Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Moch., Himpunan Peraturan Dan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perkawinan Sera Peraturan Pelaksanaan, (Kudus ; Menara, 1975)

Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990)

Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Jaya Bakti, 2003)

Hazairin, S.H., Prof. Dr., Tinjauan Mengenai Undang-Ungdang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta ; Tintamas, 1975)

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007)

Saragih Djaren, Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung : Tarsito, 1980)

Siahaan Nalom, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Tulus Jaya, 1982)

Sinaga Richard, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, (Jakarta, : Kerabat, 2007)

Sulistyowati Irianto, Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia, 2005)

Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta ; Pradnya Paramita, 1960)

Surojo Wignjodipuro, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung ; Alumni, 1971)


(2)

BAB III

PERANAN DALIHAN NATOLU SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

B. Permasalahan Yang Sering Timbul dalam Perkawinan Adat Batak Toba Sebagaimana telah kita ketahui pengertian dasar dari prinsip Dalihan Natolu pada bab sebelumnya, maka dalam hal penyelesasian permasalahan dalam masyarakat Batak Toba, Dalihan Natolu dapat dikatakan sebagai lembaga yang memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyelesaiannya.

Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyelesaiannya. Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian permasalahan, Lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota masyarakatnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Dalihan Natolu ini telah mengawali penghayatan dan pengamalan kehidupan berdemokrasi di kehidupan anggota masyarakatnya, walaupun masih dalam sifat etnis terbatas (ethnic scope) tetapi otentik (authenticity). Hal ini dipedomani mereka lewat pepatah “Hata torop sabungan ni hata, hata mamunjung hata lalaen” yang artinya suara terbanyak


(3)

(mayoritas) adalah induk keputusan, suara menyendiri adalah suara orang yang tidak waras (tidak berakal sehat).22

1. Perselisihan Suami - Isteri

Adapun permasalahan yang sering timbul dalam peranan Dalihan Natolu di bidang hukum perkawinan adat Batak Toba.

Sengketa ini dapat timbul apabila terjadi perihal perselingkuhan baik yang dilakukan oleh si isteri maupun si suami. Hal lainnya adalah apabila suami bertindak kasar maupun pada anggota keluarganya (misalnya terhadap anak-anaknya)

Sering juga perselisihan dalam rumah tangga timbul karena salah satu pihak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya di dalam rumah tangga. Misalnya si suami tidak menafkahi keluarganya, si isteri bersikap boros atau tidak mengurus keluarga dengan baik, si suami suka berjudi, mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan lain sebagainya.

Dalam adat Batak tidak dikenal adanya istilah perceraian sehingga jika terjadi perceraian maka si isteri yang keluar dari rumah tersebut dan ia tidak akan memperoleh apapun dari harta bersama selama pernikahan mereka. Sehingga di masa kini, banyak perempuan Batak memilih mempertahankan rumah tangga mereka apapun yang terjadi, namun jika ternyata tidak dapat dipertahankan juga, maka perempuan Batak lebih memilih untuk menyelesaikan perceraian mereka lewat pengadilan agar ia tidak kehilangan hak atas anak-anak mereka bila dalam


(4)

perkawinan tersebut telah dikaruniai anak serta terhadap perolehan harta bersama selama perkawinan berlangsung.

2. Sengketa yang Mengakibatkan Perceraian (Parsirangan – padao-dao)

Sengketa ini dapat timbul karena beberapa hal antara lain:

a. Dalam pernikahan tersebut tidak dikaruniai anak-anak atau keturunan (anak laki-laki atau perempuan). Yang banyak terjadi pada masyarakat Batak adalah ketiadaan anak laki-laki (putera) sebagai generasi penerus/keturunan marga, sehingga si suami ingin menikah lagi dengan perempuan lain, tanpa menceraikan isteri sebelumnya, sementara si isteri tersebut tidak bersedia diperlakukan demikian (isteri tidak bersedia untuk dimadu oleh suaminya dengan alasan apapun)

b. Dalam pernikahan tersebut sudah tidak ditemukan lagi kesamaan visi dan misi, serta kesamaan persepsi dan tujuan berumah tangga (timbulnya perbedaann prinsip yang amat radikal diantara keduanya, yang kemudian mempengaruhi kestabilan rumah tangga mereka tersebut)

c. Terdapatnya campur tangan dari pihak ketiga (keluarga besar pasangan suami isteri tersebut, baik dari pihak si suami tersebut maupun si isteri) yang membuat hubungan suami isteri mereka menjadi renggang dan rusak, sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga tersebut.

d. Salah satu pihak atau bahkan keduanya selingkuh (baik berakhir dengan perzinahan atau tidak dan pasangannya tidak mampu untuk memaafkan perilaku pasangannya yang berselingkuh tersebut)


(5)

e. Salah satu pihak melanggar janji atau komitmen yang pernah diucapkan f. Suami tidak menafkahi keluarga dan tidak mau berusaha bekerja dan

memenuhi kebutuhan rumah tangga yang memang telah menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga.

g. Si suami melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga

h. Si suami melakukan tindak kejahatan dalam rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT)

i. Si suami suka mabuk, berjudi, berzinah dengan perempuan lain j. Si perempuan melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga

k. Salah satu pihak mengalami penyakit menular yang mematikan atau membahayakan sekelilingnya

l. Terjadi pertengkaran terus menerus antara mereka yang tak kunjung selesai, yang akhirnya merusak atau mengganggu keharmonisan hubungan dan menggoyahkan hubungan rumah tangga mereka dan lain sebagainya.

Dalam hal ini perselisihan dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh pihak

intern hanya antara mereka saja (yaitu para pihak saja) bila ternyata tidak membuahkan hasil maka upaya tersebut kemudian dicoba kembali untuk diselesaikan oleh ketiga unsur Dalihan Natolu yaitu Pihak Dongan Tubu, Parboru,

dan pihak Hula-hula yang duduk bersama membicarakan sengketa yang dialami pasangan rumah tangga tersebut.

Bila ternyata juga tak membuahkan hasil, maka disinilah pihak mediator sebagai penengahnya berperan untuk mendamaikan konflik atau sengketa tersebut.


(6)

Mediator tersebut dapat dipilih dari Ketua Adat, Raja Hata atau orang yang dituakan dan cukup disegani karena wibawannya di masyarakat.

Ketiga unsur Dalihan Natolu ini kemudian duduk bersama dengan mediator yang telah dipercayai oleh para pihak, bermusyawarah dan bermufakat lalu mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh pihak. Sebisa mungkin jalan perceraiann harus dihindari. Karena dalam adat Batak tidak dikenal adanya perceraian, sehingga bila isteri pergi dari rumah dan tak mau kembali lagi dengan sendirinya seluruh hak sebagai isteri baik terhadap anak, harta selama mereka berumah tangga akan menjadi hapus dan hak tersebut jatuh pada suami.

Bila ternyata perceraian tidak dapat dihindari, maka keputusan yang diambil harus keputusan yang terbaik bagi seluruh pihak untuk dilakukan perpisahan atau perceraian (parsirangan) melalui proses hukum, dan diselesaikan di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang isinya sebagai berikut :

“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Adapun tentang tata cara perceraian yang diatur PP No.9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut :

1. Pada Pasal 14 PP No.9 Tahun 1975 :

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan


(7)

isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2. Pasal 15 PP No.9 Tahun 1975 :

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

3. Pasal 16 PP No.9 Tahun 1975 :

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Melalui proses hukum, dibicarakan mengenai beberapa masalah antara lain : a. Pengasuhan anak-anak (jika dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai

anak atau keturunan)

b. Biaya hidup anak-anak apabila pengasuhan berada di tangan ibunya

c. Hubungan antara anak-anak dan orang tuanya setelah kedua orang tuanya berpisah (baik berpisah atau bercerai melalui pengadilan maupun tidak melalui pengadilan, masalah ini harus tetap turut dibicarakan)


(8)

d. Kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung e. dan lain sebagainya

Hal kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung harus dibicarakan lewat pengadilan apabila lewat lembaga Dalihan Natolu tidak berhasil.

Hasil tersebut didasarkan pada dasar Hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai berikut :

a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

b. Keputusan Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”

Sehingga dalam hal perceraian, yang menjadi tujuan utama pembicaraan dalam musyawarah lewat mediator adalah kepentingan anak-anak di atas segalanya (bila dalam perkawinan telah dikaruniai anak) dan perihal kepemilikan harta bersama yang dibagi secara adil.

