The Potency of Non Sucrose Cajuputs Candy to Inhibit the Activity of Streptococcus mutans in Biofilm Formation

POTENSI CAJUPUTS CANDY NON SUKROSA SEBAGAI
PENGHAMBAT AKTIVITAS STREPTOCOCCUS MUTANS
DALAM PEMBENTUKAN BIOFILM

WINNY IFTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Cajuputs Candy
Non Sukrosa sebagai Penghambat Aktivitas Streptococcus mutans dalam
Pembentukan Biofilm adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Winny Iftari
NRP. F251100131

RINGKASAN
Winny Iftari. Potensi Cajuputs Candy Non Sukrosa sebagai Penghambat Aktivitas
Streptococcus mutans dalam Pembentukan Biofilm. Dibimbing oleh Dedi Fardiaz,
C. Hanny Wijaya, dan Boy M. Bachtiar.
Cajuputs candy merupakan produk fungsional yang berkhasiat melegakan
tenggorokan. Komponen flavor pada cajuputs candy, yaitu ekstrak kayu putih dan
peppermint dilaporkan mampu menghambat pembentukan biofilm oleh S. mutans
serotip C dalam penelitian sebelumnya. Cajuputs candy telah dikembangkan
menjadi cajuputs candy non sukrosa dengan mengganti sukrosa sebagai
komponen utama menjadi isomalt.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi cajuputs candy non
sukrosa dalam menghambat aktivitas S. mutans membentuk biofilm dengan
mengidentifikasi senyawa volatil yang terdapat di dalamnya, dan mengamati
penghambatan pembentukan biofilm. Pada penelitian ini, dibuat tiga jenis model
uji. Model uji kontrol (K) merupakan permen non sukrosa tanpa penambahan

komponen flavor, model uji cajuput candy non sukrosa (CC1) merupakan permen
non sukrosa dengan ekstrak kayu putih sebagai komponen flavor, dan model uji
cajuputs candy non sukrosa (CC2) merupakan permen non sukrosa yang
menggunakan ekstrak kayu putih dan ekstrak peppermint sebagai komponen
flavor.
Identifikasi senyawa volatil dilakukan dengan menggunakan Gas
Chromatography Mass Spectra (GC-MS) di laboratorium flavor Balai Besar Pusat
Penelitian Padi, Sukamandi-Subang, Jawa Barat dengan kolom kapiler DB-5 MS.
Senyawa volatil dalam ekstrak kayu putih dan peppermint digunakan sebagai
informasi awal untuk mengetahui senyawa volatil apa saja yang masih terdapat
dalam CC1 dan CC2.
Potensi penghambatan aktivitas S. mutans dalam pembentukan biofilm
diamati melalui pendekatan analisis penghambatan viabilitas massa biofilm dan
kuantifikasi mRNA gtfB-gtfC bakteri ini pada masa inkubasi selama 4 dan 6 jam.
Analisis viabilitas massa biofilm dan kuantifikasi mRNA gtfB-gtfC dilakukan di
laboratorium oral biologi FKG, Universitas Indonesia. Viabilitas massa biofilm
setelah pemberian model uji, diperoleh dengan mengamati nilai absorbansi
suspensi biofilm dengan menggunakan microplate Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) Reader. Level ekspresi mRNA gtfB dan gtfC diperoleh dengan
mengamati nilai C T gtfB dan gtfC selama proses amplifikasi dengan Real Time

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Hasil analisis senyawa volatil dengan GC-MS menunjukkan bahwa
berdasarkan nilai LRI-nya terdapat 22 senyawa volatil dalam ekstrak kayu putih
dan 17 senyawa volatil dalam ekstrak peppermint. Ekstrak kayu putih
teridentifikasi mengandung senyawa utama berturut-turut: 1,8-sineol (47,61%), αterpineol (10,76%), α-karyofilen (7,91%), γ-terpinen (5,78%), terpinyl asetat
(4,09%), α-pinen (3,90%), p-cymene (3,75%), dan terpinolen (3,52%). Sedangkan
ekstrak peppermint teridentifikasi mengandung senyawa volatil utama berturutturut: mentol (32,53%), menthon (15,60%), isomenthon (11,87%), metil salisilat
(10,86%), D-limonen (10,07%), β-pinen (3,77%), dan α-pinen (3,09%).

Komposisi senyawa volatil dari ekstrak kayu putih dan peppermint ini dijadikan
senyawa volatil target pada model. Berdasarkan hasil analisis senyawa volatil
terhadap model uji, diketahui bahwa terdapat 14 senyawa volatil pada CC1 dan 18
senyawa volatil terdapat pada CC2. Senyawa volatil yang masih terdapat pada
pada CC1 adalah 1,8-sineol (39,26%), α-terpineol (19,63%), dan α-karyofilen
(17,90%). Senyawa volatil pada CC2 adalah mentol (23,47%), α-terpineol
(17,57%), 1,8-sineol (14,94%), α-karyofilen (13,46%), menthone (7,80%), dan
isomenthone (7,65%).
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa kemampuan
model uji K, CC1, dan CC2 dalam menghambat pembentukan massa biofilm
optimum pada masa inkubasi 4 jam dengan potensi penghambatan sebesar

63,98% oleh K, 48,34% oleh CC1, dan 65,64% oleh CC2. Pada masa inkubasi 6
jam, potensi penghambatan pembentukan massa biofilm oleh seluruh model uji
< 50%, hanya model uji CC2 yang memiliki potensi penghambatan > 40%.
Level ekspresi mRNA gtfB akibat pemberian model uji K, CC1, dan CC2
justru lebih tinggi dibandingkan blanko (tanpa model uji) pada masa inkubasi 4
jam. Pemberian model uji baru dapat menghambat ekspresi mRNA gtfB pada
masa inkubasi 6 jam. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh mRNA gtfC, pemberian
model uji K, CC1 dan CC2 sudah dapat menghambat ekspresi mRNA gtfC mulai
dari masa inkubasi 4 jam. Model uji CC2 yang mengandung senyawa volatil
utama berupa mentol dan α-terpineol diketahui memiliki kemampuan
penghambatan ekspresi mRNA gtfB dan gtfC paling baik.
Hasil penelitian membuktikan bahwa cajuputs candy non sukrosa (model uji
CC2) dapat menghambat pembentukan massa biofilm oleh S. mutans dengan
masa inkubasi optimum selama 4 jam dan potensi penghambatan sebesar 65,64%.
Pada masa inkubasi 4 jam, cajuputs candy non sukrosa menghambat pembentukan
biofilm oleh S. mutans dengan cara menghambat ekspresi mRNA gtfC, meskipun
ekspresi mRNA gtfB baru dapat dihambat setelah masa inkubasi 6 jam.
Kata kunci: biofilm, cajuputs candy, mRNA gtfB-gtfC, senyawa volatil,
S. mutans.


