Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara

(1)

PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATRA UTARA

TESIS

Oleh

ELIZABETH SIAHAAN

077005036/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATRA UTARA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELIZABETH SIAHAAN

077005036/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Elizabeth Siahaan Nomor Pokok : 077005036

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur


(4)

Tanggal lulus: 03 Maret 2009

Telah diuji pada

Tanggal 03 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum

4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukumdiharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.

Salah satu bagian aparat penegak hukum yang juga mempunyai peranan penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah “Penyidik”, dalam hal ini penyidik POLRI ,dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba. Dengan dikeluarkannya Undang No.22 Tahun 1997 Tentang narkotika dan Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang mengatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini. Untuk itu permasalahannya adalah bagaimana memerankan Polri sebagai penegak hukum dalam penyidikan kaitannya dalam pemberantasan Narkoba. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekan yang bersifat normatif yang mana diterangkan dengan secara diskritif yuridis dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Pisau analisis yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah dengan penelusuran secara normatif. Sehingga terlihat kewajiban dalam pengungkapa kasus-kasus dan penyelesaiannya yang subatansi adalan peran dari penyidik itu.


(6)

ABSTRACT

Plantation revitalization program intended to improve the welfare and economic growth of community can be seen from the pattern of patnership in the agreement made between the farmers and the company as business partner. The partnership in this context is in the form of the management of all plantations


(7)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan atas Kasih yang telah diberikanNYA serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ”Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Penyalahgunaan Narkoba Di Sumatera Utara”. Tesis ini di buat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapat gelar magister ilmu hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Megister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

5. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku penguji penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan sarannya guna perbaikan tesis ini.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

8. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara beserta para pejabat utama Polda Sumatera Utara dan seluruh anggota Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara Terkhusus Pada Komandan Penulis yaitu Kombes. Pol. Drs. H. Anjan Pramuka, yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi


(9)

untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk kedua orang tua yaitu Ayahanda Tercinta (Alm) Kolonel. Pol. Drs. B. Siahaan dan Ibunda Tersayang R.N. Br Tobing, semoga kasih Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang ini. Terkhusus juga untuk Saudara-Saudara Penulis : Abangda Kombes. Pol. Drs. Jhonny Siahaan,S.H, M.H, Adik-Adik Penulis : Drs. Jansen Siahaan, Drs. Viktor Siahaan, Sundey Siahaan, dan Farah Siahaan, SE yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini , penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan secara Khusus pada MOKO KUSUMA yang telah banyak membantu penulis baik secara materil dan immateril sehinga dengan hal tersebut Penulis memiliki tanggungjawab besar untuk dapat menyelesaikan studi magister ini. Mungkin ucapan terima kasih ini bukan hanya ucapan biasa melainkan harapan penulis apa yang telah diberikan kepada penulis menjadikan hal yang berharga dalam menjalani persahabatan dikemudian hari.

Kepada teman-teman angkatan IX Penulis mengucapakan terimakasih sedalam dalamnya atas apa yang telah kita jalani bersama baik suka maupun duka untuk dapat menyelesaikan studi kita di magister ilmu hukum ini, terkhusus pada


(10)

teman sebangku penulis Musa Rajeksah yang senantiasa membantu segala kesulitan teman-teman kita, semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang peran penyidik dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkoba.

Semoga kasih Tuhan senatiasa menyertai Kita dalam hidup damai dan tentram.

Puji Tuhan

Hormat penulis.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Elizabeth Siahaan Temp/Tgl. Lahir : Medan/ 18 Desember 1964 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Panglima Polim Rantau Prapat (1977) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan (1980) 3. Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Medan (1983) 4. Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung (1992) 5. SECAPA REG (1997)

6. Kelas Kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2009)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian... 23

F. Kerangka Teori dan Konsepsional... 23

1. Kerangka Teori ... 23

2. Kerangka Konsepsiomal ... 39

G. Metode Penelitian ... 42

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42

2. Sumber Data... 43

3. Teknik Pengumpulan Data... 45

4. Analisis Data ... 46

BAB II : KETENTUAN - KETENTUAN KERJASAMA ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN... 47

A. Program Revitalisasi Bertujuan Untuk Membangun Perkebunan Rakyat ... 47

B. Kepemilikan Lahan Sebagai Persyaratan Program Revitalisasi Perkebunan... 58

C. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Inti Dengan Plasma Pada Program Revitalisasi Perkebunan ... 63


(13)

D. Contract Farming Melalui Pola Hubungan Perusahaan Inti

Plasma ... 68

1. Hubungan Hukum Para Pihak... 74

2. Hubungan Hukum Antara antara Petani dengan Perusahaan.... 75

3. Hubungan Hukum antara Koperasi dengan Perusahaan... 77

4. Hubungan Hukum antara Petani Plasma dengan Bank ... 78

BAB III : PENERAPAN KERJASAMA PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH USAHA PERKEBUNAN ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN... 81

A. Ruang Lingkup Perjanjian Inti Plasma di PT. Anugerah Langkat Makmur... 81

1. Identitas para pihak ... 86

2. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma 88 3. Kewajiban dan Hak Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma ... 92

