EFEKTIVITAS PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus di Polres Lampung Barat)

(1)

EFEKTIVITAS PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus di Polres Lampung Barat)

Oleh Tedi Pirdianto

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Pidana Program Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus di Polres Lampung Barat) Oleh

Tedi Pirdianto

Efektivitas sistem peradilan pidana yang dilaksanakan oleh sub-sistem peradilan pidana tidak terlepas dari beberapa indikator/kriteria masing-masing sub-sistem institusi/lembaga yaitu: proporsi penyelesaian perkara (clearance rate); proporsi penyidikan; proporsi kecepatan penanganan perkara (speedy trial); proporsi pemidanaan (conviction rate); proporsi pengulangan kejahatan (rate of "recall" to prison).

Kepolisian sebagai salah satu sub-sistem dari sistem peradilan pidana yang mempunyai fungsi dan tugas di bidang penyidikan selama ini telah menunjukkan kinerja yang baik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di daerah Lampung Barat. Proporsi penyidikan tindak pidana korupsi dalam tahun 2011 s/d 2013 di wilayah hukum Polres Lampung Barat cukup tinggi, yaitu sebesar 70%, . Cukup tingginya proporsi penyidikan bukan berarti telah menunjukkan bahwa peran kepolisian telah efektif, melainkan harus dilihat pula bagaimana, proporsi kecepatan penanganan perkara (speedy trial) dan proses penanganannya pada tahap penyelidikan dan penyidikan .

Polisi sebagai aparat penegak hukum yang diberi fungsi, tugas dan wewenang sebagai penyidik oleh undang-undang dalam perkara tindak pidana korupsi seharusnya dapat berperan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi dengan meningkatkan proporsi penyelesaian perkara dan kecepatan penanganan perkara. Selanjutnya polri juga dapat meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dan dengan instansi lainnya sehingga penegakan hukum dapat berjalan secara terpadu dalam rangka mencapai tujuan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah efektivitas peran Polri dalam Penyidikan perkara tindak pidana korupsi? (2) Apakah faktor penghambat efektivitas peran Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi?

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Setelah melalui proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan analisis secara kualitatif.


(3)

Penelitian diperoleh hasil bahwa sistem peradilan pidana dikatakan efektif apabila proporsi penyelesaian perkara (clearance rate), proporsi pennyidikan, proporsi pemidanaan (conviction rate), kecepatan penanganan perkara (speedy trial) cukup tinggi sedangkan residivis (recall to prison rendah). Peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana korupsi diselenggarakan melalui kegiatan penyelidikan dan penyidikan selanjutnya penuntutan pada tahap pemeriksaan di persidangan guna menetapkan putusan hakim serta diakhiri oleh tahap pelaksanaan putusan hakim. Faktor penghambat peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana korupsi disebabkan oleh factor-faktor perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan fasilitas.

Selanjutnya disarankan agar pimpinan Kepolisian segera melengkapi kekurangan yang menjadi factor penghambat dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh kepolisian baik factor intern maupun ekstern dengan melakukan peningkatan SDM polri melalui pelatihan, kejuruan, dan sekolah khusus untuk penyidik tindak pidana korupsi selain itu melengkapi IT dan anggaran, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi oleh penyidik polri dapat berjalan efektiv sesuai harapan masyarakat.

Kata Kunci : Efektivitas, Peranan Penyidik Polri, Tindak Pidana Korupsi


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Lembar Judul ... v

Lembar Persetujuan ... vi

Lembar Pengesahan ... vii

Lembar Pernyataan ... viii

Daftar Riwayat Hidup ... ix

Motto ... x

Persembahan ... xi

Kata Pengantar ... xii

Daftar Isi ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 15

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 16

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi ... 31

B. Karakteristik Tindak Pidana Korupsi ... 39

C. Sistem Peradilan Pidana dan Sub-sub Sistem Peradilan Pidana .... 47

D. Fungsi dan Tugas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan ... 65

E. Efektivitas Penyidik Polri dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ... 83

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 86

B. Sumber dan Jenis Data ... 87

C. Penentuan Populasi Sampel ... 88

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 89

E. Analisis Data ... 90

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Polres Lampung Barat ... 91

B. Efektivitas Peranan Polri dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 94

C. Faktor Penghambat Efektivitas Peranan Polri dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 108


(8)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 113 B. Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat), demikian ditegaskan dalam penjelasan Undang– Undang Dasar 1945. Mengingat pernyataan demikian dirumuskan dalam penjelasan dari UUD 1945, itu berarti kehidupan bernegara/ bermasyarakat, baik oleh warga negara maupun dalam hubungan antara negara maupun dalam hubungan antara negara dengan rakyatnya ingin dibangun dan diwujudkan melalui suatu tatanan hukum.

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa tidak ada seorang pun berada di atas hukum, semua sama dimata hukum (equality before the law), dengan demikian pemerintah, negara beserta aparatnya harus melaksanakan kekuasaannya berlandaskan hukum, sehingga dalam kehidupan berbangsa harus dijunjung tinggi nilai–nilai substansial yang menjiwai hukum dan menjadi tuntutan masyarakat antara lain tegaknya nilai–nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kepercayaan antar sesama, tegaknya nilai–nilai kemanusiaan yang beradab dan penghargaan/ perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, tidak adanya praktek korupsi, Kolusi, dan nepotisme.1

1


(10)

2 Sejarah mencatat selama lebih dari tiga dasa warsa sejak orde lama maupun orde baru, hukum tidak mendapat tempat sebagaimana dimaksudkan dalam UUD 1945. Tempatnya digeser oleh politik (orde lama) dan ekonomi (orde baru). Bahkan dalam periode tersebut hukum dijadikan alat penopang kekuasaan yang berpusat pada satu tangan yaitu Presiden. Keadaan ini berakibat lebih jauh yaitu tidak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Keadaan ini seperti membuktikan kebenaran ungkapan Lord Acton2 yaitu “Power tend to

be corrupt, absolute power corrupt absolutely” (Kekuasaan cederung diselewengkan, kekuasaan absolute/ mutlak menyebabkan penyelewengan secara mutlak pula).

Pembangunan yang mengedepankan pada pengembangan sektor ekonomi oleh pemerintah yang sentralistis, memang membawa peningkatan pada aktivitas ekonomi masyarakat. Tetapi seiring dengan perkembangan pembangunan ekonomi tersebut, karena ketiadaan kontrol sosial dari masyarakat, maka, timbul dampak negatif berupa munculnya berbagai kejahatan dibidang ekonomi seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, money Loundering dan sebagainya. Keadaan ini merupakan dimensi baru “Kejahatan dalam konteks pembangunan atau Kejahatan Luar bisaa (Ekstra Ordinary Crime) “ sebagaimana telah dibahas dalam kongres PBB ke 7 tahun 1985 tentang The Prevention Of

2

Letter to Bishop Mandell Creighton, April 5, 1887 published in Historical Essays and Studies, edited by J. N. Figgis and R. V. Laurence (London: Macmillan, 1907)


(11)

3 Crime and The Treatment of offenders di Milan Italia. Salah satu yang dibahas dalam pembicaraan “dimensi baru” itu adalah tentang tejadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of Power) berupa abuse of public power dan abuse of economic power, dimana keduanya bergandengan erat berupa kemungkinan adanya kolusi antara kedua jenis kuasa ini untuk keuntungan ekonomi kelompok, yang menyebabkan KKN hidup subur.3

Lengsernya Presiden Soeharto pada pertengahan tahun 1998 merupakan babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia, ditandai dengan lahirnya gerakan reformasi yang menuntut hukum ditegakkan dan demokrasi dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi merupakan koreksi terhadap kekuasaan yang sentralistis yang penuh penyimpangan dan segala bentuk penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang dihentikan. Supremasi hukum dan penegakkan hukum dilakukan, dalam rangka menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Upaya penegakkan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan semangat dari reformasi merupakan tuntutan hati nurani rakyat agar terwujudnya penyelenggara negara yang bersih mendapat tempat dalam ketetapan MPR R.I. NO. XI Tahun 1998 menegaskan sebagai berikut :

3


(12)

4 Pasal 4 :

Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

Semangat reformasi telah menimbulkan baik political will maupun tekad pemerintah untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme serta bentuk– bentuk penyimpangan lain, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara.

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas pokok Polri itu sendiri menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.4 Tugas penegakan hukum berkaitan dengan Sistem Peradilan Pidana di mana Polri menjadi salah satu bagiannya selain hakim dan jaksa. Dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut, Polri diberi wewenang untuk melakukan upaya paksa. Upaya paksa itu meliputi kegiatan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

4

Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia


(13)

5 Faktanya di Polres Lampung Barat, bahwa penanganan tindak pidana korupsi oleh penyidik Polres Lampung Barat merupakan tugas yang sangat berat yang harus diemban polisi. Dalam interaksinya dengan masyarakat, seorang anggota polisi harus berhadapan dengan beragam perilaku individual. Tingkat kepatuhan (compliance) dari tiap orang berbeda. Kadang tidak cukup bagi seorang polisi untuk menunjukkan bahwa ia memang anggota kepolisian, misalnya dengan pemakaian seragam polisi atau penunjukkan lencana. Dalam masyarakat memang terdapat individu yang memang nekat atau berada di ujung keputusannya yang kemudian memiliki keberanian untuk melawan atau melarikan diri dari polisi. Menghadapi anggota masyarakat (pejabat negara) yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah, polisi dibekali dengan wewenang untuk menggunakan kekuatan. Keberadaan anggota masyarakat seperti itu merupakan suatu ancaman bagi kedamaian dan ketentraman hidup dalam masyarakat secara umum serta ancaman langsung bagi keselamatan polisi itu sendiri secara khusus. Terlebih dimasa resesi ekonomi yang sepertinya tak berujung ini, keputusasaan di dalam masyarakat menyebabkan peningkatan kriminalitas secara signifikan. Penggunaan kekuatan oleh polisi ini kemudian menjadi hal yang justru didukung oleh masyarakat. Keresahan masyarakat menuntut agar polisi bertindak lebih tegas terhadap para pelaku kejahatan.

Tindakan tegas oleh petugas polisi dalam hal ini termasuk penggunaan kekuatan fisik. Dalam penangkapan misalnya, bilamana si tersangka pelaku kejahatan melawan dengan kekuatan fisik keselamatan petugas polisi menjadi terancam. Sehingga dalam situasi tertentu petugas itu harus menggunakan kekuatan fisik


(14)

6 baik dalam rangka memperoleh kepatuhan dari si tersangka pelaku kejahatan. Tindakan yang dilakukan oleh petugas polisi tersebut dibenarkan oleh undang-undang sehingga dapat dikatakan bahwa polisi melaksanakan wewenangnya berdasarkan asas legalitas.5

“Efektivitas” mengandung arti “keefektifan (effectiviness), yaitu pengaruh/efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban”. Oleh karena itu di dalam tesis ini akan dibahas mengenai Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Polres Lampung Barat berdasarkan hukum positif saat ini dan berdasarkan hukum ideal atau hukum masa depan dalam rangka efektivitas penegakan hukum .

Membicarakan “Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana dalam rangka efektivitas penegakan hukum”, tentunya tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karekteristik 2 (dua) variable yang terkait, yaitu karekteristik / dimensi dari “obyek/sasaran yang dituju” (yaitu korupsi) dan karekteristik dari “alat/sarana yang digunakan” (yaitu perangkat hukum pidana)6

. Karekteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup serta budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi,

5

Soebroto Brotodiredjo, “Asas-asas Wewenang Kepolisian”, Hukum Kepolisian di Indonesia, Penyunting DPM Sitompul, Edward Syahperenong, Tarsito, Bandung:,1985, hlm. 14.

6

Barda Namawi Arief, Makalah pada Seminar “ Penanggulangan tindak pidana korupsi

di Era peningkatan Supremasi Hukum” , Yayasan Setia Karya, Hotel Gracia Semarang , 01 Nopember 2001.


(15)

7 masalah struktur/sistem ekonomi, maslah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi, kuasa dan kondisi yang bersifat krimonogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, poltik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya.

2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokasi dan sebagainya.

3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau tekait juga dengan “economic crimes”, „organized crimes”, “illicit drug traffiking”, “money laundering”, “white collar crime”, “political crime”, “top hatcrime” atau (“crime of politician in office”), dan bahkan “transnational crime”.

4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk “top hat crime”), maka di dalamnya mengandung 2 (dua) fenomena kembar (“twinphenomena”) yang dapat menyulitkan penegakan hukum (seperti dikemukakan oleh Dionysios Spinellis.7

7

Dionysios Spinellis, “Crimes of Politicians in Office”, dalam “Crime by Government


(16)

8 Polri sebagai instrumen negara untuk menegakkan hukum serta memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tidak luput dari perhatian publik. Kewenangan Polri yang sangat luas dan kadang terasa tanpa batas menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan peluang terjadinya pelanggaran HAM ketika menjalankan tugas.

Era sekarang ini diketahui korupsi telah terjadi dimana-mana. Hampir di semua negara di seluruh dunia terjadi praktek korupsi, dan tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri pengaturan, pengawasan dan penindakan korupsi telah dilakukan dari waktu ke waktu, baik sejak pemerintahan orde lama hingga pemerintahan saat ini. Selain dari nilai uangnya, jumlah orang yang terlibat serta cara-cara yang dipakai dalam praktek korupsi semakin lama semakin meningkat. Mengantisipasi hal tersebut, banyak lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan korupsi dan menindak para pelakunya, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (sesuai Undang-Undang No.2 Tahun 2002). Namun dalam perkembangan hal itu ternyata diikuti pula oleh peningkatan teknik dan gaya penyelewengan, sehingga seakan-akan praktek korupsi itu tiada batas akhirnya.8

Korupsi yang tejadi di Indonesa sudah sangat memprihatinkan. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi juga melibatkan pengusaha, swasta, pejabat negara, aparat penegak hukum serta para wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD. Korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar bisaa) dan untuk memberantasnya bukan perkara yang mudah, sehingga dibutuhkan cara

8

Djoko prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Perrsada Indonesia Jakarta,1990, hlm.1.


