Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Kerja Pada Keluarga Petani Ladang (Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD)

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBAGIAN KERJA
PADA KELUARGA PETANI LADANG
(Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong,
Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD)
Nurlian
Harmona Daulay
Abstract: This title of this research is “Equivalent Gender in Sharing of Work at
Agriculture Family” which related with issues sharing work of gender has been done by a
couple of husband-wife in domestic sector – public. For long time, the construction of
gender in community has bias which created concept sharing of work for gender is not
equal. And seem a social problem on relation of gender in family and role of gender is
limp in community. The sharing of work is based on stereotype, until issues bias of
gender is so important to appointed and dug the existence.This research is done at Cot
Rambong village, Kuala Sub-District, Nagan Raya District – NAD..The research has
been done at 8 (eight) of farmer family to get view that role of gender in sharing of work
based on sex is not be in farmer family. But the happened is role of gender equal in
sharing of work domestic – public by farmer family. The result from the research is there
some factors/influences until happened equal role of gender in farmer family. The factors
are based on the religion of Moslem (egaliter) and effecting from culture of Acehness and

also relation culture of gender in community of Java. Beside the factor, culture of
Acehness people also influence be happened equal role of gender in sharing work in
domestic – public at farmer family also be influenced by social value of gender from Java
which not bigger the influence to role of gender not limp at farmer family. From the
research has been done so there are 3 factors caused role of gender equal in sharing of
work domestic and public sector at farmer family in Cot Rambong village, Kuala SubDistrict, Nagan Raya District.
Keywords: agriculture family, patriarkhi, gender
PENDAHULUAN
Penelitian ini diawali oleh survei peneliti
pada keluarga petani ladang yang bertempat
tinggal di Desa Cot Rambong yang kebetulan
menjadi lokasi kerja peneliti pada sebuah NGO
Asing. Di Desa Cot Rambong ini, peneliti
melihat adanya pembagian gender yang seimbang
dalam sektor domestik-publik yang dilakukan
oleh keluarga petani ladang, sehingga peneliti
tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah
penelitian.
Hasil Survei awal difokuskan pada
masyarakat petani ladang di Desa Cot Rambong,

kemudian dilihat kembali keberadaannya dengan
isu-isu gender di wilayah Aceh secara umum.
Apabila ditelusuri, dapat diketahui bahwa isu-isu
gender dalam masyarakat Aceh masih sangat
kental dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkhi yang
diadopsi dari nilai-nilai ajaran agama Islam, yang
kemudian mempengaruhi adat-istiadat atau
budaya. Masyarakat Aceh secara keseluruhan

menganut agama Islam yang dikenal taat
beragama, bahkan fanatik. Hal itu terbentuk sejak
berabad-abad, sehingga semua itu tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan; baik dalam
perilaku, sistem sosial, sistem ekonomi, kesenian
tradisional dan lain-lain.
Masyarakat patriarkhi adalah masyarakat
yang mempunyai rujukan sistem yang
berdasarkan pada kesepakatan laki-laki, dimana
dalam masyarakat tersebut kondisi perempuan
sangat termarginalisasikan dan dipinggirkan

melalui kerja-kerja domestik. Peminggiran
perempuan dalam masyarakat patriarkhi dilihat
dari sisi pola pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan terwujud dengan sangat jelas, dimana
laki-laki lebih banyak mendominasi sektor
publik, sedangkan perempuan pada sektor
domestik.
Dalam masyarakat patriarkhi, hubungan
pembagian kerja tidak menampakkan pola
keseimbangan. Dalam pekerjaan, laki-laki lebih
dihargai dibandingkan pekerjaan perempuan.

Nurlian adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USU Medan
Harmona Daulay adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU Medan

76

Universitas Sumatera Utara

Nurlian, Daulay, Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja...


Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan sangat
sedikit mendapatkan penghargaan. Hal ini
diakibatkan oleh kontruksi sosial berdasarkan
tubuh perempuan dan laki-laki.
Pembagian yang tidak seimbang ini
banyak dirasakan oleh kaum perempuan hingga
melahirkan beban kerja. Dengan demikian,
kondisi kaum perempuan banyak diintimidasi
oleh sistem patriarkhi, sedangkan kaum laki-laki
lebih banyak menguasai kerja-kerja disektor
publik. Kesepakatan yang dibuat laki-laki akan
melahirkan budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi
ini akan tetap hidup dan terpelihara dengan baik
dalam kehidupan masyarakat yang bias gender.
Dengan kondisi seperti ini, maka akan muncul
suatu aturan yang menegaskan bahwa perempuan
diposisikan sebagai bidan atau perawat dalam
konsep pemikiran laki-laki, sehingga perempuan
sering disebut dengan

makluk hidup yang
menempati kelas dua. Dengan kondisi seperti ini,
posisi dan status perempuan semakin terpojokkan
dan termarginalisasikan dari kehidupan yang
seharusnya dibangun bersama.
Selain posisi yang terpinggirkan, posisi
kelas dua yang diberikan oleh budaya patriarkhi
kepada
kaum
perempuan
juga
sangat
mempengaruhi kinerja dan keberadaan kaum
perempuan sebagai manusia yang berinteraksi
dalam masyarakat patriarkhi. Dengan demikian,
pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan
menjadi tidak memadai atau berkualitas.
Munculnya
anggapan
bahwa

pekerjaan
perempuan tidak berkualitas disebabkan oleh
nilai-nilai dalam masyarakat patriarkhi yang
menganggap kaum perempuan tidak bisa bekerja.
Kaum perempuan hanya bisa menerima dan
menikmati hasil dari pekerjaan yang dilakukan
oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan Seperti
yang terjadi oleh budaya patriarkhi yang
memposisikan kaum laki-laki sebagai pemimpin
dan pencari nafkah bagi perempuan. Dengan
demikian, posisi perempuan hanya dianggap
sebagai pembantu atau perawat yang melakukan
pekerjaan sebatas melayani kepentingan laki-laki.
Munculnya anggapan yang menyudutkan
pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
bentuk fisik laki-laki dan fisik perempuan,
dimana fisik perempuan dikatakan tidak sekuat
tubuh laki-laki yang dimitoskan tidak kuat dalam
bekerja; (2) perempuan adalah makhluk yang

berperasaan
halus,
lemah-lembut,
suka

merapikan, dan melakukan pekerjaan yang
sifatnya menata.
Faktor-faktor tersebut mengakar dengan
sangat kuat, sehingga perempuan selalu diberikan
pekerjaan yang ringan atau yang bersifat
pekerjaan melayani dan merawat. Meskipun
demikian, pekerjaan melayani dan merawat telah
mengekang keberadaan kaum perempuan dalam
kurungan domestisasi, sedangkan kaum laki-laki
bebas lepas menguasai, merancang, mengisi
dunia publik yang lebar dengan beragam warna.
Selain itu, pekerjaan melayani dan
merawat dalam sektor domestik memunculkan
gambaran bahwa pekerjaan yang cocok dilakukan
oleh perempuan adalah kasur, sumur, dapur.

Dengan adanya gambaran tersebut, akan lahir
pembagian kerja yang tidak seimbang dalam
konsep kesetaraan gender yang hanya akan
menjadi impian masyarakat sensitif gender.
Pembagian kerja yang tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan dalam sektor domestik
dan publik akan melahirkan beban kerja ganda
bagi kaum perempuan. Akan tetapi, beban
tersebut dianggap sebagai peran pembantu dalam
pekerjaan laki-laki, bukan sebagai perempuan
yang mampu bekerja terlepas dari segala mitos
tubuh dan isu gender yang bias.
Pembagian kerja
dalam masyarakat
patriarkhi biasanya akan lahir berdasarkan
budaya dan kebenaran patriarkhi yang dipegang
teguh oleh kaum laki-laki. Berangkat dari latar
belakang di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah ”Bagaimana kesetaraan
gender dalam pembagian kerja pada keluarga

petani ladang di Desa Cot Rambong?”
PEMBAHASAN
Pembagian kerja gender adalah pola
pembagian kerja antara pasangan suami-istri
yang disepakati bersama, serta didasari oleh sikap
saling memahami dan saling mengerti.
Pembagian kerja tersebut diciptakan oleh
pasangan dalam keluarga pada sektor publik dan
sektor domestik. Pembagian kerja tersebut tidak
dilakukan berdasarkan konsep tubuh laki-laki dan
tubuh perempuan, melainkan atas kerjasama yang
harmonis dalam membangun keluarga.
Semenjak masa kanak-kanak, pembagian
kerja menurut jenis kelamin dan telah
disosialisasikan dalam keluarga pada setiap
individu. Hal ini dilakukan agar seorang individu
mengetahui apa yang menjadi hak dan