4. Hubungan Perusahaan Inti sebagai Avalis dengan Bank ... 96

5. Wanprestasi dan Ganti Kerugian ... 98

6. Perselisihan dan Domisili... 99

7. Berakhirnya Perjanjian Inti Plasma... 100

B. Perjanjian Inti Plasma Antara PT. Anugerah Langkat Makmur dengan KUD BAJA Perlok Sei Lepan Sebagai Sarana Mengembangkan Usaha Kecil di Kabupaten Langkat... 101

BAB IV : TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN... 110

A. Revitalisasi Perkebunan Untuk Membangun Kemitraan Melalui Tanggungjawab Sosial Perusahaan ... 110

B. Pengadaan Plasma Sebagai Kewajiban Tanggungjawab Sosial Perusahaan ... 114


(14)

A. Kesimpulan ... 120 B. Saran ... 123 DAFTAR PUSTAKA... 127


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Jumlah Kasus Dan Tersangka Narkoba Tahun 2008 Sejajaran Polda Sumut... ... ... 48


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1

2 3


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang sedang berlangsung tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang semakin canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk menciptakan penaggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.

Akhir- akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukumdiharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.1

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang


(18)

dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda.2

Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA. Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Bidang ini perlu dikembangkan secara lebih profesional, sehingga menjadi salah satu pilar yang kokoh dari upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA. Kondisi diatas

2

Sadar BNN Desember 2006 / Adi KSG IV, Mahalnya Biaya Rehabilitasi Korban Narkoba, tanggal 08 Januari 2007, http://www.geoogle.com, diakses tanggal 27 Mei 2008


(19)

mengharuskan pula Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dapat berperan lebih proaktif dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Dari hasil identifikasi masalah NAPZA dilapangan melalui diskusi kelompok terarah yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat bekerja sama dengan Direktorat Promosi Kesehatan – Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes-Kesos RI dengan petugas-petugas puskesmas di beberapa propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali ternyata pengetahuan petugas puskesmas mengenai masalah NAPZA sangat minim sekali serta masih kurangnya buku yang dapat dijadikan pedoman.3

Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara factor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut :4

1. Faktor individu :

Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan


(20)

NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain :5

a. Cenderung membrontak dan menolak otoritas

b. Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti Depresi,Ccemas, Psikotik, Kkeperibadian dissosial.

c. Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku

d. Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negative (low self-esteem)

e. Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif f. Mudah murung,pemalu, pendiam

g. Mudah mertsa bosan dan jenuh

h. Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran i. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

j. Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambing keperkasaan dan kehidupan modern.

k. Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

l. Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”

m. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas

n. Kemampuan komunikasi rendah

5


(21)

o. Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain)

p. Putus sekolah

q. Kurang menghayati iman kepercayaannya

2. Faktor Lingkungan :

Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :6

a. Lingkungan Keluarga

1) Kominikasi orang tua-anak kurang baik/efektif

2) Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga 3) Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi

4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh 5) Orang tua otoriter atau serba melarang

6) Orang tua yang serba membolehkan (permisif)

7) Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan 8) Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA

9) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten) 10) Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga


(22)

11) Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA b. Lingkungan Sekolah

1) Sekolah yang kurang disiplin

2) Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

3) Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif

4) Adanya murid pengguna NAPZA c. Lingkungan Teman Sebaya

1) Berteman dengan penyalahguna

2) Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar d. Lingkungan masyarakat/sosial

1) Lemahnya penegakan hukum

2) Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung 3. Faktor Napza

1) Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”

2) Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba 3) Khasiat farakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri,

menidur-kan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.


(23)

Penyalahguna NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup kominikatif menjadi penyalahguna NAPZA

Perkembangan kejahatan penyalahgunaan narkoba saat ini yang secara kualitas dan kuantitas cenderung meningkat, maka dapat diperkirakan bahwa kejahatan penyalahgunaan narkoba pada masa mendatang akan semakin menigkat seiring dengan perkembangan masyarakat.Hal ini ditandai dengan munculnya modus operandi kejahatan dengan memanfaatkan teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi sebagai sarana dalam melakukan kejahatannya.

Kejahatan penyalahgunaan narkoba adalah salah satu dari berbagai macam jenis kejahatan terorganisir yang sangat sulit untuk diungkapkan, baik secara kualitas dan kuantitas,karena mempunyai organisasi terselubung dan tertutup serta terorganisir secara internasional dengan jaringan yang meliputi hampir seluruh dunia.

Saat ini Indonesia bukan hanya Negara transit narkoba lagi,tetapi sudah menjadi Negara konsumen dan produsen bahkan sudah menjadi Negara pengekspor narkoba jenis ekstasi dengan indikasi adanya pengiriman melalui paket dan kurir dari Indonesia ke luar negeri yang dialamatkan langsung ke Indonesia.7


(24)

Perkembangan penyalahgunaan narkoba dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang terungkap oleh jajaran kepolisian RI hanyalah fenomena gunung es,yang hanya sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Disadari pula masalah penyalah gunaan narkoba merupakan masalah nasional dan Internasional karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional.8

Sampai saat ini penyalah gunaan narkoba di belahan dunia manapun tidak pernah kunjung berkurang, bahkan di Amerika serikat yang dikatakan memiliki segala kemampuan sarana dan prasarana, berupa teknologi canggih dan sumber daya manusia yang profesional, ternyata angka penyalahgunaan narkoba makin hari makin meningkat sejalan dengan perjalanan waktu.

