengan peraturan, sehingga kegiatan
formalistik dengan keterbaasan kewenangan yang di miliki. Kemudian disisi lain
pemerintah desa yang merupakan organisasi yang beriteraksi langsung dengan
masyarakat di harusnya lebih non strukturalis

sehingga lebih memudah

mendekatkan diri kepada masyarakat.
Kondisi pemerintah lokal/desa yang pada saat ini belum mampu
menjalankan fungsinya secara maksimal dan hanya tergantung pada level
pemerintah di atasnya. Hal ini berimplikasi langsung pada perubahan sosial di
lingkungan berjalan lambat dan aksi sosial seringkali hanya dilakukan bersamaan
dengan adanya uluran sumber daya dari pemerintah daerah atau pusat.
Oleh karena itu, peran pemerintah lokal/desa dalam pemberdayaan
keluarga miskin perlu untuk lebih ditingkatkan dimasa akan datang sehingga
mampu meberdayakan keluarga miskin yang ada di desanya.

"#

!

Lewin (dalam Steers 1991)

menyebutkan bahwa ada dua kekuatan

perubahan, yaitu kekuatan untuk mendorong perubahan (
kekuatan untuk menentang perubahan (

) dan
). Kedua kekuatan

tersebut saling tarik menarik, jika kekuatan yang menentang perubahan
mendominasi

maka cenderung akan perubahan tidak akan berlangsung dan

demikian pula sebaliknya.
Peran kelembagaan lokal yaitu pemerintah lokal/desa dan lembaga
kemasyarakatan lokal, di pandang sebagai suatu proses dari tata kelola

25

pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kelembagaan
lokal dalam pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terencana
yang memperlihatkan adanya mitra kesejajaran yang nyata diantara pelaku
pembangunan yang meliputi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta.
Dalam konteks ini, ketiga pilar tata kelola pemerintahan yang baik yaitu
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta berada dalam posisi kesetaraan
dalam mendorong proses perubahan. Dengan demikian, posisi dominan terhadap
ketiga pilar tersebut di atas tidak lagi dikenal dalam proses pembangunan
termasuk upaya untuk memberdayakan keluarga miskin di.
Menurut Sudarmajanti (2004) mengemukakan bahwa istilah tata kelola
kepemerintahan yang baik mengandung pemahaman sebagai berikut: (1) nilai
yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai nilai yang dapat
meningkatkan

kemampuan

rakayat

dalam

pencapaian

tujuan

nasional,

kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial, dan (2) aspek
fungsional pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk
mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya Budi (1999) mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat lima
ciri sebagai prinsip utama yang harus dipenuhi dalam kriteria tata kelola
pemerintahsan yang baik
akuntabilitas (

sebagai prinsip yang saling terkait yaitu: (1)
); (2) keterbukaan dan trasnparansi (

); (3) Ketaatan pada aturan hukum; (4) Komitmen yang kuat untuk
bekerja bagi kepentingan bangsa dan Negara, dan bukan pada kelompek atau
pribadi; (5) Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

26

Sekretariat Pengembangan #

Bappenas (2005)

#

menyebutkan terdapat 14 (empat belas) prisip prinsip Tata Kepemerintahan Yang
Baik yang terdiri dari: (1) wawasan ke depan (
transparansi
(

(

), (2) keterbukaan dan

),

), (4) tanggung gugat (
), (6) demokrasi (

(3)

), (5) supremasi hukum (

), (8)

daya tanggap (

keefisienan dan keefektifan (
$

masyarakat

), (7) profesionalisme dan kompetenxi

(

(

partisipasi

), (9)

), (10) desentralisasi

), (11) kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat

(

), (12) komitmen pada penanggulangan

kesenjangan commitment to reduce inequality), (13) komitmen pada lingkungan
hidup (
adil (

), (14) Komitmen pada pasar yang
).
Menurut Bhatta dalam Syaukani (2003) pada dasarnyardapat empat prinsip

tata kelola kepemerintahan yang baik yaitu; (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3)
keterbukaan, dan (4) penegakan hukum.
Pada penulisan ini, secara substansial terdapat lima prinsip tata kelola
kepemerintahaan yang baik sebagai bagian dari peran kelembagaan lokal dan
pemberdayaan keluarga miskin. Kelima prinsip tersebut masing masing:
1. Akuntabilitas; para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swastadan
masyarakat sivil (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan
lembaga lembaga stakeholders.
2. Transparansi; dibangun atas dasar kebebasan arus informasi di pusat maupun
di daerah. Di samping itu transparansi juga

