Metode Newton

5.3 Metode Newton

Metode Newton untuk penyelesaian inversi non-linier didasarkan pada prinsip yang sama dengan metode Newton untuk memperkirakan

harga nol suatu fungsi y = f(x). Harga nol atau akar suatu fungsi adalah

harga x 0 dimana suatu fungsi non-linier berharga nol atau y(x 0 ) = 0.

x n+1 x n x

Dengan kata lain, solusi yang dicari adalah titik perpotongan fungsi

Gambar 5.4

tersebut dengan sumbu mendatar atau sumbu x.

Ilustrasi metode Gauss-Newton untuk memperkirakan harga nol suatu fungsi non-linier atau perpotongan kurva dengan sumbu x yaitu pada

Misalkan pada iterasi ke-n estimasi harga x 0 adalah x n maka

y (x 0 ) = 0.

persamaan garis singgung kurva pada y(x n ) dinyatakan oleh:

 Pencarian harga nol suatu fungsi secara iteratif menggunakan

x (5.15)

metode Newton sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan (5.17) dapat diterapkan pada penyelesaian permasalahan inversi non-linier. Hal ini

dimana  y /  x adalah gradien atau kemiringan garis singgung di x = x n

didasarkan pada prinsip bahwa minimum fungsi obyektif E (kesalahan

dan a adalah titik potong garis singgung tersebut terhadap sumbu vertikal

prediksi data) ditandai oleh turunannya terhadap parameter model m yang

(Gambar 5.4). Dengan memasukkan harga fungsi pada x = x n maka a

berharga nol. Dengan demikian dicari model m dimana  E /  m  0 .

Pada penyelesaian inversi non-linier menggunakan metode Newton Pada penyelesaian inversi non-linier menggunakan pendekatan

linier turunan ke-dua dari fungsi pemodelan kedepan g terhadap nya, sehingga solusi atau model inversi pada iterasi ke-(n+1) dinyatakan

fungsi y(x) pada persamaan (5.17) adalah  E /  m yang dicari harga nol-

parameter model m diabaikan (ekspansi Taylor orde ke-dua dan orde oleh:

lebih besar diabaikan). Pada metode Newton, turunan ke-dua tersebut

digunakan untuk memperkirakan solusi inversi, yang tercermin pada

m n  1  m n  

penggunaan matriks H pada persamaan (5.22). Perhitungan matriks H   m  m  m n   m  m  m n cukup kompleks dan cenderung kurang stabil. Oleh karena itu,

keberhasilan metode Newton ditentukan oleh sejauhmana kita dapat Tampak bahwa dalam hal ini estimasi solusi inversi memerlukan

menghitung matriks H .

perhitungan turunan ke-dua dari fungsi kesalahan prediksi data E yang menyatakan kecekungan (curvature) fungsi E.

Untuk menghindari kesulitan perhitungan turunan ke-dua dari fungsi pemodelan kedepan maka suku ke-dua dari persamaan (5.21) yang

Kesalahan prediksi data atau fungsi obyektif untuk kasus non-linier mengandung matriks H dianggap cukup kecil dan dapat diabaikan. dapat ditulis sebagai berikut: Dengan kata lain, turunan kedua E terhadap parameter model m dapat

didekati oleh suku yang hanya melibatkan turunan pertama g terhadap

parameter model m (pendekatan orde pertama). Dengan demikian,

persamaan (5.22) menjadi:

Berdasarkan persamaan (19) tersebut, turunan pertama dan kedua fungsi

n ] J n ( g ( m n )  d ) (5.23)

E terhadap m masing-masing dinyatakan oleh persamaan berikut: Persamaan (5.23) tersebut pada dasarnya identik dengan persamaan E

(5.11) yang menyatakan solusi inversi non-linier dengan pendekatan

linier. Penyelesaian inversi non-linier menggunakan persamaan (5.11)

atau (5.23) sering disebut pula sebagai metode Gauss-Newton. Kedua persamaan menyatakan bahwa model pada iterasi ke-(n+1) adalah model

E 2  J T

pada iterasi sebelumnya (atau ke-n) yang di-update dengan suatu faktor

koreksi. Faktor koreksi tersebut beroperasi pada selisih antara data pengamatan dengan respons model pada iterasi ke-n.