Di Indonesia sendiri saat ini angka penyalahgunaan narkoba telah mencapai titik yang mengkhawatirkan, karena pada saat sekitar awal tahun 1900-an masalah narkoba masih belum popular dan oleh jaringan pengedar hanya dijadikan sebagai Negara transit saja. Belakangan ini Indonesia telah dijadikan Negara tujuan atau pangsa pasar dan bahkan dinyatakan sebagai Negara produsen/pengekspor narkoba terbesar di dunia.9

8

Ibid 9

Mulyono, Liliawati, Eugenia, Peraturan Perundang-undangan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta:Harvarindo,1998), hal.5


(25)

Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, diprediksi akan munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan narkoba lain akan semakin marak dimasa mendatang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyadari bahwa penyalahgunaan narkoba ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian, dan pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan narkoba serta bagaimana melakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkoba ini.

Sampai dengan saat ini upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh lembaga formal pemerintah(Dep. Kes,Imigrasi, bea dan cukai,Polri,BNN,BNP,dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya masih belum optimal, kurang terpadu dan cenderung bertindak sendiri-sendiri secara sektoral. Oleh sebab itu masalah penyalahgunaan narkoba ini tidak tertangani


(26)

secara maksimal, sehingga kasus penyalahgunaan narkoba makin hari bukannya makin menurun tapi cenderung semkin menigkat baik secara kualitas dan kuantitas.10

Bahwa belum ada upaya pembinaan khusus terhadap pengguna sebagai korban, karena masih beranggapan bahwa para pengguna itu adalah penjahat dan tanpa mendalami lebih jauh mengapa mereka sampai menkonsumsi atau menyalah-gunakan narkoba. Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM bahwa pada tahun 2002 dari semua lembaga pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara yang ada di Indonesia saat ini 40% penghuninya adalah narapidana/Tahanan Narkoba. Tentunya Para”korban ini” belum tentu memiliki sifat/kepribadian jahat seperti pelajar SD/SMP, santri atau anak dari keluarga baik-baik, namun secara kebetulan terpengaruh untuk melakukan penyalahgunaan narkoba dan harus menjalani hukuman bersama dengan penjahat lain seperti pembunuh, perampok dan lain-lain, maka setelah menjalani hukuman pidana,mereka bukannya tambah baik tetapi justru dapat menjadi penjahat yang lebih besar lagi.11

Salah satu unsur penegak hukum yang ada di Indonesia adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya di singkat dengan POLRI) selaku alat Negara penegak hukum dituntut untuk mampu melaksanakan tugas penegakan hukum secara profesional denagn memutus jaringan sindikat dari luar negeri melalui kerjasama dengan instansi terkait dalam memberantas kejahatan penyalahgunaan narkoba, dimana pengungkapan kasus narkoba bersifat khusus yang

10

KOMPAS .Juli, 2008, Diakses pada situss http//www.kompas.com/infonarkoba/artikel.lebih.htm diakses pada tanggal 27 Juli 2008.

11 Ibid


(27)

memerlukan proaktif POLRI dalam mencari dan menemukan pelakunya serta senantiasa berorientasi kepada tertangkapnya pelaku tindak pidana penerapan peraturan perundang-undangan di bidang narkoba.

Salah satu bagian aparat penegak hukum yang juga mempunyai peranan penting terhadap adanya kasus penyalahgunaan narkoba ialah “Penyidik”, dalam hal ini penyidik POLRI ,dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran penyalahgunaan narkoba. Dengan dikeluarkannya Undang No.22 Tahun 1997 Tentang narkotika dan Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang mengatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan penyalahgunaan narkoba dewasa ini.

Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh instansi yang terkait langsung yakni penyidik POLRI serta para penegak hukum lainnya.bahwa dalam proses penegakan hukum dalam hal ini penegakan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropik, untuk membuat terang tindak pidana yang diduga terjadi proses penyelidikan merupakan hal yang sangat substansi serta memiliki kepentingan yang sangat mendasar. Hal ini merupakan bagian dari kepolisian khususnya penyidik polisi karena fungsi penyidiklah yang dapat mengungkapkan penegakan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika


(28)

maupun psikotropika. Peran penting penyidik dikepolisian akan memberikan sarana baik dalam mengungkap hingga menelusuri jalur peredaran narkotika maupun psikotropika. Disamping itu hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 Tentang psikotropika dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus penyalahgunaan narkoba yang semakin marak dewasa ini.

