Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

(1)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007.

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

O l e h : YASMINE A. NST

030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

S K R I P S I

O l e h : YASMINE A. NST

030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

O l e h :

YASMINE A. NST 030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

Disahkan Oleh

Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS.

NIP. 1310764 556

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

M. Hayat, SH Megarita, SH, CN, M.Hum


(4)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena telah memberikan banyak nikmat termasuk nikmat kesehatan sehingga penyusunan skripsi ini tidak menemui kendala yang berarti.

Skripsi yang berjudul: “Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Proses Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak” ini merupakan kewajiban Penulis guna melengkapi tugas akhir Penulis dalam memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun demikian, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skipsi ini.

Selama dalam penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan waktu dan dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan..

2. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Perdata Dagang.

3. Bapak M.Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(5)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

4. Ibu Megarita, S.H., C.N, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan yang sangat Penulis butuhkan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak membantu Penulis dalam masa perkuliahan

6. Ibu Rafiqah S.H. M.Hum., Bapak Dedi Harianto S.H. M.Hum., dan seluruh dosen serta staf pengajar lainnya yang telah memberikan bimbingan dan pengajarannya selama penulis dalam masa perkuliahan sehingga kelak ilmu tersebut dapat berguna bagi Penulis untuk menjalankan kehidupan nantinya. 7. Ayah dan bundaku tersayang (Drs. H. Zachruddin Nst dan Hj. Wartawani Lbs)

atas kasih sayang dan perhatiannya yang tak terhingga yang takkan bisa Penulis balas dengan apapun juga.

8. Gadiz Ganksta a.k.a Dogerz (Esther Patricia Juniarti Simamora a.k.a ndut cayank, Reny Aswita Sianturi a.k.a Bamba, Dewi Novita Tarigan a.k.a Ophey, Margaretta Silvia Rosa Silitonga a.k.a Comel, Dwinda Asterita Permanasari Sembiring a.k.a Dida, and last but not least Anju Ciptani Putri Manik a.k.a Jupek). Friendship is one of the hardest things to keep coz somewhere in the middle, new friend may come but I hope you still keep me in your heart even if someone new come along.

9. QFC (Risa Tresna Mukti, Novi Herwina Nst, Fauriza Wildhani Dalimunthe, Neni Azrina, Athiah Ramadhani Siregar, dan Tri Ramadhani).

Medan, Agustus 2007


(6)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Kepustakaan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK ... 18

A. Pengertian dan Sejarah Pajak ... 18

B. Subjek dan Objek Pajak ... 27

C. Penggolongan Jenis Pajak ... 37

D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak ... 40


(7)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

BAB III. PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK ... 47

A. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak ... 48

B. Yurisdiksi Penagihan Pajak ... 54

C. Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak ... 56

D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ... 69

E. Pengertian dan Sanksi bagi Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 78

BAB IV. FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN ... 88

A. Pengertian Penyanderaan ... 89

B. Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Dikenakan Penyanderaan . 92 C. Contoh Kasus Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 96

D. Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan ... 99

E. Prosedur Penghentian Penyanderaan ... 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 119


(8)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib ABSTRAKSI

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka negara mencari pembiayaannya melalui berbagai sektor, khususnya melalui sektor pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esssensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Karena Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis, yaitu untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan. Untuk kepentingan tersebut, maka dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur mengenai pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Dalam hal ini akan dititikberatkan pada penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penagihan pajak dilaksanakan berdasarkan UU No. 19 tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Surat paksa tersebut memiliki kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat paksa tersebut antara lain memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penyanderaan (Gijzeling) adalah merupakan suatu paksaan untuk dilakukannya sita badan terhadap Wajib Pajak yang telah melalaikan kewajibannya sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi pihak pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus melakukannya secara selektif dan hati-hati karena ini menyangkut Hak Asasi Manusia. Dan pelaksanaannya pun hanya dapat dilakukan setelah melalui rangkaian kegiatan penagihan pajak lainnya.

Seperti yang telah dikemukakan diatas maka yang menimbulkan permasalahan dalam masyarakat adalah hal-hal mengenai bagaimana masyarakat dalam hal ini adalah Wajib Pajak dapat dikenakan penyanderaan, bagaimana proses pemberlakuan dan penghentian proses penyanderaan itu serta bagaimanakah fungsi dan peran lembaga penyanderaaan sehingga dapat mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya tersebut.

Untuk lebih memahami mengenai keberadaan lembaga penyanderaan maka dalam penulisan ini akan dititikberatkan pada studi kasus dan studi kepustakaan serta pembahasannya. Di dalam penulisan ini juga dikemukakan adanya proses gugatan terhadap pelaksanaan sandera tersebut. Dimana dalam hal ini pemerintah tetap berupaya agar Wajib Pajak yang terkena sandera dapat mengajukan keberatan berupa gugatan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. Pemerintah juga berupaya melakukan ganti rugi baik dengan uang maupun rehabilitasi nama baik Wajib Pajak apabila gugatan yang diajukan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Sehingga diharapkan keberadaan lembaga ini dapat membuat efek jera bagi para penunggak pajak, agar tidak melakukan hal yang sama dan melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya sebagai suatu sumbangsihnya terhadap negara ini.