SUMMARY
Winny Iftari. The Potency of Non Sucrose Cajuputs Candy to Inhibit the Activity
of Streptococcus mutans in Biofilm Formation. Supervised by Dedi Fardiaz,
C. Hanny Wijaya, and Boy M. Bachtiar.
Cajuputs candy is a confectionery considered as functional product effective
for throat lozenges. Flavor compounds of cajuputs candy has been reported as
inhibitor of biofilm formation by S. mutans serotype C. Non sucrose cajuputs
candy is a product of cajuputs candy developed by replacing sucrose as the main
component by isomalt.
The aim of this research is to observe the potency of non sucrose cajuputs
candy to inhibit the activity of S. mutans in biofilm formation by identifying the
volatil components of candy and monitoring the formation of biofilm. This study
has three experiment models. Control model (K) is non sucrose candy without
flavor compounds, CC1 model is cajuput candy non sucrose with cajuput extract
as flavor compound, and CC2 model is cajuputs candy non sucrose with cajuput
and peppermint extract as flavor compounds.
The volatil components was identified using Gas Chromatography Mass
Spectra (GC-MS) with capillary column DB-5 MS in flavor laboratory of
Indonesia Rice Research Center, Sukamandi-Subang, West Java. The volatil
components of cajuput and peppermint extract is used as former information that

could verify volatil components in CC1 and CC2.
The inhibition of S. mutans activity in biofilm formation was monitored by
analysis of biofilm mass viability and quantification of gtfB-gtfC mRNA with 4
and 6 hours incubation time. The viability of biofilm mass analysis and mRNA
quantification was conducted in biology oral laboratory of Dentistry FacultyUniversity of Indonesia. The viability of biofilm mass obtained by monitoring the
absorbance of biofilm suspension using microplate Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) Reader. Expression level of gtfB-gtfC mRNA
obtained by monitoring the C T value of gtfB and gtfC mRNA during amplification
process using Real Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
The identification result of volatil components based by LRI value showed
that cajuput extract has 22 volatil components inside meanwhile peppermint
extract has 17 volatil compponents inside. The main volatil components of
cajuput extract, consecutively are 1,8-cineole (47,61%), α-terpineol (10,76%), αcaryophyillene (7,91%), γ-terpinene (5,78%), terpinyl acetate (4,09%), α-pinene
(3,90%), p-cymene (3,75%), and terpinolene (3,52%). The main volatil
components of peppermint extract, consecutively are menthol (32,53%), menthon
(15,60%), isomenthon (11,87%), methyl salicylate (10,86%), D-limonene
(10,07%), β-pinene (3,77%), dan α-pinene (3,09%). The volatil components of
cajuput and peppermint extract becoming components target of CC1 and CC2.
The study showed that CC1 has 14 volatil components with main volatil
components consecutively are 1,8-cineole (39,26%), α-terpineol (19,63%), dan αcaryophyillene (17,90%). Meanwhile CC2 has 18 volatil components with main

volatil components consecutively are menthol (23,47%), α-terpineol (17,57%),

1,8-cineole (14,94%), α-caryophyllene (13,46%), menthone (7,80%), dan
isomenthone (7,65%).
This research showed that the optimum inhibition of biofilm mass formation
occured in 4 hours incubation with inhibition potency of K, CC1, and CC2
consecutively are 63,98%, 48,34%, and 65,64%. The inhibition potency of all
models are less than 50% in 6 hours incubation, only CC2 has inhibition potency
more than 40%.
The expression level of gtfB mRNA in K, CC1, and CC2 model is higher
than blank during 4 hours incubation. The experiment models K, CC1, and CC2
could inhibit the expression of gtfB mRNA later (6 hours incubation). Meanwhile,
the existence of K, CC1, and CC2 could inhibit gtfC mRNA expression since 4
hours incubation. The experiment model CC2 containing mentol, α-terpineol, and
1,8-cineole as main volatil components has the best effect in inhibiting gtfB and
gtfC mRNA expression.
This study prove that non sucrose cajuputs candy (CC2) could inhibit
S. mutans activity in biofilm formation with optimum inhibition in 4 hours
incubation with inhibition percentage 65,64%. Non sucrose cajuputs candy inhibit
biofilm formation by inhibiting S. mutans activity in expressing mRNA gtfC

although the inhibition of mRNA gtfB occured later.
Key words: biofilm, cajuputs candy, gtfB-gtfC mRNA, S. mutans, volatil
components.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI CAJUPUTS CANDY NON SUKROSA SEBAGAI
PENGHAMBAT AKTIVITAS STREPTOCOCCUS MUTANS
DALAM PEMBENTUKAN BIOFILM

WINNY IFTARI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar komisi pembimbing: Prof Dr Ir Sedarnawati Yasni, MAgr

Judul Tesis

Nama
NRP

: Potensi Cajuputs Candy Non Sukrosa sebagai Penghambat

Aktivitas Streptococcus mutans dalam Pembentukan
Biofilm
: Winny Iftari
: F251100131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc
Ketua