(17)

9 yang luar bisaa pula dengan dukungan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia, aparat Negara dan profesionalisme aparat penegak hukum yang tentunya juga harus didukung dengan penyempurnaan perangkat undang-undang yang terkait dengan pemberantasan korupsi khususnya penyidik Polri.

Pengalaman empiris selama ini menunjukkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutam dalam peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat extra ordinary (luar bisaa), profesional, dan dukungan biaya yang besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup.9

Institusi pada tingkat pelaksanaan (aparat penegak hukum) yang diberi tugas dan tanggung jawab menanggulangi tindak pidana korupsi, memerlukan sarana berupa perangkat hukum yang memberikan landasan guna dapat melaksanakan tugas dan kewajiban secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan istrumen yang luar bisaa tersebut tidak bertentangan dengan atau menyimpang dengan berbagai standar yang berlaku secara universal. Instrumen hukum yang luar bisaa yang diadopsi ke dalam hukum. Selain melakukan penyempurnaan undang-undang tentang Pemberantsan Korupsi, pemerintah juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi baru, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu alasan dibentuknya lembaga ini adalah pemberantasan korupsi belum optimal dan lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi

9

M.Akil mochtar, Memberantas Korupsi,Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta, 2006, hlm.5.


(18)

10 (Kejaksaan dan Kepolisian) belum berfungsinya secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.10

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.11

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum yang dilakukan adalah bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial. Setiap kebijakan (policy) pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.12

Kebijakan pidana (penal policy), sebagaimana kebijakan publik umumnya, pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional. Kebijakan legislative merupakan kebijakan dalam menetapkan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan oleh karena itu sering juga kebijakan legislatif disebut sebagai istilah kebijakan formulatif.13

10

Indonesia, undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30, LN No.137 Tahun 2002, TLN 4250, bagian menimbag, huruf (a) dan (b)

11

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. hlm. 31

12

Ibid, hlm. 31

13


(19)

11 Kebijakan formulasi merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses operasionalisasi atau fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana dalam rangka penanganan korupsi di Indonesia. Berpijak dari kenyataan tersebut penulis akan menggali, mengkaji, kemudian akan mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi, data dan kesimpulan mengenai Tindakan Penyidik/ Polri dalam proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polres Lampung Barat, sehingga tesis saya beri judul : “Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Polres Lampung Barat)”

Tindakan yang dilakukan agar upaya penegakan dan pemberantasan korupsi lebih efektif dan untuk memberi kemudahan dalam pembuktian, Undang–Undang Nomor. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut dan diganti dengan undang–undang Korupsi yang baru, yang memberi akses partisipasi masyarakat guna terlibat membantu dalam usaha pemberantasan korupsi baik preventif maupun refresif, yaitu Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang–Undang No. 20 Tahun 2001. Disamping itu dikeluarkan juga Undang–Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Penyelengaraan peradilan Pidana di Indonesia telah mengalami pembaharuan dengan diberlakukannya Undang–Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76 selanjutnya disebut KUHAP) yang menggantikan Het Herziene Inlands Reglement (HIR) produk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak


(20)

12 diberlakukannya KUHAP sampai dengan sekarang, masih perlu dipertanyakan apakah proses peradilan pidana telah berjalan cepat atau efektif, murah dan sederhana serta menjunjung keadilan dan kebenaran? Berdasarkan pengamatan, ternyata Efektivitas serta tujuan mencapai keadilan dan kebenaran dari proses peradilan pidana masih jauh dari harapan.

Proses peradilan pidana merupakan mekanisme peradilan pidana yang dilihat dari bekerjanya lembaga kepolisian sampai dengan lembaga permasyarakatan (criminal justice as process). Hal itu berarti bekerjanya peradilan pidana menunjukkan adanya hubungan antara beberapa institusi/lembaga (sub-sistem) yang terlibat dalam proses tersebut dalam rangka untuk mencapai tujuan peradilan pidana, seperti sub-sistem Kepolisian (Proses penyelidikan dan penyidikan), Sub Sistem Kejaksaan (Proses Penuntutan), Sub sistem Pengadilan (Proses pemeriksaan dimuka sidang pengadilan) dan sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan (Proses pembinaan terpidana).

Efektivitas sistem peradilan pidana yang dilaksanakan oleh Sub-sistem institusi/ lembaga diatas, menurut Hiroshi Ishikawa14 tidak terlepas dari beberapa indikator/ kriteria masing–masing sub–sistem institusi/ lembaga yaitu : proporsi penyelesaian perkara (clearance rate); proporsi penuntutan (prosecution rate); proporsi kecepatan penanganan perkara (speedy trial); proporsi pemidanaan (conviction rate); proporsi pengulangan kejahatan (rate of “recall” to prison).

14

Hiroshi Ishikawa, 5 indikator/kriteria masing–masing sub–sistem institusi/ lembaga,


(21)

13 Kepolisian sebagai salah satu sub–sisitem dari sistem peradilan pidana yang mempunyai fungsi dan tugas dibidang penyelidikan dan penyidikan selama ini telah menunjukkan kinerja yang cukup baik dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi didaerah Lampung khususnya di Lampung Barat. Penegakkan hukum berdasarkan Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Korupsi) pada empat tahun terakhir (Januari 2010 – Mei 2013), di Polres Lampung Barat telah menangani sejumlah 10 Perkara, dimana dari sejumlah perkara tersebut telah diputus pengadilan berupa pemidanaan sebanyak 6 Perkara, Seperti terlihat pada tabel berikut dibawah ini :

Tabel 1. Data Penanganan perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polres Lampung Barat tahun 2010 – 2013 :

No Tahun Penyidikan Penuntutan Putusan

Pengadilan Persentase

1 Januari 2012 4 4 4

70 %

2 Mei 2013 2 - -

JML 6 4 4

Sumber : Unit Tipikor Polres Lampung Barat, 2013.

Tabel di atas menunjukkan bahwa proporsi penyidikan tindak pidana korupsi dalam tahun 2012 - 2013 diwilayah hukum Polres Lampung Barat cukup baik yaitu 70 % dan pada tahun 2010 - 2011 sebesar 30 %, dimana 2 Perkara masih dalam proses penyidikan di Kepolisian. (data terlampir)


(22)

14 Proporsi Penyidikan bukan berarti telah menunjukkan bahwa peran kepolisian telah efektif, melainkan harus dilihat pula bagaimana, proporsi kecepatan penanganan perkara (speedy trial) dan proses penanganannya pada tahap penuntutan dan peradilan.

Kepolisian dalam hal ini Penyidik sebagai aparat penegak hukum yang diberi fungsi, tugas dan wewenang sebagai penyidik oleh undang–undang dalam penanganan perkara korupsi seharusnya dapat berperan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi dengan meningkatkan proporsi penyelesaian perkara dan kecepatan penanganan perkara. Selanjutnya penyidik juga dapat meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dan dengan instansi lainnya sehingga penegakkan hukum dapat berjalan secara terpadu dalam rangka mencapai tujuan penanggulangan tindak pidana korupsi khususnya diwilayah hukum Polres Lampung Barat.