mengarah kepada kejelasan

27

mekanisme formulasi dan implementasi setiap kwebijakan, Program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan.
3. Partisipasi; setiap warga negara ikut serta dalam pengambilan keputusan, baik
dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili
kepentingannya. Di samping itu partisipasi mutlak diperlukan agar
penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara
berfikirdan kebiasaan hidupnya.
4. Daya tanggap; Setiap masyarakat, institusi dan prosesnya diarahkan pada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkempentingan.
5. Komitmen pengurangan kesenjangan; semua warga negara, mempunyai
kesempatan

untuk

meningkatkan

kesejahteraan

dan

mempertahankan

kesejahteraan.
Memperhatikan hal tersebut, maka peran kelembagaan lokal dalam upaya
pemberdayaan keluarga miskin di dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip
prinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi: akuntabel, transparan,
partispatif, berdaya tanggap, dan bertanggung jawab pada pengurangan
kesenjangan. Dengan demikian dengan menerapkan peran kelembagaan lokal
yang di dasarkan pada prinsip prinsip tata pemerintahan yang baik dalam upaya
pemberdayaan keluarga miskin di dapat diwujudkan. Di samping itu dengan
adanya pemahaman akan peran kelembagaan lokal akan memudahkan bagi
masyarakat untuk melihat peran mereka masing masing dalam pembangungan
termasuk upaya pemberdayaan keluarga miskin di.

28

"
"
Definisi kemiskinan dapat ditelusuri dari beberapa sudut pandang, yang
diawali dari pendapat bahwa kemiskinan merupakan ketidakmampuan memenuhi
konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, hingga pengertian lebih luas yang
memasukkan komponen komponen sosial dan moral. Kemiskinan yang
didefinisikan dari sudut pandang penyebab terjadinya kemiskinan karena adanya
ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, maka kemiskinan tersebut terkait
dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat yang
mendorong timbulnya kemiskinan. Di sisi lain, kemiskinan diartikan sebagai
bentuk ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan
oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi. Kondisi terakhir ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural
(Tim Smeru, 2001).
Menurut Bappenas (2003) kemiskinan sesungguhnya tidak semata mata
disebabkan oleh masalah masalah internal orang miskin, seperti rendahnya
pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung
kemajuan atau rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumber
daya alam dan lingkungannya, di samping itu, kemiskinan juga berkaitan erat
dengan faktor faktor eksternal seperti:
1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan, kesehatan, air
bersih), atau berada di daerah terpencil ;
2. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat yang antara lain
disebabkan oleh sistem yang kurang mendukung;

29

3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik;
4. Konflik sosial dan politik;
5. Bencana alam, seperti longsor, gempa bumi;
6. Kebijakan

publik

yang

tidak

peka

dan

tidak

mendukung

upaya

penanggulangan kemiskinan, serta aspek eksternal lainnya yang dapat menjadi
determinan dari poses pemiskinan.
Menurut Chambers (dalam Bagong, 2003), inti dari masalah kemiskinan
sebenarnya terletak pada apa yang disebut
kemiskinan. Secara rinci

atau perangkap
terdiri dari lima unsur, yaitu:

kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi,
kerentanan dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu sama
lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar benar berbahaya dan
mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.
Menurut Narayan (2000) terdapat paling tidak lima pengertian kemiskinan
dan faktor faktor penyebabnya dari perspektif kelompok miskin. Pertama,
kemiskinan adalah bersifat multidimensional. Paling tidak terdapat enam dimensi
kemiskinan, yaitu: (a) kekurangan pangan dan kelaparan, (b) ketidakberdayaan,
ketidakmampuan berbicara, ketergantungan, tidak percaya diri atau malu, (c)
kurangnya akses terhadap infrastruktur: jalan, transportasi, air bersih, (d)
kerendahan pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan, (e) kesehatan yang
lemah dan umumnya berpenyakit, dan (f) ketidakmampuan mengelola asset fisik,
manusia, sosial, dan lingkungan.
Berdasarkan pengertian pengertian kemiskinan yang berwajah majemuk
tersebut, terdapat berbagai dimensi kemiskinan, antara lain:

30

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan,
papan)
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih, transportasi)
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untu pendidikan
dan keluarga)
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal
5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam
6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan social masyarakat
7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita
korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan
terpencil).
Di sisi lain bahwa kemiskinan adalah merupakan permasalahan klasik,
yang telah ada bersamaan dengan adanya umat manusia sebagai mahluk sosial.
Namun demikian sampai saat ini belum ditemukan model untuk menyelesaikan
permasalahan kemiskinan itu sendiri. Secara teoritis dari berbagai uraian tersebut
di atas,

Suharto E ( 2006) mengemukakan bahwa ada dua paradigma atau

pandanga