Hal tersebut diutamakan demi perkembangan psikologis atau kejiwaan anak-anak dan psikis si Isteri (si perempuan yang umumnya menjadi pihak yang paling dirugikan bila terjadi perceraian dalam masyarakat Batak Toba) agar jangan sampai anak-anak mengalami trauma psikologis dan terbeban mental


(9)

akibat perceraian kedua orang tuanya, juga si isteri (perempuan) jangan sampai terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya.

Oleh karena itu pula, dalam perceraian harus diupayakan dilakukan proses perceraian secara damai, maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak ada perebutan hak asuh anak, dilakukan pembagian harta bersama secara adil, dan kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah (tidak seperti ketika mereka belum bercerai, yang mana mereka selalu terlibat pertengkaran besar dan konflik yang berujung pada amarah, penyiksaan, kekerasan dan dendam) serta tetap melakukan pengasuhan anak-anak dengan bersama-sama, walaupun mereka telah hidup berpisah setelah proses perceraian selesai.

3. Permasalahan di Bidang Warisan

Sengketa waris sering terjadi setelah pewaris wafat dan orang-orang tua kebanyakan juga sudah meninggal dunia. Penyebabnya adalah anggota masyarakat masa kini sudah lebih banyak dipengaruhi alam pikiran serba kebendaan (materialistis) sebagai akibat dari kemajuan zaman dan timbulnya banyak kebutuhan hidup mengakibatkan nilai-nilai, rasa malu, rasa kekeluargaaan dan tolong menolong sudah semakin surut.

Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris. Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman (saudara ayah atau saudara ibu)


(10)

menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang hadir.23

23

Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Jaya Bakti, 2003) h. 117

Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya sengketa antaera janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris dalam hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau kerabat si pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri, aplagi bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi pewaris yang telah meninggal tersebut.

Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta, walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau kerabat si pewaris sendiri.

Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 ji. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai berikut:

a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”


(11)

b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”

Perceraian menimbulkan masalah terhadap anak-anak dan harta bersama. Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur masalah harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukum masing-masing yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba berlaku hukum adat, baik dalam memutuskan untuk perceraian maupun pembagian harta bersama. Di mana jika perceraian disebabkan karena kesalahan perempuan, maka pihak perempuan wajib membayar dua kali lipat dan tuhor yang diterima pihak perempuan, dan pihak perempuan tidak berhak menuntut pembagian harta bersama.

Terjadinya perceraian menimbulkan masalah lain yaitu tentang harta bersama, di mana segala harta yang di dapat selama perkawinan berada dibawah kekuasaan suami, akan tetapi menyangkut harta bawaan tetap berada dalam kekuasaan masing-masing. Upaya untuk menyelesaikan pembagian harta bersama dilakukan dengan musyawarah keluarga, dan besarnya hak masing-masing menunjukkan tidak adanya keseimbangan, di mana hak suami lebih besar dari isteri. Salah satu saran yang diajukkan adalah dalam pembagian harta bersama sebaiknya dituangkan dalam akta otentik yang di buat oleh notaris.


(12)

Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak, dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak tersebut mandiri (dipajae), demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak pertama (siakkangan) menikah hingga pada adik-adiknya.

Namun, untuk anak laki-laki paling kecil (siampudan) orang tua mereka tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya (panjaeannya) dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya, sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing.

Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka, tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu. hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara laki-lakinya serta keluarga besar atau kerabat si pewaris dalam hal ini adalah


(13)

nenek maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak dimanapun, karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang tuanya.

Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan (baik si janda pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan keadilan kepada perempuan.24

Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.1589 K/Sip/1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya : bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan.

Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 K/Sip/1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 K/Sip/1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta peninggalan ayahnya.

Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris (dongan tubu, boru, hula-hula) beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan.

24


(14)

para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan.

Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.

B. Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak

1. Peranaan Lembaga Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Permasalahan Perkawinan

Lembaga Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian sengketa altenatif, lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian sengketa alternative itu sendiri bila terjadi konflik dalam anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan Dalihan Natolu telah mengawali penghayatan dan pengamalan kehidupan berdemokrasi di kehidupan anggota masyarakatnya, walaupun masih dalam sifat etnis terbatas (ethnic scope) tetapi otentik (authenticity). Hal tersebut dipedomani mereka lewat pepatah “Hata torop sabungan ni hata, hata


(15)

mamunjung hata lalaen” yang artinya suara terbanyak (mayoritas) adalah induk keputusan, suara menyendiri adalah suara orang yang tidak waras (tidak berakal sehat).25

Lembaga Dalihan Natolu berperan sebagai unsur dan motor penggerak penyelesaian sengketa alternative dalam penyelesaian sengketa masyarakat Batak Toba khususnya di Kota Balige dimana penelitian ini dilakukan karena unsur

Dalihan Natolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru) inilah yang bergerak melalui proses penyelesaian sengketa alternative, dimana unsur Dalihan Natolu (baik Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru) dari pihak yang bersengketa tersebut

26

25

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007), h 207

yang beraktifitas dan secara langsung bekerja dalam hal melakukan pertemuan demi pertemuan untuk bermusyawarah untuk membicarakan permasalahan atau sengketa yang dialami, hingga bila unsur Dalihan Natolu ini tidak ada, maka penyelesaian permasalahan dalam masyarakat Batak Toba juga tidak akan berjalan.

Penyelesaian permasalahan perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut.


(16)

Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Dalihan Natolu terhadap Penyelesaian permasalahan perkawinan pada masyarakat Batak Toba khususnya masyarakat Batak Toba di kota Balige dimana penelitian ini dilakukan, sangat erat karena lembaga Dalihan Natolu tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak utama dari terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternative tersebut.

Untuk itu Lembaga Dalihan Natolu pada masyarakat Batak Toba digunakan sebagai Lembaga Mediasi untuk penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang berkonflik.

Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (sebagai Mediator atau penengah) yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi sulit diberi pengertian secara harafiah karena pada dasarnya pengertian mediasi sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Tidak ada aturan yang jelas perihal penggunaan istilah Mediasi tersebut, semuanya tergantung pada pihak yang bersangkutan.

Proses Mediasi

a. Tahap Pra Mediasi

Dalam tahap pra mediasi ini, mediator dan para pihak diwajibkan untuk mengikuti seluruh prosedur penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor : 02/2003


(17)

b. Tahap Mediasi

Dalam tahap ini mediator dan para pihak dapat duduk bersama-sama dalam satu meja untuk bermufakat mencari jalan keluar terbaik atas sengketa yang mereka alami. Mereka memiliki kebebasan penuh untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang permasalahan atau sengketa yang mereka alami.

Disini mediator harus aktif dan bijaksana dalam mencari jalan keluar terbaik yang netral terhadap kedua belah pihak sehingga para pihak yang bersengketa merasa nyaman atas kedudukan mereka dan tidak merasa dihakimi secara sepihak bila mediator menyuduutkan mereka.

Setelah kesepakatan oleh para pihak berhasil diwujudkan, maka hasil mediasi tersebut kemudian harus dituangkan dalam bengtuk tertulis, menjadi sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang isinya wajib dipatuhi ole para pihak, karena demikianmlah dinhyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02/2003 pasal 11 ayat (1) dan (2) yang isinya: “Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Perlu diketahui bahwa proses mediasi dapat dipakai dengan bebas oleh siapapun yang bersengketa dan apapun jenis sengketa. Karena yang sangat penting dalam proses mediasi adalah adanya unsur kehadiran pihak ketiga yang berfungsi sebagai mediator atau penengah yang turut masuk ke dalam sengketa mereka, turut duduk bersama membicarakan penyelesaian sengketa dan akan bersama-sama mencari upaya penyelesaian sengketa secara netral, adil dan mengupayakan perdamaian bagi para pihak.


(18)

Sebagai contoh permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan antara lain: 1. Perselisihan antara Suami dengan Isteri

Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah salah satu pihak beserta dongan tubunya (biasanya pihak yang dirugikan) mendatangi pihak yang lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah.

Langkah berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, dapat diikutsertakan mediator yang dipilih dari Ketua/Pengetua adat, Raja Hata atau Ketua Kelompok masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga dinilai cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang dilakukan Mediator menasehati pihak yang bersalah dahulu (baik suami/isteri) secara intern

atau pribadi dan tertutup (mediator dan pihak bersangkutan) lalu bermufakat kembali kedua belah pihak, menasehati agar berdamai dan menghindar dari perceraian. Si isteri lalu dikembalikan pada suaminya tersebut untuk bersatu kembali pada suaminya dan diharapkan setelah perdamaian dilakukan mereka dapat memperbaiki kembali hubungan yang sempat rusak dalam rumah tangga tersebut.

