Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana Dalam Proses Penyidikan (Studi Di Polres Deli Serdang)

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku:

Atang, R. Ranoemihardja. 1980. Hukum Acara Pidana. Bandung : Tarsito

Bawengan, Gerson. W. 1989. Penyidik Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: PT. Pradnya Paramytha.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

D, Soedjono. 1976. Kriminalistik dan Ilmu Forensik: Pengantar Sederhana Tentang Teknik dalam Penyidikan Kejahatan. Bandung: TP.

Hamdan, M. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo.

Hamid, Hanurat. 1991. Pembahasan Permasalahan KUHP Bidang Penyidikan (dalam bentuk tanya jawab). Jakarta: Sinar Grafika.

Hardaniwati, Menuk. 2003. Kamus Pelajar. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia.

Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia

---. 1989. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

---. 1996a. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya. ---. 1996b. Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan

Sarana Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia

---. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Prenada Media. Kansil, Christie ST, CST Kansil. 2007. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta:

Pradnya Paramytha.

Kartohadiprojo, Soediman. 1965. Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Bandung: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia.


(2)

Lamintang, PAF. 1984. KUHP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung: SinarBaru.

Macquarie Library. 1985. The Macquarie Dictionary. Australia.

Mulyadi, Mahmud. 2009. Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana. Medan: USU Press.

O’Hara, Charles. E. 1969. Fundamentals of Criminal Investigation. Illionis: Charles Thomas Publisher.

Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Reksodiputro, Mardjono. 1994. Hukum Pidana dalam Perkembangan Hukum

Nasional. Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.

Sianturi, SR. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM – PT. HAEM.

Sianturi, SR, Ey. Kanter. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Simorangkir, J. C. T. 2007. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Taufik, Muhammad Makarao. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Waluyadi. 2003. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Yahya, M Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta : Sinar Grafika

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Undang-undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

SK Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.


(3)

Situs Internet:

Brent Turvey, Crime scene Analysis,

http://criminalprofiling3.blogspot.com/.../crime-scene-analysis-reconstruction.html diakses pada tanggal 04 oktober 2010

Dwi Wahyuni, Pelaksanaan Rekonstruksi Dalam Mengungkap Terjadinya Tindak Pidana Penganiyayaan yang menyebebkan Matinya Orang Lain,

http://Simta.uns.ac.id/CariTa.php?oct=dafTA &Sub=new &fr diakses pada tanggal 02 Oktober 2010

Henny Saida Flora, Fungsi Rekonstruksi Sebagai Bukti Dalam Mengungkap

Terjadinya Tindak Pidana,

Oktober 2010

Newslatter MAFS, Crime scene Reconstruction,

O’Connor, rekonstruksi logika,

10 Oktober

Yanuar A Purba, Makalah hukum Acara Pidana,

diakses pada tanggal 02 Oktober 2010

Zainul Arifin, Kasus Salah Tangkap di Jombang,

diakses


(4)

BAB III

PERAN REKONSTRUKSI PERKARA PIDANA PADA TINGKAT PENYIDIKAN

(STUDI DI POLRES DELI SERDANG

)

A. Latar Belakang Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana di Polres Deli Serdang

Rekonstruksi perkara pidana sebagai suatu tehnik pemeriksaan dalam proses penyidikan yang dilaksanakan pada tahap pemeriksaan pendahuluan berasal dari praktek yang dijalankan oleh pihak kepolisian. Inisiatif pemeriksa dalam hal ini penyidik kepolisian untuk melakukan reka ulang suatu tindak pidana dengan jalan memperagakan kembali gerak serta cara dan alat yang digunakan dalam suatu tindak pidana yang dilakukan langsung oleh tersangka, berdasarkan keterangan yang diberikan olehnya dan juga keterangan saksi pada saat kejadian berlangsung merupakan suatu upaya pihak penyidik dalam rangka memenuhi tujuan hukum acara pidana yakni mencari dan menemukan kebenaran materiil artinya kebenaran yang sesungguhnya dari suatu tindak pidana.

Hal tersebut penting karena dalam rangka menemukan suatu kebenaran sejati tentang peristiwa pidana, tidak saja dilakukan pada tahap pemeriksaan pendahuluan tetapi juga dilakukan pada tahap pemeriksaan lanjutan di depan sidang pengadilan.

Mengenai cara-cara yang dilakukan dalam proses pemeriksaan tersebut memang tidak ada ditemukan dalam KUHAP secara defenitif satu persatu khususnya cara-cara yang digunakan penyidik pada tingkat penyidikan di kepolisian. Oleh karena itu pihak penyidik dalam prakteknya melakukan berbagai tehnik pemeriksaan guna mengungkap terjadinya suatu tindak pidana.


(5)

Polres Deli Serdang melalui Satuan Reserse Kriminal Unit Idik juga melakukan rekonstruksi dalam proses penyidikannya terhadap kasus-kasus yang memang dianggap perlu dilakukan hal tersebut.55

Latar belakang pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang ialah didasarkan pada SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi himpunan Juklak dan juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana serta Formulir Berita dari KAPOLDA SUMUT kepada KAPOLTABES MEDAN dan KAPOLRES sejajaran POLDA SUMUT dengan No.Pol.TR/416/1986.

Buku petunjuk juklak dan juknis tersebut memang hanya berlaku di kalangan kepolisian saja. Namun, meskipun demikian tidak menjadi perdebatan mengenai daya lakunya, sejauh tujuannya selaras dengan KUHAP dalam rangka menemukan kebenaran materiil dari suatu peristiwa pidana.

Di Polres Deli Serdang sendiri, perkara pidana yang dilakukan rekonstruksinya bersifat selektif artinya tidak semua perkara yang masuk dilakukan reka ulang adegannya. Berdasarkan data yang diperoleh, maka rekonstruksi hanya dilaksanakan untuk tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Berikut merupakan data pelaksanaan rekonstruksi di Polres Deli Serdang :

55

Wawancara dengan Akp.Anggoro Wicaksono selaku Kasat Reskrim Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00


(6)

Tabel Jumlah Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana di Polres Deli Serdang

No Tahun Jumlah

kasus

Rekonstruksi Keterangan

1 Juni 2005 110 1 Pembunuhan

2 Mei 2006 140 1 Pembunuhan

3 Oktober 2007 188 1 Pembunuhan

4 Januari 2009 123 1 Pembunuhan

5 Mei 2009 128 1 Pembunuhan

6 Juni 2010 169 1 Pembunuhan

7 Aguatus 2010 240 1 Pembunuhan

Sumber : Kepolisian Resor Deli Serdang

Dari tabel tersebut diketahui, bahwa jumlah pelaksanaan rekonstruksi di Polres Deli Serdang hanya dilakukan sebanyak 7(tujuh) kali untuk tindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dalam kurun waktu 2005 sampai dengan 2010. Hal ini dikarenakan Polres Deli serdang sendiri baru berdiri pada tahun 2002 karena Polres Deli Serdang merupakan pecahan dari Polres Tebing Tinggi.

Namun, jika dicermati maka rekonstruksi yang digelar di Polres Deli Serdang hanya dilakukan untuk tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan adalah tergolong kedalam kasus yang berat dan rumit, oleh karena itu rekonstruksi dilakukan agar supaya teori yang ditarik dalam kasus itu dapat lebih dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain walaupun tersangka pembunuhan telah mengakui bahwa ia adalah pembunuh sebenarnya, rekonstruksi tetap dilakukan karena


(7)

penyidik tetap harus memiliki alternatif bahwa belum tentu tersangka jujur dalam memberikan keterangannya, bisa saja ia menutupi hal-hal yang brkaitan dengan tindak pidana yang dilakukannya.56

1. Memperjelas Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Tersangka B. Pelaksanaan Rekonstruksi untuk Membantu Proses Penyidikan di Polres

Deli Serdang

Pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang memang memiliki peranan tersendiri dalam proses penyidikan. Dengan dilakukannya rekonstruksi, maka hal tersebut membantu dalam proses penyidikan guna mengungkap tindak pidana yang terjadi Secara garis besar, peranan digelarnya rekonstruksi perkara pidana oleh pihak penyidik tersebut dibagi menjadi 2 (dua), yakni :

Di Polres Deli Serdang sendiri, rekonstruksi diadakan untuk tindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dalam tindak pidana pembunuhan, tersangka sering sekali memberikan keterangan yang berbelit-belit kepada petugas dan menutupi hal-hal seperti motif atau alasan dia membunuh, cara yang dilakukannya termasuk peran rekannya dalam pembunuhan tersebut. Bahkan, tersangka dalam beberapa kasus pembunuhan tidak signifikan dalam memberikan keterangan kepada pennyidik mengenai alat yang digunakannya untuk menghilangkan nyawa orang lain tersebut. hal ini yang membawa petugas pemeriksa untuk menggelar rekonstruksi guna mendapat kejelasan dari keterangan tersangka tersebut, karena pemeriksaan pada tingkat

56

Wawancara dengan Aiptu Hendra, selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November 2010, pukul 11.00 WIB


(8)

penyidikan di Polres Deli Serdang sendiri tidak memaksa tersangka untuk mengakui perbuatan yang disangkakan kepadanya dalam arti tidak mengejar pengakuan tersangka. Disini jelas terlihat bagaimana penyidik reskrim Polres Deli Serdang menghormati hak-hak tersangka dan memberlakukan asas praduga tak bersalah kepada tersangka.

