ANTARA UMAT DAN PEMIMPINNYA
KAJIAN SENIN SIANG BA’DA ZHUHUR
TAFSIR AL-QURAN
MASJID KHA DAHLAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Tafsir QS al-Isrâ`/17: 71-72
Antara Umat dan Pemimpinnya
Nash (Teks) Ayat al-Quran
َ ُ َ ْ َ َ َٰ َُ
َُ ُّ ُ ْ َ َ َْ
َُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ
َ
َون
َ مَيلرء
َ ِوتَ ِكتاب ََّ ِبي ٍِي ِِ ََِّفأول َـئ
َ ِ ََأ
َ ٍَُأناسََبِ ِإما ِم ِٓ ًَ ف
َ َٔئ َمَندع
ً َ َ َُ ُْ ََ ْ َُ َ
َ َٰ ْ َ َٰ
َ َ ََ
ُ
َ
َف
َ ِ َ َٔ ٓم َف
َ ف َه َـ ِذهَِ َأع
َ ِ َن
َ ََ َ﴾ َوم١٧﴿َ يل
َ ٔن َف ِت
َ ٍل َيظي
َ ِكتابٓ ًَ َو
ً َ ّ َ ََ َ ْ َ َ ْ
﴾١٧﴿َيل
َ لَس ِب
َ مَوأض
َٰ اْ ِخر َِةَأع
"(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya
sedikit pun. Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS
al-Isrâ`/17: 71-72)
Tafsir al-Mufradât
: Pemimpin mereka. Kata Imâm terambil dari kata amma, yang berarti
meneladani. Imâm adalah (orang atau sosok pribadi) yang diteladani.
: Sedikit pun. Kata ini pada mulanya serat yang terlihat pada biji
kurma yang terbelah. Ada pula yang mengartikannya sebagai kotoran
yang terangkat dari jari tangan pada saat seseorang menggosokgosoknya. Kata ini bisa juga dalam pengertian sesuatu yang amat
sedikit dan tidak berarti.
Al-Îdhâh (Penjelasan)
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya”.
1
Pada hari Kiamat manusia akan dihadapkan kepada Allah Subhânahu wa
Ta'âlâ. Allah -- al-Hakîm -- akan meminta pertanggungjawaban dari setiap
mukallaf berkaitan dengan apa yang telah dikerjakan di dunia. Mereka dipanggil
bersama dengan imam mereka pada hari penghisaban amal para hamba.
As-Sa'di menjelaskan, berdasarkan ayat di atas setiap umat akan
dipanggil bersama dengan imam dan pemberi petunjuk mereka, yaitu para rasul
dan penerus-penerusnya. Kemudian setiap umat maju dengan dihadiri oleh rasul
yang pernah menyerunya. Amalan mereka kemudian dicocokkan dengan kitab
yang pernah diserukan oleh rasul, apakah sesuai atau ( justeru) bertentangan?1
Penafsiran di atas merujuk ke sejumlah keterangan dari beberapa ulama
tafsir dari kalangan generasi salaf al-ummah telah dikutip para penulis kitab-kitab
tafsir. Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Mujâhid,
bahwa makna "imâm" ialah nabi mereka.2 Dengan redaksi lain Qatadah
mengartikannya dengan para nabi mereka. Sehingga pengertiannya, para umat
akan datang menghadap Allah Subhânahu wa Ta'âlâ bersama para nabi mereka.
Pendapat ini – seperti yang dipaparkan oleh asy-Syinqîthi3 - sesuai
dengan oleh firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)." (QS an-Nisâ`/4: 41).
Pendapat lain berkaitan dengan pengertian kata "imâm", yaitu
diriwayatkan oleh Âdam bin Abi Iyâs dan ath-Thabari dengan sanad yang shahîh
dari Mujâhid, menyebutnya "kitab mereka". Sedangkan 'Abd ar-Razzâq
meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Ma'mar dari al-Hasan, mengatakan,
maknanya "kitab mereka yang memuat amalan-amalan mereka".4
‘Abdullah ibnu 'Abbas radhiyallâhu 'anhu sendiri mengatakan, bahwa
1
Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa'di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm alMannân (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif, cet.1, 1420 H.), hal, 493.
2
dari Ath-Thabari, Tafsîr at-Thabari (Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qurân), juz III
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Thn. 1412 H.), hal. 273.