Jika isteri berselingkuh dengan laki-laki lain atau suami merasa bahwa isterinya tidak lagi setia kepadanya hingga timbul perselisihan maka selama persoalannya masih menggantung isteri bisa dikembalikan kepada Bapaknya (pinarhundul tu amana) dan ia bisa menjadi perempuan yang diperselisihkan (boru panggulutan), antara suami dan pihak keluarga isteri sebagai mertua laki-laki, dan sepanjang perselisihan masih berlangsung dan mereka masih berunding atau bermufakat dengan mediator sebagai penengah, maka isteri berada di tempat


(19)

bapaknya untuk dinasehati oleh keluarga si isteri tersebut. Jika isteri diperlakukan kasar oleh suaminya, maka parboru akan menuntut penyelesaian / marlulu (juga dengan bantuan mediator sebagai penengah).27

2. Permasalahan di Bidang Warisan

Hal tersebut pasti akan menimbulkan aib bagi mereka, dan dalam jangka panjangnya berdampak besar pula pada psikologis isteri, anak-anak hasil pernikahan mereka (jika ada) serta orang tua isteri sendiri (sebagai orang terdekat si isteri tersebut). Karena dalam lingkungan pergaulan mereka hal perceraian tersebut pasti akan dibicarakan khalayak dan akan terdengar oleh mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan trauma psikologis tersendiri bagi mereka semua.

Apabila terjadi permasalahan harta warisan maka biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa bertempat di rumah pewaris.

Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman (saudara ayah atau saudara ibu) menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disaetujui bersama para anggota keluarga yang hadir.

27

Dalam hal ini, pertemuan harus dipimpin oleh Mediator terutama ke arah perdamaian atau persatuan kembali suami isteri tersebut. Sebisa mungkin perceraian harus dihindarkan. Karena dalam hal terjadinya perceraian maka yang merasa paling dipermalukan adalah keluarga besar si isteri sebagai Hula-hula di pergaulan masyarakat.


(20)

Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya sengketa antara janda pewaris, terhadap keluarga besar atau kerabat pewaris dalam hal ini ,mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar atau kerabat si pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama perkawinan antara pewaris dan isterinya, daripada si janda pewaris sendiri, aplagi bila selama perkawinan mereka si janda tidak memberikan keturunan bagi pewaris yang telah meninggal tersebut.

Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan disebut sebagai harta bersama karena si janda turut andil dalam perolehan harta, walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta bersama selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga janda pewaris yang paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau kerabat si pewaris sendiri.

Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967, yang isinya sebagai berikut:

a. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 passal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

b. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”


(21)

Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris diantara keturunan pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak, dikampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah adat mereka rumah tempat tinggal untk anak yang menikah tersebut agar anak tersebut mandiri (dipajae), demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak pertama (siakkangan) menikah hingga pada adik-adiknya.

Namun, untuk anak laki-laki paling kecil (siampudan) orang tua mereka tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya (panjaeannya) dan dirumah tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya, sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang-abangnya tersebut sejak rumah tersebut didirikan orang tua untuk mereka masing-masing.

Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus tanah adat sebagaimana dikampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu pertengkaran anak-anak pewaris. Dimana masing-masing merasa paling berhak atas harta peninggalan pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka, tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus dibagi sesuai bagian masing-masing bukun untuk dikuasai secara individu. Hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si pewaris terhadap saudara laki-lakinya serta keluarga besar atau kerabat si pewaris dalam hal ini adalah nenek


(22)

maupun pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat batak dimanapun, karena system kekeluargaan masyarakat batak yang patrilineal menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang tuanya.

Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak Toba yang patrilineal yang dirasa merugikan keberadaan perempuan (baik si janda pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa budaya hukum dan sub budaya hukum masyarakat batak toba yang tidak member jaminan keadilan kepada perempuan.28

28

Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 K/Sip?1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 K/Sip/1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta peninggalan ayahnya.

Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.1589 K/Sip/1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya : bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan.

Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris (dongan tubu, boru, hula-hula) beserta pengetua adat yang cukup disegani dalam masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan.

Pemimpin berfungsi sebagai mediator atau penengah para pihak yang bearsengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan.


(23)

Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki maupun anak perempuan si pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.


(24)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Peranan Dalihan Natolu dalam hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi orang Batak. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Natolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial kemasyarakatan.

Dalihan Natolu ini pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian permasalahan, Lembaga Dalihan Natolu ini berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota masyarakatnya. Penyelesaian permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat Batak Toba juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut.


(25)

B. SARAN

Bagi kalangan akademisi, generasi muda masyarakat Batak pada khususnya hendaknya mempelajari perihal hukum adat Dalihan Natolu dan peranannya dalam perkawinan adat Batak agar dapat memahami dengan baik dan memetik manfaat pengamalan dan penghayatan Dalihan Natolu untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka pembinaan masyarakat Batak yang modern agar tidak terlalu jauh dipengaruhi kebudayaan barat.

Dalam Rangka mewujudkan rumah tangga dan kekerabatan yang baik di dalam hidup bermasyarakat, kaum akademisi, generasi muda masyarakat Batak pada khususnya hendaknya mengetahui prinsip dari Dalihan Natolu itu sendiri yang pada hakekatnya memerlukan pengekangan hawa nafsu kebendaan yang tidak pernah tua. Untuk itu rumah tangga dari suatu perkawinan harus dijauhkan dari kerusakan akhlak dan kebendaan dan didekatkan pada kerukunan hidup ketetanggaan dan kekerabatan

Bagi kalangan akademisi, generasi muda masyarakat Batak pada khususnya, agar dapat membuka pola pikir tentang hukum adat Dalihan Natolu, aspek-aspeknya serta ruang lingkupnya, sehingga apabila timbul permasalahan pada mereka atau di sekeliling mereka, mereka dapat mencari jalan terbaik dalam hal penyelesaiannya.


(26)

BAB II

PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN

A. Pengertian dan Unsur-unsur Dalihan Natolu 1. Pengertian Dalihan Natolu

Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.

Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya,


(27)

digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Dalihan Natolu merupakan pemilihan tungku masak berkaki tiga sebagai lambang pengibaratan tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki tungku melambangkan struktur sosial masyarakat batak, yaitu kelompok Dongan Sabutuha, kelompok Hula-Hula dan kelompok Boru. Nama setiap kelompok juga mengisyaratkan fungsi sosial setiap kelompok. Dengan demikian, satu dari kaki tungku merepresentasikan kelompok dan fungsi dongan sabutuha yaitu orang yang satu marga dengan fungsi kepada sesama. Kaki kedua merepresentasikan kelompok dan fungsi Hula-Hula, yaitu kumpulan beragam marga asal para istri dari orang semarga. Kaki ketiga merepresentasikan kelompok dan fungsi Boru, yaitu kumpulan beragam marga asal suami dari perempuan semarga. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang ( pilar ) dari pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai suatu tatann sosial kemasyarakatan.

Tatanan tersebut telah memberikan kepastian hukum tentang kedudukan (tohonan-posisi-jabatan), hak (sijaloon-right) dan kewajiban (sileanon-obligation), sikap dan perilaku (pangalaho-attitude), Patik (hukum-law-rule), Ruhut (aturan-guidance), Parturena (urut-urutan-sequence), Tording (batasan-boeder line), Uhum (perbuatan baik-good deeds) dan Ugari (wujud perbuatann baik-form of good deeds), Partuturan (system kekerabatan-kinship, family relationship), Tarombo (silsilah-family tree), Ulaon adat (peristiwa adat-sosial gathering),


(28)

Tonggo Raja, Ria Raja, Rapot (forum musyawarah), dan sebagainya. Demikianlah tua-tua pendahulu melakukan rekayasa sosial (sosial engineering) pranata masyarakat Batak dengan rinci agar impiannya tewujud, yaitu menciptakan

keteraturan dan ketertiban (Rue and Order) bermasyarakat bagi keturunannya.

Ketiga kelompok tesebut selalu dijumpai ber-inter-relasi dan ber-inter-aksi, selaras, seimbang dan kokoh dengan Marga sebagai perekat dan Hukum Marga

sebagai pengikat. Orang yang satu marga tetap menganggap dirinya satu darah karena berasal dari satu leluhur pemersatu yang mewariskan marga mereka. Tidak dipermsalahkan bentangan generasi pemisah diantara mereka. Fakta tersebut telah membuktikan bahwa marga itu memiliki daya rekat yang luar biasa kepada warganya. Hukum Marga menetapkan Papangan so jadi pusung, artinya tidak boleh makan sendiri atau harus mengutamakan kebersamaan, kepedulian, gotong royong. Hukum Marga menetapkan Bongbong yaitu larangan menikah dengan kawan semarga.