Pelaksanaan rekonstruksi untuk kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pihak Polres Deli Serdang dikarenakan kasus tersebut memerlukan penjabaran yang detail mengenai tindakan sebelum tindak pidana dilakukan, selagi tindak pidana dilakukan, dan setelah tindak pidana dilakukan. Sebelum mengadakan rekonstruksi, penyidik perlu mengumpulkan berbagai macam bukti seperti bukti-bukti fisik saat di TKP. Bukti-bukti-bukti fisik itu dapat berupa barang bukti-bukti seperti senjata atau alat yang dipergunakan dalam melakukan tindak pidana, setelah melakukan tindak pidana, tapak kaki, sidik jari, posisi korban waktu ditemukan dan lain sebagainya.57

Dari menggelar rekonstruksi tersebut, maka nantinya dapat memperjelas tindak pidana yag dilakukan tersangka. Hal ini terlihat pada kasus pembunuhan diatas dimana keterangan tersangka dan saksi yang telah diperoleh kemudian Rekonstruksi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan cara mencocokkan bukti-bukti, keterangan saksi, bahkan bilamana tersangka mengakui perbuatannya, maka hendaknya dicocokkan dengan pengakuannya. Sebaliknya, bilamana tersangka menyangkal terus, maka rekonstruksi itu akan merupakan batu ujian apakah sangkalan-sangkalan itu beralasan atau tidak.

57

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang, pada hari Jum’at, tanggal 01 Oktober, pukul 09.00 WIB


(9)

dicocokkan dan dianalisa bagian-bagian yang sama juga berbeda pada waktu rekonstruksi dilakukan.

Setelah melakukan rekonstruksi dibuat berita acara pemeriksaan rekonstruksi dan dibuat foto rekonstruksi pada setiap adegan, lebih baik dengan menggunakan kamera vidio, dan jangan berita acara terlebih dahulu dibuat baru dilakukan rekonstruksi. Hal ini guna mengantisipasi timbulnya perbedaan antara adegan-adegan yang dilakukan dalam rekonstruksi dengan berita acara rekonstruksi yang dibuat terlebih dahulu.58

Agar memperoleh keterangan, petunjuk-petunjuk, bukti-bukti, data yang cukup dan benar, maka hasil-hasil pemeriksaan tersangka atau saksi yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dievaluasi guna mengembangkan dan mengarahkan pemeriksaan berikutnya ataupun untuk membuat suatu kesimpulan dari pemeriksaan sebagai salah satu kegiatan penyidikan yang telah dilakukan. Adapun proses dari pada evaluasi meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

Setiap adegan rekonstruksi dianalisa, dan manakala ada perbedaan antara keterangan yang diperoleh sebelumnya dengan pelaksanaan rekonstruksi, penyidik wajib melakukan pemeriksaan tambahan.

59

58

Wawancara dengan Bripka Rapolo Tambunan selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00 WIB

59

SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11 September 2000. h.255

a. Tahap Inventarisasi

Penyidik/penyidik pembantu berusaha menarik dan mengumpulkan semua keterangan-keterangan yang benar-benar mengarah kepada unsur-unsur pasal tindak pidana sebanyak mungkin.


(10)

b. Tahap Seleksi

Dari keterangan-keterangan yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diseleksi untuk mencari keterangan-keterangan yang ada relevansinya dengan peristiwa pidana yang terjadi dan mempunyai hubungan yag logis.

c. Tahap Pengkajian

1). Dari keterangan-keterangan yang telah diseleksi tersebut penyidik/penyidik pembantu mengkaji, dan menguji kebenarannya dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah keterangan tersebut betul-betul dapat dipercaya, dengan cara :

(1). Menilai adanya persesuaian untuk keterangan saksi

(2). Menilai adanya persesuaian keterangan saksi dengan keterangan ahli dan bukti yang ada

(3). Adanya alasan yang logis dari setiap eterangan saksi

2). Keterangan-keterangan yang telah dianggap benar tersebut satu dengan lainnya kemudian dihubung-hubungkan dengan alat bukti lainnya, apakah terdapat persesuaian satu dengan yang lain.

Setelah diperoleh gambaran atau konstruksi perkara pidananya secara bulat, maka dapat diketahui :

1. Bahwa benar peristiwa tindak pidana telah terjadi 2. Peranan dari masing-masing tersangka yang terlibat


(11)

3. Siapa-siapa saksinya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan

4. Barang/benda yang menjadi barang bukti

5. Dari hasil evaluasi tersebut, penyidik/penyidik pembantu dapat menyusun resume.

2. Memberi Keyakinan Kepada Penyidik Tentang Tindak Pidana yang Terjadi

Pemeriksaan rekonstruksi di Polres Deli Serdang dilakukan untuk menguji keterangan yang telah diberikan tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan untuk memberikan gambaran yang lebih meyakinkan kepada pemeriksa tentang duduk kejadian yang sebenarnya atau tentang kebenaran keterangan yang diperoleh baik dari saksi maupun tersangka dengan cara, kepada tersangka diperintahkan untuk memperagakan kembali bagaimana cara tersangka melakukan tindak pidana itu.60

Hal tersebut dilakukan karena biasanya pada saat pemeriksaan tersangka dan saksi, penyidik sudah dapat memperoleh bayangan tentang duduk perkara tersebut. Pada kasus pembunuhan yang dilakukan rekonstruksi perkara pidananya misalnya maka penyidik pada waktu memeriksa dan meminta keterangan dari saksi dan tersangka sudah dapat membayangkan bagaimana tindak pidana tersebut berlangsung, bagaimana tersangka melakukan tindak pidana itu dan bagaimana saksi yang menyaksikan tindak pidana tersebut mengambil sikap begitu juga

60

Wawancara dengan Bripka Rapolo Tambunan selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00 WIB


(12)

dengan alat yang digunakan untuk menghilangkan nyawa orang lain, penyidik sudah memperoleh gambaran tentang bentuk serta kualifikasi dari alat yang digunakan tersangka tersebut untuk menghabisi nyawa orang lain termasuk cara-cara tersangka.61

61

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November 2010, pukul 11.00 WIB

Dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh tersangka dan saksi tersebut, maka penyidik sudah memiliki teori atau gambaran sehubungan dengan terjadinya tindak pidana itu. Dan untuk memantapkan teori penyidik tersebut dilakukanlah rekonstruksi yang juga dilaksanakan untuk memberikan keyakinan kepada penyidik mengenai gambaran yang diterimanya melalui keterangan saksi dan keterangan tersangka tersebut.

Lebih lanjut, rekonstruksi dipergunakan untuk menguji kabenaran teori yang dipakai oleh penyidik, apakah rekonstruksi sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya telah terjadi, dengan itu hendak ditentukan apakah tempat kejadian adalah sesuai dengan keterangan saksi dan apakah semua bukti dapat mendukung kebenaran terjadinya peristiwa pidana. Bagaimanakah gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tersangka dan bilamana menyangkut tersangka teori tentang modus operandi, apakah perbuatan yang telah terjadi sesuai dengan pola operandi yang dimaksud.


(13)

C. Kendala dalam Pelaksanaan Rekonstruksi pada Proses Penyidikan di Polres deli serdang dan Upaya Mengatasinya

1. Kendala Pelaksanaan Rekonstruksi di Polres Deli Serdang

Dalam rangka pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang, umumnya hal tersebut tidak selalu berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh seluruh pihak. Aparat penyidik dalam melakukan reka ulang kejadian suatu tindak pidana ternyata mengalami hambatan atau kendala baik bersifat internal maupun eksternal. Hambatan yang bersifat internal maksudnya hambatan tersebut berkenaan langsung dengan terjadinya suatu perkara pidana, dalam hal ini yakni tersangka dan saksi. Sedangkan hambatan yang bersifat eksternal maksudnya yakni hambatan tersebut berasal dari luar dan tidak bersinggungan dengan terjadinya suatu tindak pidana secara langsung, yang dalam hal ini berasal dari masyarakat umum.

a.) Hambatan internal, terdiri atas :62

1. Tersangka

Pelaksanaan suatu rekonstruksi perkara pidana, jelas tidak dapat dipisahkan dengan tersangka, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tersangka merupakan kunci dari suatu tindak pidana yang terjadi. Keterangan tersangka pada saat proses penyidikan sangat diperlukan dalam hal mengungkap tindak pidana yang dilakukannya. Keterangan tersangka merupakan informasi yang berharga bagi penyidik dalam menyusun teori dan menerapkan unsur-unsur pasal dari tindak pidana yang sedang ditanganinya. Walaupun tersangka

62

wawancara dengan Bripka Rapolo Tambunan selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00


(14)

memberikan keterangan yang tidak benar, bukan berarti penyidik dapat memperlakukan tersangka sebagai objek yang dapat diperlakukan seenaknya, kepadanya harus diberikan kebebasan untuk mengakui atau menyangkal atas tuduhan-tuduhan pidana yang dipersangkakan kepadanya, hal ini sejalan dengan prinsip pemeriksaan yang dianut yakni prinsip accusatoir, dimana tersangka diperlakukan sebagai subjek. Dengan demikian seseorang yang telah disangka melakukan tindak pidana harus dihormati dan dihargai kedudukannya sebagai seseorang yang memiliki harkat dan martabat dalam proses penyidikan, dan penyidik selama dalam proses penyidikan berkewajiban menganggap tersangka tidak bersalah. Prinsip accusatoir yang kita anut sangat erat kaitannya dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Asas ini dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP yang menyatakan bahwa, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.’63

Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip pemeriksaan accusatoir dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penyidik harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inquisitoir, yakni menempatkan tersangka dalam setiap pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.64

63

Muhammad Taufiq Makarao, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h.13

64 Ibid


(15)

Terlebih, KUHAP telah memberikan seperangkat hak-hak kepada tersangka/terdakwa mulai dari pasal 50 sampai dengan pasal 68 dan pasal-pasal lainnya. Hak-hak tersebut meliputi :65

a. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat (1),(2),(3) KUHAP)

b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b KUHAP)

c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52)

d. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1))

e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP)

Mengenai hak untuk mendapat bantuan hukum, ini berarti bahwa oleh karena hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka atau terdakwa. Dia dapat mempergunakan hak tersebut, tapi bisa juga tidak mempergunakan hak itu. Konsekuensinya, tanpa didampingi oleh penasihat hukum, tidak menghalangi jalannya pemeriksaan tersangka atau terdakwa. Lain halnya jika kualitas mendapatkan bantuan hukum itu bersifat wajib. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum akan menempatkan setiap tingkat pemeriksaan tidak bisa dilaksanakan apabila tersangka atau terdakwa

65 Ibid


(16)

tidak didampingi oleh penasihat hukum. Lebih-lebih lagi pada tingkat penyidikan keikutsertaan seorang penasihat hukum hanya bersifat fakultatif dan pasif sebagai dikatakan pasal 115 KUHAP, (1) dalam hal penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan, jadi kedudukan dan kehadirannya mengikuti jalannnya pemeriksaan tidak lebih sebagai seorang penonton. Namun demikian, pengaruh kehadiran seorang penasihat hukum tetap ada, sebab dengan kehadiran seorang penasihat hukum akan memberikan kehati-hatian bagi penyidik dalam melakukan pemeriksaan.

