PERBAIKAN MUTU MIE TAPIOKA MENGGUNAKAN GLUTEN BEBAS DAN GLUTEN ENKAPSULASI PADA BERBAGAI PROPORSI

(1)

ABSTRACT

THE USE OF FREE AND ENCAPSULATED GLUTEN FOR IMPROVING TAPIOCA NOODLE QUALITIES

By

Ryan Prakasa

Subtitutionof wheat in noodles with tapioca is a good alternative to reduce utilization of wheat, and to promote or increase the use of locally produced flour. This subtitution also has an advantage of increase or promoting the use ofvarious flour produced from roots and tubers. This research was purposed to obtain proportion of tapioca, free and encapsulated gluten to find the best value of elongation, cooking loss and sensory characteristics tapioca noodle. The experiment was arranged in a Completely Randomized Block Design with 4 replications. The treatments were7 levels comparison of tapioca, free and encapsulated gluten: G0 (tapioca 100%), G1 (tapioca 95% : gluten extract 5%), G2 (tapioca 90% : gluten extract 10%), G3 (tapioca 87% : gluten extract 13%), G4 (tapioka 97% : encapsulation gluten 3%), G5 (tapioca 96% : encapsulation gluten 4%) dan G6 (tapioca 95% : enkapsulation gluten 5%). Data were analiyzed using analysis of varians to find out the treatment effects, then the data were


(2)

further analyzed using Honestly Significant Difference (HSD) test on level of 5% to find the best treatment. The results showed that the best of “Tapioca noodles” was found on of G4 (Tapioka 97% : Encapsulation gluten 3%).This noodles had colour score atcolour 3,90 (somewhat yellow), elongation score at 6,92 (not easily broken), overall acceptance score of 4,86 (like), cooking loss at 6,14% and texture based on TAXT-2 test of432,80 gf.


(3)

ABSTRAK

PERBAIKAN MUTU MIE TAPIOKA MENGGUNAKAN GLUTEN BEBAS DAN GLUTEN ENKAPSULASI PADA BERBAGAI PROPORSI

Oleh

Ryan Prakasa

Subtitusidenganmenggunakantepung lain selain terigu merupakan alternatif yang baik dalam pembuatan mie. Selain menekan penggunaan terigu, Subtitusi juga berfungsi meningkatkan penggunaan tepung umbi-umbian lain yang memiliki potensi sebagai bahan baku mie. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perbandingan antara tapioka dan gluten bebas dan gluten enkapsulasi yang menghasilkan mie basah dengan nilai elongasi, KPAP, dan sifat organoleptik terbaik. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan tujuh perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah perbandingan tapioca dan gluten baik bebas maupun enkapsulasi sebanyak 7 taraf, yaitu G0 (tapioka 100%), G1 (tapioka 95% : gluten bebas 5%), G2 (tapioka 90% : gluten bebas10%), G3 (tapioka 87% :gluten bebas 13%), G4 (tapioka 97% : gluten enkapsulasi 3%), G5 (tapioka 96% : gluten enkapsulasi 4%) dan G6 (tapioka 95% : gluten enkapsulasi 5%). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji


(4)

dengan uji Bartleet dan kenambahan data diuji dengan uji dengan uji Tuckey. Data yang diperoleh dianalisis lebih lanjut dengan uji Beda Nyata Jujur ( BNJ) pada taraf 5%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mie basah tapiokaformulasi G4 yaitu dengan perbandingan (Tapioka 97% : Gluten enkapsulasi 3%) menghasilkan skor organoleptik warna 3,90 (agak kuning), elongansi sebesar 6,92 (Tidak mudah putus), penerimaan keseluruhan 4,86 (suka), KPAP sebesar 6,14%danNilaiElongasiTAXT-2sebesar 432,80 gf.


(5)

PERBAIKAN MUTU MIE TAPIOKA MENGGUNAKAN GLUTEN BEBAS DAN GLUTEN ENKAPSULASI PADA BERBAGAI PROPORSI

Oleh

RYAN PRAKASA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Utara pada tanggal 27 April 1991, sebagai Putra ketiga dari pasangan Bapak Fathul Yamin dan Ibu Masnon. Penulis memulai pendidikan di TK Bungamayang 1996–1998; Sekolah Dasar Negeri 1 teladan Kotabumi pada tahun 1998–2003; Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Kotabumi pada tahun 2003–2006; Sekolah Menengah Atas 3 Kotabumi pada tahun 2006–2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama di perguruan tinggi, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Bahasa Inggris dan Manajemen sumber daya manusia. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan praktik umum di Bobo Bakery Bandar lampung dengan judul “Mempelajari Proses Produksi Roti Manis di Bobo Bakery Bandar Lampung”. Penulis juga aktif dalam kegiatan himpunan mahasiswa jurusan THP.


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbaikan Mutu Mie Tapioka Menggunakan Gluten Bebas dan Gluten Enkapsulasi Pada Berbagai Proporsi”. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si. selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. 3. Ibu Dr. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing atas segala

bantuan, saran, arahan dan bimbingannya yang diberikan selama menyusun skripsi penulis.

4. Ibu Dra. Husniati, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing atas segala saran, bimbingan serta bahan penelitian yang diberikan selama menyusun skripsi penulis.

5. Ibu Ir. Fibra Nurainy, M.T.A. selaku penguji utama yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan terhadap karya skripsi penulis. 6. Ibu Ir. Marniza, M.Si. selaku pembimbing akademik atas saran dan


(11)

7. Seluruh bapak dan ibu dosen THP serta seluruh karyawan yang telah membantu selama perkuliahan dan penelitian ini atas semua bimbingan dan bantuannya.

8. Ibu Hardalena, pak Bukhori, Kandar, dan staff Baristand Industri Lampung, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk arahan dan bantuan selama penelitian di baristand industri lampung.

9. Kedua orang tua, kakak ku dan latifa atas do’a, dukungan moril, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti demi keberhasilanku.

10.Angkatan 2009 THP terima kasih atas kekelurgaan dan kebersamaan yang berharga. Kakak dan adik adik THP yang selalu memberikan semangat dan motivasi, terimakasih atas kebersamaannya selama ini

Akhir kata, penulis berharap skripsi yang ditulis dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Penulis menyadari bahwa skripsi yang ditulis ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan yang dimiliki penulis. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dan berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3. Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Mie ... 7

2.1.1 Jenis Mie ... 8

2.1.2 Mie Pati ... 9

2.1.3 Proses Pengolahan Mie Basah Mentah ... 11

2.2 Bahan Baku Utama ... 14

2.2.1 Tapioka ... 14

2.2.2 Pati ... 17

2.2.3 Amilosa dan Amilopektin ... 18

2.2.4 Gelatinisasi Pati ... 19

2.3 Gluten ... 20

2.3.1 Mikroenkapsulasi ... 22

2.3.2 Teknik Mikroenkapsulasi ... 23

2.4 Bahan Pendukung ... 26

2.4.1 Air ... 26

2.4.2 Garam ... 27

2.4.3 Telur ... 27

III. BAHAN DAN METODE ... 29

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Bahan dan Alat ... 29

3.3 Metode Penelitian ... 30

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 30

3.4.1 Persiapan Bahan Baku Utama dan Tambahan ... 31


(13)

3.5 Pengamatan ... 33

3.5.1 Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi... 33

3.5.2 Uji Organoleptik ... 33

3.5.3 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ... 35

3.5.4 Kadar Proksimat Perlakuan Terbaik ... 36

3.5.4.1 Kadar Air ... 36

3.5.4.2 Kadar Abu ... 36

3.5.4.3 Kadar Lemak ... 37

3.5.4.4 Kadar Protein ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

4.1 Nilai Elongasi ... 39

4.2 Uji Organoleptik ... 42

4.2.1 Warna ... 42

4.2.2 Elongasi ... 44

4.2.3 Penerimaan Keseluruhan ... 48

4.2.4 Uji Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ... 49

4.3 Pemilihan dan Analisis Proksimat Perlakuan Terbaik ... 51

4.3.1 Pemilihan Perlakuan Terbaik ... 51

4.3.2 Analisis Proksimat Perlakuan Terbaik ... 52

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Simpulan ... 54

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Syarat mutu mie basah SNI (01-2987-1992) ... 8