Prof Dr Ir C Hanny Wijaya, MAgr
Anggota

Prof drg Boy M Bachtiar, MS PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ratih Dewanti Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Mei 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penghargaan dan
terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc, Ibu
Prof Dr C Hanny Wijaya, MAgr, dan Bapak Prof drg Boy M Bachtiar, MS, Phd
selaku komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan dan dorongan. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr Ir Anton Apriyantono, MS yang bersedia
meluangkan waktu untuk membagikan ilmunya, kepada Bapak Dr Ir Bram
Kusbiantoro, MS selaku kepala laboratorium flavor di BB Pusat Penelitian Padi –
Sukamandi, Subang, Jawa Barat yang telah mengizinkan penulis untuk
melaksanakan penelitian di sana serta Ibu Prof Dr Ir Sedarnawati Yasni, MAgr
yang telah bersedia menjadi dosen penguji di luar komisi pembimbing.
Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar di program
studi Ilmu Pangan yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama masa
studi. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih setulus-tulusnya kepada
seluruh staf dan pegawai di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
banyak membantu penulis baik dalam hal administrasi maupun di laboratorium
selama penulis menuntut ilmu di program studi Ilmu Pangan. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada para teknisi di laboratorium Biologi Oral FKG-UI dan
laboratorium flavor di BB Pusat Penelitian Padi – Sukamandi, Subang, Jawa Barat
atas segala bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Herla
Rusmarilin, MS dan Dr Elisa Julianti, STP, Msi dari departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan – Universitas Sumatera Utara yang senantiasa memberikan
dukungan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana di program
studi Ilmu Pangan, IPB. Terima kasih tak lupa pula penulis sampaikan kepada
teman-teman CHWers yang senantiasa mengingatkan dan memberikan semangat
kepada penulis. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di program studi
Ilmu Pangan angkatan 2010 yang telah bersama-sama melewati banyak
perjuangan untuk dapat betahan dan menyelesaikan studi, saling mengingatkan
dan menguatkan. Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada saudarasaudaraku sehalaqoh dan wisma Andika yang senantiasa mengingatkan,
menasihati, dan menyemangati penulis, begitu pun kepada saudara-saudara di
HIMMPAS IPB dan ISC Al Hurriyyah, terima kasih Saudaraku.
Terakhir, terima kasih kepada kedua orangtua penulis yaitu Drs
Nispiansyah, MPd dan Dra Hastuti atas doa, perhatian, dan kasih sayang yang
tiada putus sehingga penulis senantiasa terpacu untuk dapat menyelesaikan
pendidikan. Terima kasih kepada adik-adikku Luki Itsardi, ST dan Nesti Gayatri
atas doa dan perhatiannya.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita dalam mengemban dan
melaksanakan tugas kemasyarakatan.
Bogor, Mei 2013
Winny Iftari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................

1

Perumusan Masalah ...............................................................................

2

Tujuan Penelitian ...................................................................................

3

Hipotesis.................................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Kayu Putih (Cajuput Oil) .........................................................

3

Minyak Peppermint (Peppermint Oil) ...................................................

4

Cajuputs candy .......................................................................................

5

Isomalt ....................................................................................................

6

Karies Gigi .............................................................................................

7

Streptococcus mutans .............................................................................

7

Biofilm Oral ...........................................................................................

8

Glukosiltransferase................................................................................. 10
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat Penelitian ...................................................................... 11
Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................. 11
Prosedur Penelitian ................................................................................ 11
Pembuatan Model uji ................................................................. 12
Analisis Senyawa Volatil ........................................................... 13
Analisis Penghambatan Aktivitas Pembentukan Biofilm
Pembiakan S. mutans ...................................................... 15
Analisis Penghambatan Viabilitas Massa Biofilm ......... 15
Analisis Penghambatan Ekspresi mRNA gtfB dan gtfC
Ekstraksi RNA Total ............................................. 17
Sintesis cDNA ....................................................... 18
Penentuan Level Ekspresi mRNA gtfB dan gtfC .. 18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Senyawa Volatil ................................................................... 19
Penghambatan Aktivitas Pembentukan Biofilm .....................................
Penghambatan Viabilitas Massa Biofilm .................................... 27
Penghambatan Ekspresi mRNA gtfB .......................................... 28
Penghambatan Ekspresi mRNA gtfC .......................................... 29
Hubungan Komposisi Senyawa Volatil dengan Penghambatan
Aktivitas Pembentukan Biofilm ............................................................. 31
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ................................................................................................. 32
Saran ....................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 33
LAMPIRAN ....................................................................................................... 38
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ 47

DAFTAR TABEL
1 Senyawa volatil dalam minyak kayu putih....................................................

4

2 Senyawa volatil dalam minyak peppermint ..................................................

5

3 Model uji dan komposisinya ......................................................................... 13
4 Sekuen nukleotida primer mRNA gtfB, mRNA gtfC, dan
housekeeping gene (16S rRNA) .................................................................... 18
5 Senyawa volatil (dalam rasio) dari ekstrak kayu putih, ekstrak peppermint,
cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) .
yang terdeteksi ............................................................................................... 20
6 Hasil analisis senyawa volatil ekstrak kayu putih (EKP), ekstrak
peppermint (EP), cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy
non sukrosa digolongkan berdasarkan hidrokarbon penyusunnya ................ 21
7 Persentase penghambatan viabilitas massa biofilm oleh kontrol (K),
cajuputs candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) 27

DAFTAR GAMBAR
1 Tahap pembentukan biofilm ........................................................................

9

2 Diagram alir langkah kerja penelitian ......................................................... 12
3 Diagram alir proses pembuatan model uji ................................................... 13
4 Diagram alir analisis senyawa volatil .......................................................... 14
5 Diagram alir analisis penghambatan viabilitas massa biofilm
dan ekspresi mRNA gtfB-gtfC ..................................................................... 16
6 Struktur bangun 1,8-sineol (a), α-terpineol (b), menton (c), mentol (d) ..... 22
7 Kromatogram senyawa volatil dari ekstrak kayu putih ............................... 23
8 Kromatogram senyawa volatil dari ekstrak peppermint .............................. 24
9 Kromatogram senyawa volatil dalam cajuput candy non sukrosa (CC1) ... 25
10 Kromatogram senyawa volatil dalam cajuputs candy non sukrosa (CC2).. 26
11 Ekspresi mRNA gtfB oleh S. mutans pada blanko, kontrol (K), cajuput
candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) selama
inkubasi 2, 4, dan 6 jam ............................................................................... 28
12 Ekspresi mRNA gtfC oleh S. mutans pada blanko, kontrol (K), cajuput
candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) selama
inkubasi 2, 4, dan 6 jam ............................................................................... 30

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil identifikasi senyawa volatil dalam ekstrak kayu putih ...................... 38
2 Hasil identifikasi senyawa volatil dalam ekstrak peppermint ..................... 39
3 Hasil identifikasi senyawa volatil dalam cajuput candy (CC1)
40
4 Hasil identifikasi senyawa volatil dalam cajuputs candy (CC2) ................ 41
5 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada blanko (ulangan I) .............................. 43
6 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada blanko (ulangan II)............................. 43
7 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada masa inkubasi 4 jam (ulangan I) ........ 43
8 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada masa inkubasi 4 jam (ulangan II)....... 43
9 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada masa inkubasi 6 jam (ulangan I) ........ 44
10 Hasil amplifikasi mRNA gtfB pada masa inkubasi 6 jam (ulangan II)....... 44
11 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada blanko (ulangan I).............................. 44
12 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada blanko (ulangan II) ............................ 44
13 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada masa inkubasi 4 jam (ulangan I) ........ 45
14 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada masa inkubasi 4 jam (ulangan II) ...... 45
15 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada masa inkubasi 6 jam (ulangan I) ........ 45
16 Hasil amplifikasi mRNA gtfC pada masa inkubasi 6 jam (ulangan II) ...... 46
17 Nilai Optical Density (OD) suspensi biofilm.............................................. 46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi Roxb.) merupakan tanaman khas
Indonesia yang dapat menghasilkan minyak kayu putih. Minyak kayu putih
diperoleh sebagai hasil penyulingan dari daun dan ranting tanaman kayu putih
(Guenther 1990). Minyak kayu putih sangat digemari karena memiliki aroma
yang khas serta warna yang hijau bening, selain itu juga memiliki banyak manfaat
bagi tubuh.
Penduduk pribumi di Malaysia menggunakan minyak kayu putih sebagai
obat dalam untuk sakit perut dan saluran pencernaan (Guenther 1990).
Di Indonesia, minyak kayu putih telah lama dipercaya sebagai obat tradisional
yang memiliki banyak manfaat, baik sebagai obat luar maupun obat dalam.
Meskipun penggunaannya sebagai obat dalam masih sangat jarang ditemukan di
Indonesia, minyak kayu putih telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk
mengobati sakit gigi karena minyak kayu putih memiliki kemampuan sebagai
antiseptik. Minyak kayu putih dapat digunakan untuk melegakan tenggorokan,
mencegah iritasi, mengobati luka, dan menghambat jamur (Budavari 1989).
Pemanfaatan minyak kayu putih sebagai kekayaan herbal lokal berbasis
pangan fungsional telah dilakukan oleh Wijaya et al. (2002) yang telah
mendapatkan hak paten (ID 0 000 385 S) atas komposisi cajuputs candy sebagai
pelega tenggorokan. Cajuputs candy merupakan produk konfeksioneri fungsional
dengan komponen utama yaitu sukrosa dan komponen flavor yaitu ekstrak kayu
putih dan ekstrak peppermint alami.
Minyak kayu putih dan minyak peppermint telah lama diketahui
mengandung senyawa volatil yang dapat berperan sebagai antimikroba.
Jedlickova (1994) melaporkan bahwa senyawa volatil (1,8- sineol, linalool,
terpineol, dan terpinen-4-ol) yang diisolasi dari minyak kayu putih Vietnam
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan Streptococcus spp. A, B, C,
dan G. Sementara itu, kemampuan antimikroba minyak peppermint menurut
Inouye et al. (2001) ditentukan oleh keberadaan senyawa volatil mentol dan
menton. Hasil penelitian sebelumnya oleh Nurramdhan (2010) menunjukkan
bahwa formula cajuputs candy yang mengandung ekstrak kayu putih dan ekstrak
peppermint, mampu menghambat pembentukan biofilm oleh S. mutans.
Penggunaan sukrosa sebagai komponen utama pada cajuputs candy masih
berpotensi menginduksi pembentukan biofilm mengingat sukrosa dapat
dimanfaatkan oleh S. mutans untuk menghasilkan polisakarida ekstraseluler (EPS)
(Leme et al. 2006). Penelitian terus dikembangkan untuk meningkatkan khasiat
cajuputs candy sebagai produk fungsional. Christie (2012) melalui penelitian
yang dilakukannya telah mendapatkan formulasi terbaik untuk cajuputs candy
non sukrosa dengan menggunakan isomalt sebagai pengganti sukrosa. Isomalt
diketahui lebih rendah kalori dan tidak mampu dimanfaatkan oleh S. mutans
untuk membentuk biofilm pada gigi (Mitchell 2006).
Biofilm adalah komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan
gigi dan dilapisi oleh polisakarida ekstraseluler (EPS) tidak larut yang
disekresikan oleh bakteri itu sendiri (Marsh dan Martin 2009).

2

S. mutans membentuk biofilm dengan memanfaatkan karbohidrat yang tertinggal
dalam mulut dan mensekresikan enzim glukosiltransferase B dan C (GTFB dan
GTFC) untuk membentuk EPS. Sekresi enzim GTFB dan GTFC dikodekan oleh
gen gtfB dan gtfC (Kuramitsu 1993). Biofilm yang terdapat pada permukaan gigi
merupakan pemicu terjadinya karies pada gigi (Simon 2007).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2004 yang dilakukan
oleh Depkes RI menunjukkan prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara
85% - 99% dan cenderung mengalami peningkatan (Sintawati dan Tjahya 2009).
Tingginya prevalensi karies gigi di Indonesia memberikan peluang bagi cajuputs
candy non sukrosa untuk dijadikan produk oral care (perawatan gigi dan mulut)
jika terbukti berpotensi menghambat pembentukan biofilm oleh S. mutans.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi cajuputs candy non
sukrosa dalam menghambat aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans,
melalui pendekatan analisis senyawa volatil, penghambatan viabilitas massa
biofilm, dan penghambatan ekspresi mRNA gtfB-gtfC. Proses pembuatan cajuputs
candy non sukrosa yang menerapkan suhu tinggi diyakini dapat mengubah
komposisi senyawa volatil di dalamnya padahal aktivitas antimikroba pada
minyak atsiri menurut Inouye et al. (2001) sangat ditentukan oleh stabilitas
senyawa volatil di dalamnya. Perubahan komposisi senyawa volatil dalam
cajuputs candy non sukrosa yang terjadi diharapkan masih dapat menghambat
ekspresi mRNA gtfB dan gtfC oleh S. mutans sehingga tetap berpotensi
menghambat aktivitasnya membentuk biofilm. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan awalan untuk melakukan uji klinis cajuputs candy non sukrosa.

Perumusan Masalah
Senyawa volatil dalam minyak kayu putih dan peppermint telah lama
diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Hasil penelitian Nurramdhan (2010)
menegaskan bahwa formula cajuputs candy yang mengandung ekstrak kayu putih
dan ekstrak peppermint, mampu menghambat pembentukan biofilm oleh
S. mutans. Namun belum diketahui bagaimana aktivitas antimikroba ekstrak kayu
putih dan peppermint setelah diterapkan pemanasan pada suhu tinggi saat proses
pembuatan cajuputs candy non sukrosa, apakah senyawa volatil yang memiliki
aktivitas antimikroba paling baik masih terdapat di dalam cajuputs candy non
sukrosa? Hal ini mendasari penulis untuk mengamati komposisi senyawa volatil
yang terdapat di dalam ekstrak kayu putih, ekstrak peppermint, maupun cajuputs
candy non sukrosa itu sendiri. Analisis senyawa volatil yang dilakukan
diharapkan dapat mempertegas apa yang menyebabkan terhambatnya aktivitas
S. mutans dalam membentuk biofilm, apakah komponen flavor atau isomalt yang
digunakan?
Aktivitas S. mutans dalam membentuk biofilm sangat ditentukan oleh
keberadaan sukrosa di lingkungan pertumbuhannya (Leme et al. 2006), sehingga
S. mutans dapat membentuk biofilm dengan mensekresikan GTFB dan GTFC.
Apakah substitusi sukrosa menjadi isomalt pada cajuputs candy non sukrosa dapat
menyebabkan penurunan aktivitas S. mutans untuk membentuk biofilm? Hal ini
kemudian dapat diketahui dengan mengamati ekspresi mRNA gtfB dan gtfC.
Menurunnya aktivitas pembentukan biofilm dapat diketahui dengan menurunnya

3

biomassa biofilm yang terbentuk yang ditandai dengan penurunan nilai Optical
Density (OD) (Honda 2005). Dengan diketahuinya komposisi senyawa volatil dari
komponen flavor yang digunakan pada cajuputs candy non sukrosa dan aktivitas
S. mutans mengekspresikan mRNA gtfB dan gtfC untuk pembentukan biofilm
maka dapat ditentukan potensi cajuputs candy non sukrosa sebagai penghambat
aktivitas S. mutans dalam pembentukan biofilm.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi cajuputs candy non
sukrosa terhadap penghambatan aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans
sebagai salah satu faktor penyebab karies gigi dengan pendekatan analisis
senyawa volatil, viabilitas massa biofilm, dan kuantifikasi mRNA gtfB-gtfC.

Hipotesis
Cajuputs candy non sukrosa memiliki kemampuan untuk menghambat
aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans.

TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Kayu Putih (Cajuput Oil)
Kayu putih atau gelam (Melaleuca cajuputi Roxb.) merupakan tanaman
perdu dengan batang pohon kecil dan anak cabang yang banyak menggantung ke
bawah. Tanaman ini dapat tumbuh liar di daerah berhawa panas. Kayu putih tidak
memiliki syarat tumbuh yang spesifik karena memiliki toleransi yang cukup baik
untuk berkembang. Kayu putih biasa dimanfaatkan sebagai sumber minyak kayu
putih (cajuputs oil) yang merupakan hasil ekstraksi terutama dari daun dan
ranting tanamannya yang biasanya menggunakan cara penyulingan dengan uap
(Lutony 1994). Daun pohon kayu putih sangat aromatik sehingga paling banyak
disuling untuk menghasilkan minyak kayu putih yang biasanya beraroma seperti
kamper (camphor), rosemary atau biji kapulaga (cardamom seeds), serta memiliki
rasa yang pahit (Grieve 1995). Minyak atsiri hasil penyulingan daun kayu putih
berwarna kekuning-kuningan hingga kehijau-hijauan (Ipteknet 2005).
FDA (Food and Drug Administration), JECFA (Join Expert FAO/WHO
Committee on Food Aditives) seta FEMA (Flavor Extract Manufacturer’s
Association) mengizinkan penggunaan minyak kayu putih sebagai flavoring agent
pada bahan pangan karena tergolong bahan flavor yang alami (Burdock 2010).
FEMA melaporkan bahwa Possible Average Daily Intake (PADI) minyak kayu
putih sebesar 0,831 mg dengan penggunaannya dalam soft candy secara umum
adalah sebesar 6,80 ppm dan maksimal 9,5 ppm (Burdock 2010).
Minyak kayu putih dapat digunakan sebagai obat dalam (internal) dengan
dosis yang sangat kecil, yang berkhasiat untuk mengobati rhinitis (radang selaput
lendir), efektif mengobati demam, sebagai ekspektoran dalam kasus laryngitis dan

4

bronchitis, serta jika diteteskan ke dalam gigi dapat mengurangi rasa sakit gigi
(Lutony 1994). Minyak kayu putih telah lama digunakan sebagai obat tradisional
untuk mengobati berbagai penyakit karena diyakini memiliki sifat sebagai
antiseptik. Jedlickova (1994) dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa
senyawa volatil (1,8-sineol, linalool, terpineol, dan terpinen-4-ol) yang diisolasi
dari minyak kayu putih Vietnam memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
23 strain Staphylococcus aureus, 11 strain Escherichia coli, dan Pseudomonas
aeruginosa. Efek penghambatan komponen-komponen fitokimia minyak kayu
putih Vietnam paling baik adalah terhadap bakteri Candida albicans,
Streptococcus spp. A, B, C, dan G, Enterobacter spp., Salmonella spp., dan
Klebsiella pneumonia.
Aktivitas antimikroba minyak atsiri diperoleh dari komponen terpen dan
fenol yang terdapat secara alami di dalam minyak atsiri. Aktivitas terpen dan
fenol berhubungan dengan karakter lipofiliknya, kedua senyawa ini terakumulasi
di membran kemudian terjadi asosiasi dengan membran sehingga terjadi
penurunan energi pada mikroba (Conner 1993). Selain itu, Moreira et al. (2005)
dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa komponen fenolik dalam minyak
atsiri mensintesis fosfolipid bi-layer pada membran sel yang dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan kebocoran penyusun intraseluler penting atau
gangguan sistem enzim mikroba.
Tabel 1 Senyawa volatil dalam minyak kayu putih
No.
Senyawa volatil
1
1,8-sineol
2
α-terpineol
3
E-kariofilena
4
β-pinena
5
α-humulena
6
β-selinena
7
β-mirsena
8
α-selinena
9
α-terpenil asetat
Sumber: Muchtaridi et al. (2004).

Kadar (%)
22,45
12,45
6,9
5,74
4,70
3,82
3,58
2,9
2,74

Aktivitas antimikroba minyak kayu putih diharapkan juga terdapat pada
cajuputs candy dalam penelitian ini guna membuktikan khasiat permen tersebut
untuk mencegah karies gigi. Untuk itu, perlu dilakukan verifikasi komponen
volatil minyak kayu putih dan permen minyak kayu putih dengan menggunakan
GC-MS.

Minyak Peppermint (Peppermint Oil)
Minyak peppermint biasa digunakan secara luas dalam produk kesehatan,
permen karet, dan permen keras. Kandungan mentol yang memberikan sensasi
dingin dalam minyak peppermint berkisar antara 50-60% (De Rovira 1999).
Ma’mun dan Suhirman (2008) melaporkan bahwa penggunaan minyak

5

peppermint maksimum dalam permen adalah sebesar 0,104%. Senyawa volatil
dalam minyak peppermint secara umum ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2 Senyawa volatil dalam minyak peppermint
No.
Senyawa volatil
1.
Mentol
2.
Menton
3.
Mentofuran
4.
Mentil asetat
Sumber: Leung (1980).