(9)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tugas suatu negara pada prinsipnya adalah berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama di bidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan biaya-biaya yang cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Sebab pajak merupakan pemasukan yang utama bagi negara disamping pemasukan-pemasukan dari sektor lainnya seperti : devisa sebagai hasil ekspor negara, laba dari perusahaan negara, kredit dari luar negeri, pencetakan uang oleh pemerintah melalui bank sentral, uang administrasi, denda, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis. Bersifat politis karena pemungutan pajak adalah perintah konstitusi, dan bersifat srategis karena pajak merupakan tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun bagi masa yang akan datang seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk


(10)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

itu perlu adanya pemahaman dari anggota masyarakat khususnya bagi wajib pajak mengenai seluk-beluk perpajakan yang begitu kompleks dan rumit. Oleh karena itu dengan adanya perkembangan masyarakat yang semakin pesat dan dengan dilandasi oleh unsur keadilan dalam pemungutan dan atau penagihan pajak, maka dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan yang mengatur mengenai siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak, bagaimana pelaksanaan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang harus dipungut, berapa besarnya pajak yang harus dibayar serta sanksi apa saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak ternyata melalaikan kewajibannya dalam membayar pajak

Adanya berbagai undang-undang maupun peraturan yang telah dikeluarkan untuk mengatur perpajakan di negara kita tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyaknya Wajib Pajak yang enggan melaksanakan kewajibannya sehingga timbul tunggakan pajak yang tidak sedikit jumlahnya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal ini dapat terjadi dalam masyarakat kita sekarang karena disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena Wajib Pajak dengan itikad buruk sengaja melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak.

Apabila dikaitkan dengan hukum yang berlaku di negara kita ini maka pajak dapat dikaitkan dengan hukum perdata dan hukum pidana. Dikatakan berkaitan dengan hukum perdata adalah karena pihak Wajib Pajak yang belum membayar atau melunasi pajaknya maka ia dikatakan mempunyai hutang kepada negara. Dalam hal ini negara sebagai orang (persoon) menjadi pihak kreditur


(11)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

(berpiutang) menagih hutang kepada pihak Wajib Pajak sebagai seorang yang berhutang (debitur).

Seorang Wajib Pajak yang tidak membayar pajak atau membayar tidak menurut ketentuan yang berlaku maka dikatakan telah melakukan wanprestasi, yang dalam hal itu negara tetap menuntut pada pihak debiturnya (si berutang). Kaitan lainnya adalah hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan Hukum Perdata misalnya berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan, warisan. Seseorang yang melakukan perjanjian membeli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk melakukan pemungutan pajak. Sedangkan dalam hal pengertian atau terminologi seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subjek hukum, walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada pengertian Wajib Pajak.

Sedangkan kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana adalah karena terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak, baik dengan memalsukan jumlah perhitungan kekayaan dan laba perusahaan, penipuan atau berbohong atau dengan menyuap petugas-petugas pajak maka perbuatan seperti itu merupakan delik tindak pidana yang mana dapat dituntut berdasarkan hukum acara pidana.

Menurut Pasal 103 KUHPidana, yang menegaskan bahwa ketentuan pidana yang terdapat pada KUHPidana berlaku juga untuk tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang lainnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Hukum Pajak, Sedangkan pasal 1 KUHPidana menegaskan bahwa tiada suatu perbuatan


(12)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

pun yang dapat dihukum selain atas ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Kemudian dapat dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 38 dan pasal 39 UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut KUP) yang dengan jelas sekali menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan kesengajaan) terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan di bidang perpajakan.

Pada tahun 2000 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengeluarkan UU No.19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.19 tahun 1997 yakni tentang penagihan pajak dengan surat paksa, yang kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA-RI) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, dimana dalam hal Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya sehingga mengakibatkan tunggakan pajak yang menimbulkan kerugian bagi negara maka sebagai upaya terakhir dari penagihan pajak yaitu dengan memberlakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana yang terdapat dalam UU No.19 Tahun 2000.

Sesuai dengan peraturan dalam perpajakan, bahwa tindakan penagihan merupakan salah satu bagian dalam kerangka sistem pelaksanaan undang-undang di bidang perpajakan agar tujuan penerimaan negara dari sektor pajak dapat berjalan dengan baik. Karena seperti yang kita ketahui bahwa pajak merupakan satu-satunya sumber penerimaan negara yang dapat diperbaharui (renewable


(13)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib resources) sesuai dengan perkembangan ekonomi yang nantinya akan

dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, sesuai dengan sistem self assessment yang dianut sejak reformasi di bidang Undang-Undang Perpajakan pada tahun 1983.

Walaupun pada tahun 1975 telah dikeluarkan SEMA No.04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 jo.SEMA No.02 Tahun 1964 tanggal 22 Desember 1964 yang pada dasarnya melarang penggunaan lembaga penyanderaan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1959 yang diatur dalam bab III, Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 dikarenakan alasan perikemanusiaan menurut dasar negara kita yaitu Pancasila sehingga dalam perkembangannya sekarang ini banyak mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal ini yang kemudian menjadi pemicu untuk menghidupkan kembali Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) di negara kita ini. Namun penyanderaan ini bersifat untuk kepentingan negara dan bukan untuk kepentingan pribadi.

Walaupun pada prakteknya penerapan lembaga penyanderaan (Gijzeling) ini tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati. Melihat pentingnya lembaga penyanderaan ini tetap dipertahankan, maka ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Secara psikologis dengan tetap dipertahankannya lembaga penyanderaan ini dalam proses penagihan pajak tidak lain dimaksudkan untuk membuat


(14)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

penanggung pajak menjadi malu jika sampai terkena sandera hanya karena menunggak pajak.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan persoalan atau persyaratan tentang sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Dalam permasalahan sudah seharusnya dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk dapat menjawab segala permasalahan yang timbul dalam penulisan ini maka diusahakanlah untuk mendapatkan literatur yang memadai untuk membahas permasalahan tersebut. Maka untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini perlu kiranya penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang timbul mengenai keberadaan dan fungsi lembaga penyanderaan tersebut dalam sistem penagihan pajak.

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa Wajib Pajak cenderung enggan dalam melaksanakan

kewajibannya untuk membayar pajak. Serta bagaimanakah rangkaian penagihan pajak terhadap Wajib Pajak hingga sampai kepada tahap penyanderaan.

2. Bagaimana kriteria Wajib Pajak sehingga dapat dikenakan penyanderaan. 3. Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan penyanderaan.


(15)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

5. Bagaimana peranan lembaga penyanderaan sehingga dapat membantu usaha pejabat fiskus dalam upaya pencairan pajak terhadap Wajib Pajak yang menunggak pajak.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Subyektif

Untuk mendapatkan data dan bahan-bahan yang lengkap dan akurat yang diperlukan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui fungsi dari lembaga penyanderaan dalam proses penagihan pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak.