Berpijak dari kenyataan tersebut penulis akan menggali, mengkaji, kemudian akan mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi, data dan kesimpulan mengenai peranan Penyidik/ Polri dalam proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Polres Lampung Barat, sehingga tesis saya beri judul :“Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Polres Lampung Barat)”.


(23)

15 B.Permasalahan dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi studi kasus di Polres Lampung Barat?

2. Apakah faktor pengahambat Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi studi kasus di Polres Lampung Barat?

Ruang lingkup pembahasan penelitian ini meliputi kajian–kajian yang berhubungan dengan proses peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang–undangan yang terkait dengan Kepolisian dan Korupsi yaitu Undang–Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang–Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengetahui Bagaimanakah Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi serta apa saja faktor pengahambat Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi, lokasi penelitian dilakukan penulis di Unit Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Sat Reskrim Polres Lampung Barat dan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah Kasat Reskrim, Kanit Tipikor dan satu orang penyidik di Unit Tipikor tersebut.


(24)

16 C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk :

a. Menganalisis Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi studi kasus di Polres Lampung Barat.

b. Menganalisis faktor penghambat Efektivitas peran Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi studi kasus di Polres Lampung Barat.

2. Kegunaan Penelitian’

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum (penyidik Polri) dan pemerintah khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi.

b. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh Penyidik Polri/ Polres Lampung Barat dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia. dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan


(25)

17 ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan kebijakan kriminal dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh penyidik Polri/Polres Lampung Barat dalam perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.

D.Kerangka Pemikiran dan Konseptual

1. Kerangka Pemikiran

Permasalahan penegakan hukum , baik secara “ in abstracto” maupun secara “ in Concreto” merupakan masalah actual yang akhir-akhir ini disorot tajam oleh masyarakat hal tersebut tentunya tidak lepas dari kualitas Sumber Daya Manusia dibidang Penegakan Hukum terutama kualitas penegakan hukum secara materiil / substansial seperti terungkap dalam isu sentral di masyarakat, yakni :

1. Adanya perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM )

2. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan kepercayaan antar sesama 3. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan / kewenangan .

4. Bersih dari praktik “favoritisme” ( pilih kasih), KKN dan mafia peradilan . 5. Terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka. 6. Adanya penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa15.

Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas penegakan hukum, faktor-faktor tersebut adalah faktor kualitas individual (SDM), kualitas institusional/ struktur hukum (termasuk mekanisme tata kerja dan manajemen),

15

Barda Namawi Arief , “ Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan “ Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Cetakan


(26)

18 kualitas sarana dan prasarana, kualiatas perundang-undangan (Substansi hukum) dan kualitas kondisi lingkungan (Sistem sosial, ekonomi, politik, budaya termasuk budaya hukum masyarakat).

Menurut Soerjono Sukanto, bahwa penegakan hukum merupakan suatu rangkaian proses yang terdiri dari pentahapan-pentahapan yaitu :

a. Tahapan perumusan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang menjadi wewenang lembaga legislatife.

b. Tahapan penerapan/ aplikatif yang menjadi wewenang lembaga yudikatif . c. Tahapan pelaksanaan/ administratife yang menjadi wewenang lembaga

ekskutif.16

Penegakan hukum ini diartikan secara luas tidak hanya menerapkan hukum pidana tetapi dimaknai lebih dari sekedar penerapan hukum pidana positif, yakni tidak hanya mengatur perbuatan warga masayarakat pada umumnya namun juga mengatur kewenangan/kekuasaan aparat penegak hukum.

Tindakan atau upaya peningkatan kualitas penegakan hukum harus mencakup keseluruhan faktor/ kondisi/ kausa yang mempengaruhinya karena kualitas sumber daya manusialah yang menjadi sumber utama dari proses penegakan hukum dan tentu pula berimplikasi terhadap Efektivitas penegakan hukum termasuk didalamnya tentang proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polri di Wilayah Hukum Polres Lampung Barat .

16

Nyoman Serikat Putra Jaya , “ Bahan Kuliah Sistim Peradilan Pidana“ Mahasiswa


(27)

19 Berbicara mengenai Efektivitas berasal dari bahasa inggris : effectiveness. Menurut Kamus Inggris-Indonesia, John Echols dan Hasan Sadily,17 bahwa kata effectiveness bermakna “keefektipan, kemanjuran, kemujaraban”. Maka dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa Efektivitas penanganan tindak pidana korupsi adalah sesuatu hal yang efektip/ manjur/ mujarab dalam hal penanganan tindak pidana korupsi.

Korupsi merupakan simbol dari pemerintahan yang tidak benar18, yang dicerminkan oleh prosedur berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa serta layanan masyarakat yang sangat buruk, tetapi bila pejabat pemerintah yang bertanggungjawab mengelola sumber daya milik masyarakat diwajibkan mempertanggungjawabkan tugasnya pada masyarakat luas, maka pengambilan keputusan dapat menjadi sendi bagi strategi pemerintah daerah untuk memperbaiki unit yang “sakit” dan meningkatkan kersejahteraan masyarakat19.

Masalah korupsi ini tidak terlepas dari lingkungannya sehingga dapat membawa dampak yang besar bagi perkembangan masyarakat atau lembaga, baik lembaga swasta atau lembaga pemerintah, oleh karena itu perlu adanya usaha. Salah satu usaha penanggulangan korupsi adalah dengan menggunakan hukum pidana beserta saksinya. Penggunaan hukum pidana sebagai upaya untuk mengatasi masalah sosial (korupsi) termasuk kajian dalam penegakan hukum. Disamping itu

17

John M.Echolis dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( An Inggris - Indonesia Dictionary ) Penerbit PT. Gramedia Jakarta. 2005 .

18

Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, “ Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta. Yayasan Obor. 2005. hlm. 15

19


(28)

20 karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat pada umunya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial20.

Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan korupsi menggunakan hukum pidana merupakan masalah kebijakan (the problem of policy), karena sistem pidana itu merupakan bagian politik criminal21, yaitu: “suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Ini mencakup kegiatan pembentukan undang-undang pidana. Aktifitas dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, disamping usaha-usaha yang tidak menggunakan hukum (hukum pidana).

Menurut Barda Nawawi Arief istilah kebijakan yang diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat juga disebutkan dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan istilah “penal policy”, “Criminal Law Policy”, atau “strafrechts politiek”22.

Menurut Sudarto, “politik hukum pidana” dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Politik hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

20

Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, Op. Cit. hlm 13

21

Sudarto, “ Kapita Selecta Hukum Pidana, Bandung , Alumni, 1998 . hlm. 73

22

Sudarto, “ Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung. Alumni. 1983). hlm. 20.


(29)

21 b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dicita-citakan.

