SISTEM PERKAWINAN HUKUM ADAT

(1)

SISTEM PERKAWINAN HUKUM ADAT

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Oleh :

1. Ash Shaumi A. NPM. 1401110212 2. Bambang Heru P. NPM. 1601110229 3. Faisal Rizki Lukman NPM. 1501110161 4. Mardiana NPM. 1501110004 5. M. Angga Saputra NPM. 1601110278 6. Muhammad Iqbal NPM. 1501110240 7. Sri Rani Ayu NPM. 1501110123

FAKULTAS HUKUM


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT dimana dengan rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok yang merupakan tugas mata kuliah Hukum Adat ini.

Tugas ini merupakan tugas yang dikerjakan secara kelompok yang tergabung dalam Kelompok V dengan judul “Sistem Perkawinan Hukum Adat”. Tugas ini bertujuan untuk mengetahui, mengerti, dan bisa mengkaji lebih mendalam suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat kita di dalam kesatuan hukum adat yang masih menjunjung tinggi ada-adat perkawinan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahannya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami menyadari bahwa tugas ini masih banyak yang perlu dibenahi baik secara substansinya, tinjauan pustakanya, tata cara penyusunannya, maupun kajian-kajian telaahannya, karena berbagai keterbatasan kami di dalam menggali materi dan menganalisa permasalahan yang ada, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari Dosen Pengampu dan mahasiswa-mahasiswa sejawat lainnya guna melengkapi kekurangan tersebut.

Banda Aceh, November 2016 Disusun oleh,

dto


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……….. ii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ………. 1

2. Rumusan Masalah ……… 2

BAB II PEMBAHASAN 1. Perkawinan Menurut Hukum Adat ……….. 3

2. Macam-macam Sistem Hukum Adat ……….. 4

3. Asas-asas Perkawinan dalam HUkum Adat ……….. 5

4. Bentuk-bentuk Perkawinan ………. 7

5. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Perkawinan Adat ………. 10

BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan ………. 12


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk saling mengenal satu sama lain, baik antara sesama laki, antara sesama perempuan, maupun antara laki-laki dan perempuan. Dikarenakan manusia memiliki rasa, cipta dan karsa, manusia memiliki hasrat untuk bereproduksi dan meneruskan garis keturunan. Di Indonesia hal tersebut disebut dengan menikah atau menjalin hubungan yang sah secara hukum.

Dengan semakin berkembangnya peradaban di Indonesia, dari masa penjajahan sampai dengan kemerdekaan hingga saat ini, suatu perbuatan warga Negara Indonesia diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dan layak dilakukan oleh setiap manusia yang siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggungjawab dalam membangun sebuah rumah tangga.

Menikah adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Setelah diadakan pernikahan maka menjadi halal antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Menikah bukan suatu penghalang dalam kehidupan manusia, tapi justru berfungsi membangun kehormatan pergaulan dalam rumah tangga yang dibina oleh suami dan istri.

Banyak corak dan cara pernikahan yang terjadi di Indonesia dikarenakan keragaman budaya dan suku di Indonesia yang menyebabkan Indonesia memiliki aturan dan hukum adat yang berbeda. Meskipun zaman sudah serba modern tapi cara perkawinan dan corak perkawinan adat tidak dilupakan begitu saja. Hal ini dikarenakan sudah terjadi secara turun-temurun dari nenek moyang sampai sekarang ini.


(5)

2. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat kami sajikan, yaitu :

1. Apa pengertian perkawinan menurut hukum adat? 2. Apa saja sistem perkawinan hukum adat?


(6)

BAB II PEMBAHASAN

1. Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan secara ta’rif adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi

hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak mempelai seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai. Menurut M. M. Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu paguyuban.

Sedangkan hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan jyga telah terjadi perkawinan campuran antar suku, adat istiadat.

Walaupun sudah berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku di seluruh Indonesia, namun di berbagai daerah dan berbagai golongan


(7)

masih berlaku hukum perkawinan adat. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya.

Namun di dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.

2. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat

Menurut hukum adat, sistem perkawinan di Indonesia terdapat 3 (tiga) macam yaitu :

2.1. Sistem Endogami

Dalam sistem ini, orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja dan tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu.

2.2. Sistem Exogami

Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu dan berputarnya zaman, sistem tersebut mengalami proses perlunakan sedemikian rupa


(8)

sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.

2.3. Sistem Eleutherogami

Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan-larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri.

3. Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

Asas-asas perkawinan dalam hukum adat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu : 3.1. Bentuk Perkawinan Berdasarkan Arah Persiapan

3.1.1. Pertunangan

Suatu keadaan yang bersifat khusus dan dilangsungkan sebelum perkawinan. Pertunangan adalah persetujuan antar pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah adanya proses lamaran. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak perempuan sebuah tanda pengikat dalam adat Jawa disebut paningset.