Didalam penulisan ini ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh antara lain :

a. Penulisan ini berguna karena dengan mengetahui alasan Wajib Pajak sehingga enggan memenuhi kewajibannya membayar pajak kita akan dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar tidak terjadi lagi tunggakan pajak dengan meminimalisasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang menjadi alasan tersebut.


(16)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b. Menambah pengetahuan di bidang perpajakan yakni tentang beberapa kriteria Wajib Pajak yang dapat dikenakan penyanderaan.

c. Penulisan ini juga berguna karena dapat menambah pengetahuan dalam hal bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan penyanderaan.

d. Menambah pengetahuan mengenai prosedur penghentian

penyanderaan.

e. Penulisan ini juga berguna untuk menambah pengetahuan dalam hal keefektifan dari lembaga penyanderaan tersebut dalam rangka mendorong pencairan tunggakan pajak.

D. Keaslian Penulisan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan mengenai sandera (gijzeling) di bidang perpajakan telah ada sejak UU No.19 Tahun 1959 dikeluarkan, namun pelaksanaannya telah ditiadakan disebabkan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan menurut dasar negara.

Namun pada Tahun 2000 yang lalu pemerintah telah dengan tegas menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya dengan disengaja sehingga menyebabkan kerugian yang akan berpengaruh terhadap pembangunan negara, maka olehnya akan dikenakan sandera (Gijzeling). Adapun pemberlakuan tesebut tetap dilakukan dengan sangat selektif dan hati-hati sehingga dapat menghukum Wajib Pajak yang benar-benar sudah memenuhi kriteria untuk dapat dikenakan sandera.


(17)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Karya penulisan mengenai hukum pajak menurut sumber dari jurusan Keperdataan Dagang Fakultas Hukum USU memang telah ada yang mengangkatnya sebagai skripsi, namun penulisan mengenai fungsi lembaga penyanderaan dalam mendorong pencairan tunggakan pajak ini belum pernah diangkat dalam skripsi. Dengan demikian dalam penulisan karya ilmiah ini menganggap bahwa perlu kiranya untuk mengangkat pembahasan mengenai fungsi lembaga penyanderaan ini dan mengupasnya lebih lanjut dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi dari tulisan ini tidak sama dengan karya penulisan lainnya yang telah ada selama ini.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam pokok pembahasan ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan pajak.

“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”1

Menurut PJA Adriani pengertian pajak adalah “iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”2

1

H. Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, hal 24

2

Zainul Pelly, 1993, Pengantar Hukum Pajak, USU Pers, Medan, hal 3

Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya dari segi sosiologi, dari segi ekonomi dan dari segi hukum.


(18)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

H. Rochmat Soemitro, mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.”3

“Dalam peninjauan hukum kita tidak cukup mengetahui penerapannya saja, tetapi harus juga menilai peraturan yang menjadi dasarnya kalau kita bandingkan perikatan yang berupa utang pajak dengan perikatan dalam hukum perdata, maka tampak sekali perbedaannya. Perikatan dalam hukum pajak terjadi hanya karena undang-undang dan tidak mungkin terjadi karena perjanjian”4

a. Sejarah Pajak

Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara penguasa sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak (Wajib Pajak).

Peraturan perundang-undangan tentang pajak banyak mengalami perubahan, karena seiring perkembangan masyarakat dan juga untuk memenuhi rasa keadilan bagi Wajib Pajak yang hak dan kewajibannya tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mudah, sebab bagaimanapun Wajib Pajak akan selalu menuntut ketentuan yang jelas dan suatu kepastian hukum yang jelas pula.

1. Sejarah dan Perkembangan Pajak

Masyarakat mengenal istilah pajak sudah sejak zaman penjajahan dahulu, dan bahkan sebagian besar telah melaksanakannya.

3

H. Bohari op.cit. hal 25

4


(19)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar abad XIX juga melakukan hal semacam itu. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dengan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad pertengahan mendapat tempat yang lebih mantap diantara pendapatan negara. Perpajakan di Indonesia pada mulanya mengikuti undang-undang peninggalan pemerintah Hindia Belanda, namun terjadi perubahan sedikit demi sedikit memakai peraturan yang memuat ketentuan hukum adat dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

“Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, banyak sekali undang-undang mengenai pembayaran pajak, sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari, dan undang-undang itu hanya untuk kepentingan penjajah(pemerintah Hindia Belanda).”5

1) Masa Tahun 1950

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tercapai, ada empat langkah perubahan yang sangat berarti yaitu :

2) Masa Tahun 1983 3) Masa Tahun 1997

4) Masa Tahun 2000 sampai dengan sekarang

Adanya perubahan-perubahan itu sendiri adalah karena perkembangan ekonomi dan masyarakat yang begitu cepat disamping tuntutan rasa keadilan dan adanya reformasi huku m.

5


(20)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b. Perkembangan Pajak

Pembaharuan peraturan perundang-undangan pajak dilakukan karena pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983 dan sebelumnya) adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat sekarang ini, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintah tidak berdasarkan pancasila, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.

2. Jenis-Jenis Pungutan

Selain pajak yang dipungut oleh pemerintah, maka ada dua jenis pungutan lainnya yaitu retribusi dan sumbangan.

a. Retribusi

Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No.34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Pasal 1 angka (26) disebutkan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin kepentingan orang pribadi atau badan.

“Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan prestasi dari pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis masuk terminal, dan kartu langganan.”6

1) Retribusi Jasa Umum

Retribusi terbagi atas tiga jenis yaitu :

2) Retribusi Jasa Usaha

6


(21)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

3) Retribusi Perizinan Tertentu. b. Sumbangan

Apabila pajak dan rertribusi pungutannya harus berdasarkan undang-undang maka dalam sumbangan pungutannya tidak berdasarkan undang-undang-undang-undang, tetapi lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Pada sumbangan tidak ada sifat paksaan tetapi suka rela, si pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil sumbangannya.