77
Universitas Sumatera Utara


Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

kewajibannya dalam keluarga, dan bahkan dalam
masyarakat. Atau dengan kata lain, pola
sosialisasi yang diterapkan dalam keluarga akan
membentuk kepribadian seseorang.
Berkaitan dengan hal itu, Mead dalam
Hadar
(1989:
32)
mengatakan
bahwa
sesungguhnya pria dan wanita adalah makhluk
yang belajar berperilaku, mereka sebagai orang
dewasa tergantung dari pengalaman-pengalaman
di masa kanak-kanak. Pengalaman
yang
didapatkan dari proses belajar di masa kecil akan
terus mengiringi pola tingkah laku seseorang

dalam berinteraksi dengan keluarga dan orang
lain.
Pernyataan Mead di atas berlaku pada
masyarakat Aceh di Desa Cot Rambong.
Masyarakat di desa tersebut mempunyai
kebiasaan berinteraksi dalam mengerjakan tugas
sehari-hari. Setiap anggota keluarga mempunyai
peranan yang disesuaikan dengan pola
pembagian kerja yang seimbang serta saling
membantu agar dapat mengerjakan pekerjaan
yang lain selain bertani. Pola sosialisasi
dilakukan oleh generasi yang lebih tua dengan
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang
dimiliki kepada generasi selanjutnya. Nilai-nilai
tersebut ditanamkan sesuai dengan tingkat dan
pola pemahamannya mengenai pembagian kerja
dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari.
Pembagian kerja secara seksual oleh lakilaki dan perempuan telah menjadi kesepakatan
masyarakat awam atas tubuh perempuan dan
tubuh laki-laki, sehingga akan muncul nilai-nilai
dan norma yang berbeda untuk laki-laki dan
perempuan, baik dalam keluarga dan lembaga
masyarakat. Pada umumnya anak laki-laki
berorientasi pada jenis pekerjaan yang biasa
dilakukan setiap hari sedangkan anak perempuan
lebih banyak berorientasi kepada ibunya
(Waluyo, 1990: 105).
Pada masyarakat Aceh, anak laki-laki
sejak kecil sudah bebas berada di dapur bersamasama dengan ibu dan saudara perempuannya.
Akan tetapi, anak laki-laki yang terlalu sering
berada di rumah akan diejek oleh temantemannya. Untuk menghindari ejekan tersebut,
biasanya anak laki-laki akan mencari teman
sebaya di luar rumah. Hal ini telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat Aceh, bahwa anak
laki-laki yang sudah dewasa tidak tidur di rumah.
Biasanya para remaja tersebut tidur di meunasah
(surau) bersama-sama dengan kawan-kawannya
pada malam hari.