Kadar (%)
29-48
20-31
6,8
3-10

Selain senyawa volatil seperti pada Tabel 2, masih terdapat komponen
lainnya seperti flavonoid (12%), polimer polifenol (19%), karoten, tokoferol,
betain, kolin, dan tannin. Dengan komponen volatil tersebut, minyak peppermint
efektif sebagai antibakteri, terutama terhadap bakteri gram positif yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dibandingkan dengan bakteri
gram negatif yaitu Escherichia coli dan Klebsiella pnumoniae (Singh et al. 2011).
Dari hasil analisis minyak peppermint dengan GC-MS yang dilakukan oleh
Aflatuni (2005), diketahui bahwa minyak peppermint mengandung 16 senyawa
volatil, yaitu α-pinen, sabinen, β-pinen, mirsen, limonen, 1,8-sineol, cis-p-menth2-en-1-ol, mentofuran, menton, mentol, pulegon, piperiton, mentil asetat,
β-borbonen, γ-kadinen, dan β-karyofilen.
Cajuputs Candy
Produk konfeksioneri merupakan produk pangan dengan gula sebagai
kandungan utamanya (Lawrence 1991). Permen sebagai salah satu produk
konfeksioneri dibagi atas dua kelas yaitu permen kristalin dan non kristalin. Hard
candy merupakan permen non kristalin yang memiliki tekstur keras, penampakan
mengkilat, dan bening (Jackson 1995). Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka
cajuputs candy tergolong pada hard candy.
Komposisi Cajuputs candy sebagai pelega tenggorokan telah dipatenkan
(ID 0 000 385 S) oleh Wijaya et al. (2002) dengan nama produk cajuputs candy
original. Cajuputs candy yang berkhasiat melegakan tenggorokan ini dapat
dijadikan sebagai produk konfeksioneri fungsional khas Indonesia.
Pengembangan cajuputs candy sebagai produk konfeksioneri fungsional terus
dilakukan agar dapat memiliki khasiat yang lebih baik daripada sebelumnya.
Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah dengan mengganti penggunaan
sukrosa dan glukosa pada cajuputs candy menjadi isomalt (Christie 2012).
Isomalt diketahui merupakan gula yang tidak menyebabkan karies pada gigi
(Mitchell 2006).
Suhu dan waktu pemanasan sangat menentukan rasa, tekstur, dan flavor
produk konfeksioneri (Lawrence 1991). Christie, (2012) dalam penelitiannya
telah mendapatkan formulasi, suhu dan waktu pemasakan terbaik untuk cajuputs
candy non sukrosa dengan bahan utama isomalt sehingga dapat diterima secara
organoleptik. Formulasi dan kondisi pemasakan yang dilaporkan oleh Christie

6

(2012) diterapkan dalam pembuatan cajuputs sugarfree candy sebagai model uji
dalam penelitian ini.

Isomalt
Pemanis golongan poliol diketahui bersifat toothfriendly sehingga sering
digunakan oleh industri konfeksioneri untuk menggantikan sukrosa atau gula
glukosa untuk menghasilkan produk yang aman bagi kesehatan gigi. Secara
umum, pemanis dari golongan poliol memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan sukrosa, diantaranya aman bagi gigi, rendah kalori dan
indeks glikemik atau dapat menurunkan nilai keduanya, merupakan pemanis
bebas gula (sugar free) yang dapat memberikan kesan bulky pada produk, stabil
secara kimia dan enzimatis, stabil terhadap mikroba, nonkariogenik, dan beberapa
diantaranya dapat memberikan sensasi dingin di mulut (Wijaya dan Mulyono
2010).
Pemanis dari golongan poliol yang digunakan dalam penelitian ini adalah
isomalt. Isomalt merupakan pemanis bebas gula yang dapat memberikan kesan
bulky pada produk, berbentuk kristal yang bersifat non higroskopis dan tidak
berbau (odorless), stabil terhadap hidrolisis kimiawi maupun enzimatis, serta
tidak dapat difermentasi oleh mikroorganisme. Tingkat kemanisan isomalt adalah
0,45 hingga 0,6 kali dibandingkan dengan sukrosa (=1,0). Kemanisan isomalt
sangat mirip dengan sukrosa, dan tidak menimbulkan aftertaste. Kristal isomalt
tidak memberikan efek dingin seperti yang dimiliki oleh pemanis poliol lainnya.
Sifat isomalt yang non higroskopis memudahkan penyimpanan karena kadar
airnya cenderung tidak berubah pada suhu 25°C dengan RH 85% sehingga umur
simpannya panjang. Sifatnya yang tidak higroskopis ini memberikan keuntungan
jika digunakan dalam permen keras, yaitu tidak mudah lengket (sticky) meskipun
disimpan lama. Isomalt memiliki kelarutan yang lebih rendah daripada sukrosa.
Kelarutan isomalt semakin meningkat dengan meningkatnya suhu. Viskositas
isomalt yang dipanaskan bergantung pada kecepatan pengadukan, pada
pembuatan permen, viskositas isomalt yang dipanaskan menunjukkan viskositas
yang lebih rendah daripada sirop sukrosa pada suhu yang sama. Pada pembuatan
permen keras menggunakan isomalt, dibutuhkan pemanasan pada suhu yang lebih
tinggi daripada pembuatan permen keras dengan sukrosa, hal ini bertujuan untuk
memperoleh kadar air akhir permen yang lebih rendah (Sentko dan Bernard
2012). Dengan sifat fisik maupun kimia isomalt seperti yang telah disebutkan,
isomalt merupakan pengganti gula yang ideal untuk industri pangan maupun
farmasi. Isomalt sangat tepat digunakan dalam industri konfeksioneri berbasis
sugar free, dengan aplikasi terbaik pada permen keras (Sentko dan Ettle 2006).
Karies gigi terjadi karena mikroba patogen dalam mulut, terutama
Streptococcus mutans menghasilkan asam dari hasil fermentasi karbohidrat.
Penurunan pH mulut di bawah 5,7 dapat menyebabkan Ca pada enamel gigi larut
dan terjadi karies gigi. Konsumsi isomalt ataupun produk yang menggunakan
isomalt sebagai pemanis tidak menyebabkan penurunan pH mulut hingga 5,7 atau
lebih rendah. Hal ini disebabkan isomalt tidak dapat dimanfaatkan mikroflora
patogen dalam mulut untuk metabolismenya (Sentko dan Bernard 2012).