“Pada sumbangan seseorang yang mendapatkan prestasi justru tidak dapat ditunjuk, tetapi golongan tertentu yang dapat menikmati kontra prestasi sebagai contoh sumbangan bencana alam.”7

7

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit. hal 6 c. Bea dan Cukai

Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut atas kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan. Bea merupakan tariff yang sudah ditentukan atas suatu barang. Sedangkan Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu seperti : rokok, minuman keras dan lain-lain.

d. Iuran

Iuran adalah merupakan pungutan yang dilakukan terhadap masyarakat tertentu, dilakukan oleh pemerintah atas dasar Wajib pajak telah menerima sesuatu jasa dari pemerintah.

3. Penggolongan Jenis Pajak


(22)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

a.”Menurut sifatnya, pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara periodik

(berulang-ulang) missalnya pajak penghasilan.

2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara insidental

(pada saat tertentu) misalnya, Pajak Pertambahan Nilai.8 b. “Menurut objeknya, pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan kepada keadaan pribadi

Wajib Pajak (subjeknya), misalnya Pajak Penghasilan.

2) Pajak Objektif, adalah pajak yang menghubungkan wajib pajak dengan

keadaan perbuatan yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.9

c. “Menurut lembaga pemungutnya pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, terdiri

dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak/bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea materai.

2) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,

misalnya retribusi.10 4. Sistem Pemungut an Pajak

Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Negara Republik Indonesia sejak tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan, sesuai dengan diundangkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

5. Fungsi Pemungutan Pajak

Terdapat dua fungsi pemungutan pajak yaitu :

a. Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam

kas negara.11

8

Ibid. hal 17

9

Ibid

10

Ibid. hal 18

11


(23)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib b. Fungsi Regulerend, yaitu fungsi mengatur. Hal ini berarti bahwa pajak

sebagai alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural, maupun dalam bidang politik.

F. Metode Penelitian

Suatu kebenaran dan suatu pengetahuan yang objektif yang dapat dipercaya harus didukung oleh dalil-dalil, fakta-fakta atau data-data yang empiris yang diperoleh dari penelitian secara ilmiah. Karena itu suatu karya ilmiah harus didasarkan pada fakta-fakta atau data-data yang objektif agar dapat dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya.

Untuk memperoleh data-data dalam menyusun skripsi ini, maka Penulis melakukan metode sebagai berikut :

1 Library Research (Studi Kepustakaan)

Yaitu dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, peraturan perundangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya bahan rujukan yang dikumpul itu dipelajari, dipahami dan dianalisa secara sistematis serta memilih hal-hal yang dijadikan dasar guna menghasilkan pemikiran yang tertuang dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal pengumpulan data melalui library

research ini diharapkan dapat memenuhi hal-hal yang akan dibahas dalam


(24)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib 2 Field Research (Penelitian Lapangan)

Yaitu dengan cara melakukan interview atau wawancara langsung dengan informan yaitu staf pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, yang berkantor di Jl. Diponegoro No. 30 A.

Melalui metode diatas maka data-data tersebut diolah dan selanjutnya akan disesuaikan dengan sistematika pembahasan penulisan skripsi ini. Berdasarkan hal tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan berguna bagi perkembangan hukum khususnya dalam hukum pajak.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika atau gambaran isi dari penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika terssebut adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK

Bab ini terdiri dari 5 (lima ) sub bab yang akan menguraikan Pengertian tentang pajak dan Sejarah hukum pajak, mengenai Subjek dan Objek Pajak, Penggolongan Jenis Pajak, Jenis-Jenis Ketetapan


(25)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Pajak, serta akan dijelaskan Peranan Pajak Sebagai Sumber Penerimaan Negara.

BAB III : PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

Dalam bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab yang akan membahas mengenai Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak, Dasar Teori dan Yurisdiksi Penagihan Pajak, Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak, Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, serta Pengertian dan Sanksi Bagi Wajib Pajak yang Menunggak Pajak.

BAB IV : FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai beberapa kriteria Wajib Pajak yang dapat dikenakan penyanderaaan, Contoh kasus Wajib Pajak yang menunggak Pajak, Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan, serta bagaimana Prosedur Penghentian Penyanderaan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang pokok-pokok kesimpilan terhadap pembahasan permasalahan serta saran-saran yang mungkin akan bermanfaat di masa yang akan datang bagi kita khususnya sebagai Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang baik.


(26)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK

A. Pengertian dan Sejarah Pajak 1. Pengertian Pajak

Di dalam tiap-tiap masyarakat, di mana ada hubungan antara manusia dengan manusia, maka selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni “hukum”. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hal ini tidak saja berlaku dalam lingkup hukum publik. Demikian juga dengan pajak. Hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan tersebut kepada negara dalam bentuk “pajak”. Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak, maka haruslah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan negara kita, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yang berbunyi :

“..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.

Dari uraian diatas, nampak bahwa untuk menyelenggarakan kepentingan rakyatnya, maka negara memerlukan dana yang tidak sedikit jumlahnya untuk mewujudkan tujuan negara tersebut. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya


(27)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

didapat dari rakyat melalui pemungutan yang disebut dengan “pajak”. Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undang-undang ini berarti bahwa pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut “berasaskan yuridis.” Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak negara untuk memungut pajak.

Untuk mengetahui apa arti pajak, berikut akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.,

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra –prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12

b. Menurut R. Santoso Brotodiharjo, S.H.,

“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.13

12

Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Penerbit Eresco, Bandung, hal 19

13

R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2005, Penerbit Eresco, Bandung, hal 4


(28)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

c. Menurut Prof. Dr. M.J.H Smeets

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa ada kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.14

d. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.15

14

H. Bohari, op.cit. hal 23

15

R. Santoso Brotodiharjo, op.cit. hal 5

Pada pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, dijelaskan bahwa unsur “dapat dipaksakan” artinya bahwa bila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan, sedangkan terhadap pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.