3
Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr ibn ‘Abd al-Qâdir al-Jankiy
asy-Syinqithiy, Adhwâ` al-Bayân Fî Îdhâh al-Qurân bi al-Qurân, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr,
1415 H./1995 M.), hal. 560-561
4
Ath-Thabari, Tafsîr at-Thabari …, juz III, hal. 274.
2
yang dimaksud "al-imâm", yaitu amalan yang dikerjakan dan didiktekan untuk
kemudian dituliskan. Maka, barang siapa dibangkitkan dalam keadaan bertakwa
kepada Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, maka Dia akan meletakkan kitabnya di tangan
kanannya. Ia akan membaca dan bersuka-cita, tidak teraniaya sedikit pun.5
Keterangan-keterangan ini juga dikuatkan oleh beberapa ayat dalam AlQur`an, sebagaimana telah dinyatakan oleh asy-Syinqithi dalam Adhwâ` alBayân.6
Adapun yang râjih (kuat), menurut Imam Ibnu Katsir ialah pendapat
yang terakhir. Beliau memberikan penafsiran ayat ini dengan ayat padanannya
pada surat lain.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
"Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Al-Lauh alMahfûzh)." (QS Yâsîn/36: 12).
ۚ
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai
celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula)
yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah
mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun".
(QS al-Kahfi/18: 49).
ۚ
ۚ
5
Ibid., juz XV, hal. 156-157
Asy-Syinqithi, Adhwâ` al-Bayân …, juz III, hal. 560
6
3
"Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil
untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan
terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan)
Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah
menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (QS al-Jâtsiyah/45: 28-29).
Selain itu, menurut Imam Ibnu Katsir, ayat di atas (kata imâm)
sebenarnya telah mengarahkan kepada pengertian kitab amalan. Pasalnya, dalam
ayat tersebut diceritakan bahwasanya orang-orang yang menerima kitab dengan
tangan kanan, mereka lantas membacanya, tidak ada rasa khawatir maupun takut
terhadap isi yang tertulis pada kitab mereka. Jadi, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ
berfirman: (Mereka) membacanya -seperti diungkapkan Imam Ibnu Katsir
rahimahullah - lantaran perasaan suka cita dengan catatan dalam kitabnya, yaitu
berupa amal shalih. Seperti disebutkan dalam firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya,
maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)". Sesungguhnya aku yakin,
bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu
berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, buah-buahannya
dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap
disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu".
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia
berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).
Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku." (QS al-Hâqqah/69:1926).7
Al-Hâfizh Abû a-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyi, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, juz V, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Cet. I (Kairo: Dâr Thaibah,
1422 H./ 2002 M.), hal. 99. Lihat: Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd alBaghawi, Ma’â'lim at-Tanzîl, juz V, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad 'Abdullah an-Namr,
'Utsmân Jum'ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy (Kairo: Dâr Thaibah,
7
4
Penafsiran ini tidak bertentangan dengan penafsiran ulama yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah nabi akan didatangkan ketika Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ menjatuhkan keputusan bagi umatnya. Nabi tersebut mesti
akan menjadi saksi atas amal perbuatan umatnya. Seperti kandungan firman Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan)
Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan
didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka
dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." (QS az-Zumar/39: 69).
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)". (QS an-Nisâ`/4: 41).8
Setelah itu, terbagilah manusia menjadi dua kelompok.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
"[Dan barang siapa yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya]", karena
sebelumnya mereka mengikuti imamnya yang menunjukkan kepada mereka jalan
yang lurus. Dan imam ini mengambil petunjuk dari Kitâbullâh. Oleh karena itu,
kebaikannya menjadi banyak dan keburukannya pun menyusut.9
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
1411 H.), hal. 109.
8
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ânil-'Azhîm, juz V, hal. 99.
9
As-Sa’di, Taisîr …, hal. 494.
5
"[maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit
pun]"; bacaan yang menggembirakan, yakni mereka membacanya dengan riang
gembira dan tidak terzhalimi sedikit pun dari setiap kebaikan yang telah mereka
lakukan.”10
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
[Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)].
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ membalas orang-orang yang "membutakan"
diri terhadap ajaran-ajaran-Nya, dengan balasan yang sama. Ketika mereka tidak
mengacuhkan syariat dan petunjuk Allah At-Taisîr, 494., kondisi mereka di
akhirat kelak dibuat buta, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, dan dalam
seburuk-buruk keadaan. Begitulah, al-jazâ` min jins al-'amal (balasan itu serupa
dengan perbuatan sebelumnya).