Substitusi persamaan (5.20) dan (5.21) ke dalam persamaan (5.18) Turunan ke-dua fungsi E terhadap m pada persamaan (5.18) dapat menghasilkan:

 pula disebut sebagai matriks Hessian 1 H . Pada metode Quasi-Newton

n  1  m n  [ J n J n  H n ( g ( m n )  d ) ]  J n ( g ( m n )  d ) (5.22)

perhitungan turunan ke-dua tersebut dilakukan melalui pendekatan. Pada  1  iterasi pertama digunakan 1 H = I . Selanjutnya estimasi H di-update

berdasarkan harga-harga gradien fungsi E yang telah diperoleh selama pemodelan kedepan terhadap setiap parameter model yang disebut

2 dimana 2 H  [  g

i /  m k ] adalah turunan parsial orde ke-dua fungsi

proses iterasi. Terdapat banyak alternatif skema pendekatan terhadap

 sebagai matriks Hessian. 1 H dan detilnya tidak dibahas pada buku ini.

5.4 Metode Gradien

Metode Levenberg-Marquardt pada dasarnya identik dengan Gradien suatu fungsi menyatakan arah peningkatan terbesar fungsi

metode inversi non-linier ter-redam yang dinyatakan oleh: tersebut (steepest ascent) sehingga arah yang berlawanan atau harga

] J n ( d  g ( m n )) (5.14) negatif dari gradien bersesuaian dengan penurunan harga fungsi (steepest

descent ). Pada metode gradien atau sering disebut pula sebagai metode Secara garis besar tahapannya adalah sebagai berikut. Pada saat iterasi steepest descent , model pada setiap iterasi dikoreksi dalam arah negatif

awal digunakan faktor redaman  2 yang cukup besar sehingga elemen dari gradien fungsi obyektif E sehingga pada iterasi ke-n perturbasi

diagonal menjadi dominan. Hal tersebut pada dasarnya adalah metode model dinyatakan oleh:

gradien dengan 2 k = 2 . Jika perturbasi model menghasilkan fungsi  2 

E  obyektif yang lebih rendah berarti mendekati solusi dan  diperkecil  m n   k 

(5.24) sehingga langkah berikutnya adalah langkah metode Gauss-Newton.  m  m  m n Sebaliknya, jika fungsi obyektif meningkat maka  2 diperbesar agar

Dengan substitusi persamaan (5.20) ke persamaan (5.24) dan metode gradien kembali diterapkan. Dalam hal konvergensi, metode

Levenberg-Marquardt relatif lebih baik, namun metode tersebut masih (n+1) sebagai berikut:

menguraikan  m n  [ m n  1  m n ] maka diperoleh model pada iterasi ke-

tetap memiliki kelemahan-kelemahan yang dimiliki pendekatan linier terhadap masalah inversi non-linier yang akan dibahas kemudian.

n  1  m n  2 k  J n ( g ( m n  d ))  (5.25)

Sebenarnya masih banyak varian dari teknik atau metode yang dimana k adalah konstanta yang menentukan sejauhmana koreksi

dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan inversi non-linier. dilakukan dalam arah steepest descent. Penentuan faktor k yang disebut

Pembahasan pada buku ini hanya bersifat overview sehingga detil dari sebagai step size umumnya dilakukan secara coba-coba seperti penentuan

setiap motode diserahkan sebagai bagian dari studi literatur dan latihan.