Ini berarti bahwa hukum bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat, sekaligus juga mengandung tujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan mendidik si pelaku kejahatan itu sendiri. Perlu diketahui bahwa tidak semua pelaku tindak pidana yang terjadi di masyarakat bersentuhan dengan sistem peradilan pidana tak terkecuali tindak pidana korupsi . Hal ini disebabkan adanya bebarapa tindak pidana tidak dilaporkan atau diadukan, tidak semuanya diteruskan ke tingkat penyidikan sesuai dengan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP23, disebabkan oleh :

a. Tidak terdapat cukup bukti atau

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau c. Penyidikan dihentikan demi hukum

Tindak pidana yang ditingkatkan ke penyidikan, kemudian oleh Penyidik dilimpahkan ke Penuntut Umum, Tindak pidana yang dilimpahkan ke Penuntut Umum, tidak semuanya ditingkatkan ke penuntutan oleh Penuntut Umum, mengingat Penuntut Umum dapat berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 140 Ayat (2) huruf a. untuk memutuskan menghentikan penuntutan dengan alasan sesuai dengan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP disebabkan oleh :

23

Nyoman Serikat Putra Jaya , “ Bahan Kuliah Sistim Peradilan Pidana “ Mahasiswa Program Magister IlmuHukum. Universitas Diponegoro . hlm . 8.


(30)

22 a. Tidak terdapat cukup bukti atau

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau c. Penyidikan dihentikan demi hukum

Tindak pidana yang dilimpahkan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum disertai permintaan untuk mengadilinya, oleh Pengadilan tidak semua dijatuhi pidana, mengingat dalam memeriksa perkara pidana terdapat beberapa kemungkinan antara lain :

a. Putusan bebas dari segala dakwaan ( Pasal 191 Ayat (1) KUHAP,

b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, sehingga diputus lepas dari segala tuntutan hukum

c. (Pasal 191 Ayat (2) KUHAP.

d. Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka dijatuhi pidana (Pasal 193 Ayat (1) KUHAP

Menurut UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) sebagaimana telah diubah dengan UU. Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan-batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal kemudian mengelompokkannya ke dalam beberapa rumusan delik. Jika dilihat dari kedua undang-undang di atas, dapat dikelompokkan sebagai berikut24:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2, Pasal 3 UU. Nomor 31 Tahun 1999);

2. Kelompok delik Penyuapan, baik secara aktif (yang menyuap) maupun yang secara pasif (yang menerima suap) (Pasal 5, 11, 12, 12 B, UU. Nomor 20 Tahun 2001)

3. Kelompok delik Penggelapan (Pasal 8, Pasal 10 UU. Nomor 20 Tahun 2001) 4. Kelompok delik Pemerasan (Pasal 12 e, dan f, UU. Nomor 20 Tahun 2001) 5. Kelompok delik yang berkaitan dengan Pemborongan, leveransir, dan

rekanan (Pasal 7 UU. Nomor 20 Tahun 2001).

24


(31)

23 Berpijak dari pengelompokkan delik-delik di atas, penting artinya bagi aparat penegak hukum. Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan represif. Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku, tetapi juga dapat berfungsi sebgai daya tangkal (prevency effect).

Semangat untuk memberantas korupsi terkesan hanya menyalahkan sistem yang ada, tetapi kurang berorientasi pada peningkatan dan pengawasan kinerja dan profesionalitas aparat penegak hukum. Sehingga, tidak jarang dalam proses pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi itu sendiri terhalang oleh perilaku para penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan (abuse of power).

Semangat yang hanya berorientasi untuk perbaikan sistem hukum materil, dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan, berawal dengan keluarnya Peraturan Nomor PRT/PM 06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi dan PRT/PERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan, Pertama, keluarnya PERPU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian menjadi UU. Nomor 1 Tahun 1961, kemudia kedua, UU. Nomor 1


(32)

24 Tahun 1961 diubah dengan UU. Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketiga, Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan keempat UU. Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU. Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan Korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Meskipun demikian, penegak hukum harus tetap melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti. Hal itu dinyatakan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diamandemen, pada Pasal 28 D Ayat (1), sedangkan dalam bidang hukum pidana dimuat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang diterjemahkan sebagai asas legalitas. Dengan demikian, setiap tindakan dalam proses hukum harus mengacu kepada suatu peraturan yang tertulis yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh peraturan perundang-undangan. Itulah makna dari negaran hukum. Maka setiap aspek pemberantasan korupsi harus didasarkan pada hukum, karena dalam negara hukum terdapat prinsip


(33)

25 wetmatigheid van bestuur, menurut hukum administrasi negara atau dalam hukum pidana dikenal dengan asas legalitas nullum crimen sine lege.25

Pelaku korupsi pada umumnya menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya untuk kepentingan pribadinya. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) mengingat pelaku korupsi yang mempunyai status sosial dan kedudukan yang terhormat. Istilah tersebut pertama kali diciptakan oleh Edwin H. Sutherland dalam suatu presidential addres didepan American Sociological Society pada tahun 1939, yang menyatakan bahwa white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam kaitan dengan okupasinya (jabatannya).26

Uraian diatas membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, karena korupsi menyangkut segi moral, sifat dan jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan kerena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya27 Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan bahwa sesungguhnya korupsi adalah: a. Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk pribadi atau orang lain;

b. Busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

25

Chaerudin, dkk, Op.Cit., hlm. 6.

26

Muladi, Op. Cit., hlm.159.

27


(34)

26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain adalah :

a. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 20 tahun 2001);

b. Perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001).

Bunyi Pasal 1 angka 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang dibebani wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan pada Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Jadi perbedaannya ialah penyidik terdiri dari polisi negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik hanya terdiri dari polisi negara saja. Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan 2 (dua) wewenang penyidikan, yaitu :

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi, institusi yang diberi wewenag untuk melakukan penyidikan adalah :


(35)

27 a. Kejaksaan (jaksa)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 14 huruf (g) disebutkan bahwa :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”

Sebagaimana ketentuan ini, kepolisian berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena Kepolisian Negara RI berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

c. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan untuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku. Amanat tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi. Badan ini mempunyai kewenangan antara lain melakukan koordinasi dan supervise terhadap instansi yang berwenang


(36)

28 melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

“Menurut Soerjono Soekanto28 peranan adalah suatu sistem kaidah– kaidah yang berisikan patokan–patokan perikelakuan pada kedudukan– kedudukan tertentu didalam masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai oleh pribadi ataupun kelompok–kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peran (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peran (role performance)”.

Suatu peranan tertentu dari pribadi atau kelompok dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal (ideal role)

2. Peranan yang seharusnya (expected role)

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Peranan yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak – pihak) lain, sedangkan peranan yang sebenarnya serta yang dianggap oleh diri sendiri berasal dari pribadi. Peranan yang seharusnya dari Penyidik Polri sebagai aparat penegak hukum telah dirumuskan dalam beberapa undang – undang.

Kedudukan Penyidik Polri sebagai aparat penegak hukum mempunyai Tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Undang–Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Kepolisian) dan Undang–Undang No. 08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

28


(37)

29 Penyidik Polri dapat dikatakan berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi apabila telah melaksanakan fungsi dan tugasnya dibidang penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan yang ada sehingga tindak pidana korupsi dapat dituntut ke Pengadilan. Dengan menggunakan teori Hiroshi Ishikawa29 bahwa indikator pengukuran dilihat dari Clearance rate, procecution rate, conviction rate, speedy trial, and recall to prison, yang dalam penulisan tesis ini dimodifikasi dengan dua ukuran saja, yaitu Penyidikan oleh Penyidik Polri sesuai dengan Prosedur undang - undang dan kecepatan penanganan perkara (speedy trial), maka Efektivitas peran Penyidik dapat dilihat dari meningkatnya proporsi Penyidikan dan Proporsi Kecepatan penanganan perkara dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

2. Konseptual

Konseptual adalah Konsep–konsep yang menggambarkan hubungan antara konsep–konsep, khusus yang merupakan kumpulan dari arti–arti yang berkaitan dengan istilah. Istilah yang digunakan dalam penulisan proposal penelitian ini adalah :

1. Efektif adalah berdaya guna30. Ukuran untuk menyatakan sesuatu adalah efektif/berdaya guna memerlukan adanya indikator/kriteria yang telah ditentukan. Dalam peneitian ini, Indikator yang digunakan adalah Proporsi Penyidikan dan Kecepatan penanganan Perkara dalam tahap penyidikan.

29

Hiroshi Ishikawa, Penyidikan oleh Penyidik Polri sesuai dengan Prosedur Undang - Undang dan kecepatan penanganan perkara (speedy trial). 1984: hlm.4

30


(38)

30 2. Peran adalah pelaksanaan aktivitas/kegiatan berdasarkan kedudukan, tugas

dan fungsinya31.

3. Peradilan Pidana adalah suatu proses penyelenggaraan penegakan hukum pidana yang dilaksanakan oleh sub–sub sistem peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga pemasyarakatan dengan tujuan untuk menanggulangi kejahatan.

4. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang–undang, terhadap perbuatan tersebut pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.

5. Korupsi adalah perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Korupsi.

6. Kepolisian Resor (Polres) adalah : Kepolisian yang berkedudukan di Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten yang bersangkutan, dipimpin oleh Kepala Polisi Resor (Kapolres) yang bertanggung jawab langsung kepada Kapolda.

31


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata corruption/corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptie1. Pengertian korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2 ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, sedangkan pengertian korup ialah busuk; buruk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Menurut A.S. Hornby et. al. Dalam The Advanced Leaner's Dictionary of Current English3 korupsi adalah "the offering and accepting of bribes" (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) dan diartikan pula sebagai “decay” yaitu kebusukan/kerusakan.

Pengertian korupsi banyak didefinisikan oleh para pakar, dimana masing-masing merumuskannya sesuai dengan sisi pandang bidang ilmunya. Korupsi dari sisi

1

Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk Memperoleh Informasi Dalam Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan, 2001: hlm.7

2

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 1989

3


(40)

32 pandang ekonomi menurut Jacob van Klaveren4 bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

Korupsi dari sisi pandang pemerintahan menurut J. S. Nye5 sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman) demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu cakup tindakan seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan pribadi).

Carl J. Friesrich6

“Merumuskan korupsi dari sisi pandang kepentingan umum dengan mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk atau mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan Kepentingan umum”.

4

dikutip dari John A. Gardiner, 1974: hlm.18

5

J.S. Nye, “Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis,” American Political Science Review, Vol. 61, No. 2, pp. 417-427. 1967

6


(41)

33 Selanjutnya Mubyarto7 yang mengutip pendapat Theodore M. Smith

“Merumuskan korupsi dari sisi pandang politik dengan mengatakan secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten”.

Menurut sisi pandang sosiologi, Syed Hussein Alatas8 menyatakan terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang dan hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Istilah itu juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri. Selanjutnya ditambahkan Syed Hussein Alatas, yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat (nepotisme). Dengan demikian yang termasuk dalam korupsi adalah empat tipe yang mencakup perbuatan penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan.

Menurut Syed Hussein Alatas9 empat tipe korupsi di atas dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut:

7

Mubyarto, 1980: hlm. 60

8

Syed Hussein Alatas,1980: hlm. 11

9


(42)

34 1. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.

2. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan.

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. 4. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik pembenaran

hukum.

5. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan.

6. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu.

9. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tatanan masyarakat.

2. Tindak Pidana Korupsi

Pengertian tindak pidana korupsi sejak berlakunya Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 Tanggal 9 April 1957 sampai dengan diundangkannya UUTPK Tahun 1999 semakin lama semakin disempurnakan, sehingga hampir merumuskan berbagai bentuk pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas. Dalam UUTPK pengertian tindak pidana korupsi tercantum dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2-Pasal 20 dan Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21-Pasal 24. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat dikategorikan lima pengertian dan tipe tindak pidana korupsi berikut di bawah ini dengan penjelasan masing-masing unsurnya. Unsur-unsur yang sama yang telah dijelaskan sebelumnya tidak akan dijelaskan lagi pada penjelasan unsur Pasal berikutnya.

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama

Pengertian tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UUTPK: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


(43)

35 memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Berpijak dari ketentuan pasal di atas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

(1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan Pada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku bertambah kekayaannya.

(2) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum

Unsur melawan hukum dalam UUTPK mencakup perbuatan melawan hukum baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.


(44)

36 (3) Merugikan keuangan atau perekonomian negara

Penjelasan UUTP menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan

b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau pun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua

Pasal 3 UUTPK merumuskan pengertian tindak pidana korupsi tipe kedua sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)


(45)

37 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rapiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana korupsi dari Pasal di atas adalah sebagai berikut: (1) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukannya

Tindak pidana korupsi pada tipe kedua ini terutama ditujukan kepada seorang pegawai negeri, oleh karena hanya pegawai negeri saja yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan dari kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUTPK, pengertian pegawai negeri meliputi:

(a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Kepegawaian (i.c. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999);

(b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHPidana (i.c. Pasal 92 KUHPidana);

(c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; (d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; dan

(e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

(2) Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi berarti membuat orang tersebut, orang lain/kroninya atau suatu korporasi memperoleh aspek material maupun inmaterial dari perbuatan itu. Pembuktian unsur “menguntungkan” dapat lebih mudah dibuktian oleh penuntut umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah orang tersebut menjadi kaya atau bertambah kaya sebagaimana unsur “memperkaya” dalam pasal 2 UUTPK.


(46)

38 c. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga

Tindak pidana korupsi pada tipe ketiga terdapat dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 13 UUTPK yang merupakan pasal-pasal dari KUHPidana yang kemudian ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Apabila dikelompokkan, terdapat empat kelompok tindak pidana korupsi tipe ketiga berikut ini.

(1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yaitu Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHPidana.

(2) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan yaitu Pasal 415, 416 dan 417 KUHPidana.

(3) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan yaitu Pasal 423 dan 425 KUHPidana.

(4) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, yaitu Pasal 387, 388 dan 435 KUHPidana.

d. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat

Pasal 15 dan 16 UUTPK mengkualifikasikan perbuatan percobaan (poging), pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia sebagai tindak pidana korupsi.

e. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima

Tindak pidana korupsi pada tipe kelima ini sebenarnya “tidak murni” sebagai tindak pidana korupsi melainkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan 24 UUTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa, ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta


(47)

39 rupiah).