Dari beberapa pengertian pajak yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu sebagai berikut :


(29)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

1) Bahwa pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.

2) Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan.

3) Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan maka ini tidaklah sah dan dianggap sebagai perampasan hak.

4) Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara tersebut antara lain seperti : Hak untuk mendapat perlindungan dari alat-alat negara, hak menggunakan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengairan, dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada individu si pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.

5) Uang yang dikumpulkan oleh negara tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan seabagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapatlah kita artikan bahwa uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Agar ada kepastian dalam proses


(30)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

pengumpulannya, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan ini berarti apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa antara lain dengan mengeluarkan surat paksa, sita bahkan juga dapat melakukan penyanderaaan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.

2. Sejarah Perpajakan

Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma), namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat ketika itu memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja, sedangkan imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada oleh karena sifatnya memang hanya untuk kepentingan sepihak dan solah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.

Namun, dalam perkembangannya kemudian sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang dilakukan oleh rakyat tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air serta berbagai kepentingan umum lainnya.


(31)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Dengan adanya perkembangan suatu masyarakat, maka sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, selanjutnya dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Guna untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak. Maka untuk itu dibuatlah suatu ketentuan berupa undang-undang yang mengatur mengenai bagaimana tata cara pemungutan pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang dipungut, siapa saja yang harus membayar pajak dan berbagai aturan lainnya.

Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur tentang pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut :

a. Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No.13) b. Aturan Bea Materai (Stbl 1921 No. 498)

c. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No.291) d. Ordonansi Pajak kekayaan (Stbl 1932 No.405)

e. Orodonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 no.718) f. Ordonanasi Pajak Upah (Stbl 1934 No. 611)

g. Ordonansi Pajak Potong (Stbl 1936 No.671) h. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 No.17)

i. Undang-Undang Pajak Radio (UU No.12 Tahun 1947)

j. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (UU No.14 Tahun 1947) k. Undang-Undang Pajak Peredaran (UU No.12 Tahun 1952)


(32)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, diundangkan lagi beberapa Undang-Undang, antara lain :

a. Undang Pajak Penjualan Tahun 1951 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968;

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang pajak atas bunga, dividen dan royalti;

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;

d. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak bangsa asing;

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari. Selain itu, beberapa undang-undang diatas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan terlebih-lebih undang-undang dimaksud masih dibuat oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.

Menyadari kondisi diatas maka, pada tahun 1983 pemerintah bersama-sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi Undang-Undang Perpajakan yang ada dan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan lebih diutamakan. Kelima Undang-Undang tersebut adalah :


(33)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas

Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ;

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

Dengan diberlakukannya kelima undang-undang tersebut diatas, semua lapisan masyarakat tentunya diharapkan turut berpartisipasi dan dapat mengerti akan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan sistem self assessment yang berlaku sejak tahun 1983.

Selanjutnya pada tahun1997 pemerintah kembali mengadakan perubahan atas undang-undang perpajakan yang ada dan membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan , yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;


(34)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak, pada tahun 2000 kembali pemerintah mengadakan perubahan terhadap undang-undang perpajakan yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini :

a. Undang Nomor 16 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994;

b. Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994;

c. Undang Nomor 18 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994;

d. Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; e. Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


(35)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

B. Subjek Pajak dan Objek Pajak 1. Subjek Pajak

Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tidak menjelaskan tentang subjek pajak dan hanya menyebutkan Wajib Pajak, namun jika bertolak pada prinsip “Self Assessment” dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang pribadi dari badan yang menurut Undang-Undang Perpajakan dinyatakan sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan pajak.

Dalam bab ini akan diuraikan tentang siapa saja yang menjadi subjek pajak tersebut, antara lain :

a. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa yang menjadi subjek adalah :

1) Orang Pribadi;

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; 3) Badan. Pengertian badan disini adalah modal yang merupakan kesatuan, baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi : a) Perseroan Terbatas (PT)

b) Perseroan Komanditer (CV)

c) Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun


(36)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

d) Firma e) Kongsi f) Koperasi g) Dana Pensiun h) Yayasan

i) Dan bentuk-bentuk badan lainnya.16

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : Tempat kedudukan manajemen, Cabang perusahaan, Kantor perwakilan, Gedung kantor, Pabrik, Bengkel, Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksploitasi pertambangan, Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, kehutanan, Proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan, Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, serta agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.

Subjek pajak terdiri dari :

16

Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Undang- Undang Perpajakan Tahun 2000, Penerbit Citra Umbara, Bandung, hal 95


(37)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

1) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan 2) Subjek Pajak Luar Negeri. Subjek pajak dalam negeri terdiri dari ;

a) Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; b) Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;

c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan yang menggantikan yang berhak.

Subjek pajak luar negeri terdiri dari :

a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan bentuk usaha tetap di Indonesia.

b) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, misalnya penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal Undang-Undang No.17 Tahun 2000. Penghasilan yang dimaksudkan dalam pasal 26 ini adalah :

1) Dividen;

2) Bunga, royalty, sewa;


(38)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

4) Imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa, pekerjaan dan kegiatan; 5) Hadiah dan penghargaan; dan

6) Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya.

Sedangkan yang tidak termasuk pada subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:

1) Badan Perwakilan Negara Asing;

2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan consular;

3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)

Subjek pajak dari pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya :

1) Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan atau produsen; 2) Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;

3) Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang; dan 4) Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut pengusaha jasa.

Pengusaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No.18 Tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka waktu 30 hari sejak usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena


(39)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Pajak (PKP). Pengertian sejak usaha itu dilakukan adalah sejak saat pendirian atau sejak diperolehnya izin usaha atau sejak usahanya nyata-nyata dimulai.

c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Subjek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang:

1) Memiliki, menguasai;

2) memperoleh manfaat atas bumi, dan /atau; 3) memperoleh manfaat atas bangunan;

Subjek pajak diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi wajib pajak. Orang-orang atau badan yang mempunyai hak memiliki, menguasai dan memperoleh manfaat atas tanah di bangunan menurut pasal 3 Undang-Undang No.12 Tahun 1994 dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan bangunan tersebut kurang atau tidak melebihi Rp. 8000.000,- bukan merupakan wajib pajak. Artinya seseorang yang memiliki tanah dan bangunan yang nilai jual objek pajak nya hanya Rp. 8.000.000,- maka mereka dibebaskan dari pengenaan pajak dari pajak bumi dan bangunan.