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas tentang pentingnya penyidikan dalam mengungkapkan dan membuat terang dugaan adanya penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika maka harus didukung dengan faktor pendukung yang dapat memfasilitasi jalannya proses penyidikan. Dalam hal penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika memiliki sedikt perbedaan jika dibandingkan dengan tindak pidana lain pada umumnya. Salah satu proses penegakan hukumnya dalam rangka penyidikan adalah dengan menciptakan dan atau menskenariokan suatu kondisi sebuah delik pidana atau peristiwa pidana narkotika maupun psikotropika tersebut. Penciptaan dan atau penskenariokan yang dimaksud adalah dalam rangka untuk mengungkap jalur peredarannya dengan kata lain siapa pengedarnya atau bahkan siapa yang menjadi produsen dari narkotika dan psikotropika tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara under cover buy (menyamar membeli kembali). Oleh karenanya untuk dapat mendukung penegakkan


(29)

hukumnya maka diperlukan banyak biaya dalam hal ini biaya operasional dalam mengungkap dalam rangka penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika.

Faktor biaya merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam proses penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan. Minimnya anggaran membuat tidak maksimalnya atau tidak efektifnya dalam hal mengungkap penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika.saat ini, anggaran yang dikeluarkan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan dalam mengugkap dan atau untuk dapat menegakkan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika belum mencukupi sehingga dalam menuntaskan penegakan hukum masih terkendala dan tidak memuaskan.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul tesis adalah “Peranan penyidik POLRI Dalam Penanganan Penyalahgunaan narkoba di Sumatra Utara”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis ingin mengupas beberapa permasalahan yang dijadikan objek dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaiman kondisi penyalah gunaan penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara dewasa ini?


(30)

2. Bagaimana langkah-langkah POLRI sebagai penyidik dalam menanggulangi dan mengungkapkan masalah penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara?

3. Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kondisi penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis langkah-langkah POLRI sebagai penyidik dalam menanggulangi dan mengungkap masalah penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui secara mendalam hambatan-hambatan yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :


(31)

1. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum acara pidana dan hukum yang terkait dalam penyidikan dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi seperti Advokat dan penegak hukum khususnya petugas penyidikan yang ada dikepolisian dan juga masyarakat dalam hal ini para keluarga korban narkoba, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah terhadap peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang ‘peranan penyidik dalam


(32)

membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba’, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di longkungan Universitas Sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi Lainnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk mengetahui tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya.

Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut friedman, yaitu:12

1. Fungsi kontrol sosial (social control). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.

2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute stlement) dan konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (micro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.

12

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,(Jakarta :PT.Rajagrafindo Persada,2004), hal.69-70


(33)

3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.

4. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).

Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum.13

Criminal justice system di Indonesia dapat dilihat dari berbagai mekanisme

dan sistem sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Hukum Acara Pidana. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut

adalah: Pertama, Penyelidik dan penyidik (Kepolisian RI), sebagaimana tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, selaku Pengemban

Fungsi Kepolisian, dibantu oleh Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil,

dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua, Penuntut adalah Kejaksaan

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang


(34)

khusus seperti tindak pidana narkotika. Ketiga, Pengadilan yang menurut

Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim, menjadi lembaga yudikatif,

terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu oleh Panitera dan Staf, yang berstatus

Pegawai Negeri Sipil. Keempat, Penahan (Lembaga Pemasyarakatan), mengelola

Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pemidanaan dan pengelola Rumah Tahanan

(Rutan) dan Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rupbasan).

Keempat institusi ini merupakan jalinan yang harus bekerja dalam sistem

guna mewujudkan tujuan pembangunan bidang hukum acara pidana agar mayarakat

dapat menghayati hak dan kewajibannya serta tercapai dan ditingkatkannya

pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan

wewenang masing-masing. Kemudian, guna mantapnya hukum, keaditan dan

perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat dan martabat

manusia, ketertiban dan kepastian hukum, maka keempat institusi tersebut harus

seiring sejalan dalam proses penegakan hukum.

Namun dalam pelaksanaan tak jarang ditemui berbagai penyimpangan

terhadap sistem yang selama ini diatur Undang. Criminal Justice System adalah

masalah Pelayanan Publik oleh Pemerintah dan dituntut kesadaran untuk

penghormatan terhadap hak-hak asasi dan privacy warga negara yang dijamin oleh

Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperluas

cakupan penanganan Criminal justice System seyogyanya, sementara belum ada


(35)

Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekedar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (legal system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.14 Bagaimana pembangunan,pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif.Kebijakan legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang (legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin,”The Command of the Sovereign”.15

14

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian).(Yogyakarta:FH UII Prees, 2005).Hal.157-158.Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers.. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. (Yogyakarta:Kanisius, 1990), hal.114, Yang menyatakan, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa –Volgsgeist- Karena pada dasarnya hukum tidak di buat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat,yang lahir,berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai-nilai yang terdapat dalam bangsa tersebut.


(36)

Dalam perkembangannya, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya melahirkan aliran hukum positif.16

Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan pada norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentifikasikan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu,hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum

16


(37)

harus d

si dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang me

saspersamaan di depan hukum atau Equaliti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo

ingkupi:

2. Equa

administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan

isandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasaan yang tertinggi.17

Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Cuorse de Philoshopie positive. Positifisme hanya mengakui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobserva

nentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.

Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam proposal Penelitian kaedah positif terimplikasi kepada bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu a

before the law, seperti saxon bahwa rule of law mel 1. Supremacy of law

lity before the law

3. Constitrution based on human right18

Secara teoritis, Presiden atau pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai

17


(38)

(regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintah yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai

Tugas utama pemerintah adalah member

administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.19

Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state. Seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi walfare state.

ikan pelayanan terhadap masyarakat.20

Secara ilmiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan Undang-Undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan Undang-Undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat.Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan Undang-Undang, maka aka banyak persoalan kemasyaakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi walfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarka asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada Freies Ermessen, yakni kewenangan

19 Ibid 20


(39)

yang sah

a ada kesepakatan untuk m

n sampai terjadi over criminalization.21

bahwa:

untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.

Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi (dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan). Sedangkan langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal policy), yang salah satu pendapat pakar Peter G Hoefnagels mengartikan sebagai criminal policy is the rational organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya rasional dari suatu Negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa Criminal policy sebagai ascience of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior as a crime dan rational total of the responses to crime. Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan bahw

engkriminalisasi dan mempertimbangkan cost and beneft principle,tetapi juga harus dipikirkan janga

Untuk menghindari over criminalization maka diingatkan beberapa rambu-rambu antara lain

21


(40)

1. Fungsi Hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

2. Ilmu Hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis.

3. Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupkan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan sosial lainnya, khususnya dalam kombinasi dengan tindakan-tinda

riminalisasi agar tetap

um Pidana dengan emosional.

unakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan

kan preventif. (pemikiran dari Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale Association for Criminology).22

Berkaitan dengan pemikiran Hoenagles maka ditekankan kembali penting mempertimbangkan berbagai faktor untuk melakukan k

menjaga dalil Ultimum remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain:23 a. Jangan menggunakan Huk

b. Jangan menggunakan Hukum Pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya.

c. Jangan mengg

pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan.

22 Ibid. 23

Muladi, Kapita Selecta Hukum Pidana,(Semarang:Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,1995),Hal.127-129.


(41)

d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat.

e. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya tidak efektif.

f. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala

dipidana atau tidak dapat dipidana suatu perbuatan yang dil

prioritas kepentingan pengaturan.

g. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu diingat adanya dalil Ultimum Remedium sebagai sarana terakhir yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana menentukan dapat

akukan dengan sengaja atau dengan kelalaian. Dalam suatu pidato menteri moderman dinyatakan bahwa untuk menentukan perbuatan tersebut di atas harus diingat adanya 2 asas pokok.24

Asas pokok itu yang pertama ialah, orang yang melanggar hukum (ini sebagai syarat mutlak dari teori condition sine qua non). Kedua , bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan menurut pengalaman tidak dapat dicegah dengan sarana apapun (tentu dengan memperhatikan keadaan masyarakat tertentu). Ancaman pidana harus tetapmerupakan Ultimum remedium. Hal ini tidak berarti bahwa ancaman pidana ditiadakan namun harus selalu mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat


(42)

daripada penyakit.Artinya bahwa untuk mencapai tujuan pemidanaan maka Negara dengan sengaja memberikan pidana dan menambah penderitaan pada pelakuny

lam menegakkan hukum pidana akan berlaku

yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak a.Namun dalam hal ini juga ditambahkan bahwa dalam hukum pidana yang lebih modern, selalu diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ditambahkan dengan sengaja itu.

Ultimum remedium juga berarti bahwa hukum pidana mempunyai tujuan yang menyimpang atau dikatakan lebih dari tujuan pada umumnya yang terdiri dari menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat tanpa adanya kesengajaan menimbulkan penderitaan. Ternyata hukum pidana tidak dapat menghindari adanya pemberian penderitaan ketika hukum dilanggar dan kemudian harus ditegakkan. Untuk itulah maka harus dipikirkan mendalam bahwa Ultimum remedium diperhatikan, apalagi da

hukum acara pidana yang juga berwenang yang luas kepada polisi dan kejaksaan, maka bila tidak dibatasi justru tujuan penegakan hukum itu akan berdampak sangat merugikan kepada pelaku.

Ultimum Remedium juga akan bersinggungan langsung dengan tujuan pemidanaan dan antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana (1764) dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum.tujuan pemidanaan hanyalah supaya sipelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk menakut-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu.menurut Beccaria


(43)

mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu. Namun Beccaria mengingatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampaui batas tidak perlu

ra republik Indonesia atau pejabat

mencari serta mengumpulkan

epolisian Negara republik Indonesia yang

karena itu berarti kelainan.25

2. Landasan konsepsional

a. Penyidik adalah pejabat polisi Nega

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.26

b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.27

c. Penyidik pembantu adalah pejabat k

karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang ini.28

d. Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk dapat melakukan penyidikan.29

25 Ibid 26

Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 27


(44)

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

enyebabkan penurunan atau

ang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

n atau serangkaian kegiatan penyaluran atau

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.30

f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat m

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.31

g. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika y

saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.32

h. Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.33

i. Peredaran adalah setiap kegiata

penyerahan psikotropika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan.34