78

Sebaliknya, anak perempuan lebih
banyak terlibat dalam tugas-tugas di lingkungan
rumah tangga. Sejak masa kanak-kanak, anak
perempuan telah diperkenalkan dengan pekerjaan
serta kegiatan lain yang bersifat feminin.
Pekerjaan tersebut membutuhkan ketelitian dan
ketekunan, seperti menjahit, menganyam,
mempersiapkan makanan, ataupun mengasuh
anak.
Kegiatan-kegiatan
yang
dapat
mengembangkan ketangkasan dan keberanian,
seperti berlari, memanjat pohon, ataupun
berkelahi tidak diperbolehkan untuk anak
perempuan. Kegiatan-kegiatan seperti ini
dianggap hanya pantas dilakukan oleh anak lakilaki. Apabila anak perempuan terlihat berada di
luar lingkungan rumah, maka orangtua ataupun
saudara akan menegurnya dengan kalimat lagee
agam, cot that aneuknyan, yang berarti “kamu
seperti anak laki-laki”. Dengan teguran tersebut,
kesempatan bagi anak perempuan untuk berada
di luar rumah akan terbatasi. Apabila ada
kegiatan yang berlangsung di luar rumah seperti
belajar mengaji, melihat keramaian, atau upacaraupacara tertentu, maka biasanya mereka akan
keluar secara bersama-sama dengan wanita lain,
tetangga atau teman dan terkadang ditemani
saudara-saudaranya. Kesempatan berada di luar
lingkungan rumah hanya didapatkan ketika
sedang mengikuti kegiatan sekolah.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Penelitian ini difokuskan pada delapan
keluarga petani ladang di Desa Cot Rambong,
Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan hasil
penelitian, ditemukan tiga faktor penyebab
terjadinya peran kerja yang seimbang dalam pola
pembagian kerja yang diterapkan oleh keluarga
petani ladang tersebut. Menurut keluarga petani
tersebut, mereka melakukan peran gender
berdasarkan nilai-nilai agama Islam, serta budaya
masyarakat petani Aceh yang dipengaruhi oleh
nilai-nilai egaliter pada masyarakat Jawa di Desa
Cot Rambong. Masyarakat Aceh secara
keseluruhan adalah penganut agama Islam yang
dikenal taat beragama. hal itu terbentuk sejak
berabad-abad lalu, sehingga semua itu tercermin
dalam dalam berbagai aspek kehidupan, baik
dalam perilaku, sistem sosial, sistem ekonomi,
kesenian tradisional dan lain-lain.
Budaya Aceh dikenal dengan terjalinnya
hukum agama dan adat yang tidak dapat
dipisahkan, sehingga dalam masyarakat Aceh

Universitas Sumatera Utara

Nurlian, Daulay, Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja...

terkenal dengan kata pepatah hukom ngon adat
lagee zat ngon sifeut, yang berarti bahwa ”hukum
Islam dan adat seperti dengan sifatnya tak dapat
dipisahkan”. Pendapat ini didukung oleh seorang
tokoh masyarakat Aceh, A. Hasyimi yang
menjelaskan bahwa:
”Islam dan rakyat Aceh ibarat darah
dengan daging, dimana hal itu berlaku
dalam segala aspek kehidupan seperti,
politik, ekonomi, keuangan, sosialbudaya, dan tata susila. Segala macam
ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak
boleh berlawanan dengan ajaran Islam”.
Pada masyarakat Aceh, isu-isu gender
masih memberikan stereotip yang menempatkan
kaum laki-laki berada di atas kaum perempuan.
Dimana kaum laki-laki masih diposisikan sebagai
pencari nafkah, pemimpin dalam keluarga, dan
selalu diutamakan dibanding kaum perempuan.
Kaum perempuan secara umum masih berada di
bawah dominasi laki-laki, kaum perempuan
masih diposisikan pada sektor domestik sebagai
istri yang wajib melayani kepentingan suami, dan
sebagai ibu yang wajib merawat anak.
Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa isuisu tersebut tidak melahirkan kesetaraan gender
pada masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan oleh
isu-isu gender dalam masyarakat masih sangat
dipengaruhi oleh agama dan budaya (adat). Jika
ada laki-laki melibatkan diri dalam sektor rumah
tangga, maka masyarakat akan mengatakan
donya ka meubalek, bumoe ka diiek ue langet,
langet ka ditroun ue bumoe yang berarti ”dunia
ini sudah terbalik tempatnya, yang seharusnya
bumi berada di bawah langit, akan tetapi bumi
sudah naik ke langit dan langit sudah turun ke
bumi”.
Pepatah lain juga mengatakan lakoe
adalah raja, wajeb ta ikot perintah, menyoehan
tanyoe meudesya, yang berarti ”suami adalah
raja, istri wajib mengikuti apapun perintah suami,
kalau tidak kita berdosa”. Masyarakat Aceh yang
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama
membatasi kaum laki-laki untuk ikut terlibat
dalam urusan rumahtangga, karena menggangap
bahwa sektor domestik menjadi tanggung jawab
istri (perempuan).
Sedangkan pada formasi sosial pedagang
dan petani ladang, budaya gender melahirkan
nilai-nilai egaliter bagi laki-laki dan perempuan,
dimana dalam kedua sektor tersebut terjadi
pembagian peran yang sama. Laki-laki tetap

bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan
istri tetap bertanggung jawab dalam melakukan
tugas-tugas rumahtangga. Akan tetapi, di dalam
pola pembagian kerja seperti ini, suami (laki-laki)
tetap melibatkan diri dalam urusan rumahtangga
dan pihak istri (perempuan) tetap mempunyai hak
untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar
rumah, seperti mengikuti program PKK atau
kegiatan lainnya tanpa harus meminta izin dari
suami.
Pengaturan
keuangan
keluarga
dikendalikan oleh istri, hal ini dikarenakan oleh
kesepakatan bersama, di sisi lain suami lebih
mempercayai istri dalam hal pengelolaan
anggaran
rumahtangga.
Dalam
aktivitas
berladang, peran laki-laki dan perempuan samasama ikut terlibat, mulai dari pembersihan lahan
tanam, pemagaran, membabat rumput, membuat
bedengan tanaman, hingga di saat panen. Dalam
hal ini, dapat dilihat bahwa peran gender dalam
pembagian kerja keluarga petani dan pedagang
memiliki pola yang jelas, tanpa merugikan salah
satu pihak. Pola pembagian kerja dalam formasi
sosial petani ladang dan pedagang pada
masyarakat Aceh tidak melahirkan ketidakadilan
gender serta tidak menciptakan nilai-nilai
pembakuan peran gender seperti masyarakat pada
umumnya.
Nilai-nilai dalam keluarga petani ladang
mengajarkan anak laki-laki untuk selalu
membantu ibunya jika sedang menyiapkan
makanan. Nilai-nilai kesetaraan tersebut telah
disosialisasikan dan diterapkan dalam kebiasaan
masyarakat petani ladang sejak kecil. Seperti
halnya, ketika ibunya sedang menyayur, dan tibatiba cabai atau garam kurang, maka ibu tersebut
akan menyuruh anaknya untuk membelikan.
Berdasarkan gambaran umum yang
terjadi di atas, masyarakat Aceh masih secara
umum memiliki nilai-nilai patriarkhi yang sangat
kental dan melahirkan ketidakadilan gender bagi
laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam
keluarga pedagang dan petani ladang, nilai-nilai
egaliter dianut dalam keluarga sehingga terjadi
pola pembagian kerja yang seimbang. Dalam
pembagian kerja tersebut, dapat dilihat
munculnya nilai-nilai baru dalam membangun
pola kerjasama antar anggota keluarga.
Lebih lanjut, pola keseimbangan
pembagian kerja pada keluarga petani ladang di
Desa Cot Rambong terjadi karena tiga faktor,
antara lain:

79
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

1. Nilai-nilai agama Islam yang egaliter
terhadap relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam keluarga.
2. Faktor budaya masyarakat petani ladang
dalam mendukung terjadinya keseimbangan
pembagian kerja dalam keluarga petani
ladang tersebut.
3. Nilai-nilai gender yang dilakukan oleh
masyarakat suku Jawa yang menetap di Desa
Cot Rambong.
Faktor-faktor tersebut menumbuhkan
kesadaran gender pada keluarga petani ladang
untuk menerapkan praktik pembagian kerja yang
seimbang, baik di dalam maupun di luar rumah.
Pembagian kerja tersebut juga melahirkan nilainilai dan sikap yang menghargai dan
memposisikan
istri
(perempuan)
tanpa
menimbulkan ketimpangan gender pada keluarga
petani ladang tersebut. Hal ini dapat ditandai
dengan beberapa hal, seperti tidak adanya
marginalisasi, serta tidak adanya subordinasi
perempuan dan budaya patriarkhi dalam
hubungan keluarga.
Selanjutnya, pola pembagian kerja yang
terjadi dalam keluarga petani ladang justru
memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari
nafkah keluarga dan memposisikan istri sebagai
mitra kerjasama, termasuk dalam pengambilan
keputusan keluarga. Posisi perempuan (istri)
tetap sebagai penanggung jawab tugas-tugas
rumahtangga secara khusus, akan tetapi dalam
pekerjaan yang bersifat umum, suami akan
melibatkan diri untuk melakukannya atau dan
tidak jarang suami terlibat dalam pekerjaan
rumahtangga, seperti membersihkan pekarangan
rumah, membakar sampah, atau menimba air.
Peran gender yang tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan akan menciptakan
suasana yang tidak harmonis dan tidak adil bagi
keduanya. Peran gender harus ini dilakukan
dalam landasan ”kemanusiaan”, sebagai manusia
yang mempunyai kelebihan dan kelemahan
secara kodrati. Peran gender yang harus
dimainkan oleh individu dan masyarakat adalah
peran yang saling memahami, saling membantu,
dan saling menghargai setiap perbedaan yang
terdapat pada diri manusia maupun dalam
masyarakat, tanpa mempertimbangkan perbedaan
bentuk tubuh yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan.
Peran gender yang dilakukan oleh
masyarakat dari dulu hingga sekarang ini selalu