Metode-metode tersebut umumnya didasarkan pada teknik eksplorasi J dengan T [ n J  1

faktor redaman  2 pada inversi linier ter-redam. Jika faktor 2 k diganti

"ruang model" yang secara matematis merupakan ruang berdimensi M, n ] maka metode gradien menjadi metode Gauss-Newton sebagaimana dinyatakan oleh persamaan (5.11) dan (5.23).

dimana M adalah jumlah parameter model. Efektivitas pencarian nilai fungsi obyektif E(m) di ruang multi-dimensi tersebut menentukan

Metode gradien sangat lamban jika dibandingkan dengan metode sejauhmana kita dapat memperoleh solusi optimum inversi non-linier. Gauss-Newton, terutama jika sudah dekat dengan solusi atau nilai

minimum fungsi obyektif. Hal ini disebabkan oleh harga gradien yang semakin kecil. Di lain pihak, metode gradien cukup efektif pada saat awal

5.5 Keterbatasan Pendekatan Linier

iterasi dimana metode Gauss-Newton dapat mengalami overshoot. Oleh Salah satu keterbatasan pendekatan linier pada inversi non-linier karena itu kombinasi yang tepat antara kedua metode dapat memperbaiki

menggunakan metode Gauss-Newton, metode Gradien maupun varian kinerja tiap metode yang diterapkan secara terpisah. Kombinasi dilakukan

lainnya adalah sensitivitasnya terhadap pemilihan model awal. Model dengan menerapkan metode gradien pada saat awal iterasi yaitu saat

awal yang berbeda dapat menghasilkan solusi yang berbeda, yang belum masih jauh dari solusi, kemudian semakin dekat dengan solusi digunakan

tentu merupakan solusi optimum. Untuk memperoleh solusi optimum metode quasi-Newton. Metode kombinasi tersebut dikenal sebagai

maka model awal harus cukup dekat dengan model yang dicari. Hal ini metode Levenberg-Marquardt .

tentu saja seolah-olah merupakan paradoks.

Keterbatasan lain dari pendekatan linier pada inversi non-linier Sebagaimana pada inversi linier, permasalahan eksistensi invers adalah kemungkinan terjebak pada nilai minimum lokal dari fungsi T matriks [ J J ] juga dapat menimbulkan kesulitan pencarian solusi jika

obyektif, sementara model optimum berasosiasi dengan minimum global. matriks tersebut adalah matriks singulir atau mendekati singulir. Jika Fungsi obyektif dari permasalahan inversi non-linier umumnya sangat T [ J J ] mendekati singulir maka nilai eigen-nya menjadi sangat kecil

kompleks dan memiliki banyak nilai minimum. Semakin tidak linier atau mendekati nol sehingga menghasilkan solusi yang sangat besar. fungsi pemodelan kedepan maka semakin kompleks pula bentuk

Dalam hal ini dikatakan bahwa solusi telah melampui daerah liniernya "topografi" fungsi obyektifnya. Hal tersebut menyebabkan iterasi pada

(overshoot). Meskipun matriks [ J T J ] bukan matriks singulir, iterasi pendekatan linier (lokal) dapat terjebak pada minimum lokal dan bukan

tetap saja dapat divergen atau konvergen dengan sangat lamban. Inversi minimum global yang dicari (Gambar 5.5).

matriks yang lebih stabil dapat dilakukan dengan menerapkan metode Kedua keterbatasan tersebut di atas pada dasarnya saling berkaitan. Singular Value Decomposition atau SVD. Pembahasan lengkap mengenai

Pendekatan linier dari suatu fungsi non-linier sebenarnya hanya berlaku metode SVD dapat dilihat pada buku teks standar, antara lain Press dkk. di sekitar suatu model tertentu (model awal). Salah satu cara untuk

mengatasinya adalah dengan menggunakan semaksimal mungkin informasi "a priori" yang tersedia untuk menentukan model awal yang

baik. Selain itu inversi dapat dilakukan menggunakan beberapa model awal yang berbeda untuk mencari konsistensi konvergensi ke model tertentu yang dapat dianggap sebagai solusi atau model optimum.

