Pemanfaatan satelit Aqua MODIS dalam penentuan DPI

dari dasar perairan juga berpengaruh pada pantulan permukaan perairan Hendiarti 2005. Suwargana et al 2002 menjelaskan bahwa SPL dan konsentrasi klorofil-a perairan merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Lebih lanjut, Hasyim dan Salma dalam Hariyadi 2009 menjelaskan bahwa pengamatan kondisi lingkungan perikanan merupakan pengamatan kondisi oseanografi. Pengamatan yang dilakukan umumnya membutuhkan berbagai informasi, seperti suhu perairan, arah dan kecepatan arus, serta beberapa parameter lainnya salinitas, kandungan oksigen terlarut, tingkat transparansi. Informasi lain yang sangat dibutuhkan adalah produktivitas perairan dan ketersediaan makanan. Penelitian mengenai klorofil-a dan SPL telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti et al. 2003, untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit MODIS harus diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 443 nm bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 551 nm bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 cukup tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, konsentrasi klorofilnya tinggi. Namun, SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, kondisi arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut, daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari pengukuran satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm Hasyim dan Salma 1999 dalam Hariyadi 2009. Suwargana et al. 2002 menjelaskan kelebihan dari pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh adalah tingginya frekuensi pengatan empat lintasan sehari dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya. Observasi melalui satelit ini juga sangat berguna dalam pengamatan fenomena oseanografi, terutama berkaitan dengan fenomena penaikan massa air dan thermal front yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Oleh karenanya, diharapkan dengan tersedianya informasi ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisien proses penangkapan ikan di laut. Berdasarkan kemampuan seperti ini, penginderaan jarak jauh dapat memberikan gambaran sederhana tentang terjadinya suatu dinamika perubahan suatu objek, juga dapat memberikan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan perairan daerah penangkapan ikan, dan sebagainya. Menurut Aboet 1985, keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah. 2 .3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang Decapterus spp. Klasifikasi ikan layang menurut Saanin 1968 adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Divisi : Carangi Family : Carangidae Genus : Decapterus Spesies : D. russelli D. macrosoma D. curroides D. maruadsi Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma Gambar 4 dan 5. Decapterus russelli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad Nurhakim et al. 1987. Di Aceh ikan layang sering disebut dengan nama ikan reugak. Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang Decapterus spp. Widodo 1988. Sumber: www.fishbase.org Gambar 4 Ikan layang biasa Decapterus russelli. Sumber: www.fishbase.org Gambar 5 Ikan layang deles Decapterus macrosoma. Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompoknya dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin 1971, Saanin 1984, dan Nurhakim et al. 1987, ciri-ciri umum ikan layang adalah: 1 Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng; 2 Memiliki sisik yang sangat halus; 3 Mempunyai dua buah finlet sirip tambahan yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur; 4 Mempunyai totol hitam pada tepian penutup insang; 5 Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, tetapi dapat juga mencapai 30 cm. Menurut Asikin 1971, Saanin 1984, dan Lussinap et al. 1970 ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1 Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap stenohaline organism dan menyukai perairan yang jernih; 2 Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam; 3 Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung seperti rumpon, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan; 4 Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal Stromateus spp., kembung Rastrelliger spp., selar Caranx spp. dan tembang Sardinella spp.; 5 Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan; 6 Hidup membentuk gerombolan besar schooling, pada jarak sekitar 20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan berkedalaman kurang dari 100 m. Definisi gerombolan ikan adalah sekelompok ikan yang biasanya sejenis dan mempunyai ukuran relatif sama yang aktif bergerak bersama dan memiliki bentuk gerombolan tertentu. Bentuk gerombolan ini akan sering berubah terutama apabila terdapat rangsangan atau stimuli dari luar Lintin et al. 1994. Alasan yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan adalah karena adanya konsentrasi makanan, menghindari predator, dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai Merta 2003. Penelitian yang membahas tentang gerombolan ikan baik yang berkaitan dengan bentuk, ukuran, pergerakan atau pola dari gerombolan tersebut sudah banyak dilakukan dewasa ini. Pengamatan terhadap gerombolan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain: 1 mengamati secara langsung di dalam laut dengan melakukan penyelaman dan pemotretan, 2 mengamati melalui foto udara dengan menggunakan pesawat dan 3 pengamatan dengan metode akustik, baik melalui sonar maupun echosounder Widodo dan Burhanuddin 2003. Jenis ikan yang sering melakukan ruaya atau bermigrasi dalam bentuk gerombolan di dalam siklus hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan Lavestu dan Hayes 1982. Besarnya ukuran gerombolan ternyata berpengaruh terhadap densitas, biomassa dan kecepatan renang ikan . Gerombolan ikan yang volumenya besar umumnya memiliki biomassa yang lebih tinggi Vasconcellos 2003. Semakin besar ukuran gerombolan ikan maka semakin lambat pergerakan gerombolan ikan tersebut Hendiarti et al. 2005. Laevastu dan Hayes 1970 meyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17 o C. Suhu distribusi ikan layang berkisar antara 12-25 o C, sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 o C. Asikin 1971 mengatakan ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahunnya dengan puncak pemijahan pada bulan Maret-April musim peralihan Barat-Timur dan Agustus-September musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat. Penyebaran ikan layang secara vertikal dapat dipengaruhi oleh persediaan makanan. Putlitbangkan 1994 diacu dalam Simbolon 2011 mengemukakan bahwa makanan ikan layang terdiri dari copepoda, crustacean, dan organisme lain. Sedangkan Nontji 1993 mengatakan bahwa makanan utama ikan layang adalah zooplankton, meskipun terkadang memakan ikan kecil seperti teri. 2 .4 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Layang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Gunarso 1985 menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan, baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan, maupun keberadaannya.

2.4.1 Suhu permukaan laut SPL

Suhu merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi penyebaran sumber daya hayati laut ikan. Setiap jenis spesies ikan mempunyai suhu optimum dan mempunyai keterbatasan toleransi terhadap perubahan suhu yang ada Laevestu dan Hela 1970. Selanjutnya, dikatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil ±0,02 o C dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan. Lavestu dan Hayes 1981 juga mengatakan bahwa ikan-ikan pelagis tertentu akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Sverdrup et al. 1961 menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut berakibat dalam hal laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Laevastu 1993, pengaruh suhu terhadap ikan dapat mempengaruhi proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Suhu air laut di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Menurut Laevastu dan Hela 1970 perubahan SPL, selain disebabkan oleh jumlah cahaya yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut. Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan aktivitas, mobilitas, gerakan ruaya, penyebaran, kelimpahan penggerombolan, maturasi, fekunditas, dan pemijahan masa inkubasi, penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan Gastellu dan Mardio 1983. Suhu perairan sangat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan sumberdaya hayati laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi Amri 2002. Menurut Nontji 1993, data suhu perairan dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam wilayah perairan tersebut, melainkan dapat juga digunakan untuk mempelajari kehidupan hewan dan tumbuhan yang menempatinya. Suhu dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Tinggi rendahnya SPL pada suatu perairan, terutama, dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya