Sifat Fisik Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda

ABSTRACT
Physical Characteristic of Buffalo Meat at Different Ages and Sexes
Rosmaya, W., H. Nuraini, M. Baihaqi
Buffalo meat is one of alternative protein source or human food. Buffalo meat is not
popular because it is commonly obtained from old buffalo that is used as drought
animal, so that the quality does not meet the consumer’s demand. The objective of
this experiment was to study the physical characteristic of buffalo meat at different
ages (I0, I1, I2, I3, I4) and sex (male and female). Variables observed were pH,
tenderness, cooking loss, water holding capacity, color of meat and fat. The
experiment was conducted in 2x5 factorial randomized design with factor A was
ages and factor B was the sex. The data was analyzed by analyses of variance
(ANOVA). The results showed that cooking loss was significantly influenced by
ages (P 0,05) of age and
sex on pH, tenderness, water holding capasityes, and color of meat and fat it might
be caused by management, slaughtering method and handling of meat.
Keyword : Buffalo meat, cooking loss, pH, water holding capacity, tenderness

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu produk sub sektor peternakan yang mensuplai protein hewani bagi
kebutuhan masyarakat adalah daging. Daging unggas, monogastrik, ruminansia kecil

dan besar merupakan sumber protein asal hewan. Ketersediaan protein pada tahun
2008 dari produk peternakan sebesar 5,57 gram/kapita/hari dan pada tahun 2009
sebesar 5,68 gram/kapita/hari atau mengalami peningkatan. Ditinjau dari kelompok
makanan, maka peranannya yang terbesar pada kelompok daging sekitar 54,0%
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Kebutuhan masyarakat akan daging setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya populasi penduduk Indonesia. Kontribusi
protein hewani asal daging sebagian besar dipenuhi oleh daging asal unggas sebesar
59,65%, daging sapi dan kerbau 20,4%, kemudian babi 10,1% (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2009).

Dibandingkan tahun 2008, produksi daging mengalami

peningkatan sebesar 2,08% dan peningkatan terbesar berasal dari ternak domba
15,3%, kuda 5,56%, kerbau 5,38%, babi 4,91%, dan kambing 4,24%. Kontribusi
daging kerbau dalam mensuplai kebutuhan protein asal daging masih sangat kecil
yaitu 5,38% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Data Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki jumlah populasi kerbau sebesar 2,05 juta ekor. Kerbau lokal memiliki
potensi untuk dapat dikembangkan karena mempunyai daya adaptasi yang sangat

baik. Ternak kerbau dianggap mewah oleh masyarakat dalam keadaan khusus pada
beberapa daerah di Indonesia seperti Banten, Padang, Medan dan Kalimantan.
Menurut Burhanuddin et al. (2002), sebanyak 93,3% penduduk Pandeglang membeli
daging kerbau karena tradisi dan menjadi kebiasaan yang turun-temurun. Sebanyak
89,3% masyarakat Pandeglang menyukai daging kerbau dengan alasan kemudahan
mendapatkannya. Tingginya permintaan ini disebabkan oleh faktor kebiasaan, adat
istiadat, dan selera masyarakat yang lebih menyukai daging kerbau dibandingkan
dengan daging ternak ruminansia lain. Masyarakat Pandeglang menunjukkan
kesenangannya terhadap daging kerbau dan menganggapnya sebagai makanan yang
berharga dengan selalu menghidangkannya dalam perayaan-perayaan, pesta
pernikahan, acara keagamaan atau dalam peristiwa-peristiwa lain yang dianggap

1

penting, dan untuk keperluan lauk-pauk sehari-hari. Sistem pemeliharaan kerbau di
beberapa lokasi peternakan masih secara tradisional.
Daging kerbau memang kurang disukai jika dibandingkan dengan daging sapi
karena kerbau yang dipotong umumnya berasal dari ternak tua (8-10 tahun) dan
digunakan sebagai ternak pekerja sehingga daging yang dihasilkan tidak empuk,
juiceness rendah, dan rasanya kurang enak. Hal ini menyebabkan daging kerbau

tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik. Keempukan daging
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan serabut otot, jenis ternak, pakan,
aktivitas ternak serta perlakuan sebelum dan sesudah dipotong. Umur dan jenis
kelamin ternak juga turut mempengaruhi kualitas daging (Rao et al., 2009).
Meskipun demikian, pengetahuan mengenai kualitas daging kerbau khususnya di
wilayah Pandeglang masih belum banyak dilakukan. Penelitian diperlukan untuk
mempelajari lebih lanjut kualitas fisik daging kerbau pada umur dan jenis kelamin
yang berbeda.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh umur dan jenis kelamin
terhadap karakteristik fisik daging kerbau.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kualitas
daging kerbau dari tingkat umur dan jenis kelamin yang berbeda agar menghasilkan
daging yang mempunyai nilai tambah.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau (Bubalus bubalis)

Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi
dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies
Bubalus bubalis memiliki tiga subspesies, yaitu kerbau sungai (B. bubalis bubalis)
yang berasal dari Asia Selatan, kerbau rawa (B. bubalis carabanesis) yang berasal
dari Asia Tenggara dan kerbau liar atau Arni (B. bubalis arnee). Klasifikasi ternak
kerbau sebagai berikut.
Kingdom