Akibat atau implikasi hukum Bongbong mengharuskan pernikahan antar marga atau eksogami. Pernikahan antar marga tersebut telah menciptakan

eksistensi Hula-hula dan Boru. Dengan kata lain, terciptanya Dalihan Natolu merupakan konsekuensi logis dari hukum Bongbong. Bukan karena dongeng, karangan-karangan tanpa dasar. Leluhur membuktikan dirinya memiliki inteligensia yang prima sebagai konseptor komunitas yang baik. Teratur dan tertib. Oleh sebab itu, setiap pribadi (hadirion) orang Batak dapat berkedudukan (tohonan) atau fungsi Dongan Sabutuha, Hula-hula atau Boru. Dengan kata lain


(29)

setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Dongan sabutuha atau kawan semarga merupakan kelompok yang bersifat tetap (hot), permanen sementara hula-hula dan Boru bersifat tidak tetap atau berubah pada waktunya. Masyarakat Batak telah menganut faham patrilineal atau garis ayah karena leluhur pemersatu yang mewariskan marga adalah laki-laki, Ayah dari keturunannya.

Demikianlah garis besar konsep Dalihan Natolu sebagai tatanan sosial kemasyarakatan Batak Toba. Kapan waktunya, pada generasi keberapa keturunan Si Raja Batak konsep ini direkayasa dan diberlakukan, agak sulit untuk ditelusuri. Fakta atau kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Natolu telah dihayati dan diramalkan ratusan tahun yang lalu dan masih terus dihayati dan diamalkan mayoritas masyarakat batak hingga sekarang.7

Apakah yang disebut dengan Dalihan Natolu paopat sihal-sihal itu. Dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa Dalihan Natolu itu diuraikan sebagai berikut : ”Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.”

Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah Dalihan Natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.

7


(30)

Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

1. Somba marhula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.


(31)

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua

(meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulang rorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).

Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.

2. Manat Mardongan Tubu

Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru


(32)

Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu

selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.


(33)

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.

2. Unsur-unsur Dalihan Natolu

Adapun unsur-unsur Dalihan Natolu dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Dongan Tubu

Dongan tubu atau disebut juga dongan sabutuha adalah keluarga-keluarga satu marga. Artinya semua keluarga yang suaminya marga Sihombing adalah dongan tubu atau dongan sabutuha. Cakupan semarga ini bisa sampai puluhan generasi keturunan seorang moyang sepanjang semua keluarga itu masih tetap memelihara garis keturunan atau silsilahnya dan masih tetap setia untuk tidak saling mengawinkan keturunan masing-masing.


(34)

2. Hula-hula

Secara garis besar adalah keluarga pihak perempuan dalam sebuah keluarga. Perempuan ini dalam konteks keluarga besar (extended family) termasuk isteri, ibu, nenek, nenek moyang (nenek bapak kita sendiri), nenek, ibu, isteri, anak menantu wanita, cucu menantu wanita. Hula-hula dikelompokkan sesuai jenjang generasi tersebut. Artinya ada hula-hula dari pihak nenek, ada dari pihak ibu, ada dari pihak anak, dst.,

3. Boru

Secara sederhana ‘boru’ artinya adalah anak perempuan.

Arti lain dari ‘boru’ menggambarkan peran dalam tatanan kekerabatan keluarga besar yaitu keluaraga yang isterinya berasal dari marga tertentu. Kalau satu keluarga beristeri boru Hutabarat, maka keluarga tersebut berkedudukan sebagai boru di kalangan keluarga Hutabarat. Sebaliknya, keluarga Hutabarat adalah hula-hula keluarga tersebut.

Adapun landasan filosofis interaksi dari unsur-unsur Dalihan Natolu dalam pelaksanaan perkawinan Adat Batak dapat ditemukan Empat Peran Utama (Suhi Ni Ampang Naopat).

Empat peran utama (suhi ni ampang naopat) yang didasarkan pada kekerabatan Dalihan Natolu itu berinteraksi dalam satu upacara adat dapat diilustrasikan sbb:


(35)

1. Suhut.

Dalam satu upacara perkawinan dimana satu keluarga mengawinkan seorang putri, sementara satu keluarga lain mengawinkan seorang putra, substansi upacara ini bukan hanya mengawinkan dua insan menjadi satu keluarga tetapi sekaligus menjalin hubungan baru dua keluarga besar menjadi hula-hula disatu pihak (keluarga pengantin wanita) dan menjadi boru disatu pihak (keluarga laki-laki). Dalam upacara seperti ini jelas ada dua keluarga yang menjadi suhut yaitu orangtua pengantin laki-laki dan orangtua pengantin wanita. Masing-masing suhut menghadirkan dongan tubu, hula-hula, maupun boru masing-masing. Cakupan siapa saja yang berperan sebagai suhut tergantung pada luasnya cakupan hula-hula dan dongan tubu yang dilibatkan. Kalau satu keluarga mengundang hula-hulanya mulai dari marga nenek, ibu, isteri, mantu, maka semua keturunan satu nenek tersebut dianggap berperan sebagai suhut. Yang tergolong suhut dari masing-masing pihak adalah inti pemikul kewajiban dan penerima hak adat sesuai kedudukan masing-masing apakah sebagai hula-hula atau sebagai boru dalam satu upacara adat yang dilaksanakan.

2. Dongan tubu.

Dalam hal ini suhut dan dongan tubu semarga berada di satu pihak untuk menghadapi hula-hula maupun boru. Cakupan dongan tubu ini biasanya sampai beberapa generasi diatas suhut sepanjang komitmen ‘sisada anak sisada boru’ yang artinya tidak saling mengawinkan keturunan masing-masingmasih dipegang teguh. Pihak dongan tubu yang berperan sebagai boru dalam satu acara


(36)

adat karena dipihak pengantin pria mempunyai kewajiban adat untuk ikut berpartisipasi menunjukkan rasa hormat dan menunaikan kewajiban adat kepada hula-hula sebagai wujud dukungan kepada suhut. Disisi lain dongan tubu pihak keluarga pengantin juga ikut berpartisipasi memberi berkat melalui doa dan simpul-simpul budaya berupa penyerahan ulos kepada pengantin dan kerabat keluarga pengantin pria, dan sebaliknya ikut memperoleh hak adat yang diberikan keluarga pengantin laki-laki.

3. Hula-hula:

Dalam satu upacara perkawinan, peran hula-hula dapat digolongkan menjadi dua.

Pertama: Hula-hula dalam kedudukan sebagai keluarga asal pengantin perempuan. Dalam hal ini, kedudukan itu merupakan kedudukan baru karena baru resmi dalam upacara tersebut. Setelah semua kewajiban adat ditunaikan keluarga pengantin laki-laki, maka keluarga pihak perempuan yang mulai saat itu telah berperan sebagai hula-hula keluarga pengantin memberikan restu baik berupa wejangan, doa, atau/dan simpul-simpul budaya. Pemberian restu ini kemudian diikuti oleh hula-hula keluarga suhut marga pengantin wanita.

Kedua: Hula-hula suhut pengantin laki-laki. Setelah hula-hula baru keluarga pengantin laki-laki, dalam hal ini keluarga semarga keluarga asal pengantin perempuan dan juga hula-hula suhut keluarga pengantin perempuan memberi restu kepada pengantin, maka hula-hula keluarga pengantin laki-laki diberikan


(37)

kesempatan memberi restu, dan merupakan penutup dari rangkaian pemberian restu dari pihak hula-hula.

Hula-hula ini dapat dikelompokkan sbb:

1. Hula-hula tangkas

2. Tulang.

3. Boaniari

4. Bonatulang.

5. Tulang Rorobot.

Ad 1: Hula-hula tangkas terdiri dari :

1. Keluarga marga asal seorang isteri, Misalnya, kalau isteri dalam satu keluarga Simbolon adalah boru (putri) dari keluarga Napitupulu maka keluarga Napitupulu khususnya kerabat dekat orangtua boru Napitupulu tersebut adalah hula-hula tangkas keluarga Simbolon tersebut.