(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 35 atau Pasal 36 UUTPK yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(3) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, 231, 241, 422, 429 atau 430 KUHPidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah).

(4) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UUTPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

B. Karakteristik Tindak Pidana Korupsi

Dyatmiko Soemodihardjo, di dalam bukunya berjudul mencegah dan memberantas korupsi, mencermati dinamikanya di Indonesia dan masih terlalu banyak kelompok atau karakteristik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sehingga masih kesulitan bagi masyarakat umum untuk memahami masuk kelompok atau karakteristik yang mana suatu tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan inilah beberapa karakteristik Tindak pidana Korupsi :

a. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara terdapat pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 Ayat (1) huruf A, Pasal 7 Ayat (1) huruf C, Pasal 7 Ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf (A), Pasal 12 huruf (I), Pasal 12A dan Pasal 17, UUDRI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001.

b. Korupsi yang terkait dengan suap – menyuap, yaitu menyuap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap;pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya ; menyuap hakim; menyuap advokad; hakim dan advokad yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokad yang menerima suap, terdapat pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 A, Pasal 17, dan UURI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001.


(48)

40 c. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan buku terdapat pada Pasal 8, Pasal 9 huruf i, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c.

d. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lainnya, terdapadat pada Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 A, Pasal 17, dan UURI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001.

e. Korupsin yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pembohong berbuat curang, pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, rekanan TNI / POLRI berbuat curang, pengawas rekanan TNI / POLRI membiarkan perbuatan curang, penerima barang TNI / POLRI membiarkan perbuatan curang, pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain yang terdapat pada Pasal 12 huruf i, Pasal 17 dan UURI Nomor 20 Tahun 2001.

f. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya yang terdapat pada pasal 12 huruf i.

g. Korupsi yang terkait dengan grafitasi, yaitu pegawai negeri menerima grafitasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdapat pada, pasal 12 B juncto 12 C, Pasal 13, Pasal 17, dan UURI Nomor 20 Tahun 2001.

Perbuatan korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas dan ciri khas tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta;

c. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita;

d. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;

e. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang;

f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, bisaanya pada badan publik atau masyarakat umum;


(49)

41 g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;

h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Menurut M. Dawan Rahardjo dalam artikelnya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menggambarkan bahwa timbulnya perbuatan korupsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, apakah kelembagaan pemerintah itu memberikan kesempatan kepada perbuatan korupsi. Kedua, lingkungan budaya yang memepengaruhi psikologi orang-seorang. Ketiga, pengaturan ekonomi yang mungkin memberikan tekanan-tekanan tertentu. Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Pelaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor faktor penyebabnya tidak saja dapat berasal dari internal pelaku korupsi, Tetapi dapat juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

Berikut adalah aspek-aspek penyebab seseorang melakukan korupsi, menurut Sarlito W Sarwono , kendatipun tidak ada jawaban yang persis, tetapi dua hal yang jelas yakni :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, Hasrat, kehendak dan sebagainya);

b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurangnya kontrol dan sebagainya).


(50)

42 Beberapa Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi menurut Andi hamzah sebagai berikut:

a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;

b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;

c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang efisien sering di pandang sebagai penyebab korupsi, dalam arti bahwa yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi. Semakin besar anggaran pembangunan, semakin besar pula kemungkinan kebocoran-kebocoran;

d. Modernisasi mengembangbiakkan korupsi karena membawa perubahan nilai dasar atas masyarakat membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, membawa perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan pemerintah;

e. Faktor mental yang tidak sehat lebih dominan untuk mendorong terjadinya perbuatan korupsi. Sebab sekalipun faktor-fakor lainnya itu ada / terdapat pada diri seseorang, akan tetapi apabila ia bermental sehat tidak akan melakukan perbuatan korupsi (semacam ada rem).

Analisa yang lebih detail lagi tentang beberapa penyebab korupsi kemudian dipaparkan oleh badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi” dimana beberapa yang menjadi penyebab korupsi antara lain;

1) Aspek individu pelaku a. Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan disebabkan karena orangnya miskin atau penghasilannya tidak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya tetapi masih mempunyai hasrat yang begitu besar untuk memperkaya diri, penyebab korupsi pada pelaku semacam ini datang dari dalam diri sendiri yakni sifat tamak dan rakus;


(51)

43 b. Moral yang kurang kuat

Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat bawahannya atau fihak yang lainnya memberikan kesempatan untuk itu; c. Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya dapat memenuhi atau sejalan dengan kebutuhan hidup yang wajar, bila hal itu tidak terjadi maka sesorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. tetapi apabila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini akan memberikan sebuah peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, maupun fikiran dalam artian semua curahan peluang itu untuk keperluan diluar pekerjaan yang seharusnya; d. Kebutuhan hidup yang mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu kemudian membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi;

e. Gaya hidup yang konsumptif

Kehidupan di kota kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseorang berperilaku konsumtif. Perilaku semacam ini apabila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan kemungkinan itu adalah dengan melakukan tindak korupsi;


(52)

44 f. Sifat malas atau tidak mau bekerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari suatu pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial dalam melakukan tindakan apapun dengan cara cara mudah dan cepat, yang diantaranya melakukan korupsi;

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, yang tentunya akan melarang setiap warga negaranya melakukan tindakan korupsi dalam bentuk apapun. Akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukan bahwa praktek korupsi semakin berkembang subur di tengah masyarakat. situasi paradoks semacam ini mencerminkan bahwa ajaran agama tidak sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan.

2) Aspek Organisasi

a. Kurangnya Sikap Keteladanan Pimpinan

Posisi pimpinan dalam suatu lembaga formal maupun informal sesungguhnya mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi bawahannya. Apabila seorang pemimpin tidak bisa memberikan keteladanan yang baik dihadapan bawahannya misalnya berbuat korupsi maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama sebagaimana atasannya;

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisai bisaanya mempunyai pengaruh kuat terhadap anggotanya. apabila kulur organisasi tidak dapat dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai situasi yang tidak kondusif mewarnai kehidupan


(53)

45 organisasi. Dalam posisi yang demikian perbuatan negatif seperti antara lain korupsi memiliki peluang yang besar untuk terjadi;

c. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai Pada institusi pemerintah pada umumnya belum merumuskan dan melaksanakan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya terhadap instansi pemerintah sulit untuk dilakukan penilaian apakah instansi tersebut telah berhasil mencapai sasaranya atau tidak? Dan akibat lebih lanjut terhadap kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki semacam ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktek korupsi;

d. Kelemahan sistem pengendalian manajemaen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. semakin longgar atau lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka peluang perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya;

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam orgainisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindakan korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup tersebut, pelanggaran korupsi justru cenderung terus berjalan dengan berbagai bentuk.


(1)

115 Sebagaimana kesimpulan diatas bahwa tindakan Penyidik Polri dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan yang dipraktekkan Penyidik di Polres Lampung Barat, selalu ada kendala yang berakibat pada terlambannya/ terhambatnya proses penyidikan tindak pidana korupsi khususnya seperti yang telah disebutkan diatas.