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya

g. Wajib mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk oleh pejabat bagi yang diancam hukuman mati, atau lima belas tahun, atau bagi yang tidak mampu diancam lima tahun atau lebih, dengan biaya cuma-cuma (Pasal 56)

h. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2))

i. Hak menghubungi dokter bagi yang ditahan (Pasal 58)

j. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah (Pasal 59 dan 60)


(17)

k. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga, untuk kepentingan pekerjaan atau keluarga (Pasal 61)

l. Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62)

m. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63)

n. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan (a de charge) (Pasal 65)

o. Hak untuk minta banding, kecuali putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 67)

p. Hak menuntut ganti kerugian (Pasal 68)

Hak-hak tersangka tersebut di atas juga dibacakan oleh penyidik sebelum rekonstruksi digelar agar tersangka mengetahui dan memahaminya.

Kembali ke dalam pokok pembahasan kendala yang dialami oleh pihak penyidik dalam melakukan rekonstruksi perkara pidana, dalam hal ini hambatan yang berasal dari tersangka, tersangka sering bertindak mangkir bahkan menolak untuk melakukan reka ulang tindak pidana yang dilakukannya. Keengganan tersangka dalam melakukan rekonstruksi tindak pidana yang telah dilakukannya dikarenakan tersangka menganggap keterangan yang diberikannya kepada pihak penyidik dinilai sudah cukup tanpa harus melakonkan kembali adegan tindak pidana tersebut. Keengganan tersebut juga karena tersangka bukanlah pelaku yang


(18)

sebenarnya sehingga ia menolak melakukan reka adegan perbuatan yang tidak dilakukannya.66

2. Saksi

Terlebih penolakan tersangka untuk dilakukannya rekonstruksi disebabkan kekhawatirannya atas keselamatan dirinya dari amarah masyarakat yang menyaksikan rekonstruksi tersebut.

Hal-hal yang demikian menghambat kerja penyidik dalam merekonstruksi suatu perkara pidana sehingga pemeriksaan pada proses penyidikan berjalan lambat dan memakan waktu yang tidak sedikit.

Hambatan berikutnya dalam pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang datang dari saksi. Saksi sering tidak mau datang dalam hal pihak penyidik akan melakukan rekonstruksi, hal tersebut dikarenakan saksi merasa keterangannya pada pihak penyidik sudah cukup membantu dalam proses penyidikan. Keengganan saksi untuk hadir dalam melakukan reka ulang peristiwa pidana dirasa sangat tidak efisien oleh aparat penyidik, karena penyidik harus kembali memanggil saksi agar mau hadir dalam pelaksanaan rekonstruksi guna memperhatikan tersangka dalam melakukan adegan ulang apakah sesuai dengan yang diketahuinya atau tidak. Apakah ada yang ditutupi atau disamarkan oleh tersangka atau tidak. Tidak jarang pihak penyidik menggunakan saksi pengganti dalam hal saksi tidak mau hadir.67

66

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00 WIB

67

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November 2010, pukul 11.00 WIB

Ketentuan mengenai saksi pengganti dalam pelaksanaan rekonstruksi memang tidak ada pengaturannya, saksi pengganti


(19)

biasanya dilakonkan oleh petugas Polres Deli Serdang lainnya bahkan pihak penyidik membayar masyarakat umum untuk menjadi saksi pengganti.

Jika diperhatikan, memang terasa aneh jika saksi harus digantikan perannya oleh orang lain dalam melaksanakan rekonstruksi, mengingat saksi adalah orang yang melihat, mendengar serta mengalami sendiri suatu tindak pidana. Namun, berdasarkan keterangan yang diberikan pihak penyidik Polres Deli Serdang maka diketahui bahwa meskipun adegan dilakukan oleh saksi pengganti, tapi tetap mengacu pada keterangan saksi dan keterangan terdakwa sebelum rekonstruksi tersebut digelar. Bahkan, sebelum dilangsungkannya rekonstruksi perkara pidana yang dihadiri oleh jaksa penuntut umum serta penasihat hukum dari tersangka pihak penyidik telah melakukan pra rekonstruksi

yang sifatnya tertutup dan dilakukan di tempat pemeriksaan pada saat tersangka maupun saksi memberikan keterangannya.68

Saksi dalam KUHAP diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dalam Peranan saksi dalam pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana cukup penting, karena saksi melalui keterangannya dan keikutsertaannya dalam proses rekonstruksi membantu pihak penyidik dalam menambah keyakinan gambaran yang dimilikinya sehubungan dengan peristiwa pidana yang terjadi. Sehingga nantinya aparat penyidik dapat menerapkan ketentuan pasal yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.

68

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November 2010, pukul 11.00 WIB


(20)

KUHAP juga disebutkan 3 kelompok orang yang dikecualikan dari kewajiban menjadi saksi, yaitu :69

a. Mereka yang mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa tidak dapat menjadi saksi (Pasal 168). Akan tetapi mereka yang disebut dalam Pasal 168, dapat menjadi saksi apabila mereka menghendaki dan ada persetujuan dari penuntut umum serta terdakwa. Jadi, mereka yang disebut dalam Pasal 168 ayat 1 ini dapat menjadi saksi secara relative, artinya mereka memberi keterangan di depan sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah, asalkan mereka bersedia dan mendapat persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa. Dalam hal yang demikian kesaksian mereka mempunyai nilai pembuktian dan mengikat hakim. Apabila penuntut umum dan terdakwa tidak memberikan persetujuan, mereka hanya memberi keterangan tanpa sumpah, dan keterangan ini tidak mempunyai nilai pembuktian (Pasal 168 ayat 2)

b. Mereka yang karena pekerjaan, jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta mengundurkan diri dari memberi keterangan sebagai saksi sepanjang apa yang dipercayakan kepadanya. Yang berwenang meentukan dapat tidaknya alasan dipakai untuk minta mengundurkan diri ini adalah hakim (Pasal 170)

c. Mereka yang secara mutlak (absolut) tidak dapat menjadi saksi, yaitu mereka yang disebut dalam Pasal 171, yaitu :

1. Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum kawin;

69


(21)

2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali;

b). Hambatan eksternal yakni :

3. Masyarakat Umum

Kendala yang menghambat pelaksanaan rekonstruksi di Polres Deli Serdang selanjutnya datang dari masyarakat umum. Masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan rekonstruksi suatu tindak pidana acap kali terbawa emosi sehingga tidak jarang mereka hilang kendali dan ingin main hakim sendiri terhadap tersangka (eigenrichting). Masyarakat umumnya tidak mengetahui apalagi memahami tentang asas praduga tak bersalah sehingga menganggap tersangka sebagai orang yang pasti melakukan tindak pidana tersebut.70

70

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00 WIB

Hal ini tentunya menyulitkan kerja aparat penyidik yang hendak melakukan rekonstruksi di tempat kejadian perkara, belum lagi antusias warga yang begitu besar terhadap rekonstruksi yang akan digelar membawa warga berbondong-bondong untuk mengikuti jalannya reka ulang tersebut. Kehadiran warga tersebut membuat pihak penyidik harus berhati-hati dalam melakukan rekonstruksi perkara pidana, karena masyarakat yang tidak mengerti tujuan dari pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana tersebut sering sekali nekad bertindak menghakimi tersangka.


(22)

Sebelumnya telah dijelaskan hal-hal yang menjadi kendala di dalam proses pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang. Namun, meskipun terdapat beberapa hambatan seperti yang telah dibahas di atas pihak penyidik reskrim Polres Deli serdang memiliki cara atau strategi tersendiri dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Upaya-upaya yang dilakukan pihak penyidik untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut yakni ;

a. Memperketat Pengamanan Terhadap Tersangka

Tersangka dalam melakukan kembali suatu adegan tindak pidana di tempat kejadian perkara dengan disaksikan oleh masyarakat sekitar merasa sangat takut dan juga enggan sehingga mengakibatkan terhambatnya proses rekonstruksi. Meskipun dalam melakukan hal tersebut, tersangka ada didampingi oleh penasihat hukumnya, hal tersebut tetap tidak menjamin bagi tersangka untuk merasa aman dari warga yang menyaksikan.

Oleh karenanya, penyidik yang menangani kasus tersangka kemudian meminta bantuan dari petugas Polres Deli Serdang lainnya untuk memperketat pengamanan bagi tersangka. Hal tersebut dilakukan agar warga yang melihat dan terbakar emosi tidak melakukan hal-hal yang sifatnya melukai tersangka apalagi main hakim sendiri. Jumlah petugas yang melakukan pengamanan terhadap tersangka ini dikondisionalkan dalam prakteknya, sehingga tidak ada batasan atau patokan berapa petugas yang diturunkan untuk melindungi tersangka pada saat


(23)

melakonkan kembali gerakan ataupun cara dalam melakukan tindak pidana tersebut.71

Upaya memperketat pengamanan ini dilakukan dengan memasang garis polisi atau police line di sekitar tempat kejadian perkara dan pada saat rekonstruksi akan digelar maka penyidik terlebih dahulu akan memberitahu warga untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu jalannya rekonstruksi tersebut. Jika kemudian pada saat rekonstruksi berlangsung warga yang melihat tidak dapat dikendalikan maka penyidik akan meminta bantuan untuk mengamankan wilayah tersebut kepada petugas yang lain dengan melakukan penjagaan di sekitar lokasi rekonstruksi dan menjauhkan warga yang terbakar emosi dari tempat tersebut. Petugas juga harus selalu siap di lokasi rekonstruksi guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan.

b. Memperketat Pengamanan Terhadap Lokasi Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana

Upaya pihak penyidik reskrim Polres Deli serdang lainnya adalah dengan memperketat pengamanan di sekitar lokasi pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana.