2. Keluarga marga asal ibu. Kalau seorang suami adalah putra seorang boru Simanjuntak, maka keluarga Simanjuntak darimana ibunya berasal adalah hulahula keluarga suami tersebut, yang disebut juga "tulang"

3. Keluarga marga asal nenek. Misalnya nenek satu keluarga dari pihak pria adalah boru Tambunan, maka keluarga Tambunan darimana sang nenek berasal adalah-hula-hula keLuarga keturunan nenek tersebut, yang selanjutnya disebut "bona ni ari"


(38)

4. Keluarga marga asal nenek buyut. Kalau nenek buyut dari pihak laki-laki satu keluarga adalah marga Siregar, maka keluarga marga Siregar darimana sang nenek buyut berada adalah hula-hula dan dikelompokkan "bona tulang"

5. Keluarga marga asal ibu seorang isteri, atau kalau ibu yang melahirkan isteri adalah marga Simatupang, maka semua kerabat dekat yang semarga dengan keluarga Simatupang tersebut adalah hula-hula keluarga si isteri tersebut, yang disebut "tulang rorobot"

4. Boru.

Dalam pelaksanaan perkawinan, boru dapat digolongkan menjadi dua.

1. Keluarga yang isterinya semarga dengan pengantin pria merupakan kelompok boru yang berperan membantu suhut keluarga pengantin laki-laki. Bantuan boru ini dapat berupa tenaga dalam merencanakan dan melaksanakan jalanya upacara adat dan ada juga berupa materi yang disebut tumpak . Disamping kewajiban adat tersebut, boru juga mendapat hak adat dari hual-hula baru (keluarga pengantin perempuan) berupa restu, doa, maupun simpul-simpul budaya.

2. Kedua: Kelompok kedua adalah boru dari keluarga pengantin perempuan. Mereka juga mempunyai kewjiban dan hak adat .


(39)

1. Keluarga yang isterinya adalah putri dari keluarga yang menjadi suhut satu perhelatan adat. Kelompok ini disebut "boru tubu"

2. Keluarga yang isterinya adalan saudari perempuan sang suami keluar suhut. Sehari-hari disebut "iboto" atau "ito"

3. Keluarga yang isterinya adalah saudari perempuan ayah sang suami keluarga suhut. Panggilan sehari-hari adalan "namboru"

4. Keluarga yang isterinya adalah saudari perempuan kakek suami keluar suhut. Disebut "iboto mangulahi"

5. Keluarga dongan tubu boru (a,b,c,d), khususnya para orangtua dalam kedudukan adat disebut "boru matua" (besan atau orangtua menantu laki-laki)

6. Putra-putra keluarga boru (a,b,c,d) yang kedudukan adatnya disebut

"bere”

7. Putri~putri keluarga boru (a,b,c,d) yang kedudukan adatnya disebut

“ibebere”

Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur dalihan natolu terfokus pada hubungan kekerabatan suhut atau keluarga inti (the nucleus of an extended family), dan anak-anaknya.


(40)

B. Peranan Dalihan Natolu dalam Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Toba

Bagi masyarakat adat Batak Toba, perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat batak. Laki-laki yang mengikatkan diri ini disebut dengan

Tunggane Doli ( suami ) dan wanita yang mengikatkan diri dengan laki-laki disebut dengan Tunggane Boru ( istri ).

Pada masyarakat batak toba, seorang laki-laki di dalam menentukan siapa yang pantas menjadi Tunggane Boru-nya bukanlah hanya masalah laki-laki itu saja, melainkan pihak keluarga dan orang tua si laki-laki ikut menentukan. Karena seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba, adalah menjadi penerus marga, maka suatu marga tidak menghendaki marganya diturunkan dari seorang

Tunggane Boru yang tidak berperilaku baik. Demikian juga pihak si wanita yang mau menentukan siapa yang menjadi Tunggane Doli, bukan hanya masalahnya sendiri, tetapi juga menjadi andil dari keluarga orang tuanya yang sangat menentukan.

Walaupun wanita itu nantinya tidak akan menurunkan marga dari Bapaknya, tetapi dengan suatu perkawinan berarti bertambahnya keluarga, bagi puhak keluarga si wanita. Pihak keluarga dari yang menjadi suami ( Tunggane Doli ) si wanita itu nantinya adalah menjadi boru, bagi kelompok marga ayah si wanita itu. Setiap keluarga masyarakat Batak Toba, menghendaki agar Boru ( hela


(41)

Dengan demikian perkawinan bagi masyarakat Batak Toba, berarti pula menentukan siapa menjadi tunggane doli seorang wanita, dan siapa yang menjadi

tunggane boru seorang laki-laki. Penentuan ini bukan hanya urusan para pihak, tetapi juga menjadi urusan para keluarga mereka, karena dengan cara ini, nantinya diharapkan terbentuklah suatu rumah tangga baru yang rukun dan harmonis, dan dapat menurunkan marga dengan baik.8

Pesta perkawinan adalah upacara yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Natolu dari orang tua penganten lelaki dengan Dalihan Natolu dari orang tua penganten perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Natolu dari penganten pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Natolu pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilahistilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Natolu. Hal ini dikarenakan bahwa pada perkawinan orang Batak bukanlah persoalan suami istri saja, termasuk orang tua serta saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga orang tua si suami dengan marga orang tua siistri, ditambah lagi dengan

8


(42)

boru serta hula-hula masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami istri maka putus pulalah ikatan antara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Natolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka.

Perkawinan orang Batak yang hanya diabsahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelapoleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Natolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga demikian maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Di daerah Balige pada khususnya masih diteruskan tradisi tentang pembagian jambar-jambar yang masih istilah seperti jambar Pamarai dan lain sebagainya, supaya jelas, perlu kita sorot dulu latar belakang di bona pasogit di zaman dulu sehubungan dengan perkawinan.

Sudah disinggung dalam bab sebelumnya mengenai besarnya peranan

domu-domu (perantara) di zaman dulu, biasanya boru di suatu kampung. Pertama sekali tugasnya adalah menyampaikan lamaran seorang pemuda kepada sang gadis pilihan hatinya. Selain para perantara dari pihak orang tua si gadis ada juga dari pihak orang tua si pemuda perundingan mereka secara tidak resmi di belakang layar dinamai “marhusip”, artinya secara harafiah “berbisik”, dengan tujuan menghindari sedapat mungkin kegagalan pada waktu marhata sinamot, yaitu perundingan secara resmi mengenai besarnya mahar. Perundingan ini dilakukan di


(43)

tempat tinggal orang tua si putri. Untuk itu pembicara ialah para pengetua adat dari kedua pihak, yaitu pihak orang tua sipemuda dan pihak orang tua si putri tadi.

Sesudah ada kesepakatan mengenai besarnya mahar, maka beberapa utusan dari parboru, yaitu orang tua dari si putri pergi “maningkir lobu”, artinya mengunjungi rumah orang tua si pemuda sambil melihat ternak yang akan menjadi mahar itu didalam lobu (kandang). Disepakatilah harinya kapan ternak tadi, atau ternak-ternak kalau lebih dari satu akan dihantarkan ke kampung parboru. Pada hari yang ditentukan itu sudah bersedia para penghuni kampung tersebut menantinya lalu membuka gerbang kampung itu yang memasukkan ternak atau ternak-ternak itu ke kandangnya ialah salah seorang saudara lelaki dari ayah si putri; oleh karena itulah ia dinamai “pamarai” artinya yang memasukkan ke kandang (bara).

Menurut seorang sarjana hukum adat yang terkenal bernama Terhaar, yang mengambil hukum perkawinan adat batak sebagai contoh mengenai pindahnya seorang wanita ke klen suaminya, mahar ialah “alat magis yang melepaskan ikatan seseorang wanita dari klen ayahnya ke klen suaminya sehingga tidak menimbulkan gangguan di dalam keseimbangan sosial dan kosmos”.9

Menurut alam pikiran para leluhur orang batak sesuai dengan prinsip Dalihan Natolu, yang mengasuh calon pengantin perempuan tersebut tidak hanya orang tuanya tetapi turut juga Dalihan Natolu yang kandung dari ayah sigadis. Pertama-tama ialah saudara-saudara lelaki dari sang ayah, kedua ialah boru yang

9

Sehubungan dengan konsep kosmos secara vertical, yaitu ada benua tengah,benua bawah dan benua atas, maka angka 3 adalah sacral (ingat Dalihan Natolu sebagai tritunggal); demikian pula sehubungan dengan kosmos secara horizontal karena ada 4 mata angin maka angka 4 juga sacral (demi sopan santun sederajat dijadihon suhut dengan dalihan natolu kandungannya menjadi bakul bersegi empat)


(44)

meliputi para putri dan saudara perempuan dari si ayah tersebut, ketiga ialah hula-hula yang meliputi saudara lelaki dari ibu si putri. Orang tua dari calon pengantin wanita bersama tiga unsur yang disebut tadi merupakan empat dalam jumlah, kesemuanya merupakan catur garis tunggal, yang dalam bahasa Batak dinamai

“Suhi Ampang Ni Opat”, artinya “ Empat Persegi dari bukul”. Masing-masing mereka yang sudah kawin ini menerima jambar nagok, artinya jambar yang penuh. Orang tua dari calon pengantin perempuan itu mendapat upah suhut, yang jauh lebih bernilai dari pada yang diterima oleh tiga pihak lainnya. Biasanya dari tiga pihak lainnya ini ada kesepakatan dikalangan masing-masing pihak untuk menerima secara bergilir, misalnya kalau ada beberapa saudara lelaki dari ayah si putri maka salah seorang diantara mereka yang menerima upah pamarai tersebut secara bergilir.