: Animalia

Kelas

: Mamalia

Sub-kelas

: Ungulata

Ordo


: Artiodactyla

Sub-ordo

: Ruminansia

Famili

: Bovidae

Genus

: Bubalus

Spesies

: Bubalus bubalis Linn

Kemampuan toleransi kerbau terhadap lingkungan, kesehatan dan produksi,
pada beberapa wilayah menyamai atau bahkan melebihi sapi lokal. Kebanyakan

kerbau air merupakan hewan yang belum dikenal luas dan belum dikembangkan
untuk produksi. Kerbau air terdiri dari dua jenis umum, yaitu kerbau rawa dan kerbau
sungai. Kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina,
Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa berwarna mulai dari putih
atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Kerbau rawa umumnya
berwarna keabu-abuan, leher terkulai, pendek, gemuk, tanduk melengkung mengarah
ke belakang dan masif. Kerbau rawa berkubang di dalam air maupun kubangan
lumpur yang terdapat secara alamiah atau dibuat oleh kerbau. Kerbau rawa umumnya
digunakan sebagai ternak pekerja dan juga ternak pedaging tetapi jarang diternakan
untuk produksi susu. Kerbau lumpur mempunyai kemampuan beradaptasi yang
cukup baik terhadap lingkungan (iklim, pakan, dan pengangkutan) (Hasinah dan
Handiwirawan, 2006).

3

Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa berkubang pada
sungai yang berair jernih. Populasinya menyebar dari India sampai ke Mesir dan
Eropa. Kerbau sungai merupakan ternak tipe perah umumnya berwarna hitam,
memiliki tanduk yang keriting atau melingkar ke bawah membentuk spiral. Kerbau
sungai berasal dari India dan Pakistan, tetapi juga ditemukan di barat daya Asia dan

tenggara Eropa (Hasinah dan Handiwirawan, 2006)
Karkas Kerbau
Karkas kerbau adalah tubuh kerbau yang telah disembelih, utuh atau dibelah
membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah dikuliti, isi perut dikeluarkan, tanpa
kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin kerbau jantan atau ambing kerbau betina
yang telah dipisahkan dengan atau tanpa ekor. Kepala dipotong di antara tulang
ocipital (Os. occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os. atlas). Kaki depan
dipotong di antara carpus dan metacarpus; kaki belakang dipotong di antara tarsus
dan metatarsus (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Walaupun kulit dan
kepalanya lebih berat, persentase karkas (dressing percentage) kerbau hampir sama
dengan sapi, yaitu mencapai sekitar 53%. Ketebalan lemak subkutan kerbau lebih
tipis dibandingkan dengan sapi. Produksi karkas kerbau memiliki persentase lemak
kurang dari 25% dari berat karkas. Proporsi otot karkas kerbau lebih dibandingkan
sapi dan proporsi tulangnya lebih rendah, rusuk kerbau lebih melingkar dibandingkan
sapi (National Research Council, 1981).
Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan
komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen
karkas. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologi
dan nutrisi. Umur, berat hidup, dan laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi
komposisi karkas. Proporsi tulang, otot, dan lemak sebagai komponen utama karkas

dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Bila proporsi salah satu variabel lebih tinggi,
maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah. Komposisi kimia
karkas terutama terdiri atas air, protein, lemak dan abu secara proporsional juga
dapat berubah bila salah satu variabel mengalami perubahan (Soeparno, 2005).
Karkas dapat digunakan untuk menentukan berat dan persentase tanpa tulang, serta
produk retail hasil trimming (Greiner et al., 2003). Faktor yang diperhitungkan dalam

4

mengestimasi jumlah daging dari suatu karkas (kualitas hasil) pada daging
ruminansia besar meliputi ketebalan lemak subkutan, luas area urat daging mata
rusuk, persentase lemak visceral (lemak penyelubung ginjal, jantung dan pelvis)
terhadap berat karkas (Soeparno, 2005).
Daging Kerbau
Daging kerbau yang dipotong umumnya berasal dari ternak yang tua (8-10
tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah serta menarik barang (sebagai
kendaraan). Akibatnya, daging kerbau yang dijual di pasar tidak empuk, juiceness
rendah, flavornya kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang
bermutu baik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Daging kerbau pada dasarnya
sama dengan daging sapi. Daging kerbau memiliki karakteristik nilai pH daging 5,4;

kadar air 76,6%; protein 19%; dan kadar abu 1%.
Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap
dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya pigmentasi
pada daging kerbau atau lemak intramuskuler yang lebih sedikit (National Research
Council, 1981). Kualitas konsumsi daging kerbau serupa dengan daging sapi bahkan
lebih disukai di beberapa daerah. Kadar lemak daging kerbau lebih rendah sehingga
dapat memenuhi keinginan konsumen dewasa ini. Walaupun demikian, daging
kerbau lebih banyak mengandung tenunan pengikat dan berwarna lebih gelap
sehingga cenderung mengurangi kualitas dibandingkan dengan daging sapi (Lawrie,
2003).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan
meliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan (termasuk
bahan aditif) dan stres (Soeparno, 2005). Faktor yang mempengaruhi kualitas daging
setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan,
pH karkas dan daging, bahan tambahan (enzim pengempuk daging, hormon dan
antibiotik), lemak intramuskuler (marbling), metode penyimpanan dan preservasi,
serta jenis otot daging dengan lokasi anatomis (Soeparno, 2005 Lawrie, 2003).
Faktor kualitas daging konsumsi ditentukan terutama oleh warna, keempukan dan
tekstur, flavor dan aroma (bau, cita rasa, dan juiceness). Selain itu, faktor lemak