Jadi, buta dalam ayat di atas ialah buta mata hatinya. Sebagaimana
dikatakan oleh asy-Syinqîthi11, yang dimaksud dengan buta di sini ialah buta hati,
bukan buta mata penglihatan. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhânahu
wa Ta'âlâ:
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang di dalam dada". ( QS al-Hajj/22: 46)
Masalahnya, seseorang mengalami buta mata inderanya, namun mata
hatinya maka hal ini tidak seberapa berdampak buruk. Meskipun buta pandangan
matanya, ia masih bisa mengingat-ingat sehingga setiap peringatan (pesan) akan
membekaskan manfaat baginya. karena mata hatinya masih berfungsi.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
10
Ibid.
Asy-Syinqithi, Adhwâ` al-Bayân …, juz III, hal.562
11
6
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya?" QS 'Abasa/80: 1-4).
Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, barang siapa di dunia ini buta
terhadap hujjah-hujjah Allah Subhânahu wa Ta'âlâ mengenai keesaan-Nya dalam
penciptaan dan pengaturan dunia serta pemeliharaan dunia seisinya, maka
tentang urusan akhirat yang belum pernah ia lihat dan saksikan dengan mata
kepala, dan hal-hal yang terjadi pada masa itu, niscaya ia akan lebih buta dan
tersesat jalan.12
Begitu juga barangsiapa ketika di dunia ini buta dari kebenaran, maka ia
tidak akan menerima dan tidak tunduk kepadanya; tetapi sebaliknya ia justru akan
mengikuti kesesatan. Maka di akhirat nanti, niscaya ia akan lebih buta pula, tidak
mengetahui jalan menuju surga sebagaimana tatkala di dunia ia tidak
menapakinya. Dia lebih tersesat dari jalan yang benar daripada di dunia. Semoga
Allah melindungi kita darinya13. Dia tidak bisa melihat jalan keselamatan, (hingga)
tak berdaya untuk melewatinya, sampai akhirnya akan terjerumus ke neraka
Jahannam.14
As-Sa'di menyimpulkan, bahwasanya dalam ayat ini terdapat dalil jika
setiap umat akan diseru kepada agama dan kitabnya, apakah diamalkan ataukah
tidak? Mereka tidak akan dituntut dengan syariat nabi lain yang tidak
diperintahkan untuk mengikutinya. Dan Allah Subhânahu wa Ta'âlâ tidak akan
mengazab seseorang kecuali setelah tegak hujjah (argumen atau alasan) atasnya.
Dalam lanjutan keterangannya, beliau menambahkan, bagi orang-orang
yang suka berbuat kebaikan, kitab mereka akan diberikan dengan tangan
kanannya. Mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang sangat besar. Adapun
orang-orang yang suka berbuat kejelekan, akan mendapatkan kebalikannya.
Mereka tidak mampu membaca kitab mereka, disebabkan dahsyatnya kegelisahan
dan ketakutan yang mereka rasakan.15
Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari …, juz XV, hal. 159.
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, juz V, hal. 100.
14
Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Aisar at-Tafâsîr fi Kalâm al-‘Aliy al-Kabîr, juz I, Cet.
VI (Kairo: Maktabah ‘Ulûm wa al- Hikam, 1423 H./2003 M.), hal. 688.
15
As-Sa’di, Taisîr …, hal. 494.
12
13
7
Al-‘Ibrah (Pelajaran Yang Bisa Dipetik)
Dari kajian tafsir ini, kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga.
Antara lain:
1. Ayat ini menjelaskan bahwa penetapan datangnya hari akhir merupakan hak
mutlak Allah semata-mata.
2. Keadilan Allah di akhirat dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap
hamba-Nya, tanpa ada unsur kezaliman sedikit pun.
3. Kebutaan terhadap kebenaran dan bukti-buktinya di dunia berimplikasi
(berakibat) pada kebutaaan di akhirat dan menjadi faktor yang bisa
menjerumus manusia ke dalam neraka Jahannam.
4. Mengikuti pemahaman para ulama yang shalih merupakan jalan yang paling
selamat, karena mereka selalu berpendapat dengan penuh hikmah dan
berdasarkan ilmu yang matang.