Yang diterima oleh boru kandung ialah upah pariban dan yang diterima oleh hula-hula ialah upah tulang. Yang diterima itu biasanya sebagian dari ternak hidup; kalau setengah dinamai sambariba horbo, kalau seperempat dinamai

sanghae (sepaha) dan kalau seperdelapan dinamai santambirik. 10

Lama kelamaan peranan domu-domu berkurang di Tanah Batak, demikian pula mahar yang berwujud kerbau sudah biasa diganti dengan uang demi praktisnya, tetapi istilah-istilah sebagaimana dipaparkan diatas masih tetap

10

Sebagai tambahan kalau pihak paranak sanggup memberikan ada lagi jambar siungkap bahal untuk para tetangga di kampung itu yang telah membuka gerbang kampung untuk kerbau (atau kerbau-kerbau) tersebut. Maknanya yang dalam adalah mereka turut juga sebagai tetangga membesarkan siputeri sejak kecil sebelum menjadi penganten. Selain itu ada lagi jambar simandokhon untuk salah satu saudara lelaki dari penganten itu , yang telah bersusah payah turut membantu orangtuanya mengundang para tamu ke pesta itu. dua macam jambar tersebut sebagai pelengkap saja, tidak wajib.


(45)

terpakai. Upa pamarai, upa pariban, dan upa tulang di luar mahar (upa suhu)

sudah berupa uang juga. Menerima secara bergilir tidak lagi dipertahankan; diperantauan yang hadir si pesta perkawinan itulah yang menerima, sesuai dengan prinsip bahwa yang berhak turut ke bagian jambar ialah orang yang hadir.

Jambar berupa daging khusus yang disajikan kepada Dalihan Natolu yang tidak kandung tetap bertahan dari dulu sampai kini, baik di bonani pasogit maupun didaerah perantauan. Untuk memahami arti yang dalam dari daging namargoar

(yang bermakna) dari binatang tersebut, marilah kita sorot dulu alam pikiran para leluhur di zaman animism yang telah menciptakannya sewaktu seekor binatang kerbau dipotong secara beramai-ramai dan bagian-bagian tertentu disisihkan , tidak ikut dicincang, diantaranya rusuk-rusuk, kepala,laher, dan ekor (bagian akhir) dari binatang tersebut. Punggung, mulai dari tengkuk, mendukung beban , jadi sudah cocok menjadi jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu) yang mendukung secara ramai-ramai tugas sebagai penanggung jawab dalam pesta. Punggung beserta kira-kira 5 rusuk dari depan dinamai jambar panamboli; arti harifiahnya “ bagian untuk pemotong hewan”. Kepala adalah untuk hula-hula yang harus disembah, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Diantara kepala ini dan tengkuk ialah leher kerbau, yang diperuntukkan menjadi jambar untuk boru karena boru adalah penguhubung diantara dongan tubu dan hula-hula.

Ekor kerbau adalah untuk suhut. Hal ini dikarenakan bahwa ekor adalah bagian tubuh binatang yang menyatakan identitasnya, berbeda dengan manusia, misalnya dalam pertanyaan bahasa Indonesia, “berapa ekor?”. Jadi jelaslah kiranya siapa yang mendapat ekor kerbau dialah pemiliknya. Suhut memberikan


(46)

sebagian atau seluruhnya dari ihur-ihur (ekor serta pantat) tersebut sebagaimana balasan dari ikan mas yang disodorkan kepadanya oleh pihak mertua.

Empat macam tersebut diatas dapat kita sebut jambar-jambar sekunder sebagai pelengkap untuk golongan-golongan lain yang berfungsi dalam pesta adat.

Mengenai jambar-jambar dari tubuh kerbau sebagaimana tercantum diatas, boleh dikatakan sudah standar di bona pasogit, oleh karena sering dilakukan dilapangan terbuka dan dihalaman kampung. Akan tetapi mengenai jambar-jambar dari “kerbau pendek” ada perbedaan tafsiran oleh karena lehernya tidak mempunyai fungsi sebagai jambar boru, tetapi kepalanya dibagi diantara hula-hula dan boru.

Di bona pasogit dipotong “kerbau pendek” hanya untuk pesta-pesta adat di rumah, sedang didaerah rantauan untuk praktisnya selain untuk pesta-pesta adat di rumah, juga untuk pesta perkawinan di gedung pertemuan umum.11

11

Siahaan Nalom, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Tulus Jaya, 1982), h.50

Pada masyarakat Batak Toba saat sebelum upacara dan saat sesudah upacara, adalah masalah yang penting dalam pelaksanaan perkawinan. Saat-saat ini adalah saat yang ikut menentukan, apakah perkawinan itu sudah berjalan sesuai dengan adat. Atau dengan kata lain saat-saat sebelum upacara perkawinan ikut menentukan kesyahan suatu perkawinan di depan pandangan masyarakat. Oleh karena itu dalam Pelaksanaan Perkawinan ini, dicoba menguraikan dalam tiga tahap. Tahap-tahap ini dengan sendirinya merupakan proses yang satu sama lain mempunyai kaitan.


(47)

1. Sebelum Upacara Perkawinan

Dalam masyarakat Adat Toba, sebelum upacara perkawinan, terdapat tahap-tahap tertentu, yang merupakan rangkaian proses yang kait mengkait di dalam menuju suatu perkawinan. Tahap-tahap ini juga hanya kita lihat dari segi pihak laki-laki.

Adapun tahap-tahap tersebut adalah : A. Martandang

Kata martandang artinya berkunjung ke rumah orang lain.Dalam martandang ini si laki-laki ke luar dari rumahnya dan berkunjung ke rumah si gadis untuk berkenalan. Pada martandang inilah sering disebut dengan mangaririt – boru oleh si laki-laki. Mangaririt berasal dari kata ririt yang artinya pilih. Oleh karena itu pada martandang ini, termasuk juga dari tujuan si laki-laki untuk memilih si gadis untuk menjadi bakal istrinya.

Acara martandang ini biasanya dilakukan pada malam hari. Kalau seorang laki-laki susuah untuk memilih gais untuk calon istrinya, biasanya si laki-laki tersebut akan mencari boru tulang ( anak paman ) nya.

Boru Tulang sebagai istri adalah sangat disetujui oleh ibu dari si laki-laki. Dan ayah dari si wanita itu juga, jarang untuk menolak, karena anak laki-laki itu adalah anak ni namboru dari anak wanitanya sendiri.


(48)

B. Mangalehon Tanda

Mangalehon Tanda artinya adalah memberikan tanda. Pemberian tanda ini terjadi, apabila, si laki-laki itu sudah menemukan gadis sebagai calon istrinya, dan si gadis itu sudah menyetujui si laki-laki itu menjadi calon suaminya. Kedua belah pihak yaitu laki-laki maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak laki-laki biasanya menyerahkan uang kepada wanita itu sebagai tanda, sedang dari pihak anak wanita menyerahkan kain sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada si laki-laki.

Setelah pemberian tanda dilakukan maka si laki-laki dan si wanita itu sudah mempunyai ikatan, dan si laki-laki ini akan memberitahukan hal ini kepada orangtuanya. Kemudian orang tua si laki-laki menyuruh perantara yang disebut

domu-domu untuk memberitahukan kepada ayah si wanita bahwa anak laki-laki mereka yelah mengikat janji dengan puteri yang empunya rumah. Apabila ayah si gadis menyetujui, maka dia memberitahukan kepada perantara tersebut, untuk diteruskan kepada orang tua si laki-laki.