2. Komposisi kimia tapioka ... 15

3. Standar kehalusan tapioka... 15

4. Syarat mutu tapioka SNI (01-3451-1994)... 16

5. Variasi teknik mikroenkapsulasi dan prosesnya pada masing- masing teknik ... 24

6. Formula pembuatan mie basah tapioka... 31

7. Skor dan kriteria mutu uji organoleptik ... 34

8. Uji BNJ Pengukuran nilai elongansi ... 39

9. Uji BNJ warna pada berbagai formulasi mie basah tapioka mentah ... 43

10. Uji BNJ Elongansi pada berbagai formulasi mie basah tapioka mentah ... 45

11. Uji BNJ Penerimaan keseluruhan pada berbagai formulasi mie basah tapioka mentah ... 48

12. Uji BNJ KPAP pada berbagai formulasi mie basah tapioka mentah ... 49

13. Rekapitulasi hasil uji organoleptik tapioka dan gluten pada berbagai formulasi pada taraf 5% ... 51

14. Analisis proksimat perlakuan terbaik... 52

15. Data uji organoleptik warna mie basah tapioka ... 61

16. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett's test) warna mie basah tapioka ... 61

17. Analisis ragam warna mie basah tapioka ... 62

18. Uji BNJ warna mie basah tapioka ... 62


(15)

20. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett's test) elongansi mie

basah tapioka ... 63

21. Analisis ragam elongansi mie basah tapioka ... 64

22. Uji BNJ elongansi mie basah tapioka ... 64

23. Data uji organoleptik penerimaan keseluruhan mie basah tapioka ... 65

24. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett's test) penerimaan keseluruhan mie basah tapioka ... 65

25. Analisis ragam penerimaan keseluruhan produk mie basah tapioka ... 66

26. Uji BNJ penerimaan keseluruhan mie basah tapioka ... 66

27. Data uji KPAP mie basah tapioka ... 67

28. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett's test) KPAP mie basah tapioka ... 67

29. Analisis ragam KPAP mie basah tapioka ... 68

30. Uji BNJ KPAP mie basah tapioka ... 68

31. Data Pengukuran nilai elongansi mie basah tapioka... 69

32. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett's test) Pengukuran nilai elongansi mie basah tapioka ... 69

33. Analisis ragam pengukuran nlai elongansi mie basah tapioka ... 70


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram alir pembuatan mie basah mentah secara umum ... 12

2. Struktur ikatan amilosa ... 18

3. Struktur ikatan amilopektin ... 19

4. Struktur ikatan gluten dan air ... 21

5. Diagram alir pembuatan mie basah tapioka mentah ... 32

6. Tapioka cap KD dan gluten bebas ... 71

7. Gluten enkapsulasi ... 71

8. Telur ... 71

9. Gelatinisasi parsial ... 72

10. Pencampuran bahan-bahan... 72

11. Pengadonan mie ... 72

12. Lembaran mie basah tapioka ... 73

13. Mie basah tapioka mentah ... 73

14. Pengemasan mie basah tapioka ... 73

15. Persiapan mie basah tapioka uji KPAP ... 74

16. Perebusan mie basah uji KPAP ... 74

17. Mie basah tapioka matang uji KPAP ... 74

18. Persiapan Uji organoleptik mie basah tapioka ... 75

19. Uji organoleptik mie basah tapioka mentah ... 75


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan (food additives). Penggantian dengan menggunakan tepung lain selain terigu merupakan alternatif yang baik dalam pembuatan mie. Selain untuk menekan penggunaaan terigu, juga berfungsi meningkatkan penggunaan tepung umbi-umbian lain yang memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan baku mie, mengingat mie merupakan makanan yang digemari di indonesia. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan dalam membuat mie pati adalah tapioka. Mie yang dibuat dengan tapioka dapat disebut mie tapioka.

Mie tapioka sudah dikenal sejak lama di indonesia, di pulau Jawa mie tapioka juga disebut dengan mie lethek, karena penampakan warnanya yang kusam setelah pemasakan. Mie pati banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk produk makanan dan kuliner lainnya. Mie yang diproses dari pati pada umumnya memiliki tekstur yang mudah putus, lengket, dan warna yang kurang menarik, aroma yang berbeda dibandingkan mie pada umumnya, serta cooking loss yang tinggi ketika dimasak. Hal ini yang menjadi masalah sehingga mie tapioka cenderung kurang diminati oleh konsumen (Kusnanda, 2014).


(18)

2

Penggantian terigu dengan tapioka pada pembuatan mie tapioka memiliki beberapa kendala, antara lain tapioka tidak mengandung gluten dan tingginya kandungan amilopektin pada tapioka. Hal ini menyebabkan sulitnya terbentuk adonan yang kalis, timbulnya struktur adonan yang tidak kompak dan tingkat kelengketan yang tinggi bila dikukus ataupun dipanaskan pada suhu tertentu. Tepung terigu, selain mengandung komponen utama seperti pati, juga mengandung protein dalam bentuk gluten yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Pembuatan mie basah dengan menggunakan tepung terigu bertujuan agar mie yang dihasilkan tidak mudah patah dan mempunyai daya elastis yang tinggi ( Hou, dan Kruk,1998).

Permasalahan yang seringkali ditemui dalam pembuatan mie berbahan baku selain terigu selain terigu adalah mie yang mudah patah, tingkat kelengketan tinggi serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi selama proses pemasakan berlangsung (Maryani, 2013). Rendahnya kadar protein dari tepung selain gandum inilah yang mendasari dilakukan penambahan gluten sebagai loading protein guna memperbaiki kualitas dari mie yang dihasilkan dari bahan baku tapioka. Oleh karena itu pada penelitian kali ini akan dikaji tentang penambahan gluten pada tapioka dalam pembuatan mie tapioka. Gluten yang digunakan adalah gluten bebas dan gluten yang telah diproses dengan teknik mikroenkapsulasi. Penambahan gluten bebas dan enkapsulasi pada pembuatan mie tapioka diharapkan memberikan proporsi terbaik, sehingga diperoleh mie tapioka yang diterima seperti halnya mie dari tepung terigu.


(19)

3

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tapioka dengan gluten bebas dan enkapsulasi yang tepat sehingga menghasilkan mie basah dengan nilai elongansi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan sifat organoleptik terbaik.

1.3. Kerangka Pemikiran

Mie pati sudah dikenal sejak lama, mie yang diproses dari pati pada umumnya memiliki tekstur yang mudah putus, lengket, dan warna yang kurang menarik, aroma yang berbeda dibandingkan mie pada umumnya, serta KPAP yang tinggi ketika dimasak. Hal ini yang menjadi masalah sehingga mie tapioka cenderung kurang diminati oleh konsumen.

Mie basah dengan formulasi tepung singkong dan tepung terigu dengan perbandingan 5 : 2 telah dibuat oleh Pusbangtepa IPB tahun 1989. Mie yang dihasilkan cukup memiliki tekstur yang baik bila diolah dengan benar. Formulasi mie dengan bahan baku pati singkong juga telah dilakukan oleh Hidayat (2008), Hasil penelitian tersebut memperoleh formulasi terbaik adalah penggunaan campuran pati singkong dan tepung terigu dengan perbandingan 3 : 2.

Hasil penelitian Abidin et al. (2013) menunjukkan formulasi mie basah dengan komposisi bahan baku yang terdiri atas campuran tepung singkong (yang sudah melalui proses fermentasi) dan tepung terigu dengan perbandingan 5 :1, telur, gluten, garam, air abu, air, dan minyak goreng serta diproses secara bertahap,


(20)

4

menunjukkan mie basah tersebut memiliki kemiripan sebesar 80% terhadap mie tepung terigu.

Kelemahan dari mie tapioka antara lain warna yang kusam setelah pemasakan, bau khas tapioka, dan tingkat kelengketan yang tinggi setelah pemasakan. Untuk mengatasi masalah tersebut kini sedang dilakukan penelitian dengan menambahkan gluten bebas dan gluten enkapsulasi yang bertujuan meningkatkan sifat sensori dari mie tapioka. Adapun ciri-ciri mie basah yang baik adalah berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus-putus. Pada umumnya mie yang disukai masyarakat adalah mie berwarna kuning. Bentuk khas mie berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lentur serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap penerimaan konsumen (Widianingsih dan Murtini, 2006).

Struktur mie pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi, sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang dihasilkan. Hingga saat ini, menurut Kim et al. (1996) karakteristik mi pati terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas mie pati adalah kualitas mie pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar dan cooking loss kecil.

Gluten dalam pembuatan mie digunakan sebagai perekat adonan karena sifatnya yang lengket dan untuk meningkatkan sifat sensoris pada mie. Gluten yang terdiri dari protein gliadin dan glutenin akan bereaksi ketika dicampur dengan air. dalam


(21)

5

pembuatan mie konsentrasi gluten yang digunakan akan mempengaruhi sifat mie. Mie yang mengandung gluten antara 12%- 14% memiliki kenampakan yang menarik. Gluten yang dipakai dalam penelitian ini berupa gluten bebas yang didapat melalui pemisahan gluten dari pati gandum. Gluten bebas banyak dijual di pasaran dalam bentuk bubuk.

