Pidana dan Pemidanaan Perbandingan Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial dan Media

sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu harus berdasarkansuatu ketentuan undang- undang. 2 Sifat melawan hukum materiil, yang berarti suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat dalam undang-undang saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum. Sedangkan orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana apabila terdapat kesalahan yang meliputi mampu bertanggungjawab serta adanya kesengajaan dolus atau kealpaan culpa. Disamping perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum, maka untuk penjatuhan pidana yang menitikberatkan pada perbuatan masih disyaratkan bahwa tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan 20 sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dalam hal pemidanaan, ilmu pengetahuan hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya suatu perbuatan dan dapat dipidanya si pembuat. Hal ini sesuai dengan syarat pemidanaan, seperti digambarkan oleh Soedartosebagai berikut: 1 Memenuhi rumusan undang-undang 2 Bersifat melawan hukum tidak ada alasan pembenar 3 Kesalahan a Mampu bertanggungjawab b Dolus atau Culpa tidak ada alasan pemaaf. Untuk dapat dipidananya seseorang selain perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, maka pada diri orang itu harus ada kesalahan. Menurut Soedarto, kesalahan mempunyai tiga arti, yaitu: 1 Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya verwijtbaarheid si pembuat atas perbuatannya. 2 Kesalahan dalam arti bentuk, arti kesalahan schuldnorm yang berupa: 1. Kesengajaan dolus,opzet,vorsal, atau intention atau 2. Kealpaan culpa, onachrzaamheidnatatigheid, fahrlassigheid atau negligence. Ini pengertian kesalahan yuridis. 3 Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan culpa seperti yang disebutkan dalam b.2 diatas.Pemakaian istilah Syarat Pemidanaan Pidana Perbuatan Orang Pidana “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”. Apabila ketiga unsur itu ada maka orang yang bersangkutan bisadinyatakan bersalah atau mempunyai kemampuan bertanggungjawab sehingga bias dipidana. Kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat. Ketentuan tentang arti bertanggungjawab dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya gebrekkige ont wikkelink atau terganggu karena penyakit ziekelijke storing, tidak dipidana. Menurut KUHP terdapat dua jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut; 1 Pidana Pokok meliputi: a Pidana mati; b Pidana penjara; c Pidana kurungan; d Pidana denda. 2 Pidana Tambahan meliputi: a Pencabutan beberapa hak-hak tertentu b Perampasan barang-barang tertentu; c Pengumuman putusan hakim. Dari uraian diatas jelas bahwa ada dua jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana sebagaimana disusun seperti tersebut diatas adalah berdasarkan berat ringannya pidana, dan berkaitan erat dengan masalah pemidanaan dan penjatuhan pidana yang diputuskan oleh hakim dalam setiap persidangan. b. Tujuan Pemidanaan Dewasa ini masalah pidana dan pemidanaan, baik dalam bentuk teori-teori pembenaran pidana maupun dalam bentuk kebijakan dipandang sangat penting, sebab dari sini akan tercermin sistem nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi suatu bangsa terhadap hak- hak asasi manusia. Menurut Soedarto, masalah pemidaan ini mempunyai dua arti, sebagai berikut: 1 Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang, ialah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana pemidanaan in abstrakto. 2 Dalam arti konkrit menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.

B. Pengertian Tindak pidana dan Jenis-Jenis Tindak pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orangsubjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan Perundang-undangan. Istilah pidana merupakan istilah teknis-yuridis yang berasal dari terjemahan delict atau strafbaarfeit. Disamping itu dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut diterjemahkan dengan berbagai istilah, seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang boleh dihukum. Di antara keenam istilah sebagai terjemahan delict atau strafbaarfeit wantjik. Saleh menyatakan bahwa istilah yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan adalah anta ra dua istilah yaitu “tindak pidana” atau “perbuatan pidana”. 51 Sedangkan Moeljatno lebih cenderung menggunakan istilah “perbuatan pidana” yang selanjutnya mendefinisikan perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 52 Berdasarkan pengertian tersebut, beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnya tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 53 51 Wantjik Saleh. Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 9 52 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 1. 53 PAF Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1987, hlm. 174

2. Jenis-Jenis Tindak pidana

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan Perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan Perundang- undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. 54 Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang Undang Bea Cukai, Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, Kejaksaan, dan Pejabat Penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang- Undang Hak Cipta, Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya. Menurut Roscoe Pound dalam Lili Rasjidi menyatakan bahwa konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial law as a tool of social engineering. 55 54 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 152-153. 55 Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Bhratara. Lili Rasjidi, Jakarta 1992, Dasar-Dasar Filsafat Hukum,Alumni, Bandung, 1978. hlm. 43. Roscoe Pound menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. 56 Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan Perundang- undangan itu. Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. 57 Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan 56 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1978. hlm. 11. 57 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983. hlm. 24.