80

merujuk pada konsep ”patriarkhi”, sehingga
memunculkan peran gender yang tidak seimbang.
Peran
yang
tidak
seimbang
tersebut
memunculkan ketidakadilan yang dirasakan oleh
kaum perempuan.
Banyak kaum perempuan yang menjadi
korban ketidakadilan gender yang berjalan dalam
masyarakat. Akibat perlakuan tersebut, muncul
konflik berupa tuntutan keadilan bagi kaum
perempuan yang dikenal dengan konsep
”emansipasi”. Emansipasi merupakan suatu
konsep dimana kaum perempuan menuntut
haknya disesuaikan dengan keberadaan laki-laki
yang terlalu berkuasa dalam segala aspek
kehidupan.
Penempatan kaum perempuan yang tidak
seimbang akan menciptakan ketidakharmonisan
dalam membina kehidupan rumahtangga dan
masyarakat. Selain itu, peran gender yang
tercipta juga akan membuat kondisi yang keruh,
karena tidak adanya penghargaan, pengertian,
dan pemahaman yang selalu merujuk pada aturan
yang disepakati oleh kaum laki-laki. Masyarakat
patriarkhi senantiasa mengaitkan konsep tubuh
yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan,
dimana perbedaan tersebut telah melahirkan
sebuah pemikiran masyarakat yang membuat
aturan main gender berdasarkan konsep tubuh,
bukan melihat pada penempatan individu
berdasarkan ”kemanusiaan”. Konsep tubuh ini
selalu dipergunakan oleh masyarakat sehingga
menciptakan stereotipe yang berbeda bagi lakilaki dan perempuan.
Stereotipe gender yang didasarkan
konsep tubuh tersebut sangat mempengaruhi
peranan gender yang dilakukan oleh masyarakat.
Peranan gender yang dilakukan bertahun-tahun
diserap dan menjadi baku dalam pola pikir
masyarakat, sehingga menimbulkan peranan
gender yang tidak seimbang. Peranan gender
yang tidak seimbang ini lebih dirasakan oleh
kaum perempuan daripada kaum laki-laki yang
tidak memiliki banyak tuntutan dan aturan. Hal
ini mengakibatkan kaum lelaki cenderung dapat
membela diri dengan mengatakan bahwa sektor
domestik adalah kodrat perempuan. Kalimat
tersebut sangat sering ditemui, dan bahkan
dianggap sebagai kebenaran objektif dari realitas
sosial yang ada, khususnya dalam keluarga.
Karena pada dasarnya, proses pengambilan peran
gender ini dimulai dalam keluarga sebelum
memasuki sistem sosial yang lebih luas. Secara
tidak langsung, dapat dikatakan bahwa keluarga

Universitas Sumatera Utara

Nurlian, Daulay, Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja...

