Perubahan Iklim dan Penyakit Bersumber B

PERUBAHAN IKLIM DAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
MAKALAH UTAMA

Disampaikan dalam Pekan In-House Training Loka Penelitian & Pengembangan Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis, 13-18 April 2012

Ditulis oleh:
Pandji Wibawa Dhewantara

Telah dipublikasikan pada media Buletin INSIDE, Edisi 13 Vol.VIII No.02/Desember 2012.
ISSN: 1978-1253

PERUBAHAN IKLIM DAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
Pandji Wibawa Dhewantara

Penjelasan Umum: Perubahan Iklim
Perubahan iklim kini menjadi topik utama yang selalu didiskusikan karena potensi dampak
yang dihasilkannya akan mengancam kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Beragam
pengamatan dan hasil observasi yang membuktikan bahwa iklim dunia mengalami perubahan
telah banyak dilakukan dan tidak sedikit yang juga telah dipublikasikan. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian tersebut, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai organisasi dunia

yang terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai negara yang berfokus pada perubahan iklim telah
menghasilkan beragam skenario perubahan iklim global di masa depan, dampak yang akan
dihasilkannya, serta upaya-upaya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi fenomena alam
tersebut.
Terjadinya perubahan iklim dunia salah satunya didorong oleh aktivitas manusia. IPCC
menyatakan bahwa sejumlah aktivitas manusia yang semakin intensif dan masif justru akan
memperparah dampak perubahan iklim itu sendiri. Sektor industri, pertanian, dan transportasi
adalah tiga sektor penyumbang emisi karbon terbesar yang mendorong pemanasan global dan
perubahan iklim (IPCC, 2007). Konsumsi bahan bakar fosil yang kian intensif di sektor-sektor
tersebut adalah akar masalahnya. Di sisi lain, kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan
perubahan tataguna lahan akibat besarnya tekanan jumlah penduduk dunia dari tahun ke tahun
meningkatkan laju penebangan hutan (deforestasi), pencemaran air, udara, dan tanah menjadikan
resiko dampak dari perubahan iklim semakin besar (IPCC, 2002).
Konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer bumi meningkat dari tahun ke tahun sejak
masa pre-industri didorong oleh aktivitas manusia, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil
dan perubahan tataguna lahan. Hal ini beserta fenomena alami berkontribusi terhadap perubahan
iklim selama kurun waktu 20 abad terakhir. Peningkatan konsentrasi GRK, hilangnya tutupan
(land cover), meningkatkan radiasi matahari dan menyebabkan deplesi lapisan ozon sehingga
mempengaruhi keseimbangan energi dan sistem iklim dunia (IPCC, 2007). Bukti observasi para
peneliti mengemukakan bahwa konsentrasi GRK meningkat 70% selama kurun waktu 1970-


2004 dengan pertumbuhan emisi gas CO2 mencapai 80% yang bersumber dari kegiatan
antropogenik selama lebih dari 30 tahun (IPCC, 2007).

Skenario Iklim Global dan Dampaknya
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca harian selama jangka waktu tertentu (satu tahun).
Sementara, cuaca keadaan udara yang terdiri dari variabel suhu, kelembapan, arah dan kecepatan
angin pada waktu tertentu dan area tertentu yang relatif sempit (Patz, 1996). Iklim secara global
membentuk pola perubahan suhu, kelembapan, arah dan kecepatan angin yang menciptakan pola
musim. Perubahan pola musim hujan, musim kemarau, musim dingin dari tahun ke tahun
menunjukkan bahwa terjadinya perubahan iklim dunia. Kini, perubahan pola musim itu sudah
dirasakan.
Hasil proyeksi iklim oleh para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2100 suhu bumi
bertambah antara 1,4°C hingga 5,8°C. Peningkatan suhu bumi akan berdampak pada melelehnya
lapisan es (gletser) di daerah kutub sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut. Pada abad
ke-20 diperkirakan air laut bertambah 0,1-0,2 meter (Baum,2002; IPCC, 2007). Perubahan iklim
akan mempengaruhi siklus hidrologi bumi, seperti laju evapotranspirasi, runoff, pola dan variasi
curah hujan, dan presipitasi (IPCC, 2008), serta keanekaragaman hayati (IPCC, 2007).
Peningkatan suhu bumi pun diduga sebagai penyebab munculnya fenomena alam El-Nino dan
La-Nina (Epstein, 1995; Kovats et al, 2003).