7

Karies Gigi
Karies gigi merupakan masalah gigi penyebab utama gigi berlubang, yang
dapat menimbulkan rasa nyeri dan infeksi. Di dalam mulut terdapat banyak
bakteri patogen oportunis yang hidup dengan memanfaatkan sisa-sisa makanan
yang tertinggal sebagai bahan baku metabolismenya. Bakteri-bakteri ini dapat
mengubah gula yang tersisa pada gigi menjadi asam laktat. Karies gigi terjadi
ketika asam laktat hasil fermentasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob ini lebih
banyak jumlahnya daripada kecepatan remineralisasi kalsium dan fosfat oleh
saliva. Asam laktat yang dihasilkan dapat menurunkan pH mulut, sehingga bakteri
yang mendominasi rongga mulut hanya bakteri yang asidofilik, terutama
Streptococcus mutans (Marsh 1994).
Kondisi demineralisasi yang dilaporkan oleh Marsh (1994), merupakan
tahap awal terjadinya karies pada gigi yang kemudian membentuk plak. Segera
setelah gigi dibersihkan, protein saliva yang terdiri dari glikoprotein, sisa-sisa sel
bakteri, dan asam akan tereabsorsi ke permukaan enamel gigi. Gigi kemudian
membentuk lapisan yang disebut pelikel, yang mengawali terbentuknya biofilm
pada permukaan gigi (Davey dan O’toole 2000).
Pelikel dan matriks plak merupakan hasil dari host dan produk bakteri yang
terdiri dari beberapa komponen meliputi albumin, lisozim, amilase,
imunoglobulin A, prolin, dan mucins. Lapisan pelikel pada permukaan gigi
dikolonisasi oleh bakteri gram positif seperti S. mutans (Haake dan Kinder 2009).
Glukosiltransferase dan glukan yang berperan dalam perlekatan bakteri juga
terdapat dalam pelikel (Marsh dan Martin 2009).
Sukrosa yang sering ditambahkan dalam makanan dan minuman
disimpulkan sebagai penyebab utama karies gigi (Colby dan Russel 1997).
Sukrosa merupakan karbohidrat dengan berat molekul rendah sehingga dapat
cepat digunakan oleh mikroflora mulut sebagai substrat untuk sintesis
polisakarida ekstraseluler (EPS) dan intraseluler (IPS). EPS berperan dalam
akumulasi bakteri ke permukaan gigi dan menyebabkan perubahan biokimia dan
struktur dalam matriks biofilm, sedangkan IPS merupakan sumber endogen
karbohidrat yang dapat dimetabolisme untuk menghasilkan asam selama nutrien
terbatas (Leme et al. 2006).

Streptococcus mutans
Di dalam mulut terdapat jutaan bakteri patogen oportunis, namun tidak
semua bakteri tersebut mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan mulut
yang asam akibat dihasilkannya asam laktat oleh bakteri fermentatif dalam mulut.
Loesche (1986) melaporkan bahwa S. mutans merupakan satu-satunya bakteri
dominan yang terdapat dalam jumlah besar dalam mulut seseorang yang
menderita karies gigi. S. mutans merupakan bakteri gram positif yang berbentuk
bulat dan oval dengan diameter sekitar 2 mµ. S. mutans memerlukan CO 2 untuk
pertumbuhannya, jika diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Bakteri ini
hidup dalam rongga mulut pada permukaan yang keras seperti gigi. Jumlah
populasi S. mutans dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah diet
sukrosa dan keadaan higiena oral (Marsh dan Martin 2009).

8

S. mutans memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan gigi dengan
membentuk glukan yang tidak larut. Lapisan polisakarida ini kemudian
membentuk plak pada gigi. S.mutans yang menjadi penyebab utama karies gigi
dapat melekat pada enamel karena adanya pelikel saliva ataupun plak yang telah
lebih dulu dibentuk oleh bakteri lain (Lamont et al. 1991). S. mutans memiliki
reseptor dekstran pada permukaan dinding selnya sehingga memudahkan bakteri
ini untuk melekat pada permukaan gigi untuk memetabolisme sukrosa menjadi
dekstran ekstraseluler sehingga terjadi agregasi bakteri dan peningkatan koloni
(Roeslan 2002).
Metabolisme dekstran atau glukan ekstraseluler oleh S. mutans dilakukan
dengan mensekresikan enzim glucosyltransferase (GTF). Kemampuan S. mutans
memetabolisme sukrosa menjadi asam lebih cepat dibandingkan dengan bakteri
lain dalam agregasi. Glukan tidak larut yang kaya ikatan α-1,3-glukosidik yang
terutama dihasilkan oleh S. mutans ini dapat juga bertindak sebagai mediator
agregasi bakteri pada permukaan gigi. Oleh sebab itu, glukan tidak larut yang
pembentukannya dikatalisis oleh GTF merupakan ekspresi esensial dari virulensi
S. mutans (Roeslan 2002).
Biofilm Oral
Biofilm di dalam mulut merupakan komunitas mikroorganisme yang
melekat pada permukaan gigi dan dilapisi oleh matriks ekstraselular
(polisakarida), yang disekresikan oleh bakteri itu sendiri maupun diperoleh dari
lingkungan di sekitar mikroorganisme itu tumbuh (Marsh dan Martin 2009).
Biofilm adalah lapisan yang terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat
pada permukaan substrat, berada dalam keadaan diam, berlendir, dan tidak mudah
terlepas (Madigan et al. 2006).
S. mutans memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan gigi dengan
membentuk glukan yang tidak larut air. Lapisan polisakarida ini kemudian
membentuk plak pada gigi. Terbentuknya plak gigi memberikan lingkungan yang
ideal bagi pertumbuhan bakteri patogen dalam mulut. S. mutans merupakan jenis
bakteri patogen oportunis dalam mulut yang merupakan penyebab utama karies
gigi. Pembentukan plak gigi adalah tahap awal terjadinya karies gigi, kondisi
lingkungan mulut seperti ini dapat mempermudah komunitas mikroorganisme
yang melekat pada gigi untuk membentuk biofilm (Simon 2007).
Aparna dan Yadav (2008) menyatakan bahwa pembentukan biofilm secara
umum terdiri atas lima tahap, yang diilustrasikan pada Gambar 1. Tahap pertama
terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel mikroba pada permukaan
substrat. Pada tahap ini, sel-sel mikroba tidak melekat dengan kuat karena hanya
mengandalkan kekuatan ikatan van der Waals. Selama tahap ini, sel bakteri
mengalami pertumbuhan logaritmik.
Tahap kedua merupakan tahap perlekatan irreversible, dimana mikroba
memperbanyak diri sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk berkomunikasi
secara internal. Substansi Extracellular Polymeric Substance (EPS) mulai
dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. EPS yang terbentuk selanjutnya akan
memerangkap nutrisi dan mikroba lain di sekitarnya. Dengan demikian, agregat
sel terbentuk sedangkan motalitas sel menurun sejalan dengan semakin
progresifnya lapisan agregat (Aparna dan Yadav 2008).