E(m)

E(m)

E

m est

m (?)

est

Gambar 5.5 Ilustrasi kurva fungsi obyektif dengan banyak minimum lokal namun

hanya satu minimum global sehingga terdapat solusi yang unik (kiri). Kurva fungsi obyektif dengan banyak minimum yang hampir identik sehingga solusi tidak unik (kanan). Pendekatan linier dapat terjebak pada semua minimum yang terdapat pada kurva fungsi obyektif tersebut.

Inversi Non-Linier suatu fungsi dan semakin banyak jumlah parameter model, maka semakin

6 dengan Pendekatan Global

kompleks bentuk fungsi obyektifnya. Dalam konteks inversi, fungsi

obyektif sering digambarkan secara matematis sebagai suatu "permukaan" pada ruang berdimensi M yang disebut ruang model, di mana M adalah jumlah parameter model. Oleh karena itu pencarian nilai

There is no comparison between that which is lost minimum yang hanya didasarkan pada informasi lokal di sekitar suatu by not succeeding and that which is lost by not trying.

model tertentu dapat terjebak ke dalam nilai minimum lokal dan solusi

– Francis Bacon atau model inversi yang dihasilkan bukan model optimum.

Untuk mengatasi kelemahan metode inversi non-linier yang menggunakan pendekatan linier tersebut maka diperlukan pengetahuan

6.1 Pencarian Sistematik

lebih menyeluruh atau global mengenai bentuk permukaan fungsi obyektif. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang

Metode inversi non-linier melalui linierisasi atau pendekatan linier tidak memerlukan perhitungan gradien fungsi obyektif melainkan melalui

termasuk dalam kelompok metode yang sering disebut sebagai evaluasi fungsi obyektif itu sendiri. Beberapa teknik penyelesaian inversi

pendekatan lokal (local search approach). Hal ini mengingat pencarian non-linier yang tidak menggunakan pendekatan linier termasuk dalam

solusi dilakukan hanya berdasarkan informasi mengenai kecenderungan kategori pendekatan atau pencarian global (global search approach).

fungsi obyektif di sekitar model yang sedang ditinjau (model awal atau model hasil modifikasi pada suatu iterasi tertentu). Informasi tersebut

Salah satu cara untuk memperoleh solusi inversi non-linier umumnya hanya berupa gradien fungsi obyektif yang dapat memberikan

menggunakan pendekatan global adalah dengan mengevaluasi secara petunjuk ke arah mana solusi atau model dengan nilai fungsi obyektif

sistematik (systematic search) harga fungsi obyektif untuk setiap model minimum kemungkinan besar berada.

pada ruang model. Untuk itu ruang model didefinisikan terlebih dulu dengan menentukan secara "a priori" interval atau batas minimum dan

Dalam pendekatan linier, perhitungan gradien fungsi obyektif maksimum harga setiap parameter model yang mungkin. Kemudian hanya melibatkan turunan orde pertama dengan mengabaikan suku-suku dilakukan diskretisasi pada interval tersebut sehingga diperoleh grid yang orde lebih tinggi (orde-2 atau lebih). Hal tersebut dapat menimbulkan meliputi seluruh ruang model yang telah didefinisikan. Grid yang dibuat masalah konvergensi. Penyelesaian inversi non-linier dengan pendekatan pada ruang model dapat saja tidak homogen, bergantung resolusi yang linier memerlukan model awal yang sudah cukup dekat dengan solusi.

diinginkan untuk masing-masing parameter model.

Untuk itu informasi "a priori" dalam bentuk model awal yang baik sangat diperlukan. Solusi inversi dapat konvergen menuju ke minimum lokal

Pada metode pencarian sistematik setiap grid merepresentasikan yang bukan solusi optimum. Dengan kata lain, pendekatan linier suatu

satu sampel model yang harus dihitung responsnya untuk memperoleh permasalahan inversi non-linier sering kurang memadai.

harga fungsi obyektif yang berasosiasi dengan model tersebut. Oleh karena itu teknik pencarian sistematik seperti ini sering disebut pula

Fungsi obyektif non-linier dapat memiliki minimum lebih dari satu sebagai teknik grid search. Informasi mengenai harga fungsi obyektif dimana hampir semua nilai minimum tersebut hanya bersifat minimum untuk semua grid pada ruang model dapat digunakan untuk menentukan lokal, bukan minimum global yang diharapkan. Semakin tidak linier solusi, yaitu model dengan harga fungsi obyektif minimum.