Sebagai akibat dari perubahan pola dan variasi siklus hidrologi ini, maka akan lahir berbagai
dampak yang berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Curah hujan yang ekstrem,
musim kering dan kemarau yang berkepanjangan dan sporadis, musim dingin yang juga ekstrem
akan dirasakan di seluruh pelosok bumi karena munculnya fenomena El-Nino/La-Nina Southern
Oscillation (ENSO) (Kovats et al, 2003). Perubahan pola musim dan intensitasnya menimbulkan
potensi dampak yang luar biasa dan kini sudah mulai dirasakan di sejumlah bagian dunia. Akibat
intensitas curah hujan yang ekstrem dan musim kemarau/kering yang berkepanjangan itu,
bencana banjir (flooding) dan kekeringan (drought) adalah ancaman serius bagi manusia.
Dampak yang lahir dengan adanya bencana atau fenomena tersebut adalah hal yang patut
diperhitungkan. Perlu diperhatikan pula, besar-kecilnya potensi dampak tersebut akan sangat
ditentukan oleh layanan ekosistem di suatu wilayah yang kini sedikit demi sedikit mulai
menghilang akibat eksploitasi sumberdaya alam oleh manusia itu sendiri. Namun, yang perlu

mendapatkan perhatian serius adalah bagaimana dampak perubahan iklim tersebut – yang
direpresentasikan oleh perubahan pola musim dan intensitasnya – terhadap kesehatan
masyarakat, dalam hal ini penyakit menular berbasis binatang (vektor).

Perubahan Iklim dan Kesehatan Masyarakat: Pandangan Umum
Perubahan iklim global akan mengancam baik aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dari
sisi sosial, perubahan iklim beserta dampak yang dihasilkannya akan mendorong pergerakan

populasi manusia (migrasi) dari suatu tempat ke tempat lainnya dan mewabahnya penyakit
menular pasca bencana akibat sanitasi buruk, tidak berfungsinya layanan kesehatan, dan
lemahnya imunitas penduduk. Dampak perubahan iklim pun akan berpengaruh secara tidak
langsung kepada perekonomian, seperti menurunnya daya beli masyarakat pasca bencana banjir
dan kekeringan atau/fenomena anomali alam lainnya, terganggunya sistem perdagangan
barang/jasa dan industri.
Anomali variasi curah hujan, temperatur, kelembaban, frekuensi banjir atau kekeringan,
serta peningkatan tinggi muka air laut akibat perubahan iklim, akan mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Sebagaimana diketahui, kesehatan sangat ditentukan salah satunya oleh
kondisi lingkungan di mana masyarakat berada. Dari sudut pandang epidemiologi penyakit,
aspek lingkungan memiliki andil yang signifikan bagi timbulnya penyakit. Sebagaimana Teori
Simpul Paradigma Kesehatan Lingkungan yang digambarkan oleh Achmadi (2011)
mengilustrasikan bahwa patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan
ditentukan oleh hubungan interaksi antara sumber penyakit, media transmisi, komunitas,
kejadian penyakit, dan variabel supra sistem yang meliputi kebijakan dan iklim. Sebagai contoh,
bencana banjir yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi didukung dengan kurangnya daerah
resapan air, buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase wilayah,
minimnya perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat, berpotensi menimbulkan berbagai wabah
penyakit seperti diare, disentri, demam tifoid, hepatitis A, penyakit infeksi kulit dan mata,
schistosomiasis, ascariasis dan trichuriasis. Tidak hanya itu, penyakit bersumber binatang (vektor

serangga) yang terkait dengan air pun berpotensi mengancam kesehatan masyarakat, seperti
filariasis, malaria, dengue, dan lainnya.
Dengan demikian, pengaruh perubahan iklim terhadap penyebaran dan penularan penyakit
tidak dapat dirasakan dan diamati secara langsung, Namun, terjadinya berbagai kasus penyakit