Gluten enkapsulasi merupakan gluten yang didapatkan melalui proses pengecilan ukuran dengan metode mikroenkapsulasi. Gluten enkapsulasi menggunakan gluten bebas sebagai bahan baku. Gluten enkapsulasi belum diterapkan dalam pembuatan mie pada skala besar, selain biaya pemrosesan yang tinggi juga dianggap kurang ekonomis. Namun ada beberapa kelebihan gluten enkapsulasi yang mendasari penelitian ini, seperti penggunaannya pada produk pangan dalam jumlah yang sedikit sekitar (3%-5%) bila dibandingkan gluten bebas yang mencapai 12%-14%.

Konsentrasi gluten bebas yang digunakan pada penelitian ini yaitu 5%, 10% dan 13%. Penggunaan gluten enkapsulasi lebih rendah yaitu 3%, 4% dan 5%. Formulasi ditentukan berdasarkan penggunaan gluten yang sering digunakan dalam produk mie yaitu 12%-14%. Dengan konsentasi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan nilai sensoris dan memperbaiki kekurangan pada mie pati.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat proporsi tapioka dengan gluten baik dalam bentuk bebas maupun terenkapsulasi yang


(22)

6

menghasilkan mie basah tapioka dengan elongansi, KPAP serta sifat organoleptik terbaik.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mie

Mie merupakan makanan yang paling populer di Asia. Sekitar 40% dari konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan makanan yang paling populer di Asia khususnya Indonesia hingga saat ini. Mie pertama kali dibuat dari bahan baku beras dan tepung kacang-kacangan. Menurut Chamdani (2005) mie basah memiliki ketahanan masa simpan selama 36 jam.

Di Indonesia produk mie merupakan makanan yang banyak digunakan sebagai pengganti nasi. Produk mie ini berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari tanaman gandum. Menurut Irviani dan nisa (2014), pada tahun 2012 impor gandum telah menembus angka 6.3 juta ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi pangan agar tidak tergantung kepada tepung terigu. Menurut SNI 01-2987 (1992), mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Mutu mie basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

8

Tabel 1. Syarat mutu mie basah SNI 01-2987 (1992)

No Kriteria Uji satuan persyaratan

1 Keadaan 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna

Normal

2 Kadar air % b/b 20-35

3 Kadar abu % b/b Maksimal 3

4 Kadar protein(N x 6,25) % b/b Minimal 3

5 Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 pewarna

5.3 Formalin

Tidak boleh ada sesuai SNI-022-M dan peraturan

Menkes No. 722/Menkes/per/IX/88

Tidak boleh ada 6 Cemaran Logam

6.1 Timbal (pb) 6.2 Tembaga (cu) 6.3 seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

mg/kg

Maksimal 1 Maksimal 10 Maksimal 40 Maksimal 0,05

7 Arsen (As) mg/kg Maksimal 0,05

8 Cemaran mikroba 8.1 Angka lempeng total 8.2 E.coli

8.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maksimal 1x106 Maksimal 10 Maksimal 1x104 Sumber: SNI 01-2987 (1992)

2.1.1. Jenis Mie

Mie dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pembagian jenis mie yang paling umum yaitu berdasarkan warna, ukuran diameter mie, bahan baku, cara pembuatan, jenis produk yang dipasarkan, dan kadar air. Berdasarkan warnanya, mie yang ada di Asia dibagi menjadi dua jenis, yaitu mie putih dan mie kuning karena penambahan alkali (Pagani, 1985). Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie dengan bahan baku dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan dengan bahan baku dari pati misalnya soun dan bihun. Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah dan mie basah matang, sedangkan berdasarkan jenis produk yang


(25)

9

tersedia di pasar terdapat dua jenis mie yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie kuning) dan mie kering contohnya mie telur dan mie instan (Pagani, 1985). Komposisi dasar dari produk mie kering dan mie basah pada umumnya hampir sama. Perbedaan dari kedua produk ini ialah kadar air dan tahapan proses pembuatan.

Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah mentah yang langsung dikering dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.

2.1.2. Mie Pati

Berdasarkan bahan utamanya, mie digolongkan menjadi dua yaitu mie terigu dan mi non terigu. Mie pati tergolong dalam mie non terigu. Berbeda dengan mie terigu yang memiliki gluten sebagai pembentuk tekstur mie, struktur mie pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi. Sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang dihasilkan.


(26)

10

Mie pati , biasa disebut mie transparan adalah salah satu makanan yang populer dikonsumsi baik sebagai obat dan makanan mie di piring di seluruh negara di asia. Hingga saat ini, menurut Kim et al. (1996) karakteristik mi pati terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas mie pati adalah mie pati yang dibuat dari pati kacang hijau. Kim et al. (1996) melaporkan kualitas mie pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar dan cooking loss kecil. Pati kacang hijau menghasilkan mie pati dengan kualitas terbaik karena sifat patinya yang tinggi kandungan amilosa, keterbatasan pengembangan granula, pasta pati stabil selama pemanasan dan pengadukan, dan memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi.

Menurut Takahashi et al. (1985) dalam Chen (2003) mie pati berbeda dengan jenis mie lainnya seperti gandum, karena mie pati merupakan produk non-gluten yang terbuat dari pati umbi-umbian. Pati yang bersifat khusus yang dibuat dari adonan mie 5 persen dari pati pregelatinized (berfungsi sebagai perekat dalam adonan tepung terigu) dicampur dengan 95% yang masih tersisa (asli) pati dan air untuk adonan. Oleh karena itu pati itu sendiri berperan penting dalam pengolahan mie dan menentukan kualitas akhir pati pada mie.

Jenis mie pati yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah mi dari sagu. Mie jenis ini banyak dikembangkan di daerah Bogor dan Sukabumi. Masyarakat

mengenal mi ini dengan nama ”Mie gleser” atau Mie srodot” karena teksturnya

yang licin. Pembuatan mi gleser diawali dengan pembuatan ”lem sagu” sebagai pengikat. Lem sagu dibuat dengan memasak kurang lebih 1/3 bagian pati dalam


(27)

11

air mendidih (pati:air = 1:2). Lem sagu dicampur dengan sisa pati kering. Adonan diaduk hingga licin dan dapat dicetak. Cetakan mie sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mie sagu akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mie direbus dalam air mendidih sampai mengapung dan direndam dalam air dingin yang mengalir, kemudian ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mie tidak saling melengket, mie dilumuri minyak sayur (Febriyanti, 1990).

2.1.3. Proses Pengolahan Mie Basah Mentah

Mie basah mentah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah mentah. Fungsi terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, dan mengikat air (Astawan, 1999). Proses pembuatan mie basah mentah meliputi pencampuran semua bahan (tepung, air dan garam) menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran yang tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi bentuk benang-benang mie. Selanjutnya ditaburkan tapioka sebagai pemupur. Proses pembuatan mie basah mentah dapat dilihat pada Gambar 1.


(28)

12

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah mentah secara umum Sumber : Kruger dan Matsuo, 1996

Proses pencampuran semua bahan menjadi satu dimaksudkan untuk membuat adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi meskipun belum maksimal (Kruger dan Matsuo, 1996). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie basah yaitu suhu adonan, waktu pengadukan, dan jumlah air yang ditambahkan. Waktu pencampuran dan pengadukan bahan yang dibutuhkan sangat bervariasi mulai dari 5 menit hingga 20 menit tergantung dari jenis bahan dan alat.

Terigu

Mie basah mentah

Pencampuran Bahan Baku Pembuatan Mie

Pembentukan lembaran Pengadukan

Pengistirahatan Penipisan Lembaran Pemotongan Lembaran Penaburan Mie Dengan Tapioka


(29)

13

Menurut Badrudin (1994), waktu pengadukan terbaik pada proses pembuatan mie mocaf adalah 15 hingga 25 menit. Apabila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan akan menjadi lunak dan lengket, sedangkan jika lebih dari 25 menit adonan akan menjadi keras, rapuh, dan kering. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan mie juga berperan dalam sukses tidaknya pembuatan mie mocaf. Menurut SNI 01-2987-1992, jumlah air yang ditambahkan untuk pembuatan mie basah mentah adalah sekitar 20% hingga 35% dari bobot tepung. Sedangkan menurut Badrudin (1994), jumlah air terbaik dalam adonan mie basah mentah adalah sekitar 34% hingga 40% dari bobot tepung. Hal ini disebabkan karena tesktur mie yang mudah keras, rapuh, dan lengket. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, maka mie yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk lembaran. Sedangkan bila air yang ditambahkan lebih dari 40%, maka mie yang dihasilkan akan menjadi basah dan lengket.