Evaluasi secara sistematik fungsi obyektif untuk setiap sampel

Fungsi obyektif didefinisikan sebagai jumlah kuadrat kesalahan prediksi

model pada ruang model merupakan cara yang paling mudah untuk

data yang menyatakan selisih antara data pengamatan dengan data

memperoleh solusi inversi non-linier. Perhitungan fungsi obyektif pada

perhitungan untuk suatu model tertentu:

dasarnya hanya merupakan perhitungan pemodelan kedepan (forward

modeling ). Cara tersebut juga tidak memerlukan perhitungan gradien atau

t cal

 t i ) (6.2)

i  turunan fungsi obyektif, sehingga inversi diselesaikan benar-benar secara 1 non-linier tanpa pendekatan linier atau linierisasi. Namun pencarian

Agar fungsi obyektif memiliki arti yang lebih jelas dalam satuan yang

solusi secara sistematik sangat tidak efisien mengingat banyaknya

sama dengan data (detik) maka fungsi obyektif dapat didefinisikan

perhitungan pemodelan kedepan yang harus dilakukan untuk

sebagai besaran root mean square error (E RMS ) dengan persamaan

mengevaluasi fungsi obyektif.

berikut:

Pemodelan data geofisika umumnya memerlukan representasi

model dengan jumlah parameter model yang cukup besar. Selain itu,

E RMS 

 ( t cal i  t i ) 2 N (6.3)

i  untuk memperoleh resolusi yang baik diperlukan diskretisasi ruang model 1 yang cukup kecil sehingga jumlah model yang harus dievaluasi menjadi

Misalkan disimulasikan suatu kejadian gempa pada posisi (x 0 ,y 0 )=

sangat besar. Oleh karena itu pencarian sistematik hampir tidak mungkin

(40, 30) dengan V p = 4 km/detik dan t 0 = 10:00:00 WIB. Selanjutnya

diterapkan pada permasalahan geofisika yang sebenarnya. Meskipun

waktu tiba gelombang P di empat stasiun pengamat gempa dapat dihitung

demikian, untuk masalah yang relatif sederhana dengan jumlah parameter

menggunakan persamaan (6.1). Hasilnya adalah data sintetik yang

yang tidak terlalu banyak dan dikretisasi yang tidak terlalu kecil, teknik

selanjutnya dianggap sebagai data pengamatan t i obs (Tabel 6.1).

pencarian sistematik dapat dilaksanakan dengan relatif mudah.

Berikut ini dibahas contoh inversi non-linier sederhana dengan

Tabel 6.1

menggunakan metode pencarian sistematik. Permasalahan inversinya

Koordinat posisi stasiun gempa dan waktu tiba gelombang P.

adalah menentukan posisi pusat gempa di permukaan bumi atau episenter gempa (x 0 , y 0 ) berdasarkan data waktu tiba gelombang gempa (t i ) di N

stasiun posisi (xs, ys)

waktu tiba (t )

waktu tempuh

(detik)

stasiun pencatat gempa masing-masing dengan posisi (xs i , ys i ), dimana i =

1, … , N. Kecepatan gelombang P (V p ) konstan dan waktu terjadinya

gempa (origin time) t 0 diketahui.