Yogyakarta, 8 Juni 2015
8
TAFSIR AL-QURAN
MASJID KHA DAHLAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Tafsir QS al-Isrâ`/17: 71-72
Antara Umat dan Pemimpinnya
Nash (Teks) Ayat al-Quran
َ ُ َ ْ َ َ َٰ َُ
َُ ُّ ُ ْ َ َ َْ
َُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ
َ
َون
َ مَيلرء
َ ِوتَ ِكتاب ََّ ِبي ٍِي ِِ ََِّفأول َـئ
َ ِ ََأ
َ ٍَُأناسََبِ ِإما ِم ِٓ ًَ ف
َ َٔئ َمَندع
ً َ َ َُ ُْ ََ ْ َُ َ
َ َٰ ْ َ َٰ
َ َ ََ
ُ
َ
َف
َ ِ َ َٔ ٓم َف
َ ف َه َـ ِذهَِ َأع
َ ِ َن
َ ََ َ﴾ َوم١٧﴿َ يل
َ ٔن َف ِت
َ ٍل َيظي
َ ِكتابٓ ًَ َو
ً َ ّ َ ََ َ ْ َ َ ْ
﴾١٧﴿َيل
َ لَس ِب
َ مَوأض
َٰ اْ ِخر َِةَأع
"(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya
sedikit pun. Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS
al-Isrâ`/17: 71-72)
Tafsir al-Mufradât
: Pemimpin mereka. Kata Imâm terambil dari kata amma, yang berarti
meneladani. Imâm adalah (orang atau sosok pribadi) yang diteladani.
: Sedikit pun. Kata ini pada mulanya serat yang terlihat pada biji
kurma yang terbelah. Ada pula yang mengartikannya sebagai kotoran
yang terangkat dari jari tangan pada saat seseorang menggosokgosoknya. Kata ini bisa juga dalam pengertian sesuatu yang amat
sedikit dan tidak berarti.
Al-Îdhâh (Penjelasan)
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya”.
1
Pada hari Kiamat manusia akan dihadapkan kepada Allah Subhânahu wa
Ta'âlâ. Allah -- al-Hakîm -- akan meminta pertanggungjawaban dari setiap
mukallaf berkaitan dengan apa yang telah dikerjakan di dunia. Mereka dipanggil
bersama dengan imam mereka pada hari penghisaban amal para hamba.
As-Sa'di menjelaskan, berdasarkan ayat di atas setiap umat akan
dipanggil bersama dengan imam dan pemberi petunjuk mereka, yaitu para rasul
dan penerus-penerusnya. Kemudian setiap umat maju dengan dihadiri oleh rasul
yang pernah menyerunya. Amalan mereka kemudian dicocokkan dengan kitab
yang pernah diserukan oleh rasul, apakah sesuai atau ( justeru) bertentangan?1
Penafsiran di atas merujuk ke sejumlah keterangan dari beberapa ulama
tafsir dari kalangan generasi salaf al-ummah telah dikutip para penulis kitab-kitab
tafsir. Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Mujâhid,
bahwa makna "imâm" ialah nabi mereka.2 Dengan redaksi lain Qatadah
mengartikannya dengan para nabi mereka. Sehingga pengertiannya, para umat
akan datang menghadap Allah Subhânahu wa Ta'âlâ bersama para nabi mereka.
Pendapat ini – seperti yang dipaparkan oleh asy-Syinqîthi3 - sesuai
dengan oleh firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)." (QS an-Nisâ`/4: 41).
Pendapat lain berkaitan dengan pengertian kata "imâm", yaitu
diriwayatkan oleh Âdam bin Abi Iyâs dan ath-Thabari dengan sanad yang shahîh
dari Mujâhid, menyebutnya "kitab mereka". Sedangkan 'Abd ar-Razzâq
meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Ma'mar dari al-Hasan, mengatakan,
maknanya "kitab mereka yang memuat amalan-amalan mereka".4
‘Abdullah ibnu 'Abbas radhiyallâhu 'anhu sendiri mengatakan, bahwa
1
Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa'di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm alMannân (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif, cet.1, 1420 H.), hal, 493.
2
dari Ath-Thabari, Tafsîr at-Thabari (Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qurân), juz III
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Thn. 1412 H.), hal. 273.