dan kesehatan masyarakat tidak pernah terlepas dari faktor lingkungan. Dalam konteks
ekosistem, kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor populasi, budaya, kesehatan jiwa,
sumberdaya alam, dan keseimbangan ekologi, sebagaimana yang dibuat oleh Blum dengan
modelnya “The Environment of Health Model” (VanLeeuwen et al, 1999).
Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Bersumber Binatang: Malaria, Dengue, dan
Filariasis
Pemanasan global diperkirakan akan mendorong peningkatan suhu bumi. Perubahan secara
temporal dan spasial pada suhu, presipitasi, dan kelembaban berdasarkan beragam skenario
perubahan iklim yang diutarakan IPCC secara tidak langsung akan mempengaruhi biologi dan
ekologi vektor dan host intermediate (agen patogenik) serta risiko penularan. Meskipun secara
biologi arthropoda dapat mengatur suhu internal dalam tubuhnya dengan cara adaptasi perilaku,
secara fisiologis kelompok fauna ini sangat tergantung pada kondisi iklim/lingkungannya bagi
kelangsungan hidup dan perkembangannya (Lindsay dan Birley, 1996).
Kejadian penyakit bersumber binatang seperti malaria, dengue, dan filariasis dipengaruhi oleh
keberadaan vektor (nyamuk), agen patogen baik parasit maupun virus, dan lingkungan. Binatang,

dalam hal ini serangga nyamuk, dinyatakan sebagai vektor jika memiliki kapasitas atau
kemampuan untuk mengakomodasi kehidupan agen patogen dan menularkannya. Indikator
kemampuan nyamuk sebagai vektor penyakit dapat dikuantifikasi dengan nilai kapasitas
vektorial maupun cukup dengan mengamati keberadaan parasit, virus, dan agen patogenik
lainnya secara kualitatif. Dari sisi agen patogenik, Entomological Inoculation Rate menjadi
ukuran kesuksesan agen patogenik untuk hidup dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk
menjadi fase yang infektif.
Namun, faktor-faktor penentu tersebut di atas, tidak terlepas dari kondisi lingkungan di
sekitarnya. Kondisi iklim mikro yang tergantung pada iklim makro sangat menentukan
keberlangsungan hidup dan perkembangan vektor dan agen patogenik. Perkembangan larva
sangat ditentukan oleh keberadaan dan karakteristik habitatnya antara lain salinitas, derajat
keasaman, suhu air, flora dan fauna air, dan tipe vegetasi di sekitarnya. Lalu ketika beranjak
dewasa, perilaku nyamuk terhadap manusia yang salah satunya diindikasikan dengan banyaknya
dan frekuensi nyamuk yang menggigit manusia, sangat dipengaruhi oleh curah hujan, suhu,
kelembaban, arah dan kecepatan angin.

Frekuensi banjir atau kekeringan sebagai dampak perubahan di tingkat iklim makro akan
mempengaruhi eksistensi habitat dan siklus hidup sang vektor tersebut. Lebih jauh lagi,
peningkatan tinggi muka air menyebabkan abrasi pantai, hilangnya ekosistem pesisir yang
menjadi habitat spesies vektor tertentu akibat perendaman, dan di sisi lain munculnya habitathabitat baru, serta fragmentasi habitat yang akan mempengaruhi pula eksistensi vektor penyakit.

Tidak hanya itu, kondisi ekstrem manifestasi perubahan iklim tersebut mempengaruhi daya
tahan/imunitas dan adaptabilitas manusia terhadap beragam jenis penyakit yang muncul.

Studi Kasus #1: Perubahan Iklim dan Malaria
Proses penularan malaria melibatkan interaksi yang kompleks antara manusia, nyamuk
Anopheles spp, parasit Plasmodium, iklim, dan lingkungan fisik. Kompleksnya interaksi ini
menyebabkan pengendalian penyakit malaria masih terus dikembangkan hingga saat ini.
Pengendalian terhadap vektor dan upaya pengobatan anti malaria telah seringkali dilakukan.
Namun, malaria tidak pernah hilang di muka bumi ini dan masih menyimpan potensi
mengancam kelangsungan hidup manusia.
Lingkungan berperan sangat penting dalam penularan penyakit malaria. Malaria, dengan
beragam vektor dan kondisi ekologi, memiliki kekhasan di setiap lokasi. Kaitannya dengan iklim
dan perubahannya, penelitian tentang eksistensi penyakit malaria di tengan fenomena perubahan
iklim telah banyak dilakukan dan hasilnya pun beragam. Bukti pada tahun 1981-1991
mengungkapkan peningkatan suhu karena El-Nino selama musim dingin di daerah dataran tinggi
utara Pakistan mendorong tingginya laju penularan malaria (Kovats, 2003). Sebaliknya,
peningkatan curah hujan di dataran tinggi Tanzania pada kurun waktu El-Nino tahun 1997, kasus
malaria justru menurun karena diduga curah hujan yang tinggi telah menyapu tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk. Peningkatan temperatur dan curah hujan di Uganda juga
diperkirakan penyebab peningkatan kasus malaria (Lindblade et al, 1999). Selain itu, bencana