Pada dasarnya alasan adanya pertunangan adalah :

 Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu terjadi dalam waktu yang dekat.

 Untuk membatasi pergaulan pihak yang diikat.

 Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal. Namun pertunangan ini juga masih bisa dibatalkan apabila ada hal-hal berikut :


(9)

 Kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan  Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.

3.1.2 Perkawinan tanpa lamaran dan pertunangan

Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal (garis ibu) dan patrilineal (garis bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, Kalimantan, Bali, Sulawesi Selatan.

3.2. Bentuk Perkawinan Berdasarkan Tata Susunan Kekerabatan

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar dipahami tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Hal ini juga mempengaruhi corak perkawinan dalam masing-masing sifat kekeluargaan.

3.2.1 Kekerabatan Patrilineal

Bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Dimana pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Dan setelah perkawinan sang istri akan masuk ke dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya nanti. Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di Indonesia adalah adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo.

3.2.2. Kekerabatan Matrilineal

Dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada saat perkawinan, suami dijemput dari rumahnya kemudian dibawa ke rumah istrinya. Suami disini tidak


(10)

anak-anaknya masuk ke dalam keluarga istri dan suami pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya. Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera Barat (Suku Minangkabau).

3.2.3 Kekerabatan Parental

Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

Dalam susunan kekerabatan parental terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pemberian-pemberian disini tidak mempunyai arti apapun tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan. Suku yang menganut sistem kekerabatan parental adalah suku Dayak Kanayat.

4. Bentuk-bentuk Perkawinan

Adapun bentuk-bentuk perkawinan yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia antara lain, sebagai berikut :

4.1. Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang). Pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan keturunan garis bapak. Yakni perkawinan yang terdapat dalam masyarakat adat Gayo (unjuk), Batak (boli, tuhor, parunjuk, pangoli), Nias (beuli niha), Lampung (segreh, seroh, dawadat), Bali, Timor (belis, welie). Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada pihak kerabat calon istri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya.

Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami, hidup matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan menetap diam di pihak kerabat suaminya.begitu pula anak-anaknya dan keturunannya


(11)

melanjutkan keturunan suami dan harta kekayaan yang di bawa si istri semuanya dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan oleh pihak istri.

4.2. Perkawinan Semenda

Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, tetapi sebaliknya dari pihak wanita kepada pihak pria. Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku.

Adapun bentuk perkawinan semenda yakni ada 6 jenis yaitu :  Semanda raja-raja, artinya suami dan istri berkedudukan sama.

 Semanda lepas, artinya Suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal).  Semanda bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya.

 Semanda nunggu, artinya suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai dapat mandiri.

 Semanda ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita.

 Semanda anak daging, artinya suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda burung.

4.3. Perkawinan Bebas (mandiri)

Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, Sulawesi. Bentuk perkawinan


(12)

ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (saku) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat, petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga anaknya yang sudah menikah.

Di dalam masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat matrilinial.

4.4. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur hal demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.


(13)

4.5. Perkawinan Lari

Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis (silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.

4.6. Perkawinan Monogami

Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.

5. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam hukum adat adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaiman dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat. Adapun larangan tersebut adalah sebagai berikut:

5.1. Hubungan kekerabatan

Larangan perkawinan karena ikatan hubungan kekerabatan dapat terlihat dalam hukum adat Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang terjadinya


(14)

Minangkabau disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku. Pelanggaran terhadap larangan ini akan dijatuhkan hukuman denda adat yang harus dibayarkan kepada para prowatin adat dan harus menyembelih ternak agar terhindar dari kutukan arwah-arwah ghaib.

5.2. Perbedaan Kedudukan

Dilarangnya perkawinan karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di Minangkabau seorang perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin dengan laki-laki yang tergolong kemanakan di bawah lutut. Di Bali, karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan triwana atau triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Weisha) dilarang menikah dengan seorang perempuan dari golongan Sudra ( orang-orang biasa).

5.3. Perbedaan Agama

Perbedaan agama dapat menjadi penghalang terjadinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti di daerah Lampung yang setiap warga adat harus menganut agama Islam, bagi yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak melangsungkan pernikahan salah satu dari keduanya harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.


(15)

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan pembahasan di atas adalah bahwa di Indonesia ini banyak corak-corak hukum adat yang mewarnai cara perkawinan menurut hukum adat sendiri. Hukum adat merupakan bagian dari Indonesia, jadi semua tingkah laku, perbuatan, cara upacara, perkawinan pun juga banyak mewarnai masyarakat Indonesia.

Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi umat manusia. Dengan adanya perkawinan, maka menjadi sah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu sendiri.

Akan tetapi dalam hubungan perkawinan tidak selalu berjalan mulus dan pastinya terdapat juga masalah-masalah dalam kehidupan berumah tangga. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya suatu perceraian yang merupakan hal yang dilaknat oleh Allah meskipun Allah membolehkan terjadinya suatu perceraian.

2. Saran

Dalam penyusunannya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang besifat membangun dari pembaca umumnya, mahasiswa dan Dosesn Pengampu mata kuliah ini pada khusunya, supaya kelak dapat lebih baik dalam penyusunannya.


(16)

DAFTAR PUSTAKA

C. Dewi Wulansari, 2010. HUKUM ADAT INDONESIA : Suatu Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/hukum-perkawinan-adat-bentuk-bentuk.html

http://serlania.blogspot.co.id/2012/01/hukum-perkawinan-adat.html

http://serba-makalah.blogspot.co.id/2015/04/bentuk-perkawinan-adat-asas-asas-perkawinan-adat-acara-dan-upacara-perkawinan-adat.html

http://www.kompasiana.com/honey95t/mengenal-sistem-kekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal_54fd224fa33311043d50f8b7


(1)

melanjutkan keturunan suami dan harta kekayaan yang di bawa si istri semuanya dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan oleh pihak istri.

4.2. Perkawinan Semenda

Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, tetapi sebaliknya dari pihak wanita kepada pihak pria. Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku.

Adapun bentuk perkawinan semenda yakni ada 6 jenis yaitu :  Semanda raja-raja, artinya suami dan istri berkedudukan sama.

 Semanda lepas, artinya Suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal).  Semanda bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya.

 Semanda nunggu, artinya suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai dapat mandiri.

 Semanda ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita.

 Semanda anak daging, artinya suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda burung.


(2)

ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (saku) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat, petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga anaknya yang sudah menikah.

Di dalam masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat matrilinial.

4.4. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur hal demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.


(3)

4.5. Perkawinan Lari

Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis (silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.

4.6. Perkawinan Monogami

Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.

5. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam hukum adat adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaiman dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat. Adapun larangan tersebut adalah sebagai berikut:


(4)

Minangkabau disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku. Pelanggaran terhadap larangan ini akan dijatuhkan hukuman denda adat yang harus dibayarkan kepada para prowatin adat dan harus menyembelih ternak agar terhindar dari kutukan arwah-arwah ghaib.

5.2. Perbedaan Kedudukan

Dilarangnya perkawinan karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di Minangkabau seorang perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin dengan laki-laki yang tergolong kemanakan di bawah lutut. Di Bali, karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan triwana atau triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Weisha) dilarang menikah dengan seorang perempuan dari golongan Sudra ( orang-orang biasa).

5.3. Perbedaan Agama

Perbedaan agama dapat menjadi penghalang terjadinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti di daerah Lampung yang setiap warga adat harus menganut agama Islam, bagi yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak melangsungkan pernikahan salah satu dari keduanya harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.


(5)

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan pembahasan di atas adalah bahwa di Indonesia ini banyak corak-corak hukum adat yang mewarnai cara perkawinan menurut hukum adat sendiri. Hukum adat merupakan bagian dari Indonesia, jadi semua tingkah laku, perbuatan, cara upacara, perkawinan pun juga banyak mewarnai masyarakat Indonesia.

Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi umat manusia. Dengan adanya perkawinan, maka menjadi sah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu sendiri.

Akan tetapi dalam hubungan perkawinan tidak selalu berjalan mulus dan pastinya terdapat juga masalah-masalah dalam kehidupan berumah tangga. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya suatu perceraian yang merupakan hal yang dilaknat oleh Allah meskipun Allah membolehkan terjadinya suatu perceraian.

2. Saran

Dalam penyusunannya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang besifat membangun dari pembaca umumnya, mahasiswa dan Dosesn Pengampu mata kuliah ini pada khusunya, supaya


(6)

DAFTAR PUSTAKA

C. Dewi Wulansari, 2010. HUKUM ADAT INDONESIA : Suatu Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/hukum-perkawinan-adat-bentuk-bentuk.html

http://serlania.blogspot.co.id/2012/01/hukum-perkawinan-adat.html

http://serba-makalah.blogspot.co.id/2015/04/bentuk-perkawinan-adat-asas-asas-perkawinan-adat-acara-dan-upacara-perkawinan-adat.html

http://www.kompasiana.com/honey95t/mengenal-sistem-kekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal_54fd224fa33311043d50f8b7