B. Saran

Berdasarkan Simpulan tersebut diatas, maka agar peran Penyidik Kepolisian khususnya Penyidik Tindak Pidana Korupsi bisa efektif dan memenuhi harapan masyarakat sesuai yang diamanatkan dalam undang–undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disarankan sebagai berikut :

1. Agar pemerintah merevisi undang-undang yang telah ada untuk menambahkan kewenangan Polri dalam hal melakukan penyidikan dan asset racing terhadap pelaku tindak pidana korupsi, Membuat MOU antar aparat penegak hukum sehingga antara penegak hukum dapat sama-sama berpresepsi dan tidak ada egoisme antar aparat penegak hokum, perangkat hukum tidak tumpang tindih namun saling melengkapi, dan dibentuk Lembaga Terpadu (Lembaga satu Atap) terdiri dari Kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan BPKP ) yang secara khusus menangani Tindak Pidana Korupsi, Seharusnya juga dibuatkan aturan atau ketentuan yang mengatur berapa batasan minimum kerugian keuangan Negara yang dapat diproses sampai kepersidangan sehingga kerugian keuangan Negara dapat diselamatkan bukan malah sebaliknya penanganan kasus tersebut merugikan keuangan Negara dan diadakannya Political Will


(2)

116 untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi , yakni Ijin/ Persetujuan Tertulis dari Presiden/ Mendagri/ Gubernur/ Pengadilan Negeri berkaitan dengan pemeriksaan terhadap Pejabat / Orang-orang tertentu sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Undang-undang tidak diperlukan lagi sehingga tidak terjadi perlakukan yang diskriminatif sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Pasal : 28D Undang-Undang Dasar 1945 , yakni setiap orang dipersamakan kedudukannya didepan hukum .

2. Perekrutan Sumber daya manusia untuk bertindak sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi, benar-benar patut dan layak serta mempunyai kemampuan professional dibidang Reserse Kriminal dan proporsional dalam melakukan tindakan penyidikan, Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana dalam tindakan penyidikan, Adakan latihan-latihan singkat tentang taktik dan teknik penyelidikan dan penyidikan dengan tenaga pelatih yang professional, serta lengkapi Sat reskrim dengan perpustakaan yang lengkap dengan kewajiban semua anggota untuk membacanya, dihilangkannya sifat arogansi dan interes pribadi dari Penyidik, dihilangkan pula intervensi dari para pengambil kebijakan dan dari Instansi lain terhadap tindakan penyidikan, Adakan lobby melalui tokoh-tokoh politik, cendikiawan maupun tokoh-tokoh agama serta LSM agar ikut memberikan masukan kepada pembuat undang-undang yakni pemerintah dan legislatif, khususnya yang mengatur masalah penyidikan, agar tidak terjadi diskriminatif serta tumpang tindih kewenangan, Perlunya setiap


(3)

117 Penyidik diwajibkan untuk mengikuti pendidikan strata satu dibidang ilmu hukum dengan bantuan anggaran dari pemerintah seperti instansi penegak hukum yang lain agar dapat menguasai/ memahami dan mengimplementasikan hukum secara akurat dan Pengesampingan sifat ego sektoral dari Aparat Penegak Hukum ( Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan )


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arief. Barda Namawi, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan “ Penerbit Kencana Prenada

Media Group, Jakarta. Cetakan Kedua Tahun 2006. hlm. 19.

……, Makalah pada Seminar “ Penanggulangan tindak pidana korupsi di Era

peningkatan Supremasi Hukum” , Yayasan Setia Karya, Hotel Gracia Semarang , 01 Nopember 2001.

……, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, 2002:hlm. 10.

……, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

1996. hlm. 31

……, Penyidikan oleh Penyidik Polri sesuai dengan Prosedur Undang - Undang dan kecepatan penanganan perkara (speedy trial). 1984: hlm.4

Brotodiredjo. Soebroto, “Asas-asas Wewenang Kepolisian”, Hukum Kepolisian di

Indonesia, Penyunting DPM Sitompul, Edward Syahperenong, Tarsito,

Bandung:,1985, hlm. 14. Carl J. Friesrich, 1966: hlm. 85 Chaerudin, dkk, Op.Cit., hlm. 4, 6.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 1989

Echolis. John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An Inggris - Indonesia Dictionary) Penerbit PT. Gramedia Jakarta. 2005 .

Ishikawa. Hiroshi, 5 indikator/kriteria masing–masing sub–sistem institusi/

lembaga, 1984: hlm.4.

Jaya. Nyoman Serikat Putra, “ Bahan Kuliah Sistim Peradilan Pidana

Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum. Universitas Diponegoro . hlm. 8.

……, “ Bahan Kuliah Sistim Peradilan Pidana “ Mahasiswa Program Magister IlmuHukum. Universitas Diponegoro . hlm . 8.

J.S. Nye, 1967: hlm. 27 J.W. La Patra, 1978: hlm. 86


(5)

John Griffithst, the crime control modeldan“the due process model. 1970: hlm. 48

Kamus besar Bahasa Indonesia, 1987 Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 1987

Klitgaard. Robert, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, “ Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta. Yayasan Obor. 2005. hlm. 15

……, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, Op. Cit. hlm 13 La Patra, 1978: hlm. 83

Letter to Bishop Mandell Creighton, April 5, 1887 published in Historical Essays

and Studies, edited by J. N. Figgis and R. V. Laurence (London: Macmillan,

1907)

Mochtar. M.Akil, Memberantas Korupsi,Efektivitas Sistem Pembalikan Beban

Pembuktian dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta, 2006, hlm.5.

Packer. Herbert L., Two Models of the Criminal Process ,1968: hlm. 72

Prakoso. Djoko, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana

Korupsi, Aksara Perrsada Indonesia Jakarta,1990, hlm.1.

Prodjohamidjojo. Martiman, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk

Memperoleh Informasi Dalam Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan, 2001:

hlm.7

Reksodiputro. Mardjono, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan

Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta, 1994

……, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. 1990 : hlm. 4.

Saleh. Roeslan, Stelsel pidana Indonesia Roeslan Sale, Jakarta, Aksara Baru 1983

Spinellis. Dionysios, “Crimes of Politicians in Office”, dalam “Crime by

Government” oleh Dr.Helmut (Editor), hlm. 23.

Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum dalam masyarakat, Rajawali 1980: hlm. 122. Sudarto, “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung. Alumni.

1983. hlm. 20.


(6)

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. 1981: hlm. 38 Syed Hussein Alatas,1980: hlm. 11

Syed Hussein Alatas,1980: hlm. 13

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, sebagaimana diubah dalam UU No. 8/2010, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang No. 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 3, LN No. 19 tahun 1971, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 8, LN No. 76 tahun 1981, Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, TLN No. 3209.

Undang-Undang No.30, LN No.137 Tahun 2002,Undang-Undang Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, TLN 4250

C. INTERNET

http://faturohmanalbantani.blogspot.com/2011/01/ciri-ciri-korupsi-sebab-dan-akibat.html

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2010/11/korupsi-definisi-ciri-ciri-dan.html

http://arriwp97.blogspot.com/2011/03/upaya-meningkatkan-kualitas-penyidik.html