Pengamanan ini dilakukan dengan mengerahkan petugas Polres Deli serdang lainnya yang jumlahnya dikondisionalkan dengan kendala yang dihadapi yang dalam hal ni adalah antusiasme warga yang berlebih yang kerap mengganggu jalannya rekonstruksi tindak pidana tersebut.

72

71

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Jum’at, tanggal 01 oktober 2010, pukul 09.00 WIB

72

Wawancara dengan Bripka Rapolo Tambunan selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2010, pukul 15.00 WIB


(24)

c. Mengalihkan Lokasi Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana

Dalam hal upaya penyidik reskrim Polres Deli Serdang melakukan reka adegan suatu perkara pidana terdapat hambatan-hambatan yang berasal dari masyarakat. Antusiasme yang tinggi dari masyarakat untuk menyaksikan rekonstruksi tersebut dirasakan menggangu jalannya pelaksanaan reka ulang tersebut.

Apalagi masyarakat menganggap bahwa tersangka adalah orang yang memang benar melakukan tindak pidana tersebut, hal ini memacu emosi dari warga yang menyaksikan ditambah adanya provokasi dari orang-orang terdekat korban atau keluarga korban kala menyaksikan hal tersebut semakin membuat masyarakat awam geram terhadap tersangka.

Dalam rangka mengatasi kendala di atas, maka pihak penyidik reskrim Polres Deli Serdang mengambil inisiatif untuk memindahkan lokasi pelaksanaan rekonstruksi guna memaksimalkan perlindungan terhadap saksi dan tersangka. Dan pemindahan lokasi rekonstruksi perkara pidana ini dituangkan dalam berita acara pengalihan tempat rekonstruksi. Dalam pemindahan lokasi ini, tetap dihadiri oleh jaksa penuntut umum dan juga penasihat hukum dari pihak tersangka.73

Alasan untuk dilakukan pemindahan lokasi rekonstruksi dari TKP awal yakni adalah untuk menjaga keselamatan dari si tersangka, misalnya korban yang dibunuh adalah warga masyarakat yang disegani atau dihormati di daerah tersebut, maka bila diadakan rekonstruksi disana kemungkinan besar akan memancing kemarahan warga tersebut dan akan mengganggu jalannya rekonstruksi. Dalam

73

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November, pukul 11.00 WIB


(25)

mengadakan rekonstruksi pihak-pihak yang terlibat adalah dari berbagai macam satuan unit kepolisian, seperti sabara untuk pengamanan lokasi, sat intel untuk menyusup ke dalam masyarakat setempat dan mencari tahu apakah akan ada pergerakan-pergerakan dari warga yang akan mengganggu jalannya rekonstruksi, bimas (bimbingan masyarakat) yang datang sebelum rekonstruksi dimulai dan mengadakan bimbingan, pemberitahuan sekaligus meminta ijin kepada ketua RT atau tokoh-tokoh masyarakat lain yang dihormati untuk mengadakan rekonstruksi di tempat itu dengan tujuan agar mereka bisa ikut menjaga warganya untuk tidak mengadakan tindakan-tindakan yang mengacau jalannya rekonstruksi. Bila hasil musyawarah bimas dengan tokoh-tokoh masyarakat itu menghasilkan kesepakatan bahwa sebaiknya rekonstruksi tidak dilaksanakan disitu maka bimas akan melaporkan kepada penyidik (serse) yang menangani perkara tersebut dan lokasi rekonstruksi dapat dipindah ke lokasi lain yang netral atau tidak membahayakan.74

Pemindahan tempat rekonstruksi ini memang dirasakan lebih efektif daripada hanya memperketat pengamanan tersangka di tempat kejadian perkara atau pun memperketat lokasi pelaksanaan rekonstruksi itu sendiri. Karena penyidik dapat lebih fokus melaksanakan rekonstruksi tanpa hadirnya warga yang

Biasanya, lokasi pelaksanaan rekonstruksi dipindahkan ke dalam lingkungan Polres Deli Serdang, dan dalam proses pelaksanaannya tetap diusahakan untuk dilakukan persis seperti kejadian yang sesungguhnya. Walaupun memang terkadang digunakan peran pengganti untuk saksi yang tidak hadir.

74

Wawancara dengan Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Polres Deli Serdang pada hari Selasa, tanggal 02 November 2010, pukul 11.00 WIB


(26)

berbondong-bondong yang terkadang mengganggu jalannya rekonstruksi perkara pidana tersebut.

D. Contoh Kasus75

Konkritnya adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada bulan Oktober 2007 di Kabupaten Deli Serdang dimana tersangka yang merupakan kepala pekerja yang mendapat surat perintah kerja dari PUSKOPAD A dan bersama dengan tersangka lainnya yang merupakan rekan kerjanya disuruh untuk memperagakan kembali terjadinya tindak pidana menghilangkan jiwa orang lain atau dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang

Kasus yang dilakukan rekonstruksinya pada Kepolisian Resor Deli Serdang adalah kasus pembunuhan. Seperti yang terlihat dalam tabel jumlah pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana diatas, maka rekontruksi diadakan untuk perkara pembunuhan saja yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang. Pihak penyidik sendriri saat ditanya mengapa hanya terhadap perkara pidana pembunuhan saja dilakukan rekonstruksinya, menyatakan bahwa pembunuhan termasuk kasus yang rumit yang memerlukan detail dan penjabaran mendalam mengenai perbuatan yang dilakukan sebelumnya, perbuatan yang dilakukan sesudahnya, serta menyangkut peran tersangka di dalamnya apalagi jika tersangka pembunuhan lebih dari satu yang memungkinkan dalam memberi keterangan mereka saling melindungi atau pun menutupi peran masing-masing.

75

Berdasarkan Berita Acara Rekonstruksi terjadinya tindak pidana menghilangkan jiwa orang lain atau dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau penganiayaan atau menghasut untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum atau turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum di Kepolisian Resor Deli Serdang (Lampiran)


(27)

atau penganiayaan atau menghasut untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum atau turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Singkat cerita yakni ketika itu tersangka hendak melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya di tanah PUSKOPAD A dengan membuat tanggul, namun warga masyarakat melalui Kepala Desa Sei Tuan melarang para pekerja untuk melakukan aktivitas di tanah tersebut karena tanah itu diklaim sebagai tanah milik warga sejak tahun 1967.

Kemudian tersangka yang melihat masyarakat Desa Sei Tuan yang berjumlah lebih kurang 100 (seratus) orang datang, memerintahkan kepada anggota kerjanya untuk membuat pagar betis yang menghalangi warga untuk masuk ke lokasi kerja dan ketika itu para pekerja memegang parang babat di tangan mereka masing-masing. Tersangka juga memerintahkan kepada anggota kerjanya dengan megatakan ’BUNUH’ dan ’SERANG’ warga yang nekad masuk untuk menghentikan pekerjaan mereka membuat tanggul. Kemudian Kepala Desa yang masuk untuk berbicara dengan mereka pun tak pelak menjadi sasaran panganiayaan beserta dua anggotanya. Sehingga mereka bertiga berada dalam kadaan kritis dan meninggal dunia.

Jika dilihat dari kasus diatas, rekonstruksi yang dilakukan oleh penyidik Polres Deli Serdang adalah untuk menguji kebenaran keterangan yang diberikan oleh tersangka juga saksi mengenai perbuatan pidana tersebut, dengan cara mencocokkan keterangan yang diberikan oleh tersangka dengan peragaan adegan ulang pada saat rekonstruksi. Pada saat berlangsungnya proses rekonstruksi penyidik yang menangani kasus tersebut menganalisa setiap bagian yang


(28)

dilakonkan oleh tersangka, kemudian mencatat hal-hal yang dianggap perlu. Hal tersebut dilakukan untuk lebih meyakinkan penyidik sehubungan dengan tindak pidana pembunuhan yang ditanganinya, agar nantinya dapat menerapkan pasal yang sesuai dengan tindak pidana tersebut.

Setiap gerakan dari tersangka diamati yakni dengan melihat bagaimana cara tersangka menganiaya korban dengan menggunakan parang babat, berapa banyak bacokan yang diarahkan pada tubuh korban, bagaimana tersangka mengejar korban yang lari meminta pertolongan, kemudian bagaimana cara tersangka memerintahkan anggota kerjanya untuk ikut menganiyaya korban hingga tak bernyawa. Hal ini memang membutuhkan detail dan penjabaran yang lebih signifikan sehingga memang harus dilakukan rekonstruksi agar tindak pidana pembunuhan tersebut jelas baik dari keseluruhan perbuatannya maupun peran tersangka lainnya.


(29)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi yang berjudul ’Peranan Rekonstruksi Perkara Pidana Dalam Proses Penyidikan (Studi di Polres Deli Serdang)’ ini adalah :

1. Pengaturan mengenai rekonstruksi perkara pidana dalam hukum acara pidana di Indonesia yang dilakukan pada tingkat penyidikan dalam KUHAP memang tidak ditemukan secara eksplisit atau terang-terangan karena KUHAP hanya mengatur ketentuan-ketentuan umum dari penyidikan sehingga sebagai penjabaran lebih lanjut dikeluarkanlah SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana oleh Direktorat Reserse Mabes Polri yang kemudian mengatur mengenai rekonstruksi sebagai tehnik pemeriksaan dalam rangka penyidikan suatu perkara pidana.

2. Pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana di Polres Deli Serdang membantu dalam proses penyidikan suatu tindak pidana, yakni untuk memperjelas tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana atau atas pengetahuan saksi membantu memberi keyakinan kepada penyidik sehubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Disamping


(30)

itu, kendala yang dirasakan oleh pihak penyidik Polres Deli Serdang dalam melakukan rekonstruksi berasal dari tersangka, saksi dan masyarakat umum sehingga untuk mengantisipasinya, maka penyidik Polres Deli Serdang melakukan beberapa upaya diantaranya, memperketat pengamanan tersangka, memperketat pengamanan saksi dan memindahkan lokasi pelaksanaan rekonstruksi.

B. Saran

Berdasarkan penjelasan-penjelasan dari pembahasan materi di atas disertai kesimpulan yang telah dirangkumkan, maka ada beberapa saran dalam hal mengoptimalkan pelaksanaan suatu rekonstruksi perkara pidana agar pelaksanaan rekonstruksi di masa yang akan datang berjalan lebih baik lagi.

1. Mengingat peran rekonstruksi perkara pidana yang cukup penting, maka penulis berpendapat agar rekonstruksi perkara pidana dijadikan sebagai produk hukum yang baku dan memiliki pengaturan tersendiri dalam ketentuan hukum acara pidana Indonesia.

2. Dalam melaksanakan rekonstruksi, hendaknya aparat penyidik lebih aktif untuk mensosialisasikan maksud serta tujuan dilakukannya rekonstruksi kepada masyarakat luas agar masyarakat mengerti dan memahami hal tersebut sehingga mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu jalannya rekonstruksi. Dan baiknya hal tersebut dilakukan jauh sebelum


(31)

menggelar rekonstruksi dengan memaksimalkan fungsi bimas (bimbingan masyarakat) yang ada di tubuh kepolisian.


(32)

BAB II

PENGATURAN TENTANG REKONSTRUKSI PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Rekonstruksi Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Jika ingin membahas mengenai rekonstruksi perkara pidana menurut KUHAP, maka terlebih dahulu harus diketahui tujuan dari hukum acara pidana nasional, karena hal tersebut sangat bersinggungan dengan keterkaitan pelaksanaan suatu rekonstruksi perkara pidana pada tingkat penyidikan dengan aturan yang mengatur mengenai rekonstruksi itu sendiri di dalam hukum acara pidana nasional.

Di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan, bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan.40

Dalam rangka mencari dan mendapatkan kebenaran yang demikian itu, hukum acara pidana memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya,

40


(33)

apabila ada dugaan bahwa hukum pidana dilanggar. Oleh karena itu secara keseluruhan fungsi acara pidana adalah sebagai berikut:41

1. Cara bagaimana negara melalui alat-alat kekuasaannya menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran hukum pidana;

2. Usaha-usaha yang dijalankan untuk mencari si pelanggar hukum tadi; 3. Tindakan-tindakan yang dijalankan untuk menangkap si pelanggar

hukum itu dan jika perlu untuk menahannya;

4. Usaha-usaha menyerahkan alat-alat bukti yang dikumpulkan dalam hal mencari kebenaran tersebut di atas kepada hakim dan selanjutnya mengajukan si pelanggar hukum ke depan sidang pengadilan;

5. Cara bagaimana hakim menjalankan pemeriksaan terhadap terdakwa di muka sidang pengadilan dan menjatuhkan putusan tentang salah tidaknya terdakwa tersebut melakukan tindak pidana yang didakwakan; 6. Upaya-upaya hukum yang dapat dijalankan terhadap putusan hakim; 7. Akhirnya cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan; Atas hal-hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa, hukum acara pidana mempunyai 3 (tiga) tugas pokok :42

1. Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil; 2. Memberikan suatu putusan hakim;

3. Melaksanakan keputusan hakim;

Tugas pokok hukum acara pidana tersebut saling mendukung satu sama lainnya, karena untuk melaksanakan suatu keputusan hakim tentunya putusan

41 Ibid 42


(34)

yang dikeluarkan oleh hakim harus benar-benar mencerminkan suatu keadilan dari peristiwa pidana yang terjadi, dan untuk mencapai suatu keadilan itu maka aparat penegak hukum harus mencari bukti-bukti yang kuat dan mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya dari suatu tindak pidana.

Kembali dalam pokok pembahasan rekonstruksi perkara pidana menurut KUHAP , maka rekonstruksi perkara pidana yang dilakukan pada tingkat penyidikan apakah dikenal dan apakah ada pengaturannya di dalam KUHAP.

Rekonstruksi perkara pidana sebagai suatu tehnik yang digunakan pihak aparat dalam poses penyidikan memang tidak diatur secara eksplisit atau secara terang-terangan di dalam KUHAP, proses penyidikan di dalam KUHAP hanya mengatur hal-hal umum yang meliputi kewenangan penyidik seperti pada Pasal 7 huruf e yang menyatakan bahwa penyidik dapat melakukan pemeriksaan. mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maka Pasal 112 KUHAP memberikan wewenang kepada penyidik untuk dapat memanggil tersangka juga saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan mengeluarkan surat panggilan yang sah terlebih dahulu. Lebih lanjut Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun. Namun, mengenai tindakan apa saja yang dilakukan penyidik selama proses pemeriksaan berlangsung memang tidak ada diatur secara terperinci di dalam KUHAP, termasuk tehnik pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak penyidik.

Pengaturan rekonstruksi perkara pidana yang dilakukan dalam proses penyidikan dalam KUHAP selanjutnya dijabarkan melalui Pasal 75 ayat 1 huruf a,


(35)

huruf h, huruf k, ayat 2 dan ayat 3 yang secara implisit atau tersirat ada mengatur mengenai berita acara yang dapat digunakan oleh penyidik untuk melakukan rekonstruksi, yang berbunyi:

Pasal 75 (1). Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang ; a. Pemeriksaan tersangka;

h. Pemeriksaan saksi;

k. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

Dalam hal ini pelaksanaan tindakan lain tersebut dalam Pasal 75 ayat 1 huruf k KUHAP di atas adalah termasuk rekonstruksi yang digelar oleh pihak penyidik.

Pasal 75 (2). Berita acara dibuat pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah

jabatan;

(3). Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1).

Pelaksanaan rekonstruksi tersebut disamping harus dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP), atas pelaksanaannya dibuatkan berita acara seperti yang dimaksud pada Pasal 75 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP di atas yang disebut Berita Acara Rekonstruksi yang dilengkapi dengan fotokopi adegan yang dilakukan selama rekonstruksi berlangsung. Foto-foto tersebut merupakan kelengkapan yang tidak dapat dipisahkan dari berita acara rekonstruksi perkara pidana tersebut.43

Meskipun demikian, pelaksanaan rekonstruksi yang dilakukan oleh pihak penyidik selama dilaksanakan guna mencari dan mendapatkan kebenaran yang

43

H. Hamrat Hamid, Pembahasan Permasalahan KUHAP bidang Penyidikan (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Sinar Grafika, Jakarta, 1991, h.124


(36)

sesungguhnya dari suatu peristiwa pidana, maka hal tersebut tidaklah bertentangan dengan KUHAP, hal ini mengingat tujuan akan hukum acara pidana yang terdapat dalam pedoman pelaksanaan KUHAP seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

B. Rekonstruksi Perkara Pidana Menurut SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana

1. Kewenangan untuk Melaksanakan Rekonstruksi Perkara Pidana

Penyidikan terhadap suatu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya, Polri diberikan wewenang seperti tercantum pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yaitu:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.


(37)

Namun wewenang Polri dalam hal penyidikan lebih jelas terlihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan tersangka;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Kewenangan yang diberikan kepada Polri seperti pada Undang-Undang Kepolisian dan KUHAP memang tidak ada menyebutkan kewenangan untuk melaksanakan rekonstruksi perkara pidana dalam proses penyidikan, hal tersebut dikarenakan pada Undang-Undang Kepolisian dan KUHAP hanya mengatur wewenang penyidik secara general dan garis besarnya saja. Untuk itulah sebagai tehnik pemeriksaan dalam penyidikan, rekonstruksi memerlukan pengaturan dalam hukum acara pidana kita, hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai salah satu alasan MABES POLRI untuk mengeluarkan kebijaksanaan dalam bentuk juklak dan juknis proses penyidikan tindak pidana yang didalamnya mengatur lebih rinci mengenai proses penyidikan termasuk rekonstruksi perkara pidana. Kebijaksaaan yang dikeluarkan oleh MABES POLRI ini tidaklah bertentangan dengan KUHAP maupun Undang-Undang Kepolisian selagi masih dalam kadar mencari kebenaran yang materiil. Terlebih juklak dan juknis tersebut dikeluarkan


(38)

oleh Direktorat Reserse Mabes Polri sebagai bentuk penjabaran dari Pasal 75 KUHAP yang mengatur tentang Berita Acara Pemeriksaan.

Rekonstruksi perkara pidana dalam SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana didefenisikan sebagai ”suatu tehnik pemeriksaan dalam rangka penyidikan, dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana dan atau pengetahuan saksi, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang terjadinya tindak pidana tersebut sebagai pelaku dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Rekonstruksi”.

Selain tehnik pemeriksaan rekonstruksi, juga dikenal tehnik pemeriksaan interogasi dan konfrontasi dalam rangka proses penyidikan suatu perkara pidana. Interogasi merupakan tehnik pemeriksaan tersangka/saksi dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenaran keterlibatan tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan. Sedangkan konfrontasi adalah salah satu tehnik pemeriksaan dalam rangka penyidikan dengan cara mempertemukan satu dengan lainnya (antara tersangka dengan tersangka, saksi dengan saksi, tersangka dengan saksi) untuk menguji kebenaran dan persesuaian keterangan masing-masing serta dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Konfrontasi.44

Kewenangan melaksanakan rekonstruksi perkara pidana oleh penyidik dalam SK KAPOLRI tersebut diatas dilakukan pada saat pemeriksaan tersangka

44

SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11 September 2000, h.248


(39)

ataupun saksi, yang mana pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti didalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan didalam berita acara pemeriksaan. Sedangka pemeriksa sendiri adalah pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan baik sebagai penyidik maupun penyidik pembantu.

SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana meyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberikan wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.

Dengan demikian jelaslah kewenangan melaksanakan rekonstruksi perkara pidana dalam proses penyidikan.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana

Jika seseorang diduga telah melakukan suatu tindak pidana, maka pembuktian benar tidaknya dugaan itu adalah melalui beberapa tahapan proses sesuai dengan ketentuan KUHAP. Jika kesalahan yang disangkakan kepada tersangka/terdakwa terbukti maka kepadanya akan dijatuhkan sanksi sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum pidana materiil (KUHP).


(40)

Sebagai sebuah sistem peradilan yang terkait dan terpadu sesuai dengan prinsip koordinasi yang dianut KUHAP maka pelaksanaan rekonstruksi itu dapat dilakukan kapan saja, asal perkara dimaksud masih dalam tahap pemeriksaan, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan lanjutan.45

Pemeriksaan pendahuluan maksudnya ialah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh pihak kepolisian, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana materiil telah dilanggar. Pelaksanaan rekonstruksi umumnya memang dilakukan pada saat pemeriksaan pendahuluan di kepolisian. Hal ini merupakan praktek yng lazim dilaksanakan oleh polisi mengingat posisi kasus yang cukup rumit.46

Pemeriksaan lanjutan maksudnya ialah pemeriksaan yang dilakukan di sidang pengadilan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak. Pada saat pemeriksaan lanjutan di depan sidang pengadilan, hakim juga dapat melakukan rekonstruksi jika sampai pada tahap pembuktian khususnya keterangan terdakwa duduk persoalan belum juga menjadi jelas. Jadi, untuk menguji keterangan yang diberikan terdakwa dengan keterangan saksi, hakim mempunyai wewenang untuk melakukan rekonstruksi. 47

45

Dwi Wahyuni, Pelaksanaan Rekonstruksi Dalam Mengungkap Terjadinya Tindak

Pidana Penganiyayaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain,

http:/Simta.uns.ac.id/cariTA.php?oct=daftTA&sub=new&fr diakses pada tanggal 02 Oktober 2010 46

Yanuar A Putra, Makalah Hukum Acara Pidana, http:/yanuaraditya.blogspot.com/…/makalah-hukum-acara-pidana.html diakss pada 02 Oktober 2010

47

Henny Saida Flora, Fungsi Rekonstruksi Sebagai Bukti Dalam Mengungkap Suatu Tindak Pidana, http:// jurnal pdii.go.id/admin/jurnal/21083649.pdf diakses pada 02 Oktober 2010


(41)

Mengenai tempat pelaksanaan rekonstruksi perkara pidana maka munurut SK KAPOLRI hal tersebut dapat dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP), yakni tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya atau tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan. Namun, secara umum setiap tempat dimana diduga telah terjadi tindak pidana harus dianggap sebagai tempat kejadian perkara.

Menurut PAF Lamintang, tempat kejadian perkara ialah tempat dimana telah dilakukan suatu tindak pidana, sedangkan dalam KUHAP tidak dikenal istilah TKP melainkan dipergunakan istilah tindakan pertama pada saat di ”tempat kejadian” (Pasal 7 ayat 1 huruf b), sedangkan yang dimaksud dengan melakukan tindakan pertama di tempat kejadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk: 48

a. Menyelamatkan nyawa korban;

b. Menangkap pelaku tindak pidana tersebut yang masih berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap;

c. Menutup tempat kejadian bagi siapapun yang kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian tetap berada dalam keadaan asli untuk memudahkan penyelidikan atau penyidikan;

48

PAF. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan ilmu Pengetahuan Hukum pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, h.76


(42)

d. Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan mengambil barang bukti serta bekas-bekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk tentang identitas pelakunya, tentang cara-cara dan alat-alat yang telah dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan alibi yang mungkin saja dikemukakan oleh seorang tersangka apabila kemudian berhasil ditangkap;

e. Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi, dan memisahkan saksi-saki tersebut agar mereka tidak dapat berbicara satu dengan yang lain.

C. Proses Pelaksanaan Rekonstruksi pada tingkat penyidikan Menurut SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana

Rekonstruksi dilaksanakan karena posisi kasus yang rumit dan kurang jelas atau mungkin barang bukti yang tidak mendukung seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang. dengan menjadi jelasnya suatu perkara maka hal itu akan membuka peluang yang besar dan mempermudah jalan bagi aparat penegak hukum dalam menemukan kebenaran yang sejati. Secara teknis Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik akan menjadi lebih lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan nantinya pada saat pembuktian di depan sidang pengadilan.


(43)

Dalam proses pelaksanaan rekonstruksi maka terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu, yakni :49

Evaluation of evidence, examines the evidence (possibly following laboratory analysis) and looks at what information the evidence provides, and how relieble it is. At this time, any witness statements should be compared to the evidence to see which parts of the statements can be supported or refuted by the evidence. Evaluasi bukti, melihat pada bukti ( dapat berasal dari hasil analisis laboratorium) dan melihat pada keterangan bukti tersebut serta sejauh mana dapat diandalkan hal tersebut. Pada tahap ini harus dibandingkan antara keterangan

a. Recognition Of Evidence ( Pencarian Bukti)

Recognition of evidence, is arguably the most important, as Lee points out ”unless the potential evidence can be recognized, no further reconstruction can be carried out”. Pencarian bukti, hal ini dikatakan paling penting seperti yang dikatakan oleh Lee, bahwa jika tidak ditemukan bukti, maka selanjutnya tidak dapat dilakukan rekonstruksi.

b. Collection Of Evidence (Pengumpulan Bukti)

Collection of evidence, is the heart of any successful scene investigtion, and form the basis for reconstruction. Pengumpulan bukti adalah jantung dari suksesnya penyidikan suatu investigasi perkara pidana dan merupakan dasar dilakukan rekonstruksi.

c. Evaluation Of Evidence (Evaluasi Bukti)

49

Newslatter MAFS, Crime Scene Reconstruction, http:/www.crimeandclues.com…/48-introduction-to-crime-scene-reconstruction diakses pada 04Oktober 2010


(44)

yang diberikan oleh saksi dengan bukti yang ada untuk mengetahui bagian-bagian mana yang mendukung bukti atau malah yang menyangkal buti yang ada.

d. Hypothesis (Hipotesis)

Hypothesis is the formulation of an idea of how the event (or portions of it) occured. This is not merely conjecture and should be firmly supported by the evidence. Hipotesis adalah perumusan gagasan tentang bagaimana peristiwa (atau bagian dari hal tersebut) terjadi. Hal ini bukan hanya merupakan dugaan dan harus dengan tegas didukung oleh bukti.

e. Testing (Pengujian)

Testing, looks to see how the hypothesis develoved in 4 can be validated. This is accomplished by checking the evidence against known physical laws or devising a test to attempt to replicate the event (or the relevant segment).

Pengujian dilakukan untuk melihat bagaimana hipotesis yang dikembangkan dalam 4 hal diatas dapat menjadi valid. Hal ini dilakukan dengan memeriksa bukti terhadap hukum-hukum fisika atau menyusun sebuah tes untuk meniru kejadian (atau segmen yang relevan).

f. Reconstruction (Rekonstruksi)

Reconstruction is the reporting of the results of the analysis. The results are reported as a range, where the event (or portions of it):

1. Can be shown to have occured in a given manner

2. Can be shown to be likely to have occured in a given manner 3. Can be shown to be unlikely to have occured in a given manner 4. Can be shown not to have occured in a given manner.


(45)

Rekonstruksi merupakan hasil laporan analisis. Hasilnya dilaporkan sebagai rentang dimana peristiwa (atau bagian dari itu) :

1. Dapat ditunjukkan telah terjadi dengan cara tertentu;

2. Dapat dibuktikan mungkin telah terjadi dengan cara tertentu; 3. Bisa terbukti tidak mungkin terjadi dengan cara tertentu; 4. Dapat ditunjukkan tidak terjadi dengan cara tertentu.

Dalam melakukan suatu penyidikan perkara, terutama pada tahap pelaksanaan rekonstruksi, maka penyidik perlu mempedomani hal-hal sebagai berikut: 50

Pada saat proses melakukan reka ulang suatu tindak pidana, pihak penyidik juga harus memperhatikan hal-hal seperti yang tertulis dalam formulir

1. Rekonstruksi dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP);

2. Setiap peragaan perlu diambil foto-fotonya dan jalannya peragaan dituangkan dalam Berita Acara;

3. Hasil rekonstruksi agar dianalisa terutama pada bagian-bagian yang sama dan berbeda dengan isi Berita Acara Pemeriksaan.

Dari petunjuk diatas, dapat dilihat bahwa rekonstruksi ini dilaksanakan terhadap hal-hal yang kurang jelas dalam perkara dan setiap peragaan perlu diambil fotonya. Pada saat pelaksanaan rekonstruksi harus diusahakan agar perbuatan pidana dapat dikonstruksir secara tepat sebagaimana diduga, dengan demikian rekonstruksi itu diharapkan sama dengan kejadian sebenarnya.

50

SK KAPOLRI No.Pol. Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak pidana, tanggal 11 September 2000, h.250


(46)

berita dari KAPOLDA SUMUT kepada KAPOLTABES MEDAN dan KAPOLRES sejajaran POLDA SUMUT dengan No.Pol.: TR/416/19866 tanggal 16 mei 1986 yakni,

1. Rekonstruksi perkara pidana bersifat selektif, tidak harus dilaksanakan terhadap semua perkara pidana.

2. Rekonstruksi pada dasarnya bertujuan untuk memperjelas peranan dari pelaku dalam suatu kasus pidana dan untuk meyakinkan hakim di persidangan.

3. Rekonstruksi hanya dilaksanakan untuk kepentingn penyidikan (pro justicia) dan bersifat tertutup, tidak diizinkan untuk diekspos ke media massa.

4. Diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak menjadi tontonan, masuknya/dieksposnya rekonstruksi suatu perkara pidana oleh media massa dianggap kurang tanggapnya petugas yang melaksankan rekonstruksi tersebut.

5. Pemotretan terhadap pelaksanaan rekonstruksi hanya dilakukan oleh anggota identifikasi POLRI.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan diatas, pihak penyidik diharapkan dapat melaksanakan rekonstruksi perkara pidana secara cermat sehingga memperoleh hasil yang diinginkan dalam mencapai kebenaran yang sesungguhnya dari suatu peristiwa pidana.

Gerson. W. Bawengan menerangkan bahwa penyidik dalam


(47)

kesaksian-kesaksian yang diperoleh dari keterangan para saksi untuk mengetahui kebenaran-kebenaran kejadian dengan memperhatikan suasana atau cuaca atau waktu atau benda-benda yang tersentuh, tersingkir, hancur, dan sebagainya. Perlu diulangi lagi misalnya dimana letaknya suatu benda, dimana tempat gerakan-gerakan para korban jika ada, serta bagaimana peristiwa itu terjadi, bagaimanakah aksi dan reaksi pada waktu itu.51

Hasil rekonstruksi itu memungkinkan bagi penyidik untuk menyusun kesimpulan, membandingkan dengan teori yang disusunnya sebelum rekonstruksi, kemudian memberikan jawaban apakah teori tersebut harus mengalami perubahan, haruskah diperkuat atau dinyatakan batal. Pendapat-pendapat harus didukung dengan bukti-bukti yang diikuti alasan-alasan yang masuk akal dan tidak menyimpang dari ketentuan undang-undang52

Fricke Kolbrek mengatakan bahwa ” In reconstructing a crime, however, we must not seek to adopt merely a probability but the effort should be the truly reconstruct the crime”

.

Sebagaimana yang dijelaskan G.W Bawengan, maka rekonstruksi harus diselenggarakan berdasarkan keterangan yang saksi berikan, dengan memperhatikan benar suasana atau kondisi dari tempat kejadian kejahatan itu, dan bila perlu dimasukkan juga gerak serta posisi korban.

53

51

Gerson. W. Bawengan, Penyidik Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, 1989, h.38

52 Ibid 53

Fricke Kolbrek, Criminal Investigation, Legal Book Store USA, Los Angeles, 1962, h.45

, dalam rekonstruksi pidana, penyidik jangan hanya berusaha untuk menggunakan suatu kemungkinan besar saja, tetapi juga diupayakan untuk merekonstruksi secara benar.


(48)

Dengan demikian, dari hal tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa rekonstruksi pada dasarnya merupakan suatu alat atau cara untuk memantapkan sebuah perihal yang masih dianggap kabur, yang diadakan oleh penyidik. Dan untuk melaksanakan rekonstruksi suatu kasus, penyidik harus memiliki bukti-bukti yang kuat dan dengan bukti-bukti tersebut penyidik sudah dapat menyusun sebuah teori tentang peristiwa pidana yang terjadi, akan tetapi untuk menguji kebenaran teori yang diambil harus diselenggarakan rekonstruksi.

Charles. E. O’Hara menerangkan bahwa rekonstruksi dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni :54

a. Physical Reconstruction (Rekonstruksi Fisik)

It possible the investigation should reconstruct the physical appearance on the scene from description of witnesses and indications of the physical evidence. If the lighting and weather conditions are relevant, the reconstruction should be accomplished at the same time of day and under comparable weather conditions. The witnesses should be requested to reen act their movement while other person assume the potitions of the participants. Jika memungkinkan penyidik akan merekonstruksikan penampilan fisik dari adegan kejahatan yang berasal dari uraian saksi dan petunjuk-petunjuk dari bukti fisik. Jika kondisi penerangan dan cuaca sesuai, rekonstruksi akan dilakukan pada saat yang sama dengan hari dan dibawah kondisi yang dapat dibandingkan cuacanya. Saksi dimintakan untuk melakukan kembali gerak-geriknya sedangkan yang lain memperkirakan posisi peserta pelaku rekonstruksi.

54

Charles E. O’Hara, Fundamentals Of Criminal investigation, Charles Thomas Publisher, Illionis, 1969, h.51


(49)

b. Mental Reconstruction (Rekonstruksi Mental)

From the reenacting the occurance and the reconstruction of arrangement of the physical objects some conclusion can now be made concerning the consistency of the accounts of various witnesses. In reconstructing the actions of the criminal, the investigation should test his theory for logic and consistency. A theory should not be rejected the merely because the investigation might not under the circumstances be have in a similar manner. The study should be conducted from the point of view of mentality of the criminal. No assumption should be made concerning actions which are not supported by evidence. The theory finally developed by the investigator should provide a lne of investigative actions should not be stubbomly persued in the face of newly discovered facts which are not consistent with it. Dari melakukan kembali kejadian tersebut dan rekonstruksi dari penyusunan objek fisik, maka dapat diambil beberapa kesimpulan mencakup pemantapan dari perkiraan berbagai saksi-saksi. Dalam melakukan rekonstruksi, penyidik akan menguji teorinya untuk kelogisan dan kemantapan. Suatu teori tidak akan diafkir begitu saja, karena penyidik seharusnya tidak dalam keadaan yang terjadi dalam suatu cara yang sama. Studi ini akan dilakukan dari pandangan mentalitas criminal. Tidak ada asumsi yang dilakukan mencakup tindakan yang tidak didukung dengan barang bukti. Akhir dari semua ini, teori akan berkembang karena penyidik akan melengkapi suatu garis tindakan penyidikan, tetapi tidak akan dengan sulit diganti atau dirubah setelah diperoleh kenyataan yang baru, dimana kenyataan itu tidak sesuai dengan teori yang ada.


(50)

Jadi sebagaimana yang telah dikemukakan oleh O’hara, maka sebenarnya suatu rekonstruksi adalah memiliki tujuan untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu dengan membuat perbandingan antara barang-barang bukti dengan keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi atau tersangka. Adalah suatu kesalahan yang besar apabila penyidik langsung mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, dengan tanpa disertai suatu alat-alat bukti yang telah ditemukan terlebih dahulu.

Proses untuk dapat mengetahui secara pasti dan tepat keadaan dari suatu tindak pidana yang terjadi adalah dengan mengadakan rekonstruksi, hal tersebut dapat mencakup semua kejadian yang terjadi selama itu dan dari suatu studi tentang bukti-bukti yang telah ditemukan. Maka dengan cara-cara tertentu hal tersebut bisa memungkinkan bagi penyidik untuk menarik kesimpulan yang bermanfaat yang pada akhirnya dipadukan dengan teori yang dibuat sebelumnya.

Maka dari semua penyidikan yang telah dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan akhir tentang peristiwa yang terjadi. Dan dengan rekonstruksi yang diadakan akan terlihat jelas sejauh mana peran yang dilakukan tersangka dalam peristiwa pidana.

Pelaksanaan rekonstruksi adalah sangat dibutuhkan terutama dalam menganalisa pernyataan tersangka atau saksi, apakah mereka menurut ceritanya melakukan tindakan secara konsisten dengan fakta-fakta yang ada.


(51)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup dalam pergaulan hidup manusia 1

Jika diteliti kasus-kasus kriminal yang terjadi di lingkungan masyarakat maka ada dijumpai seseorang yang sudah menjalani hukuman di penjara, ternyata terungkap sama sekali tidak bersalah, dikarenakan salah tindak dari aparat penegak hukum melalui putusan hakim yang keliru, divonis salah dan karenanya menjalani hukuman, dan kasus-kasus tersebut tidak diusut lagi. Seperti pada kasus , dan secara alamiah setiap individu selalu menyelaraskan dan menyesuaikan dirinya dengan kehendak kelompok manusia dimana pun ia berada dan dalam keadaan demikian ia selalu berorganisasi sehingga tercipta suatu keteraturan dan ketertiban dalam pergaulan hidup tersebut. Pergaulan hidup sesama manusia inilah yang disebut sebagai masyarakat.

Kehidupan masyarakat yang dalam pergaulan dengan sesamanya yang teratur dan tertib tersebut kemudian mengalami pergeseran dalam perkembangannya. Hal itu disebabkan pengaruh perkembangan teknologi dan informasi serta komunikasi sosial yang semakin kompleks. Pergeseran sosial yang diikuti dengan konflik sosial, konflik budaya dan konflik norma, jelas akan diikuti dengan pelanggaran-pelanggaran norma sosial termasuk norma hukum. Salah satu bentuk konkrit dari pelanggaran norma tersebut adalah tindak pidana.

1

Soediman Kartohadiprojo , Pengantar Tata Hukum di Indonesia , PT Pembangunan Ghalia Indonesia, Bandung, 1965, h.32.


(52)

salah tangkap Maman Sugianto alias Sugik yang disangka melakukan pembunuhan terhadap Asrori oleh polisi Jombang yang diputus bersalah oleh hakim.2

Kasus terjadinya orang yang tidak bersalah namun harus menjalani hukuman adalah diluar kehendak masyarakat itu sendiri, bahkan masyarakat prihatin akan hal ini. Menurut Soedjono. D hal tersebut dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan :3

a. Tindakan penyalahgunaan wewenang atau pengingkaran sumpah jabatan oleh oknum-oknum penegak hukum tertentu secara pribadi.

b. Kemungkinan ketidaksengajaan, karena ada diantara kasus-kasus kematian seseorang yang tidak jelas, yang terkadang kematian bisa terjadi karena penyakit atau kecelakaan tetapi disangka karena pembunuhan, dan seseorang dicurigai lalu dituntut dan dihukum, demikian pula untuk kejahatan-kejahatan misterius lainnya dalam perampokan, penyelundupan dan lain-lain yang dapat meninggalkan jejak-jejak yang justru diarahkan agar orang lain atau kelompok lain dicurigai.