9

Tahap ketiga adalah tahap maturasi. Pada tahap ini, biofilm terus tumbuh
yang sejalan dengan pertumbuhan koloni di dalamnya. Ketebalan lapisan biofilm
pada tahap ini dapat mencapai lebih dari 10 μm. Tahap keempat merupakan tahap
maturasi II, dimana biofilm yang dibentuk semakin tebal dan semakin melekat
kuat (Aparna danYadav 2008).

Gambar 1 Tahap pembentukan biofilm
Pada tahap kelima, terjadi dispersi sel-sel mikroba yaitu terlepasnya sel-sel
mikroba penyusun koloni baik dalam keadaan sendiri ataupun bersama dengan
sebagian komponen matriks penyusun biofilm untuk berkembang kembali
menjadi sel mikroba seperti pada keadaan awal (Aparna dan Yadav 2008).
Pembentukan biofilm merupakan tanda adanya proses lanjutan yang
mengkarakterisasi perubahan aktivitas gen dan regulasinya yang diperlukan pada
berbagai langkah pembentukan biofilm (Shemesh 2007).
Keberadaan sukrosa, yang dimediasi oleh enzim glukosiltransferase (GTF)
diketahui memiliki peran terhadap virulensi S.mutans (Kuramitsu 1993). Shemesh
(2007) membuktikan bahwa penambahan sukrosa pada media pertumbuhan TY
(Tryptone Yeast) dapat meningkatkan populasi sel S. mutans secara signifikan,
dengan ketebalan biofilm mencapai 380 μm melalui analisa dengan Confocal
Laser Scanning Microscopy (CLSM).

Glukosiltransferase
Glukosiltransferase (GTF) merupakan enzim yang bertanggung jawab
menghasilkan glukan larut dan glukan tidak larut dengan menggunakan sukrosa
sebagai substrat. GTF sangat penting dalam proses kolonisasi bakteri S. mutans
(Hamada dan Slade 1980). Glukan yang dihasilkan menempel pada permukaan
gigi merupakan tanda awal terjadinya karies pada gigi (Colby dan Russell 1997).
GTF yang disekresikan oleh S. mutans terdapat dalam pelikel pada permukaan
gigi dan berperan penting dalam proses perlekatan bakteri (Marsh dan Martin
2009).
S. mutans menghasilkan tiga enzim GTF, yaitu GTFB, GTFC dan GTFD
yang diperlukan untuk pembentukan plak gigi (Colby dan Russel 1997). Glukan
yang larut air dihasilkan oleh GTFD yang didominasi oleh α-1,6-glukosidik.
(Kuramitsu 1993). Glukan tidak larut dihasilkan oleh S. mutans dengan bantuan
GTFB dan GTFC (Aoki et al. 1986).
Sekresi GTFC dapat membantu S. mutans untuk menghasilkan sekaligus
polimer glukan tidak larut dan sedikit glukan larut air (Hanada dan Kuramitsu

10

1988). GTFB dan GTC bersifat patogen karena polimer glukosa yang dihasilkan
oleh kedua enzim ini merupakan mediator agregasi bagi bakteri pada permukaan
gigi (Yamashita et al. 1992). Glukan tidak larut didominasi oleh α-1,3-glukosidik.
Polimer glukosa yang dihasilkan berkontribusi terhadap intensitas ketebalan dan
intensitas struktur plak gigi yang nantinya akan berkembang dan dapat menjadi
karies (Chia et al. 1995).
Kelarutan glukan atau dekstran dalam air berpengaruh terhadap
pembentukan koloni S. mutans pada permukaan gigi (Marsh dan Martin 2009).
Metabolisme sukrosa ekstraselular oleh S. mutans yang memproduksi dekstran
yang tidak larut dalam air dengan rantai α-(1,3) sangat mempengaruhi
pembentukan plak dan peningkatan kolonisasi dari bakteri pada plak, semakin
tidak larut air maka pembentukan plak akan semakin baik (Roeslan 2002).
GTFB dan GTFC yang terabsorpsi menyediakan sisi pengikatan spesifik
untuk kolonisasi bakteri pada permukaan gigi dan bakteri satu sama lain,
mengatur pembentukan biofilm yang sangat erat (Kuramitsu 1993). Menurut
Ooshima et al. (2001), GTFC memiliki peran yang lebih besar terhadap
pembentukan glukan tidak larut yang melekat sangat kuat daripada GTFB.
S. mutans secara konstitutif akan mensekresikan enzim GTF yang dikode
oleh gen gtf. Gen gtf utama yang berperan dalam pembentukan karies adalah gtfB
dan gtfC, adanya kedua gen ini menunjukkan bahwa bakteri S. mutans tersebut
berpotensi menyebabkan karies gigi (Soemantadireja 2005).
Ekspresi suatu gen secara molekuler dapat dideteksi pada tahap transkripsi
(mRNA) maupun translasi (protein). Deteksi ekspresi gen pada tingkat mRNA
lebih sulit dibandingkan pada tahap protein karena memerlukan tahapan isolasi
mRNA pada fase atau bagian yang mengekspresikan gen tersebut dan
memerlukan alat yang sensitif (Litbang 2010). Keberadaan GTFB dan GTFC
pada S. mutans diekspresikan oleh gen gtfB dan gtfC yang mengkode kedua enzim
tersebut. Ekspresi mRNA gtfB dan gtfC dapat diamplifikasi dengan teknik PCR
menggunakan primer mRNA gtfB dan gtfC.
Hudson dan Curtiss (1990) menyelidiki peran gtf promoter dengan
menggunakan chloramphenicol dengan berdasarkan hipotesis bahwa gtfB dan
gtfC merupakan bagian dari operon tunggal, dan mendapatkan bahwa
asetiltransferase mengkode gen dari berbagai strain S. mutans. Kemudian
Smorawinska dan Kuramitsu (1995