3
Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr ibn ‘Abd al-Qâdir al-Jankiy
asy-Syinqithiy, Adhwâ` al-Bayân Fî Îdhâh al-Qurân bi al-Qurân, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr,
1415 H./1995 M.), hal. 560-561
4
Ath-Thabari, Tafsîr at-Thabari …, juz III, hal. 274.
2
yang dimaksud "al-imâm", yaitu amalan yang dikerjakan dan didiktekan untuk
kemudian dituliskan. Maka, barang siapa dibangkitkan dalam keadaan bertakwa
kepada Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, maka Dia akan meletakkan kitabnya di tangan
kanannya. Ia akan membaca dan bersuka-cita, tidak teraniaya sedikit pun.5
Keterangan-keterangan ini juga dikuatkan oleh beberapa ayat dalam AlQur`an, sebagaimana telah dinyatakan oleh asy-Syinqithi dalam Adhwâ` alBayân.6
Adapun yang râjih (kuat), menurut Imam Ibnu Katsir ialah pendapat
yang terakhir. Beliau memberikan penafsiran ayat ini dengan ayat padanannya
pada surat lain.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
"Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Al-Lauh alMahfûzh)." (QS Yâsîn/36: 12).
ۚ
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai
celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula)
yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah
mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun".
(QS al-Kahfi/18: 49).
ۚ
ۚ
5
Ibid., juz XV, hal. 156-157
Asy-Syinqithi, Adhwâ` al-Bayân …, juz III, hal. 560
6
3
"Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil
untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan
terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan)
Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah
menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (QS al-Jâtsiyah/45: 28-29).
Selain itu, menurut Imam Ibnu Katsir, ayat di atas (kata imâm)
sebenarnya telah mengarahkan kepada pengertian kitab amalan. Pasalnya, dalam
ayat tersebut diceritakan bahwasanya orang-orang yang menerima kitab dengan
tangan kanan, mereka lantas membacanya, tidak ada rasa khawatir maupun takut
terhadap isi yang tertulis pada kitab mereka. Jadi, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ
berfirman: (Mereka) membacanya -seperti diungkapkan Imam Ibnu Katsir
rahimahullah - lantaran perasaan suka cita dengan catatan dalam kitabnya, yaitu
berupa amal shalih. Seperti disebutkan dalam firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya,
maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)". Sesungguhnya aku yakin,
bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu
berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, buah-buahannya
dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap
disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu".
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia
berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).
Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku." (QS al-Hâqqah/69:1926).7
Al-Hâfizh Abû a-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyi, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, juz V, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Cet. I (Kairo: Dâr Thaibah,
1422 H./ 2002 M.), hal. 99. Lihat: Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd alBaghawi, Ma’â'lim at-Tanzîl, juz V, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad 'Abdullah an-Namr,
'Utsmân Jum'ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy (Kairo: Dâr Thaibah,
7
4
Penafsiran ini tidak bertentangan dengan penafsiran ulama yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah nabi akan didatangkan ketika Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ menjatuhkan keputusan bagi umatnya. Nabi tersebut mesti
akan menjadi saksi atas amal perbuatan umatnya. Seperti kandungan firman Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ:
"Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan)
Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan
didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka
dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." (QS az-Zumar/39: 69).
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)". (QS an-Nisâ`/4: 41).8
Setelah itu, terbagilah manusia menjadi dua kelompok.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
"[Dan barang siapa yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya]", karena
sebelumnya mereka mengikuti imamnya yang menunjukkan kepada mereka jalan
yang lurus. Dan imam ini mengambil petunjuk dari Kitâbullâh. Oleh karena itu,
kebaikannya menjadi banyak dan keburukannya pun menyusut.9
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
1411 H.), hal. 109.
8
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ânil-'Azhîm, juz V, hal. 99.
9
As-Sa’di, Taisîr …, hal. 494.
5
"[maka mereka ini akan membaca kitabnya itu dan mereka tidak dianiaya sedikit
pun]"; bacaan yang menggembirakan, yakni mereka membacanya dengan riang
gembira dan tidak terzhalimi sedikit pun dari setiap kebaikan yang telah mereka
lakukan.”10
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
[Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)].
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ membalas orang-orang yang "membutakan"
diri terhadap ajaran-ajaran-Nya, dengan balasan yang sama. Ketika mereka tidak
mengacuhkan syariat dan petunjuk Allah At-Taisîr, 494., kondisi mereka di
akhirat kelak dibuat buta, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, dan dalam
seburuk-buruk keadaan. Begitulah, al-jazâ` min jins al-'amal (balasan itu serupa
dengan perbuatan sebelumnya).