kekeringan akibat El-Nino dilaporkan berkaitan erat dengan kejadian malaria di Irian Jaya
(Bangs dan Subianto, 1999).
Peningkatan kasus malaria di masa depan telah diperkirakan menjadi dampak potensial atas
perubahan iklim yang terjadi. IPCC (2007) mengemukakan bahwa pada daerah-daerah dengan
infrastruktur layanan kesehatan yang terbatas atau buruk, serta suhu saat ini atau di masa depan
cocok bagi terjadinya penularan penyakit, peningkatan suhu seiring dengan curah hujan akan

menyebabkan berbagai penyakit bersumber binatang seperti malaria, dengue, dan leishmaniasis.
Suhu yang tinggi, didukung oleh pola curah hujan dan muka air yang kondusif, akan
memperpanjang masa musim penularan di daerah-daerah endemis. Sementara, di daerah lain,
perubahan iklim justru akan mengurangi laju penularan sebagai akibat berkurangnya curah hujan
atau suhu yang terlalu tinggi.
Perubahan iklim diperkirakan akan berpengaruh secara spasial-temporal terhadap malaria.
Perubahan iklim akan mempengaruhi distribusi vektor sehingga akan muncul epidemi malaria di
daerah-daerah yang baru dan menghilangnya kasus malaria di daerah endemis (Kovats et al,
2001 dalam van Lieshout et al, 2004).

Studi Kasus #2: Perubahan Iklim terhadap Penularan Dengue dan Filariasis
Nyamuk juga berperan dalam penularan sejumlah arboviruses (arthropod-borne virus), seperti
dengue. Demam berdarah dengue ditularkan kepada manusia melalui vektor Aedes aegypti yang

umumnya lebih sering ditemukan di lingkungan perkotaan dan tempat perkembangbiakannya
umumnya adalah kontainer buatan, seperti bak air, dispenser, dan tempat penampungan air
terbuka lainnya. Permasalahan penyakit dengue umumnya merebak pada akhir musim penghujan
atau awal musim kemarau. Beberapa laporan menyebutkan keterkaitannya dengan curah hujan
tinggi yang menyebabkan banjir memungkinkan munculnya penyakit dengue, akibat sisa-sisa
genangan air yang ada potensial menjadi tempat perkembangbiakan vektor, serta migrasi
penduduk dengan ragam kondisi kesehatan dan imunitas pasca bencana berpotensi pula
menularkan virus dengue. Hingga kini, belum ada penelitian yang secara komprehensif
mengidentifikasi pengaruh perubahan iklim secara langsung terhadap penyakit dengue dan
penularannya.
Penyakit infeksi lainnya potensial terjadi pasca banjir dikarenakan curah hujan yang tinggi
adalah filariasis. Agen penyakit ini adalah cacing mikroskopik filaria dari Famili Filarioidae.
Nematoda Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, atau B.timori ditransmisikan melalui perantara
nyamuk Culex quinquefasciatus, Aedes, dan Mansonia (Asia Pasifik dan Amerika) dan
Anopheles (Afrika). Kini, filariasis mengancam lebih dari 120 juta penduduk di 80 negara tropis
dan sub-tropis Asia, Afrika, Pasifik selatan dam sebagian Karibia dan Amerika Selatan.
Penelitian mengenai dampak perubahan iklim dengan kejadian penyakit filariasis ini dilaporkan
oleh Nielsen et al (2002) yang mengungkapkan adanya kemungkinan peningkatan penularan

filariasis di Lower Shire, Malawi selatan sebagai dampak atas bencana banjir hebat di

Mozambique pada tahun 1999.