5

intramuskuler, susut masak (cooking loss), retensi cairan, dan pH daging ikut
menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005).
Otot Longissimus Dorsi
Longissimus dorsi adalah otot yang sangat penting dan membentuk mata
daging jika dipotong dari area rusuk dan dari loin. Otot Longissimus dorsi terdiri atas
banyak sub unit otot yang masing-masing membantu fleksibilitas vertebrata colum
dan gerakan leher serta aktivitas pernafasan (Swatland, 1984).
Penampang lintang Longissimus dorsi meluas ke arah posterior rusuk. Otot
Longissimus dorsi bagian loin mempunyai penampang lintang yang hampir konstan.
Area Longissimus dorsi di antara bagian seperempat depan dan seperempat belakang
dari karkas, yaitu di antara rusuk ke 12 dan ke 13 sering diuji untuk menaksir jumlah
daging dari suatu karkas. Luas area Longissimus dorsi ini juga dapat dipergunakan
sebagai petunjuk perbedaan tingkat perototan di antara karkas dengan panjang karkas
yang kira-kira sama. Area Longissimus dorsi, pada rusuk ke 12 atau loin sering
disebut Rib Eye Area (REA) pada loin (Lawrie, 2003).
Sifat Fisik Daging
Nilai pH Daging

Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu
substansi. Nilai pH daging sapi yang baru dipotong berkisar antara 6,5-6,8 kemudian
mengalami penurunan dengan cepat sampai 5,6-5,8 setelah 24 jam. Nilai pH akhir
normal daging postmortem adalah antara 5,4-5,8 (Soeparno, 2005). Jaringan otot
hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun
setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang
akan mempengaruhi nilai pH. Nilai pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot
habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif yaitu pada nilai pH
rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik.
Menurut Soeparno (2005), nilai pH ultimat daging normal adalah antara 5,4-5,8.
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan
penurunan nilai pH karkas postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya
meningkatkan laju penurunan nilai pH, sedangkan temperatur rendah menghambat
laju penurunan pH (Soeparno, 2005).
6

Menurut Rao et al. (2009), nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur, tetapi
terdapat perbedaan sangat nyata di antara jenis kelamin pada daging kerbau segar
dan tidak terdapat perbedaan nyata setelah daging disimpan pada suhu beku (-15 + 1
o

C) selama 1-7 hari. Perbedaan sangat nyata tersebut mengindikasikan bahwa daging

kerbau jantan (6,72+0,04) memiliki nilai pH lebih tinggi daripada betina (6,58+0,06).
Menurut Zein (1991), umur pemotongan sapi berpengaruh terhadap nilai pH
daging sebelum dilakukan penyimpanan. Nilai pH yang didapat untuk masingmasing kelompok umur I1, I2, I3 adalah 6,27; 6,12; 6,34. Keadaan ini disebabkan
kandungan glikogen dalam otot cenderung turun pada ternak tua terutama ternak
yang dipertahankan sebagai sumber tenaga. Kandungan glikogen yang rendah pada
ternak sebelum dipotong menyebabkan pH akhir yang lebih tinggi. Data kandungan
glikogen dan asam laktat pada karkas kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 1.
Bertambahnya waktu postmortem mengakibatkan konsentrasi glikogen menurun dan
asam laktat meningkat. Konsentrasi glikogen signifikan lebih tinggi pada kerbau saat
40 menit (0 hari) postmortem. Besarnya konsentrasi asam laktat menggambarkan
penurunan pH (Neath et al., 2007).
Tabel 1. Konsentrasi Glikogen dan Asam Laktat pada Daging Kerbau dan Sapi
Waktu
Postmortem
(hari)

Glikogen
(μmol/g otot + SD)
Kerbau
Sapi

Asam Laktat
(μmol/g otot + SD)
Kerbau
Sapi

0

31,4+2,7a

20,5+2,0b

27,1+3,6

49,0+15,9

2

19,5+2,6

15,6+1,5

93,7+5,3

104,5+2,2

4

17,4+1,6

14,1+1,0

99,5+9,2

94,5+9,3

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P0,05) terhadap nilai daya mengikat air
karena implikasi dari nilai pH yang juga tidak berpengaruh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rao et al. (2009) bahwa daya mengikat air daging kerbau tidak
dipengaruhi oleh faktor umur, namun dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin
(P