Fungsi pemodelan kedepan untuk memperoleh data perhitungan waktu tiba t i cal untuk suatu model atau posisi episenter gempa (x , y )

tertentu pada dasarnya adalah perhitungan waktu tempuh (travel time) yang ditambah dengan waktu terjadinya gempa dan dinyatakan sebagai:

Untuk menghasilkan data sintetik yang lebih realistis biasanya

( xs i  x ) 2  ( ys i  y ) 2

ditambahkan noise secara acak dengan distribusi uniform atau normal

i cal  t 0 

; i = 1, … , N (6.1)

(Gaussian). Misalkan diinginkan noise terdistribusi secara uniform dalam

V p interval + x dimana x dalam satuan yang sama dengan data, misalkan x =

0.1 detik pada kasus data sintetik waktu tempuh gelombang gempa. fungsi obyektif tersebut. Dengan asumsi kesalahan data sebesar 0.5 detik Untuk itu dibangkitkan bilangan acak yang terdistribusi secara uniform

maka kesalahan model hasil inversi berkisar ±2 km. Pada kasus ini dalam interval 0 dan 1 menggunakan fungsi yang terdapat pada bahasa

hubungan antara data dengan parameter model hampir linier dan fungsi pemrograman, misalkan hasilnya adalah R. Data yang sudah

obyektif hanya memiliki satu harga minimum yang tampak dari pola terkontaminasi dengan noise adalah:

kontur harga-harga E RMS .

Jika yang diinginkan adalah Gaussian noise maka dibangkitkan bilangan acak R N yang terdistribusi secara normal dengan harga rata-rata

50 st-3

0.0 dan standar deviasi 1.0 (artinya R N dapat berharga positif maupun negatif di sekitar nol). Data yang sudah terkontaminasi dengan Gaussian

40 st-4

noise dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: t i * = t i cal +R N x

Alternatif lain adalah noise yang ditambahkan berupa fraksi atau prosentase dari harga data, misalkan y = 10% namun tetap terdistribusi 20

normal. Data sintetik yang telah ditambah noise dapat dihitung

10 st-1

menggunakan persamaan berikut: t i * = (1 + R N y)t i cal (6.6)

0 10 20 30 40 50 60 Data sintetik pada Tabel 6.1 dianggap telah mengandung noise.

Gambar 6.1

Selanjutnya dihitung fungsi obyektif atau E RMS pada setiap grid Hasil perhitungan fungsi obyektif yang dinyatakan oleh kesalahan rata- berukuran 5 km dalam interval 0 – 60 km (yang ditentukan secara

rata (E RMS ) pada setiap grid 5 km × 5 km, interval kontur 0.5 detik. Posisi "a priori") pada sumbu x dan sumbu y. Dengan demikian diperlukan

episenter gempa yang sebenarnya diplot beserta estimasi kesalahan posisi

perhitungan forward modeling untuk 13 × 13 = 169 model. Hasil

±2 km.

perhitungan E RMS pada setiap grid diplot dan dibuat kontur (Gambar 6.1).

Tampak bahwa harga minimum fungsi obyektif dapat diidentifikasi dari

6.2 Pencarian Acak

kontur 0.5 detik dimana solusi atau posisi pusat gempa dapat diperkirakan. Solusi tersebut hanya berjarak kurang dari 2 km dari posisi

Pencarian solusi secara sistematik pada ruang model sangat tidak episenter gempa atau model sintetik, yaitu titik (40, 30).

efisien mengingat jumlah model yang harus di-evaluasi misfit-nya sangat besar, terutama jika jumlah parameter model juga cukup besar. Selain itu

Mengingat fungsi obyektif dihitung secara sistematik untuk setiap jika diinginkan resolusi yang tinggi maka harus dilakukan diskretisasi grid atau sampel dalam ruang model yang telah didefinisikan maka

ruang model menjadi grid dengan ukuran cukup kecil. Hal tersebut akan kesalahan solusi dapat diperkirakan secara langsung dari pola kontur

meningkatkan jumlah sampel model yang harus di-evaluasi. Demikian meningkatkan jumlah sampel model yang harus di-evaluasi. Demikian

kontur 1.0 detik dianggap sebagai model hasil inversi maka solusi waktu yang cukup lama.