2. Objek Pajak

Yang dimaksud dengan objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak tersebut berikut ini akan diuraikan mengenai objek pajak tersebut, antara lain :


(40)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

a. Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan. Yang dimaksud penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik untuk investasi maupun konsumsi. Objek PPh terbagi atas:

1) Objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :

a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pension bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kehamilan, tunjangan jabatan, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;

b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur; c) Upah harian ,upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;

d) Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis;

e) Honorarium, uang saku atau penghargaan dengan nama apapun;

f) Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan anak-anaknya.

2) Objek PPh Pasal 22, adalah sebagai berikut :


(41)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b) Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.

Sedangkan yang bukan objek PPh Pasal 22 adalah :

a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.

b) Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain :

(1) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

(2) Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

(3) Buku ilmu pengetahuan;

(4) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;

(5) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

(6) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

(7) Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya;

3) Objek PPh pasal 23 adalah sebagai berikut :

Pasal 23 Undang-Undang PPh mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak badan dalam


(42)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Objek yang dimaksud antara lain :

a) Dividen

b) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang

c) Royalti

d) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

e) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa konstruksi dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

4) Objek PPh pasal 26

Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23, hanya saja dalam PPh pasal 26 yang menerima penghasilan tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan adalah Wajib Pajak dalam negeri. Selain itu sifat pemotongan PPh pasal 26 adalah bersifat final (tidak dapat dikreditkan), sedangkan pemotongan PPh pasal 23 sifatnya tidak final.

b. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Ada 6 kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek PPN, yaitu sebagai berikut:


(43)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

1) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

2) Impor barang kena pajak;

3) Penyerahan jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean oleh pengusaha;

4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;

5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; 6) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

c. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah benda tidak bergerak yaitu berupa bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah suatu konstruksi tehnik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seprti hotel, pabrik dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan kompleks tersebut;

2) Jalan tol; 3) Kolam renang; 4) Tempat Olahraga; 5) Taman mewah;


(44)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

7) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

d. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah, tanah dan bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal-hal seperti:

1) Pemindahan hak 2) Pemberian hak baru e. Objek Bea Materai

Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi sesorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa dokumen yang wajib dikenakan bea materai, adalah sebagai berikut :

1) Dokumen yang telah disebutkan dalam Undang-Undang, seperti : surat perjanjian, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, surat berharga seperti wesel, promes dan lain-lain.

2) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, seperti : surat-surat biasa dan surat –surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula tidak digunakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain , lain dari maksud semula, contoh surat keterangan dokter, keterangan hak warisan dan lain-lain.


(45)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

C. Penggolongan Jenis Pajak

Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak dapat digolongkan dalam 3 golongan yaitu:

1. Berdasarkan sifatnya

Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua, yaitu :

a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya pajak penghasilan.

b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peritiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sasaran/ Objeknya

Menurut sasaran atau objeknya, pajak dapat dibagi atas dua golongan yaitu : a. Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan pertama-tama

memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjektifnya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan / melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai


(46)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai, bea masuk, cukai tembakau, bensin dan lain sebagainya. Pajak ini tidak menghiraukan keadaan Wajib Pajak, dimana lazimnya tidak dipungut tersendiri melainkan dimasukkan kedalam harga barang sehingga sering kali orang tidak menyadari bahwa dalam harga itu sudah termasuk pajak. Maka oleh sebab itu pemungutan pajak objektif yang tidak langsung ini sangat mudah sekali.

Negara yang sedang berkembang sering memungut pajak objektif ini, bahkan lazimnya hasil pajak objektif ini lebih besar daripada hasil pajak langsung. Ditinjau dari segi keadilan dan dari segi kekuatan pikul, pajak ini kurang memenuhi rasa keadilan. Tetapi karena cara pemungutannya sangat mudah, maka oleh negara-negara baik Negara berkembang maupun Negara industri kehadirannya dalam penghasilan negara belum dapat dihilangkan sama sekali.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak dapat dibagi dua yaitu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah.

a. Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebgai bagian dari penerimaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).


(47)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan adalah sebagai berikut :

1) Pajak Penghasilan

2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3) Pajak Bumi dan Bangunan

4) Pajak/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 5) Bea Materai.

b. Pajak Daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Sesuai Undang –Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dispenda adalah:

1) Pajak Daerah TK I terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Daerah TK II terdiri dari : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,

Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, serta Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.


(48)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak

Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/ KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak Wajib Pajak adalah berupa surat ketetapan pajak yang terdiri dari 6 (enam) macam, yaitu sebagai berikut :

1. Surat Tagihan Pajak (STP)

STP adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STP diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. STP dapat diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan

pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;

d. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP);

e. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak;


(49)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak tersebut.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

SKPKB diatur dalam pasal 13 UU KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yaitu dalam hal-hal sebagai berikut : a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang

terutang tidak atau kurang bayar;

b. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran;

c. Apabila berdasakan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 %;

d. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.


(50)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda ataupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % sebulan, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan dalam SKPKB. SKPKBT diatur dalm pasal 15 UU KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :

a. Adanya SKPKB yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada perhitungan yang sebenarnya;

b. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan; dan

c. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.