30

Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 31

Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 32

Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 33

Pasal 1 angka (14) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 34


(45)

j. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.35

k. Kejahatan adalah perbuatan jahat (strafrechtelijk misdaadsbegrip)

dan adil. Dari uraian tersebut

ressive (penindakan /pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non

sebagaimana terwujud in abtracto dalam peraturan pidana. Perbuatan yang dapat dipidana dibagi menjadi perbuatan yang dilarang Undang-undang dan orang yang melanggar larangan itu.36

l. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujudnya atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik

dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.37

m. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal maupun yang lebih menitikberatkan pada sifat rep

35

Pasal 1 angka (17) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 36


(46)

penal lebih menitikberatkan sifat preventif (pencegahan/ p

penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode yang aka

ah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pen

am penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara, akan tetapi menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudia

enangkalan/pengendalian) sebelum terjadi kejahatan.38

G. Metodelogi Penelitian Berdasarkan objek

n dipergunakan adalah juridis normatif yaitu mengkaji kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara.

Sebagai sebu

gumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan kepastian hukum dalam peranan penyidik POLRI dal

lebih ditujukan untuk

n mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.

2. Metode Pendekatan

38

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan,makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI,Semarang, Tanggal 16-18 September 1991).hal.2


(47)

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang peranan penyidik POLRI dalam penyeles

g-undangan dan putusan

dilakukan ndingkan kaidah-kaidah hukum dalam Hukum Pidana dengan kaidah h

peranan penyidik dalam membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba.

aian penyalahgunaan narkoba maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai hasil penelitian.

Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundan

pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.39

Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kecukupan kaidah-kaidah hukum dalam hukum pidana khususnya tersebut dengan hukum Acara Pidana sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 dan peraturan lainnya yang terkait dalam penelitian ini. Hal ini

dengan memperba

ukum Acara Pidana dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1985, Hukum Acara Pidana dan peraturan lainnya yang tidak terdapat pengaturan yang jelas tentang

39


(48)

3. Sumber Data

Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan

AP, Undang-undang No. 22

g memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

bahasa Inggris, Ind

tuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

er diatas dilakukan pula penelitian terhadap data primer s

melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan pendekatan yuridis normatif. Penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research, yakni:

a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang KUH

tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang No. 5 tahun 1997, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian adalah merupakan bahan hukum primer.

b. Bahan-bahan yan

berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.

c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus

onesia,Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law yang bertujuan un

Disamping data sekund

ebagai bahan pendukung penelitian ini, yakni yang diperoleh dari informasi dan narasumber.


(49)

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori

pemikiran konseptual dan penelitian terdahuluyang berhubu

okumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan ta-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapk

ng oleh logika berfikir secara deduktif. Dipilihnya metode analisis kualitatif adalah agar gejala-atau doktrin, pendapat gejala-atau

ngan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi pustaka (library research).

Data primer dikumpulkan melalui penelitian lapangan dengan mempergunakan teknik wawancara dan questioner, terhadap informasi yakni penyidik yang pernah menyidik kasus narkoba sebanyak 10 (sepuluh) orang.

Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventarisasi seluruh data dan atau d

pengkategorian da

an. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah di pilih.

6. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang diduku


(50)

gejala normatif yang diperhatikan ai aspek secara

mendalam dan terinte nnya.

asyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus me

t yang sangat merugikan perorangan maupun masyara

dapat dianalisis dari berbag gral antara aspek yang satu dengan yang lai

BAB II

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

A. Pengaturan dan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di Indonesia Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan m

nerus usahausaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akiba

kat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.


(51)

Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena k

ilakukan dengan menggu

ejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapih, dan sangat rahasia.

Bahwa itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional d

nakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkemb angan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.

Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Dengan demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk


(52)

menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan membentuk undang-undang baru. Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktorfaktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai

gunaan narkotika, perlu ditetapk

sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika,

pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan penyalah

an ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.


(53)

Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang narkotika dengan tetap m

Narkot

dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 sampai dengan emperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait antara lain Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, Kesehatan, Kepolisian, Kepabeanan, Psikotropika, dan Pertahanan Keamanan.

Saat ini payung hukum yang ada sebagai bagian dalam penegakan hukum ika dan Psikotropika adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang mana Undang-Undang ini terdiri dari 104 Pasal. Selain itu juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika disahkan untuk dapat menambah dan memperkuat penegakan hukum Narkotika dan Psikotropika tersebut.

Rumusan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak mengatur bahwa tindak pidana yang diaturnya adalah tindakan yang

Pasal 100. Akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa tindak pidana di dalam Undang-undang tersebut merupakan kejahatan.40 Alasannya, kalau narkotika hanya

40

Lihat, Chairul Huda, Op.cit, hlm. 25, bahwa pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, pemahaman mengenai pengertian tindak pidana ini penting bukan saja untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai yang diharapkan oleh hukum (pidana), jika pedoman bertingkah laku itu tidak dipahami. Oleh karena itu, yang penting bukan hanya apa yang masyarakat ketahui mengenai tindak pidana, tetapi apa yang seharusnya mereka ketahui. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi


(54)

untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan. Undang-Undang Narkotika yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam BAB XII dapat

i sebagai berikut:41

rkotika. kotika.

ang menyangkut keterangan palsu (dalam kasus narkotika).

. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi; lembaga (dalam kasus nar

pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila

ahat sasi.

dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya menjad a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika. b. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.

c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit na d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika. e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu nar g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika. h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. j. Kejahatan y

k

kotika).

Bahwa itu, Undang-Undang Narkotika mengenai adanya ancaman pidana minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan

tindak pidananya:42

a. Didahului dengan pemufakatan j b. Dilakukan secara terorgani

ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia saat ini. Lihat juga, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hamel. Dua

Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986), hlm. 205 bahwa Simons hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

41

Lihat, Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm.193-194.

42 Ibid.


(55)

c. Dilakukan oleh korporasi.

Ketentuan tindak pidana di bidang psikotropika diatur dalam BAB XIV Pasal 59 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. Perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66, dan seluruh

tnya tersebut, pengaruhnya sangat merugikan bagi b

nya merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan psikotropika yang merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.

Memproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika dengan tujuan dikonsumsi masyarakat luas akan berakibat timbulnya ketergantungan bahkan menimbulkan penyakit karena tanpa diawasi dan tidak disesuaikan dengan pengawasan penggunaan Narkoba. Peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba secara luas dapat berdampak pada keresahan dan ketidaktentraman masyarakat. Bahwa itu pelaku peredaran gelap akan memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan dari transaksi Narkoba. Akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajaknya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalannya mengapa tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Bahwa itu jika dilihat dari akibat-akiba

angsa dan negara. Dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal


(56)

pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp. 5 Milyar (Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997).43

Dari seluruh tindak pidana yang diatur di dalam Undang-undang psikotropika jika dilihat dari segi bentuk perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yang antara lain sebagai berikut: (1). Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika; (2). Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika; (3). Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika, (4). Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika; (5). Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika; (6). Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotr

nurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkot

opika; (7). Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika; (8). Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika; (9). Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika; (10). Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika; (11). Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika.44

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasarkan ketentuan peraturan di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan me

ika, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang

43

Ibid, hlm. 65. 44


(57)

tertuang dalam kedua Undang-Undang tersebut telah mengidentifikasikannya secara umum sebagai berikut:45

Undang-undang tentang Narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 500. 000. 000,00 terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman; atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman.46 Apabila tindak pidana tersebut didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (Dua milyar lima ratus juta Rupiah) dan apabila tindak pidana dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah).

Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menegaskan bahwa terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki dan untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II, dipidana dengan pidana

45


(58)

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah.) dan memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah). Apabila tindak pidana ini didahului dengan pemufakatan jahat dipidan

a dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). Terhadap tindak pidana menguasai narkotika golongan III yang didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (Seratus lima puluh juta rupiah). Hal ini tentunya berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh organisasi.47

Selanjutnya menyangkut memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika, sebagaimana dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 1.000.0000.000,- (Satu milyar rupiah). Apabila pelaku yang melakukan perbuatan

47

Lihat Pasal 79 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bahwa: Ayat (2). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar juta rupiah).

b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah).

Ayat (4). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah). ayat (1) huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000 000.000,- (Satu milyar rupiah).


(59)

berupa memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) sedangkan memproduksi,

mengol ongan III, dipidana

dengan pidan 200.000.000, hukum me dan oleh Undang-Und

ah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika gol

a penjara paling lama 7 (tujun tahun) dan denda paling banyak Rp. - (Dua ratus juta rupiah). Terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan lakukan perbuatan dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir korporasi telah dirumuskan oleh Pasal 80 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

ang Nomor 22 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (2). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 20 (Dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah).

b. ayat (1) huruf b didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.G00.000,- (Satu milyar rupiah);

c. ayat (1) huruf c didahului dengan pemufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah);

Ayat (3). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah).

c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah).


(60)

a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- (Tujuh milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Pp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah);

c. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar Rupiah);

Menyangkut ketentuan tentang mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, membeli, menyerahkan, menerima menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum, diatur pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan ketentuan terhadap narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000r (Satu milyar rupiah). Terhadap narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) sedangkan terhadap narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah). Apabila tindak pidana ini dilakukan dengan didahului pemufakatan jahat terhadap narkotika golongan I maka sanksi pidananya adalah dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah),dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). Terhadap narkotika golongan II dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). Sedangkan terhadap narkotika golongan III maka dipidana dengan pidana


(61)

penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (Empat ratus juta Rupiah). Sanksi pidana ini tentunya sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan terorganisir.48

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 mengatur mengenai perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan UU diancam sanksi pidana pidana paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,-(Seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Adapun perbuatan dimaksud secara rinci dapat dideskripsikan sebagai berikut:49

1. Menggunakan psikotropika golongan I tanpa izin dan pengawasan.

Lihat, Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagai berikut:

48

Ayat (3). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan banyak Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah).

c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Ayat (4). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- (Tujuh milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah);


(1)

---, Penyalahgunaan narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum

rief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra

rif Nawawi Barda, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, makalah rang,Tanggal 16-18 September 1991