tersebut hanya berbeda sekitar 4 km dari model sistetik. Hal tersebut Pada metode pencarian global, pola fungsi obyektif sebenarnya

memberikan gambaran peningkatan efisiensi pada metode pencarian acak dapat diperkirakan berdasarkan harga fungsi obyektif pada beberapa

dibandingkan terhadap metode pencarian sistematik.

sampel model yang dipilih secara acak (random) dari ruang model. Jumlah sampel model yang digunakan jauh lebih sedikit dibandingkan 60

jumlah sampel model pada metode pencarian sistematik. Dengan demikian pendekatan tersebut dapat meningkatkan efisiensi metode st-3 50

pencarian sistematik. Selanjutnya dilakukan semacam interpolasi untuk memperoleh bentuk "permukaan" fungsi obyektif secara lebih

40 st-4

menyeluruh. Perkiraan solusi inversi non-linier dapat dilakukan seperti pada metode pencarian sistematik, yaitu secara langsung dari nilai

minimum fungsi obyektif.

st-2

Pemilihan model pada metode pencarian acak (random search)

sesuai namanya dilakukan secara acak. Setiap model dalam ruang model memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel model.

10 st-1

Bilangan acak dibangkitkan dengan probabilitas uniform antara 0 dan 1 yang kemudian dipetakan pada interval harga parameter model.

Perhitungan pemodelan kedepan dilakukan untuk model yang terpilih 0 0 10 20 30 40 50 60 yang jumlahnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan jumlah

Gambar 6.2

keseluruhan model yang mungkin pada ruang model. Metode ini sering Kontur fungsi obyektif hasil interpolasi dari 50 titik yang tersebar secara disebut sebagai metode Monte-Carlo karena mengambil analogi dengan

acak pada grid 5 × 5 km, interval kontur 0.5 detik. Posisi episenter gempa perjudian yang umumnya bersifat acak.

yang sebenarnya diplot beserta estimasi kesalahan posisi ±2 km. Gambar 6.2 memperlihatkan kontur fungsi obyektif hasil

interpolasi dari 50 titik atau sampel model yang tersebar secara acak pada Dalam hal penentuan episenter gempa, pencarian sistematik grid 5 × 5 km. Pemilihan model hanya dilakukan pada grid tersebut

maupun acak dapat diperluas untuk jumlah parameter lebih besar, dimaksudkan agar penyebarannya lebih merata (tidak terkonsentrasi di

misalnya jika kedalaman gempa (z 0 ), kecepatan gelombang gempa (V p ) sekitar daerah tertentu saja). Model yang dipilih tersebar secara hampir

dan origin time (t 0 ) juga merupakan parameter model yang dicari. Namun merata di seluruh ruang model sehingga dapat menggambarkan pola

pola permukaan fungsi obyektif akan lebih sulit digambarkan secara permukaan fungsi obyektif dengan baik.

visual untuk jumlah parameter model lebih dari dua. Waktu perhitungan Pola kontur fungsi obyektif yang diperoleh dari sampel model pada

fungsi misfit juga tentu akan lebih lama. Untuk itu diperlukan penentuan grid acak (Gambar 6.2) dan grid sistematik (Gambar 6.1) tidak jauh

solusi atau model optimal yang tidak didasarkan pada evaluasi visual.

Jika jumlah parameter model adalah M dan setiap parameter

secara perlahan-lahan menyebabkan terbentuknya kristal yang berasosiasi

didiskretisasi secara homogen menjadi N harga maka jumlah model yg

dengan energi sistem yang minimum. Probabilitas Boltzmann menyata-

mungkin dalam ruang model menjadi N M . Pada metode Monte-Carlo,

kan hubungan antara probabilitas suatu sistem pada konfigurasi m dan

jumlah sampel model acak yang harus digunakan berkorelasi dengan

temperatur T dengan energi E sebagai fungsi dari konfigurasi tersebut:

jumlah model yang mungkin tersebut (N M ) agar diperoleh ketelitian solusi P ( m )  exp (  E ( m ) / k T ) (6.7)

yang memadai.

dimana k adalah konstanta Boltzmann dan konfigurasi sistem dinyatakan