C. Patuahon Hata

Tahap pertama yang termasuk urusan adat adalah patuahon hata; arti harafiahnya ”mematangkan pembicaraan”. Yaitu meningkatkan hubungan diantara si pemuda dan sipemudi menjadi urusan serius diantara orang tua masing-masing. Tukar cincin sebagi pengganti adat masilehon tanda burju, kalaupun diadakan, tidak lagi dianggap urusan adat sekarang, baik di Bona Pasogit maupun di


(49)

perantauan. Seorang pemuda tidak boleh langsung mengajukan lamaran kepada orang tua kekasihnya, ia hanya boleh melamar wanita itu sendiri. Kalau mereka berdua telah sepakat membentuk rumah tangga dan orang tua masing-masing juga telah merestuinya, maka pada hari yang ditentukan berangkatlah suatu perutusan dari pihak orang tua sipemuda ke rumah orang tua sipemudi. Perutusan ini terdiri dari beberapa kerabat dekat pihak pemuda, biasanya lebih banyakboru daripada dongan sabutuha. Orang tua si pemuda serta saudara-saudaranya lelaki yang masih kandung tidak ikut serta.

Pada jam yang telah ditentukan telah menanti orang tua si pemudi, disertai saudara-saudaranya yang leleki dan perempuan. Setelah mengobrol sebentar maka salah seorang saudara lelaki tuan rumah itu bertanya dalam bahasa daerah apa tujuan kedatangan mereka. Yang menjawabnya ialah salah seorang boru dari perutusan tersebut. Ringkasan isinya kira-kira sebagai berikut, “ada ipar saya sudah berapa lama martandang ke daerah lingkungan ini, dan ia terpikat oleh seorang gadis. Setelah kami selidiki ternyata sang wanita adalah penghuni rumah ini. Kami ingin mengetahui lamarannya berterima atau tidak. “Diantara salah satu saudara tuan rumah untuk menjawab, “Untuk mengetahuinya mari saya suruh salah seorang wanita dari pihak boru bertanya kepada yang berasangkutan, yang sekarang sedang berada di kamar tidur.” Selang beberapa menit kembali yang diiuruh tadi memberitahukan kepada para hadirin, bahwayang dinyatakan tadi adalah benar adanya. Sesudah itu kadang-kadang pembicaraaan selanjutnya meningkat ke perencanaan mengenai tanggal marhata sinamot, martumpol, dan pesta perkawinan.


(50)

Boru dari pihak orang tua pemuda dan pihak orang tua sipemudi biasanya menjadi semcam domu-domu mengenai besarnya mahar serta hal-hal lain sehubungan dengan perencanaan menuju ke pesta perkawinan. Mengenai upacara marhata sinamot adalah wewenang dari desa di bona pasogit. 12

Arti harafiah marhusip adalah berbisik-bisik. Adat marhusip dilaksanakan setelah patua hata. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, tugas tersebut pada mulanya diperankan oleh kelompok boru dari kedua belahpihak. Mereka dapat bertemju dimana saja secara informal. Mereka akan membicarakan-negosiasi – segala sesuatu berdasarkan mandate yang diterima dari hula-hulanya. Mereka tidak akan menyimpang dari pesan yang diterima sehingga mereka dijuluki sebagai suruhan haposan (pesuruh terpercaya). Segala sesuatu akan dirundingkan seperti tempat pesta diselenggarakan. Pilihan akan tempat pesta akan menimbulkan dampak tersendiri. Apabila pesta ditempat oroan, semua perlakuan adat yang sudah dibakukan akan dilaksanakan berurutan sebagaimana mestinya. Jika pesta diselenggarakan ditempat pihak pangoli, maka hak dan kewajiban akan berubah. Pihak pangoli tidak diharuskan marsibuha-buhai (sajian pagi berupa makanan tradisional – babi – sebagai petanda pembukaan atau permulaan kekerabatan – partondongan – mereka ). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan D. Marhusip – Perundingan diam-diam

12

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007), h 141


(51)

dengke siuk (ikan arsik-pepes) sebagai bawaan kerabat pihak oroan akan beralih hak kepada pihak pangoli sebagai bolahan ama atau tuan rumah .

Selanjutnya mereka akan membicarakan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan pihak pangoli. Panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong yang kini ditetapkan oleh pihak oroan. Dahulu, ternak panjuhuti

disediakan oleh pihak pangoli dan merupakan bagian dari sinamot.

Kemudian paulak une, yang dilaksanakan satu dua minggu kemudian oleh keluarga pengantin laki-laki. Bawaan berupa makanan tradisional (babi) dan lampet atau tepung beras. Mayoritas anggota rombongan terdiri dari orang tua laki-laki, kerabat dekat dan boru. Menjelang kampung sang istri, orang-orang yang berpapasan dengan mereka berhak meminta lampet dan harus diberikan. Sewaktu rombongan pangoli pulang, mereka dilengkapi dengan bawaan suguhan berupa ikan (dengke).

Belakangan ini, praktek pataru boru dan paulak une sudah dilangsungkan secara simultan di tempat pesta dilangsungkan dengan tetap mengindahkan persyaratan yang telah dibakukan.pelaksanaan simultan tersebut dinamai ulaon sadari (semua adat pernikahan diselesaikan pada hari itu juga) yang tidak dijumpai dalam terminology adat. Yang tempat adalah mangihut di ampang.

Paulak une seperti dahulu sudah jarang diselenggarakan belakangan ini mengingat waktu yang tidak memungkinkan.

Jika dikaji lebih mendalam, tingkir tangga dan paulak une merupakan kesempatan baik bagi yang berbesanan untuk saling mengenal lebih jauh satu sama lain, termasuk antar anak-anak mereka. Sifatnya ekslusif. Kedua pihak


(52)

menunjukkan keakraban dan kerukunan yang mempunyai pengaruh positif terhadap keluarga baru. Pelaksanaan tingkir tangga dan paulak une di gedung pesta menunjukkan penyerobotan hak eksklusif menjadi hak inklusif. Raja-raja adat Jakarta sudah lupa makna indah dari amsal yang berbunyi : “molo ripe-ripe ndang jadi pamunjungan, molo pamunjungan ndang jadi ripe ripe”. Artinya, milik bersama tidak boleh dijadikan menjadi milik bersama tidak boleh dijadikan menjadi milik pribadi dan milik pribadi tidak boleh dijadikan milik bersama.

Tingkir tangga dan Paulak Une bersifat eksklusif.13

Pada acara marhusip ini yang masing-masing pihak masih diwakili oleh perantara, yang dilakukan acara diam-diam, pihak laki-laki menanyakan pada pihak si wanita, berapa kira-kira jumlah uang sinamot, yang harus disediakan oleh pihak keluarga si laki-laki, dan juga memberitahukan kepada pihak si wanita kira-kira kemampuan pihak si laki-laki.

Hal ini dilakukan agar kedua belah pihak mengerti bagaimana keadaan masing-masing pihak. Marhusip ini dilakukan di rumah si wanita , dan dalam hal ini orang tua kedua belah pihak belum ikut campur. Dalam waktu marhusip ini lah juga ditentukan kapan orang tua si laki-laki datang ke rumah orang tua si wanita untuk membicarakan keinginan orang tua si laki-laki itu kepada orang tua si wanita secara resmi.

13

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007), h 143


(53)

E. Marhata Sinamot - Merundingkan mas kawin (uang mahar)

Marhata sinamot adalah peristiwa adat untuk merundingkan Sinamot atau

uang mahar atau maas kawin. Setelah patua hata dan marhusip dilaksanakan maka tahap berikutnya adalah Marhata Sinamot. Rombongan Pangoli yang terdiri dari Orang tua Pangoli dan kawan semarga. Boru dan Tulang Pangoli, jika diperlukan mendatangi rumah pihak Oroan yang disambut dengan komposisi yang sama, termasuk Tulang Oroan yang kehadirannya wajib.

Inilah representasi yang baku dan memenuhi persyaratan Marhata Sinamot. Kecenderungan mengikutsertakan aras Hula-hula lain diluar Tulang,

bukan lah keharusan adat. Mereka bukan parjambar na gok atau perjambar di jabu (fungsionaris penerima berkat utama atau penerima berkat di rumah), melainkan diserahkan di halaman (pesta pernikahan) sama dengan undangan lainnya.