--- k Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998

--- ngatar Filsafat Hukum, Bandung:

andar Maju, 2002

---, dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,

Jakarta: Ra

---, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

---, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,

tmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung:

ustin J. Dalam M.Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,

emmelen, J.V.Van, Hukum Pidana I, Bandung: Bina Cipta Cetakan Kedua, 1997 udiarjo Miriam, Dasar-dasar ilmu Politik,Jakarta : Gramedia,1999

Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,1997 A

Aditya Bakti, 1996 A

disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Sema

---, Beberapa Aspe

---, dan Ira Thania Rasjidi, Pe M

--1984

---, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, jawali Press, 1990

--PT. Raja Grafindo Persada, 2005

--Semarang: Badan Penerbitan Universitas Dipenogoro, 2002 ---, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981

A

Mandar Maju, 1995 A

Yogyakarta.:PT.Tiara Wacana,1991. B


(2)

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Dwidja, Priy naan Pidana Penjara Di

Indonesia, Cet.1 Bandung : Refika Aditama, 2006 Fletcher,Geo

riedmen, Lawrence, Amrerica Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan

Gani, Ikin

---, Hukum Pidana I, cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a

--- lekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002

--- Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: BP Undip, 2000

---, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan gan PT. Alumni, Bandung, 2002

Huda, Ch iada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap

an Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Kencana, 2006

Karmen, A e Victim An Introduction to Victimology, (California: atno, editor, Aep Gunarsa., Sistem Pelaksa

rge P, Rethinking Criminal Law, Oxford: Oxford University Press, 2000 F

oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984

A, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya, Jakarta: Yayasan Bina, tanpa tahun

Hamzah A. dan Surachman RM.,Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta : Sinar Grafika, 1994

Hamzah,Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

--Fakultas Hukum Undip, 1990 ---, Kapita Se

---,

--Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama den

airul, Dari T

Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawab

ndrew, Crim


(3)

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003

Kusumaatmaja, Mochtar, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat, Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme pelaksana Pembaharuan Hukum, Jakarta: BPHN-LIPI, 1996

L. Herbert ford: Stanford University Press,

1968 Lamintang

Loqman, L naan, Jakarta: Datacom, 2002

ng: Alumni,1984

bit Universitas Dipenogoro,1995

uladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas

ulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Bandung:

Mulyono, ng-undangan Narkotika dan

Psikotropika, Jakarta : Harvarindo, 1998

asution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU,

acker, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, California: Stanford , The Limits of the criminal sanction, Stan

, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984 oebby, Pidana dan Pemida

Manan Bagir. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UI Press, 2005.

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan kebijakan Pidana, Bandu Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang :Badan Pener

M

Diponegoro, 1995 M

pustaka,2004

Liliawati, Eugenia, Peraturan perunda

N

Disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Tanggal 18 Februari 2003

P


(4)

Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 rajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981

asidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Rosdakarya, 1993

Reid, Sue blising Company,

New York, 1987

Reksodipu ak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga

aleh, Roeslan, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1973 Setiadi, Ed a Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam

Bandung, 2004

etyono oko dalam Muladi (Edt). Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep & andung: PT.Refika Aditama, 2005

Sianturi, S

, Bandung: Alumni, 1981

oehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan a, 2003

versitas Indonesia (UI-Press), 1986

unarso Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, P

R

Titus, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Pu

tro, Mardjono, H

Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997

Salam , Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004 S

i, Hukum Pidan

S

Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. B

.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana S

Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persad

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Uni

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981 S


(5)

Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Grafindo

unggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Suparmono, G

yahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Waluyo,Bam

. Peraturan perundang-undangan

kotika ahun 1997 Tentang Psikotropika

. Harian Surat Kabar dan Situs Internet ber 2001

ses pada situs http//www.kompas.com/infonarkoba/artikel/lebih.htm diakses pada

dan Pelaksanaannya, BPFKUI, Jakarta, 2000

Rahardjo, Satjipto, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, dalam http://www.yahoo.co.id, diakses tanggal 4 Agustus 2008

Sadar BNN Desember 2006 / Adi KSG IV, Mahalnya Biaya Rehabilitasi Korban Narkoba, tanggal 08 Januari 2007, http://www.geoogle.com, diakses tanggal 27 Mei 2008

www.legalitas.org, diakses tanggal 27 Mei 2008 http://www.yahoo.com

Persada, 2004 S

atot, Hukum Narkoba di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001 S

Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003

bang, Pidana dan Pemidanaan (cet kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2004 B

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Nar Undang-Undang No. 5 T

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana C

KOMPAS, Dalam Pengobatan Napza-Butuh Dukungan Orang Tua,Tanggal 24 Septem

KOMPAS, Juli 2008, Diak tanggal 27 Juli 2008.

Panitia Pengembangan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan, Konsensus tentang Masalah Medis


(6)

http//www.geogle.com, Sistem Pemidanaan di Indonesia, diakses tanggal 17 Januari 2008

http//www.kompas.co.id, Pemakai Cukup di Rehabilitasi, diakses tanggal 17 Januari 2008

H

http://www.yahoo.comH, diakses tanggal 23 Mei 2008

H

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/politikhukum/3469255.htm

http//www.kompas.co.id, Pemakai Cukup di Rehabilitasi, diakses tanggal 19 Januari 2008