a. Rites de separation upacara perpisahan dari status semula b. Rites de marge Upacara perjalanan ke status yang baru
c. Rites d’aggregation upacara penerimaan dalam status yang baru
Menurut Prof. Djojodiguno perkawinan bukanlah merupakan sebuah kontrak atau perjanjian, tetapi merupakan sebuah paguyuban yang menjadi pokok
ajang hidup suami istri beserta anaknya. Dalam bahasa Jawa disebut somah atau keluarga. Sehingga dalam pandangan orang Jawa pasangan suami istri merupakan
suatu ketunggalan kesatuan, yang antara lain dapat terlihat sebagai berikut : a. Kedua mempelai melepaskan nama mereka masing-masing yang dipakai saat
kecil dan selanjutnya menggunakan nama bersama b. Istilah bahasa Jawa “garwa” singkatan dari kata “sigaraning nyawa” yang
berarti belahan jiwa. c. Kasatuan harga benda dalam bahasa jawa disebut “harga gini”
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluargakerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan warisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda,
termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu
dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya
2. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat
Bentuk perkawinan adat di Indonesia sangatlah beragam, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang ada
dianut oleh masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Di Indonesia bentuk- bentuk perkawinan dibedakan menjadi 5, antara lain :
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan dimana pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Jujur disini adalah berupa benda-benda yang memiliki kekuatan
magis. Pemeberian jujur ini diwajibkan dengan maksud untuk mengembalikan keseimbangan magis yang sempat goyah karena terjadi
kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi menikah tersebut.
Perkawinan jujur ini dapat dijumpai pada masyarakat dengan sistem patrilineal. Masyarakat yang masih menggunakan bentuk perkawinan jujur
adalah masyarakat adat di Tapanuli. Ciri-ciri umum perkawinan jujur, antara lain :
Patrilokal, istri wajib bertempattinggal di kediaman.
Exogami, larangan menikah dengan warga yang seclansemarga.
A Simetri Konubium, larangan perkawinan timbal balik antara 2
keluarga walaupun berlainan marga.
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan Semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis
keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini adalah kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semanda, calon mempelai laki-laki dan
kerabatnya tidak perlu memberikan jujur kepada pihak perempuan, justru sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-
laki. Perkawinan semacam ini terdapat di lingkungan masyarakat adat Minangkabau. Setelah terjadi perkawinan suami berada dibawah kekuasaan
kerabat isri dan kedudukan bergantung pada bentuk perkawinan sembada yang berlaku.
c. Perkawinan Bebas
Bentuk perkawinan bebas ini pada umumnya berlaku pada lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental. Bentuk perkawinan ini tidak mengatur
secara tegas dimana suami istri harus tinggal, hal ini bergantung pada keinginan masing-masing pihak. Bentuk perkawinan seperti ini biasanya
dapat ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan kalangan masyrakat modern lainnya.
d. Perkawinan Campuran