Marhata sinamot merupakan tahap penentu dalam pernikahan. Disinilah pihak Pangoli dan pihak Oroan menjalin kesepakatan tentang tata cara pernikahan yang akan dilaksanakan serta wujud dari hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena simpul-simpul kesepakatan telah dirumuskan ketika marhusip, maka proses marhata sinamot akan berjalan mulus karena perbedaan-perbedaan antara pihak-pihak telah diselesaikan terlebih dahulu oleh Boru yang bertugas sebagai medioator (domu-domu). Tidak salah mengatakan bahwa Marhata Sinamot

merupakan peresmian perjanjian dan kesepakatan di antara kedua belah pihak yang akan berbesanan. Seusai Marhata Sinamot, pihak Pangoli akan memberikan


(54)

pasituak na tonggi (uang pembeli tuak) kepada semua anggota rombongan pihak

Oroan.14

14

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat, 2007), h 145

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada waktu marhusip dibicarakan kapan keluarga si laki-laki secara resmi datang ke keluarga si wanita, untuk membicarakan keinginan dari anaknya, sekaligus membicarakan berapa jujur (

sinamot ) yang mereka harus serahkan.

Pada waktu yang telah ditetapkan rombongan pihak laki-laki datang kerumah orang tua si perempuan, dengan membawa makanan adat. Pada Masyarakat Batak Toba, pembicaraaan baru akan diadakan setelah makan bersama makanan yang dibawa oleh pihak si laki-laki. Setelah makan barulah diadakan acara Marhata Sinamot artinya membicarakan jumlah besarnya jujur yang harus diserahkan oleh pihak si laki-laki, biasanya dalam pembicaraan ini, terjadi tawar menawar yang gesit, yang nantinya jatuh pada jumlah yang telah ditetapkan pada waktu marhusip. Walaupun tidak persis sama, tetapi tidak seberapa jauh bedanya.

Sinamot pada masyarakat Batak Toba biasanya terdiri dari uang dan hewan. Sinamot yang terdiri dari uang biassanya diserahkan pada orang tua si wanita pada saat marhata sinamot. Oleh karena itu untuk pihak orang tua si wanita disebut manjalo sinamot (menerima sinamot). Sedangkan sinamot yang terdiri dari hewan diserahkan kemudian.

Pada waktu Marhata Sinamot inilah dibicarakan semua hal-hal yang penting di dalam pelaksanaan perkawinan. Misalnya kapan pelaksanaan perkawinannya dan bagaiman bentuknya.


(55)

Marhata Sinamot juga adalah saat perkenalan resmi antara orang tua si laki-laki dengan orang tua si wanita.

F. Maningkir Lobu

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa Sinamot itu disamping uang ada juga hewan. Oleh karena itu pada saat yang ditentukan keluarga si wanita yang biasanya diwakili oleh adik atau kakak dari ayah si gadis, datang maningkir ( melihat ) lobu ( Hewan Piaraan ) yang telah dijanjikan, ketempat keluarga si laki-laki.

Kemudian setelah acara makan bersama, perutusan keluarga si wanita itu akan membawa hewan itu ke tempat keluarga si wanita. Hewan yang biasanya digunakan sebagai Sinamot adalah kerbau dan lembu.

G. Martonggo Raja

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba, bukanlah hanya urusan ayah dan ibu si laki-laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orang tua si laki-laki akan mengumpulkan semua keluarganya terutama yang menyangkut Dalihan Natolu, untuk berkumpul di rumah orang tua si laki-laki, dan membicarakan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan


(56)

perkawinan. Jadi Martonggo Raja ini adalah merupakan suatu rapat untuk mengadakan pembagian tugas.15

2. Pada saat pelaksanaan Perkawinan

Yang dimaksudkan disini pengertian upacara perkawinan adalah sejak dipertemukannya calon pengantin pria dan calon pengantin wanita, menurut hukum adat dan sejak adanya pemberitahuan calon mempelai kepada pegawai pencatat perkawinan sampai terlaksananya perkawinan menurut agamanya masing-masing.

Proses-proses yang dijumpai dalam hukum adat, sebelum sampai kepada upacara perkawinan, seperti yang telah dikemukakan adalahdimulai dari Martandang, Mangalehon Tanda, Marhusip, Marhata Sinamot, Maningkir Lobu, dan Martonggo Raja. Setelah selesai semua acara ini, maka pada waktu yang telah ditetapkan pihak keluarga laki-laki datang ke rumah orang tua si wanita dengan membawakan makanan adat. Makanan adat ini ditaruh di dalam bakul yang disebut Ampang, dan dibawa oleh seseorang boru yang disebut Boru Sihunti Ampang. Rombongan ini sudah ditunggu oleh keluarga si wanita di rumah orang tua si wanita tersebut. Setelah makan maka secara bersama-sama mereka mengantarkan kedua calon pengantin ini, untuk melakukan perkawinan secara agama. Perkawinan secara agama ini, bagi yang beragama Kristen diberkati di

15

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang Perkawianan (UU. No 1/1974) (Bandung : Tarsito., 1980),h.63


(1)

ABSTRAKSI

Peranan Dalihan Natolu dalam hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi orang Batak. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Natolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial kemasyarakatan.

Dalam suatu perkawinan yang sah, Dalihan Natolu telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan isteri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak penganten, maupun dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak.

Perkawinan orang Batak yang hanya diabsahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Natolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga demikian maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Hal tersebut diteliti penulis dengan Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research Method), yaitu cara pengumpulan data berdasarkan kepustakaan, dimana sebagian bahan diambil dari buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian yang telah dipilih terlebih dahulu dan sifatnya lebih teoritis.

Adapun penyelesaian permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat Batak Toba misalnya tentang perceraian, dan pembagian harta warisan juga tidak akan dapat berjalan apabila lembaga Dalihan Natolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Natolu dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut.

Dalihan Natolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Peranan Dalihan Natolu dalam perkawinan adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Adat budaya Batak Dalihan Natolu dapat digunakan sebagai sarana dalam mempertahankan integrasi dan identitas bangsa, terutama di kalangan suku-suku yang ada di daerah secara luas. Karena itu diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak dalam memberi pengenalan dan pengamalan adat budaya daerah sebagai khasanah budaya nasional pembinaan adat budaya daerah/lokal dalam situasi bangsa menghadapi tantangan globalisasi menjadi penting guna menumbuhkan dan menguatkan kembali kehidupan dalam berbangsa/bernegara.


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan study di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul yang penulis kemukakan adalah “Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi penulisan skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof.Dr.Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM, Bapak M.Husni, SH. M.Hum yang


(3)

masing-masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pemabantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello. SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Perdata.

4. Ibu Rosnidar Sembiring.SH.M.Hum selaku dosen pembimbing II dalam penulisan Skripsi ini.

5. Bapak Kelelung Bukit, SH. M.Hum, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa judul skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Bapak Armansyah, SH.,M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

7. Bapak / Ibu Dosen dan seluruh staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Untuk Ibuku yang tercinta, L. Napitupulu, dan Ayahku E. Panjaitanyang telah mengasuh dan membimbing serta memberikan segenap doa dan daya upaya serta semangat kepada penulis hingga saat ini. Terimakasih banyak untuk segalanya ibu dan ayah, semoga kelak aku dapat memberikan yang terbaik untukmu.

9. Untuk my sweet sister, Felicya, Tasya dan Sadela serta ibanku yang masih kecil, Artika yang selalu menanyakan perkembangan skripsiku dari awal hingga selesai, terimakasih untuk semua semangat dan doa kalian semua. 10.Untuk Tulang Bornok dan Banu, terimakasih buat doa dan dukungannya..


(4)

11.Untuk yang selalu setia dalam segala perhatian dan motivasi yang tiada henti-hentinya, yang menjadi inspirasi buatku, seseorang disana. Tetaplah seperti itu, semoga Tuhan menyertai kita.

12.Untuk teman seperjuangan, Ronald, terimakasih untuk semuanya. Terimakasih untuk Kristina Naibaho atas perhatiannya dan teman-teman stambuk `06 Christofel Sinaga, Masber Sagala, Nico Sitanggang, Eben, John,Frans dan Elim serta semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

13. Serta untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bias penulis sebutkan satu per satu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum Perdata di bidang Perkawinan, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Medan, September 2010


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 5

C.Keaslian Penulisan ... 5

D.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G.Sistematika Penulisan ... 9

BAB III PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA ... 11

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Dalihan Natolu ... 11

B. Peranan Dalihan Natolu dalam Upacara Perkawinan Adat Batak ... 25


(6)

D. Ketentuan umum tentang sikap dan perilaku ... 47

BAB III PERANAN DALIHAN NATOLU SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA ... 58

A. Permasalahan Yang Sering Timbul dalam Perkawinan Adat Batak Toba ... 58

B. Dalihan Natolu Sebagai Mediator Bagi Penyelesaian Permasalahan Dalam Perkawinan Adat Batak ... 69

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. KESIMPULAN ... 80