Suhu adonan terbaik untuk membuat mie berkisar 25oC hingga 40oC. Jika suhu adonan mencapai kurang dari 25oC, maka adonan yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan jika suhu adonan mencapai lebih dari 40oC maka adonan yang dihasilkan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis (Badrudin, 1994). Mutu mie yang diinginkan oleh konsumen adalah mie yang bertekstur lunak, lembut, elastis, halus, tidak lengket, dan mengembang dengan normal.

Proses pembentukan lembaran (sheeting) adalah menghaluskan serat-serat gluten dalam adonan dan membentuk adonan menjadi lembaran. Tahap pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pembentukan


(30)

14

lembaran dari adonan dengan jarak roll 3 mm. Pada tahap kedua, lembaran yang telah terbentuk dilipat menjadi tiga bagian dan dilewatkan kembali pada roll berjarak 3 mm sebanyak dua kali. Tahap ketiga, lembaran tersebut dilipat menjadi dua bagian dan dilewatkan kembali di antara dua roll yang berjarak 3 mm. Selanjutnya lembaran digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten (Kruger dan Matsuo, 1996). Lembaran adonan ini kemudian dipipihkan dengan alat rollpress dan dicetak menjadi untaian benang mie hingga diameter mencapai 1-2 mm. Kemudian untaian benang mie ditaburi dengan tepung tapioka agar tidak lengket satu sama lain.

2.2. Bahan Baku Utama

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan mie basah tapioka adalah Tapioka, gluten bebas dan gluten enkapsulasi (gluten yang diproses dengan metode mikroenkapsulasi).

2.2.1. Tapioka

Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Usia kematangan dari tanaman singkong berpengaruh terhadap pati singkong. Usia optimum yang telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari Jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.


(31)

15

Tabel 2 Komposisi kimia tapioka

Komposisi Jumlah

Serat (%) 0.5

Air (%) 15

Karbohidrat (%) 85

Protein (%) 0.5-0.7

Lemak (%) 0.2

Energi (kalori/100 gram) 307

Sumber: Grace (1977)

Kehalusan tepung merupakan parameter yang penting dalam penentuan kualitas mutu tapioka. Tapioka yang baik adalah tapioka yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA), yang membagi tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar kehalusan tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Standar kehalusan tapioka

Grade % Lolos ayak Ukuran ayakan (mesh)

A 99 140

B 99 80

C 95 60

Sumber : Radley (1976)

Moorthy (2004) mengemukakan bahwa tapioka diperoleh dari hasil ekstrak singkong. Proses ekstraksi harus dilakukan dengan baik, agar didapatkan pati yang berwarna putih dan memiliki mutu yang baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3451(1994) yang membagi tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan. Aplikasinya dalam pembuatan produk pangan juga demikian, tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku, seperti tercantum pada Tabel 4. Produk diharapkan dapat menghasilkan warna putih yang baik


(32)

16

(tidak kusam), sehingga produk lebih dapat diterima oleh konsumen dari segi organoleptik. Ditinjau dari segi teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tapioka antara industri besar dan industri kecil. proses pembuatan tapioka di industri besar biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga pembuatan tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang sederhana.

Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451 (1994)

No Kriteria Uji Persyaratan Satuan

1 1.1 1.2 1.3 2 3 4 5 5.1 5.2 6 7 8 9 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 12 13 13.1 13.2 13.3 Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing

Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan

Jenis pati lain selain pati jagung Kehalusan :

Lolos ayakan 80 mesh Lolos ayakan 60 mesh Air

Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Cemaran logam : Timbal(Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg)

Cemaran arsen (As) Cemaran mikoba: Angka lempeng total E. Coli Kapang - - - - - - % % %bb %bb %bb %bb

ml. N.NaOH/100 gr mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/gr koloni/gr koloni/gr Normal Normal Normal

Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada Min.70 Min.99 Maks. l0 Maks. 1,5 Maks.0,l Maks. 1,5 Maks.4,0 Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks.40,0 Maks.0,05 Maks.0,5 Maks. 106 Maks. l04 Maks. 104 Sumber: SNI 01-3451 (1994)


(33)

17

Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. Industri tapioka rakyat menggunakan teknologi mekanik sederhana dalam proses pengolahan tapioka. 2.2.2. Pati

Pati merupakan polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan

ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat

kompleks (British Nutrition Foundation, 2005). Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002) menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang. Granula pati tidak larut dalam air dingin. tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik jika telah mencapai suhu gelatinisasi.

Secara alami granula pati bersifat semi kristal yang terdiri dari bagian kristal dan bagian amorpus. Bagian kristal pada granula pati dipengaruhi oleh komponen amilopektin sedangkan bagian amorpus dipengaruhi oleh komponen amilosa (Zobel,1984). Bagian amorpus tidak tahan terhadap serangan enzim dan asam.


(34)

18

Granula pati dari tanaman yang berbeda memiliki karakteristik ukuran dan bentuk yang berbeda (Charley, 1982). Menurut Whister dan Bemiller (1997), struktur granula pati berbeda antara sereal, terigu, jagung dan umbi-umbian.

2.2.3. Amilosa dan Amilopektin

Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorf (Pomeranz dan shellenberger, 1971). Amilosa tersusun dari molekul

D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa

lengkap dapat terdiri dari 3000 unit D-glukopiranosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Menurut Taggart (2004), amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur ikatan amilosa

Amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan


(35)

19

penampilan molekul amilopektin bercabang-cabang, biasanya terdiri dari 24-30 unit D-glukosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta, 1992). Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur ikatan amilopektin 2.2.4. Gelatinisasi Pati

Pomeranz dan Shellenberger (1971) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula, bersifat irreversible (tidak dapat kembali), dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta dipengaruhi oleh kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney, 2001). Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar.

Proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3)


(36)

20

peningkatan kejernihan; (4) peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses gelatinisasi pati diantaranya yaitu konsentrasi larutan pati, pH, dan karakteristik granula pati. Menurut Winarno (2002), Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai dan bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi.

Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik. Sedangkan Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa.

2.3. Gluten

Gluten terdapat pada tanaman ceral atau grains seperti biji gandum yang memiliki struktur utama terdiri dari protein kompleks. Gluten adalah massa kenyal yang melengket yang menyatukan komponen-komponen mie, jadi membentuk dasar struktur lunak mie. Sifat itu disebabkan sifat gluten yang terhidrasi dan mengembang bila tepung terigu dicampur dengan air (Winarno, 2000).

Faktor utama penting dalam ciri adonan adalah matrik gluten. yang menyertakan granula pati dan fragmen serat. Protein gluten secara umum dicirikan dengan


(37)

21

mempunyai kandungan proline dan asam glutamik yang tinggi. Gliadin dan glutenin berbeda dalam ciri fisik, khususnya dalam viskoelastisitasnya. Gliadin adalah kohesif, tetapi dengan elastisitas yang rendah, sementara glutenin bersifat kohesif dan elastis (Dahlia, 2014).

Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi berlangsung (Handayani, 1994). Proses pembuatan mie, harus dipertimbangkan dalam memilih tepung terutama adalah kadar protein dan kadar abunya. Kadar protein mempunyai korelasi erat dengan jumlah gluten.

Gambar 4. Struktur ikatan gluten dan air

Gluten yang digunakan pada pembuatan mie tapioka yaitu Gluten bebas dan gluten enkapsulasi. Gluten bebas merupakan gluten komersil yang didapatkan dipasaran, sedangkan gluten enkapsulasi yang digunakan merupakan hasil pengecilan ukuran gluten bebas dengan metode mikroenkapsulasi. Kadar gluten dari terigu biasanya tergantung dari jenis gandum yang digunakan untuk membuatnya. Ketepatan penggunaan jenis tepung sangatlah penting dalam


(38)

22

pembuatan suatu jenis makanan. Tepung berprotein 12%-14% ideal untuk pembuatan mie (Bogasari, 2010).

Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin, globulin, prolamin, gliadin dan glutelin. Kadar gliadin dan glutelin sekitar 8% dan apabila kedua jenis protein ini membentuk adonan yang kuat dengan penambahan air dan garam maka dinamakan protein gluten. (deMan, 1999).

2.3.1. Mikroenkapsulasi

Mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai teknologi pengemas atau pembungkus padatan cairan atau gas dalam bentuk kecil, yang tersegel dan dapat melepaskan bagian-bagian nya secara terkontrol pada kondisi tertentu. Mikroenkapsulasi merupakan teknologi yang sudah digunakan untuk industri pangan lebih dari 60 tahun. Secara luas teknologi enkapsulasi pada pengolahan pangan meliputi pelapisan partikel pada bahan pangan seperti (rasa asam, lemak, dan flavor) sama halnya dengan komponen besar seperti (kismis, kacang dan produk kovensional), yang mungkin terbuat dari proses mikroenkapsulasi dan teknik macro-coating. Lebih spesifiknya lagi, mikroenkapsulasi memiliki kemampuan untuk mengawetkan substansi pada keadaan tertentu hingga pada akhirnya di lepaskan pada saat dibutuhkan (Desai dan Park, 2005).