menjadi institusi yang meneruskan peran gender
yang
tidak
seimbang
kepada
generasi
selanjutnya.
Peran gender yang tidak seimbang ini
tidak akan terjadi pada keluarga yang mempunyai
pola pikir positif dan sikap saling bekerjasama
tanpa melihat perbedaan bentuk tubuh laki-laki
dan perempuan. Selain itu, pola pikir praktis dan
sederhana bagi keluarga yang tidak mengecap
pendidikan
tinggi
akan
menciptakan
keharmonisan peranan gender, seperti yang
terdapat pada lokasi penelitian.
Budaya gender yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya selalu merujuk pada
konsep ”patriarkhi” yang telah menjadi kebiasaan
bagi masyarakat dalam sisi penerapannya. Akan
tetapi, jika budaya gender ini juga disisipkan
dengan
nilai-nilai
kemanusiaan
dalam
masyarakat, akan mewujudkan kinerja atau
peranan gender yang seimbang antara laki-laki
dan perempuan sehingga tidak akan muncul
pembedaan pria dan wanita secara sosial yang
disebut peran gender.
Peran gender yang dibedakan oleh
masyarakat tersebut mempunyai sifat yang
dinamis, atau dapat dikatakan dapat berubah
dalam strata ataupun kondisi sosial yang berbedabeda dalam masyarakat. Dalam konteks ini, peran
gender yang maksud adalah peran gender yang
erat kaitannya dengan pembagian kerja. Selain
itu, penelitian ini juga mencari bentuk-bentuk
pembagian kerja yang seimbang pada keluarga
petani ladang. Karena secara alami, laki-laki dan
perempuan dilihat sebagai sumber daya manusia
yang harus mendapatkan perlakukan yang sama.
Berpatokan pada pembagian kerja gender
yang seimbang yang terjadi dalam keluarga
petani ladang, ditemukan adanya kekaburan
Nilai-nilai agama
Islam

(diffusiness) nilai dalam konsep pembagian kerja
yang jelas di antara keduanya. Kekaburan
pembagian kerja pada keluarga petani ladang ini
terjadi karena dimasukinya sektor domestik oleh
kaum laki-laki. Demikian pula sebaliknya, sektor
publik yang dipantaskan bagi laki-laki juga
dimasuki oleh perempuan (istri), sehingga dalam
pembagian kerja tersebut, laki-laki dan
perempuan dapat memasukinya dan melakukan
berbagai aktifitas, baik dalam sektor domestik
dan publik.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi pembakuan
peran gender pada suami-istri petani ladang
dalam pola pembagian kerja, dimana keduanya
dapat melakukan peran yang sama, seperti halnya
laki-laki bisa melakukan pekerjaan domestik dan
perempuan bisa melakukan pekerjaan publik.
Pengaburan nilai pembagian kerja ini
terbentuk berdasarkan nilai-nilai sikap yang
harmonis, musyawarah, dan saling menghargai
sesama manusia. Nilai-nilai tersebut pada
dasarnya lahir karena didukung oleh nilai-nilai
agama Islam yang dipraktikkan dalam bentuk
perbuatan oleh masyarakat petani Aceh.
Kemudian, nilai-nilai tersebut berasimilasi
dengan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa
egaliter yang menetap di Desa Cot Rambong.
Dengan demikian, ketiga nilai tersebut diadopsi
dan dijabarkan dalam perbuatan sehari-hari oleh
keluarga petani ladang tersebut.
Analisa proses lahirnya kesetaraan
gender dalam pola pembagian kerja pada
keluarga petani ladang di Desa Cot Rambong
adalah seperti dalam sruktur sebagai berikut:

Budaya masyarakat
petani Aceh

Nilai-nilai gender
egaliter suku Jawa

Keluarga petani ladang

Kesadaran Gender
Sederhana

Pemahaman,
penghargaan dan
pengertian

Persamaan gender,
musyawarah & melakukan
nilai-nilai egaiter dalam
keluarga

Saling bekerjasama,
menghargai perbedaan
jenis kelamin &
pemberian hak untuk
maju

81
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, A. 1985. Pembagian Kerja Seksual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansoer. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kusumo, W. Sardono. 2005. Aceh Kembali Kemasa Depan. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan.
Rahmawati, Ika. 2003. Modul Analisis Gender. Jakarta: The Asia Foundation.
Sadawi, Nawal, L. 2001 Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Sufi, Rusdi, dkk. 2004. Budaya Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Propinsi NAD.

82

Universitas Sumatera Utara