Jadi, buta dalam ayat di atas ialah buta mata hatinya. Sebagaimana
dikatakan oleh asy-Syinqîthi11, yang dimaksud dengan buta di sini ialah buta hati,
bukan buta mata penglihatan. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhânahu
wa Ta'âlâ:
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang di dalam dada". ( QS al-Hajj/22: 46)
Masalahnya, seseorang mengalami buta mata inderanya, namun mata
hatinya maka hal ini tidak seberapa berdampak buruk. Meskipun buta pandangan
matanya, ia masih bisa mengingat-ingat sehingga setiap peringatan (pesan) akan
membekaskan manfaat baginya. karena mata hatinya masih berfungsi.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
10
Ibid.
Asy-Syinqithi, Adhwâ` al-Bayân …, juz III, hal.562
11
6
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya?" QS 'Abasa/80: 1-4).
Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, barang siapa di dunia ini buta
terhadap hujjah-hujjah Allah Subhânahu wa Ta'âlâ mengenai keesaan-Nya dalam
penciptaan dan pengaturan dunia serta pemeliharaan dunia seisinya, maka
tentang urusan akhirat yang belum pernah ia lihat dan saksikan dengan mata
kepala, dan hal-hal yang terjadi pada masa itu, niscaya ia akan lebih buta dan
tersesat jalan.12
Begitu juga barangsiapa ketika di dunia ini buta dari kebenaran, maka ia
tidak akan menerima dan tidak tunduk kepadanya; tetapi sebaliknya ia justru akan
mengikuti kesesatan. Maka di akhirat nanti, niscaya ia akan lebih buta pula, tidak
mengetahui jalan menuju surga sebagaimana tatkala di dunia ia tidak
menapakinya. Dia lebih tersesat dari jalan yang benar daripada di dunia. Semoga
Allah melindungi kita darinya13. Dia tidak bisa melihat jalan keselamatan, (hingga)
tak berdaya untuk melewatinya, sampai akhirnya akan terjerumus ke neraka
Jahannam.14
As-Sa'di menyimpulkan, bahwasanya dalam ayat ini terdapat dalil jika
setiap umat akan diseru kepada agama dan kitabnya, apakah diamalkan ataukah
tidak? Mereka tidak akan dituntut dengan syariat nabi lain yang tidak
diperintahkan untuk mengikutinya. Dan Allah Subhânahu wa Ta'âlâ tidak akan
mengazab seseorang kecuali setelah tegak hujjah (argumen atau alasan) atasnya.
Dalam lanjutan keterangannya, beliau menambahkan, bagi orang-orang
yang suka berbuat kebaikan, kitab mereka akan diberikan dengan tangan
kanannya. Mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang sangat besar. Adapun
orang-orang yang suka berbuat kejelekan, akan mendapatkan kebalikannya.
Mereka tidak mampu membaca kitab mereka, disebabkan dahsyatnya kegelisahan
dan ketakutan yang mereka rasakan.15
Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari …, juz XV, hal. 159.
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, juz V, hal. 100.
14
Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Aisar at-Tafâsîr fi Kalâm al-‘Aliy al-Kabîr, juz I, Cet.
VI (Kairo: Maktabah ‘Ulûm wa al- Hikam, 1423 H./2003 M.), hal. 688.
15
As-Sa’di, Taisîr …, hal. 494.
12
13
7
Al-‘Ibrah (Pelajaran Yang Bisa Dipetik)
Dari kajian tafsir ini, kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga.
Antara lain:
1. Ayat ini menjelaskan bahwa penetapan datangnya hari akhir merupakan hak
mutlak Allah semata-mata.
2. Keadilan Allah di akhirat dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap
hamba-Nya, tanpa ada unsur kezaliman sedikit pun.
3. Kebutaan terhadap kebenaran dan bukti-buktinya di dunia berimplikasi
(berakibat) pada kebutaaan di akhirat dan menjadi faktor yang bisa
menjerumus manusia ke dalam neraka Jahannam.
4. Mengikuti pemahaman para ulama yang shalih merupakan jalan yang paling
selamat, karena mereka selalu berpendapat dengan penuh hikmah dan
berdasarkan ilmu yang matang.
Yogyakarta, 8 Juni 2015
8