Mikroenkapsulasi ini memiliki ukuran antara mikrometer hingga nanometer, tergantung bahan yang akan dipersiapkan dan metode yang digunakan untuk membuatnya. Beberapa alasan mengapa industri pangan menggunakan teknik mikroenkapsulasi, antara lain: (1) enkapsulasi dapat melindungi material inti dari


(39)

23

degradasi dengan mengurangi aktivitas reaksi kimia pada bahan di luar lingkungan seperti (panas, kelembaban, udara, dan cahaya). (2) mengurangi tingkat evaporasi dari bahan ke lingkungan luar . (3) karakteristik fisik dari bahan asli yang digunakan dapat mudah kita lindungi. (4) produk atau bahan pangan akan bereaksi dengan lambat selama waktu tertentu, tertunda hingga pada waktu dating stimulus yang tepat. (5) flavor dari bahan tersebut dapat terlindungi. (6) material inti yang digunakan dapat menjadi sangat sedikit sekali, karena terjadi pengurangan ukuran dari ukuran awal ke bentuk yang lebih kecil. (7) dapat digunakan sebagai pemisah komponen satu dengan yang lain pada komponen yang tercampur dan memiliki kemampuan bereaksi.(Desai dan Park, 2005).

2.3.2. Teknik Mikroenkapsulasi

Enkapsulasi pada bahan makanan dengan pelapisan material inti dibagi menjadi beberapa metode. Seleksi dari proses mikroenkapsulasi ditentukan dari bahannya yaitu secara (fisik dan kimiawi) dari material inti dan pelapisan bahan yang akan di aplikasikan pada bahan makanan. Pada kenyataannya proses mikroenkapsulasi adalah untuk mengenkapsulasi bahan pangan , Tabel 5 menunjukkan beberapa variasi metode yang digunakan dalam persiapan mikroenkapsulasi pada pangan. Pelapisan bahan pada umumnya seperti film yang melapisi bahan. Komposisi dari bahan pelapis ini akan menentukan fungsinya dalam meningkatkan kemampuannya pada bahan yang digunakan.


(40)

24

Tabel 5. Variasi teknik mikroenkapsulasi dan prosesnya pada masing-masing teknik

Sumber: (Desai dan Park, 2005)

No Teknik mikroenkapsulasi Langkah utama dalam enkapsulasi

1 Spray-drying a.preparasi bahan dispersi

b.Homogenisasi dispersi c.Pengecilan bahan dispersi d. pengeringan bahan yang sudah dikecilkan

2 Spray-cooling a. preparasi bahan dispersi

b.homogenisasi dispersi c.pengecilan bahan dispersi

3 Spray-chilling a.preparasi bahan dispersi

b.homogenisasi dispersi c.pengecilan bahan dispersi 4 Fluidized-bed coating a.preparasi bahan pelapis

b.fluidisasi partikel inti c.pelapisan partikel inti

5 Extrusion a.preparasi bahan pelapis yang cair

b.dispersi partikel inti menjadi polimer cair

c.Pendinginan melalui pelapisan inti bahan dengan pengeringan minyak

6 Centrifugal extrusion a.preparasi bahan solusi inti b.preparasi pelapisan bahan solusi c.gabung material inti dan pelapis solusi melewati pipa semprot 7 Lyphophilizationa a.gabungkan bahan inti pada bahan

pelapis

b.dicampur dengan metode freeze-drying

8 coacervation a.pembentukan campuran tiga fase

kimia.

b.endapan dari pelapis c.pemadatan pelapis

9 Centrifugal suspension separation a.pencampuran bahan inti pada material pelapis

b.tuang dan campurkan ke rotate disc untuk mendapatkan partikel kecil enkapsulasi

c.drying

10 cocrystallization a.preparasi solusi sukrosa jenuh b.ditambahkan material inti kedalam solusi.

c.pengeluaran panas setelah solusi mencapai suhu kristalisasi sukrosa.


(41)

25

Dalam aplikasinya pada gluten bebas, teknologi mikroenkapsulasi pada gluten bebas ini salah satunya bertujuan untuk meningkatkan efektvitas penggunaan gluten dalam pembuatan produk pangan. Gluten yang telah di produksi melalui proses mikroekapsulasi berukuran mikropartikel. Sehingga, bila pada umumnya penggunaan gluten yang digunakan dalam pembuatan mie sebesar 13%, di kurangi hingga pada jumlah 3%-5%. Selain itu juga gluten yang sudah diproses dengan metode mikroenkapsulasi memiliki beberapa keunggulan seperti memperpanjang shelf life, melindungi bahan yang sensitif terhadap panas, dan melindungi material utama hingga proses pelepasannya yang di inginkan.

Adanya wall material yang digunakan sebagai penyalut pada proses mikroenkapsulasi, diduga memiliki kemampuan untuk menahan reaksi kimia yang terjadi pada bahan. Wall material atau material pembungkus gluten yang diperoleh dari penelitian Husniati et al. (2013). Wall material yang digunakan adalah maltodekstrin dan gum arab dengan perbandingan 2 :1. Fungsi wall material yang lainnya antara lain yaitu melindungi bahan inti selama proses pemasakan yang dapat merusak komponen dalam bahan, seperti zat gizi dan kandungan lainnya yang penting dari suatu bahan. Wall material juga berfungsi sebagai pelindung atau barrier pada beberapa produk pangan terhadap serangan mikroba, sehingga dapat mempertahankan masa simpan produk lebih lama. Masa simpan yang lama disebabkan karena mikroba akan menyerang material pelindung terlebih dahulu, sebelum melakukan penetrasi ke bahan pangan (Dziezak,1988). Gluten yang telah diproses melalui teknologi mikroenkapsulasi mempunyai sifat yang lebih hidroskopis dibandingkan dengan gluten bebas (Desai


(42)

26

dan Park, 2005). Coating yang ideal digunakan harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki sifat rheologi yang baik pada konsentrasi tinggi dan mudah digunakan selama proses enkapsulasi.

2. Memiliki kemampuan emulsifier pada bahan aktif dan dapat menstabilkan emlusi yang terbentuk.

2.4. Bahan Pendukung

Bahan baku tambahan pada pembuatan mie basah tapioka antara lain air, garam dan telur.

2.4.1. Air

Air merupakan bahan yang sangat penting dan besar perananan nya bagi produk pangan membutuhkan elastisitas dan daya kembang yang baik. Air dalam pembuatan mie diperlukan dalam pembentukan gluten yang berfungsi dalam menentukan konsistensi dan karakteristik adonan, menentukan mutu produk yang dihasilkan dan berfungsi sebagai pelarut bahan-bahan seperti garam dan telur sehingga bahan tersebut menyebar rata keseluruh bagian tepung. penggunaan air yang tepat yaitu 20% dari berat bahan baku tepung yang digunakan (Astawan, 1999). Penentuan kadar air optimum untuk adonan dilakukan dengan cara melihat konsistensi adonan secara visual selama proses pengadukan. Jika penggunaan air terlalu banyak, adonan akan menjadi lengket karena sifat gluten dan garam yang membentuk matriks struktur adonan yang lengket, disebabkan jumlah air berlebih. Penambahan air yang terlalu sedikit, sebaliknya produk akhir baik mie yang


(43)

27

dihasilkan keras, pada mie menjadi mudah putus karena struktur jaringan gluten pada adonan tidak terbentuk sempurna akibat kurangnya air sebagai pelarut gluten dan garam pada adonan. (Wheat Associates, 1983).

2.4.2. Garam

Garam merupakan bahan tambahan yang ditambahkan dalam jumlah sedikit pada bahan makanan. Namun memberikan pengaruh terhadap penerimaan konsumen pada suatu produk pangan. Garam dalam pembuatan mie dapat berfungsi memberi rasa agar tidak hambar, memperkuat citarasa, dan mengkontrol pertumbuhan khamir pada pembuatan produk yang dikembangkan dengan ragi, memperkuat keliatan gluten (daya regang) dalam adonan dan membantu mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak dikehendaki, dan dapat meningkatkan daya penyerapan air dari tepung, serta mengatur warna pada produk mie (Andarwulan, 2011). Penambahan garam yang terlalu berlebih akan menyebabkan kemampuan gluten dalam menahan gas tidak optimal, namun sebaliknya penggunaan garam yang terlalu sedikit maka akan mengurangi volume adonan karena gluten tidak mempunyai daya regang yang cukup. Penambahan konsentrasi garam yang ideal pada pembuatan mie adalah 3% dari berat tepung yang digunakan. (Nurzane, 2010).