4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalam pasal 17 UU KUP yang diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut : a. Untuk Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut PPh), jumlah kredit

pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;


(51)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (untuk selanjutnya disebut PPN), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam pasal 17A UUKUP yang akan diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang;

b. Untuk PPN, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;

c. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang teutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. 6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1 UU No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak


(52)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

E. Pajak Sebagai Sumber Penerimaan Negara

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang bertanggung jawab langsung terhadap sumber penerimaan negara dari sektor pajak, mendapat tugas yang penting dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional. Hal ini adalah konsekuensi dari upaya mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri melalui pemberian hutang, dengan cara meningkatkan sumber penerimaan dari dalam negeri.

Berkaitan dengan itu sudah selayaknya apabila setiap individu dalam masyarakat dapat memahami dan mengerti akan arti dan pentingnya peran pajak untuk kelangsungan penerimaan negara.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:

1. Penerimaan dari sektor pajak;

2. Penerimaan dari sektor migas (minyak bumi dan gas): dan 3. Penerimaan dari sektor bukan pajak.

Dari ketiga sumber penerimaan diatas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat mengetahui bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan


(53)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

memberi andil yang besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan yang terbesar dalam membiayai pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari sektor migas, yang dahulu selalu menjadi andalan dalam penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus-menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri. Sekalipun demikian bukan berarti sumber penerimaan negara lainnya tidak terlalu penting, tetapi posisi pajak dapat dikatakan lebih penting sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Kondisi ini tidak boleh luput dari perhatian pemerintah, apalagi kedepannya kebutuhan pendanaan pemerintah akan semakin besar saja. Jika pemerintah masih ingin mempertahankan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang dominan, maka pemerintah harus mendorong partisipasi publik dalam bidang perpajakan. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak mendapatkan perlakuan yang baik, adil dan wajar sehingga mereka tidak menganggap bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai beban yang berat dan kesadaran untuk membayar pajak semakin meningkat. Hal ini menjadi semakin penting terutama dengan diterapkannya sistem self assessment yang menuntut Wajib Pajak untuk berperan aktif dan jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Peranan yang demikian strategis menjadikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus terus melakukan pembenahan terutama di bidang peraturan


(54)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

perpajakan agar misi menjadikan pajak sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan dapat tercapai tanpa mengabaikan prinsip keadilan bagi masyarakat. Maka dilakukanlah beberapa usaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, antara lain :

a. Perluasan Wajib Pajak; dalam arti menjaring wajib pajak sebanyak mungkin. b. Penyempurnaan tarif pajak; dan

c. Penyempurnaan administrasi pemungutan pajak.

Semangat pembaharuan mendorong DJP terus-menerus menyempurnakan sistem perpajakan secara optimal. Perubahan secara mendasar terhadap peraturan perpajakan dilakukan pada tahun 1985, untuk menggantikan peraturan perpajakan peninggalan kolonial Belanda, serta untuk mengimbangi perkembangan dunia usaha dan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional.

Pada tahun 1997 terjadi lagi perubahan peraturan perpajakan untuk penyempurnaan dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan di bidang ekonomi yang semakin maju, sehingga pada tahun 2000 peraturan perpajakan mengalami perubahan lagi untuk menghadapi tantangan perkembangan kemajuan global di segala bidang. Perubahan terakhir ini dalam rangka menegakkan hukum dan kepastian hukum terutama dalam hal peraturan perpajakan.

Setiap perubahan yang dilakukan tersebut semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan peranan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


(55)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

BAB III

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

Peran serta masyarakat sebagai Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem “self

assessment” yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan sejak tahun 1983,

yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat khususnya Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya. Akan tetapi dalam kenyataannya terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Tidak dibayarnya utang pajak tersebut maka akan menjadi tunggakan pajak. Untuk menegakkan ketentuan Undang-Undang pajak yang ada, dilakukanlah tindakan penagihan pajak.

Tindakan penagihan terhadap utang pajak yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.

Berdasarkan hal tersebut maka dalam bab ini terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana timbul dan hapusnya hutang pajak tersebut, dasar teori dan yurisdiksi pemungutan pajak, rangkaian kegiatan penagihan pajak, hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak, serta bagaimana sanksi bagai Wajib Pajak yang menunggak pajak.


(56)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

A. Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak 1.Timbulnya Utang Pajak

Membicarakan mengenai utang pajak maka harus dimengerti dahulu apa itu yang dimaksud dengan utang. Secara yuridis mengenai utang itu harus ada dua pihak, yaitu pihak kreditur yang mempunyai hak dan pihak debitur yang mempunyai kewajiban.

Kedudukan debitur dan kreditur dalam hukum perdata tidak sama dengan kedudukan kreditur dan debitur dalam hukum pajak. Ketidaksamaan utang pajak dan utang biasa dapat dilihat dalam hal :

a. Cara timbulnya utang b. Sifat utangnya

Timbulnya utang dalam hukum perdata (utang biasa) disebabkan adanya perikatan yang dikuasai oleh hukum perdata. Dalam perikatan, maka pihak yang satu berkewajiban memenuhi apa yang menjadi hak dari pihak lain, misalnya terjadi perjanjian jual beli, maka kewajiban penjual menyerahkan barang yang dijualnya, sedangkan si pembeli berkewajiban membayar harga yang telah ditetapkan.

Sedangkan perikatan yang timbul dari undang-undang saja, misalnya adanya kelahiran, yaitu bila seorang anak lahir maka menurut undang-undang orang tuanya berkewajiban mengurus dan memelihara anaknya.