Keadaan tersebut disebabkan karena adanya kesalahan analisa dan konklusi aparat penegak hukum yang keliru, maka dalam problema tindak pidana di tengah masyarakat, khususnya melalui upaya ahli yang mendalami masalah hukum dan pidana, berusaha mengurangi korban-korban tak bersalah yang terkena tindakan hukum, hal ini mengingat bahwa tujuan dari Hukum Pidana adalah

2

Zainul Arifin, Kasus Salah Tangkap di Jombang,

3

Sudjono D, Kriminalistik dan Ilmu Forensik: Pengantar Sederhana Tentang Teknik Dalam Penyidikan kejahatan, Tp, Bandung, 1976, h.19-20


(53)

melindungi dan menyelamatkan individu atas kejahatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya, sehingga tujuan tersebut harus dijaga agar adanya perbuatan pidana yang telah membawa korban jangan membawa korban tambahan yang disebabkan kesalahan dalam penyidikan peristiwa pidana tersebut, atau mungkin tidak ada kejahatan yang oleh karena penyidikan yang tidak hati-hati menyebabkan orang yang tidak bersalah dihukum oleh pengadilan.

Berbicara mengenai Hukum Pidana berarti tidak dapat dilepaskan dari permasalahan pokok dalam hukum Pidana itu sendiri. Semua permasalahan tersebut memiliki hubungan sebab akibat yang apabila tidak dipenuhi salah satunya maka tidak akan ditemukan suatu keadilan hukum.

Untuk dapat diadakan suatu pemidanaan, selain ia telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang melanggar undang-undang, masih diperlukan adanya syarat, yaitu orang yang melakukan tindak pidana itu harus mempunyai kesalahan. Pembebanan unsur atau syarat kesalahan dalam pemberian pidana (pemidanaan) berarti ada pengakuan atas berlakunya ”asas pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld)”. Asas ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, yaitu dalam pertanggungjawaban pidana. Tidak dicantumkannya asas kesalahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, bukan berarti asas tersebut tidak diakui dalam proses peradilan. Secara yuridis, meski tidak secara eksplisit, pengakuan asas kesalahan ini sudah tertuang pada Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa :

”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut


(54)

Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang diangggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Menyangkut 3 permasalahan pokok dalam Hukum Pidana, berarti membicarakan mengenai hukum acara pidana dimana hukum tersebut berfungsi untuk menjalankan hukum pidana materiil, sehingga disebut Hukum Pidana Formal atau Hukum Acara Pidana.Hukum acara pidana berhubungan erat dengan hukum pidana karena itu sebagai pelaksana hukum acaranya, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan berkewajiban untuk menegakkannya agar tercapainya keadilan di dalam masyarakat.

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.4

4

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996a, h.8

Keadaan tersebut mendorong aparat penegak hukum dan orang-orang yang menaruh perhatian terhadap kehidupan masyarakat untuk menciptakan dan mengembangkan cara-cara atau metode-metode untuk menyidik, mengejar dan mengungkap kejahatan, yang kemudian dikenal dengan istilah kriminalistik.


(55)

Dalam mencari kebenaran yang hakiki para penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi, khususnya para petugas Penyidik dan Penyidik Pembantu dari Kesatuan Reserse Kriminil, perlu melengkapi diri dengan Ilmu Kriminalistik. Menurut James W.Osterberg kriminalistik ialah suatu profesi dan disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengenal, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi bukti-bukti fisik dengan jalan menerapkan ilmu-ilmu alam dalam masalah hukum dan ilmu.5

Kriminalistik merupakan ilmu pengetahuan tentang penyidikan dan pengusutan suatu kejahatan, yang membantu aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Upaya menegakkan keadilan dalam pemeriksaan suatu perkara pidana tertentu, sehubungan dengan penyidikan suatu kasus, dilaksanakan dengan apa yang dinamakan rekonstruksi atau reka ulang.

Kenyataannya, reka ulang atau rekonstruksi tidak selalu dilaksanakan dalam setiap kasus pidana, dan hanya dilakukan jika aparat penegak hukum menganggap hal tersebut diperlukan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam dan menuangkannya ke dalam suatu tulisan yang berbentuk skripsi dengan judul, ”Peranan Rekonstruksi Perkara Pidana Dalam Proses Penyidikan (Studi di Polres Deli Serdang)”.

5

Dikutip dari Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,1996b, h.12


(1)

menjalani hidup. Tiada kata seindah doa yang dapat Penulis ucapkan semoga Papa dan Alamarhumah Ibu diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; dan Bapak M. Husni, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Abul khair, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing I Penulis dalam tugas akhir ini. Terima kasih atas saran, kritik, kesabaran dan nasehat yang diberikan kepada Penulis selama penulisan skripsi ini.

4. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

5. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis. Terima kasih atas saran, kritik, kesabaran dan nasehat yang sangat membantu dalam mengevaluasi sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan baik. Penulis sangat terkesan dengan keakraban yang diberikan Ibu pada saat proses penulisan skripsi.


(2)

7. Bapak AKBP. Pranyoto, SIK selaku Kepala Kepolisian Resor Deli Serdang. 8. Bapak AKP. Anggoro Wicaksono, SIK selaku Kepala Satuan Reserse

Kepolisian Resor Deli Serdang. Penulis sangat terkesan dengan keramahan yang diberikan oleh Bapak Kasat.

9. Bapak Aiptu Hendra selaku Penyidik pada Kepolisian Resor Deli Serdang. Penulis sangat terkesan dengan suasana keakraban yang diberikan oleh Bapak Penyidik.

10.Bapak Bripka Rapolo Tambunan selaku Penyidik pada Kepolisian Resor Deli Serdang. Penulis sangat terkesan dengan suasana keakraban yang diberikan oleh Bapak Penyidik.

11.Bapak M. Eka Putra dan Bapak Mahmud Mulyadi selaku staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Ibu Marlina dan Ibu Liza Erwina selaku staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan membimbing Penulis dalam proses pembelajaran selama masa perkuliahan.

14.Seluruh pegawai tata usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada seluruh mahasiswa/i, mulai dari kami masuk kuliah hingga menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum tercinta.


(3)

15.Kakakku tersayang Kiky Meutia Pratiwi yang telah memberikan motivasi dan semangat serta doa yang tulus dan tak pernah putus. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmatNya kepadamu.

16.Adikku tercinta Dini Ramadhani Putri yang telah memberikan semangat, doa dan bantuan yang besar dalam proses penulisan skripsi ini, menemani Penulis dengan setia mencari bahan kemanapun. Smoga Allah senantiasa mencurahkan rahmatNya kepadamu.

17.Sahabat Penulis tersayang Windy Sri Wahyuni yang telah memberikan Penulis arti persahabatan dan persaudaraan yang dilandaskan cintaNya. Terima kasih karena telah menemani Penulis dalam bimbingan.

18. Irma Lusiana Khajjani Ritonga yang telah memberikan Penulis arti persahabatan dan persaudaraan yang dilandaskan cinta-Nya. Terima kasih karena telah membantu Penulis dalam menyelesaikan syarat-syarat permohnan pengajuan sidang.

19.Sahabat setiaku Ali Putra yang telah memberikan banyak dorongan semangat serta doa yang tulus kepada Penulis. Semoga Allah membalas segala kebaikanmu.

20.Sahabat-sahabat dan saudara-saudara satu organisasi Penulis, BTM ALADDINSYAH, SH karena Allah kita dipertemukan dan mengajarkan Penulis tentang dunia organisasi dan merasakan nikmat Cinta-Nya.

21.Kakak-kakak, abang-abang, adik-adik dan teman-teman : Kak Dina, Kak Ira, Kak Dian, Lily, Edi, Adit, Heri, Andi, Rina, Fika, Lidya, adik-adik mentoring Penulis (Ambar, Marwah, Puspita, Hendini) dan lain-lain yang tidak bisa


(4)

Penulis sebutkan satu persatu namanya, terima kasih untuk dukungan kalian selama ini.

Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil Penulisan skripsi ini karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT , oleh sebab itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.

Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan nikmat kasih sayangNya bagi kita dalam menjalani hidup dan mengemban tugas yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bernilai ibadah untuk Penulis.

Medan, November 2010


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI...vi

BAB I PENDAHULUAN…………...……….1

A. Latar Belakang………..………..1

B. Perumusan Masalah…………...……….……..6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…….………...……..6

D. Keaslian Penulisan………...………7

E. Tinjauan Kepustakaan………....………...8

1. Pengertian Rekonstruksi dan Sejarah Rekonstruksi……...8

2. Jenis-Jenis Rekonstruksi………..10

3. Pengertian Perkara Pidana………...12

4. Pengertian Penyidikan………...17

F. Metode Penelitian………...………24

G. Sistematika Penulisan ………...………….26

BAB II PENGATURAN TENTANG REKONSTRUKSI PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA………....…..29

A. Rekonstruksi Perkara Pidana Menurut KUHAP…….…...…….…29

B. Rekonstruksi Perkara Pidana Menurut SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana…….…...…..33


(6)

1. Kewenangan untuk Melaksanakan Rekonstruksi Perkara

Pidana...33

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana…...37

C. Proses Pelaksanaan Rekonstruksi pada Tingkat Penyidikan Menurut Menurut SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 Tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana………...……..….39

BAB III PERANAN REKONSTRUKSI PERKARA PIDANA PADA TINGKAT PENYIDIKAN (STUDI DI POLRES DELI SERDANG)...49

A. Latar Belakang Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana di Polres Deli Serdang………..…...…...……...49

B. Pelaksanaan Rekonstruksi untuk Membantu Proses Penyidikan di Polres Deli Serdang………...……….52

C. Kendala dalam Pelaksanaan Rekonstruksi pada Proses Penyidikan di Polres Deli Serdang dan Upaya Mengatasinya…...58

D. Contoh Kasus...71

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………...….…………..74

A. Kesimpulan………..……...…..………...74

B. Saran………..……….…….75

DAFTAR PUSTAKA ………...…….…..77 LAMPIRAN