2.4.3. Telur

Telur dalam pembuatan produk olahan pangan mie dapat berfungsi membentuk warna dan flavor yang khas pada mie, memperbaiki cita rasa dan kesegaran mie,


(44)

28

membantu pembentukan adonan yang kalis, meningkatkan nilai gizi serta kelembutan produk. Telur berfungsi memunculkan warna khas kuning khas mie pada umumnya. pada proses pembuatan mie telur juga berfungsi sebagai sumber protein dan air pada pembuatan adonan mie. Albumin pada telur menyebabkan peningkatan kadar air pada mie. Namun dalam penggunaannya telur juga tidak boleh terlalu berlebih, hal ini dapat menyebabkan adonan menjadi lembek, dan susah kalis. Selain itu juga telur berfungsi sebagai emulsifying dengan adanya lesitin sehingga dapat memperbaiki stabilitas tekstur pada mie (Winarno, 1994).


(45)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian. Analisis karakteristik dan elongasi mie dilaksanakan di Pusat Antar Universitas IPB departemen ITP dan uji organoleptik dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada Bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tapioka cap KD, air, telur yang diperoleh dari pasar rajabasa, gluten komersial (75%), Gluten enkapsulasi (gluten yang diperoleh melalui penelitian Husniati et al. (2013) dengan metode Mikroenkapsulasi), garam halus dan bahan bahan kimia yang digunakan dalam analisis seperti: Aquades, H2SO4 buatan merck, heksan buatan merck, NaOH buatan merck, Selenium buatan merck, H3BO3 buatan merck. Sedangkan alat yang digunakan adalah TAXT-2 (texture analyzer) panci, kompor, baskom, mesin


(46)

30

penggiling mie, oven, tabung volumetrik, spatula, desikator, plastik PP, oven, cawan petri.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi sifat reologi dan organoleptik pada mie tapioka yang dibuat dengan cara penambahan gluten bebas dan gluten enkapsulasi. Metode yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan. Penambahan gluten bebas dan gluten enkapsulasi dilakukan dengan berbagai proporsi. Penambahan gluten dalam tapioka pada berbagai proporsi dianggap sebagai perlakuan tunggal, berikut proporsi yang digunakan pada gluten bebas dan gluten enkapsulasi:

G0. Tapioka 100%

G1. Gluten bebas + Tapioka (5% : 95%) G2. Gluten bebas + Tapioka (10% : 90%) G3. Gluten bebas + Tapioka (13% : 87%) G4. Gluten enkapsulasi + Tapioka (3% : 97%) G5. Gluten enkapsulasi + Tapioka (4% : 96%) G6. Gluten enkapsulasi + Tapioka (5% : 95%)

Data yang diperoeh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Bartlet dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam dan mengetahui pengaruh masing masing perlakuan. Data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

3.4. Pelaksanaan Penelitian


(47)

31

3.4.1. Persiapan bahan utama dan bahan tambahan

Persiapan bahan baku penelitian meliputi tapioka yang akan digunakan dalam penelitian, dan gluten yang digunakan yaitu gluten bebas, dan gluten enkapsulasi. Masing masing pada perbandingan yang telah di tentukan. proporsi gluten bebas dan enkapsulasi pada tapioka, yang digunakan dalam pembuatan mie basah tapioka, di tunjukkan pada Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6. Proporsi bahan baku dan pembantu dalam pembuatan mie basah tapioka

Proporsi G0 G1 G2 G3 G4 G5 G6

Tapioka (g) 150 142,5 135 130,5 145,5 144 142,5 Gluten

bebas (g)

- 7,5 15 19,5 - - -

Gluten enkapsulasi (g)

- - - - 4,5 6 7,5

Air (mL) 20 20 20 20 20 20 20

Telur(butir) 1 1 1 1 1 1 1

Garam (g) 3 3 3 3 3 3 3

3.4.2. Proses pembuatan mie

Tahapan pembuatan mie terdiri dari tahap pencampuran, roll press (pembentukan lembaran), pembentukan mie, serta pengemasan. Pada tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dengan air berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Untuk mendapatkan adonan yang baik harus diperhatikan jumlah penambahan air pada proses gelatinisasi pati sebagian,yaitu sebanyak 20mL, waktu pengadukan 15 menit, dan suhu adonan 30oC. Proses roll press (pembentukan lembaran) bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat lembaran adonan.


(48)

32

Tebal akhir pasta sekitar 1,2 – 2 mm. Di akhir proses pembentukan lembaran, lembar adonan yang tipis dipotong memanjang selebar 1 – 2 mm dengan roll pemotong mie, dan selanjutnya dipotong melintang pada panjang tertentu, sehingga dalam keadaan kering menghasilkan berat standar. Desain proses dan proporsi pada penelitian kali ini didasarkan pada penelitian mi jagung instan metode Budiyah (2005). berikut disajikan cara pembuatan mie dari tapioka pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram alir pembuatan mie basah tapioka mentah yang dimodifikasi. Sumber : Budiyah (2005)

Pencampuran

(bahan baku,bahan tambahan dan hasil gelatinisasi parsial) Gelatinisasi parsial di wajan (2 sendok makan tapioka dalam 20 mL

air,selama 45 detik)

Pengadonan bahan baku dan bahan tambahan hingga kalis

Pembentukan lembaran dan pengistirahatan adonan selama ± 2

menit

Pencetakan menjadi mie basah tapioka mentah

Bahan Baku: Tapioka , gluten bebas(5%,10%,13%) , gluten enkapsulasi (3%,4%,5%) masing-masing hingga 150g

Mie basah tapioka mentah Tapioka bahan baku2 sendok makan

dari yang sudah ditimbang, dipisahkan di wajan untuk di

gelatinisasi

Bahan Tambahan : Garam 3gram Telur 1 butir


(49)

33

3.5 Pengamatan

3.5.1. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi

Pengukuran terhadap parameter kekerasan (firmness), kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas dilakukan dengan texture analyzer TAXT-2 (Zulkhair et al., 2012). Sampel diletakkan pada wadah yang telah disediakan kemudian diukur kekerasan dan kelengketannya. Pengukuran dilakukan pada jam ke-0. Elastisitas merupakan gaya maksimum yang dapat menahan sejumlah beban tertentu. Elastisitas diukur menggunakan Spaghetti/Noodle Tensile Rig A/SPR. Sampel dililitkan sejajar pada probe dan bagian dasar (base), kemudian diukur elastisitasnya. Satuan kekerasan, kelengketan, dan elastisitas adalah gram force (gF).

3.5.2. Uji Organoleptik

Pengamatan yang dilakukan terhadap produk mie basah mentah dari tapioka dengan penambahan gluten bebas dan gluten enkapsulasi, antara lain, warna, elongasi, dan penerimaan keseluruhan. Adapun uji yang digunakan adalah uji hedonik pada parameter penerimaan keseluruhan dan uji skoring untuk parameter warna dan elongasi. Penilaian dilakukan dengan menggunakan 20 orang panelis yang sudah biasa mengkonsumsi mie. (Meilgaard et al, 1999). Skor penilaian dapat dilihat pada Tabel 7. Sampel yang disajikan kepada panelis adalah mie tapioka.


(50)

34

Tabel 7. Skor dan kriteria mutu uji organoleptik

Pengujian % Elongasi mie basah tapioka mentah :

Pada uji elongasi(%perpanjangan), tekstur kali ini Dihadapan anda disajikan sampel mie tapioka berkode. Anda diminta untuk memberi respon berupa skor pada setiap sampel, dengan membandingkan sampel mie yang berkode dengan mie tanpa kode. Berikan penilaian dengan skor 1(terendah) – 10 (tertinggi) sesuai

Nama: Tanggal:

Dihadapan anda disajikan sampel mie tapioka berkode. Anda diminta untuk memberi respon berupa skor pada warna dan elongasi nilai serta kesukaan pada parameter penerimaan keseluruhan pada pada setiap sampel sesuai dengan respon yang anda rasakan.

Kode Warna Penerimaan

keseluruhan G0

G1 G2 G3 G4 G5 G6

Keterangan warna :

1.Putih 2.Putih kekuningan 3.Agak kuning 4.Kuning 5.Sangat kuning

Sangat mudah putus Tidak mudah putus

1 2 3 4 5

Keterangan untuk penilaian:

Elongasi (penambahan panjang ), warna, penerimaan keseluruhan : 5. Sangat suka

4. Suka 3. Agak suka 2. Tidak suka 1.Sangat tidak suka


(51)

35

dengan respon yang anda rasakan dengan cara melingkari salah satu angka yang tertera (1-10) sebagai nilai elongasi sampel tersebut.