Utang pajak timbul karena undang-undang, dimana antara negara dan

rakyat sama sekali tidak ada perikatan yang melandasi utang itu. Hak dan kewajiban antara negara dan rakyatnya tidak sama. Negara dapat memaksakan


(1)

b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

c. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitakan kepada Penanggung Pajak/ Wajib Pajak, dan

d. Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. 3. Tata cara penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan

kewajibannya dalam membayar pajak (menunggak pajak) adalah bahwa diberlakukannya penyanderaan haruslah secara selektif dan sangat hati-hati. Terhadap Wajib Pajak yang akan dikenakan sandera harus memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif, dimana Wajib Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000.000.- dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan dilakukan dengan membuat suatu permohonan izin penyanderaan yang diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan dengan memuat: identitas Penanggung Pajak yang akan disandera; Jumlah hutang pajak yang belum dilunasi disertai Kartu Pengawasan Tunggakan Pajak Penanggung Pajak yang bersangkutan sampai dengan tanggal usulan penyanderaan dan upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak; Tindakan penagihan pajak meliputi penagihan persuasif dan represif yang telah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan fotocopy Surat Paksa dan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa. Apabila Menteri Keuangan telah memberikan izin tertulis untuk melakukan penyanderaan maka yang akan melaksanakan penyanderaan adalah jurusita negara yang berada di KPP yang bersangkutan. Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan


(2)

dilakukan oleh jurusita pajak dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang disandera dititipkan kepada Rumah Tahanan Negara. Ruang tahanan bagi Wajib Pajak tersebut dipisahkan dari tahanan kriminal biasa. Pelaksanaan penyanderaan bagi Wajib Pajak/ Penanggung Pajak dilakukan selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjangkan lagi selama-lamanya 6 bulan.

4. Setiap Wajib Pajak yang merasa keberatan atas pelaksanaan penyanderaan tersebut diberi hak untuk mengajukan gugatan atas pelaksanaan penyanderaan tersebut yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Dan apabila gugatan tersebut dikabulkan maka Penanggung Pajak yang disandera tersebut harus dilepaskan statusnya dari penyanderaan dan kepadanya diberikan ganti rugi sebesar Rp. 100.000.- (seratus ribu rupiah) perhari selama menjalani masa tahanan di rumah tahanan negara. Sedangkan prosedur penghentian penyanderaan dapat dilakukan apabila Wajib Pajak memenuhi beberapa persyaratan antara lain: Hutang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas; jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah habis; Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan. 5. Dari beberapa persyaratan untuk penghentian penyanderaan tersebut, maka

dapatlah diketahui bahwa lembaga penyanderaan (Gijzeling) tersebut memegang peranan penting dalam membantu usaha pejabat fiskus untuk mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak/ Penanggung Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Sehingga dengan adanya atau


(3)

dikenakannya penyanderaan tersebut maka mau tidak mau Wajib Pajak akan segera melunasi utang pajaknya atau paling tidak akan berusaha untuk membayar tunggakan pajaknya tersebut baik secara keseluruhan maupun sebagian, angsuran ataupun dengan jalan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dan keberadaan lembaga penyanderaan dapat membuat efek jera bagi para penunggak pajak maupun bagi Wajib Pajak/ Penanggung Pajak lainnya agar tidak melakukan hal yang sama dan segera memenuhi kewajiban perpajakannya.

B. Saran

1. Agar pemerintah khususnya Dirjen Pajak lebih menggiatkan lagi usahanya dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan atau melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai arti pentingnya pajak sebagai sumber penerimaan negara, baik untuk pembiayaan pemerintah maupun untuk pelaksanaan pembangunan baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang, sehingga timbul kesadaran dari masyarakat itu sendiri.

2. Diharapkan kepada masyarakat agar dapat menjadi Wajib Pajak yang baik khususnya dalam menerapkan sistem self assessment, sehingga kewajiban perpajakan tidak dirasakan sebagai kewajiban yang membebani melainkan sebagai suatu kebutuhan.


(4)

3. Agar pejabat fiskus dalam melaksanakan tugasnya lebih disiplin dan menjunjung tinggi kejujuran. Begitu pula bagi Wajib Pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya.

4. Agar Wajib Pajak tidak enggan dalam melaksanakan kewajibannya dalaam membayar pajak sehingga tidak terjadi tunggakan pajak yang dapat mengakibatkan kerugian pada kas negara dan tentunya kerugian bagi Wajib Pajak itu sendiri karena harus melewati beberapa rangkaian kegiatan penagihan pajak seperti penyitaan, pelelangan maupun penyanderaan yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.

5. Diharapkan kepada fiskus agar lebih teliti dalam melaksanakan penyanderaan yang merupakan upaya terakhir untuk menjaring para Penunggak Pajak dan kepada pemerintah agar mau menambahkan lama masa penahanan yang sedianya 6 bulan agar para Wajib Pajak yang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan pembayaran dapat melakukan pembayaran itu atas perpanjangan masa tahanan secara keseluruhan.

6. Agar prosedur pelaksanaan penyanderaan terutama menyangkut prosedur untuk mengusulkan Wajib Pajak yang akan dikenakan sandera ke Menteri Keuangan dipercepat proses izin persetujuannya.

7. Agar keberadaan lembaga penyanderaan tersebut dapat membuat Wajib Pajak dapat segera melunasi hutang pajaknya dan dapat membuat efek jera khususnya bagi para Penunggak Pajak.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badrul Zaman, Mariam, Darus, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Zakti, Bandung.

Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Brotodiharjo, Santoso, 1991, Pengantar Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung Haula, Rosdiana, dan Rasin, Tarigan, 2005, Perpajakan Teori dan Aplikasi, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ilyas,. B Wirawan, dan Burton, Richard, 2001, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Mardiasmo, 2002, Perpajakan Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta

Moeljo, Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah, Rajawali Pers, Jakarta

Pelly, Zainul, 1993, Pengantar Hukum Pajak, USU Pers, Medan

Pudyatmoko, Sri, Y, 2007, Penegakan Dan Perlindungan Hukum Di Bidang Pajak, Penerbit Salemba Empat, Yogyakarta

Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pendapatan, Penerbit Eresco, Bandung

Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta

Waluyo, Bambang, 1991, Pemeriksaan dan Peradilan Di Bidang Perpajakan, Sinar Grafika, Jakarta

Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Penerbit Citra Umbara, Bandung

Undang Nomor 19 Tahun 2000, Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pihak Dengan Surat Paksa.


(6)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No. 137 Tahun 2000, Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

PPRI No. 135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Keputusan Menteri Keuangan RI No. 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa.

Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-215/Pj./2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera.

Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M-02.UM.09.01.2003 dan 294/KMK.03/2003, Tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.