Hukum adat 006

Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat
khusus atau istimewa (baik provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa). Contoh
satuan pemerintahan bersifat khusus adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta;
contoh satuan pemerintahan bersifat istimewa adalah Daerah Istimewa (DI)
Yogyakarta dan Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
(2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di
Sumatera Barat), dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok
masyarakat di berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti
hak ulayat, tetapi dengan satu syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu
benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu harus diatur lebih lanjut dalam
peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu, penetapan itu tentu saja
dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip

negara kesatuan. - See more at: http://limc4u.blogspot.com/2012/12/penjelasanpasal-18b-uud-1945.html#sthash.ZgaN5QzK.dpuf

Pendahuluan
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai prokontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasalpasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala
daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur
kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai banyak kalangan
kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya, UU ini mampu
menjawab berbagai masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik
masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya,

memasukan komponen Pemilihan kepala daerah langsung ternyata membawa
ketidakpuasan beberapa pihak sehingga sampai tulisan ini dibuat, permohonan
uji materiil (judicial review) telah dikeluarkan hasilnya dengan putusan
Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005) yang mengabulkan sebagian
dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan sejumlah LSM dan 15
KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara
sederhana

dari
UU
pemerintahan
daerah
ini
antara
lain:
Implikasi
positif
UU
No.32
tahun
2004
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan
desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di
era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini

berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal
yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak
dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.
Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi UUD 1945 hasil
perubahan kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B
yang menggantikan pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan
perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah
Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi,
Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut
pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya. Pada UU No. 32,
Pemerintah daerah disebut langsung sebagai provinsi, dan kabupaten/kota
pada tiap-tiap ayatnya. Menegaskan mengenai pembagian yang bersifat
hirarkis ini.
Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU pemerintahan daerah
sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa
Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini


ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep
“kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak
kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai
dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan
legislatif (Legislative heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU
No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU
No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan
keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur
terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Beberapa hal lain yang niscaya merupakan implikasi positif dari UU yang
menurut versi pemerintah “menyempurnakan” ini. Badjeber (2004), Mecca dan
Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme pengawasan kepala daerah yang
semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat
memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan
tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan
terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang
siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk

melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti
sewaktu-waktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal
49).
Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap
anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap
fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk
menjamin keadilan bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai
dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak
bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan
pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa membentuk satu fraksi yang
berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan tidak.
Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan
keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh
dari suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini

dimaksudkan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak
lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acapkali aturan
main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasalpasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32
tahun

2004
ini.

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan
pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya

1.
2.

3.
4.

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita
pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada
sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan
kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan
perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya
masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;

5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi
tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus
kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara
yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:

1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2.
3.
4.
5.

Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan
hukum adat bila memenuhi syarat:
1) Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2) Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan
keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
B. Kedudukan Hukum Adat dalam Putusan Hakim
1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih diperkembangkan ke arah hukum
yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan

wanita.
2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi
yang teratur dan tersebar luas.
3. Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim
memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.
4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita,
diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum.
5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum
hendaklah diusahakan didamaikan.
Dalam kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di
Yogyakarta tahun 1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan
hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat
menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat

dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam
sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.