Mudah putus Tidak mudah putus G0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 =

G1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 = G2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 = G3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 = G4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 = G5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 = G6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 =

3.5.3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Penentuan KPAP dilakukan dengan metode Oh et al. (1983). dengan cara merebus 5 gram mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang untuk mendapatkan kadar air contoh dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:


(52)

36

3.5.4. Analisis Proksimat Perlakuan Terbaik

3.5.4.1. Kadar Air

Kadar air ditentukan dengan metode gravimetri (AOAC, 1995). Cawan aluminium dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105 oC selama 30 menit, didinginkan dalam desikator, ditimbang dan diulangi sampai diperoleh berat konstan cawan. Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 3-5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah sampel ditimbang kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven pada suhu yang sama selama 1 jam, didinginkan dan ditimbang, kemudian diulang kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan:

A = Berat cawan konstan dan sampel sebelum dikeringkan (g) B = Berat cawan konstan dan sampel setelah dikeringkan (g) C = Berat sampel sebelum dikeringkan

3.5.4.2. Kadar Abu

Kadar abu ditentukan dengan metode pengabuan kering (AOAC, 1995). Cawan terlebih dahulu dipanaskan di dalam tanur bersuhu 400-600 0C, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 3-5 g dimasukkan dalam


(53)

37

cawan porselin. Selanjutnya dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur pada 400-600 0C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwana putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:

3.5.4.3. Kadar Lemak

Kadar lemak ditentukan dengan metode Soxhlet (AOAC, 1995). Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 0C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (Soxhlet), yang telah berisi pelarut heksana. Reflux dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 0C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus:

3.5.4.4. Kadar Protein

Kadar protein ditentukan dengan metode mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995). Sampel yang telah dihaluskan sebanyak 0,2 g ditimbang dan diletakkan ke dalam labu


(54)

38

Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1 g selenium dan 5 ml H2SO4 pekat. Sampel dipanaskan pada pemanas listrik sampai cairan menjadi jernih. Blangko dipersiapkan dengan perlakuan yang sama. Sampel didinginkan kemudian ditambahkan 75 ml aquades dan 1 g Zn, serta larutan NaOH sampai cairan bersifat basa. Labu Kjeldahl dipasang pada alat destilasi. Selanjutnya labu Kjeldahl dipanaskan sampai amonia menguap semua, distilat ditampung dalam erlenmeyer berisi 100 ml H3BO3 yang sudah diberi campuran phenolptalin blue dan merah 1% beberapa tetes. Distilasi diakhiri setelah volume distilat yang keluar tak bersifat basa. Kelebihan H3BO3 dalam distilat dititrasi dengan larutan basa standar (larutan H2SO4 0,1 N). Rumus perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:


(55)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Proporsi G4 yaitu (tapioka 97% : Gluten enkapsulasi 3%) merupakan proporsi terbaik pada produk mie basah tapioka, yang menghasilkan skor organoleptik warna 3,90 (agak kuning), elongansi sebesar 6,92% (Tidak mudah putus), penerimaan keseluruhan 4,86% (suka) dan KPAP sebesar 6,14%. Proporsi (Tapioka 97% : Gluten enkapsulasi 3%) dipilih sebagai perlakuan terbaik berdasarkan hasil rekapitulasi data hasil uji organoleptik, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sebesar 6,15%, dan uji elongasi dengan TAXT-2 sebesar 432,80 gf.

B. Saran

Disarankan untuk dilakukan penelitian penggunaan gluten enkapsulasi pada proporsi lain dalam pembuatan mie tapioka. Untuk mengetahui proporsi yang lebih baik dari G4 (tapioka 97% : gluten enkapsulasi 3%).


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z., C. Devi, and Adeline. 2013. Development of Wet Noodles Based on Cassava Flour. English Technology Science Journal. 45 (1), 97 – 111. Andarwulan, N. 2011. Garam dan Gula Dalam Adonan Roti. (Skripsi). Jurusan

Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis Association of Official Analytical Chemist. Washington, D.C.1130 pp.

Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI 01-2987-1992 : Syarat Mutu Mie Basah. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1994. SNI 01-3451-1994 : Syarat Mutu Tapioka. Jakarta.

Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bogasari. 2010. Pengolahan Roti. Arsip BBC. Palembang.

British Nutrition Foundation. 2005. Complex Carbohydrate in Food. The Report of The Brithis Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall, London.

Budiyah. 2005. Pemanfaatan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam

pembuatan mi jagung instan. (Skripsi). Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk MieBasah. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.


(57)

56

Charles, A.L., Y.H. Chang, W.C. Ko., K. Sriroth, and T.C. Huang.2005.

Influence of amylopectin structure and amylose content on gellingproperties of five cultivars of cassava starches. Jurnal Agriculture andFood

Chemistry53: 2717 – 2725.

Chen, Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. (Thesis). Chapter 3: hal 40. Wageningen University, Netherlands.

Collison,G.K.1968. Sweeling and Gelation of Starch,Starch and it's Devirates.Chapman and Hall Ltd.London. 171-171.

Dahlia, lies. 2014. Hidup Sehat Tanpa Gluten. Elex media komputindo. Gramedia-Press. Jakarta. 113hlm.

deMan. 1999. Principle of Food Chemistry.Connecticut: The Avi Publishing Co., Inc., Westport.

Desai, K.G.H, and H.J. Park. 2005. Recent Developments in Microencapsulation of Food Ingridients. Korea University. Sungbuk-ku. Korea. 1361-1394. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas

Indonesia. UI-Press. Jakarta.320hlm.

Dziezak, J.D. 1988. Applications of Spray-Drying in Microencapsulation of FoodIngredients: An overview.International Journal of Food Technology, 136–151.Diakses pada 18 Maret 2014.

Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of

United Nations. Roma.

Greenwood.1979. Starch and Glycogen. Di dalam Symposium in Food : Carbohydrate and Their Roles. The Aus Publishing. Wesport.

Handayani, S.1994. Pangan dan Gizi. Buletin. Universitas Negeri Surakarta. Surakarta.

Hidayat, B. 2008. Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008.

Universitas Lampung. :Lampung. (VII) 311-319.

Hou, G. and M. Kruk.1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin. Portland.


(58)

57

Huang, D.P. dan L.W. Rooney. 2001. Starches for snack foods. CRC Press. New York.

Irviani, L.I.dan F.C. Nisa.2014. Kualitas Mie Kering Tersubsitusi Mocaf. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 1 p.215-225. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya. Malang.

Kim Y.S., P.W.Dennis,H.L. James, and B. Patricia. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches fo Starch

Noodleswww.aaccnet.org/cerealchemistry/ backissues/1996/73_302.pdf. Diakses pada tanggal 20 April 2014.

Kruger, J.E and R.B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American

Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.

Kusnanda, D. 2014. Mie Lethek Kegemaran Kawula Mataram. Buletin Harian Kompas.http://travel.kompas.com/read/2014/03/01/0925291/Mi.Lethek. Kegemaran.Kawula.Mataram. Diakses pada tanggal 12 Juni 2014.

Maryani, N. 2013. Studi pembuatan mie kering berbahan baku tepung singkong dan mocaf (modified cassava flour). Jurnal sains terapan. Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Program Diploma. Institut Pertanian Bogor. Bogor.1 – 15 hlm.. Diakses pada tanggal 22 Mei 2014.

Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Technique. CRC Press. New York.

Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. CRC Press, Baco Raton. Florida. Navickis, L.L., Anderson, R.A., Bagley, E.B. and Jasberg, B.K. 1982.

Viscoelastic properties of wheat flour doughs: Variation of dynamic moduli with water and protein content.J. Texture Studies. 13:249 – 264. Ningrum, W.R. 2006. Eksperimen Pembuatan Roti Tawar Dengan Menggunakan

Jenis Lemak Yang Berbeda. (Skripsi). Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Nurzane. 2010. Pengetahuan Tentang Penggunaan Garam Patiseri.

http://nurzanepastry.blogspot.com.Diakses pada tanggal 3 Maret 2014. Oh, N.H., P.A. Seib., C.W. Deyou, and A.B. Ward. 1983. Noodles. Measuring

The Textural Characteristics of dry Noodles. Cereal Chemistry. 60. 433 – 437.

Pagani, M.A. 1985. Pasta product from non conventional raw material. P:52-68. Proceeding of An International Symposium, Milan. Italy.


(59)

58

Petrofsky, K.E. and Hoseney, R.C. 1995. Rheological Properties of Dough Made With Starch and Gluten From Several Cereal Sources. Cereal. Chem. 72. 53 – 58.