Kesimpulan
Pengaruh perubahan iklim terhadap penyakit tidak ditentukan oleh faktor tunggal. Faktor
lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang berbeda antara satu populasi manusia (masyarakat)
yang satu dengan yang lainnya sangat menentukan besarnya dampak yang terjadi. Cara pandang
yang makro dan menyeluruh terhadap kejadian dan penularan penyakit di tengah fenomena
perubahan iklim menjadi sebuah tuntutan karena keterkaitan dan kompleksitas beragam faktor
tersebut. Saat ini di era globalisasi, negara-negara di dunia berlomba menjadi sebuah negara
yang secara ekonomi tangguh. Laju pertumbuhan dan perkembangangan industrialisasi serta
GDP per kapita menjadi indikator kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Di sisi lain, dampak dari
industrialisasi ini mendorong konsumsi energi setiap bangsa terus meningkat tanpa diimbangi
dengan pengelolaan yang berkelanjutan. Eksploitasi sumberdaya alam mengakibatkan hilangnya
layanan ekosistem yang semestinya menjaga keseimbangan biosfer. Bumi pun seolah diperas dan
kini akibat atas perilaku manusia itu pun menjadi ancaman bagi umat manusia itu sendiri.
Perubahan iklim – sebagai manifestasi perilaku manusia terhadap pengelolaan lingkungan yang
tidak arif – memunculkan beragam skenario iklim dan dampaknya di masa depan. Merebaknya
penyakit emerging dan re-emerging adalah salah satu dari sekian dampak perubahan iklim yang
berpotensi mengancam manusia. Malaria, dengue, dan filariasis adalah tiga dari sekian banyak
penyakit berbasis lingkungan yang diperkirakan penyebaran dan penularannya di luar dari

kebiasaan. Adaptasi secara ekologi, sosial, dan ekonomi dalam merespon kondisi iklim saat ini
dan masa depan serta dampaknya menjadi suatu tantangan setiap bangsa.

Rujukan
VanLeeuwen, JA, Waltner-Toews, D, Abernathy T, Smit, B. 1999. Evolving Models of Human
Health Towards an Ecosystem Context. Ecosystem Health, (5):3, pp.204-219 [di akses dari
www.ovc.uoguelph.ca/personal/ecosys/Health-models.pdf]
Lindblade KA, Walker ED, Onapa AW, Katungu J, Wilson ML.Highland malaria in Uganda:
prospective analysis of an epidemic associated with El Niño. Trans R Soc Trop Med Hyg 1999;
93: 480–87.

Bangs M, Subianto DB. El Niño and associated outbreaks of severe malaria in highland
populations in Irian Jaya, Indonesia: a review and epidemiological perspective. Southeast Asian J
Trop Med Public Hlth1999; 30: 608–19.
R Sari Kovats, Menno J Bouma, Shakoor Hajat, Eve Worrall, Andy Haines. El-Nino and
Health.Lancet 2003; 362: 1481–89.
Van Lieshout M, Kovats, RS, Livermore MTJ, Martens P. 2004. Climate change and malaria:
analysis of SRES climate and socio-economic scenarios. Global Environmental Change, 14: 8799.
IPCC. 2002. Climate Change and Biodiversity. IPCC Technical Paper V. Cambridge University
Press: New York.
IPCC. 2007a. Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Group I, II, and
III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge University Press: New York.
IPCC. 2007b. Climate Change 2007: Impacts, Adaptations, and Vulnerability. Contribution of
Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press: New York.
IPCC. 2008. Climate Change and Water. IPCC Technical Paper VI. Cambridge University Press:
New York.
Nielsen, N.O., Makaula, P., Nyakuipa, D., Bloch, P., Nyasulu, Y., & Simonsen, P.E. (2002).
Lymphatic filariasis in Lower Shire, southern Malawi. Transactions of the Royal Society of
Tropical Medicine and Hygiene, 96, 133-138.

Website:
http://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/epi.html [22 Maret 2012]

Gambar 1. Interkoneksi Pemanasan Global, Perubahan Iklim, dan Kesehatan (disarikan dari berbagai sumber)
Peningkatan
konsentrasi GHG
(Emisi CO2)

Deplesi Ozon (O3)

Pemanasan Global

Alam: fotosintesis
dan respirasi
Manusia:
- Penggunaan
bahan bakar fosil
dari industri,
pertanian,
transportasi, listrik
- perubahan
tataguna lahan
(deforestasi)

- Tekanan jumlah penduduk
- Kemiskinan
- Globalisasi
- Kebijakan nasional dan
multinasional (ekologi politik)
- Pembangunan

Siklus Hidrologi

Perubahan Iklim

Iklim mikro:
Curah hujan,
Temperatur, Laju
evaporasi,
kecepatan angin

Sosial -Ekonomi

Status Kesehatan
Masyarakat

Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)

Penyakit Tular
Vektor:
- Vektor (CV)
- Agen patogenik
(parasit, virus)
(EIR)
Layanan/fasilitas
kesehatan
Kondisi kesehatan
manusia (genetik,
imunitas)

Iklim Makro:
El-Nino/La-Nina
Variasi dan Lama
Musim
Peningkatan tinggi
muka air laut
Bencana: Banjir
dan Kekeringan

Keanekaragaman
Hayati dan
Layanan Ekosistem