Pomeranz, Y. dan Shellenberger. 1971.Bread science and technology. AVI publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Potter, N.N. and H.J. Hotchkiss.1995. Food Science. CBS Publishers and Distributors. New Delhi.

Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers, London.

Swinkels, J.J.M. 1985.Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam : G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.

Taggart, P. 2004. Starch as an ingredient : manufacture and application. CRC Press, Boca Raton. Florida.

Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini.2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya.

Wheat Asscociates, U.S. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerjemah IKAPI. Upima. Jakarta. 287 hlm.

Whistler, R.L. dan J.N. BeMiller.1997. Carbohydrate for Food Scientist. American Association of Cereal. St. Paul.

Wilbrahan, A.C., dan M.S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Terjemahan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Winarno, F.G. 1994.Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Winarno, F.G. 2000. Potensi dan Peran Tepung-tepungan bagi Indsutri Pangan dan Program Perbaikan Gizi. Makalah pada Seminar Nasional Interaktif Penganekaragaman Makanan untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan. Jakarta.Diakses pada tanggal 23 April 2014.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia.Jakarta.

Zobel, H.F. 1984. Gelatinization of Starch and Mechanical Properties of Starch Pastes. Academic Press, Inc. New York.


(60)

59

Zulkhair, Hamigia., T. Muhandri., Subarna, dan N. Budi.2012.Jurnal Sains

Terapan Edisi II : 16 – 31. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses pada tanggal 9 April 2014.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Proporsi G4 yaitu (tapioka 97% : Gluten enkapsulasi 3%) merupakan proporsi terbaik pada produk mie basah tapioka, yang menghasilkan skor organoleptik warna 3,90 (agak kuning), elongansi sebesar 6,92% (Tidak mudah putus), penerimaan keseluruhan 4,86% (suka) dan KPAP sebesar 6,14%. Proporsi (Tapioka 97% : Gluten enkapsulasi 3%) dipilih sebagai perlakuan terbaik berdasarkan hasil rekapitulasi data hasil uji organoleptik, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sebesar 6,15%, dan uji elongasi dengan TAXT-2 sebesar 432,80 gf.

B. Saran

Disarankan untuk dilakukan penelitian penggunaan gluten enkapsulasi pada proporsi lain dalam pembuatan mie tapioka. Untuk mengetahui proporsi yang lebih baik dari G4 (tapioka 97% : gluten enkapsulasi 3%).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z., C. Devi, and Adeline. 2013. Development of Wet Noodles Based on Cassava Flour. English Technology Science Journal. 45 (1), 97 – 111. Andarwulan, N. 2011. Garam dan Gula Dalam Adonan Roti. (Skripsi). Jurusan

Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis Association of Official Analytical Chemist. Washington, D.C.1130 pp.

Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI 01-2987-1992 : Syarat Mutu Mie Basah. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1994. SNI 01-3451-1994 : Syarat Mutu Tapioka. Jakarta.

Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bogasari. 2010. Pengolahan Roti. Arsip BBC. Palembang.

British Nutrition Foundation. 2005. Complex Carbohydrate in Food. The Report of The Brithis Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall, London.

Budiyah. 2005. Pemanfaatan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam pembuatan mi jagung instan. (Skripsi). Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk MieBasah. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.


(3)

56

Charles, A.L., Y.H. Chang, W.C. Ko., K. Sriroth, and T.C. Huang.2005.

Influence of amylopectin structure and amylose content on gellingproperties of five cultivars of cassava starches. Jurnal Agriculture andFood

Chemistry53: 2717 – 2725.

Chen, Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. (Thesis). Chapter 3: hal 40. Wageningen University, Netherlands.

Collison,G.K.1968. Sweeling and Gelation of Starch,Starch and it's Devirates.Chapman and Hall Ltd.London. 171-171.

Dahlia, lies. 2014. Hidup Sehat Tanpa Gluten. Elex media komputindo. Gramedia-Press. Jakarta. 113hlm.

deMan. 1999. Principle of Food Chemistry.Connecticut: The Avi Publishing Co., Inc., Westport.

Desai, K.G.H, and H.J. Park. 2005. Recent Developments in Microencapsulation of Food Ingridients. Korea University. Sungbuk-ku. Korea. 1361-1394. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas

Indonesia. UI-Press. Jakarta.320hlm.

Dziezak, J.D. 1988. Applications of Spray-Drying in Microencapsulation of FoodIngredients: An overview.International Journal of Food Technology, 136–151.Diakses pada 18 Maret 2014.

Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of

United Nations. Roma.

Greenwood.1979. Starch and Glycogen. Di dalam Symposium in Food : Carbohydrate and Their Roles. The Aus Publishing. Wesport.

Handayani, S.1994. Pangan dan Gizi. Buletin. Universitas Negeri Surakarta. Surakarta.

Hidayat, B. 2008. Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008.

Universitas Lampung. :Lampung. (VII) 311-319.

Hou, G. and M. Kruk.1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin. Portland.


(4)

Huang, D.P. dan L.W. Rooney. 2001. Starches for snack foods. CRC Press. New York.

Irviani, L.I.dan F.C. Nisa.2014. Kualitas Mie Kering Tersubsitusi Mocaf. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 1 p.215-225. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya. Malang.

Kim Y.S., P.W.Dennis,H.L. James, and B. Patricia. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches fo Starch

Noodleswww.aaccnet.org/cerealchemistry/ backissues/1996/73_302.pdf. Diakses pada tanggal 20 April 2014.

Kruger, J.E and R.B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.

Kusnanda, D. 2014. Mie Lethek Kegemaran Kawula Mataram. Buletin Harian Kompas.http://travel.kompas.com/read/2014/03/01/0925291/Mi.Lethek. Kegemaran.Kawula.Mataram. Diakses pada tanggal 12 Juni 2014.

Maryani, N. 2013. Studi pembuatan mie kering berbahan baku tepung singkong dan mocaf (modified cassava flour). Jurnal sains terapan. Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Program Diploma. Institut Pertanian Bogor. Bogor.1 – 15 hlm.. Diakses pada tanggal 22 Mei 2014.

Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Technique. CRC Press. New York.

Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. CRC Press, Baco Raton. Florida. Navickis, L.L., Anderson, R.A., Bagley, E.B. and Jasberg, B.K. 1982.

Viscoelastic properties of wheat flour doughs: Variation of dynamic moduli with water and protein content.J. Texture Studies. 13:249 – 264. Ningrum, W.R. 2006. Eksperimen Pembuatan Roti Tawar Dengan Menggunakan

Jenis Lemak Yang Berbeda. (Skripsi). Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Nurzane. 2010. Pengetahuan Tentang Penggunaan Garam Patiseri.

http://nurzanepastry.blogspot.com.Diakses pada tanggal 3 Maret 2014. Oh, N.H., P.A. Seib., C.W. Deyou, and A.B. Ward. 1983. Noodles. Measuring

The Textural Characteristics of dry Noodles. Cereal Chemistry. 60. 433 – 437.

Pagani, M.A. 1985. Pasta product from non conventional raw material. P:52-68. Proceeding of An International Symposium, Milan. Italy.


(5)

58

Petrofsky, K.E. and Hoseney, R.C. 1995. Rheological Properties of Dough Made With Starch and Gluten From Several Cereal Sources. Cereal. Chem. 72. 53 – 58.

Pomeranz, Y. dan Shellenberger. 1971.Bread science and technology. AVI publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Potter, N.N. and H.J. Hotchkiss.1995. Food Science. CBS Publishers and Distributors. New Delhi.

Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers, London.

Swinkels, J.J.M. 1985.Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam : G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.

Taggart, P. 2004. Starch as an ingredient : manufacture and application. CRC Press, Boca Raton. Florida.

Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini.2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya.

Wheat Asscociates, U.S. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerjemah IKAPI. Upima. Jakarta. 287 hlm.

Whistler, R.L. dan J.N. BeMiller.1997. Carbohydrate for Food Scientist. American Association of Cereal. St. Paul.

Wilbrahan, A.C., dan M.S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Terjemahan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Winarno, F.G. 1994.Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Winarno, F.G. 2000. Potensi dan Peran Tepung-tepungan bagi Indsutri Pangan dan Program Perbaikan Gizi. Makalah pada Seminar Nasional Interaktif Penganekaragaman Makanan untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan. Jakarta.Diakses pada tanggal 23 April 2014.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia.Jakarta.

Zobel, H.F. 1984. Gelatinization of Starch and Mechanical Properties of Starch Pastes. Academic Press, Inc. New York.


(6)

Zulkhair, Hamigia., T. Muhandri., Subarna, dan N. Budi.2012.Jurnal Sains

Terapan Edisi II : 16 – 31. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses pada tanggal 9 April 2014.